Anda di halaman 1dari 18

library.uns.ac.

id 24
digilib.uns.ac.id

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Hukum Humaniter Internasional
a) Pengertian Hukum Humaniter
Hukum humaniter atau lengkapnya disebut International Humanitarian
Law Applicable in Armed Conflict berawal dari istilah hukum perang (laws
of war), yang di kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata
(laws of armed conflict), yang akhirnya pada saat ini biasa dikenal dengan
istilah hukum humaniter (Droege 2007:323).
Hukum Humaniter Internasional (atau lazim ditulis hukum humaniter)
yang telah dikenal dan dipelajari dewasa ini merupakan salah satu cabang dari
hukum internasional (international law). Dengan perkataan lain Hukum
Humaniter merupakan bagian dari hukum internasional. Oleh karena itu,
karakteristik Hukum Humaniter tidak berbeda dengan hukum internasional,
misalnya yang berkaitan dengan sumber-sumber hukumnya yang juga
mengacu kepada Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional (the
Statuta of International Court of Justice/ICJ), yaitu meliputi: perjanjian
internasional, hukum kebiasaan internasional prinsip-prinsip umum hukum
(general principles of law), yurisprudensi dan doktrin atau pendapat para ahli
yang telah diakui kepakarannya atau reputasinya.
Haryomataram, membagi Hukum Humaniter menjadi dua aturan-
aturan pokok, yaitu (Haryomataram 1994: 2):
1) Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk
berperang (Hukum Den Haag / The Hague Laws);
2) Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan
penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa / The Genewa Laws)
Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang sebagai berikut:
1) Jus ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal
bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata;
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2) Jus in bello yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi
2 (dua) yaitu:
i. Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war).
Bagian ini biasanya disebut The Hague Laws.
ii. Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban
perang. Ini lazimnya disebut The Genewa Laws.
Dalam kepustakaan hukum humaniter istilah hukum humaniter
merupakan istilah yang dianggap relatif baru. Istilah ini baru lahir sekitar
tahun 1970-an, ditandai dengan diadakannya Conference of Government
Expert on the Reaffirmston and Development in Armed Conflict pada tahun
1971 (Cullen 2010:27). Selanjutnya pada tahun 1974, 1975, 1976 dan 1977
diadakan Diplomatic Conference on the Reaffirmation and Development of
International Humanitarian Law Apllicable in Armed Conflict.
Hukum Humaniter Internasional merupakan suatu instrumen kebijakan
dan sekaligus pedoman teknis yang dapat digunakan oleh semua aktor
internasional untuk mengatasi isu internasional berkaitan dengan kerugian
dan korban perang. Mengurangi penderitaan korban perang tidak cukup
dengan membagikan makanan dan obat-obatan, tetapi perlu disertai upaya
mengingatkan para pihak yang berperang agar operasi tempur mereka
dilaksanakan dalam batas-batas perikemanusiaan (Schmitt 2011:101). Hal
tersebut dapat terlaksana apabila pihak-pihak yang terkait menghormati dan
mempraktikkan Hukum Humaniter Internasional, karena Hukum Humaniter
Internasional memuat aturan perlindungan korban konflik serta tentang
pembatasan alat dan cara berperang.
Hukum Humaniter Internasional atau “hukum perang” terdiri dari
batas-batas yang ditetapkan oleh hukum internasional di mana digunakan
kekuatan yang diperlukan untuk menundukkan musuh, dan prinsip-
prinsipnya menentukan perlakuan terhadap individu-individu selama perang
atau konflik bersenjata (Astuti 2020:57). Tanpa adanya peraturan seperti itu,
kebiadaban dan kebrutalan perang tak akan ada batasnya. Hukum dan
commit to user

25
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kebiasaan ini muncul dari praktek-praktek yang sudah berjalan lama oleh
negara-negara yang berperang.
Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, maka terdapat
rumusan atau definisi mengenai hukum humaniter dari para ahli, dengan
ruang lingkupnya. Rumusan-rumusan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Menurut Jean Pictet (Angga 2018:14):
“international humanitarian law in the wide sense is constitutional legal
provision, whether written and customary, ensuring respect for individual
and his well being”.
2) Geza Herzegh merumuskan hukum humaniter internasional sebagai
berikut (Herczegh 2006:1):
“part of the rules of public international law which serve as the protection
of individuals in time of armed conflict. Its place is beside thr norm of
warfare it is closely related to them but must be clearly distinguish from
these its purpose and spirit being different”.
3) Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa hukum humaniter adalah
(Kusumaatmadja 2012:327):
“bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan
korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu
sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu
sendiri”.
4) Esbjorn Rosenbland, merumuskan hukum humaniter internasional dengan
mengadakan pembedaan antara (Rosenbland 1973:91):
The Law of Armed Conflict, berhubungan dengan:
i. Permulaan dan berakhirnya pertikaian;
ii. Penduduk wilayah lawan;
iii. Hubungan pihak bertikai dengan negara netral;
Law of Warfare; ini antara lain mencakup:
i. Metoda dan sarana berperang;
ii. Status kombatan;
commit
iii. Perlindungan yang sakit, to user
tawanan perang dan orang sipil.

26
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

5) Panitia Tetap (Pantap) Hukum Humaniter, Departemen Hukum dan


Perundang-undangan merumuskan sebagai berikut:
“Hukum humaniter sebagai keseluruhan prinsip, kaidah dan ketentuan
internsional baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum
perang dan hak prinsip manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan
terhadap harkat dan martabat seseorang”.
Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, karena
dari sudut pandang hukum humaniter perang merupakan suatu kenyataan
yang tidak dapat dihindari (Meron 2000: 243). Hukum humaniter mencoba
untuk mengatur agar perang dapat dilakukan dengan lebih memerhatikan
prinsip-prinsip kemanusiaan (Hilhorst & Schiemann 2002: 491). Berdasarkan
penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum humaniter pada
hakikatnya tidak melarang perang, tetapi mengatur perang. Dalam hal ini,
hukum humaniter mengatur alat dan cara berperang, serta mengatur
perlindungan terhadap korban perang.
b) Sumber-sumber Hukum Humaniter
Untuk mengetahui sumber-sumber hukum international, kita dapat
mengacu pada Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional disebutkan
bahwa sumber hukum yang dapat diterapkan, yaitu:
1) International convention, whethere general of particular, establishing
rules expressly recognized by the contesting states;
2) International custom, as evidence of a general practice accepted as law;
3) The general principles of law recognized by civilzed nations;
4) Subject to the provisions of Article 59, judicial decision and the teaching
of the most highly qualified publicist of the various nations, as subsidiary
means for the determinations of rules of law”.
Hukum humaniter terdiri dari Hukum Jenewa, Hukum Den Haag dan
Protokol Tambahan. Hukum Jenewa mengatur perlindungan terhadap korban
perang, sedangkan Hukum Den Hag mengatur mengenai cara dan alat
berperang. Kedua ketentuan hukum tersebut merupakan sumber hukum
humaniter yang utama, selain konvensi-konvensi dan protokol tambahan
lainnya (Arlina Permatasari, 1999: 22).
commit to user

27
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Namun ada beberapa sumber hukum yang dapat dijadikan rujukan pada
pembahasan tentang penerapan pengaturan AWS dewasa ini. Ada beberapa
pasal didalam Protokol Tambahan 1 tahun 1997 dan Convention on Certain
Conventional Weapons (CCW). Berdasarkan aturan nomor 36 Protokol
Tambahan 1 dan hukum kebiasaan internasional, negara harus memastikan
bahwa Angkatan bersenjata dari suatu negara dapat melakukan pertempuran
berasarkan prinsip dan peraturan hukum humaniter internasional.
c) Prinsip Dalam Hukum Humaniter Internasional
Hukum Humaniter Internasional mengandung beberapa prinsip pokok
yaitu prinsip kepentingan militer (military necessity principle), prinsip
perikemanusiaan (humanity principle) dan prinsip kesatriaan (chivalry
principle) (Imseis 2005:113).
Hukum humaniter saat ini belum mengatur tentang AWS itu sendiri,
namun dengan adanya prinsip-prinsip dalam hukum humaniter dapat menjadi
rujukan untuk mengetahui apakah prinsip-prinsip tersebut dapat diterapkan
dalam AWS itu sendiri. Berikut penjelasan tentang Prinsip-prinsip yang
terdapat dalam hukum humaniter:
1) Prinsip Kepentingan Militer (Military Necessity Principle)
Prinsip ini mengandung arti bahwa suatu pihak yang bersengketa
(belligerent) mempunyai hak untuk melakukan setiap tindakan yang dapat
mengakibatkan keberhasilan suatu operasi militer, namun sekaligus tidak
melanggar hukum perang (Roberts 2007: 441). Prinsip ini bertujuan untuk
mempertegas hak dari para pihak yang berperang untuk menentukan
kekuatan yang diperlukan untuk menaklukan musuh dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya dengan biaya yang serendah-rendahnya dan dengan
korban yang sekecil-kecilnya (Roberts 2007: 443). Namun demikian, perlu
diingat pula bahwa hak pihak yang berperang untuk memiliki alat/senjata
untuk menaklukan musuh adalah tidak tak terbatas (Huber 2002: 138).
Prinsip kepentingan militer ini dalam pelaksanaannya sering pula
dijabarkan dengan adanya penerapan prinsip pembatasan (limitation
commit to user (proportionally principle) (Gunn
principle) dan prinsip proporsionalitas

28
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2005: 465). Prinsip pembatasan adalah suatu prinsip yang menghendaki


adanya pembatasan terhadap sarana atau alat serta cara atau metode
berperang yang dilakukan oleh pihak yang bersengketa, seperti adanya
larangan penggunaan racun atau senjata beracun, larangan adanya
penggunaan peluru dum-dum, atau larangan menggunakan suatu proyektil
yang dapat menyebabkan luka-luka yang berlebihan (superfluous injury)
dan penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering); dan lain-lain
(Solf 1986:117). Adapun prinsip proporsionalitas menyatakan bahwa
kerusakan yang akan diderita oleh penduduk sipil atau objek-objek sipil
harus proporsional sifatnya dan tidak berlebihan dalam kaitan dengan
diperolehnya keuntungan militer yang nyata dan langsung yang dapat
diperkirakan akibat dilakukannya serangan terhadap sasaran militer
(Fenrick 1982: 91).
2) Prinsip Kemanusiaan (Humanity Principle)
Berdasarkan prinsip ini, maka pihak yang bersengketa diharuskan
untuk memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan, di mana mereka
dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka-
luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu (Mero 2000:80).
Prinsip ini melarang penggunaan semua macam atau tingkat kekerasan
(violence) yang tidak diperlukan untuk mencapai tujuan perang (Droege
2012:545). Orang-orang yang luka atau sakit, dan juga mereka yang
telah menjadi tawanan perang, tidak lagi merupakan ancaman, dan
oleh karena itu mereka harus dirawat dan dilindungi. Demikian pula
dengan penduduk sipil yang tidak turut serta dalam konflik harus
dilindungi dari akibat perang (Droege 2012:545). Berperang memerlukan
persenjataan, itu sudah pasti yang menjadi masalah adalah bagaimana
“menggunakannya secara manusiawi”. Penggunaan senjata sudah pasti
tidak manusiawi, senjata sudah tentu menimbulkan luka dan menyebabkan
kematian. Maka dari itu adanya prinsip kemanusiaan menjadi landasan di
dalam ketentuan hukum humaniter (Meron 2000:247).
commit
3) Prinsip Kesatriaan (Chivalry to user
Principle)

29
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Prinsip ini mengandung arti bahwa di dalam suatu peperangan,


kejujuran harus diutamakan. Prinsip ini tidak membenarkan pemakaian
alat/senjata dan cara berperang yang tidak terhormat. Prinsip ini
merupakan sisa dari sifat-sifat ksatriaan yang dijunjung tinggi oleh para
ksatria pada masa silam. Penggunaan alat-alat yang ilegal atau
bertentangan dengan Hukum Humaniter serta cara-cara berperang yang
bersifat khianat dilarang (Wickens 1994:202). Prinsip kesatriaan
tergambar di dalam hampir semua ketentuan Hukum Humaniter. Sebagai
contoh, mengenai permulaan perang (the commencement of hostilities)
ditentukan bahwa peperangan tidak akan dimulai tanpa adanya suatu
peringatan yang jelas sebelumnya (previous and explicit warning), baik
dalam bentuk pernyataan perang (declaration of war) beserta alasannya,
atau suatu ultimatum perang yang bersyarat (ultimatum with conditional
declaration of war) (Grynaviski 2013:251).
Hukum Humaniter mengatur peperangan itu sendiri akan tetapi
pengaturannya tidak dapat hanya semata-mata mengakomodir prinsip
kepentingan militer dari pihak yang bersengketa saja, melainkan pula harus
mempertimbangkan ke-tiga prinsip lainnya (Droege 2012:545). Demikian
pula sebaliknya, penerapan AWS tidak mungkin hanya mempertimbangkan
aspek kemanusiaan dari peperangan itu tanpa mempedulikan aspek-aspek
operasi militer. Tanpa adanya keseimbangan dari ke-tiga prinsip-prinsip ini,
maka mustahil akan terbentuk aturan-aturan mengenai AWS (Droege
2012:545).

commit to user

30
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2. Autonomous Weapos System Sebagai Alat Perang

a) Alat perang
Dalam konflik bersenjata atau perang, setiap masing-masing pihak
yang bertikai memiliki senjata perang. Senjata ini dimaksudkan dengan
tujuan untuk mepermudah masing-masing pihak yang bertikai dalam
menggapai kemenangan. Senjata sendiri memiliki arti yaitu suatu alat yang
digunakan untuk melukai, membunuh, atau menghancurkan suatu benda.
Senjata dapat digunakan untuk mempertahankan diri, dan juga untuk
mengancam dan melindungi. Adapun yang dapat digunakan untuk merusak
(baik dalam arti merusak psikologi maupun fisik manusia) (Howard 1999:
24).

Senjata juga dapat dikategorikan kedalam 3 (tiga) jenis utama yaitu


berdasarkan (Jaiswal 2012: 112):
1) Siapa yang memakainya;
2) Cara pemakaiannya;
3) Apa targetnya.
Kategori senjata yang termasuk dalam senjata paling mematikan atau
pembunuh masal yaitu (Kleck 1991:671):
1) Senjata nuklir, senjata yang mendapat tenaga dari reaksi nuklir dan
mempunyai daya pemusnah yang dahsyat dan bahkan mampu
menghancurkan kota
2) Senjata kimia, senjata yang memanfaatkan racun senyawa kimia untuk
membunuh, melukai, atau melumpuhkan musuh. Penggunaan senjata
kimia ini berbeda dengan senjata konvensional maupun senjata nuklir
karena efek merusak pada senjata kimia ini bukan pada daya ledaknya.
3) Senjata biologis, senjata yang emnggunakan patogen (bakteri, virus, atau
organisme penghasil penyakit lainnya) sebagai alat pembunuh, melukai
atau melumpuhkan musuh.
4) Drone, Unmanned Aerial Vehicle (UAV) atau yang dik enal dengan Drone
commit to user
merupakan kendaraan udara tanpa awak yang dikendalikan dari jarak jauh

31
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

oleh manusia sebagai pilotnya atau melalui program yang telah ditentukan.
b) Autonomous Weapon System
Autonomous Weapons System (AWS) didefinisikan oleh Departemen
Pertahanan AS sebagai “sistem senjata yang, setelah diaktifkan, dapat
memilih dan menggunakan target tanpa intervensi lebih lanjut oleh operator
manusia.” (The American Society of International Law, 2013). Tanda
pembeda menjadi penting dari penalaran manusia adalah kapasitas untuk
menetapkan tujuan dan sasaran, AWS menyarankan untuk pertama kalinya
kemungkinan menghilangkan operator manusia dari medan perang. Oleh
karena itu, pengembangan teknologi AWS dalam skala luas merupakan
potensi untuk transformasi dalam struktur perang yang secara kualitatif
berbeda dari inovasi teknologi militer sebelumnya.
Autonomous Weapon System ialah sebuah senjata yang dapat memilih
dan menyerang target secara independendan mandiri (Davison 2018:6). AWS
adalah sebuah sistem yang dapat diaplikasikan di berbagai alat atau senjata
perang, seperti Drone yang dimiliki oleh Israel yang merupakan anti-radar
attack system yang mematikan dan ia berkeliaran di runag udara medan
perang, mendeteksi dan mengidentifikasi emitter radar, terbang
mendekatinya dan memusnahkannya (Davison 2018:6). Kemudian rudal
yang dimiliki oleh Angkatan Laut Amerika yang bernama “Phalanx”. Senjata
ini mampu mengidentifikasi serta menembak rudal atau misil yang datang
secara otomatis dan sudah ada beberapa negara yang mengembangkan serta
menggunakan sistem tersebut (Cooke 2017: 28). Tidak menutup
kemungkinan di masa yang akan datang seiring pesatnya perkembangan
teknologi di bidang militer “killer robot” atau robot pembunuh yang
menggunkan system AWS yang dilengkapi pula dengan AI suatu saat akan
digunakan sebagai senjata dalam suatu konflik bersenjata (Anderson &
Waxman 2017 148).
Kementrian Pertahanan Britania Raya mendefinisikan AWS sebagai
berikut (Rebecca 2015: 4): “A capable of understanding higher level intent
commit to user
and direction. From this understanding and its prception of its environment,

32
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

such a system is able to take appropriate action to bring about a desired state.
It is capable of deciding a course of action, from a number of alternatives,
without depending on huan oversight and control, although these may still be
present. Although the overall activity of an autonomous unmanned will be
predictable individual actions may not be.” (Rebecca 2015)
Dalam hal penggunaan AWS, kontrol atau pengawasan manusia
dilakukan dalam berbagai bentuk dan derajat dalam 2 (dua) tahap, yaitu tahap
pengembangan dan pengujian sistem senjata (development stage), dan tahap
pengaktifan sejata yang berdasarkan keputusan komandan atau operator
(activation stage) (Amoroso 2020: 61). Dalam tahap pengembangan, kontrol
manusia dilakukan dengan melakukan pemrograman sistem senjata dan
desain teknis senjata, menentukan parameter operasional senjata yang harus
diintergrasikan ke dalam instruksi militer, seperti membatasi penggunan
sistem senjata pada situasi tertentu, dan membatasi pergerakan senjata dalam
ruang dan waktu. Sementara dalam tahap pengaktifan, kontrol manusia
dilakukan dengan mengaktifkan senjata, yang melibatkan keputusan
komandan atau operator untuk menggunakan sistem senjata tertentu, dengan
tujuan tertentu (Amoroso 2020: 61). Setelah senjata diaktifkan, maka operasi
sistem senjata akan tergantung pada kinerja teknis senjata dalam keadaan
penggunaan tertentu, sebagaimana ditentukan dan diuji pada tahap
pengembangan. Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat tahapan ketiga, yaitu
tahap pengoperasian AWS yang tidak tidak membutuhkan pengawasan atau
kontrol manusia, karena dalam pengoperasiannya, AWS akan beroperasi
dengan bergantung pada sistem operasional senjata yang sudah ditetapkan,
dan secara mandiri memilih serta menyerang target penyerangan (Amoroso
2020: 72).
AWS tidak diatur dan ditentukan sebelumnya spesifik target dan
parameter untuk dapat bertindaknya, melainkan menilai sendiri sendiri suatu
keadaan dan memutuskan secara independen apakah akan bertindak atau
tidak. Senjata ini digunakan dalam situasi atau keadaan yang dinamis dan
tidak terstruktur, khususnya commit to userpeperangan atau konflik bersenjata
seperti dalam

33
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

yang bisa menyebabkan kekacauan (Schmitt 2004: 511).


Memahami lebih dalam tentang AWS pada arah yang lebih tinggi,
sistem seperti ini mampu mengambil tindakan yang tepat untuk mencapai
keadaan yang diinginkan. Sistem senjata ini mampu memutuskan suatu
tindakan, dari sejumlah alternatif, tanpa tergantung pada pengawasan dan
kontrol manusia, meskpun mungkin masih hadir nantinya. Meskipun aktivitas
keseluruhan otonom pesawat tanpa awak akan dapat diprediksi, tindakan
individu mungkin tidak bias diprediksi (Altmann 2019: 3).
Terlepas dari definisi apa yang lebih tepat, AWS intinya adalah sebuah
sistem senjata yang independen dapat memilih, menentukan dan menyerang
target serta mempunyai kemampuan untuk menilai sendiri suatu situasi.

3. Konflik Bersenjata
Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict
merupakan suatu keadaan yang tidak asing lagi di mata dunia internasional
(Michael 1966:12). Dalam kurun waktu sekitar 60 tahun belakangan ini setelah
munculnya Konvensi-konvensi Jenewa 1949, umat manusia mengalami konflik
bersenjata dengan jumlah yang sangat besar. Hampir di setiap negara mengalami
konflik bersenjata.
Terjadinya konflik bersenjata diawali dari adanya pertentangan
kepentingan dengan bangsa lain atau pertentangan antar kelompok dalam suatu
bangsa sendiri. Secara implisit, hal ini dapat disebut sebagai suatu bentuk
perjuangan nasional atau memperjuangkan kepentingan nasional (Diehl &
Goertz 2002: 135). Berdasarkan jumlah konflik bersenjata yang telah ataupun
sedang terjadi di berbagai negara di dunia, konflik tersebut dapat dibedakan
menjadi konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non internasional
(konflik dalam negeri) (Dienstein 2021: 202).
Konflik bersenjata baik yang berupa perang atau konflik bersenjata lainnya
adalah suatu keadaan yang sangat dibenci oleh bangsa-bangsa beradab diseluruh
dunia dan harus dihindari, karena akan mengakibatkan kesengsaraan dan
commit to user

34
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

penderitaan bagi umat manusia. Oleh karena itu dengan alasan apapun perang
sebisa mungkin harus dihindari (Howard 1984: 46).
Konflik bersenjata adalah suatu peristiwa penuh dengan kekerasan dan
permusuhan antara pihak-pihak yang bertikai. Dalam sejarah konflik bersenjata
telah terbukti bahwa konflik tidak saja dilakukan secara adil, tetapi juga
menimbulkan kekejaman. Dapat dipastikan bahwa konflik bersenjata tidak bisa
dihindarkan dari jatuhnya korban, baik pihak kombatan maupun dari pihak
penduduk sipil yang tidak ikut berperang, baik golongan tua maupun golongan
muda, wanita dan anak-anak. Akibat dari konflik bersenjata dapat mengenai
siapa saja yang berada dalam daerah konflik tersebut (Howard 1984: 53).
Konflik bersenjata berdasarkan hukum humaniter menurut Pietro Verri,
isitilah konflik bersenjata (armed conflict) merupakan ungkapan umum yang
mencakup segala bentuk konfrontasi beberapa pihak, yaitu (Pietro Verri, 1992:
34):
1) Dua Negara atau lebih;
2) Suatu Negara dengan suatu entitas bukan-Negara;
3) Suatu Negara dan suatu faksi pemberontak; atau
4) Dua kelompok etnis yang berada di dalam suatu Negara.
Bentuk konflik bersenjata seperti konfrontasi dengan beberapa pihak
contohnya bentuk konflik bersenjata ini, yakni konfrontasi antara dua Negara
atau lebih sering disebut dengan istilah “perang” (war). Perang adalah sengketa
bersenjata antara dua Negara atau lebih, yang dilaksanakan oleh Angkatan
Bersenjata masing_masing negara dan diatur dalam hukum humaniter
internasional (Brooks 2004: 675).
Tidak semua tindakan kekerasan antara dua Negara merupakan perang.
Terdapat perbedaan mengenai peristiwa-peristiwa yang melibatkan penggunaan
pasukan bersenjata akan tetapi hanya dipakai dalam bentuk dan jumlah yang
terbatas, yang tidak mempengaruhi tingkat perdamaian antar kedua negara; serta
bentuk-bentuk penggunaan pasukan bersenjata yang memang merupakan perang
(Manner 1943: 412).
commit
Banyak sekali jenis konflik yang to user saat ini, namun ada beberapa atau
terjadi

35
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

tidak semua konflik yang ada diatur dalam hukum humaniter internasional
walalupun konflik tersebut menggunakan senjata serta mengakibatkan
kerusakan dan kehancuran. Pada umumnya, suatu konflik bersenjata akan
diasumsikan sebagai konflik internasional atau non-internasional, namun
demikian pada praktiknya tidak selalu demikian. Suatu konflik bersenjata non-
internasional dapat berubah karakter menjadi konflik bersenjata yang
diinternasionalisasikan ketika intervensi suatu negara asing memasuki arena
konflik internal (Gasser 1983: 145).
Pada saat ini, konflik yang lebih banyak terjadi bukanlah konflik antar
negara, tetapi lebih banyak antara negara dengan kelompok bersenjata yang
terorganisasi, atau antar kelompok yang serupa, yang sifatnya bukanlah konflik
internasional. Konflik seperti ini memiliki banyak istilah antar lain perang
saudara, pemberontakan, revolusi, terorisme, perang gerilya, perlawanan,
pemberontakan internal, atau perang untuk menentukan nasib sendiri (Kretzmer
2009: 13). Pengaturan Hukum Humaniter Internasional mengenai konflik
bersenjata non internasional dapat ditemukan pada Pasal 3 ketentuan yang
bersamaan dari Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II
1977. Sejumlah perjanjian mengenai pengaturan, pelarangan dan pembatasan
senjata tertentu pun berlaku dalam situasi konflik bersenjata non-internasional.
Selain itu, hukum humanitier international pun memainkan peran yang sangat
penting oleh karena terbatasnya jumlah perjanjian internasional yang mengatur
jenis konflik ini.
Terdapat jenis konflik lainnya yang tidak diatur dalam hukum humaniter
internasional. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) Protokol
Tambahan II tahun 1997 yang mengatur: “Protokol ini tidak berlaku paada
situasi-situasi kekerasan dan ketegangan dalam negeri; seperti huru-hara,
tindakan-tindakan kekerasan yang bersifat sporadik dan terisolir, serta tindakan-
tindakan yang bersifat serupa lainnya, yang bukan merupakan sengketa
bersenjata. Tidak terdapat tanda-tanda upaya pemisahan diri dari negara induk,
karena jenis konflik yang terjadi masih dalam koridor ketegangan dan kekerasan
dalam negeri dengan intensitascommit
konflikto userrelatif masih rendah”.
yang

36
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4. Artificial Intellegence (AI)


Kecerdasan buatan atau biasa disebut juga dalam bahasa Inggris Artificial
Intellegence (AI), didefinisikan sebagai kecerdasan entitas ilmiah (Kaplan &
Haenlein 2019: 15). Andreas Kaplan dan Michael Haeniein mendefinisikan
kecerdasan buatan sebagai “kemampan system untuk menafsirkan data
eksternal dengan benar, untuk belajar dari data tersebut, dan menggunakan
pembelajaran tersebut guna mencapai tujuan dan tugas terntentu melalui
adaptasi yang fleksibel” (Andreas Kaplan, Michael Haenlein 2019. Siri, Siri in
my Hand, who's the Fairest in the Land? On the Interpretations, Illustrations
and Implications of Artificial Intelligence, Business Horizons, 2019).
Karakteristik ideal AI adalah kemampuannya untuk merasionalisasi dan
mengambil tindakan yang memiliki peluang untuk mencapai tujuan tertentu.
Tujuan dibuatnya AI yakni agar dapat dengan mudah meniru dan menjalankan
tugas manusia, dari yang paling sederhana hingga yang lebih kompleks meliputi
pembelajaran, penalaran, dan persepsi. AI terus berkembang untuk
menguntungkan banyak industri atau pihak-pihak tertentu. Mesin ditransfeer
menggunakan pendekatan lintas disiplin yang berbasis matematika, ilmu
komputer, linguistik, psikologi, dan banyak lagi (Shabbir & Anwer 2018: 96).
Penelitian dalam AI menyangkut pembuatan mesin dan program komputer
untuk mengotomatissikan tugas-tugas yang membutuhkan perilaku cerdas.
Termasuk contohnya adalah pengendalian, perencanaan dan penjadwalan,
kemampuan untuk menjawab diagnosa, serta pengenalan tulisan tangan, suara
dan wajah (Crowder & Freiss 2012: 36).
Sistem AI sekarang sering digunakan dalam bidang ekonomi, sains, obat-
obatan, Teknik dan militer, seperti telah dibangun dalam beberapa aplikasi
perangkat lunak komputer (Huang & Rust 2018: 165).
Kecerdasan buatan ini bukan hanya ingin mengerti apa itu sistem
kecerdasan, tetapi juga mengkonstruksinya. Tidak ada definisi memuaskan
untuk “kecerdasan”. Kecerdasan sebagai kemampuan memperoleh pengetahuan
an menggunakannya atau kecerdasan yaitu apa yang diukur oleh sebuah “tes
commit
kecerdasan” (Huang & Rust 2018: to user
157).

37
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Dari hari ke hari, bahkan dalam konflik yang sama, atau bahkan di hari
yang sama. Kita mungkin ingin berargumen bahwa kecerdasan adalah
manusiawi yang unik, tetapi jika seseorang dapat mendefinisikannya dengan
cukup spesifik, atau menguranginya menjadi tugas yang konkret, maka itu
mungkin terjadi program komputer untuk melakukan tugas itu dengan lebih
baik (Purves 2015: 855). Ketika kita melakukan itu, kita perlu mengubah
definisi kecerdasan dengan mendefinisikan kembali keterampilan yang
kompleks menjadi kinerja tugas tertentu. Mungkin tidak begitu penting apakah
kita mendefinisikan kembali kecerdasan dalam terang perkembangan
komputasi, meskipun hal itu pasti memiliki konsekuensi sosial dan budaya
(Schuller 2017: 379). Tetapi ketika berbicara tentang moralitas, dan
pengambilan nyawa manusia, apakah kita benar-benar ingin mendefinisikan
kembali apa artinya menjadi moral untuk mengakomodasi sistem senjata
otonom? Apa yang dipertaruhkan jika kita mengizinkan otoritas sistem otomatis
untuk memutuskan apakah akan membunuh seseorang? Dengan tidak adanya
penilaian manusiawi, bagaimana kita bisa memastikan bahwa pembunuhan
semacam itu tidak sewenang-wenang?
AI memiliki 2 kategori yaitu lemah dan kuat. AI lemah (weak AI) yang
juga dikenal sebagai AI sempit adalah sistem AI yang dirancang dan dilatih
untuk tugas tertentu. Asisten pribadi virtual, seperti Apple Siri, adalah bentuk
AI yang lemah. AI kuat (strong AI), juga dikenal sebagai kecerdasan buatan
umum adalah sistem AI dengan kemampuan kognitif manusia secara umum.
Ketika disajikan dengan tugas khusus, sistem AI kuat dapat menemukan solusi
tanpa campur tangan manusia (Sloman 1986: 16).
Arend Hintze, asisten professor biologi dan ilmu integratif dan ilmu
komputer dan teknik di Michigan State University, mengkategorikan AI
menjadi 4 jenis, dari jenis system AI yang ada saat ini hingga sistem yang hidup,
yang belum ada. Kategorinya adalah sebagai berikut (Kassen & Hintze 2020:
193):
a) Mesin reaktif. Contohnya, Deep Blue, program catur IBM yang mengalahkan
commit
Garry Kasparov pada 1990-an. to user
Deep Blue dapat mengidentifikasi bagian-

38
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

bagian di papan catur dan membuat prediksi, tetapi ia tidak memiliki ingatan
dan tidak dapat menggunakan pengalaman masa lalu untuk memberi tahu
langkah berikutnya. Ini menganalisis kemungkinan langkah lawan dan
dirinya sendiri serta memilih langkah paling strategis. Deep Blue dirancang
untuk tujuan yang sempit dan tidak dapat dengan mudah diterapkan pada
situasi lain (Kassen & Hintze 2020: 193).
b) Memori terbatas. System AI ini dapat menggunakan pengalaman masa lalu
untuk menginformasikan keputusan masa depan. Beberapa fungsi
pengambilan keputusan dalam mobil self-driving dirancang dengan cara ini.
Pengamatan menginformasikan tindakan yang terjadi di masa depan yang
tidak terlalu jauh, seperti jalur penggantian mobil. Pengamatan ini tidak
disimpan secara permanen (Kassen & Hintze 2020: 194).
c) Teori pemikiran. Istilah psikologi ini mengacu pada pengertian bahwa orang
lain memiliki keyakinan, keinginan sendiri dan niat yang memengaruhi
keputusan yang merekabuat. AI jenis ini belum ada sampai saat ini (Kassen
& Hintze 2020: 194).
d) Kesadaran diri. Dalam kategori ini, sistem AI memiliki rasa diri, memiliki
kesadaran. Mesin dengan kesadaran diri memahami keadaan mereka saat ini
dan dapat menggunakan informasi untuk menyimpulkan apa yang orang lain
rasakan. AI jenis ini belum ada sampai saat ini (Kassen & Hintze 2020: 195).

commit to user

39
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Kerangka Pemikiran

PERKEMBANGAN
TEKNOLOGI

PERKEMBANGAN AWS
DALAM SISTEM
PERSENJATAAN

PENGGUNAAN AWS DALAM


KONFLIK BERSENJATA

INSTRUMEN PROBLEMATIKA DAMPAK NEGATIF


PENGATURAN TERKAIT HUKUM YANG DITIMBUKLAN
AWS AWS

PRINSIP-PRINSIP dalam
HUKUM HUMANITER
INTERNASIONAL

Keterangan:

Dari kerangka pemikiran tersebut dapat dicermati bahwa dalam perkembangan


teknologi mempunyai akibat yang besar terhadap perkembangan teknologi dalam
masyarakat internasional, khusunya dalam perkembangan persenjataan militer.
Banyak negara-negara tertarik untuk mengembangkan AWS yaitu sistem senjata
yang jika sudah diaktivasi dapat memilih, mengunci dan menyerang target tanpa
keterlibatan manusia didalam sistem persenjataan mereka. Dalam dunia militer,
penggunaan teknologi persenjataan menimbulkan masalah baru. Pengembangan
dan kecanggihan teknologinya menimbulkan suatu masalah terkait instrumen
pengaturan, dampak negatif dan problematika hukum yang mana penggunaan
teknologi ini berpengaruh terhadap konsep tanggungjawab dalam hukum humaniter
internasional. Untuk mengatasi problematika hukum tersebut prinsip-prinsip yang
commit to user
ada di dalam hukum humaniter internasional sebagai sumber hukum yang dapat

40
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

digunakan untuk mengetahui dan menentukan legalitas kepastian hukum


penggunaan AWS dapat memenuhi prinsip-prinsip dalam hukum humaniter
internasional.

commit to user

41

Anda mungkin juga menyukai