Anda di halaman 1dari 19

HUKUM INTERNASIONAL

“PEMBERLAKUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK


BERSENJATA ISRAEL DAN PALESTINA”

Dibuat untuk memenuhi tugas akhir semester Mata Kuliah Hukum Internasional

Dosen Pengampu: Dr. Elvira Dewi Ginting, S.H.,M.Hum

Disusun Oleh:

SHOFIA RIANI (0206223127)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

PRODI ILMU HUKUM

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan atas kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga pemakalah dapat menyelesaikan tugas individu makalah ini yang
berjudul “PEMBERLAKUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM
KONFLIK BERSENJATA ISRAEL DAN PALESTINA” ini tepat pada waktunya. Pemakalah
mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Elvira Dewi Ginting, S.H.,M.Hum, selaku dosen
mata kuliah Hukum Internasional yang telah memberikan tugas ini.

Semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi pemakalah dan
para pembaca. Dalam penulisan tugas makalah ini, pemakalah menyadari bahwa tugas
makalah ini masih jauh dari kata sempurna karena masih banyak kekurangan. Oleh karena
itu, pemakalah dengan segala kerendahan hati memohon maaf dan mengharapkan kritik serta
saran yang membangun perbaikan dan penyempurnaan makalah ke depannya.

Demikian dari pemakalah, semoga segala tujuan baik dengan adanya tugas makalah
ini dapat tercapai. Aamiin….

Medan, 20 Desember 2023

Pemakalah
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Selama beberapa tahun terakhir, (mulai dari 27 Desember 2008 hingga 20 Januari
2009), dan berlanjut hingga sekarang, dunia internasional telah dikejutkan oleh serangkaian
serangan udara dan darat yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina di Jalur Gaza.
Serangan ini bertujuan untuk melumpuhkan pejuang Hamas (Harakat al Muwaqawwamatul
Islamiyah) atau Gerakan Perlawanan Islam, yang dianggap sebagai organisasi teroris oleh
Israel, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Namun, di mata pendukungnya, Hamas dianggap
sebagai kekuatan perjuangan sah untuk membela Palestina dari pendudukan militer Yahudi.

Akibat serangan dari tentara IDF (Israel Defense Forces), sekitar 19.968 penduduk
Palestina dan 73 jurnalis tewas. Sebagian besar korban adalah warga sipil yang menjadi
sasaran serangan yang membabi buta. Saat ini, kerugian diperkirakan mencapai 2,5 miliar
dolar AS. Adanya blokade di perbatasan Palestina dan Mesir membuat penduduk kesulitan
mengungsi dan menerima bantuan kemanusiaan. Serangan Israel juga merusak rumah,
masjid, kantor lembaga bantuan PBB, dan infrastruktur lainnya.1

Sehingga, mulai dipertimbangkan untuk menetapkan batasan-batasan dan regulasi


terkait perang. Hukum Humaniter Internasional atau hukum perang (Laws of War) menjadi
peraturan yang sangat penting bagi anggota militer untuk diikuti selama konflik bersenjata
atau perang. Tujuannya adalah mengatur perilaku militer terhadap musuh, milisi, atau warga
sipil non-combatant. Dalam konteks perang, pelanggaran hukum yang mencakup kehidupan,
kekerasan, pelecehan seksual, perampasan harta, atau kejahatan lainnya dapat merusak citra
militer atau pemerintahan suatu negara dalam hukum humaniter internasional. Khususnya
dalam era globalisasi abad ke-21, negara modern yang melanggar hukum humaniter
internasional dapat dihukum oleh Mahkamah Pidana Internasional atau International
Criminal Court (ICC) yang didirikan berdasarkan Statuta Roma tahun 1998 sebagai
pengadilan untuk pelanggaran hak asasi manusia, termasuk kejahatan perang.

1
Kerusakan Akibat Agresi Israel http://www.eramuslim.com, diakses 21 Desember 2023
B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana tinjauan Hukum Humaniter Internasional dalam konflik bersenjata Israel


dan Palestina?
2. Apa saja pelanggaran Hukum Humaniter yang dilakukan oleh Israel dan Palestina?
3. Bagaimana mekanisme penegakan Hukum Humaniter terhadap agresi militer Israel
kepada Palestina?
4. Bagaimana pemberlakuan Hukum Humaniter Internasional dalam konflik bersenjata
Israel dan Palestina?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan Hukum Humaniter Internasional dalam konflik
bersenjata Israel dan Palestina.
2. Untuk mengetahui apa saja pelanggaran Hukum Humaniter yang dilakukan oleh Israel
dan Palestina.
3. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme penegakan Hukum Humaniter terhadap
agresi militer Israel kepada Palestina.
4. Untuk mengetahui bagaimana pemberlakuan Hukum Humaniter Internasional dalam
konflik bersenjata Israel dan Palestina.
BAB II
PEMBAHASAN

A. TINJAUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

Negara-negara yang tengah berkonflik sebaiknya menghindari penggunaan perang


sebagai suatu cara paksa untuk menyelesaikan perselisihan, sesuai dengan prinsip PBB yang
tertera dalam pasal 2 ayat 4 yang mencantumkan2:

“all member shall refrain in their international relations from the trest or use of force
against the territorial integrity or political independence of any state and any other manner
inconsistence with the purpose of the UN Charter”. Jika terpaksa untuk melakukan perang,
semua pihak harus mengikuti norma-norma hukum humaniter.

Hukum yang mengatur perang merupakan bagian dari hukum publik internasional
yang berfokus pada regulasi hukum internasional untuk mengatasi konflik bersenjata dan
perang di seluruh dunia. Kajian tentang Hukum Perang atau Hukum Humaniter ini penting
bagi setiap personel militer yang terlibat dalam tugas perang dan konflik bersenjata.
Penerapannya mencakup semua aspek perang, termasuk di darat, laut, dan udara, yang
masing-masing memiliki regulasi khusus. Setiap anggota militer dari berbagai matra harus
memiliki pemahaman yang baik terhadap hukum humaniter, karena situasi perang atau
konflik bersenjata dapat terjadi kapan saja.

Hukum humaniter dapat didefinisikan sebagai aturan-aturan internasional yang


terbentuk melalui perjanjian atau kebiasaan, yang dirancang khusus untuk menangani
masalah kemanusiaan yang timbul akibat sengketa-sengketa dari konflik bersenjata baik skala
internasional maupun non-internasional. Hukum ini bertujuan membatasi hak pihak yang
terlibat dalam konflik untuk menggunakan metode perang dan melindungi korban serta harta
mereka dengan pertimbangan kemanusiaan.3

Hukum Humaniter Internasional terdiri dari Hukum Jenewa yang berfokus pada
perlindungan korban perang dan Hukum Den Haag yang mengatur prosedur dan alat perang.
Kedua aspek ini merupakan sumber hukum utama dalam domain ini.

2
Merrills, John. “The Means of Dispute Settlement.” In International Law. 5th ed, edited by Malcolm
Evans. Oxford: Oxford University Press, 2018. Law Trove, 2018. Doi:
10.1093/he/9780198791836.003.0018., p. 530
3
Ambarwati, Denny Ramadhany, Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2009, hlm. 10
Dari perspektif hukum humaniter, perang dianggap sebagai realitas yang tidak dapat
dihindari. Oleh karena itu, hukum humaniter berupaya mengatur agar perang dapat dilakukan
dengan memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan atau upaya untuk menjadikan perang
lebih manusiawi. Fokus utama hukum humaniter adalah memberikan perlindungan dan
bantuan kepada mereka yang menjadi korban perang, baik mereka yang terlibat secara
langsung dalam konflik maupun yang tidak terlibat dalam aksi perang.4

Ketika timbul perselisihan yang mengancam perdamaian dunia, badan-badan PBB


yang terlibat dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional ikut berperan dalam
penyelesaian sengketa, sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat 1 yang menyatakan bahwa:

"Agar Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat menjalankan tindakannya dengan lancar dan


tepat, maka anggota-anggota memberikan tanggung jawab utama kepada Dewan Keamanan
untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional, dan menyetujui agar Dewan
Keamanan dalam menjalankan kewajiban-kewajiban bagi penanggung-jawaban ini benindak
atas nama." Dengan mematuhi isi pasal tersebut, anggota PBB menugaskan Dewan
Keamanan sebagai entitas utama yang bertanggung jawab dalam menjaga perdamaian dan
keamanan internasional serta menyelesaikan sengketa, sehingga tindakan PBB dapat
berlangsung secara efisien dan tepat.

Sumber utama Hukum Humaniter yaitu Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa.
Hukum Den Haag terdiri dari, Konvensi Den Haag 1899 dan 1907 mengenai cara dan alat
berperang. Konvensi Den Haag 1899 terdiri dari 3 konvensi dan tiga deklarasi, di antaranya
yaitu Konvensi II tentang Hukum dan kebiasaan Perang di Darat serta adanya deklarasi
larangan penggunaan proyektil-proyektil yang berarti penggunaan gas-gas cekik dan beracun
juga dilarang. Sedangkan Konvensi Jenewa 1907 terdiri dari 13 Konvensi, konvensi yang
penting antara lain Konvensi III tentang Cara Memulai Permusuhan dan Konvensi IV tentang
Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat. Konvensi IV ini sering disebut dengan Hague
Regulation (HR). HR memberikan batasan yang lebih tegas terhadap pemakaian alat dan
metode perang. Di samping itu di dalam terdapat Martens Clause, di mana dalam Martens
Clause dinyatakan bahwa dalam keadaan apa pun harus diperhatikan perlakuan kemanusiaan.

Hukum Jenewa terdiri dari empat perjanjian pokok untuk mengatur mengenai
perlindungan korban saat perang, antara lain yaitu:

4
Haryomataram, 2005, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: PT Rajawali Press, hlm. 3
a. Konvensi Jenewa I tentang Perbaikan keadaan Tentara yang luka dan sakit di
Medan Pertempuran darat.
b. Konvensi Jenewa II tentang Perbaikan keadaan Tentara yang luka dan Sakit di
Medan Pertempuran laut.
c. Konvensi Jenewa III tentang Perlakuan Tawanan Perang.
d. Konvensi Jenewa IV tentang Perlindungan Penduduk Sipil di Waktu Perang.

Apabila dilihat dari sejarah dunia, telah terjadi banyak peristiwa penting berbau
peperangan, mulai dari Perang Dunia I dan II hingga konflik bersenjata di Suriah dengan
penyelesaian yang belum jelas hingga saat ini terutama yang terkait pada organisasi
bersenjata seperti ISIS. Konflik bersenjata umumnya dipengaruhi oleh faktor budaya,
ekonomi, SARA, perebutan wilayah, politik, dan persaingan kekuatan militer, menjelaskan
mengapa konflik bersenjata masih sering terjadi hingga saat ini.

Untuk memahami lebih detail, berikut adalah jenis dan bentuk dari perseteruan atau
konflik. 5

a) Konflik bersenjata Internasional: Konflik atau pertikaian yang melibatkan dua atau
lebih negara, dapat juga melibatkan pihak yang bukan negara. Jika perang terjadi
tanpa pengumuman resmi, hukum humaniter tetap mengikat semua pihak terlibat.
b) Konflik bersenjata Non-Internasional: Jenis konflik ini sering disebut sebagai
pemberontakan atau perang saudara yang terjadi di suatu negara, seringkali
disebabkan oleh keinginan untuk memisahkan diri dari negara asal.

Pasca Perang Dunia II, dunia mengalami fase Dekolonisasi, menyebabkan konflik
bersenjata tidak hanya bersifat internasional, tetapi juga menimbulkan banyak korban dalam
konflik bersenjata non-internasional. Komunitas internasional sepakat untuk mengatasi
tantangan ini, menghasilkan pembentukan Protokol Tambahan Konvensi Jenewa pada tahun
1977 yang terdiri dari Protokol Tambahan I dan Protokol Tambahan II pada tahun yang sama.

Di samping sumber-sumber utama hukum humaniter, terdapat sumber-sumber hukum


humaniter lain yang mengatur alat dan metode perang. Komunitas internasional terus
berupaya mengurangi penderitaan berlebihan yang diakibatkan oleh konflik bersenjata.
Beberapa perjanjian yang telah disetujui mencakup:

5
Zelda Farah Ardiata, Komang Febrinayanti Dantes, Si Ngurah Ardhya, M. Jodi Setiant Ganesha Law
Review, Volume 4 Issue 2, November 2022
a. The biological weapons Convention 1972
b. The United Nations Convention on Conventional Weapons and the Protocols
1980
c. The chemical Weapons 1993
d. Convention on Prohibitions or restrictions on the Use certain Conventional
Weapons Which May be Deemed to Excessively injuries or to Have
Indiscriminate Effects

Selain peraturan-peraturan yang telah disebutkan, di dalam hukum humaniter juga


terdapat asas-asas yang harus diperhatikan pada saat mengadakan perang. Asas-asas utama
dalam domain hukum humaniter terdiri dari :6

a. Asas Kebutuhan Militer (Military Necessity)


Membolehkan pihak yang terlibat dalam konflik untuk menggunakan kekerasan guna
menaklukkan lawan demi mencapai tujuan perang dan keberhasilan.
b. Asas Kemanusiaan (Humanity)
Menuntut pihak-pihak yang terlibat konflik agar memperhatikan aspek kemanusiaan,
dengan melarang penggunaan kekerasan yang berlebihan dan penderitaan yang tidak
perlu.
c. Asas Kesatriaan (chivalry)
Menegaskan pentingnya kejujuran dalam perang, melarang penggunaan alat-alat yang
tidak terhormat, taktik curang, dan tindakan yang bersifat khianat.

B. PELANGGARAN HUKUM HUMANITER OLEH ISRAEL DAN PALESTINA


Pelanggaran yang dilakukan oleh Israel terjadi karena tidak dilaksanakannya prinsip
kemanusiaan. Serangan yang terjadi menyebabkan banyak korban sipil di Palestina,
meskipun tidak semua korban besar tersebut dapat disalahkan sepenuhnya pada militer Israel.
Pelanggaran terhadap prinsip kemanusiaan ini dapat diartikan sebagai larangan terhadap
penggunaan sarana dan metode perang yang tidak esensial untuk mencapai keuntungan
militer yang konkret.7

6
Arlina Permanasari dkk, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: ICRC, hlm. 11
7
Hamas Exploitation of Civilians as Human Shields, diakses dari http://www.terrorism-info.org
diunduh pada 22 Desember 2023
Dengan memahami asas-asas hukum humaniter dan nilai-nilai yang tercantum dalam
Piagam PBB, dapat dipastikan bahwa tindakan agresi Israel telah melanggar prinsip-prinsip
tersebut. Serangan Israel ke Palestina menyebabkan kematian sekitar 19.968 warga sipil,
yang jelas bertentangan dengan prinsip kemanusiaan. Perlindungan terhadap penduduk sipil
dan prinsip kemanusiaan telah lama diakui sebagai upaya untuk membatasi dampak korban
dalam situasi perang. Alasan yang mendorong di balik pembatasan ini dalam perang, yaitu : 8

a) Fakta bahwa perang menimbulkan kerugian terhadap kemanusiaan menekankan


perlunya pembatasan dalam melaksanakan perang.
b) Tindakan kekejaman yang dilakukan selama perang terhadap manusia tidak sesuai
dengan peradaban manusia, yang menuntut adanya pembatasan perang sesuai dengan
martabat manusia.
c) Pengaruh pemahaman tentang kemanusiaan dalam konteks perang.

Dalam Protokol Tambahan I tahun 1977, Bab IV mengenai Penduduk Sipil diatur
dengan jelas. Pasal 50 PT I tahun 1977 secara tegas membedakan antara orang sipil dan
penduduk sipil. Pasal 48 menetapkan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam konflik harus
memisahkan penduduk sipil dan kombatan serta objek sipil dan sasaran militer, dengan
mengarahkan operasi mereka hanya pada sasaran militer.

Perlindungan objek-objek budaya dan tempat ibadah diatur dalam Pasal 53,
sedangkan Pasal 54 mengatur perlindungan terhadap objek-objek yang penting bagi
kelangsungan hidup penduduk sipil. Pasal 56 melarang penggunaan bendungan, tanggul, dan
pusat pembangkit tenaga listrik sebagai sasaran perang. Selain itu, Pasal 53 juga menetapkan
larangan menimbulkan kelaparan sampai mati pada penduduk sipil sebagai metode perang.

Israel juga telah melanggar prinsip pembedaan, di mana dalam serangannya, tidak
terjadi perbedaan antara penduduk sipil dan kombatan, serta antara objek-objek militer dan
objek-objek sipil yang seharusnya tidak menjadi target serangan militer. Selain itu, Israel juga
merusak objek-objek sipil seperti rumah penduduk sipil, rumah sakit, sekolah-sekolah,
gedung PBB, instalasi listrik dan air, bahkan tempat ibadah.

Terkait dengan pelanggaran prinsip perikemanusiaan lainnya, yaitu larangan


menimbulkan luka yang berlebihan, Israel menggunakan bom fosfor putih yang
menyebabkan luka bakar parah dan bahkan menembus tulang pada penduduk sipil.

8
Sugeng Istanto, 1992, Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Perlawanan Rakyat Semesta dan Hukum
Internasional, Yogyakarta: Penerbit Andi Offset, hlm. 17
Penggunaan bom fosfor putih termasuk penggunaan senjata yang telah dilarang dalam
konflik bersenjata.

Beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh pasukan Israel selama konflik bersenjata
dan diklasifikasikan berdasarkan asas-asas hukum humaniter internasional yang telah
dilanggar meliputi:

a) Asas Kebutuhan Militer (Military Necessity)


Menurut Pasal 57 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa, disebutkan bahwa dalam
konflik bersenjata, sasaran yang dapat diserang adalah objek militer dan kombatan.
Serangan yang diarahkan kepada warga sipil dan harta benda pribadi, termasuk
infrastruktur dan aset vital lainnya, seharusnya dihindari. Namun, pada kenyataannya,
Israel juga melakukan serangan terhadap objek sipil seperti sekolah, rumah sakit,
perumahan, dan instalasi kabel listrik. Matinya pasokan listrik Palestina dan
kerusakan rumah sakit mengancam keselamatan hidup warga sipil Palestina, terutama
anak-anak dan mereka yang terluka dalam serangan tersebut.
b) Asas Kemanusiaan (Humanity)
Sejumlah kejadian yang dilakukan oleh pasukan Israel melibatkan pelanggaran
terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan, termasuk tindakan memblokir bantuan
kemanusiaan yang dikirim oleh organisasi internasional yang berupaya
menyampaikan simpati kepada warga Palestina di Gaza yang mengalami penderitaan
akibat konflik yang tengah berlangsung.
c) Asas Proposionalitas/Asas Kesatriaan (Chivalry)
Penyerangan terhadap fasilitas umum oleh pasukan Israel tidak dapat diatributkan
semata-mata pada kelalaian, melainkan merupakan upaya yang sengaja mengabaikan
hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional. Hamas seringkali
memanfaatkan gedung-gedung publik dan infrastruktur sebagai provokasi agar Israel
menyerang sekolah-sekolah PBB tempat Hamas meluncurkan roket. Tindakan
paramiliter Hamas menunjukkan pelanggaran terhadap norma hukum humaniter
internasional, dan berdasarkan Pasal 28 Konvensi Jenewa, paramiliter Hamas tidak
mengarahkan serangan mereka ke target sipil. Di samping itu, Hamas dan organisasi
lain di Gaza secara luas menggunakan warga Palestina sebagai perisai hidup dalam
melakukan serangan.
d) Isu Hak Asasi Manusia dalam Konflik Palestina-Israel Menurut Perspektif Hukum
Humaniter Internasional
Banyak pelanggaran terhadap prinsip kemanusiaan yang dilakukan oleh militer Israel
terjadi dalam konflik ini. Salah satunya adalah memblokade bantuan kemanusiaan
dari organisasi internasional, yang telah mengakibatkan warga Palestina, baik
pengungsi maupun warga sipil di daerah terdampak konflik, tidak dapat mengakses
makanan, air, dan kebutuhan dasar lainnya. Tindakan militer Israel ini telah
mencampuri hak-hak dasar yang termasuk dalam dua kerangka hukum utama: hak
asasi manusia dan hukum humaniter internasional, khususnya hak untuk hidup,
larangan penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, larangan perbudakan, dan
keadilan. Israel harus diadili atas “kejahatan terhadap kemanusiaan,” dan pengadilan
Kriminal Internasional seharusnya tidak menunda penentuan apakah pemimpin Israel
yang bertanggung jawab atas blokade tersebut harus diadili karena pelanggaran. Isu
keterlibatan penegak hukum dalam kejahatan perang dalam konflik Palestina-Israel
menjadi kendala serius bagi penegakan hukum humaniter internasional dan hak asasi
manusia di dunia internasional.

C. MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER TERHADAP AGRESI


MILITER ISRAEL KEPADA PALESTINA
Respon masyarakat internasional terhadap agresi Israel terhadap Palestina sangat
kritis. Masyarakat internasional menuding Israel melakukan pelanggaran hukum perang dan
berkeinginan agar Israel diadili di Mahkamah Internasional. Penyelidikan oleh Tim Pencari
Fakta PBB telah mengonfirmasi bahwa Israel memang terlibat dalam kejahatan perang.
Jika terjadi pelanggaran terhadap hukum humaniter, terdapat tiga opsi mekanisme
penegakan yang dapat diambil untuk menghukum para pelaku kejahatan perang, yaitu:9

1) Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977


Berlandaskan pada Pasal 49 ayat 1 Konvensi Jenewa 1949, suatu negara yang telah
meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan untuk mengeluarkan undang-undang
nasional yang dapat memberikan sanksi pidana yang efektif kepada setiap orang yang
melakukan atau memberikan perintah untuk melakukan pelanggaran serius terhadap
Konvensi tersebut.
2) Melalui Mahkamah ad hoc
Terdapat dua pengadilan yang menuntut pelaku kejahatan perang selama Perang
Dunia II, yaitu Mahkamah Tokyo yang mengadili pelaku kejahatan perang Jepang,
dan Mahkamah Nuremberg yang mengadili pelaku kejahatan perang Nazi Jerman.
9
Arlina Permanasari, op.cit., hlm. 181
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, Mahkamah Kriminal Internasional untuk bekas
Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia/ICTY) dan
Mahkamah Kriminal Internasional untuk Rwanda (International Criminal Tribunal
for Rwanda) pun dibentuk.
3) Melalui Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC)
ICC didirikan berdasarkan Statuta Roma tahun 1998. Mahkamah ini bersifat tetap dan
bertugas mengadili kejahatan-kejahatan yang sangat serius (the most serious crimes).
ICC memiliki wewenang untuk mengadili empat jenis kejahatan, yakni: genosida
(genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes againts humanity), kejahatan
perang (Crimes of War), dan kejahatan agresi (Crimes of Agression).10 Peran ICC ini
diartikan sebagai pelengkap dari pengadilan di tingkat nasional, artinya, jika suatu
negara tidak bersedia (unwilling) atau tidak mampu (unable) mengadili pelaku
kejahatan perang, maka ICC dapat melaksanakan yurisdiksinya.

Negara-negara yang merupakan anggota PBB tidak secara langsung terikat oleh
yurisdiksi ICC, melainkan harus menyatakan kesediaan mereka untuk mengikatkan diri dan
menjadi pihak dalam Statuta Roma. ICC mulai beroperasi secara efektif pada tahun 2002
setelah mencapai ambang batas 60 negara yang meratifikasi. Hingga saat ini, Amerika Serikat
dan Israel belum mengesahkan Statuta Roma 1998.11

Melalui analisis masing-masing dari ketiga mekanisme penegakan hukum humaniter


di atas, dapat dipertimbangkan peluang untuk mengadili Israel atas kejahatan perang yang
telah terjadi. Penggunaan mekanisme pertama, yang mengharuskan negara yang meratifikasi
Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 untuk mengeluarkan undang-undang
nasional dengan sanksi pidana yang efektif, menjadi sulit dilakukan karena hingga saat ini
Israel belum menyetujui Konvensi Jenewa 1949 dan tidak mungkin menghukum pelaku
kejahatan dengan hukum nasionalnya, karena Israel cenderung melindungi pelaku kejahatan
yang merupakan warga negaranya sendiri.

Melalui mahkamah ad hoc yang khusus untuk mengadili kejahatan yang melibatkan
Israel di Palestina, hal ini dapat diadili di mahkamah tersebut apabila Dewan Keamanan PBB
mengeluarkan resolusi serupa dengan pembentukan ICTY dan ICTR. Sebagai lembaga utama
yang bertanggung jawab dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional, Dewan
10
Arie Siswanto, 2005, Yurisdiksi material mahkamah Pidana Internasional, Jakarta: Ghalia
Indonesia, hlm. 45
11
Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan fungsi Dalam Era Dinamika
Global, Bandung: Alumni, hlm. 263
Keamanan PBB memiliki kewenangan untuk menetapkan situasi yang melibatkan ancaman
terhadap perdamaian, pelanggaran perdamaian, dan tindakan agresi. Masyarakat internasional
dapat terus menekan Dewan Keamanan PBB agar membentuk pengadilan khusus untuk
kejahatan perang yang melibatkan Israel.

Namun, hambatan utama adalah bahwa resolusi ini harus memperoleh dukungan
suara bulat dari kelima anggota tetap Dewan Keamanan PBB, yaitu Amerika Serikat, Rusia,
Inggris, Perancis, dan Republik Rakyat Cina. Kemungkinan besar resolusi akan dihalangi
oleh veto dari Amerika Serikat, yang selalu memihak pada Israel.

Kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel sebenarnya termasuk dalam kewenangan
Mahkamah Pidana Internasional (ICC), sebuah pengadilan tetap yang mulai beroperasi
efektif sejak tahun 2002. Namun, ICC hanya memiliki kewenangan terhadap negara yang
telah meratifikasi Statuta Roma 1998, sementara Israel belum meratifikasinya.

D. PEMBERLAKUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM


KONFLIK BERSENJATA ANTARA ISRAEL DAN PALESTINA
Negara Palestina telah diakui secara internasional oleh PBB dan Indonesia. Dengan
pengakuan tersebut, konflik ini menjadi konflik internasional. Ditambah dengan adanya
banyak indikasi kuat terkait peran asing dalam konflik bersenjata ini, maka dapat
diklasifikasikan sebagai konflik bersenjata internasional.

Serangan Israel terhadap Gaza dengan dalih bahwa Hamas sering mengganggu
keamanan Israel dapat dievaluasi dari dua perspektif. Pertama, legalitas penggunaan
kekerasan (Jus in bellum), dan kedua, bagaimana serangan tersebut dilakukan (Jus in bello).
Dalam konteks Jus in bellum, pertanyaannya adalah apakah serangan Israel dapat dianggap
sebagai serangan bela diri. Pembenarannya hanya dapat berdasarkan “keharusan” (necessity)
dan “pembelaan diri” (self-defence) namun perlu dicatat bahwa “keharusan” (necessity) tidak
dapat menjadi pembenaran bagi pelanggaran kewajiban internasional suatu negara, dengan
beberapa pengecualian, yaitu:

 Tindakan tersebut merupakan satu-satunya metode untuk melindungi kepentingan


pokok negara dari ancaman besar yang sangat dekat;
 Tindakan tersebut tidak menyebabkan gangguan yang signifikan terhadap
kepentingan pokok negara, yang mencakup kewajiban tertentu.
Sementara itu, penggunaan tindakan pembelaan diri (self-defence) dapat dianggap
sebagai justifikasi untuk suatu tindakan jika dilakukan sebagai pembelaan diri yang sesuai
dengan persyaratan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Penting dicatat di sini bahwa tidak
semua tindakan pembelaan diri dianggap sah; hanya tindakan pembelaan diri yang sesuai
dengan Piagam PBB yang diakui sebagai sah. Persyaratan ini juga menyiratkan bahwa
tindakan yang sama, jika dilakukan tanpa maksud pembelaan diri, dianggap bertentangan
dengan hukum (dan oleh karena itu tidak dapat dijadikan dasar pembenaran).

Negara yang mengalami kerugian akibat tindakan negara lain dapat mengambil
tindakan balasan (reprisal) dengan tidak melaksanakan kewajiban internasional tertentu
terhadap negara yang melakukan pelanggaran. Tujuan utama dari tindakan ini adalah agar
negara yang melanggar berhenti dan melakukan perbaikan penuh. Meskipun demikian,
tindakan balasan ini membawa risiko, yakni jika ternyata tindakan yang awalnya dianggap
melanggar oleh negara tersebut dinyatakan sah dalam hukum internasional, maka tindakan
balasan tersebut menjadi tidak sah. Perlu dibedakan antara tindakan balasan dalam kerangka
tanggung jawab negara dan tindakan pembalasan (reprisal) dalam hukum konflik bersenjata
atau hukum humaniter, serta tindakan yang berbeda dengan penjatuhan sanksi, penghentian,
atau pengakhiran perjanjian.12

Operasi Cast Lead merupakan bagian dari upaya pertahanan diri Palestina untuk
melindungi penduduknya dari gangguan pihak asing yang membahayakan, dipertegas dalam
UN Charter Article 51 :

“Nothing in the present Charter shall impairth inherent right of individual


or collective self-defence if an aarmed attack occurs against a Member of
the United Nations...”13

Dalam hal ini juga ditegaskan oleh pernyataan Perdana Menteri Ehud Olmert, yang
menyatakan bahwa untuk melindungi penduduk sipil, operasi militer dapat diperluas untuk
melemahkan kekuatan militer Hamas.

“If there is a need, the military is prepared to expand the operation. We


will continue to do everything to protect our citizens.”14
12
Gulfino, “Analisis Hukum Konflik Bersenjata Palestina dan Israel”, diakses dari
http://www.repository.unej.ac.id, pada tanggal 22 Desember 2023.
13
United Nation Charter, Article 51.
14
“Israel Launches Retaliation Strikes Against Hamas Rocket Attacks”, diakses dari
http://www.foxnes.com pada tanggal 22 Desember 2023.
BAB III
PENUTUPAN

A. KESIMPULAN
Dalam penegakan Hukum Humaniter selama konflik antara Palestina dan Israel, Israel
mengklaim tindakan operasi Cast Lead sebagai bentuk pembelaan diri (self-defence) dan
pembalasan (reprisal) terhadap serangan roket dari paramiliter Hamas yang mengancam
keselamatan masyarakat Israel. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk menghindari
penggunaan kekuatan militer, namun demikian, upaya tersebut belum menghasilkan solusi
yang jelas antara kedua pihak yang bersengketa. Sehingga, Israel melakukan invasi ke Jalur
Gaza. Berdasarkan pelanggaran Hukum Humaniter dalam konflik bersenjata antara Palestina
dan Israel, dapat disimpulkan bahwa baik Israel maupun Palestina terlibat dalam pelanggaran.
Dalam konteks ini, Hamas, yang dianggap sebagai organisasi teroris oleh Israel dan Amerika
Serikat, terlibat dalam tindakan yang melanggar Hukum Humaniter Internasional, khususnya
pelanggaran Hak Asasi Manusia. Metode Cast Lead bukan merupakan bentuk pelanggaran
Hukum Humaniter, melainkan dianggap sebagai tindakan bela diri (self-defence) dalam
bentuk reprisal sebagai respons terhadap serangan roket Hamas yang mengancam stabilitas
dan keselamatan masyarakat Israel. Pelanggaran Hukum Humaniter oleh pihak Israel dalam
konteks ini terletak pada prinsip kebutuhan militer, pembeda, proporsionalitas, dan aspek
kemanusiaan, yang terkait dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia.

B. SARAN
1. Untuk memahami konflik antara Israel dan Palestina, disarankan agar kita tidak
bersikap tendensius. Hal ini karena perspektif kita bisa terlalu dipengaruhi oleh media
yang mungkin hanya memberikan liputan yang tidak mencakup kedua belah pihak,
sehingga menjadi terlalu memihak pada satu pihak.
2. Diperlukan kehadiran pihak yang kompeten untuk menegakkan Hukum Humaniter
Internasional, mengingat baik Israel maupun Palestina, tanpa memandang alasan,
keduanya terlibat dalam pelanggaran Hukum Humaniter Internasional. Akibatnya,
penduduk sipil yang tidak memahami intricacies konflik bersenjata antara Israel dan
Palestina yang sarat nuansa politisnya menjadi korban.
DAFTAR PUSTAKA

A.K, Syahmin. 1985. Hukum Internasional Humaniter, Jilid 2. Bandung : Armico;

Gasser, Hans-Peter. 1993. International Humanitarian Law. An Introduction, Separate print


from Hans Haug, Humanity for All, International Red Cross and Red Crescent
Movement, Haupt: Henry Dunant Institute;

Mauna, Boer. 2005. Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global. Bandung: Alumni;

Permanasari, Arlina, dkk. 1999. Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta: ICRC;

Haryomataram, 1994. Sekelumit Tentang Hukum Humaniter. Surakarta: Sebelas Maret


University;

Sulistia, T, (2021), “Pengaturan Perang dan Konflik Bersenjata Dalam Hukum Humaniter
Internasional”, Indonesia Journal of International Law, 4(3), 526-555

Yahya, Harun. 2005. Palestina, Zionisme dan Terorisme Israel. Bandung: PT Syamiil Cipta
Media;

Daniati, Mangku, & Yuliartini, (2020), “Status Hukum Tentara Bayaran Dalam Sengketa
Bersenjata Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional”, Jurnal Komunitas
Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha, 3(3), 283-294;

http//www.eramuslim.com, diakses 22 Desember 2023;

Konvensi Jenewa IV tahun 1949 tentang Perlindungan Penduduk Sipil;

Rome Statute of The Iternational Criminal Court, 1998.

Anda mungkin juga menyukai