Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sepanjang sejarah peradaban umat manusia, perang selalu memiliki tempat


dalam setiap perkembangannya karena perang kerapkali menghiasi perjalanan
hidup manusia dan dinamikanya sejak ribuan tahun yang lalu hingga sekarang.
Oleh karena manusia seolah tak mampu menghindari adanya perang, maka
manusia membuat suatu hukum tentang perang yang mengatur pembatasan-
pembatasan dan menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antar
bangsa-bangsa.1 Aturan tersebut kini kita kenal dengan Hukum Humaniter
Internasional.

Hukum Humaniter Internasional yang diterapkan dalam sengketa


bersenjata dibentuk untuk menjamin sejauh mungkin penghormatan terhadap
manusia, sesuai dengan persyaratan militer dan keamanan umum, serta untuk
mengurangi penderitaan berlebihan yang disebabkan oleh peperangan.2

Hukum perang atau yang sering disebut dengan hukum Humaniter


internasional, atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya
dengan peradaban manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri.3

Haryomataram membagi hukum humaniter menjadi dua aturan-aturan


pokok, yaitu:4

1. Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk
berperang (Hukum Den Haag/The Hague Laws);

1 Ahmad Baharuddin Naim, Hukum Humaniter Internasional, Bandar Lampung: Universitas


Lampung, 2010, hlm. 2.
2 _______, Bahan Ajaran Hukum Humaniter, Jakarta: Direktorat Hukum TNI AD dan ICRC, 2004,
File 2, hlm. 1.

3 Ahmad Baharuddin, Op.cit.


4 Haryomataram, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, Surakarta: Sebelas Maret University
Press, 1994, hlm. 1.

1
2. Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan
penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa/The Genewa Laws).

Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang sebagai berikut5:

1. Jus ad bellum, yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal
bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata;
2. Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi
2 (dua) yaitu:
a) Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (condact of war).
Bagian ini biasanya disebut The Hague laws;
b) Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi
korban perang. Hukum ini lazimnya disebut The Genewa Laws.

Berdasarkan uraian di atas, maka hukum humaniter internasional terdiri


dari dua aturan pokok, yaitu Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa.

Pada penulisan kali ini kita akan lebih memfokuskan untuk membahas
mengenai Hukum Den Haag saja, yang terdiri dari serangkaian ketentuan yang
dihasilkan dari The First Hague Peace Conference (Konferensi Perdamaian I)
yang diadakan mulai tanggal 20 Mei 1899 hingga 29 Juli 1899; dan ketentuan-
ketentuan yang dihasilkan dari The second Hague Peace Conference (Konferensi
Perdamaian II) tahun 1907. Walaupun demikian pembahasannya tidak
menjanjikan suatu cakupan dan penjelasan yang rinci dan lengkap atas semua hal
yang diatur dalam konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan 1907 akan tetapi hanya
memusatkan perhatian pada konvensi dan pasal-pasal yang dianggap penting dan
relevan saja.

Hukum Den Haag sendiri lebih memfokuskan diri kepada peraturan


mengenai alat dan cara berperang serta menekankan bagaiman cara melakukan

5 Haryomataram, Hukum Humaniter, Jakarta: C.V. Radjawali, 1994, hlm. 2-3.

2
operasi-operasi militer. Olek karena itu hukum Den Haag sangat penting bagi
komandan militer baik yang bertugas di darat, di laut maupun di udara.6

Hukum Den Haag menentukan hak dan kewajiban dari pihak-pihak yang
bersengketa tentang cara melakukan operasi–operasi militer serta membatasi cara-
cara yang dapat menyebabkan kerusakan di pihak musuh. Peraturan-peraturan ini
terdapat dalam Konvensi-konvensi Den Haag 1899, yang semuanya revisi dari
tahun 1907, dan sejak 1977, dalam Protokol-protokol tambahan pada Konvensi-
konvensi Jenewa, demikian pula dalam berbagai perjanjian yang melarang atau
mengatur penggunaan senjata.7

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, dapat


dirumuskan masalah-masalah yang akan dibahas pada penulisan kali ini. Masalah
yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Ketentuan apa sajakah yang diatur dalam Konvensi Den Haag 1899?
2. Ketentuan apa sajakah yang diatur dalam Konvensi Den Haag 1907?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui ketentuan apa saja yang diatur dalam Konvensi Den
Haag 1899.
2. Untuk mengetahui ketentuan apa saja yang diatur dalam Konvensi Den
Haag 1907.

6 ________, Bahan Ajaran Hukum Humaniter, Op.Cit., File 2, hlm. 1-2.

7 Ibid., File 2, hlm. 7.

3
BAB II

PEMBAHASAN

1. KONVENSI DEN HAAG 1899

Hukum Den Haag atau The Hague Laws adalah istilah yang dipakai untuk
menunjukkan serangkaian ketentuan hukum humaniter yang mengatur mengenai
alat (sarana) dan cara (metode) berperang (means and methods of warfare).
Disebut dengan The Hague Laws, karena pembentukan ketentuan-ketentuan
tersebut dihasilkan di kota Den Haag, Belanda. Hukum Den Haag terdiri dari
serangkaian ketentuan yang dihasilkan dari Konferensi 1899 dan ketentuan-
ketentuan yang dihasilkan dari konferensi 1907. Konferensi Den Haag 1899
diadakan mulai tanggal 20 Mei 1899 hingga 29 Juli 1899 yang menghasilkan tiga
konvensi (perjanjian internasional) dan tiga deklarasi (pernyataan) pada tanggal
29 Juli 1899.

Adapun tiga konvensi tersebut adalah :

a. Konvensi I tentang Penyelesaian Persengketaan Internasional secara


Damai;
b. Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat; beserta
Lampirannya;
c. Konvensi III tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tanggal 22
Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut.

Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai Berikut :

a. Deklarasi tentang Larangan, untuk jangka waktu lima tahun, Peluncuran


Proyektil-proyektil dan Bahan Peledak dari Balon, dan Cara-cara serupa
lainnya;
b. Deklarasi tentang Gas-gas yang mengakibatkan sesaknya pernafasan (gas
cekik atau “asphyxiating gases”;
c. Deklarasi tentang Peluru-peluru yang bersifat ‘mengembang’ di dalam
tubuh manusia (peluru-peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup
bagian dalam sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia).

A. Konvensi I tentang Penyelesaian Persengketaan Internasional secara


Damai.

4
Lahirnya konvensi I Den Haag 1899 tentang Penyelesaian Persengketaan
Internasional secara Damai tidak terlepas dari upaya untuk sebisa mungkin
menyelesaikan segala bentuk perselisihan dengan jalan damai tanpa perlu angkat
senjata. Mengingat bahwa perang dilakukan dengan persenjataan yang
mengakibatkan malapetaka yang lebih besar, maka tidaklah mengherankan
apabila umat manusia berusaha sekuat-kuatnya menghapuskan perang, atau
sekurang-kurangnya memperkecil timbulnya perang. Suasana jemu terhadap
perang itulah yang melatar belakangi timbunya keinginan untuk membuat
ketentuan dalam konvensi I Den Haag 1899 tentang Penyelesaian Sengkata
Internasional secara Damai.

Pada awalnya tahun 1874 atas prakarsa Czar Alexander II dari Rusia,
mengundang 15 negara Eropa berkumpul di Brussels untuk mempelajari suatu
draft tentang the laws and customs of war, yang diajukan oleh pemerintah Rusia.
Tetapi ke-15 negara yang diundang tersebut tidak mau meratifikasi Konferensi
tersebut karena mereka tidak bersedia diikat oleh ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam Konvensi itu. Akhirnya pada tahun 1899 di Den Haag atas
prakarsa Rusia lagi dilangsungkan apa yang disebut First Hague Peace
Conference. Salah satu tujuan Konferensi tersebut adalah untuk mengadakan
revisi dari Konvensi yang sudah disetujui di Brussels pada tahun 1874.

Ketentuan Konvensi I tentang Penyelesaian Persengketaan Internasional


secara Damai ini tidak terlepas dari keinginan yang kaut untuk memelihara
perdamaian umum. Konvensi ini mulai berlaku pada 4 September 1900.

Pada judul I dari Konvensi ini tentang On The Maintenance Of The


Gereral Peace/Pemeliharaan Perdamaian Umum yang terdiri dari satu pasal
menegaskan bahwa untuk menghindarkan sejauh mungkin hal yang tidak
diinginkan dalam hal adanya perbedaan antar negara, negara-negara yang
menandatangani persetujuan ini, sepakat untuk menggunakan upaya terbaik
mereka untuk menjamin penyelesaian persengketaan internasional.

Dalam judul II tentang On good Offices and Mediation terdapat 7 Pasal,


dalam Pasal 2 menerangkan jika ada perselisihan atau konflik yang melanda suatu
negara dengan negara lain, sebelum menggunakan angkatan bersenjata, negara-
negara penandatangan sepakat untuk meminta bantuan, sejauh keadaan
memungkinkan kepada satu atau lebih negara sahabat untuk memberikan jasa-jasa
baik atau mediasi. Dalam Pasal 3 menjelaskan tentang bagaiamana suatu negara
menawarkan jasa baik atau mediasi kepada negara yang berselisih, dalam Pasal 6
menjelaskan jasa baik atau mediasi yang dilakukan baik atas permintaan pihak
yang berselisih atau atas inisiatif negara lain terhadap negara yang berselisih
hanya bersifat saran dan tidak mengikat. Pada umumnya dalam judul II tentang

5
jasa-jasa baik dan mediasi ini telah memberikan ketentuan yang jelas bagi negara-
negara yang berselisih untuk menggunakan jasa-jasa baik atau mediasi sebelum
mereka menggunakan angkatan bersenjata, dan bagi negara lain di perbolehkan
mengambil langkah untuk menjadi penengah diantara negara yang berselisih.

Dalam judul III tentang On International Commissions of Inquary terdapat


6 Pasal, menjelaskan tentang Komisi Penyelidikan Internasional yang
memfasilitasi para pihak berselisih yang belum bisa mencapai kesepakatan
melalui diplomasi dalam mencari fakta. Dalam Pasal 9 menjelasan bahwa sebuah
lembaga bernama Komisi penyelidikan Internasional hadir untuk memfasilitasi
dalam mencari solusi dari perbedaan-perbedaan dengan mencari fakta-fakta
melalui investigasi yang mengedepankan ketidak berpihakan dan ketelitian.
Dengan kata lain Komisi Penyelidikan Internasional hadir sebagai pilihan kedua
bilamana jasa-jasa baik dan mediasi tidak berhasil menyelesaikan perselisihan.

Dalam judul IV tentang On International Arbiration terdapat 3 (tiga) Bab.


Bab I tentang Sistem Arbitrase terdiri dari 5 Pasal, Bab II tentang Pengadilan tetap
Arbitrase terdiri dari 10 Pasal, dan Bab III tentang Prosedur Arbitrase terdiri dari
33 Pasal.

Pada Bab I tentang Sistem Arbitrase menjelaskan bahwa penyelesaian


perbedaan/perselisihan antar negara dilakukan oleh hakim yang ditunjuk sendiri
oleh mereka yang berselisih atas dasar penghormatan terhadap hukum (Pasal 15).
Bila ada pertanyaan yang bersifat hukum terutama terhadap penafsiran dan
penerapan Konvensi Internasional maka negara-negara pendatangan Konvensi ini
setuju bahwa Arbitrase adalah sarana yang paling efektif dan adil dalam
menyelesaikan sengketa ketika cara diplomasi telah gagal (Pasal 16).

Pada Bab II tentang Pengadilan tetap Arbitrase menjelaskan tentang


Pengadilan tetap Arbitrase yang harus segera dibuat untuk membantu
menyelesaikan perselisihan/perbedaan internasional bilamana jalan diplomasi
tidak memungkinkan menyelesaikan masalah (Pasal 20). Pengadilan tetap juga
harus memiliki kompetensi yang tetap dalam setiap kasus Arbitrase, kecuali para
pihak menetapkan lain dengan membentuk lembaga khusus (Pasal 21).

Pada Bab III tentang Prosedur Arbitrase menjelaskan tentang tujuan dan
tata cara negara-negara menunjuk arbiter (Pasal 30-34). Aturan umum dari
prosedur Arbitrase terdiri dari dua tahap yang berbeda, yakni pemeriksaan awal
dan diskusi (Pasal 39). Dari Pasal 40 sampai dengan Pasal 57 menerangkan
tentang prosedur Arbitrase di Pengadilan. Sementara Pasal 58 samapai Pasal 61
berisi tentang aturan umum.

6
B. Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat; beserta
Lampirannya

Konvensi yang terdiri dari 60 Pasal ini berlaku mulai 4 September 1900.
Konvensi ini dibentuk dengan pertimbangan untuk menjaga perdamaian dan
mencegah konflik bersenjata, namun tidak semua jalan pencegahan konflik
bersenjata dapat dihentikan, maka perlu adanya peninjauan kembali terhadap
hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan umum dalam perang, baik dengan
memberikan pengertian, atau meletakkan beberapa batasan tertentu dalam rangka
untuk sejauh mungkin mengurangi kerusakan.

Ketentuan-ketentuan dalam Konvensi ini diilhami oleh keinginan untuk


menghilangkan kekejaman peperangan, sejauh kepentingan militer
memungkinkan, dimaksudkan untuk dipergunakan sebagai suatu aturan umum
bagi tindakan Belijeren dalam hubungannya dengan pihak lain dan masyarakat.

Lampiran pada Konvensi ini mengenai peraturan menghormati hukum dan


kebiasaan perang di darat dan terdiri dari 4 (empat) bagian.

Pada Bagian I tentang pihak-pihak yang bersengketa terdapat 3 (tiga) Bab.

Bab I membahas mengenai kualifikasi dari pihak-pihak yang bersengketa.


Dalam Pasal 1 menerangkan bahwa Hukum mengenai hak-hak dan kewajiban-
kewajiban berperang tidak hanya diterapkan kepada tentara, tetapi juga kepada
milisi dan kelompok sukarelawan yang memenuhi persyararatan-persyaratan
sebagai berikut:

1. Dipimpin oleh seorang komandan yang bertanggung jawab atas anak


buahnya;
2. Mempunyai suatu lambang pembeda khusus yang dapat dikenali dari jarak
jauh;
3. Membawa senjata secara terbuka; dan
4. Melakukan operasinya sesuai dengan peraturan-peraturan dan kebiasaan-
kebiasaan perang.

Sementara negara-negara di mana milisi atau kelompok sukarelawan


merupakan atau menjadi bagian dari tentara, maka mereka termasuk dalam
pengertian "Angkatan Darat".

Dalam Pasal 2 menerangkan penduduk yang wilayahnya belum dikuasi


musuh kemudian mengangkat senjata secara terbuka meski tidak terorganisir
harus dianggap sebagai beligeren. Kemudian angkatan bersenjata yang dapat

7
terdiri dari kombatan dan non-kombatan jika tertangkap oleh musuh maka
keduanya mempunyai hak untuk diperlakukan sebagai tawanan perang (Pasal 3).

Bab II membahas mengenai Tawanan Perang. Pada Bab II ini terdapat 17


(tujuh belas) Pasal mengenai hak dan kewajiban dari tawanan perang dan
bagaimana pemerintah musuh memperlakukan hal yang pantas pada tawanannya.

Bab III mengenai orang-orang yang sakit dan luka-luka. Di dalam Pasal 21
dikatakan kewajiban para pihak yang berperang berkaitan dengan orang yang
sakit dan luka-luka diatur oleh Konvensi Jenewa.

Bagian II tentang Permusuhan terdapat 5 (lima) Bab.

Bab I mengatur mengenai alat-alat melukai musuh, pengepungan dan


pengeboman.

Di dalamnya terdapat bagian terpenting, yaitu klausula pokok yang


menyatakan bahwa : hak para pihak yang berperang untuk menggunakan alat-alat
untuk melukai musuh adalah tidak tak berbatas (Pasal 22). Bagian ini juga
memuat larangan-larangan seperti:

- Larangan penggunaan racun atau senjata beracun, tindakan


licik;
- Larangan membunuh atau melukai musuh yang terluka dan
telah meletakkan senjatanya, atau tidak memiliki senjata lagi
untuk bertahan;
- Larangan untuk membunuh atau melukai mereka yang telah
menyerah;
- Larangan menyatakan tidak ada pertolongan yang akan
diberikan;
- Larangan penggunaan senjata, proyektil atau material yang
dapat menyebabkan penderitaan yang tidak perlu;
- Larangan menggunakan bendera perdamaian, bendera nasional,
tanda-tanda militer, seragam musuh atau tanda pembedaan
dalam Konvensi Jenewa yang tidak pada tempatnya. Juga
larangan penjarahan, mata-mata dan penyalahgunaan bendera
perdamaian (Pasal 23).

Perturan-peraturan dasar diatas telah terbentuk menjadi kebiasaan yang


diterima oleh negara-negara sebagai hukum kebiasaan internasional. Sementara

8
tipu daya perang dan penggunaan cara-cara yang diperlukan untuk memperoleh
informasi mengenai musuh dan negaranya diperbolehkan (Pasal 24).

Sedangkan mengenai ketentuan bagaimana cara pengepungan dan


pemboman diatur secara tegas dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 27. Di Pasal
28 segala bentuk penjarahan terhadap sebuah kota atau tempat dilarang, walaupun
diperoleh dengan cara penyerangan.

Bab II tentang Mata-mata, dalam bagian ini dijelaskan tentang kualifikasi


mereka yang tergolong sebagai mata-mata dan mereka yang bukan mata-mata
(Pasal 29). Juga terdapat ketentuan bila tertangkapnya seorang mata-mata ketika
ia melakukan tugasnya tidak dapat dihukum tanpa melalui proses pengadilannya
sebelumnya (Pasal 30). Dari isi Pasal 30 tersebut dapat kita lihat bahwa perlakuan
terhadap musuh yang melakukan mata-mata jika tertangkap tidak boleh
diperlakukan secara sembarangan.

Bab III tentang Bendera Gencatan Senjata, di Bab ini menjelaskan


Seseorang dianggap sebagai pembawa bendera gencatan senjata, yang diberi
kewenangan oleh salah satu Belijeren untuk berkomunikasi dengan pihak
Belijeren lainnya dengan membawa bendera putih. la berhak untuk tidak
diganggu-gugat, demikian pula peniup terompet, penabuh drum, pembawa
bendera penerjemah yang mungkin menyertainya (Pasal 32).

Pembawa bendera gencatan senjata kehilangan hak tidak dapat digangu


gugat apabila terbukti dengan jelas dan tidak dapat dibantah, telah mengambil
keuntungan dari posisinya yang istimewa itu untuk menginterogasi atau
melakukan pengkhianatan (Pasal 34).

Bab IV tentang Penyerahan menjelaskan tentang Penyerahan-penyerahan


yang disetujui antar negara yang melakukan perjanjian harus sesuai dengan
aturan-aturan kehormatan militer. Setelah disetujui, perjanjian tersebut harus
dengan saksama diawasi oleh kedua pihak (Pasal 35).

Bab V tentang Gencatan Senjata, menerangkan tentang Gencatan Senjata


adalah penundaan operasi militer melalui kesepakatan bersama antara pihak yang
berperang. Operasi militer bisa dilanjutkan kembali sesuai dengan durasi yang
ditentukan melalui kesepakatan bersama (Pasal 36).

Gencatan senjata harus diberitahukan secara resmi dan dalam waktu yang
tepat melalui pihak yang berwenang dan pasukan. Pertempuran ditangguhkan
segera setelah pemberitahuan, atau pada tanggal yang tetap (Pasal 38). Bila ada
pelanggaran dalam Gencatan Senjata yang dilakukan oleh salah satu pihak
terhadap pihak lain maka telah memeberikan hak kapada pihak yang dilanggar,

9
bila keadaan mendesak untuk memulai lagi pertempuran (Pasal 40). Dan bila
pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan gencatan senjata dilakukan oleh
seorang individu yang bertindak atas inisiatif sendiri maka dapat menuntut
hukuman hanya kepada si pelanggar dan jika perlu ganti rugi atas kerugian yang
diderita (Pasal 41).

Bagian III tentang Penguasa Militer di Wilayah Negara yang Bertikai.


Pada bagian ini menerangkan tentang suatu wilayah dinyatakan diduduki ketika
wilayah tersebut secara nyata berada di bawah penguasaan pasukan musuh (Pasal
42).

Sementara dalam Pasal 43 sampai Pasal 45 memberi ketentuan kepada


Penguasa Militer untuk menghormati hukum di wilayah yang diduduki, dilarang
untuk memaksa penduduk dari wilayah yang diduduki untuk memberikan
informasi mengenai tentara dari pihak berperang lainnya, atau mengenai alat-alat
pertahanan mereka. Dan dilarang untuk memaksa penduduk dari wilayah yang
diduduki untuk bersumpah setia kepada Penguasa Pendudukan.

Sedangkan dalam Pasal 46 memberikan perlindungan terhadap


Kehormatan dan hak-hak keluarga dan hak hidup manusia serta hak milik pribadi
dan juga praktik keagamaan serta kebebasan beribadah harus dihormati. Hak milik
pribadi tidak boleh dirampas.

Melakukan penjarahan pun dilarang di dalam Pasal 47. Di dalam Pasal 48


sampai 51 memberikan kebolehan kepada Penguasa Pendudukan untuk
mengumpulkan pajak dengan menyesuaikan pada kondisi wilayah yang diduduki,
namun pengumpulan pajak tidak boleh dengan kesewenang-wenangan. Sementara
Pasal 52 sampai 56 menjelskan ketentuan-ketentuan kepada Pengusa Pendudukan
tentang hak dan kewajiban, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh
Penguasa Pendudukan terhadap wilayah dan penduduk daerah yang diduduki agar
tidak ada kesewenang-wenangan.

Bagian IV tentang Menginternir Pihak yang Bersengketa dan Perawatan


mereka yang Terluka di Negara Netral. Pada bagian ini terdapat 4 (empat) Pasal,
yang mengatur ketentuan negara netral dalam mebantu merawat korban yang
terluka (Pasal 57-59). Sedangkan pasal terakhir yakni Pasal 60, menjelaskan
tentang pemberlakuan Konvensi Jenewa terhadap mereka yang sakit dan terluka
pada wilayah netral.

C. Konvensi III tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tanggal 22


Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut

10
Konvensi ini terdiri dari 14 (empat belas) Pasal. Pada Pasal I menjelaskan
bahwa Kapal rumah sakit militer, yakni: kapal yang dibangun atau ditugaskan
oleh Negara-negara yang khusus dan semata-mata untuk tujuan membantu korban
luka, sakit atau terdampar, yang mana harus telah dikomunikasikan kepada
negara-negara yang bersengketa di awal atau selama persengketaan berlangsung,
dan dalam hal apapun sebelum mereka bekerja, harus menghormati dan dilarang
menangkap atau mengganggu kapal rumah sakit karena mereka berlabuh pada
pelabuhan yang netral. Sementara dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 14
mengatur ketentuan tentang keberadaan kapal rumah sakit militer yang harus
dilindungi dari penangkapan dan penyerangan oleh pihak yang bersengketa,
kewajiban kapal perang militer unrtuk mengupayakan bantuan-bantuan kepada
yang terluka, sakit dan terdampar dari pihak yang berperang secara independen
dari kebangsaan mereka. Kapal-kapal rumah sakit militer harus diberikan tanda
pembeda pada catnya dan mengibarkan bendera putih dengan salib merah sesuai
dengan ketentuan Konvensi Jenewa. Kemudian setiap staf agama, medis atau
rumah sakit dari setiap kapal yang ditangkap tidak bisa dijadiakan sebagai
tawanan perang. Pelaut dan prajurit yang diambil di atas kapal ketika sakit atau
terluka, apa pun negara mereka, harus dilindungi dan dijaga oleh para penculik.
Sementara dalam Pasal 11 terdapat ketentuan yang menarik, yakni Aturan yang
terdapat dalam Pasal Konvensi ini hanya mengikat negara-negara yang setuju
dalam Konvensi ini, dalam kasus perang antara dua atau lebih dari mereka. Aturan
akan berhenti mengikat ketika dalam sebuah perang antara pihak negara-negara
yang berselisih, salah satu pihaknya bergabung dengan negara yang tidak terikat
dalam Konvensi ini

Deklarasi-Deklarasi dalam Konvensi Den Haag 1899

Di samping konvensi tersebut di atas, ada juga tiga buah deklarasi yang
masih tetap sangat penting dalam konflik dewasa ini, yaitu :

a. Deklarasi tentang Larangan, untuk jangka waktu lima tahun,


Peluncuran Proyektil-proyektil dan Bahan Peledak dari Balon, dan
Cara-cara serupa lainnya;
b. Deklarasi tentang Gas-gas yang mengakibatkan sesaknya
pernafasan (gas cekik atau “asphyxiating gases”;
c. Deklarasi tentang Peluru-peluru yang bersifat ‘mengembang’ di
dalam tubuh manusia (peluru-peluru yang bungkusnya tidak
sempurna menutup bagian dalam sehingga dapat pecah dan
membesar dalam tubuh manusia).

Deklarasi yang sudah tua ini, walaupun perumusan kalimatnya sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan senjata yang digunakan sekarang, namun secara

11
aktual deklarasi tersebut telah meletakkan prinsip-prinsip dasar Konvensi-
konvensi Den Haag, yaitu tentang larangan penggunaan senjata proyektil atau
bahan-bahan yang dapat menyebabkan penderitaan yang tidak perlu.

2. Konvensi Den Haag 1907

The Second Hague Peace Conference pada tanggal 18 Oktober 1907,


menghasilkan 13 konvensi dan sebuah deklarasi.

Konvensi-konvensi tersebut adalah sebagai berikut :

a. Konvensi I tentang Penyelesaian Persengketaan Internasional secara


Damai.
b. Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam menuntut
Pembayaran Hutang yang berasal dari Kontrak.
c. Konvensi III tentang Permulaan Perang.
d. Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat, beserta
Lampirannya.
e. Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara
Netral dalam Perang di Darat.
f. Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat
Permulaan Perang.
g. Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang.
h. Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam Laut.
i. Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut pada saat
Perang.
j. Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang
Perang di Laut.
k. Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak
Penangkapan dalam Perang di Laut.
l. Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan.
m. Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam
Perang di Laut.

Konvensi VI sampai dengan Konvensi XII Den Haag 1907 pada umumnya
mengatur masalah kapal, kapal perang, jadi menyangkut perang di laut.

Adapun satu-satunya deklarasi yang dihasilkan dalam Konferensi


Perdamaian II tersebut adalah Deklarasi yang melarang Penggunaan Proyektil-
proyektil atau Bahan-bahan Peledak dari Balon.

Hukum den haag merupakan serangkaian ketentuan yang berlaku dalam


peperangan. Hukum ini ditujukan kepada para komandan militer beserta anak

12
buahnya, yang menentukan hak dan kewajiban peserta tempur, dan oleh karena itu
penerapannya terbatas hanya pada waktu pertempuran sedang berlangsung.

Konvensi III tentang Permulaan Perang

Analisis Konvensi Den Haag III 1907

Konvensi Den Haag III mengatur mengenai cara memulai perang.


Konvensi Den Haag III 1907 terdiri dari 8 pasal yang mana pada pasal 1
merupakan ketentuan umum, pasal 2 sampai pasal 7 merupakan pelaksanaan
konvensi dan pasal 8 merupakan penutup. Para pihak yang terlibat dalam
konvensi ini adalah Yang Mulia Kaisar Jerman, Raja Pursia dan lain-lain yang
terlibat di dalmnya.

Dengan melihat isi pasal tersebut maka Pihak Peserta Agung mengakui
bahwa perang diantara mereka tidak akan dimulai tanpa adanya:

a. Pernyataan perang yang disertai alasan


b. Dengan suatu ultimatum yang disertai dengan pernyataan perang apabila
ultimatum itu tidak diketahui

Di dalam Pasal 1 Konvensi Den Haag III (1907), adalah contoh yang jelas
guna menggambarkan adanya nilai-nilai kemanusiaan di dalam Konvensi Den
Haag III. Adanya “declaration of war” yang terdapat dalam Pasal 1 dimaksudkan
agar negara yang bersengketa mempersiapkan dirinya dalam menghadapi
musuhnya dengan cara, antara lain, menyelamatkan penduduk sipil yang tidak
ikut bertempur ke dalam zona-zona aman (zona demiliterisasi). Jadi, ketentuan
tersbut mengandung asas kesatriaan; pun juga mencerminkan asas kemanusiaan.

Berkaitan dengan ketentuan konvensi Den Haag III tahun 1907, sering
timbul salah pengertian bahwa hukum humaniter hanya berlaku dalam perang
yang dimulai dengan adanya pernyataan perang atau ultimatum. Bahwa hukum
humaniter berlaku untuk setiap sengketa bersenjata, baik yang dimulai dengan
deklarasi perang atau ultimatum. Ultimatum yang disertai dengan pernyataan
perang yang beryarat apabila penerima ultimatum tidak memberi jawaban yang
tegas/memuaskan (bagi pihak pengirim ultimatum) dalam waktu yang ditentukan,
maka pihak pengirim ultimatum akan berada dalam keadaan perang dengan
penerima ultimatum.

Deklarasi perang diperlukan agar : (1) untuk mencegah adanya serangan


yang sekoyong-koyong dan upaya ada batas yang nyata antara keadaan damai
dan perang; (2) agar negara-negara netral mengetahui bahwa dua negara berada

13
dalam keadaan perang; (3) untuk mencegah tuduhan adanya suatu perang yang
tidak adil (unlawful war).

Hukum perang dilihat dari segi perkembangannya dapat dibedakan atas


hukum perang tradisional dan hukum perang modern. Hukum perang tradisional
yaitu segala macam kekerasan untuk mencapai maksudnya, menundukkan
tawanannya hingga sifatnya adalah sedemikian rupa sehingga dapat bertentangan
dengan asas perikemanusiaan tidak dilarang oleh piak yang bersengketa.
Walaupun demikian pihak-pihak yang berperang harus melaksanakan aturan-
aturan perang sebagaimana yang telah diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab.
Menurut J.P.A. francois bahwa dalam pemkiran yang primitif, kekuatan
merupakan sarana untuk menunjukkan berlakunya, karena menurut pendirian
demikian, kekuatan itu sendiri merupakan suatu hukum yang juga dapat diartikan
hukum dari pada pihak yang terkuat. Kepada pihak yang menang dalam
peperangan tentunya tidak perlu ditanyakan lagi, bahwa dalam memulai dan
mengorbankan api peperangan bukanlah kebenaran yang menjadi pertimbangan
akan tetapi kemenangan; hukum perang modern, bahwa dalam perang modern
pihak-pihak yang terlibat didalamnya jauh lebih luas. Tidak saja anggota angkatan
bersenjata merupakan para pihak, akan tetapi seluruh anggota masyarakat dari
pihak lain bahkan sering terjadi melibatkan pula anggota masyarakat negara pihak
lain (pihak ketiga). Ditambah lagi dengan munculnya senjata-senjata pemusnahan
massal yang antara lain senjata nuklir dan pepranganpun sudah disebut perang
bintang.

Perang dalam arti hukum adalah perang yang dimulai dengan konvensi
Den Haag III 1907. Perang tidak dapat dimulai tanpa adanya pernyataan perang
yang disertai alasan atau dengan suatu ultimatum, dengan pernyataan perang jika
ultimatum itu tidak dipenuhi.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja hukum humaniter dapat dibagi sebgai


berikut:

1. Jus ad Bellum atau tentang perang yang mengatur dalam hal-hal bagaimanakah
suatu negara dibenarkan untuk menggunakan kekerasan senjata.
2. Jus in Bello yaitu hukum yang berlaku mengatur dalam perang, dibedakan lagi
menjadi dua yaitu:
a. Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang cara
dilakukannnya perang itu sendiri (conduct of war). Bagian ini
disebut pula peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan hukum
Den Haag.
b. Ketntuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang perlindungan
prang-orang yang menjadi korban perang baik sipil maupun

14
militer. Bagian ini disebut pula peraturan-peraturan atau ketentuan-
ketentuan hukum Jenewa.

Jika dihubungkan dengan pendapat Muchtar Kusumaatmadja Konvensi


Den Haag III 1907 termasuk ke dalam golongan Jus in Bellum.

Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat

Konvensi IV mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat ini hadir


untuk merevisi Konvensi 1899 mengenai Hukum dan kebiasaan Perang di Darat,
maka tak heran jika Konvensi 1907 ini tidak jauh berbeda dengan Konvensi
pendahulunya di tahun 1899.

Konvensi ini hanya terdiri dari 9 Pasal, tetapi dilampiri sebuah annex yang
berjudul Regulations respecting the laws and customs of war on land, yang terdiri
dari 56 Pasal. Annex ini lebih dikenal dengan sebutan : Hague Regulations, atau
disingkat HR.

Di dalam Pasal 1 dari HR tersebut dinyatakan bahwa :

Hukum, hak-hak dan kewajiban-kewajiban berperang tidak hanya


diterapkan kepada tentara, tetapi juga kepada milisi dan kelompok sukarelawan
yang memenuhi persyararatan-persyaratan sebagai berikut:

1. Dipimpin oleh seorang komandan yang bertanggung jawab atas anak


2. buahnya;
3. Mempunyai suatu lambang pembeda khusus yang dapat dikenali dari jarak
4. jauh;
5. Membawa senjata secara terbuka; dan
6. Melakukan operasinya sesuai dengan peraturan-peraturan dan
kebiasaankebiasaan perang.

Di Negara-negara di mana milisi atau kelompok sukarelawan merupakan atau


menjadi bagian dari tentara, maka mereka termasuk dalam pengertian "Angkatan
Darat".

Selanjutnya dalam Pasal 2 ditentukan juga bahwa segolangan penduduk


disebut belligeren, seperti mereka yang tersebut dalam Pasal 1, apabila mereka
memenuhi persyaratan:

Penduduk di wilayah yang belum diduduki, yang pada saaat musuh akan
menyerang, yang secara spontan mengangkat senjata untuk memberikan
perlawanan tanpa sempat mengorganisir diri mereka sendiri sesuai dengan Pasal
1, harus dianggap sebagai Belijeren apabila mereka mengangkat senjata secara

15
terbuka dan apabila mereka mematuhi hukum dan kebiasaan perang. Pasal 2 ini
menyangkut apa yang dikenal dengan istilah levee en masse. Jadi persyaratan
yang harus dipenuhi supaya diakui sebagai levee en masse adalah:

1. Penduduk dari wilayah yang diduduki;


2. Secara spontan mengangkat senjata;
3. Tidak ada waktu untuk mengatur diri;
4. Mengindahkan hukum perang;
5. Membawa senjata secara terbuka.

Sementara dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa Angkatan Bersenjata dari


pihak-pihak yang berperang dapat terdiri dari kombatan dan non-kombatan. Jika
tertangkap oleh musuh maka keduanya mempunyai hak untuk diperlakukan
sebagai tawanan perang.

Perlu dicatat disini bahwa non-kombatan yang dimaksudkan dalam Pasal 3


ini bukanlah penduduk sipil, tetapi bagian dari angkatan bersenjata yang tidak
turut bertempur.

Berdasarkan apa yang tercantum dalam Pasal 1,2 dan 3 itu, maka menurut
HR golongan yang secara aktif dapat turut serta dalam pertempuran adalah:

1. Tentara (Armies)
2. Milisi dan Volunteer Corps (apabila memenuhi persyaratan)
3. Leeve en masse (dengan memenuhi persyaratan tertentu)

Pasal 1,2 dan 3 ini juga berkaitan dengan Distinction Principle/Prinsip


pembedaan, yakni mengenai kombatan dan penduduk sipil. Prinsip Pembedaan
dalam pasal-pasal di Konvensi IV Den Haag 1907 ini juga berhubungan dengan
Konvensi Jenewa 1,2 dan 3, yaitu Pasal 13 dalam Konvensi 1-2 dan Pasal 4 dalam
Konvensi 3.

Sementara dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 20 membahas mengenai


hak dan kewajiban dari tawanan perang dan bagaimana pemerintah musuh
memperlakukan hal yang pantas pada tawanannya.

Di dalam Pasal 21 dikatakan kewajiban para pihak yang berperang


berkaitan dengan orang yang sakit dan luka-luka diatur oleh Konvensi Jenewa.

Di dalam HR ini juga mengatur ketentuan mengenai alat-alat melukai


musuh, pengepungan dan pengeboman.

Di dalamnya terdapat bagian terpenting, yaitu klausula pokok yang


menyatakan bahwa : hak para pihak yang berperang untuk menggunakan alat-alat

16
untuk melukai musuh adalah tidak tak berbatas (Pasal 22). Bagian ini juga
memuat larangan-larangan seperti:

o Larangan penggunaan racun atau senjata beracun, tindakan licik;


o Larangan membunuh atau melukai musuh yang terluka dan telah meletakkan
senjatanya, atau tidak memiliki senjata lagi untuk bertahan;
o Larangan untuk membunuh atau melukai mereka yang telah menyerah;
o Larangan menyatakan tidak ada pertolongan yang akan diberikan;
o Larangan penggunaan senjata, proyektil atau material yang dapat
menyebabkan penderitaan yang tidak perlu;
o Larangan menggunakan bendera perdamaian, bendera nasional, tanda-tanda
militer, seragam musuh atau tanda pembedaan dalam Konvensi Jenewa yang
tidak pada tempatnya. Juga larangan penjarahan, mata-mata dan
penyalahgunaan bendera perdamaian (Pasal 23).

Sementara tipu daya perang dan penggunaan cara-cara yang diperlukan


untuk memperoleh informasi mengenai musuh dan negaranya diperbolehkan
(Pasal 24).

Sedangkan mengenai ketentuan bagaimana cara pengepungan dan


pemboman diatur secara tegas dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 27. Di Pasal
28 segala bentuk penjarahan terhadap sebuah kota atau tempat dilarang, walaupun
diperoleh dengan cara penyerangan.

Mengenai Mata-mata, dalam bagian ini dijelaskan tentang kualifikasi


mereka yang tergolong sebagai mata-mata dan mereka yang bukan mata-mata
(Pasal 29). Juga terdapat ketentuan bila tertangkapnya seorang mata-mata ketika
ia melakukan tugasnya tidak dapat dihukum tanpa melalui proses pengadilannya
sebelumnya (Pasal 30). Dari isi Pasal 30 tersebut dapat kita lihat bahwa perlakuan
terhadap musuh yang melakukan mata-mata jika tertangkap tidak boleh
diperlakukan secara semena-mena.

Mengenai Bendera Gencatan Senjata, di Bab ini menjelaskan Seseorang


dianggap sebagai pembawa bendera gencatan senjata, yang diberi kewenangan
oleh salah satu Belijeren untuk berkomunikasi dengan pihak Belijeren lainnya
dengan membawa bendera putih. la berhak untuk tidak diganggu-gugat, demikian
pula peniup terompet, penabuh drum, pembawa bendera penerjemah yang
mungkin menyertainya (Pasal 32).

17
Pembawa bendera gencatan senjata kehilangan hak tidak dapat digangu
gugat apabila terbukti dengan jelas dan tidak dapat dibantah, telah mengambil
keuntungan dari posisinya yang istimewa itu untuk menginterogasi atau
melakukan pengkhianatan (Pasal 34).

Mengenai Penyerahan, menjelaskan tentang Penyerahan-penyerahan yang


disetujui antar negara yang melakukan perjanjian harus sesuai dengan aturan-
aturan kehormatan militer. Setelah disetujui, perjanjian tersebut harus dengan
saksama diawasi oleh kedua pihak (Pasal 35).

Mengenai Gencatan Senjata, menerangkan tentang Gencatan Senjata


adalah penundaan operasi militer melalui kesepakatan bersama antara pihak yang
berperang. Operasi militer bisa dilanjutkan kembali sesuai dengan durasi yang
ditentukan melalui kesepakatan bersama (Pasal 36).

Gencatan senjata harus diberitahukan secara resmi dan dalam waktu yang
tepat melalui pihak yang berwenang dan pasukan. Pertempuran ditangguhkan
segera setelah pemberitahuan, atau pada tanggal yang tetap (Pasal 38). Bila ada
pelanggaran dalam Gencatan Senjata yang dilakukan oleh salah satu pihak
terhadap pihak lain maka telah memeberikan hak kapada pihak yang dilanggar,
bila keadaan mendesak untuk memulai lagi pertempuran (Pasal 40). Dan bila
pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan gencatan senjata dilakukan oleh
seorang individu yang bertindak atas inisiatif sendiri maka dapat menuntut
hukuman hanya kepada si pelanggar dan jika perlu ganti rugi atas kerugian yang
diderita (Pasal 41).

Sementara mengenai Penguasa Militer di Wilayah Negara yang Bertikai,


menjelaskan bahwa pada bagian ini menerangkan tentang suatu wilayah
dinyatakan diduduki ketika wilayah tersebut secara nyata berada di bawah
penguasaan pasukan musuh (Pasal 42).

Sementara dalam Pasal 43 sampai Pasal 45 memberi ketentuan kepada


Penguasa Militer untuk menghormati hukum di wilayah yang diduduki, dilarang
untuk memaksa penduduk dari wilayah yang diduduki untuk memberikan
informasi mengenai tentara dari pihak berperang lainnya, atau mengenai alat-alat
pertahanan mereka. Dan dilarang untuk memaksa penduduk dari wilayah yang
diduduki untuk bersumpah setia kepada Penguasa Pendudukan.

Sedangkan dalam Pasal 46 memberikan perlindungan terhadap


Kehormatan dan hak-hak keluarga dan hak hidup manusia serta hak milik pribadi
dan juga praktik keagamaan serta kebebasan beribadah harus dihormati. Hak milik
pribadi tidak boleh dirampas.

18
Melakukan penjarahan pun dilarang di dalam Pasal 47. Di dalam Pasal 48
sampai 51 memberikan kebolehan kepada Penguasa Pendudukan untuk
mengumpulkan pajak dengan menyesuaikan pada kondisi wilayah yang diduduki,
namun pengumpulan pajak tidak boleh dengan kesewenang-wenangan. Sementara
Pasal 52 sampai 56 menjelskan ketentuan-ketentuan kepada Pengusa Pendudukan
tentang hak dan kewajiban, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh
Penguasa Pendudukan terhadap wilayah dan penduduk daerah yang diduduki agar
tidak ada kesewenang-wenangan.

Sedangkan perbedaan Konvensi ini dengan Konvensi sebelumnya di tahun


1899 adalah di konvensi ini tidak terdapat pasal-pasaal mengenai Menginternir
Pihak yang Bersengketa dan Perawatan mereka yang Terluka di Negara Netral.
Meski begitu, konvensi ini sangat penting karena mengatur segala segi dari
peperangan di darat. Di dalam Konvensi IV kita dapat menemukan bahwa
prikemanusiaan telah menjadi dasar dalam menyusun konvensi ini.

Konvensi IV ini menjadi penting karena memberikan ketentuan pada


perang di darat yang mempunyai tujuan utama untuk mengalahkan pihak musuh
dan menguasai wilayahnya. Wilayah operasi perang didarat hanyalah meliputi
wilayah para pihak yang berperang saja dan keterlibatan Negara netral sedikit
sekali. Untuk perang di darat, ketentuan ketentuan-ketentuan hukum humaniter
pada dasarnya berlaku bagi para pihak yang bertikai. Ketentuan mengenai perang
didarat secara umum melarang perampasan hak milik pribadi, baik milik pihak
musuh maupun milik pihak netral. Dalam pelaksanaan perang di darat, penduduk
sipil dari pihak musuh yang ikut ambil bagian dalam peperangan, apabila ia
tertangkap tidak diberikan status sebagai tawanan perang.

Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara


Netral dalam Perang di Darat

Konvensi Den Haag V terdiri dari 25 Pasal. Dimana Pasal 1 - Pasal 10


tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral. Pasal 11 - Pasal 15 tentang Wilayah
Netral. Pasal 16 - Pasal 18 tentang orang Netral. Pasal 19 tentang bahan
perkeretapian. Pasal 20 - Pasal 25 tentang ketentuan penutup. Konvensi Den Haag
V 1907 mengatur tentang Hak-hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara
Netral dalam perang di darat. Dengan demikian, dalam konvensi ini terdapat dua
pengertian yang harus diperhatikan yaitu Negara Netral (Neutral Powers) dan
Orang Netral (Neutral Persons). Yang dimaksud dengan Negara netral adalah
suatu negara yang menyatakan akan bersikap netral dalam suatu peperangan yang
sedang berlangsung. Dengan demikian tidak ada keharusan negara tersebut untuk
membantu salah satu pihak. Sebagai negara netral, maka kedaulatan Negara
tersebut dalam suatu peperangan, tidak boleh diganggu dan dilanggar.

19
Hal ini tercantum dalam Pasal 1 Konvensi Den Haag V 1907 yang menyatakan
“The territory of neutral Powers is inviolable”. Untuk mempertahankan
kenetralan, maka wilayah dari negara tersebut tidak dapat dijadikan sebagai
wilayah yang dapat dilintasi oleh para pihak yang sedang bersengketa. Sedangkan
yang dimaksud dengan orang netral (Neutral Persons) adalah warga negara
dari suatu negara yang tidak terlibat dalam suatu peperangan. Orang
netral ini tidak boleh mengambil keuntungan dari statusnya sebagai orang netral,
misalnya dengan menjadi relawan dari suatu angkatan bersenjata salah satu pihak
yang bersengketa (Pasal 17). Dibuatnya Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban
Negara dan Warga Negara Netral di Darat dapat kita cermati bahwa tujuannya
untuk memberikan kejelasan mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh
dilakukan oleh Negara Netral dan Warga netral ketika terjadi perang.

20
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Hukum Den Haag atau The Hague Laws adalah istilah yang dipakai untuk
menunjukkan serangkaian ketentuan hukum humaniter yang mengatur mengenai
alat (sarana) dan cara (metode) berperang (means and methods of warfare) serta
menekankan bagaiman cara melakukan operasi-operasi militer.

Hukum Den Haag menentukan hak dan kewajiban dari pihak-pihak yang
bersengketa tentang cara melakukan operasi–operasi militer serta membatasi cara-
cara yang dapat menyebabkan kerusakan di pihak musuh. Peraturan-peraturan ini
terdapat dalam Konvensi-konvensi Den Haag 1899, yang kemudian direvisi tahun
1907.

Disebut dengan The Hague Laws, karena pembentukan ketentuan-


ketentuan tersebut dihasilkan di kota Den Haag, Belanda. Hukum Den Haag
terdiri dari serangkaian ketentuan yang dihasilkan dari Konferensi 1899 dan
ketentuan-ketentuan yang dihasilkan dari konferensi 1907.

Konferensi Den Haag 1899 diadakan mulai tanggal 20 Mei 1899 hingga
29 Juli 1899 yang menghasilkan tiga konvensi (perjanjian internasional) dan tiga
deklarasi (pernyataan) pada tanggal 29 Juli 1899.

Adapun tiga konvensi tersebut adalah :

a) Konvensi I tentang Penyelesaian Persengketaan Internasional secara


Damai;
b) Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat; beserta
Lampirannya;
c) Konvensi III tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tanggal 22
Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut.

Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai Berikut :

a) Deklarasi tentang Larangan, untuk jangka waktu lima tahun, Peluncuran


Proyektil-proyektil dan Bahan Peledak dari Balon, dan Cara-cara serupa
lainnya;
b) Deklarasi tentang Gas-gas yang mengakibatkan sesaknya pernafasan (gas
cekik atau “asphyxiating gases”;

21
c) Deklarasi tentang Peluru-peluru yang bersifat ‘mengembang’ di dalam
tubuh manusia (peluru-peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup
bagian dalam sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia).

Sedangkan The Second Hague Peace Conference pada tanggal 18 Oktober


1907, menghasilkan 13 konvensi dan sebuah deklarasi.

Konvensi-konvensi tersebut adalah sebagai berikut :

1. Konvensi I tentang Penyelesaian Persengketaan Internasional secara Damai.


2. Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam menuntut
Pembayaran Hutang yang berasal dari Kontrak.
3. Konvensi III tentang Permulaan Perang.
4. Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat, beserta
Lampirannya.
5. Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral
dalam Perang di Darat.
6. Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat Permulaan
Perang.
7. Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang.
8. Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam Laut.
9. Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut pada saat Perang.
10. Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang Perang di
Laut.
11. Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak
Penangkapan dalam Perang di Laut.
12. Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan.
13. Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di
Laut.

Konvensi VI sampai dengan Konvensi XII Den Haag 1907 pada umumnya
mengatur masalah kapal, kapal perang, jadi menyangkut perang di laut.

Adapun satu-satunya deklarasi yang dihasilkan dalam Konferensi


Perdamaian II tersebut adalah Deklarasi yang melarang Penggunaan Proyektil-
proyektil atau Bahan-bahan Peledak dari Balon.

2. Saran

Penulis menyadari banyak kekurangan dari makalah ini dikarenakan


keterbatasan waktu yang diberikan, oleh karena itu penulis berharap adanya
masukan saran dan kritikan yang membangun untuk perbaikan makalah ini agar
semakin baik lagi untuk kedepannya. Terima kasih

22
DAFTAR PUSTAKA

Naim, Ahmad Baharuddin. Hukum Humaniter Internasional. Bandar


Lampung: Universitas Lampung, 2010.
________, Bahan Ajaran Hukum Humaniter. Jakarta: Direktorat Hukum TNI AD
dan ICRC, 2004.
Haryomataram. Sekelumit tentang Hukum Humaniter. Surakarta:
Sebelas Maret University Press, 1994.
Haryomataram. Hukum Humaniter. Jakarta: C.V. Radjawali, 1994.
Rhona K. M. Smith, at.al,. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII,
2008.
Suardi. Jurnal Ilmiah: Konflik Bersenjata Dalam Hukum humaniter
Internasional. Vol. 2 No. 3 Juli 2005.
Kusumaatmadja, Mochtar. Konvensi-Konvensi Palang Merah Tahun
1949 Mengenai Perlindungan Korban Perang. Bima Cipta: Bandung, 1949.

http://rikiseptiawan180991.blogspot.co.id/2012/05/makalah-humaniter-konvensi-
den-haag.html

23

Anda mungkin juga menyukai