(Inggris: Laws of war) terbagi dua: (1) hukum mengenai tindakan yang dapat diterima dalam
peperangan, seperti Konvensi Jenewa, yang disebut "Jus in bello"; (2) hukum mengenai
penggunaan kekuatan senjata yang diizinkan, yang disebut "Jus ad bellum".
Bendera putih
Bendera putih dikenal sebagai suatu cara untuk menunjukan perdamaian atau tidak keikut
sertaan seseorang pada suatu peperangan. Sehingga menurut peraturan perang orang-
orang yang mengibarkan bendera putih dilarang untuk dibunuh.
Hukum kemanusiaan internasional
Hukum kemanusiaan internasional, hukum humaniter internasional (HHI), yang sering kali
juga disebut sebagai hukum konflik bersenjata (bahasa Inggris: international humanitarian
law), adalah batang tubuh hukum yang mencakup Konvensi Jenewa dan Konvensi Den
Haag beserta perjanjian-perjanjian, yurisprudensi, dan hukum kebiasaan internasional yang
mengikutinya. HHI menetapkan perilaku dan tanggung jawab negara-negara yang
berperang, negara-negara netral, dan individu-individu yang terlibat peperangan, yaitu
terhadap satu sama lain dan terhadap orang-orang yang dilindungi, biasanya berarti orang
sipil.
HHI adalah wajib bagi negara yang terikat oleh perjanjian-perjanjian yang relevan dalam
hukum tersebut. Ada juga sejumlah aturan perang tak tertulis yang merupakan kebiasaan,
yang banyak di antaranya dieksplorasi dalam Pengadilan Perang Nuremberg. Dalam
pengertian yang diperluas, aturan-aturan tak tertulis ini juga menetapkan sejumlah hak
permisif serta sejumlah larangan perilaku bagi negara-negara yang berperang bila mereka
berurusan dengan pasukan yang tidak reguler atau dengan pihak non-penandatangan.
Pelanggaran hukum kemanusiaan internasional disebut kejahatan perang.
Menurut Al-Hadits
Berikut beberapa peraturan dalam berperang yang harus dipatuhi oleh umat Muslim ketika
berperang melawan musuh
1.Dilarang melakukan pengkhianatan jika sudah terjadi kesepakatan damai 2.Dilarang
membunuh wanita dan anak-anak, kecuali mereka ikut berperang maka boleh diperangi
3.Dilarang membunuh orang tua dan orang sakit 4.Dilarang membunuh pekerja (orang
upahan) 5.Dilarang mengganggu para biarawan dan tidak membunuh umat yang tengah
beribadah. 6.Dilarang memutilasi mayat musuh, 7.Dilarang membakar pepohonan merusak
ladang atau kebun 8Dilarang membunuh ternak kecuali untuk dimakan 9.Dilarang
menghancurkan desa atau kota
Nabi Muhammad juga telah mengeluarkan instruksi yang jelas untuk memberikan perawatan
terhadap tawanan perang yang terluka. Sejarah mencatat bagaimana umat Islam saat itu
menangani tawanan pertama selepas Perang Badar pada 624 Masehi. Sebanyak 70 orang
tawanan Makkah yang ditangkap dalam perang itu dibebaskan dengan atau tanpa tebusan.
Persetujuan damai
Perjanjian atau persetujuan damai ialah persetujuan antara 2 pihak yang bertikai, biasanya
negara atau pemerintahan, yang secara resmi mengakhiri konflik bersenjata. Persetujuan
damai berbeda dari gencatan senjata, yakni persetujuan untuk mengakhiri pertikaian, atau
penyerahan, di mana militer setuju meletakkan senjata.
Persetujuan damai sering berakhir dengan penentuan perbatasan dan pemulihan perang
harus diwujudkan oleh negara-negara tersebut seusai perang.
Teori perang
Teori perang yang adil bahasa Inggris: just war) atau perang yang sah, atau secara lebih
tepat teori perang yang dapat dibenarkan (bahasa Latin: jus bellum iustum), adalah suatu
doktrin, juga disebut sebagai suatu tradisi, etika militer yang dipelajari oleh para teolog,
pakar etika, pembuat kebijakan, dan pemimpin militer. Tujuan dari doktrin ini adalah
membedakan antara cara-cara yang dapat dibenarkan dengan yang tidak dapat dibenarkan
dalam penggunaan angkatan bersenjata yang terorganisasi. Teori-doktrin tentang perang
yang sah berupaya untuk memahami bagaimana penggunaan senjata dapat dikendalikan,
dilakukan dengan cara yang lebih manusiawi, dan pada akhirnya ditujukan pada upaya
untuk menciptakan perdamaian dan keadilan yang abadi.
Tradisi Perang yang Sah membahas moralitas penggunaan kekuatan dalam dua bagian:
kapan suatu pihak dapat dibenarkan dalam menggunakan angkatan bersenjatanya
(keprihatinan tentang jus ad bellum) dan cara-cara apa yang harus dilakukan dalam
menggunakan angkatan bersenjata itu (keprihatinan tentang jus in bello).
Pada tahun-tahun yang lebih belakangan, muncul pula kategori yang ketiga - Jus post
bellum, yang mengatur bagaimana suatu peperangan dapat diakhiri dengan adil dan
perjanjian perdamaian dapat dicapai, sementara penjahat-penjahat perang juga diadili.
Doktrin tentang Perang yang Sah mempunyai akar yang sudah tua sekali. Nyanyian Debora
dalam Alkitab Ibrani dalam Kitab Hakim-hakim membahas konsep dari Zaman Perunggu
tentang apa yang membedakan perang suci "yang adil". Cicero membahas gagasan ini
beserta aplikasi-aplikasinya. Augustinus dari Hippo, Thomas Aquinas dan Hugo Grotius
belakangan menyusun suatu perangkat hukum untuk Perang yang Sah, yang hingga masa
kini masih mencakup pokok-pokok yang sering diperdebatkan, dengan sejumlah modifikasi.
Ultimatum
Ultimatum adalah sebuah kata dari bahasa Latin, yang bermaksud pernyataan terakhir atau
permintaan tak terbatalkan yang menjadi bagian dari cara diplomatik terhadap negara lain,
dan biasa diikuti dengan perang, jika tak dipenuhi.
Warga sipil
Seorang warga sipil adalah seseorang yang bukan merupakan anggota militer atau dari
angkatan bersenjata. Menurut Konvensi Jenewa Keempat, merupakan sebuah kejahatan
perang untuk menyerang seorang warga sipil yang tidak sedang melakukan penyerangan
secara sengaja atau menghancurkan atau mengambil barang milik seorang warga sipil
secara tidak perlu.
Meskipun begitu, barang milik seorang warga sipil boleh dihancurkan jika ada tujuan militer;
barang milik seorang warga boleh disita untuk keperluan militer; dan kerusakan secara tidak
sengaja merupakan sesuatu yang dapat diterima dalam suatu perang.
Dalam praktiknya, siapa yang boleh disebut sebagai pihak pejuang dan non-pejuang kadang
menjadi persoalan yang rumit, terutamanya dalam perang gerilya di mana para pejuang
gerilya menerima dukungan penduduk lokal. Kadang menjadi perdebatan bahwa perbedaan
antara warga sipil dan militer dan ketidak senangan terhadap penyerangan terhadap warga
sipil merupakan refleksi dari sikap Barat terhadap perang; bagi komunitas lainnya hal ini
bukan merupakan suatu masalah, malah mereka menganggap strategi perang pihak Barat
seperti pengeboman strategis sebagai hal yang tidak disenangi.
Di luar hal itu, ada 188 negara yang mengikuti Konvensi Jenewa (per 31 Desember 1996)
termasuk negara-negara non-Barat yang telah terlibat konflik sejak 12 Agustus 1946, hari
ditetapkannya Konvensi tersebut, misalnya Afganistan, Kamboja, Tiongkok, Kongo, India,
Iran, Irak, Yordania, kedua-dua negara Korea, Kuwait, Laos, Rwanda, Suriah dan Vietnam
Hukum kemanusiaan internasional
Hukum Humaniter Internasional modern terdiri dari dua aliran sejarah: Hukum Den Haag,
yang pada masa lalu disebut sebagai Hukum Perang yang utama (the law of war proper),
dan Hukum Jenewa atau Hukum Humaniter.Kedua aliran ini dinamai berdasarkan tempat
diadakannya konferensi internasional yang merancang perjanjian-perjanjian mengenai
perang dan konflik, terutama Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan 1907 dan Konvensi
Jenewa, yang untuk pertama kalinya dirancang pada tahun 1863. Baik Hukum Den Haag
maupun Hukum Jenewa adalah cabang dari jus in bello, yaitu hukum internasional
mengenai praktik-praktik yang dapat diterima dalam pelaksanaan perang dan konflik
bersenjata.
Hukum Den Haag atau Hukum Perang yang utama, “menetapkan hak dan kewajiban pihak
yang berperang menyangkut pelaksanaan operasi serta membatasi pilihan sarana
mencelakai yang boleh dipakai.Pada khususnya, Hukum Den Haag berkenaan dengan
definisi kombatan, menetapkan aturan mengenai sarana dan cara berperang, dan menelaah
perihal sasaran militer.
Upaya sistematis untuk membatasi kebiadaban perang baru mulai berkembang pada abad
ke-19. Keprihatinan atas keganasan perang berhasil mengembangkan perubahan
pandangan tentang perang di kalangan negara-negara yang dipengaruhi oleh Abad
Pencerahan. Tujuan perang ialah untuk mengatasi musuh, dan tujuan tersebut dapat
dicapai dengan melumpuhkan kombatan musuh. Dengan demikian, “pembedaan antara
kombatan dan orang sipil, ketentuan bahwa kombatan musuh yang terluka dan tertangkap
harus diperlakukan secara manusiawi, dan pengampunan harus diberikan –yang merupakan
sebagian dari pilar-pilar Hukum Humaniter modern– mengikuti prinsip tersebut.
Hukum Jenewa
Konvensi-konvensi Jenewa merupakan hasil dari sebuah proses yang berkembang melalui
sejumlah tahap dalam kurun waktu 1864-1949, yaitu proses yang berfokus melindungi orang
sipil dan orang-orang yang tidak dapat bertempur lagi dalam konflik bersenjata. Sebagai
akibat Perang Dunia II, keempat konvensi tersebut semuanya direvisi berdasarkan revisi
yang pernah dilakukan sebelumnya dan juga berdasarkan sejumlah ketentuan dari
Konvensi-konvensi Den Haag 1907 dan kemudian diadopsi ulang oleh masyarakat
internasional pada tahun 1949. Konferensi-konferensi berikutnya menambahkan sejumlah
ketentuan yang melarang metode berperang tertentu dan ketentuan yang berkenaan
dengan masalah perang saudara.
Keempat Konvensi Jenewa adalah:
Perang saudara biasa terjadi akibat perbedaan paham antar kedua pihak, bahkan sampai
konflik antar agama dan etnis yang tidak mampu hidup harmonis bersama dalam sebuah
negara. Konflik internal yang terjadi di Sudan Selatan juga merupakan konflik antar agama,
sekaligus ras. Kekerasan seksual terhadap wanita terjadi di dalam perang saudara Sudan
Selatan ini, keberadaan wanita yang lemah dalam perang seolah memberikan peluang
tentara perang melakukan kekerasan seksual.Permasalahan yang menjadi dasar penelitian
ini adalah: bagaimana ketentuan perlindungan Hukum Humaniter mengenai korban
kekerasan seksual terhadap wanita dalam perang saudara Sudan Selatan? dan bagaimana
implementasi perlindungan Hukum Humaniter Internasional mengenai kekerasan sesksual
terhadap wanita terhadap kasus perang saudara Sudan selatan? Metode penelitian yang
digunakan dalam penulisan hukum ini adalah metode yuridis normatif. Spesifikasi penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-analitis. Data dalam penelitian ini yaitu
bahan perjanjian, peraturan Perundang-undangan, dan bahan pustaka.Hasil penelitian
dapat disimpulkan bahwa pengaturan mengenai kekerasan seksual terdapat dalam Pasal
49-50 Konvensi Jenewa I, Pasal 27 (2) Konvensi Jenewa IV, dan Pasal 4 (C) Protokol
Tambahan I. Bahwa Sudan Selatan telah melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya. Sebagaimana diketahui Sudan
Selatan telah meratifikasi Konvensi Jenewa I hingga Konvensi Jenewa IV, serta Protokol
Tambahan I dan II pada tanggal 25 Januari 2013.
MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL