Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

HAK ASASI MANUSIA

DISUSUN OLEH :
LUSYANA PAULUS
NIM
201951023
SEMESTER 4
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan yang Maha Esa. Bahwa penulis telah
menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Hukum Humaniter Internasional. Dalam penyusunan makalah
ini, ada sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam
penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-
kendala yang penulis hadapi teratasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

Yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada penulis sehingga penulis termotivasi dan
menyelesaikan makalah ini. Orang tua yang telah turut membantu, membimbing dan mengatasi berbagai
kesulitan sehingga makalah ini selesai.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Oleh karena itu
penulis mengharap kritik dan saran yang membangun guna perbaikan tugas-tugas yang akan datang.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah
ini.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang
membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai, amin.

Mopolo, 23 Januari 2021

Lusyana Paulus
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum Humaniter Internasional memiliki sejarah yang singkat namun penuh peristiwa. Untuk
menghindari penderitaan akibat perang maka baru pada pertengahan abad ke-19 negara-negara
melakukan kesepakatan tentang peraturan-peraturan internasional dalam suatu konvensi yang mereka
setujui sendiri (Lembar Fakta HAM, 1998: 172). Sejak saat itu, perubahan sifat pertikaian bersenjata dan
daya merusak persenjataan modern menyadarkan perlunya banyak perbaiakan dan perluasan hukum
humaniter melalui negosiasi–negosiasi panjang yang membutuhkan kesabaran.
Perkembangan Hukum Humaniter Internasional yang berhubungan dengan perlindungan bagi
korban perang dan hukum perang sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum perlindungan Hak
Asasi Manusia setelah Perang Dunia Kedua. Penetapan instrumen internasional yang penting dalam
bidang Hak Asasi Manusia seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), Konvensi Eropa
tentang Hak Asasi Manusia (1950) dan Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966)
memberikan sumbangan untuk memperkuat pandfangan bahwa semua orang berhak menikmati Hak
Asasi Manusia, baik dalam pada masa perang maupun damai.
Hukum perang atau yang sering disebut dengan hukum Humaniter internasional, atau hukum
sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia, atau sama tuanya
dengan perang itu sendiri. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu kenyataan yang
menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun
perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian membawa keinsyarafan bahwa cara berperang
yang tidak mengenal batas itu sangat merugikan umat manusia, sehingga kemudian mulailah orang
mengadakan pembatasan-pembatasan, menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antara
bangsa bangsa. Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja juga mengatakan bahwa tidaklah mengherankan
apabila perkembangan hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang berdiri sendiri
dimulai dengan tulisantulisan mengenai hukum perang.
Dalam sejarahnya hukum humaniter internasional dapat ditemukan dalam aturan-aturan
keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan modern dari hukum humaniter baru dimulai
pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis, yang
berdasarkan pengalamanpengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum humaniter itu mewakili
suatu keseimbangan antara kebutuhan kemanusiaan dan kebutuhan militer dari negara-negara. Seiring
dengan berkembangnya komunitas internasional, sejumlah negara di Seluruh dunia telah memberikan
sumbangan atas perkembangan hukum humaniter internasional. Dewasa ini, hukum humaniter
internasional diakui sebagai suatu sistem hukum yang benar-benar universal.
Pada umumnya aturan tentang perang itu termuat dalam aturan tingkah laku, moral dan agama.
Hukum untuk perlindungan bagi kelompok orang tertentu selama sengketa bersenjata dapat ditelusuri
kembali melalui sejarah di hampir semua negara atau peradaban di dunia. Dalam peradaban bangsa
Romawi dikenal konsep perang yang adil (just war). Kelompok orang tertentu itu meliputi penduduk
sipil, anakanak, perempuan, kombatan yang meletakkan senjata dan tawanan perang.

B. Identifikasi Masalah
Dalam penulisan makalah ini, permasalahan-permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai
berikut :
1. Mengetahui asas-asas dan prinsip-prinsip dari Hukum Humaniter.
2. Ruang lingkup konflik bersenjata Hukum Humaniter dalam kontek Hukum Internasional .
3. Permasalah dari perang konflik bersenjata dan non bersenjata
C. Tujuan Penulisan
Adapun maksud dan tujuan tim penulis dalam menyusun makalah ini tiada lain adalah sebagai tugas mata
kuliah Hukum Internasional yang di berikan oleh Dosen pembimbing sebagai bahan diskusi dalam proses
pembelajaran bersama pada semester Empat Sekolah Tinggi Hukum Garut.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Humaniter


Istilah hukum humaniter atau lengkapnya international humanitarian law applicable in armed
conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war). Dalam perkembangannya kata-kata perang
(war) menimbulkan ketakutan yang mendalam, sehingga timbul istilah baru yaitu pertikaian bersenjata
(arm conflict) untuk menggantikan istilah perang sekalipun perang masih terjadi di mana-mana. Sesudah
perang dunia II dilakukan upaya-upaya untuk menghindarkan dan bahkan meniadakan perang. Sikap
tersebut berpengaruh dalam penggunaan istilah, sehingga istilah hukum perang berubah menjadi hukum
sengketa bersenjata (laws of armed conflict).
Dalam perkembangan selanjutnya yaitu permulaan abad ke-20 diusahakan untuk mengatur cara
berperang yang dalam penyusunannya dilengkapi dengan konsepsi-konsepsi asas kemanusiaan (humanity
principle), yang pada akhirnya istilah laws of armed conflictmengalami pergeseran dengan istilah baru
International Humanitarian Law Aplicable in Armed Conflict, yang kemudian sering disingkat dengan
istilah international humanitarian law atau hukum humaniter internasional
Walaupun istilah yang digunakan berbeda-beda yaitu hukum perang, hukum sengketa bersenjata,
hukum perikemanusiaan internasional, Hukum Humaniter Internasional (HHI), tetapi semua istilah itu
mempunyai arti yang sama yaitu mengatur tentang tata cara dan metode perang serta perlindungan
terhadap korban-korban perang.

Adapun pengertian perang oleh Francois didefinisikan sebagai keadaan hukum antara negara-
negara yang saling bertikai dengan menggunakan kekuatan militer. Sedangkan
Oppenheimmendefinisikan perang sebagai persengketaan antara dua negara dengan maksud menguasai
lawan dan membangun kondisi perdamaian seperti yang diinginkan oleh yang menang
(Haryomataram1994: 4)

Dalam kepustakaan hukum internasional, istilah hukum humaniter merupakan istilah yang
dianggap relatif baru. Istilah ini baru lahir sekitar tahun 1970-an
Berikut adalah beberapa pengertian hukum humaniter menurut para Ahli :
a. Mochtar Kusumahadmadja
Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan
dengan hukum yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melaksanakan
perang itu sendiri. Batasan Hukum Humaniter Internasional adalah hukum yang mengatur ketentuan
yang memberi perlindungan terhadap korban perang, yang berbeda dengan hukum perang yang mengatur
tentang perang tersebut.
b. International Committee Of The Red Cross (ICRC)
Hukum Humaniter Internasional sebagai ketentuan hukum internasional yang terdapat dalam
perjanjian internasional maupun kebiasaan, yang dimaksudkan untuk mengatasi segala masalah
kemanusiaan yang timbul pada waktu pertikaian bersenjata internasional atau non internasional.
Ketentuan tersebut membatasi, atas dasar kemanusiaan, hak pihak-pihak yang terlibat dalam pertikaian
untuk menggunakan senjata dan metode perang, dalam melindungi orang maupun harta benda yang
terkena pertikaian bersenjata.
c. Geza Herczegh
International humanitarian law hanyalah terbatas pada Hukum Jenewa saja, karena konvensi
inilah yang mempunyai sifat internasional dan humaniter.
d. Jean pictet
International humanitarian law in the wide sense is contitusional legal provition, whether written
and customary, ensuring respect for individual and his well being.

e. Esbjorn Rosendbland
Hukum humaniter internasional mengadakan pembedaan antara : the law of armed conflict, yang
na berperang, status kombatan, perlindungan yang sakit, kombatan dan orang sipil.
f. Panitia Tetap Hukum Humaniter, Departemen Hukum dan Perundang-undangan
Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan internasional baik tertulis
maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia yang bertujuan untuk
menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang.
g. Palang Merah Indonesia (Brosur PMI)
Hukum perikemanusiaan internasional atau juga dikenal dengan hukum humaniter internasional
merupakan bagian dari hukum internasional publik yang bertujuan untuk mengatasi persoalan-persoalan
yang timbul karena pertikaian bersenjata baik internasional maupun non internasional.
Pertikaian bersenjata merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari, oleh karena itu hukum
humaniter tidak bermaksud menghalangi perang. HHI disusun untuk mengatur agar suatu perang dapat
dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Sebagaimana dikemukakan oleh
Mohammad Bedjaoui, bahwa tujuan hukum humaniter adalah memanusiaakan perang. Di samping itu
ada beberapa tujuan hukum humaniter yaitu (Arlina permanasari dkk, 1999:12)
a. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak
perlu;
b. Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh.
Kombatan yang jatuh ke tangan musuh berhak diperlakukan sebagai tawanan perang dan harus dilakukan
secara manusiawi;
c. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Di sini yang penting adalah
asas perikemanusiaan.
Jadi tujuan dari hukum humaniter internasional adalah untuk memberikan perlindungan kepada
korban perang, menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) dan mencegah dilakukannya perang secara kejam.
Hukum humaniter internasional lebih ditujukan untuk kepentingan kemanusiaan, yaitu mengurangi
penderitaan setiap individu dalam situasi konflik bersenjata.
1. Asas-Asas Hukum Humaniter
Asas hukum atau prinsip hukum merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya yang terjelma
dalam peraturan perundang-undangan (Sudikno Mertokusumo, 2003: 34). HHI disusun dengan
berdasarkan asas-asas sebagai berikut (Arlina dkk, 1999:11).
a. Asas kepentingan militer
Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk
menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang.
b. Asas Perikemanusiaan
Menurut asas ini pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, di
mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan
atau penderitaan yang tidak perlu.
c. Asas kesatriaan
Berdasarkan asas ini bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat
yang tidak terhormat, berbagai tipu muslihat dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang.

2. Prinsip-prinsip Hukum Humaniter


Prinsip yang berlaku pada hukum humaniter internasional antara lain:
1. Prinsip kepentingan Militer (Militery Necessity)
Yang dimaksud dengan prinsip ini ialah hak pihak yang berperang untuk menentukan kekuatan yang
diperlukan untuk menaklukan musuh dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dengan biaya yang
serendah-rendahnya dan dengan korban yang sekecil-kecilnya. Namun demikian, perlu diingat pula
bahwa hak pihak yang berperang untuk memiliki alat/senjata untuk menaklukan musuh adalah tidak tak
terbatas.
2. Prinsip Kemanusiaan (Humanity)
Prinsip ini melarang penggunaan semua macam atau tingkat kekerasan (violence) yang tidak diperlukan
untuk mencapai tujuan perang. Orang-orang yang luka atau sakit, dan juga mereka yang telah menjadi
tawanan perang, tidak lagi merupakan ancaman, dan oleh karena itu mereka harus dirawat dan
dilindungi. Demikian pula dengan penduduk sipil yang tidak turut serta dalam konflik harus dilindungi
dari akibat perang.
3. Prinsip Kesatriaan (Chivalry)
Prinsip ini tidak membenarkan pemakaian alat/senjata dan cara berperang yang tidak terhormat.
4. Prinsip pembedaan
Prinsip pembedaan (distinction principle) adalah suatu prinsip atau asas yang membedakan atau
membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang atau sedang terlibat dalam konflik
bersenjata ke dalam dua golongan, yaitu kombatan (combatan) dan penduduk sipil (civilian). Kombatan
adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan (hostilities), sedangkan
penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut serta dalam permusuhan. Perlunya prinsip
pembedaan ini adalah untuk mengetahui mana yang boleh dijadikan sasaran atau obyek kekerasan dan
mana yang tidak boleh dijadikan obyek kekerasan. Dalam pelaksanaannya prinsip ini memerlukan
penjabaran lebih jauh lagi dalam sebuah asas pelaksanaan (principles of application), yaitu :
1. Pihak-pihak yang bersengketa setiap saat harus bisa membedakan antara kombatan dan penduduk
sipil untuk menyelamatkan penduduk sipil dan obyek-obyek sipil.
2. Penduduk sipil tidak boleh dijadikan obyek serangan walaupun untuk membalas serangan
(reprisal).
3. Tindakan maupun ancaman yang bertujuan untuk menyebarkan terror terhadap penduduk sipil
dilarang.
4. Pihak yang bersengketa harus mengambil langkah pencegahan yang memungkinkan untuk
menyelamatkan penduduk sipil atau setidaknya untuk menekan kerugian atau kerusakan yang tidak
sengaja menjadi kecil.
5. Hanya angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh.
6. Rule of Engagement (ROE)
Tidak semua konflik dapat diberlakukan Hukum Humaniter, sehingga Suatu konflik dapat diberlakukan
Hukum Humaniter apabila:
1. Memiliki struktur organisasi.
2. Memiliki kekuatan bersenjata.
3. Memiliki atribut orgnasasi (bendera, seragam).
4. Memiliki wilayah kekuasaan.

B. Hubungan Hukum Humaniter dengan HAM


Tidak selamanya saat perang atau konflik terjadi akan memikirkan tentang HAM, namun antara
Hukum Humaniter dengan HAM tentu memiliki kaitan dan saling berhubungan. Dalam konvensi-
konvensi tentang hak asasi manusia terdapat pula berbagai ketentuan yang penerapannya pada situasi
perang. Konvensi Eropa tahun 1950, misalnya dalam Pasal 15, menentukan bahwa bila terjadi perang
atau bahaya umum lainnya yang mengancam stabilitas nasional, hak-hak yang dijamin dalam konvensi
ini tidak boleh dilanggar. Setidaknya terdapat 7 (tujuh) hak yang harus tetap dihormati, karena
merupakan intisari dari Konvensi ini, yaitu: hak atas kehidupan, hak kebebasan, integritas fisik, status
sebagai subyek hukum, kepribadian, perlakuan tanpa diskriminasi dan hak atas keamanan. Ketentuan ini
terdapat juga dalam Pasal 4 Kovenan PBB mengenai hak-hak sipil dan politik dan Pasal 27 Konvensi
HAM Amerika.
Selain itu, terdapat pula hak-hak yang tak boleh dikurangi (non derogable rights), baik dalam
keadaan damai maupun dalam keadaan sengketa bersenjata. Hak-hak yang tak boleh dikurangi tersebut
meliputi hak hidup, prinsip (perlakuan) non diskriminasi, larangan penyiksaan (torture), larangan berlaku
surutnya hukum pidana seperti yang ditetapkan dalam konvensi sipil dan politik, hak untuk tidak
dipenjarakan karena ketidakmampuan melaksanakan ketentuan perjanjian (kontrak), perbudakan
(slavery), perhambaan (servitude), larangan penyimpangan berkaitan dengan dengan penawanan,
pengakuan seseorang sebagai subyek hukum, kebebasan berpendapat, keyakinan dan agama, larangan
penjatuhan hukum tanpa putusan yang dimumkan lebih dahulu oleh pengadilan yang lazim, larangan
menjatuhkan hukuman mati dan melaksanakan eksekusi dalam keadaan yang ditetapkan dalam Pasal 3
ayat (1) huruf (d) yang bersamaan pada keempat Konvensi Jenewa.
Konferensi internasional mengenai hak asasi manusia yang diselenggarakan oleh PBB di
Teheran pada tahun 1968 secara resmi menjalin hubungan antara Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hukum
Humaniter Internasional (HHI). Dalam Resolusi XXIII tanggal 12 Mei 1968 mengenai “penghormatan
HAM pada waktu pertikaian bersenjata”, meminta agar konvensi-konvensi tentang pertikaian bersenjata
diterapkan secara lebih sempurna dan supaya disepakati perjanjian baru mengenai hal ini. Resolusi ini
mendorong PBB untuk menangani pula Hukum Humaniter Internasional.
Terdapat 3 aliran yang berkaitan dengan hubungan hukum humaniter internasional;
1. Aliran integritas
Aliran integrationis berpendapat bahwa sistem hukum yang satu berasal dari hukum yang lain. Dalam hal
ini, maka ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu:
Hak asasi manusia menjadi dasar bagi hukum humaniter internasional, dalam arti bahwa hukum
humaniter merupakan cabang dari hak asasi manusia. Pendapat ini antara lain dianut oleh Robertson,
yang menyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar bagi setiap orang, setiap waktu dan
berlaku di segala tempat. Jadi hak asasi manusia merupakan genus dan hukum humaniter merupakan
species-nya, karena hanya berlaku untuk golongan tertentu dan dalam keadaan tertentu pula.
Hukum Humaniter Internasional merupakan dasar dari Hak Asasi Manusia, dalam arti bahwa hak asasi
manusia merupakan bagian dari hukum humaniter. Pendapat ini didasarkan pada alasan bahwa hukum
humaniter lahir lebih dahulu daripada hak-hak asasi manusia. Jadi secara kronologis, hak asasi manusia
dikembangkan setelah hukum humaniter internasional.
2. Aliran Separatis
Aliran separatis melihat Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional sebagai sistem hukum
yang sama sekali tidak berkaitan, karena keduanya berbeda. Perbedaan kedua sistem tersebut terletak
pada obyek, sifat, dan saat berlakunya.
3. Aliran komplementaris
Aliran Komplementaris melihat Hukum Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional melalui
proses yang bertahap, berkembang sejajar dan saling melengkapi.
Dengan demikian, walaupun hukum humaniter berlaku pada waktu sengketa bersenjata dan hak asasi
manusia berlaku pada waktu damai. Namun inti dari hak-hak asasi atau “hard core rights” tetap berlaku
sekalipun pada waktu sengketa bersenjata. Keduanya saling melengkapi. Selain itu, ada keterpaduan dan
keserasian kaidah-kaidah yang berasal dari instrumeninstrumen hak asasi manusia dengan kaidah-kaidah
yang berasal dari instrumeninstrumen hukum humaniter internasional. Keduanya tidak hanya mengatur
hubungan diantara negara dengan negara dengan menetapkan hak-hak dan kewajiban mereka secara
timbal balik.
C. Perang, Konflik Bersenjata dan Damai
Secara implisit dalam pengertian perjuangan Nasional atau memperjuangkan kepentingan Nasional, tidak
dapat dilepaskan dengan kemungkinan-kemungkinan adanya pertentangan kepentingan dengan bangsa
lain, bahkan pula pertentangan kepentingan antar kelompok dalam tubuh bangsa sendiri. Dari sini
timbullah situasi konflik. Penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan akomodasi, integrasi secara
konsensus tanpa kekerasan. Banyak dilakukan dengan tekanan dan kekerasan, tidak terbatas selalu
dengan kekerasan senjata, tetapi dengan bentuk-bentuk kekerasan yang meliputi bidang kehidupan,
apakah politik, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.
Perang adalah pelaksanaan atau bentuk konflik dengan intensitas kekerasan yang tinggi. Von Clausewitz,
seorang militer dan filsuf Jerman mengatakan antara lain bahwa perang adalah kelanjutan politik dengan
cara-cara lain. Dengan prinsip tersebut ia melihat bahwa hakekat kehidupan bangsa adalah suatu
perjuangan sepanjang masa dan dalam hal ini ia identikkan politik dengan perjuangan tersebut.
Sementara Indonesia menganut pendirian bahwa Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang cinta damai
tetapi lebih cinta kemerdekaannya. Pada hakekatnya perang adalah mematahkan semangat musuh untuk
melawan.
Dahulu rakyat tidak mengetahui adanya perang, karena peperangan dilakukan oleh dua negara dengan
masing-masing menggunakan prajuritnya bahkan prajurit sewaan. Saat ini, bersamaan dengan
tumbuhnya demokrasi dalam pemerintahan dan dukungan teknologi yang cepat, maka berubahlah perang
dan konflik antar negara menjadi sangat luas dan kompleks. Dalam alam demokrasi, perang dan konflik
telah melibatkan secara politis seluruh rakyat negara yang bersangkutan. Dengan alat-alat komunikasi
mutakhir setiap manusia dimanapun berada akan dapat dijangkau oleh radio, bahkan televisi, sarana
komunikasi dan informasi lainnya sebagai alat konflik yang akan mempengaruhi pikirannya.
Negara yang memulai perang, melakukannya dengan melancarkan serangan berkekuatan militer terhadap
Negara yang hendak ditundukkannya. Serangan dengan kekuatan militer dapat berupa satu ofensif luas
yang dinamakan invasi, juga dapat berupa serangan dengan sasaran terbatas. Hal ini, mencerminkan
adanya konflik bersenjata dimana pihak-pihak yang berperang menggunakan kemampuan senjata yang
dimiliki. Konflik bersenjata umumnya terjadi antar Negara, namun konflik bersenjata bukan perang dapat
terjadi di dalam suatu Negara sebagai usaha yang dilakukan daerah untuk memisahkan diri atau gerakan
separatisme dengan menggunakan kekerasan senjata, dan usaha terorisme baik yang bersifat nasional
maupun internasional. Masalah-masalah tersebut, ada yang berkembang sepenuhnya sebagai usaha
domestik karena dinamika dalam satu Negara, tetapi juga ada yang terjadi karena peran atau pengaruh
Negara lain. Meskipun masalah-masalah itu tidak termasuk perang, dampaknya bagi Negara yang
mengalami bisa sama atau dapat melebihi.
Dewasa ini (pada masa damai), sering terjadi konflik di dalam suatu Negara yang dipandang akan
berdampak langsung maupun tidak langsung bagi stabilitas suatu Negara. Kesalahan tindakan preventif
terhadap konflik yang terjadi, akan berakibat fatal bagi keutuhan sebuah Negara. Pengalaman
penanganan konflik etnik yang melanda Uni Soviet dan Negara-negara bagian, misalnya, menyadarkan
banyak Negara akan arti pentingnya tindakan preventif untuk pencegahan konflik, agar tidak berdampak
negatif bagi keamanan nasional mereka. Pengalaman Uni Soviet, yang gagal untuk mengantisipasi
konflik menyebabkan Negara tersebut runtuh menjadi serpihan-serpihan Negara kecil, ternyata telah
menyadarkan banyak Negara akan dampak langsung konflik bagi aspek pertahanan. Begitu pula sulitnya
penanganan konflik yang dipicu oleh masalah identitas agama yang menyebabkan konflik, yang belum
kunjung selesai di India antara Hindu dan Muslim sehingga Muslim membentuk identitas tersendiri sejak
akhir abad 19 mendorong setiap Negara untuk mengantisipasi sifat dan jenis-jenis konflik yang mungkin
berdampak bagi faktor keamanan dan pertahanan.

D. Jenis-jenis Konflik Bersenjata


Secara garis besar, hanya ada dua bentuk konflik bersenjata saja yang diatur dalam Hukum Humaniter
sebagaimana yang dapat dilihat dan mengkaji konvensi-konvensi jenewa 1949 dan Protokol Tambahan
1977 yaitu : 1). “sengketa atau konflik bersenjata yang bersifat internasional” (international armed
conflict); serta 2.) “sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional” (non-international armed
conflict). Pembagian dua bentuk konflik ini adalah juga menurut Haryomataram.
Selain Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan, para pakar Hukum Humaniter telah mengajukan
bentuk konflik bersenjata, antara lain :
Starke, membagi konflik bersenjata menjadi dua, yaitu war proper between States, and armed conflict
which are not of the character of war. Mengenai “armed conflict” yang menjadi pihak belum tentu negar,
dapat juga bukan negara menjadi pihak dalam konflik tersebut. Ditambahkan pula bahwa “war proper”
adalah “declared war”, yaitu perang yang didahului dengan suatu “declaration of war”.
Shigeki Miyazaki, pakar ini menjabarkan konflik bersenjata sebagai berikut :
- Konflik bersenjata antara pihak peserta konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan
1977. Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 1 dan Protokol I, Pasal 1, Paragraf 3.
- Konflik bersenjata antara pihak peserta (negara) dengan bukan pihak peserta (negara atau
penguasa de facto), misalnya penguasa yang memimpin kampanye pembebasan nasional
yang telah menerima Konvensi Jenewa dan/atau Protokol. Konvensi Jenewa Pasal 2,
Paragraf 4, Protokol Tambahan I, Pasal 1, Paragraf 4, Pasal 96, Paragraf 2.
- Konflik bersenjata antar pihak peserta (negara) dan bukan pihak peserta (negara atau
penguasa de facto), yang belum menerima baik Konvensi Jenewa maupun Protokol.
Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 4, Marthen Clause, Protokol II (penguasa : authority).
- Konflik bersenjata antara dua bukan pihak peserta (non-contracting parties). Konvensi
Jenewa, Pasal 2, Paragraf 4, Kovensi Jenewa Pasal 3 (penguasa), Marthen Clause, Protokol
2 (penguasa).
- Konflik bersenjata yang serius yang tidak bersifat internasional (pemberontakan). Konvensi
Jenewa, Pasal 3, Protokol 2, Hukum Internasional Publik.
- Konflik bersenjata yang lain. Kovenan Internasional HAM, Hukum Publik (Hukum Pidana).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hukum Humaniter Internasional membedakan dua jenis pertikaian bersenjata, yaitu sengketa
bersenjata yang bersifat internasional dan yang bersifat non-internasional. Menurut Mochtar
Kusumaatmadja hukum humaniter adalah Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan
perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang iu sendiri dan segala
sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri. Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk
melarang perang, atau untuk mengadakan undang-undang yang menentukan permainan “perang”, tetapi
karena alasan-alasan perikemanusiaan untuk mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu
dan untuk membatasi wilayah dimana kebuasan konflik bersenjata diperbolehkan.

B. Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan kepada mahasiswa dapat mengetahui dan memahami
tentang Hukum Humaniter Internasional lebih khusus lagi mengenai jenis-jenis konflik bersenjata.
Kita sebagai manusia tentu masih banyak kekurangan oleh karena itu marilah kita bersama saling
mengisi kekurangan itu dengan berbagi pengetahuan. Tim penulis menyadari bahwa kemampuan yang
dimiliki masih sangat kurang dan sangat terbatas untuk meningkatkan kemampuan penulis maka sangat
diharapkan sumbangan-sumbangan pemikiran dari mahasiswa lainnya / pembaca. Karena tim penulis
memahami sebagai seorang mahasiswa yang masih dalam tahap pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA

- Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, S.H, LLM, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949,
Alumni, Bandung, 2002
- Zulkarnain, S.H, M.H & Insarullah, S.H, Buku Ajar Hukum Humaniter dan HAM,
Fakultas Hukum Untad, Palu, 2002
- http://dewaarka.wordpress.com/2010/03/08/hukum-humaniter-internasional/
- http://soegenghardjowinoto.dosen.narotama.ac.id/2012/02/08/overview-hukum-
humaniter-internasional/
- http://gumilaradinata13.blog.com/2012/01/30/konflik-ri-opm-dalam-perspektif-hukum-
humaniter-internasional/

Anda mungkin juga menyukai