Anda di halaman 1dari 5

CATATAN PEGANGAN SEPUTAR HUKUM INTERNASIONAL

Oleh : Kilitus M. Wetipo


A. Sejarah Hukum Internasional
Hukum internasional modern berakar pada Perjanjian Westphalia mengakhiri perang
agama di Eropa (termasuk Perang Tiga Puluh Tahun) dan berbarengan dengan bangkitnya
negara-bangsa. Penguasa memutuskan bahwa setiap entitas harus berdaulat, yang berarti
bahwa masing-masing kedaulatan (atau dalam demokrasi sekarang di-sebut rakyat)
mendapatkan otoritas tertinggi atas wilayahnnya sendiri. Ini menjadi konsep utama dari
sistem internasional: negara adalah merdeka dan otonom dan, karena berdaulat, memiliki
kemampuan yang sama untuk menjalin hubungan internasional. Relasi dan kesepakatan
antar-entitas yang berdaulat dapat dirunut kembali sejak masa kuno, khususnya berkaitan
dengan isu perdamaian dan perang, hubungan dagang, dan hukum kelautan (termasuk
pelarangan pembajakan). Dengan munculnnya negara bangsa, para sarjana di Eropa berusaha
mendefinisikan konten dan eksistensi hukum internasional. Positivisme menyatakan bahwa
hukum terdiri dari aturan-aturan yang dibuat oleh manusia (dalam kasus hukum internasional,
oleh negara) dan menekankan pentingnya persetujuan pada norma nasional. Positivis
berpendapat bahwa hukum tidak diberikan oleh alam atau berhubungan dengan keyakinan
etika atau moral tetapi terdiri dari sekumpulan aturan yang disepakati negara-negara
(perjanjian, misalnya, adalah bukti kesepakatan itu). Sesudah ambruknya Uni Soviet, banyak
yang memprediksikan era baru untuk hukum internasional. Sumber hukum internasional
ditetapkan dalam Article 38 di State of the International Court of Justice (ICJ, 1945). Berikut
adalah penjelasan mengenai sumber-sumber hukum internasional:

1. Perjanjian (treaties), adalah kesepakatan antarnegara. Pihak penandatanganan sepakat


untuk diikat oleh isi perjanjian, yang menyebabkan perjanjian itu mengikat secara hukum
2. Customary law, ICJ Statute (1945) menyebut custom sebagai “bukti atau kenyataan
praktik umum yang diterima sebagai hukum” (Article 38). Untuk membuktikan bahwa
suatu aturan itu bersifat customary, pengadilan harus mempertimbangkan praktik aktual
dari negara dan penerimaan oleh negara atas praktik itu sebagai hukum (diistilahkan
sebagai opinio juris sive necessitates, bahasa Latin yang berarti “opini hukum atau
keniscayaan”).
3. Prinsip umum, sumber ketiga dari hukum internasional adalah prinsip umum,
Prinsip umum memberikan mekanisme untuk mengatasi isu yang tidak diatur oleh
perjanjian atau hukum internasional customary.

1|Page
4. Aturan yang tak mengikat secara hukum (soft law), sumber tradisional hukum
internasional tidak menjelaskan norma yang tak mengikat secara hukum. Namun hal yang
disebut soft law ini bisa berdampak penting terhadap hubungan internasional dan
terhadap perkembangan hukum internasional.

B. Subjek Hukum Internasional

Subjek hukum internasional adalah aktor-aktor dalam hubungan internasional yang memiliki
hak dan tanggung jawab legal. Berikut adalah bagian-bagian dari subjek hukum internasional

1. Negara adalah subjek primer dari hukum internasional dan dengan demikian memiliki
kewajiban dan hak paling besar dalam sistem internasional.
2. Penduduk, jumlah atau kepadatan penduduk tidak penting dalam penentuan status negara.
Satu-satuya kriteria adalah kepermanenan relative (termasuk warga yang nomadik) dari
populasi dan ketentuan bahwa orang hidup dalam suatu komunitas.
3. Wilayah kekuasaan suatu negara udara dan darat, dan jika negara dikelilingi lautan,
mencakup akses ke sumber daya lautan.
4. Pemerintah dan kemampuan menjalin hubungan internasional, pemerintah suatu negara
harus efektif, yang berarti bahwa suatu negara mampu memenuhi prinsip penentuan nasib
sendiri dan merdeka.

C. Aktor-aktor Non negara


1. Individu

Individu adalah satu-satunnya objek hukum internasional klasik. Jika hak individu dilanggar
oleh negara lain, negara individu itu dapat mengadopsi klaim atas nama kebangsaannya,
praktik yang disebut sebagai perlindungan diplomatik.

2. International Organizations

Organisasi internasional adalah kolektivitas negara. Mereka bisa mengambil beragam bentuk-
bisa jadi bilateral, regional, atau global dalam cakupanya, dan mungkin mengurusi persoalan
sempit atau luas.

D. Hukum humaniter internasional (HHI)

2|Page
kadang-kadang disebut "hukum perang" atau " Undang-undang konflik bersenjata atau
hukum humanitarian internasional Hukum konflik bersenjata", mengatur hubungan antara
Negara, organisasi internasional, dan subjek hukum internasional lainnya pada saat konflik
bersenjata. HHI dikembangkan oleh negara melalui perjanjian dan hukum adat. Hukum adat
terbentuk ketika praktik Negara cukup padat (tersebar luas, representatif, sering dan seragam)
dan disertai dengan keyakinan (opinio juris) di antara negara-negara bahwa mereka terikat
secara hukum untuk bertindak – atau dilarang bertindak – dengan cara tertentu. Adat
mengikat semua negara kecuali negara yang terus-menerus menolak praktik atau aturan
tertentu sejak awal. HHI hanya berlaku dalam situasi konflik bersenjata. Ia menawarkan dua
sistem perlindungan: satu untuk konflik bersenjata internasional dan satu lagi untuk konflik
bersenjata non-internasional. Oleh karena itu, aturan yang berlaku dalam situasi tertentu akan
bergantung pada klasifikasi konflik bersenjata. HHI tidak berlaku untuk situasi kekerasan
yang tidak termasuk konflik bersenjata; ini disebut gangguan dan ketegangan internal dan
diatur oleh hukum hak asasi manusia dan undang-undang domestik.

Konflik bersenjata internasional (IAC) adalah konflik di mana satu atau lebih Negara
menggunakan kekuatan bersenjata terhadap Negara atau Negara lain. Aturan yang berlaku
dalam konflik bersenjata internasional juga berlaku selama:

1. Konflik bersenjata antara satu atau lebih negara dan sebuah organisasi internasional (yaitu
kekuatan multinasional);
2. Perang pembebasan nasional (dalam kondisi tertentu); dan *pekerjaan.

Konflik bersenjata non-internasional (KBI) adalah konflik yang terjadi di dalam wilayah
satu negara antara angkatan bersenjata pemerintah dan satu atau lebih kelompok bersenjata
non-negara, atau antara kelompok-kelompok itu sendiri. Banyak konflik bersenjata saat ini
bersifat non internasional. Agar permusuhan dianggap sebagai NIAC, permusuhan harus
mencapai tingkat intensitas tertentu dan kelompok yang terlibat harus cukup terorganisir.

3|Page
Undang-undang konflik bersenjata secara garis besar dibagi menjadi dua kategori: jus ad
bellum (latin untuk “hanya perang”), yang menentukan apakah suatu negara diperbolehkan
menggunakan pasukan, dan jus in bello (Latin untuk “hukum perang”), yang mengatur
hukum konflik bersenjata.

1. Jus ad bellum: Penggunaan kekuatan

Artikel 2 (para.4) dari Piagam PBB (1945) melarang “ancaman atau penggunaan kekuatan
terhadap integritas atau kemerdekaan politik setiap negara, atau dengan cara yang tidak
konsisten dengan tujuan Persatuan Bangsa-Bangsa” (Article 2, para. 4). Apa yang tepatnya
merupakan penggunaan kekuatan (force) tidaklah jelas, tetapi menurut resolusi PBB 1974
yang mendefinisikan agresi, penggunaan kekuatan mencakup antara lain tindakan invasi atas
satu negara oleh negara lain (invasi Ira katas Kuwait), pengeboman oleh satu negara kepada
negara lain (misalnya saat NATO mengebom Kosovo pada 1999), blokade pantai atau
pelabuhan negara lain (misalnya selama krisis misil Kuba pada tahun 1962), dan serangan
angkatan bersenjata negara lain. Diluar dua pengecualian ini, penggunaan kekuatan adalah
topik kontroversial.

2. Jus in bello: hukum kemanusiaan internasional

Hukum kemanusiaan internasional terdiri dari hukum konflik bersejata dan mendefinisikan
kewajiban negara yang terlibat dalam perang, kewajiban negara netral, dan hak, perlindungan
dan tanggung jawab individual. Sampai akhir abad ke-19, kemajuan teknologi militer
mencapai titik di mana senjata menimbulkan penderitaan yang diperlukan bagi tentara
(misalnya, apa yang disebut sebagai peluru dumdum, yang memperbesar dampak dan
menyebabkan penderitaan hebat dan menyulitkan perawatan medis). Empat konvensi Jenewa
(1949) menyangkut perlindungan tentara yang terluka dan sakit di darat (I) dan laut (II),
tahanan perang (POW) (III) dan sipil (IV). Keempat konvensi Jenewa ini sama dengan
Common Article 3 yang mengatur “konflik bersenjata yang bukan berkarakter internasional”,
yang menyatakan bahwa POW dan warga sipil harus diperlakukan secara manusiawi, tak
boleh dijadikan sandera atau tikenai tindakan kekerasan, dan berhak menerima proses yang
adil. Implementasi hukum kemanusiaan internasional adalah tugas dari International
Committee of the Red Cross (ICRC, n.d). ICRC adalah “organisasi imparsial, netral dan
independen yang misi kemanusiaan utamanya adalah melindungi hidup dan martabat korban
konflik bersenjata dan situasi kekerasan lain, dan memberi bantuan kepada mereka” (para 1).

4|Page
E. Perbandingan hukum humaniter internasionala yang telah di rativikasi oleh
Indonesi dengan contoh kasus yang terjadi di Papua.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 melalui UU Nomor 59 tahun
1958 tentang ikut serta Negara Republik Indonesia dalam seluruh konpensi Jenewa
Tanggal 12 Agustus 1949, sudah berusia sekitar 73 tahun pasca penandatangan hukum
ini. Ratifikasi ini memberikan kewajiban bagi Indonesia sebagai negara pihak untuk
memastikan terlaksanannya penghormatan Hukum Humaniter Internasional oleh
Indonesia. Hal ini sebagaimana tercantum pada Article 1 konvensi tersebut yang berbunyi
“The High Contracting Parties undertake to respect and to ensure respect for the present
Convention in all circumstances”. Berdasarkan ratifikasi yang telah dilakukan oleh
pemerintah Indonesia pada tahun 1958 dan hukum ini sudah berlaku sekitar 73 tahun dan
bagaimana perkembangannya saat ini terutama diseluruh daerah Indonesia yang pernah
berkonflik misalnnya konflik Aceh pada 4 desember 1976 yang mana konflik ini telah
berlangsung 30 tahun lamannya dan memakan korban jiwa sekitar 15.000 jiwa. Dalam
konflik ini terjadi banyak pelanggaran hukum humaniter internasional yang telah
diratifikasi contoh peristiwa yang tragis terjadi di Aceh adalah kejadian Lhoksumawe di
Aceh Utara pada tanggal 09 Januari tahun 1999.
Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh rentetan beberapa kejadian sebelumnya yang
berkaitan dengan pemberontakan GAM di Aceh selepas pencabutan status Daerah
Operasi Militer beberapa bulan sebelumnya. Dalam peristiwa berdarah ini 5 orang warga
sipil meninggal dunia, 23 mengalami luka berat serta 21 luka ringan. Kejadian serupa
yang terjadi juga di tanah Papua sebagai daerah konflik dan banyak terjadi pelanggaran
hukum humaniter internasional yang telah diratifikasi misalnnya pasca integrasi Papua ke
Indonesia 1 Mei 1963, dan konflik bergejolak pada tahun 1969 dan jika dihitung sudah
sekitar 53 tahun lamannya Papua berduka dan belum ada titik terang untuk penyelesaian
konflik. Hingga saat ini konflik terus bergejolak terutama di Nduga pada tahun 2018
pengungsi mencapai hampir 8.000 jiwa dan bahkan ada yang meninggal di tempat
pengungsian. Dan juga dibeberapa daerah konflik seperti Intan Jaya, Punca Papua,
Yahukimo, Pegubin dan lainnya. Konflik Papua bisa dikatakan unik karena tidak bisa
diselesaikan seperti Aceh tahun 2005. Beberapa catatan rekomendasi agar tidak terjadi
pelanggaran hukum humaniter adalah membuat buku saku untuk panduan tentang hukum
humaniter internasional yang sudah diratifikasi, kirim tim investigasi yang netral dari
PBB untuk melihat konflik yang terjadi di Papua.
Gubuk, 10 Desember 2022
5|Page

Anda mungkin juga menyukai