Anda di halaman 1dari 17

RAHASIA

MARKAS BESAR ANGKATAN DARAT Lampiran II Kep Dirkumad


DIREKTORAT HUKUM Nomor Kep / 48 / XII / 2018
Tanggal 21 Desember 2018

HUKUM HUMANITER

BAB I
PENDAHULUAN

1. Umum.

a. Tugas pokok TNI sebagaimana diatur dalam UU No. 34/2004 tentang TNI,
yaitu menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI tahun
1945 serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari
ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara, diperlukan
pemahaman terhadap Hukum Humaniter dalam rangka pelaksanaan tugasnya.

b. Setiap penggunaan kekuatan bersenjata senantiasa harus dijamin adanya


landasan hukum baik penggunaan kekuatan dalam konflik bersenjata internasional
maupun non internasional, karena dari kedua situasi konflik tersebut berbeda
dalam hal ketentuan hukum yang berlaku. Hukum Humaniter sebagai norma
hukum bagi prajurit pada waktu melaksanakan tugas operasi militer untuk perang
(OMP) harus dipahami dan diterapkan oleh prajurit TNI AD sehingga dapat
menghindari terjadinya pelanggaran Hukum Humaniter yang dilakukan oleh prajurit
dan dapat menjamin kredibilitas operasi serta terhindar dari tuntutan hukum
sebagai penjahat perang.

c. Dalam rangka memberikan bekal pengetahuan tentang Hukum Humaniter


yang sangat berguna dalam pelaksanaan tugas nantinya, maka perlu disusun buku
ajaran (hanjar) untuk diajarkan materi pelajaran Hukum Humaniter kepada Perwira
Siswa Pendidikan Pembentukan Perwira (Pasis Diktupa) TNI AD.

2. Maksud dan Tujuan.

a. Maksud. Naskah Sekolah ini disusun sebagai pedoman bagi Gadik dan
Pasis dalam proses belajar mengajar Pendidikan Perwira TNI AD.

b. Tujuan. Agar Pasis Pendidikan Perwira TNI AD mengerti tentang Hukum


Humaniter sebagai bekal dalam pelaksanaan tugas di satuan.

3. Ruang Lingkup dan Tata Urut. Naskah Sekolah Hukum Humaniter ini meliputi
perkembangan Hukum Humaniter dan landasan hukum penggunaan kekuatan bersenjata
serta pertanggungjawaban komando akan Hukum Humaniter yang disusun dengan tata
urut sebagai berikut:

a. Bab I Pendahuluan.
b. Bab II Perkembangan Hukum Humaniter

RAHASIA
2
c. Bab III Landasan Hukum Penggunaan Kekuatan Bersenjata
d. Bab IV Pertanggungjawaban Komando menurut Hukum Internasional dan
Hukum Nasional.
e. Bab V Penutup.

4. Referensi.

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


b. Undang-Undang Nomor 59 tahun 1958 tentang Ikut Serta Negara Republik
Indonesia Dalam Seluruh Konpensi Jenewa Tanggal 12 Agustus 1949.
c. Undang-Undang Nomor 23 prp tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.
d. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
e. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI
f. Surat Keputusan Kasad Nomor Skep/162/VII/2003 tanggal 3 Juli 2003
tentang Buku Petunjuk Teknik Penerapan Hukum HAM dan Humaniter dalam
penyelenggaraan Latihan.
g. Surat Keputusan Kasad Nomor Skep/531/XII/2005 tanggal 28 Desember
2005 tentang Buku Petunjuk Teknik Penerapan Hukum Humaniter Dalam Operasi
Militer.
h. Konvensi Jenewa 1949.
i. Protokol Tambahan I, II Tahun 1977 dan Protokol III Tahun 2005
j. Konvensi Den Hag Tahun 1988 dan 1907.

5. Pengertian.

a. Hukum Humaniter adalah bagian dari hukum Internasional publik yang


diinspirasikan oleh rasa kemanusiaan dan difokuskan pada perlindungan individu
pada waktu perang.

b. Kombatan adalah semua anggota angkatan bersenjata dari salah


satupihak dalam konflik bersenjata yang dianggap sebagai kombatan, dengan
pengecualian personel medis dan keagamaan, serta kelompok bersenjata yang
memenuhi empat syarat sebagai berikut :

1) dipimpin oleh seorang yang bertanggungjawab atas bawahannya;

2) memakai tanda pengenal (lencana) tetap yang dapat dilihat dari jauh;

3) membawa senjata secara terang-terangan; dan

4) melakukan operasi sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang.

c. Non Kombatan adalah semua orang dan pihak-pihak yang tidak termasuk
dalam kategori Kombatan.

d. Belligerent adalah:

1) Anggota Angkatan bersenjata dari pihak yang bersengketa.

2) Milisi atau Korps Relawan yang bukan bagian dari angkatan


bersenjata namun beroperasi bagi kepentingan salah satu pihak yang
bersengketa.
3

3) Levée en Masse, yaitu Mereka merupakan penduduk dari wilayah


yang belum diduduki, Mereka secara spontan mengangkat senjata atau
melakukan perlawanan terhadap musuh yang akan memasuki tempat
tinggal mereka dan oleh karena itu, Mereka tidak memiliki waktu untuk
mengatur (mengorganisir) diri, Mereka menghormati (mentaati) hukum dan
kebiasaan perang serta Mereka membawa senjata secara terang-terangan.
(Pasal 2 Konvensi Den Haag 1907).

BAB II
PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER

6. Umum. Perkembangan Hukum Humaniter sangat erat kaitannya dengan


peristiwa-peristiwa perang yang terjadi di berbagai negara di dunia. Awal mula
dilakukannya perang adalah untuk mengalahkan musuh dan membuat musuh sebanyak
mungkin menggunakan segala macam cara, namun cara berperang yang tanpa
memperhatikan keselamatan pihak-pihak yang tidak terlibat dalam perang justru
menimbulkan korban yang sangat meluas. Perkembangan cara berperang dengan
menghalalkan segala macam cara berkembang menjadi berperang dengan tetap
memperhatikan aspek kemanusiaan (humaniter).

7. Latar Belakang Hukum Humaniter.

a. Sebelum lahir aturan secara tertulis, cara-cara berperang didasarkan pada


kebiasaan-kebiasaan, yang lambat laun dirasakan perlu ada aturan perang dan
kewajiban untuk mematuhinya, sehingga berkembang menjadi hukum kebiasaan
internasional. Upaya pengondisian aturan perang mulai mendapat perhatian dari
ahli-ahli hukum di berbagai negara sesudah pertengahan abad ke 19. Perang
antara gabungan Perancis, Sardinia melawan Austria pada tahun 1859 di medan
pertempuran Solferino telah menggugah Henry Dunant untuk menulis
pengalamannya yang menyaksikan perang tersebut ke dalam sebuah buku yang
berjudul “Unsouvenir De Solferino”. Penderitaan prajurit yang luka dan sakit di
medan pertempuran Solferino yang dilukiskan Henry Dunant menggemparkan
masyarakat internasional.

b. Berangkat dari pengalaman tersebut Henry Dunant bersama beberapa


warga negara Swiss pada tahun 1863 membentuk organisasi Palang Merah yang
sekarang dikenal dengan International Committee Of The Red Cross (ICRC). Atas
saran pengurus organisasi tersebut pada tahun 1864 Dewan Federal Swiss
menyelenggarakan sebuah konferensi internasional yang melahirkan Konvensi
Jenewa Tahun 1864 tentang Perbaikan keadaan tentara yang luka dan sakit pada
perang di darat yang memuat asas-asas sebagai dasar bagi perlakuan korban
perang.

c. Usaha Henry Dunant memberikan inspirasi untuk mengatur segala sesuatu


yang bertalian dengan penyelesaian sengketa internasional, perang, dan akibat
perang menyeluruh dalam bentuk konvensi-konvensi internasional. Gagasan
tersebut kemudian mendorong diselenggarakannya Konferensi Brussel dan
4
Konferensi Oxford pada tahun 1874 dan tahun 1880. Sekalipun Konferensi Brussel
dan Konferensi Oxford saat itu gagal mencapai kata sepakat mengenai hak
pendudukan sipil untuk turut serta dalam pembelaan negara.
Konferensi Brussel menghasilkan Deklarasi Brussel Tahun 1874 mengenai Hukum
dan kebiasaan perang di darat. Deklarasi ini menjadi cikal bakal bagi konvensi-
konvensi Den Haag Tahun 1899/1907 yang mengatur mengenai cara dan alat
berperang.

d. Pecahnya Perang Dunia I dan Perang Dunia II serta perkembangan


teknologi yang telah membawa perubahan di bidang teknik dan alat berperang,
sehingga mendorong lahirnya Konvensi Jenewa 1949 tentang perlindungan
terhadap korban perang. Konvensi Jenewa Tahun 1949 mengadakan perubahan
yang dinilai radikal terhadap pengertian perang. Konvensi ini kemudian dilengkapi
dengan protokol-protokol tambahan Tahun 1977 yang berlaku baik untuk perang
antar negara secara konvensional maupun sengketa bersenjata lainnya yang
mungkin terjadi dalam wilayah suatu negara secara internal. Jadi perang bisa
bersifat internasional atau non internasional. Konvensi juga tidak membatasi diri
pada perang yang dinyatakan atau tidak dinyatakan. Konvensi berlaku bagi semua
jenis atau bentuk sengketa bersenjata. Harus diketahui bahwa Konvensi Jenewa
Tahun 1949 merupakan bagian terbesar dari Hukum Humaniter saat ini.

8. Instrumen dan Penerapan Hukum Humaniter.

a. Instrumen pokok Hukum Humaniter.

1) Hukum Jenewa. Hukum Jenewa adalah ketentuan-ketentuan


hukum Internasional yang mengatur tentang perlindungan para korban
perang. Hukum Jenewa terdiri dari empat Konvensi Jenewa tanggal 12
Agustus 1949, yaitu:
a) Konvensi Jenewa I tentang perlindungan terhadap orang-
orang yang luka dan sakit pada medan pertempuran di darat.
b) Konvensi Jenewa II tentang perlindungan terhadap orang-
orang yang luka, sakit dan korban kapal karam pada medan
pertempuran di laut.
c) Konvensi Jenewa III tentang perlakuan terhadap para tawanan
perang.
d) Konvensi Jenewa IV tentang perlindungan penduduk sipil pada
waktu sengketa bersenjata.

2) Hukum Den Haag. Hukum Den Haag adalah seluruh ketentuan


hukum Internasional yang mengatur tentang penggunaan senjata dan
metode (cara) berperang. Hukum Den Haag terdiri dari:

a) Konvensi-Konvensi Den Haag tahun 1899 terdiri dari:

(1) Konvensi I tentang Pembentukan Mahkamah Permanen


Arbitrasi.
5
(2) Konvensi II tentang Hukum dan kebiasaan perang di
darat.

(3) Konvensi III tentang Penerapan asas-asas Konvensi


Jenewa tahun 1864 di dalam Perang di laut.

b) Konvensi konvensi Den Haag tahun 1907 yang terdiri dari:

(1) Konvensi I tentang Penyelesaian damai persengketaan


Internasional.
(2) Konvensi II tentang Pembatasan kekerasan senjata
dalam penagihan hutang yang berasal dari perjanjian perdata.
(3) Konvensi III tentang Cara-cara memulai perang.
(4) Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan perang di
darat.
(5) Konvensi V tentang Hak dan kewajiban negara dan
warga netral dalam perang di darat.
(6) Konvensi VI tentang Status kapal dagang musuh pada
saat permulaan peperangan.
(7) Konvensi VII tentang Status kapal dagang musuh
menjadi kapal perang.
(8) Konvensi VIII tentang Penempatan ranjau otomatis di
laut.
(9) Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di
waktu perang.
(10) Konvensi X tentang Adaptasi asas-asas Konvensi
Jenewa tentang Perang di Laut.

(11) Konvensi XI tentang Pembatasan tertentu dalam


penggunaan hak penangkapan dalam perang di laut.
(12) Konvensi XII tentang Mahkamah barang-barang sitaan.
(13) Konvensi XIII tentang Hak dan kewajiban negara netral
dalam perang di laut.

c) Tiap-tiap Konvensi ini dilengkapi dengan tiga buah deklarasi,


yaitu :
(1) deklarasi tentang larangan penggunaan peluru dum-
dum;

(2) deklarasi tentang larangan peluncuran proyektil dan


bahan peledak dari balon udara; dan

(3) deklarasi tentang larangan penggunaan proyektil yang


menimbulkan gas cekik dan racun.
6

3) Perkembangan Instrumen Hukum Humaniter. Hukum Humaniter


tidak hanya dikembangkan melalui konferensi-konferensi diplomatik yang
diselenggarakan oleh Palang Merah Internasional tetapi juga melalui
forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang telah menghasilkan
beberapa konvensi dan resolusi. Ketentuan-ketentuan Hukum Humaniter
yang baru ini terdiri dari:

a) Protokol Tambahan I Tahun 1977. Di dalam Protokol I diatur


tentang perlindungan bagi korban-korban sengketa bersenjata
internasional.

b) Protokol tambahan II Tahun 1977. Protokol II mengatur


tentang Ketentuan Hukum Internasional dan juga mengatur tentang
sengketa bersenjata yang bersifat nasional (non Internasional).

c) Protokol tambahan III Tahun 2005. Mengatur tentang Lambang


Baru (Kristal Merah) disamping lambang Palang Merah dan Bulan
Sabit Merah.

d) Konvensi Den Haag Tahun 1954, Mengatur tentang


perlindungan barang-barang budaya dalam masa sengketa
bersenjata.

e) Konvensi Jenewa Tahun 1980, Mengatur tentang penegasan


kembali konvensi mengenai larangan atau pembatasan penggunaan
Senjata-senjata konvensional tertentu yang dapat menimbulkan luka
yang berlebihan atau akibat-akibat yang tidak perlu serta tidak
menganut asas pembedaan dalam penentuan sasaran serangan.

b. Penerapan hukum Humaniter. Karena banyaknya negara yang tidak


mengakui keadaan perang maka Hukum Humaniter lebih dikenal dengan istilah
“Hukum sengketa bersenjata” istilah ini lebih tepat daripada istilah “Hukum
perang”., tujuannya adalah untuk menjamin penerapan yang lebih luas, yang
berlaku pada:

1) Semua kondisi perang yaitu konflik antar negara.

2) Semua peristiwa pendudukan yaitu penguasaan wilayah suatu


negara oleh negara lain.

3) Operasi militer yang dilakukan secara terus menerus atau


berkelanjutan di dalam wilayah suatu negara.

9. Prinsip-prinsip Hukum Humaniter.

a. Prinsip Manusiawi dan Non Diskriminasi. Semua orang diperlakukan


secara manusiawi dan/atau tanpa diskriminasi.

b. Prinsip Kepentingan Militer. Semua kegiatan tempur harus didasarkan


pada kepentingan militer dan kegiatan-kegiatan yang tidak diperlukan untuk
kepentingan militer adalah dilarang.
7

c. Prinsip Pembatasan. Persenjataan dan cara berperang yang boleh


digunakan adalah terbatas. Tindakan licik dan penggunaan senjata yang dirancang
untuk mengakibatkan penderitaan yang tidak perlu atau luka berlebihan adalah
dilarang.

d. Prinsip Pembedaan :

1) Harus dibedakan antara kombatan dan non kombatan

2) Harus dibedakan antara obyek militer yang boleh diserang dan obyek
sipil yang dilindungi.

e. Prinsip Proporsionalitas. Setiap serangan sedapat mungkin


menghindari kerugian bagi penduduk dan obyek sipil, kerugian yang timbul tidak
boleh berlebihan dibandingkan dengan keuntungan militer nyata dan langsung dari
serangan.

f. Itikad baik (Good Faith). Prinsip ini diaplikasikan dalam setiap


perundingan-perundingan antar pihak-pihak yang bersengketa harus dilandasi oleh
itikad baik untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul diantara mereka.

g. Prinsip Kesatriaan (Chivalry). Didalam suatu peperangan kejujuran


harus diutamakan, penggunaan alat peralatan perang yang tidak terhormat, tipu
muslihat dan cara-cara yang bersifat khianat (licik) dilarang.

10. Kejahatan Perang dan Penegakan Hukum Humaniter.

a. Kejahatan Perang.

1) Menurut ICC 1998 kejahatan perang adalah:

a) Pelanggaran-pelanggaran berat terhadap konvensi-konvensi


Jenewa 1949.

b) Pelanggaran serius terhadap hukum dan kebiasaan dalam


sengketa bersenjata Internasional.

c) Pelanggaran serius terhadap Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949.

2) Beberapa Contoh Kejahatan Perang antara lain:

a) Kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Nazi yang


kemudian diadili di Nuremburg yang melibatkan 24 perwira senior
Nazi. Peradilan Nuremburg memutuskan bahwa: “Individu
mempunyai kewajiban internasional yang melampaui kewajibannya
(berdasarkan Hukum Nasional) untuk taat kepada negara. Orang
yang melanggar hukum perang karena berbuat sesuai dengan
perintah negara, tidak mungkin dapat membebaskan diri dari
tanggungjawabnya, apabila negara dalam memberikan perintah
tersebut melampaui wewenangnya berdasarkan hukum internasional.
8
Kejahatan terhadap hukum internasional dilakukan oleh orang, bukan
oleh kesatuan yang abstrak.”

b) Kejahatan tentara Jepang pada masa PD II yang kemudian


diadili di Tokyo dan melibatkan 28 perwira senior Jepang. Mereka
dituduh telah melanggar hukum perang dan kebiasaan-kebiasaan
perang selama terjadinya PD II.

3) Bentuk-bentuk Kejahatan Perang. Bentuk kejahatan perang dapat


dikategorikan sebagai berikut:

a) Pelanggaran berat (grave breahes) antara lain:

(1) Pembunuhan penduduk sipil yang dengan sengaja


direncanakan.

(2) Penyiksaan tawanan perang dan/atau penduduk sipil


atau pelanggaran kemanusiaan.

(3) Eksperimen biologi yang menggunakan manusia


sebagai obyeknya.

(4) Tindakan disengaja yang menyebabkan luka dan


penderitaan serius terhadap tubuh atau kesehatan.

(5) Penyanderaan penduduk sipil.

(6) Penghancuran harta benda bukan untuk kepentingan


militer.

(7) Pemaksaan mempekerjakan tawanan perang bagi


kepentingan militer lawannya.

(8) Sengaja mencabut hak-hak tawanan perang tanpa


proses peradilan yang adil.

b) Pelanggaran ringan (simple breaches) antara lain:

(1) Penggunaan racun atau munisi yang dilarang untuk


menyerang lawan.

(2) Tidak memberikan tempat berteduh yang layak bagi


tawanan perang

(3) Perlakuan buruk terhadap mayat.

(4) Menyerang wilayah yang tidak diduduki (dipertahankan)


lawan.

(5) Menembak lawan yang mengibarkan bendera


gencatan/menyerah.
9
(6) Penyalahgunaan tanda-tanda Palang Merah dan
Organisasi Internasional lain.

(7) Menyembunyikan identitas militer (menggunakan


pakaian sipil) sepanjang pertempuran.

(8) Menggunakan bangunan/fasilitas yang dilindungi untuk


kepentingan militer.

(9) Meracuni sungai atau sumber air.

(10) Penjarahan atau pengrusakan sengaja tanpa alasan


yang jelas.

(11) Memaksa mempekerjakan tawanan perang.

(12) Membunuh mata-mata atau orang lain yang melakukan


tindakan permusuhan tanpa proses peradilan.

(13) Memaksa penduduk sipil bekerja terhadap pekerjaan-


pekerjaan yang dilarang dan lain sebagainya.

c) Genocide, yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan


maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau
sebagian kelompok bangsa, Ras, kelompok Etnis, Kelompok Agama,
dengan cara :

(1) Membunuh anggota kelompok

(2) Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat


terhadap anggota kelompok.

(3) Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan


mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau
sebagian.

(4) Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan


mencegah kelahiran dalam kelompok, atau

(5) Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok


tertentu ke kelompok lain

b. Penegakkan Hukum Humaniter. Pelanggaran terhadap konvensi


merupakan kejahatan yang serius, sehingga pada tahun 1949, ketika konvensi
diratifikasi, negara-negara penandatangan siap untuk mengadilinya didalam negeri
atau mengekstradisikan pelakunya ke negara yang siap mengadili. Oleh karena itu,
apabila terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa 1949, setelah
berlakunya International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional
yang secara efektif pada tanggal 1 Juli 2002 setelah diratifikasi oleh 60 negara
terhadap pelaku-pelaku pelanggaran Konvensi Jenewa dapat diperiksa dan diadili
oleh ICC. Hal ini terjadi, apabila negara yang bersangkutan tidak mau atau tidak
mampu (unwilling & unable) untuk mengadili pelaku-pelaku pelanggaran tersebut.
Lembaga penegakkan Hukum Humaniter:
10

1) Pengadilan Nasional. Kejahatan perang (war crimes) pada


hakekatnya merupakan sebuah kejahatan berupa pelanggaran terhadap
nilai-nilai kemanusiaan, perdamaian maupun kebiasaan perang yang
bersifat universal. Dengan demikian tidak ada alasan apapun bagi sebuah
pengadilan nasional untuk menolak mengadili pelaku-pelaku kejahatan
perang, dengan alasan tidak berwenang.

2) International Military Tribunals (IMT). Pengadilan militer Internasional


yang digelar di Nuremberg dan Tokyo 1946 didasari oleh Deklarasi St.
James atau Deklarasi London 1942 dan Deklarasi Moscow 1943 oleh para
pihak pemenang perang dunia II. Pengadilan ini bersifat Ad hoc yang
memproses secara hukum 24 Perwira senior Jerman dan 28 Perwira senior
Jepang. Pelaksanaan pengadilan militer internasional ini mendapat kritik
karena pembentukannya didasarkan pada pendapat para pihak yang
memenangkan perang dunia II sehingga dianggap sebagai penegakan
hukum hanya diberlakukan terhadap pihak yang kalah perang saja.

3) International Criminal Tribunals (ICT). Dalam perkembangannya


peradilan ad hoc semacam ini dikenal dengan International Criminal
Tribunal, dalam kurun waktu pasca perang dunia II misalnya proses
peradilan Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the Former
Yugoslavia) pada 22 februari 1993, Rwanda (International Criminal Tribunal
for Rwanda) 1994. ICT dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan
PBB. Hal ini bertujuan untuk menghindari kesan victory justice atau
penegakan hukum oleh para pihak pemenang perang.

4) Mahkamah kejahatan Internasional. International Criminal Courts


(ICC) didirikan dengan Statuta Roma merupakan mahkamah bersifat
permanen, yang berfungsi untuk mengadili perkara pelanggaran/kejahatan
terhadap perikemanusiaan. ICC akan difungsikan apabila mekanisme
pengadilan nasional tidak mampu memproses pelanggaran/kejahatan
terhadap perikemanusiaan atau adanya political will pemerintah tidak
menunjukkan penyelesaian perkara kejahatan/pelanggaran terhadap
perikemanusiaan.

BAB III
LANDASAN HUKUM PENGGUNAAN KEKUATAN BERSENJATA

11. Umum. Setiap negara dimanapun didunia ini diperbolehkan berperang, oleh
karena itulah maka pada setiap negara diperbolehkan memiliki angkatan bersenjata.
Setiap negara menghendaki agar angkatan bersenjatanya mempunyai kekuatan yang
besar sehingga setiap saat dapat digunakan untuk mengalahkan musuh. Penggunaan
kekuatan bersenjata ini telah diatur ketentuan hukumnya baik secara internasional
maupun secara nasional.

12. Landasan Hukum Internasional.


11
a. Piagam PBB, pada dasarnya PBB menentukan bahwa kewenangan utama
atas penggunaan kekuatan Angkatan Perang berada di tangan Dewan Keamanan
PBB. Piagam PBB mengamanatkan agar semua negara dapat menyelesaikan
perselisihan internasionalnya dengan cara damai dan menganjurkan agar anggota
PBB dapat menahan diri agar tidak melakukan ancaman atau menggunakan
kekuatan atau kekerasan dalam menyelesaikan konflik. Beberapa landasan hukum
penggunaan kekuatan bersenjata yang diatur dalam piagam PBB diantaranya
sebagai berikut :

1) Pasal 1 ayat 1 Piagam PBB disebutkan bahwa tujuan utama


didirikannya Perserikatan Bangsa Bangsa adalah untuk menjaga dan
mempertahankan perdamaian dan keamanan dunia.

2) Pasal 39 Piagam PBB, tindakan sebagai sanksi yang dijatuhkan oleh


Dewan Keamanan PBB berdasarkan isi dari bab VII Piagam PBB. Bab VII
Piagam PBB dengan judul “ action with respect to the peace, breaches of
the peace, and acts of aggression,” memberikan kewenangan kepada
Dewan Keamanan untuk menentukan tindakan apa yang harus diambil
dalam menghadapi tindakan agresi atau ancaman terhadap perdamaian
dan keamanan internasional. Namun Pasal 39 ini tidak menjelaskan kriteria
konflik seperti apa yang mengancam perdamaian internasional, akan tetapi
berdasarkan resolusi-resolusi yang ada, dengan kriteria sebagai berikut :

a) terdapat pembunuhan massal yang bersifat sistematis;

b) adanya tindakan salah satu pihak untuk melakukan


penghapusan etnis;

c) konflik telah menimbulkan kelaparan dikalangan rakyat


banyak;

d) terjadinya pengungsian atau deportasi masyarakat dalam


skala besar ke wilayah lain, yang dikarenakan adanya ancaman dan
tekanan angkatan bersenjata; dan

e) timbulnya masalah keamanan dan insiden bersenjata di


wilayah perbatasan dua negara.

3) Pasal 51 Piagam PBB, Aksi yang merupakan tindakan pembelaan


diri atau self defense baik yang dilakukan secara sendiri (oleh suatu negara
terhadap negara lain) maupun secara kolektif (oleh kelompok angkatan
perang beberapa negara terhadap sebuah negara) berdasarkan Pasal 51
Piagam PBB dan Hukum Kebiasaan Internasional. Dalam tindakan
pembelaan diri atau self defense, unsur kemerdekaan suatu negara
merupakan hak yang melekat pada setiap negara untuk mempertahankan
diri mereka.

b. Hukum Kebiasaan Internasional, negara sebagai subyek Hukum


Internasional memiliki tiga atribut pokok yaitu kemerdekaan nasional (national
independence), kedaulatan (sovereignty) dan keutuhan wilayahnya (territorial
integrity) yang harus dipertahankan sebagai haknya yang sangat mendasar.
Penggunaan hak-hak semacam itu bukan saja dibenarkan oleh Piagam PBB tetapi
juga oleh Prinsip-prinsip Hukum Internasional yaitu:
12

1) Tanpa mengurangi prinsip-prinsip Hukum Internasional yang berlaku,


wilayah suatu negara tidak bisa diganggu gugat (the inviolability of territories
of States). Kewajiban untuk menghormati keutuhan wilayah suatu negara
juga telah dicantumkan dalam Deklarasi mengenai Prinsip-prinsip Hukum
Internasional yang disetujui oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 24
Oktober 1970, yaitu Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 25 (XXV). Istilah
keutuhan wilayah ini juga telah dimasukkan sebagai “prinsip mengenai tidak
diganggu gugatnya perbatasan antar negara" (principle of inviolability of
frontiers).

2) Negara manapun yang berdaulat juga mempunyai hak untuk


mempertahankan keberadaannya (right of national existence) yang memang
dijamin oleh hukum internasional.

3) Negara dalam mempertahankan keutuhan wilayahnya dari segala


ancaman (termasuk ancaman gerakan separatisme) juga dibenarkan untuk
mengambil tindakan-tindakan termasuk tindakan represif, seperti operasi
militer dalam rangka hak bela diri (right of self defence) sesuai dengan
ketentuan dalam Piagam PBB.

13. Landasan hukum Nasional.

a. Undang-Undang Dasar 1945.

1) Pasal 10, Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas


Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.

2) Pasal 11:

(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat


menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan
negara lain.

(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang


menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat
yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur


dengan undang-undang.

3) Pasal 12, Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan


akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang

b. Undang-Undang R.I. Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara:

1) Pasal 10 sebagai berikut:

a) Tentara Nasional Indonesia berperan sebagai alat pertahanan


negara Kesatuan Republik Indonesia.
13
b) Tentara Nasional Indonesia terdiri atas AD, AL dan AU.

c) Tentara Nasional Indonesia bertugas melaksanakan kebijakan


pertahanan negara untuk:

(1) mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan


wilayah;

(2) melindungi kehormatan dan keselamatan bangsa;

(3) menjalankan Operasi Militer selain Perang; dan

(4) ikut serta secara aktif dalam tugas pemeliharaan


perdamaian regional dan internasional.

2) Pasal 13 sebagai berikut:

a) Presiden berwenang dan bertanggung jawab dalam


pengelolaan sistem pertahanan negara.

b) Dalam pengelolaan sistem pertahanan negara, Presiden


menetapkan kebijakan umum pertahanan negara yang menjadi
acuan bagi perencanaan, penyelenggaraan dan pengawasan sistem
pertahanan negara.

2) Pasal 14 sebagai berikut:

a) Presiden berwenang dan bertanggung jawab atas pengerahan


kekuatan TNI.

b) Dalam hal pengerahan kekuatan TNI untuk menghadapi


ancaman bersenjata, kewenangan Presiden harus mendapat
persetujuan DPR.

c) Dalam keadaan memaksa untuk menghadapi ancaman


bersenjata, Presiden dapat langsung mengerahkan kekuatan TNI.

d) Pengerahan langsung kekuatan TNI sebagaimana dimaksud


di atas Presiden dalam waktu paling lambat 2 x 24 (dua kali dua
puluh empat) jam harus mengajukan persetujuan kepada DPR.

e) Dalam hal DPR tidak menyetujui pengerahan sebagaimana


dimaksud di atas, Presiden harus menghentikan pengerahan operasi
militer.

c. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI:

1) Pasal 7, tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara,


mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 serta melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan
14
bangsa dan negara. Tugas pokok tersebut dilakukan dengan Operasi Militer
Untuk Perang dan Operasi Militer Selain Perang.

2) Pasal 8 Angkatan Darat bertugas:

a) melaksanakan tugas TNI matra darat dibidang pertahanan;

b) melaksanakan tugas TNI dalam menjaga keamanan wilayah


perbatasan darat dengan negara lain;

c) melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengem-


bangan kekuatan matra darat, dan

d) melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan di darat.

3) Pasal 17.

a) kewenangan dan tanggung jawab pengerahan kekuatan TNI


berada pada Presiden;dan

b) dalam hal pengerahan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud


di atas, Presiden harus mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan
Rakyat.

4) Pasal 18.

a) dalam keadaan memaksa untuk menghadapi ancaman militer


dan/atau ancaman bersenjata, Presiden dapat langsung
mengerahkan kekuatan TNI;

b) dalam hal pengerahan langsung kekuatan TNI sebagaimana


dimaksud di atas, dalam waktu 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam
terhitung sejak dikeluarkannya keputusan pengerahan kekuatan,
Presiden harus melaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat; dan

c) dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui


pengerahan sebagaimana dimaksud pada poin a) dan poin b) di atas,
Presiden harus menghentikan pengerahan kekuatan TNI tersebut.

d. Undang-Undang R.I. Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara


Republik Indonesia Pasal 41 tentang Pemberian bantuan kekuatan kepada unsur
Kepolisian Negara RI.

e Undang-Undang R.I. Nomor 23/Prp/Tahun 1959 Pasal 4 tentang Pemberian


Bantuan kepada Penguasa Darurat Sipil

f. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1960 tentang Pemberian Bantuan


Militer kepada Pemerintah Daerah

BAB IV
PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO MENURUT HUKUM
INTERNASIONAL DAN NASIONAL
15

14. Umum. Tanggung jawab komandan dalam mengendalikan dan mengawasi


perilaku prajurit yang berada di bawah kendalinya merupakan sendi utama dalam
kehidupan militer yang bertanggung jawab. Seorang Komandan tidak serta merta dapat
dipersalahkan terlibat dalam suatu pelanggaran atau kejahatan, semata-mata disebabkan
oleh salah seorang dari prajuritnya melakukan tindak pidana. Tetapi apabila seorang
Komandan membiarkan terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh prajurit bawahannya
dan kejahatan itu dilakukan secara sistematis, berlangsung dalam rentang waktu yang
cukup lama serta terjadi di berbagai tempat dalam wilayah tanggung jawabnya tetapi
Komandan tidak mengambil tindakan apapun yang tepat dan sangat diperlukan guna
mencegah, menghentikan dan menindak pelaku kejahatan tersebut, maka Komandan
yang bersangkutan dapat diminta pertanggungjawaban secara pidana.

15. Pertanggungjawaban Komando secara Internasional. Rumusan Pertanggung


jawaban Komando dalam Statuta International Criminal Court (ICC).

a. Pasal 28 huruf (a) menjelaskan bahwa komandan militer bertanggungjawab


terhadap kejahatan yang dilakukan oleh bawahan yang berada dalam kendali
efektifnya bilamana:

1) komandan mengetahui atau berdasarkan keadaan yang berlaku,


seyogyanya mengetahui pasukannya sedang atau akan melakukan
kejahatan; dan

2) komandan tidak berhasil untuk mengambil semua langkah yang


diperlukan untuk mencegah atau menindak kejahatan tersebut.

b. Pasal 28 huruf (b) menyatakan seorang atasan bertanggungjawab terhadap


kejahatan yang terjadi dalam yurisdiksinya yang dilakukan oleh bawahan yang
berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya jika:

1) atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan


informasi yang menunjukkan bawahannya sedang atau akan melakukan
kejahatan;

2) kejahatan tersebut terjadi dalam lingkup kegiatan yang berada di


bawah kekuasaan dan pengendaliannya; dan

3) atasan gagal melakukan tindakan yang diperlukan sesuai


kewenangan yang dimilikinya untuk mencegah dan menindak kejahatan
tersebut.

16. PertanggungJawaban Komando secara Nasional. Pasal 42 ayat 1 UU Nomor


26 tahun 2000 menegaskan bahwa Komandan militer atau seseorang yang secara aktif
bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana
yang berada di dalam yuridiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang
berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut
merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu:
16
a. komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui/atas dasar keadaan
saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau
baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan

b. komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang


layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau
menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat
yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

RAHASIA
16

BAB V
PENUTUP

17. Penutup. Demikian Naskah Sekolah ini disusun sebagai bahan ajaran untuk
pedoman bagi tenaga pendidik dan Pasis dalam proses belajar mengajar materi pelajaran
Hukum Humaniter pada Pendidikan Perwira TNI AD.

Direktur Hukum Angkatan Darat,

W. Indrajit, S.H., M.H.


Brigadir Jenderal TNI
17

RAHASIA

Anda mungkin juga menyukai