Anda di halaman 1dari 18

RAHASIA

MARKAS BESAR ANGKATAN DARAT Lampiran II Keputusan Kadisjarahad


DINAS SEJARAH Nomor Kep /133 / XII / 2018
Tanggal 21 Desember 2018

ANTROPOLOGI BUDAYA
BAB I
PENDAHULUAN

1. Umum.

a. Masyarakat bangsa Indonesia yang mendiami wilayah Indonesia dari


Sabang hingga Merauke terdiri dari berbagai suku, agama, dan golongan yang
merupakan kekayaan budaya tersendiri bagi bangsa Indonesia. Namun,
keragaman dan pluralisme tersebut dapat menjadi kendala pelaksanaan
pembangunan nasional, karena dapat atau cenderung untuk menimbulkan
konflik bila tidak dilandasi dengan wawasan kebangsaan dan rasa persatuan dan
kesatuan yang kokoh. Pluralisme agama, suku dan golongan tersebut harus
dikembangkan dan dibangun dalam satu taman budaya nasional, harus diterima,
dihormati, dan dikembangkan oleh seluruh masyarakat bangsa Indonesia,
termasuk prajurit TNI Angkatan Darat.
b. TNI Angkatan Darat, sebagai salah satu komponen masyarakat bangsa
Indonesia, dalam melaksanakan tugas pokoknya harus memahami adat istiadat/
budaya yang berlaku di mana para prajurit tinggal dan bertugas. Namun pada
kenyataannya belum seluruhnya prajurit TNI Angkatan Darat yang bertugas di
lapangan memahami keanekaragaman budaya/adat istiadat tersebut sebagai
pedoman dan perekat tata pergaulan masyarakat. Oleh karena itu, kepada
prajurit TNI Angkatan Darat yang bertugas di lapangan khususnya prajurit
teritorial perlu mendapat pembekalan materi antropologi budaya, sebagai bekal
pengetahuan dalam mendalami adat istiadat/budaya daerah dalam rangka
membangun budaya nasional.
c. Agar pembekalan tentang materi Antropologi Budaya dapat berjalan
dengan optimal, maka perlu disusun bahan ajaran untuk pedoman bagi Gadik
dan Pasis dalam kegiatan proses belajar mengajar di Diktukpa TNI AD.

1. Maksud dan Tujuan.

a. Maksud. Naskah Sekolah ini disusun sebagai pedoman bagi Gadik dan
Pasis dalam proses belajar mengajar Pendidikan Perwira TNI AD.

b. Tujuan. Agar Pasis Pendidikan Perwira TNI AD mengerti tentang


Antropologi Budaya sebagai bekal dalam pelaksanaan tugas di satuan.

2. Ruang Lingkup dan Tata Urut. Materi Antropologi Budaya ini meliputi arti dan
tujuan, dinamika masyarakat dan kebudayaan, kebudayaan nasional Indonesia,

RAHASIA
2

kebudayaan sebagai sasaran studi antropologi budaya, yang disusun dengan tata urut
sebagai berikut:
a. Bab I Pendahuluan.
b. Bab II Arti dan tujuan antropologi budaya.
c. Bab III Dinamika masyarakat dan kebudayaan.
d. Bab IV Kebudayaan nasional Indonesia.
e. Bab V Penutup.

4. Referensi.

a. Drs. Mahjunir, Mengenal Pokok-pokok Antropologi dan


Kebudayaan, Bhatara 1967.

b. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, PT. Rineka Cipta 2002.

c. Prof. H. Abdurrahmat Fathoni, M.Si, Suatu Pengantar


Antropologi Sosial Budaya, Rineka cipta 2006.

5. Pengertian.

a. Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul apabila sekelompok


manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur-unsur dari
suatu kebudayaan asing sehingga unsur-unsur asing itu lambat laun diterima dan
diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian
kebudayaan itu.

b. Asimilasi adalah suatu proses sosial yang terjadi pada berbagai


golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda setelah
mereka bergaul secara intensif, sehinggga sifat khas dari unsur-unsur
kebudayaan golongan itu masing-masing berubah menjadi unsur-unsur
kebudayaan campuran.

c. Proses difusi adalah sejarah dari proses penyebaran unsur-unsur


kebudayaan.

d. Symbiotic adalah hubungan antara kelompok-kelompok yang berbeda


berlangsung dalam waktu sangat lama dan hampir tidak mempengaruhi bentuk
kebudayaan masing-masing.

e. Discovery adalah penemuan dari suatu unsur kebudayaan yang baru,


baik suatu alat atau gagasan baru dari seseorang atau sejumlah individu.

f. Invention adalah kelanjutan dari tahap discovery yaitu apabila penemuan


itu telah diakui, diterima dan diterapkan oleh masyarakat.
3

BAB II
ARTI DAN TUJUAN ANTROPOLOGI BUDAYA

6. Umum. Sebelum menguraikan materi Antropologi Budaya sebagaimana yang


menjadi tuntutan kurikulum, perlu diuraikan terlebih dahulu arti dan tujuan antropologi
budaya, sebagai pengetahuan awal Perwira siswa untuk memahami materi antropologi
budaya secara keseluruhan.

7. Arti Antropologi Budaya.

a. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 2007:52),


antropologi adalah pengetahuan tentang organisme manusia dan tentang
manusia sebagai objek sejarah alam. Sedangkan budaya adalah pikiran, akal
budi (Poerwadarminta, 2007:180). Lebih jauh Poerwadarminta mengatakan
kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan akal budi manusia, seperti
kepercayaan, kesenian, adat istiadat. Berdasarkan pendapat Poerwadarminta di
atas, antropologi budaya adalah pengetahuan tentang penciptaan akal budi
manusia, seperti kepercayaan, kesenian, adat-istiadat.

b. Menurut asal usul kata. Istilah antropologi budaya terdiri dari dua kata,
yaitu antropologi dan budaya. Antropologi berasal dari kata bahasa Yunani,
yaitu anthropos yang berarti manusia, dan logos yang berarti ilmu atau teori.
Jadi, antropologi berarti ilmu tentang manusia. Antropologi atau ilmu tentang
manusia dibagi lagi menjadi dua anak cabang yaitu antropologi ragawi (fisik) dan
antropologi budaya. Antropologi ragawi (fisik) mempelajari raga atau segi-segi
jasmani manusia, sedangkan antropologi budaya mempelajari segi-segi
kebudayaan manusia. Karena begitu luasnya lingkup antropologi budaya
tersebut, maka untuk memudahkan peneliti dalam penelaahan antropologi
budaya, dibagi menjadi tiga anak cabang ilmu, yaitu etnolinguistik, prehistori, dan
etnologi.

1) Etnolinguistik adalah ilmu yang mempelajari suku-suku bangsa di


dunia/bumi dilihat dari sudut pandang bahasa.

2) Prehistori adalah ilmu yang mempelajari sejarah penyebaran dan


perkembangan manusia dengan meneliti fosil-fosil.

3) Etnologi adalah cabang antropologi yang secara khusus


mempelajari sejarah perkembangan kebudayaan manusia.

Menurut Mahjunir dalam bukunya Mengenal Pokok-pokok Antropologi dan


Kebudayaan (1967: 40), mengatakan bahwa antropologi budaya atau etnologi adalah
mempelajari bangsa-bangsa di dunia baik etnik maupun hubungan-hubungan antar
kelompok-kelompok etnik sepanjang sejarahnya.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa antropologi


budaya adalah ilmu yang mempelajari tentang suku-suku bangsa di dunia, sejarah
penyebaran dan perkembangan manusia, sejarah perkembangan kebudayaan
4

manusia, dan hubungan antara struktur sosial dengan kebudayaannya berdasarkan


penciptaan akal budi manusia.

8. Tujuan Antropologi Budaya.

a. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan dalam berbagai hal yang


terdapat pada berbagai suku bangsa atau bangsa di dunia sehingga menjadi
bahan-bahan untuk menentukan ke arah mana mereka akan dibawa ke masa
depan. Contohnya masyarakat bangsa Indonesia memiliki suku dan adat
istiadat yang beragam, dengan mengetahui perbedaan bahkan persamaannya
dapat menjadi bekal bagi prajurit teritorial dalam rangka cipta kondisi wilayah
untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.

b. Untuk mengetahui keadaan masyarakat (kelompok etnik) masyarakat


yang bersangkutan tanpa melupakan masa lampau mereka, sehingga ke arah
mana mereka akan berkembang dapat diberi solusi.

c. Membantu dan membentuk kehidupan bersama yang bersahabat antar


berbagai suku bangsa. Dengan memahami perbedaan-perbedaan suku
bangsa/ masyarakat, para prajurit teritorial akan terbantu dalam membentuk
kehidupan bersama yang bersahabat antar berbagai suku bangsa/masyarakat.
Misalnya toleransi antar umat beragama, dan lain-lain.

d. Membantu para prajurit teritorial untuk pembangunan masyarakat


pedesaan, dan membantu memajukan suku-suku bangsa/masyarakat yang
hidup terasing di daerah-daerah pedalaman dan banyak ketinggalan dalam
berbagai hal.

BAB III
DINAMIKA MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN

9. Umum. Pada dasarnya semua kebudayaan mempunyai dinamika atau gerak.


Gerak kebudayaan sebenarnya adalah gerak manusia yang hidup di tengah-tengah
masyarakat yang menjadi wadah kebudayaan tadi. Gerak manusia terjadi sebab dia
mengadakan hubungan dengan manusia lainnya, artinya karena terjadinya hubungan
antar kelompok manusia di dalam masyarakat. Dengan demikian, karena manusia
dalam mempertahankan kehidupannya selalu beradaptasi dengan lingkungannya maka
dalam rangka survive manusia harus mampu memenuhi apa yang menjadi
kebutuhannya sehingga manusia melakukan berbagai cara. Hal yang dilakukan
manusia adalah kebudayaan. Sumber perubahan kebudayaan dapat berasal dari
dalam masyarakat itu sendiri dapat pula berasal dari luar masyarakat yang
bersangkutan. Apabila jangka waktu proses perubahan tersebut memakan waktu yang
lama, maka proses perubahan disebut evolusi atau revolusi kebudayaan. Sedangkan
proses perubahan relatif cepat biasanya disebabkan ditemukannya atau dikenalkannya
teknologi baru atau adanya kontak dengan masyarakat luar. Untuk itu, dalam rangka
memahami dinamika masyarakat dan kebudayaan di bawah ini akan diuraikan sebagai
berikut: proses belajar kebudayaan sendiri, proses evolusi sosial, proses difusi,
akultrasi, dan pembauran atau asimilasi serta pembaharuan atau inovasi.
5

10. Proses Belajar Kebudayaan Sendiri.

a. Internalisasi. Di dalam kaidah bahasa Indonesia kata berakhiran “isasi“


mempunyai defenisi sebuah proses, jadi internalisasi dapat didefenisikan
sebagai suatu proses. Dalam kamus bahasa umum bahasa Indonesia
internalisasi diartikan sebagai penghayatan, pendalaman, penguasaan secara
mendalam yang berlangsung melalui pembinaan, bimbingan, dan sebagainya.
Internalisasi berarti proses menanamkan dan menumbuhkembangkan suatu nilai
atau budaya menjadi bagian dari orang yang bersangkutan, atau internalisasi
adalah penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin atau nilai sehingga
merupakan keyakinan dan kesadaran akan kebenaran doktrin atau nilai yang
diwujudkan dalam sikap dan perilaku.

Proses internalisasi adalah proses individu belajar menanamkan dalam


kepribadiannya segala perasaan, hasrat, nafsu, emosi yang diperlukan
sepanjang hayatnya. Manusia memiliki bakat yang telah terkandung dalam
gennya untuk mengembangkan berbagai macam perasaan, hasrat, nafsu dan
emosi dalam kepribadian individunya. Tetapi wujud dan pengaktifannya sangat
dipengaruhi oleh berbagai macam stimulasi yang berada dalam alam sekitar,
lingkungan sosial maupun budayanya.

Abdurrahmat Fathoni (2006:24), mengemukakan proses internalisasi


dimaksudkan proses panjang sejak seorang individu dilahirkan menanamkan
dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat, nafsu, serta emosi yang
diperlukan sepanjang hidupnya. Perasaan pertama yang diaktifkan dalam
kepribadiaan seorang bayi kecil, yaitu pada saat dilahirkan keluar dari
kandungan ibunya adalah perasaan puas dan tidak puas. Ketika berada di luar
kandungan ibunya, membawa pengalaman tidak puas yang pertama kepada si
individu yang baru itu. Baru setelah ia dibungkus dengan selimut dan diberi
kesempatan untuk menyusu, maka rasa tidak puas itu hilang, dan perasaan puas
pun dialaminya. Dan setiap kali dia terkena pengaruh lingkungan yang
menyebabkan rasa tidak puas tadi, ia akan menangis, dan setiap kali juga
selimut dan susu mendatangkan rasa puas. Secara sadar si bayi telah belajar
untuk tidak hanya mengalami, tetapi juga mengetahui bagaimana cara
mendatangkan rasa puas, ialah dengan menangis. Tiap hari dalam hidupnya,
bertambahlah pengalamannya mengenai perasaan simpati, cinta, dosa, malu
dan sebagainya. Selain itu, bagaimana hidup untuk bergaul, meniru,
mengetahui sesuatu, berbakti, tahu keindahan, dan lain sebagainya dipelajarinya
melalui proses internalisasi menjadi milik kepribadian individu.

Adapun manfaat internalisasi, yaitu pertama pengembangan, sebagai


pengembangan potensi seseorang untuk menjadi pribadi dan memliki perilaku
yang mencerminkan budaya dan karakter bangsa; kedua perbaikan, manfaat
perbaikan adalah untuk memperkuat kepribadian yang bertanggungjawab dalam
pengembangan seorang individu yang lebih bermartabat, dan ketiga penyaring,
manfaat penyaring bertujuan untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan
budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilaya-nilai budaya dan karakter
bangsa yang bermartabat agar tidak terjadi suatu goncangan budaya.
6

b. Proses Sosialisasi, suatu proses dimana seorang individu dari masa


kanak-kanak hingga masa tuanya mempelajari kebiasaan-kebiasaan yang
meliputi cara-cara hidup, nilai-nilai dan norma-norma yang terdapat dalam
masyarakat agar dapat diterima oleh masyarakatnya. Tahapan proses
sosialisasi:

1) Tahap persiapan (Prepatory Stage), tahap ini dialami sejak


manusia dilahirkan, saat seorang anak mempersiapkan diri untuk
mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman
tentang diri. Pada tahap ini juga anak-anak mulai melakukan kegiatan
meniru meski tidak sempurna. Contoh kata ’’makan” yang dijarkan ibu
kepada anaknya yang masih balita diucapkan “mam”. Makna kata
tersebut juga belum dipahami tepat oleh anak. Lama kelamaan anak
memahami secara tepat makna kata makan tersebut dengan kenyataan
yang dialaminya.

2) Tahap meniru (Play Stage), tahap ini ditandai dengan semakin


sempurnanya seorang akan menirukan peran-perang yang dilakukan oleh
orang dewasa. Pada tahap ini mulai terbentuk kesadaran tentang nama
diri dan siapa nama orang tuanya, kakaknya dan sebagainya. Anak mulai
menyadari tentang apa yang dilakukan seorang ibu dan apa yang
diharapkan ibu dari seorang anak. Dengan kata lain, kemampuan untuk
menempatkan diri pada posisi orang lain juga mulai terbentuk pada tahap
ini. Kesadaran bahwa dunia sosial manusia berisikan banyak orang telah
mulai terbentuk.

3) Tahap siap bertindak (Game Stage), peniruan yang dilakukan


sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran secara langsung
dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya
menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga
memungkinkan adanya kemampuan bermain secara bersama-sama. Dia
mulai menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga dan teman-
temannya. Peraturan-peraturan yang berlaku di luar keluarganya secara
bertahap mulai dipahami. Anak mulai menyadari bahwa ada norma
tertentu yang berlaku di luar keluarganya.

4) Tahap penerimaan norma kolektif (Generalized Stage/Generalized


Othter), pada tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah
dapat menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Dengan
kata lain, dia dapat bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-orang
yang berinteraksi dengannya tetapi juga dengan masyarakat luas.
Manusia dewasa menyadari pentingnya peraturan, kemampuan bekerja
sama bahkan dengan orang lain yang tidak dikenalnya secara mantap.
Manusia dalam tahap ini menjadi warga masyarakat dalam arti
sepenuhnya.

c. Proses akultrasi (pembudayaan), proses di mana seorang individu


mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran dan sikapnya dengan adat istiadat,
sistem, norma, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya.
Sejak kecil proses akultrasi ini sudah dimulai dalam alam pikiran warga suatu
masyarakat, mula-mula di dalam lingkungan keluarganya, kemudian dari teman-
temannya bermain. Sesekali ia belajar dengan meniru saja berbagai macam
7

tindakan, setelah perasaan dan nilai budaya yang memberi motivasi akan
tindakan meniru telah diinternalisasi dalam kepribadiannya. Dengan berkali-kali
meniru tindakannya menjadi suatu pola yang mantap, dan norma yang mengatur
tindakannya “dibudayakan”

11. Proses Evolusi Sosial Budaya. Menurut konsep evolusi secara universal
mengatakan bahwa manusia berkembang secara lambat (berevolusi) dari tingkat-
tingkat rendah dan sederhana menuju ke tingkat yang lebih tinggi dan kompleks. Di
mana kecepatan perkembangannya atau proses evolusinya berbeda-beda setiap
wilayah yang ada di muka bumi ini. Itu sebabnya sampai saat ini masih ada juga
kelompok-kelompok manusia yang hidup dalam masyarakat yang bentuknya belum
banyak berubah dari dahulu hingga saat ini kebudayaannya. Ada beberapa konsep
evolusi sosial budaya menurut para ahli, antara lain:

a. Konsep evolusi sosial universal menurut H. Spenser, teori mengenai asal


mula religi. Spencer mengatakan, bahwa semua bangsa yang ada di dunia ini,
religi itu dimulai dengan adanya rasa sadar dan takut akan maut. Spenser
mengatakan bahwa bentuk religi yang tertua adalah religi terhadap
penyembahan roh-roh nenek moyang yang merupakan personifikasi dari jiwa-
jiwa orang yang telah meninggal. Bentuk religi yang tertua ini pada semua
bangsa di dunia akan berevolusi ke bentuk religi yang lebih kompleks, yaitu
penyembahan kepada dewa-dewa, seperti: dewa kejayaan, dewa perang, dewa
kebijaksanaan, dewa kecantikan, dewa maut dan dewa lainnya
(Koentjaraningrat, 2002:35).

b. Teori evolusi keluarga. Menurut J.J. Bachoven dalam Koentjaraningrat


(2002:38) mengatakan bahwa di seluruh dunia ini evolusi keluarga berkembang
melalui empat tahap, yaitu:

1) Tahap Promiskuitas, pada tahapan ini kehidupan manusia sama


dengan kehidupan binatang yang hidup berkelompok. Pada tahapan ini
laki-laki dan perempuan bebas melakukan hubungan perkawinan dengan
yang lain tanpa ada ikatan keluarga dan menghasilkan keturunan tanpa
ada terjadi ikatan keluarga seperti sekarang ini.

2) Tahapan matriarchate, lambat laun manusia semakin sadar akan


hubungan ibu dan anak, tetapi anak belum mengenal ayahnya melainkan
hanya masih mengenal ibunya. Dalam keluarga ini ibulah yang menjadi
kepala keluarga dan yang mewarisi garis keturunan. Pada tahapan ini
perkawinan ibu dan anak dihindari sehingga muncullah adat exogami.

3) Sistem Patriarchate, di mana ayahlah yang menjadi kepala


keluarga serta ayah yang mewarisi garis keturunan. Perubahan dari
matriarchate ke patriarchate terjadi karena laki-laki merasa tidak puas
dengan situasi keadaan sosial yang menjadikan wanita sebagai kepala
keluarga. Sehingga para pria mengambil calon isterinya dari kelompok-
kelompok yang lain dan dibawanya ke dalam kelompoknya sendiri serta
menetap di sana. Sehingga keturunannya pun tetap menetap bersama
mereka.
8

4) Pada tahapan yang terakhir, patriarchate lambat laun hilang dan


berubah menjadi susunan kekerabatan yang disebut Bachofen susunan
parental. Pada tingkat terakhir ini perkawinan tidak selalu dari luar
kelompok (exogami) tetapi juga dari kelompok yang sama (endogami).
Hal ini menjadikan anak-anak bebas berhubungan langsung dengan
keluarga ibu maupun ayah.

12. Proses Difusi. Difusi kebudayaan adalah proses tersebarnya unsur-unsur


kebudayaan dari suatu daerah kebudayaan ke daerah kebudayaan lain. Pendapat lain
mengatakan bahwa difusi kebudayaan merupakan penyebaran sesuatu unsur
kebudayaan dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Sebenarnya difusi terjadi pula di
dalam lingkungan satu masyarakat (difusi intra masyarakat), tetapi yang lebih banyak
mendapat perhatian di dalam antropologi ialah difusi yang berlangsung dari satu
masyarakat ke masyarakat yang lain (difusi inter masyarakat).

Difusi kebudayaan dapat berlangsung melalui berbagai bentuk yang berlainan,


antara lain melalui perpindahan bangsa-bangsa pada zaman dahulu (migrasi).
Bersamaan dengan penyebab migrasi kelompok manusia, turut pua tersebar sejarah
dari proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan ke seluruh penjuru dunia. Salah satu
bentuk difusi adalah penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari suatu tempat ke tempat
lain di muka bumi yang dibawa oleh kelompok manusia yang hidup dari berburu,
berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain yang jauh sekali. Selain itu, difusi
kebudayaan dapat juga melalui perseorangan seperti pedagang, pelaut dan penyebar
agama. Pada zaman penyebaran agama-agama besar, pendeta agama Budha,
nasrani, dan kaum muslimin mendifusikan berbagai unsur kebudayaan dari mana
mereka berasal. Difusi kebudayaan dapat pula berlangsung antar dua kelompok
masyarakat yang tinggal bertetangga.

Ada beberapa macam proses suatu unsur kebudayaan masuk dalam suatu
kebudayaan masyarakat penerima, sebagai berikut:

a. Dengan jalan damai dan memajukan kebudayaan penerima (penetration


pacifique).

b. Melalui jalan peperangan dan penjajahan, sehingga masuknya dengan


cara merusak dan dapat menimbulkan gangguan pada kebudayaan masyarakat
yang dijajah (penetration violente).

c. Dengan jalan hidup berdampingan tanpa saling merugikan malahan


mungkin menguntungkan (syimbiotic), seperti dapat terjadi pada suku-suku
bangsa atau bangsa yang hidup bertetangga dan hidup berdampingan.

13. Akulturasi dan Pembauran atau Asimilasi.

a. Akulturasi. Akultrasi adalah pertukaran unsur-unsur kebudayaan yang


terjadi selama dua kebudayaan yang berbeda saling kontak secara terus
menerus dalam waktu yang panjang. Hal senada disampaikan oleh
Abdurrahmat Fathoni (2006:30), bahwa akultrasi merupakan proses sosial yang
timbul apabila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan dihadapkan
9

dengan unsur-unsur kebudayaan asing, sehingga dapat diterima dan diolah ke


dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian
kebudayaan asli. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akulturasi akan
terjadi apabila suatu unsur kebudayaan tertentu dari masyarakat yang satu
berhadapan dengan unsur-unsur kebudayaan dari masyarakat lain, sehingga
lambat laun unsur-unsur kebudayaan asing itu diserap ke dalam kebudayaan
penerima tanpa menghilangkan kepribadian kebudayaan penerima. Ada lima
golongan masalah akultrasi, yaitu:

1) Masalah metode untuk observasi, mencatat dan melukiskan suatu


proses akultrasi yang terjadi.

2) Masalah unsur kebudayaan asing yang mudah diterima dan atau


sukar diterima.

3) Masalah unsur apa yang mudah diganti dan tidak mudah diganti
atau diubah.

4) Masalah individu yang cepat dan sukar menerima.


5) Masalah ketegangan dan krisis sosial akibat akultrasi (Fathoni,
2006:31)
Fathoni menambahkan bahwa dengan adanya masalah akultrasi tersebut,
maka seorang peneliti dalam proses akultrasi, sebaiknya memperhatikan
beberapa persoalan khusus, sebagai berikut:

1) Keadaan masyarakat penerima sebelum proses akultrasi mulai


berjalan.

2) Individu-individu dari kebudayaan asing yang membawa unsur-


unsur kebudayaan asing.

3) Saluran-saluran yang dimulai oleh unsur-unsur kebudayaan asing


untuk masuk ke dalam kebudayaan penerima.

4) Bagian-bagian dari masyarakat penerima yang terkena pengaruh


unsur-unsur kebudayaan asing tadi.

5) Reaksi individu yang terkena unsur-unsur kebudayaan asing.

b. Pembauran atau asimilasi. Pembauran atau asimilasi merupakan proses


lebih lanjut dari proses akulturasi. Asimilasi terjadi pada kelompok masyarakat
dengan kebudayaan yang berbeda, hidup berdampingan, sehingga anggota dari
kelompok tadi dapat bergaul sesamanya secara langsung dan akrab dalam
waktu yang panjang, sehingga memungkinkan kebudayaan kelompok tersebut
saling berusaha mendekati satu sama lain dan lambat laun akhirnya menjadi
satu. Jadi, dalam proses asimilasi terjadi unsur-unsur kebudayaan baru yang
tidak serupa dengan unsur-unsur lama.
Menurut Abdurrahmat Fathoni(2006: 30-31), asimilasi timbul apabila ada:

1) Golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang


berbeda.
10

2) Saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu lama.

3) Kebudayaan golongan tadi berubah sifatnya dan wujudnya menjadi


kebudayaan campuran. Golongan minoritas mengubah sifat khas unsur
kebudayaan dan masuk ke kebudayaan mayoritas.

Proses asimilasi tidak selamanya berlangsung dengan mudah. Untuk itu


diperlukan beberapa syarat di antaranya adanya saling menghargai dan rasa
tenggang rasa. Sedangkan penghalang asimilasi di antaranya ialah:

1)      Kurang mengenal kebudayaan pihak lain.


2)      Rasa takut atau curiga terhadap kebudayaan pihak lain.

3)      Perasaan diri lebih unggul terhadap pihak lain.

14. Pembaharuan atau Inovasi. Abdurrahmat Fathoni (2006:33-34)


mengatakan, pembaharuan atau inovasi adalah suatu proses pembaharuan dari
penggunaan sumber-sumber alam, energi dan modal, pengaturan tenaga kerja dan
penggunaan teknologi baru yang semua akan menyebabkan adanya sistem produksi
dan dibuatnya produk-produk baru.
Lebih jauh Fathoni menjelaskan inovasi itu mengenai pembaharuan khusus, yaitu
mengenai unsur teknologi dan ekonomi. Proses inovasi sudah tentu sangat erat
sangkut pautnya dengan penemuan baru dalam teknologi. Suatu penemuan biasanya
juga merupakan suatu proses sosial yang panjang melalui dua tahap khusus, yaitu
discovery dan invention:

a. Discovery adalah suatu penemuan baru dari suatu unsur kebudayaan


baru, baik berupa suatu alat yang baru, ide baru, yang diciptakan oleh seorang
individu atau suatu rangkaian dari beberapa individu dalam masyarakat yang
bersangkutan.

b. Invention atau penemuan adalah suatu proses pengakuan, penerimaan,


dan penerapan penemuan-penemuan baru oleh suatu kelompok masyarakat
seperti pengaturan tenaga kerja, penggunaan teknologi, dll. Dengan demikian
invention itu mengenai pembaruan kebudayaan yang khusus mengenai unsur
teknologi dan ekonomi.

BAB IV
KEBUDAYAAN NASIONAL INDONESIA.

15. Umum. Masyarakat bangsa Indonesia yang mendiami kepulauan Nusantara


memiliki keanekaragaman budaya dan menjadi sumber kebudayaan nasional yang
melambangkan aneka warna bangsa, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Keanekaragaman
kebudayaan menjadi suatu kebanggaan nasional apabila kebudayaan nasional dapat
didukung oleh sebagian besar warga Negara Indonesia. Oleh karena itu, agar setiap
warga negara memahami konsep kebudayaan nasional dan bangga terhadap
kebudayaan nasionalnya, maka akan diuraikan pengertian tentang kebudayaan
11

nasional. Kebudayaan Indonesia merupakan Kebudayaan Nasional. Kebudayaan


Daerah merupakan salah satu sumber Kebudayaan Nasional, dan Sapta Marga
sebagai produk budaya TNI.

16. Pengertian Kebudayaan Nasional.

a. Menurut Koentjaraningrat kebudayaan nasional adalah suatu kebudayaan


yang didukung oleh sebagian besar warga suatu negara, dan memiliki syarat
mutlak yang bersifat khas dan dibanggakan, serta memberikan identitas
terhadap warga.

b. Menurut Tap MPR No. II tahun 1998, kebudayaan nasional yang


berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta, karya dan karsa bangsa
Indonesia dan merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk
mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan untuk
memberikan wawasan dan makna pada pembangunan nasional dalam segenap
bidang kehidupan bangsa.

c. Menurut Ki hajar Dewantara, kebudayaan nasional merujuk pada paham


kesatuan makin dimantapkan, sehingga ketunggalikaan makin lebih dirasakan
daripada kebhinekaan. Wujudnya berupa negara kesatuan, ekonomi nasional,
hukum nasional, serta bahasa nasional.

d. Menurut Direktorat Sejarah dan Nilai Tradsional, Kongres Kebudayaan


(1991), kebudayaan nasional sendiri dipahami sebagai kebudayaan bangsa yang
sudah berada pada posisi yang memiliki makna bagi seluruh bangsa Indonesia.
Dalam kebudayaan nasional terdapat unsur pemersatu dari bangsa Indonesia
yang sudah sadar dan mengalami persebaran secara nasional. Di dalamnya
terdapat unsur kebudayaan bangsa dan unsur kebudayaan asing, serta unsur
kreasi baru atau hasil invensi nasional. Sedangkan Kebudayaan bangsa, ialah
kebudayaan-kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagi puncak-puncak di
daerah-daerah di seluruh Indonesia.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan


nasional adalah budaya yang dihasilkan oleh masyarakat bangsa sejak zaman
dahulu hingga sekarang sebagai suatu karya yang dibanggakan yang memiliki
kekhasan bangsa tersebut sehingga dapat memberi identitas nasional dan
menciptakan suatu jati diri bangsa yang kuat. Secara singkat dapat dikatakan
bahwa kebudayaan nasional adalah kebudayaan yang diakui sebagai identitas
nasional.

Adapun kekhasan yang dimaksudkan di dalam kebudayaan nasional


hanya dapat dimanifestasikan pada unsur bahasa, kesenian, pakaian, dan
upacara ritual.

17. Kebudayaan Indonesia Merupakan Kebudayaan Nasional.


Kebudayaan dapat dipahami sebagai suatu sistem ide/gagasan yang dimiliki
suatu masyarakat lewat proses belajar dan dijadikan sebagai acuan tingkah laku dalam
kehidupan sosial bagi masyarakat tersebut. Sedangkan sistem budaya sendiri dapat
dikatakan sebagai seperangkat pengetahuan yang meliputi pandangan hidup,
12

keyakinan, nilai, norma, aturan, hukum yang diacu untuk menata, menilai, dan
menginterpretasikan benda dan peristiwa dalam berbagai aspek kehidupannya. Nilai-
nilai yang menjadi salah satu unsur sistem budaya, merupakan konsepsi abstrak yang
dianggap baik dan amat bernilai dalam hidup, yang kemudian menjadi pedoman
tertinggi bagi kelakuan dalam suatu masyarakat. Berdasarkan dari pemahaman
tersebut, konsep kebudayaan Indonesia dibangun oleh para pendahulu kita yang
mengacu kepada nilai-nilai yang dipahami, dianut, dan dipedomani bersama oleh
bangsa Indonesia sendiri. Akhirnya, nilai-nilai ini dianggap sebagai nilai luhur, sebagai
acuan pembangunan Indonesia. Adapun nilai-nilai itu antara lain adalah taqwa, iman,
kebenaran, tertib, setia kawan, harmoni, rukun, disiplin, harga diri, tenggang rasa,
ramah tamah, ikhtiar, kompetitif, kebersamaan, dan kreatif.  Nilai-nilai itu ada dalam
sistem budaya etnik yang ada di Indonesia. Nilai-nilai tersebut dianggap sebagai
puncak-puncak kebudayaan daerah, sebagaimana sifat/ciri khas kebudayaan suatu
bangsa Indonesia (Junus Melalatoa dalam Adi Prasetijo: 2008). Konsep kebudayaan
Indonesia ini kemudian diikat dalam satu konsep persatuan dan kesatuan bangsa yaitu
konsep Bhineka Tunggal Ika (berbeda tetapi satu).

Menurut David Robertson (1993:331), konsep Indonesia sendiri, sebenarnya


mengacu kepada konsep bangsa negara/nation-state. Konsep bangsa (nation)
merupakan konsep yang berada diantara konsep negara dan masyarakat. Konsep
bangsa dibangun atas dasar rasa identitas komunal yang mempunyai sejarah tradisi
yang relatif sama dan berelemen utama kebudayaan, yang mendiami unit geografi yang
teridentifikasikan/disepakati bersama.  Lebih jauh David Robertson (1993:332),
mengatakan bahwa nation-state sendiri mengacu kepada konteks di mana ada unit
geografi area tertentu sebagai tanah air bagi orang-orang yang mengidentifikasikan
dirinya sebagai komunitas, karena mempunyai kebudayaan, sejarah, dan mungkin
bahasa serta karakter etnik, yang dibangun oleh sistem politik. Dalam nation-state ini,
konsep kesepakatan mengacu kepada kesepakatan yang bersifat politis. Sebagai
suatu bangsa-negara, Indonesia dibangun atas dasar kesepakatan bersama
masyarakat yang berdiam dari Sabang hingga Merauke. Suatu masyarakat yang
merasa mempunyai kebudayaan, bahasa, etnik karakter, dan sejarah yang relatif sama,
sehingga kelompok-kelompok etnis yang bersepakat tersebut, berada dalam satu
kesatuan administrasi kolonial yang sama, yaitu hindia belanda. Hal senada Usman
Pelly (1998:31), mengemukakan, sesuatu yang menjadi daya perekat kesatuan bangsa
Indonesia ketika itu adalah keseluruhan faktor-faktor teritorial, etnik dan budaya.
Mereka disatukan oleh semangat kebangsaan Indonesia ketika merebut kemerdekaan,
hingga kemudian merdeka. Semangat kebangsaan yang bersifat obyektif
(kewilayahan, sejarah, dan struktur ekonomi) dan subyektif (kesadaran, kesetiaan, dan
kemauan) ada dalam diri etnik-etnik tersebut. Semangat kebangsaan itu lalu
berfluktuatif dengan keadaan kondisi Indonesia dari masa ke masa.

Konsep tentang kebudayaan Indonesia menjadi kebudayaan nasional


(Indonesia) atau kebudayaan bangsa sebenarnya bukan merupakan pembahasan baru
dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia. Terbukti tahun 1930 para intelektual
dan pemerhati sosial di Indonesia telah mulai berembuk dan berusaha menemukan
konsep yang paling tetap untuk kebudayaan nasional ini, sebagaimana tertuang dalam
UUD 1945 sebagai berikut: Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 32 menyatakan
bahwa Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Selanjutnya,
penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa kebudayaan bangsa ialah kebudayaan
yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan
lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di
seluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus
13

menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan dengan tidak menolak bahan-
bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya
kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa
Indonesia.

Demikian juga dalam Garis-garis Besar Haluan Negara dinyatakan: bahwa


sebagai perwujudan pembangunan berwawasan Nusantara, Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN) 1993 mengamanatkan bahwa bangsa Indonesia yang terdiri dari
berbagai suku dengan latar belakang berbagai bahasa dan kebudayaan daerah serta
memeluk dan meyakini berbagai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa merupakan satu kesatuan bangsa yang bulat dalam arti seluas-luasnya.
Selanjutnya, diamanatkan pula bahwa budaya bangsa pada hakikatnya satu,
sedangkan corak ragam budaya menggambarkan kekayaan budaya bangsa yang
merupakan modal dan landasan pengembangan budaya bangsa seluruhnya dengan
tidak menolak nilai-nilai budaya lain yang tidak bertentangan dengan nilai budaya
bangsa yang hasil-hasilnya dapat dinikmati oleh bangsa. Budaya bangsa Indonesia
yang dinamis yang telah berkembang sepanjang sejarah bangsa serta bercirikan
kebhinnekaan dan keekaan bangsa merupakan modal dasar bagi pembangunan
nasional (Syarif Muis, 2009:13)

Lebih jauh Syarif Muis (2009:14-16), mengemukakan untuk merumuskan konsep


tentang kebudayaan nasional dari masyarakat Indonesia bukanlah hal yang mudah,
namun kerangka berpikir kebudayaan dapat dianalisa menurut alur substansi, orientasi,
dan fungsi sebagai berikut:

a. Substansi. Dalam hal ini kebudayaan nasional dilihat dari segi isi
kebudayaan itu sendiri. Dalam kaitan budaya seperti ini Poerbatjaraka,
menganjurkan agar orang Indonesia banyak mempelajari sejarah
kebudayaannya, agar dapat membangun kebudayaan yang baru. Kebudayaan
Indonesia baru itu harus berakar kepada kebudayaan Indonesia sendiri atau
kebudayaan pra-Indonesia. Ki Hajar Dewantara, menyatakan bahwa
kebudayaan nasional Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan daerah.

b. Orientasi. Dalam perspektif orientasi budaya, dimaksudkan bahwa


budaya nasional itu mencirikan satu arah tujuan bangsa Indonesia yang jelas.
Tokoh kebudayaaan dengan perspektif orientasi ini antara lain: Alisyahbana,
menyatakan bahwa kebudayaan nasional Indonesia merupakan suatu
kebudayaan yang dikreasikan, yang baru sama sekali, dengan mengambil
banyak unsur dari kebudayaan yang kini dianggap paling universal, yaitu budaya
Barat. Unsur yang diambil terutama adalah teknologi, orientasi ekonomi,
organisasi, dan sains. Begitu juga orang Indonesia harus mempertajam rasio
akalnya dan mengambil dinamika budaya Barat. Pandangan ini mendapat kritik
dari pemikir lainnya, antara lain: Sanusi Pane, yang menyatakan bahwa
kebudayaan Nasional Indonesia sebagai kebudayaan Timur harus
mementingkan aspek kerohanian, perasaan dan gotong-royong, yang
bertentangan dengan kebudayaan Barat yang terlalu berorientasi kepada materi,
intelektualisme dan individualisme.

c. Fungsi. Dalam perspektif fungsi dimaksudkan sebagai usaha untuk


menggambarkan suatu kerangka budaya nasional dari pendekatan fungsi
kebudayaan itu sendiri bagi bangsa Indonesia. Tokoh yang mengatakan konsep
kebudayaan menurut pendekatan fungsi dan buah pikirannya adalah :
14

Koentjaraningrat, menyebutkan bahwa kebudayaan nasional Indonesia


sekurangnya harus memiliki dua fungsi yaitu:

(1) Sebagai suatu sistem gagasan dan pralambang yang memberi


identitas kepada warga negara Indonesia; dan

(2) Sebagai suatu sistem gagasan dan pralambang yang dapat


dipergunakan oleh semua warga negara Indonesia yang bhinneka, untuk
saling berkomunikasi, sehingga memperkuat solidaritas.

Dalam fungsinya yang pertama, kebudayaan nasional Indonesia memiliki


tiga syarat:

(1) Harus merupakan hasil karya warga negara Indonesia, atau hasil
karya orang-orang zaman dahulu yang berasal dari daerah-daerah yang
sekarang merupakan wilayah negara Indonesia;

(2) Unsur itu harus merupakan hasil karya warga negara Indonesia
yang tema pikirannya atau wujudnya mengandung ciri-ciri khas Indonesia;
dan

(3) Harus sebagai hasil karya warga negara Indonesia lainnya yang
dapat menjadi kebanggaan mereka semua, sehingga mereka mau
mengidentitaskan diri dengan kebudayaan itu.

Dalam fungsi kedua, harus ada tiga syarat yaitu dua di antaranya sama
dengan syarat nomor satu dan dua fungsi pertama, syarat nomor tiga yaitu harus
sebagai hasil karya dan tingkah laku warga negara Indonesia yang dapat
dipahami oleh sebahagian besar orang Indonesia yang berasal dari kebudayaan
suku-suku bangsa, umat agama, dan ciri keturunan ras yang aneka warna,
sehingga menjadi gagasan kolektif dan unsur-unsurnya dapat berfungsi sebagai
wahana komunikasi dan sarana untuk menumbuhkan saling pengertian di antara
aneka warna orang Indonesia, dan mempertinggi solidaritas bangsa.

Kebudayaan nasional Indonesia adalah semua yang dikategorikan sistem


nasional apakah itu berbentuk gagasan kolektif, berbentuk material seperti
sistem pendidikan, sistem politik, sistem hukum, dan sistem lainnya dan
berbentuk perilaku seperti menghargai kemajemukan, atau pluralitas,
menjunjung hak dan kewajiban adalah kebudayaan nasional Indonesia.
Brahmana (1997) berusaha menuangkan gagasan tentang konsep kebudayaan
Indonesia menurut dua pendekatan wujud kebudayaan, yaitu sebagai wujud idea
dan sebagai wujud material.

Berdasarkan wujud ide definisi kebudayaan adalah semua pola atau cara
berpikir/merasa bangsa dalam suatu ruangan dan waktu. Pengertian ini
dikembangkan ke dalam kebudayaan Indonesia menjadi Kebudayaan Nasional
Indonesia semua pola atau cara berpikir/merasa bangsa Indonesia yang sama
terhadap kelangsungan hidupnya di dalam sebuah negara. Berdasarkan definisi
di atas, definisi Kebudayaan Nasional Indonesia berdasarkan sisi ide dapat
dijelaskan semua pola atau cara berpikir/merasa bangsa Indonesia dalam suatu
ruangan dan waktu. Pola atau cara berpikir/merasa ini dapat dimulai sesudah
adanya Sumpah Pemuda (1928) atau sesudah Indonesia Merdeka (1945) hingga
15

saat ini. Pilihan angka tahun ini (1928) karena, pada masa ini sudah tumbuh
keinginan untuk bersatu (cara berpikir/merasa yang seragam untuk mencapai
cita-cita atau tujuan bersama) ke dalam sebuah negara. Keinginan ini kemudian
diwujudkan pada tahun 1945 (kemerdekaan Indonesia).

Sedangkan kebudayaan nasional Indonesia berdasarkan wujud material


adalah produk dari suatu bangsa dalam suatu ruangan dan waktu. Misalnya
semua produk bangsa Indonesia baik yang dikembangkan di luar negeri,
maupun yang dikembangkan di dalam negeri, yang tumbuh dan berkembang
sejak Indonesia merdeka (1945) atau sesudah Sumpah Pemuda (1928) hingga
saat ini, apakah itu yang diserap dari kebudayaan etnik maupun kebudayaan
asing, baik melalui proses difusi, akulturasi yang disepakati menjadi bagian dari
alat mencapai tujuan nasional bersama di dalam negara kesatuan RI. Dari mana
asal kebudayaan ini tidak dipersoalkan, selagi bentuk kebudayaan yang diserap
itu mampu mempersatukan dan mempererat persatuan dan kesatuan, itulah
Kebudayaan Nasional Indonesia.

18. Kebudayaan Daerah Merupakan Salah Satu Sumber Kebudayaan Nasional.


Kebudayaan daerah diartikan sebagai kebudayaan khas yang terdapat pada
suatu daerah.  Koentjaraningrat mengatakan kebudayaan daerah sama dengan
konsep suku bangsa. Lebih jauh Koentjaraningrat mengatakan “yang khas dan
bermutu dari suku bangsa mana pun asalnya, asal bisa mengidentifikasikan diri dan
menimbulkan rasa bangga, itulah kebudayaan nasional”. Hal ini berarti, bahwa
puncak-puncak kebudayaan daerah atau kebudayaan suku bangsa yang bermutu tinggi
dan menimbulkan rasa bangga bagi masyarakat bangsa Indonesia apabila ditampilkan
untuk mewakili Negara, misalnya: tari Bali. Tari Bali yang sering ditampilkan di
panggung-panggung hiburan, di samping orang Indonesia merasa bangga karena tari
tersebut dikagumi oleh masyarakat bangsa Indonesia di dalam negeri, seluruh dunia
juga mengetahuinya bahwa tarian tersebut merupakan budaya dari Indonesia. Bali itu
letaknya di Indonesia jadi kesenian itu dari Indonesia. Dalam hal ini juga berlaku bagi
cabang-cabang kesenian lain bagi berbagai suku bangsa di Indonesia.

Kebudayaan nasional dapat berupa sumbangan dari kebudayaan lokal yang


tergabung menjadi satu ciri khas yang kemudian menjadi kebudayaan nasional.
Contohnya: pakaian batik. Hampir seluruh daerah di Indonesia menciptakan batik
dengan corak khas yang berbeda-beda yang disesuaikan dengan ciri khas daerah yang
bersangkutan, misalnya batik dari Papua dengan corak burung cenderawasih, batik dari
Jawa Tengah dengan corak wayang kulit, dan lain-lain. Batik akhirnya ditetapkan
menjadi satu pakaian nasional. Dengan demikian budaya lokal menjadi budaya
nasional.

Selain itu, kebudayaan nasional bisa dihubungkan dengan kebudayaan timur


yang menjadi dasar landasan kebudayaan daerah. Kebudayaan nasional dapat dilihat
dari pola sistem hidup masyarakatnya, seperti sifat keramah-tamahan, kekeluargaan,
kerakyatan, kemanusiaan dan gotong royong. Sifat-sifat yang demikian dapat dilihat
dari kebudayaan nasional dan dilihat oleh bangsa lain sebagai ciri kebudayaan
Indonesia. Meskipun gotong royong setiap daerah istilahnya berbeda, tetapi secara
pengertian sama artinya. Bangsa Indonesia mempunyai peribahasa berat sama
dipikul, ringan sama dijinjing, sama rata sama rasa. Ungkapan ini mencerminkan
bangsa Indonesia sejak dulu menjunjung tinggi kebersamaan dalam melaksanakan
pekerjaan, dan sama-sama menikmati hasilnya.
16

Dalam sistem ini nilai budaya orang Indonesia mengandung konsep, yaitu:

a. Manusia tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi di kelilingi oleh


komunitasnya, masyarakatnya dan alam semesta.

b. Dengan demikian, dalam segala aspek kehidupannya manusia pada


hakekatnya tergantung pada sesamanya, terdorong oleh jiwa sama rata sama
rasa.

c. Karena itu, ia harus berusaha untuk sedapat mungkin memelihara


hubungan baik dengan sesamanya.

d. Selalu berusaha untuk sedapat mungkin bersifat conform, berbuat sama


dan bersama dengan sesamanya dalam komunitasnya. (Abdurrahmat Fathoni,
2006: 72-73).

Demikian juga bahasa Indonesia, yang merupakan bahasa nasional di


Indonesia, menjadi budaya nasional dan sekaligus merupakan kebanggaan bangsa
Indonesia, selain sebagai bahasa pemersatu juga menjadi identitas nasional yang
membanggakan seluruh masyarakat bangsa Indonesia yang terdiri dari ratusan suku
dan bahasa daerah yang berbeda-beda. Kita mempunyai lagu kebangsaan Indonesia,
lagu Indonesia Raya, Garuda Pancasila sebagai lambang negara merupakan identitas
bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan kebanggaan bangsa Indonesia.

19. Sapta Marga sebagai produk budaya TNI. Organisasi TNI sejak didirikan
tahun 1945 hingga sekarang diisi oleh prajurit-prajurit yang berasal dari seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki keanekaragaman baik suku,
agama, ras, golongan, dan budaya, sehingga tidak dapat dipungkiri dalam
pergaulannya sehari-hari bahkan dalam pelaksanaan tugas pun unsur-unsur perbedaan
itu, bisa saja muncul ke permukaan, manakala tidak segera di antisipasi.
Untuk itu, maka para pemimpin TNI menetapkan Sapta Marga sebagai pedoman
hidup dan pedoman prajurit TNI, yang secara formal Sapta Marga disahkan oleh
Panglima Tertinggi APRI pada tanggal 5 Oktober 1951. Walaupun penetapannya baru
tahun 1951, akan tetapi pada hakekatnya norma-norma yang tercantum di dalamnya
secara idiil telah merupakan norma perjuangan sejak tahun 1945.

Sapta Marga sebagai produk budaya TNI didasarkan pada pendekatan budaya
kehormatan prajurit, disiplin prajurit, dan semangat juang prajurit.

a) Kehormatan prajurit. Mahkota tertinggi yang harus diperhatikan oleh


seorang prajurit adalah kehormatan prajurit, untuk memelihara kehormatan
prajurit diharapkan agar setiap prajurit TNI dapat menunjukan segala tingkah
laku, perbuatan dan tindak tanduknya sesuai dengan etika kehormatan prajurit.

b) Disiplin prajurit. Disiplin adalah sesuainya tingkah laku dan perbuatan


dengan norma yang berlaku. Seorang prajurit dikatakan disiplin apabila ia
mentaati segala peraturan yang berlaku di lingkungannya, seorang prajurit yang
disiplin akan mentaati semua peraturan negara, satuan, dan lingkungan di mana
ia tinggal
17

c) Semangat Juang Prajurit. Seorang prajurit demi kehormatannya akan


bertindak dengan penuh rasa tanggung jawab, rela berkorban, tanpa pamrih,
etos kerja yang tinggi, dan tidak mengenal menyerah di dalam melaksanakan
tugas.

Dalam budaya Sapta Marga terdapat tujuan antara lain mempersatukan jiwa
keprajuritan, memusatkan semangat keprajuritan pada kesatuan hidup, mempersatukan
perjuangan TNI pada satu dasar keyakinan akan tujuan perjuangan dan membentuk
tradisi prajurit sebagai bhayangkari negara. Produk budaya Sapta Marga ini dijabarkan
lagi dalam 8 wajib TNI, sebagai pedoman prajurit dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.

Dari uraian kebudayan nasional di atas, menyadarkan kita bahwa sebenarnya


bangsa Indonesia hidup berdampingan dengan masyarakat yang mempunyai budaya
yang berbeda. Sehingga dapat membuka mata kita tentang berbagai ciri yang khas
yang dimiliki tiap-tiap daerah yang tentunya tidak mungkin memaksakannya ataupun
juga menyamakannya.

Namun, banyak sekali kita lihat kasus-kasus yang menyangkut etnis di mana hal
itu tentu akibat kurang terbukanya hati kita akan perbedaan. Masih ada saja orang-
orang atau golongan yang begitu sinis dengan budaya di luar budaya sendiri. Sikap-
sikap inilah yang nantinya dapat menimbulkan perpecahan serta dapat pula berakibat
fatal terhadap hancurnya sebuah negara, termasuk Indonesia. Jika masing-masing
daerah tidak mengindahkan arti kesadaran budaya, tidak mustahil keseragaman
budaya yang kita miliki yang seharusnya menjadi kebanggaan kita malah menjadi
bumerang bagi negara kita sendiri.

Ada empat cara untuk menumbuhkan jiwa yang sadar akan suatu budaya, yaitu:

a) Penanaman sikap multikulturalisme sejak dini. Penanaman sikap untuk


saling bertoleransi dan saling menghargai antar budaya merupakan fondasi awal
agar seseorang menyadari akan perbedaan dari masing-asing budaya. Sikap
mental akan pentingnya saling menghargai kebudayaan diharapkan nantinya
integrasi bangsa menjadi semakin kuat.

b) Sosialisasi budaya melalui lembaga pendidikan. Dengan dimasukkannya


budaya lokal dalam kurikulum pendidikan sebagai muatan lokal merupakan
langkah yang bijak dan positip dalam rangka menjaga eksistensi budaya lokal,
mengingat saat ini mulai banyaknya generasi muda yang mulai enggan untuk
memperhatikan kebudayaannya yang sesungguhnya, pada hal itu merupakan
aset kekayaan yang harus dilestarikan.

c) Penyelenggaraan berbagai pentas budaya, merupakan salah satu cara


untuk menumbuhkan kesadaran budaya. Pentas ini dapat berupa tari-tarian
daerah ataupun musik-musik daerah yang dilakukan dengan melibatkan
generasi muda sebagai generasi penerus bangsa dengan cara menghidupkan
kembali budaya masing-masing daerah. Seni budaya yang akan ditampilkan
pun dapat berupa seni tradisional, modern, ataupun juga gabungan dari
keduanya.
RAHASIA
18
18

d) Mencintai dan menjaga budaya yang dimiliki. Rasa cinta untuk menjaga
budaya sendiri haruslah muncul sesuai dengan keinginan dan kesadaran dari
dalam diri kita masing-masing. Tanpa rasa cinta dan peduli terhadap
kebudayaan kita mustahil dapat menjaga eksistensi budaya yang dimiliki.

BAB V
PENUTUP

20. Penutup. Demikian Naskah Sekolah ini disusun sebagai bahan ajaran untuk
pedoman bagi tenaga pendidik dan Pasis dalam proses belajar mengajar materi
pelajaran Antropologi Budaya pada Pendidikan Perwira TNI AD.

Kepala Dinas Sejarah Angkatan Darat,

Djashar Djamil, S.E., M.M.


Brigadir Jenderal TNI

RAHASIA

Anda mungkin juga menyukai