Anda di halaman 1dari 10

Hukum perang

(Inggris: Laws of war) terbagi dua: (1) hukum mengenai tindakan yang dapat diterima dalam
peperangan, seperti Konvensi Jenewa, yang disebut "Jus in bello"; (2) hukum mengenai
penggunaan kekuatan senjata yang diizinkan, yang disebut "Jus ad bellum".
Bendera putih
Bendera putih dikenal sebagai suatu cara untuk menunjukan perdamaian atau tidak keikut
sertaan seseorang pada suatu peperangan. Sehingga menurut peraturan perang orang-
orang yang mengibarkan bendera putih dilarang untuk dibunuh.
Hukum kemanusiaan internasional
Hukum kemanusiaan internasional, hukum humaniter internasional (HHI), yang sering kali
juga disebut sebagai hukum konflik bersenjata (bahasa Inggris: international humanitarian
law), adalah batang tubuh hukum yang mencakup Konvensi Jenewa dan Konvensi Den
Haag beserta perjanjian-perjanjian, yurisprudensi, dan hukum kebiasaan internasional yang
mengikutinya. HHI menetapkan perilaku dan tanggung jawab negara-negara yang
berperang, negara-negara netral, dan individu-individu yang terlibat peperangan, yaitu
terhadap satu sama lain dan terhadap orang-orang yang dilindungi, biasanya berarti orang
sipil.
HHI adalah wajib bagi negara yang terikat oleh perjanjian-perjanjian yang relevan dalam
hukum tersebut. Ada juga sejumlah aturan perang tak tertulis yang merupakan kebiasaan,
yang banyak di antaranya dieksplorasi dalam Pengadilan Perang Nuremberg. Dalam
pengertian yang diperluas, aturan-aturan tak tertulis ini juga menetapkan sejumlah hak
permisif serta sejumlah larangan perilaku bagi negara-negara yang berperang bila mereka
berurusan dengan pasukan yang tidak reguler atau dengan pihak non-penandatangan.
Pelanggaran hukum kemanusiaan internasional disebut kejahatan perang.

Perang yang memanjang akibat masalah diplomatik


Ada banyak klaim mengenai perang yang memanjang akibat masalah diplomatik. Kadang-
kadang klaim tersebut dibuat oleh sebuah negara kecil yang terlibat dalam pernyataan
perang tetapi tak sengaja dikeluarkan dari perjanjian damai dalam konflik yang lebih besar.
"Perang yang memanjang" ini baru disadari setelah ditemukan dan tidak ada dampaknya
meski pertempuran sudah berakhir sekian tahun (biasanya ratusan tahun) yang lalu.
Penemuan "perang yang memanjang" biasanya menjadi kesempatan bagi upacara
perdamaian simbolis antara pihak terlibat. Acara seperti ini dapat mendorong pariwisata dan
hubungan antarnegara dengan merintis interaksi dan membina hubungan yang belum
pernah tercipta karena alasan sejarah atau geografis. Upacara perdamaian simbolis ini
berniat baik dan melibatkan pejabat pemerintahan tertinggi.
Keadaan perang seperti ini berbeda dengan keadaan ketika semua pihak terlibat sengaja
menghindari perjanjian perdamaian karena sengketa politiknya bertahan setelah konflik
militer, misalnya sengketa Kepulauan Kuril antara Jepang dan Rusia.

Konvensi Den Haag 1899 dan 1907


Konvensi-konvensi Den Haag adalah dua perjanjian internasional sebagai hasil perundingan
yang dilakukan dalam konferensi-konferensi perdamaian internasional di Den Haag,
Belanda: Konvensi Den Haag Pertama (1899) dan Konvensi Den Haag Kedua (1907).
Bersama Konvensi-konvensi Jenewa, Konvensi-konvensi Den Haag adalah sebagian dari
pernyataan-pernyataan formal pertama tentang hukum perang dan kejahatan perang dalam
batang tubuh Hukum Internasional yang baru berkembang pada waktu itu. Konferensi
internasional yang ketiga direncanakan untuk diadakan pada tahun 1914 dan kemudian
dijadwal ulang untuk tahun 1915. Namun, konferensi tersebut tidak pernah terlaksana
karena pecahnya Perang Dunia I. Walther Schücking, seorang sarjana hukum internasional
dan aktivis perdamaian aliran neo-Kant dari Jerman, menyebut konferensi-konferensi
tersebut sebagai “serikat internasional konferensi Den Haag”. Dia melihat konferensi-
konferensi tersebut sebagai inti dari sebuah federasi internasional yang akan mengadakan
pertemuan berkala untuk menegakkan keadilan dan menyusun prosedur hukum
internasional bagi penyelesaian damai atas sengketa. Dia menegaskan bahwa “dengan
diselenggarakannya Konferensi yang Pertama dan Kedua itu, sebuah serikat politik yang
pasti yang terdiri dari negara-negara di dunia telah tercipta.” Berbagai badan yang dibentuk
oleh Konferensi-konferensi tersebut, antara lain Pengadilan Arbitrase Permanen, adalah
“agen-agen atau organ-organ serikat tersebut.”
Usaha besar dalam kedua konferensi tersebut ialah untuk membentuk sebuah pengadilan
internasional yang mengikat yang melakukan arbitrase wajib untuk menyelesaikan sengketa
internasional, sebuah pengadilan yang waktu itu dianggap perlu untuk menggantikan
institusi perang. Namun, usaha ini tidak mencapai sukses dalam konferensi 1899 maupun
1907. Konferensi Pertama secara umum sukses dan berfokus pada usaha perlucutan
senjata. Konferensi Kedua gagal menciptakan pengadilan internasional yang mengikat yang
melakukan arbitrase wajib, tetapi berhasil memperbesar mekanisme arbitrase sukarela.
Konferensi ini menetapkan sejumlah konvensi yang mengatur penagihan utang, aturan
perang, dan hak serta kewajiban negara netral. Selain merundingkan perlucutan senjata dan
arbitrase wajib, kedua konferensi tersebut juga merundingkan hukum perang dan kejahatan
perang. Dalam Perang Dunia I, banyak dari aturan-aturan yang ditetapkan dalam Konvensi-
konvensi Den Haag dilanggar, terutama oleh Jerman.
Sebagian besar negara besar (great powers), termasuk Amerika Serikat, Inggris, Rusia,
Prancis, China, dan Kekaisaran Persia, lebih menyukai arbitrase internasional yang
mengikat, tetapi syaratnya ialah bahwa proses voting harus menghasilkan persetujuan
dengan suara bulat. Beberapa negara, dengan dipimpin oleh Jerman, memveto gagasan ini.

Konvensi Munisi Tandan


Konvensi Munisi Tandan adalah traktat internasional yang melarang penggunaan bom
tandan (bom curah), jenis senjata yang menyebar banyak subminisi. Konvensi ini diadakan
pada tanggal 30 Mei 2008 di Dublin, Irlandia, dan telah ditandatangani di Oslo pada 3
Desember 2008.
Konvensi ini diikuti lebih dari 100 negara yang tidak termasuk Amerika Serikat, Rusia,
Tiongkok, India, Pakistan, Israel, dan Brasil.Negara-negara ini merupakan pemilik terbesar
munisi tandan
Trakat ini mulai berlaku pada 1 Agustus 2010.

Peraturan perang Islam


Peraturan perang Islam merujuk kepada apa yang telah diterima dalam syariah (hukum
Islam) dan fiqih (ilmu hukum Islam) oleh para ulama (cendekiawan Islam) sebagai cara yang
benar dalam Islam yang harus dipatuhi oleh para Muslim dalam ketika sedang berperang.
Menurut Al-Qur'an
1.Umat Muslim hanya dibolehkan membunuh, mengusir dan memerangi umat kafir yang
telah memerangi mereka terlebih dahulu dan dilarang melampaui batas 2.Dilarang
berperang di Masjidil Haram, kecuali umat kafir telah memerangi terlebih dahulu ditempat
tersebut. 3.Jika pihak musuh sudah berhenti memerangi dan tidak adalagi kerusakan maka
diwajibkan untuk berhenti berperang. 4.Berperang hanya dijalan yang diperintahkan oleh
Allah 5.Wajib melindungi orang-orang musyrik yang meminta perlindungan terhadap Umat
Muslim.

Menurut Al-Hadits
Berikut beberapa peraturan dalam berperang yang harus dipatuhi oleh umat Muslim ketika
berperang melawan musuh
1.Dilarang melakukan pengkhianatan jika sudah terjadi kesepakatan damai 2.Dilarang
membunuh wanita dan anak-anak, kecuali mereka ikut berperang maka boleh diperangi
3.Dilarang membunuh orang tua dan orang sakit 4.Dilarang membunuh pekerja (orang
upahan) 5.Dilarang mengganggu para biarawan dan tidak membunuh umat yang tengah
beribadah. 6.Dilarang memutilasi mayat musuh, 7.Dilarang membakar pepohonan merusak
ladang atau kebun 8Dilarang membunuh ternak kecuali untuk dimakan 9.Dilarang
menghancurkan desa atau kota

Nabi Muhammad juga telah mengeluarkan instruksi yang jelas untuk memberikan perawatan
terhadap tawanan perang yang terluka. Sejarah mencatat bagaimana umat Islam saat itu
menangani tawanan pertama selepas Perang Badar pada 624 Masehi. Sebanyak 70 orang
tawanan Makkah yang ditangkap dalam perang itu dibebaskan dengan atau tanpa tebusan.

Persetujuan damai
Perjanjian atau persetujuan damai ialah persetujuan antara 2 pihak yang bertikai, biasanya
negara atau pemerintahan, yang secara resmi mengakhiri konflik bersenjata. Persetujuan
damai berbeda dari gencatan senjata, yakni persetujuan untuk mengakhiri pertikaian, atau
penyerahan, di mana militer setuju meletakkan senjata.
Persetujuan damai sering berakhir dengan penentuan perbatasan dan pemulihan perang
harus diwujudkan oleh negara-negara tersebut seusai perang.

Teori perang
Teori perang yang adil bahasa Inggris: just war) atau perang yang sah, atau secara lebih
tepat teori perang yang dapat dibenarkan (bahasa Latin: jus bellum iustum), adalah suatu
doktrin, juga disebut sebagai suatu tradisi, etika militer yang dipelajari oleh para teolog,
pakar etika, pembuat kebijakan, dan pemimpin militer. Tujuan dari doktrin ini adalah
membedakan antara cara-cara yang dapat dibenarkan dengan yang tidak dapat dibenarkan
dalam penggunaan angkatan bersenjata yang terorganisasi. Teori-doktrin tentang perang
yang sah berupaya untuk memahami bagaimana penggunaan senjata dapat dikendalikan,
dilakukan dengan cara yang lebih manusiawi, dan pada akhirnya ditujukan pada upaya
untuk menciptakan perdamaian dan keadilan yang abadi.
Tradisi Perang yang Sah membahas moralitas penggunaan kekuatan dalam dua bagian:
kapan suatu pihak dapat dibenarkan dalam menggunakan angkatan bersenjatanya
(keprihatinan tentang jus ad bellum) dan cara-cara apa yang harus dilakukan dalam
menggunakan angkatan bersenjata itu (keprihatinan tentang jus in bello).
Pada tahun-tahun yang lebih belakangan, muncul pula kategori yang ketiga - Jus post
bellum, yang mengatur bagaimana suatu peperangan dapat diakhiri dengan adil dan
perjanjian perdamaian dapat dicapai, sementara penjahat-penjahat perang juga diadili.
Doktrin tentang Perang yang Sah mempunyai akar yang sudah tua sekali. Nyanyian Debora
dalam Alkitab Ibrani dalam Kitab Hakim-hakim membahas konsep dari Zaman Perunggu
tentang apa yang membedakan perang suci "yang adil". Cicero membahas gagasan ini
beserta aplikasi-aplikasinya. Augustinus dari Hippo, Thomas Aquinas dan Hugo Grotius
belakangan menyusun suatu perangkat hukum untuk Perang yang Sah, yang hingga masa
kini masih mencakup pokok-pokok yang sering diperdebatkan, dengan sejumlah modifikasi.

Ultimatum
Ultimatum adalah sebuah kata dari bahasa Latin, yang bermaksud pernyataan terakhir atau
permintaan tak terbatalkan yang menjadi bagian dari cara diplomatik terhadap negara lain,
dan biasa diikuti dengan perang, jika tak dipenuhi.

Warga sipil
Seorang warga sipil adalah seseorang yang bukan merupakan anggota militer atau dari
angkatan bersenjata. Menurut Konvensi Jenewa Keempat, merupakan sebuah kejahatan
perang untuk menyerang seorang warga sipil yang tidak sedang melakukan penyerangan
secara sengaja atau menghancurkan atau mengambil barang milik seorang warga sipil
secara tidak perlu.
Meskipun begitu, barang milik seorang warga sipil boleh dihancurkan jika ada tujuan militer;
barang milik seorang warga boleh disita untuk keperluan militer; dan kerusakan secara tidak
sengaja merupakan sesuatu yang dapat diterima dalam suatu perang.
Dalam praktiknya, siapa yang boleh disebut sebagai pihak pejuang dan non-pejuang kadang
menjadi persoalan yang rumit, terutamanya dalam perang gerilya di mana para pejuang
gerilya menerima dukungan penduduk lokal. Kadang menjadi perdebatan bahwa perbedaan
antara warga sipil dan militer dan ketidak senangan terhadap penyerangan terhadap warga
sipil merupakan refleksi dari sikap Barat terhadap perang; bagi komunitas lainnya hal ini
bukan merupakan suatu masalah, malah mereka menganggap strategi perang pihak Barat
seperti pengeboman strategis sebagai hal yang tidak disenangi.
Di luar hal itu, ada 188 negara yang mengikuti Konvensi Jenewa (per 31 Desember 1996)
termasuk negara-negara non-Barat yang telah terlibat konflik sejak 12 Agustus 1946, hari
ditetapkannya Konvensi tersebut, misalnya Afganistan, Kamboja, Tiongkok, Kongo, India,
Iran, Irak, Yordania, kedua-dua negara Korea, Kuwait, Laos, Rwanda, Suriah dan Vietnam
Hukum kemanusiaan internasional

Hukum kemanusiaan internasional, hukum humaniter internasional (HHI), yang sering


kali juga disebut sebagai hukum konflik bersenjata (bahasa Inggris: international
humanitarian law), adalah batang tubuh hukum yang mencakup Konvensi
Jenewa dan Konvensi Den Haag beserta perjanjian-perjanjian, yurisprudensi, dan hukum
kebiasaan internasional yang mengikutinya.HHI menetapkan perilaku dan tanggung jawab
negara-negara yang berperang, negara-negara netral, dan individu-individu yang terlibat
peperangan, yaitu terhadap satu sama lain dan terhadap orang-orang yang dilindungi,
biasanya berarti orang sipil.
HHI adalah wajib bagi negara yang terikat oleh perjanjian-perjanjian yang relevan dalam
hukum tersebut. Ada juga sejumlah aturan perang tak tertulis yang merupakan kebiasaan,
yang banyak di antaranya dieksplorasi dalam Pengadilan Perang Nuremberg. Dalam
pengertian yang diperluas, aturan-aturan tak tertulis ini juga menetapkan sejumlah hak
permisif serta sejumlah larangan perilaku bagi negara-negara yang berperang bila mereka
berurusan dengan pasukan yang tidak reguler atau dengan pihak non-penandatangan.
Pelanggaran hukum kemanusiaan internasional disebut kejahatan perang.
Dalam hukum kemanusaan internasional, terdapat pemisahan antara konflik bersenjata
internasional dan konflik bersenjata non-internasional. Pemisahan ini telah banyak dikritik.

Dua aliran sejarah: Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag

Hukum Humaniter Internasional modern terdiri dari dua aliran sejarah: Hukum Den Haag,
yang pada masa lalu disebut sebagai Hukum Perang yang utama (the law of war proper),
dan Hukum Jenewa atau Hukum Humaniter.Kedua aliran ini dinamai berdasarkan tempat
diadakannya konferensi internasional yang merancang perjanjian-perjanjian mengenai
perang dan konflik, terutama Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan 1907 dan Konvensi
Jenewa, yang untuk pertama kalinya dirancang pada tahun 1863. Baik Hukum Den Haag
maupun Hukum Jenewa adalah cabang dari jus in bello, yaitu hukum internasional
mengenai praktik-praktik yang dapat diterima dalam pelaksanaan perang dan konflik
bersenjata.

Hukum Den Haag atau Hukum Perang yang utama, “menetapkan hak dan kewajiban pihak
yang berperang menyangkut pelaksanaan operasi serta membatasi pilihan sarana
mencelakai yang boleh dipakai.Pada khususnya, Hukum Den Haag berkenaan dengan
definisi kombatan, menetapkan aturan mengenai sarana dan cara berperang, dan menelaah
perihal sasaran militer.

Upaya sistematis untuk membatasi kebiadaban perang baru mulai berkembang pada abad
ke-19. Keprihatinan atas keganasan perang berhasil mengembangkan perubahan
pandangan tentang perang di kalangan negara-negara yang dipengaruhi oleh Abad
Pencerahan. Tujuan perang ialah untuk mengatasi musuh, dan tujuan tersebut dapat
dicapai dengan melumpuhkan kombatan musuh. Dengan demikian, “pembedaan antara
kombatan dan orang sipil, ketentuan bahwa kombatan musuh yang terluka dan tertangkap
harus diperlakukan secara manusiawi, dan pengampunan harus diberikan –yang merupakan
sebagian dari pilar-pilar Hukum Humaniter modern– mengikuti prinsip tersebut.

Hukum Jenewa

Pembantaian penduduk sipil di tengah berlangsungnya konflik bersenjata merupakan hal


yang mempunyai sejarah yang panjang dan gelap. Sejumlah contoh dapat dikemukakan,
antara lain: pembantaian kaum Kalinga oleh Ashoka di India; pembantaian sekitar 100.000
orang Hindu oleh pasukan Muslim Tamerlane; atau pembantaian kaum Yahudi dan Muslim
oleh Tentara Salib dalam Pengepungan Yerusalem (1099). Ini hanyalah beberapa contoh
yang dapat diambil dari daftar panjang dalam sejarah. Fritz Munch merangkum praktik
militer dalam sejarah hingga tahun 1800 dengan kalimat singkat sebagai berikut: “Hal-hal
yang esensial tampaknya adalah sebagai berikut: dalam pertempuran dan di kota-kota yang
berhasil direbut dengan kekuatan, maka kombatan dan non-kombatan dibunuh dan harta
benda dihancurkan atau dijarah. Pada abad ke-17, Hugo Grotius, seorang ahli hukum
Belanda, menulis, “Tak dapat disangkal bahwa perang, demi mencapai tujuannya, pasti
menggunakan kekuatan dan teror sebagai cara paling utama.

Norma-norma Humaniter dalam sejarah


Namun pun di tengah berlangsungnya kekejaman perang dalam sejarah, ada sejumlah
ungkapan berupa norma kemanusiaan untuk melindungi korban konflik bersenjata –yaitu
korban luka, korban sakit, dan korban karam– yang berasal dari zaman kuno.
Dalam Perjanjian Lama, Raja Israel melarang pembantaian tawanan setelah dinasihati oleh
nabi Elisa agar tawanan musuh diselamatkan. Dalam jawabannya atas pertanyaan Raja,
Elisa berkata, “Engkau tidak boleh membunuh mereka. Apakah orang-orang yang telah
engkau tangkap dengan pedang dan panahmu itu harus engkau bunuh? Beri mereka roti
dan air, supaya mereka bisa makan dan minum dan pergi menemui tuan mereka.
Di India zaman kuno, terdapat sejumlah catatan, misalnya Hukum Manu yang menguraikan
jenis-jenis senjata yang tidak boleh dipakai. “Bila orang berperang dengan musuh dalam
pertempuran, dia tidak boleh menyerang dengan senjata yang tersembunyi (dalam
pepohonan), ataupun dengan senjata yang berduri atau beracun atau yang ujung-ujungnya
menyala dengan api.[12] Ada juga perintah agar tidak menyerang orang kasim ataupun
musuh “yang kedua tangannya berada dalam posisi memohon ... atau orang yang sedang
tidur, atau orang yang sudah kehilangan pakaian pelindungnya, atau orang yang telanjang,
atau orang yang tidak bersenjata, atau orang yang menonton tanpa ambil bagian dalam
peperangan .
Hukum Islam menyatakan bahwa “non-kombatan yang tidak ambil bagian dalam
pertempuran seperti perempuan, anak-anak, rahib dan pertapa, orang lanjut usia, orang
buta, dan orang gila” tidak boleh dilecehkan. Khalifah yang pertama, Abu Bakar,
menyatakan, “Jangan memutilasi (mengudungi; memotong anggota badan). Jangan
membunuh anak kecil atau laki-laki tua atau perempuan. Jangan memotong kepala pohon
palma atau membakarnya. Jangan menebang pohon buah-buahan. Jangan membantai
ternak kecuali untuk makanan.Ahli hukum Islam berpendapat bahwa tawanan tidak boleh
dibunuh karena dia “tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan perang
belaka.Hukum Islam tidak menyelamatkan semua non-kombatan. Dalam kasus tawanan
yang menolak untuk memeluk Islam atau membayar pajak alternatif, “pada prinsipnya
diperbolehkan membunuh siapapun dari mereka, baik kombatan ataupun non-kombatan,
asalkan mereka tidak dibunuh melalui cara-cara khianat atau melalui mutilasi
(pengudungan).”
Kodifikasi Norma Humaniter
Namun baru pada paruh kedua abad ke-19 sebuah pendekatan yang lebih sistematis mulai
dilakukan. Di Amerika Serikat, seorang imigran Jerman bernama Francis Lieber pada tahun
1863 menyusun sebuah kode perilaku bagi pasukan Utara, yang di kemudian hari dinamai
Kode Lieber (''Lieber Code'') untuk menghormatinya. Kode Lieber antara lain mengharuskan
perlakuan manusiawi bagi penduduk sipil di daerah konflik dan juga melarang eksekusi
tawanan perang. Pada saat yang bersamaan, keterlibatan sejumlah individu seperti
Florence Nightingale selama berlangsungya Perang Krimea dan Henry Dunant, seorang
pengusaha Jenewa yang menolong prajurit terluka dalam Pertempuran Solferino, membuat
usaha-usaha mencegah penderitaan korban perang menjadi semakin sistematis. Dunant
menulis buku yang dia beri judul Kenangan Solferino, yang melukiskan berbagai kengerian
perang yang telah dia saksikan itu. Tulisan Dunant dalam buku ini menimbulkan
keguncangan banyak pihak sehingga akhirnya dibentuklah Komite Internasional Palang
Merah (ICRC) pada tahun 1863 dan pada tahun berikutnya, 1864, diselenggarakanlah
konferensi di Jenewa yang menyusun Konvensi Jenewa mengenai Perbaikan Keadaan
Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka di Darat.
Hukum Jenewa terinspirasi langsung oleh prinsip kemanusiaan. Hukum ini berkenaan
dengan orang-orang yang tidak ikut serta dalam konflik maupun personel militer yang hors
de combat. Hukum tersebut menjadi landasan hukum bagi kegiatan perlindungan dan
bantuan kemanusiaan yang dilaksanakan oleh organisasi kemanusiaan yang tidak memihak
seperti ICRC. Fokus pada perlindungan dan bantuan kemanusiaan ini dapat diketemukan
dalam Konvensi-konvensi Jenewa.
Konvensi-konvensi Jenewa

Teks Konvensi Jenewa 1864.

Konvensi-konvensi Jenewa merupakan hasil dari sebuah proses yang berkembang melalui
sejumlah tahap dalam kurun waktu 1864-1949, yaitu proses yang berfokus melindungi orang
sipil dan orang-orang yang tidak dapat bertempur lagi dalam konflik bersenjata. Sebagai
akibat Perang Dunia II, keempat konvensi tersebut semuanya direvisi berdasarkan revisi
yang pernah dilakukan sebelumnya dan juga berdasarkan sejumlah ketentuan dari
Konvensi-konvensi Den Haag 1907 dan kemudian diadopsi ulang oleh masyarakat
internasional pada tahun 1949. Konferensi-konferensi berikutnya menambahkan sejumlah
ketentuan yang melarang metode berperang tertentu dan ketentuan yang berkenaan
dengan masalah perang saudara.
Keempat Konvensi Jenewa adalah:

 Konvensi Jenewa Pertama, “mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan


Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat” (diadopsi untuk pertama kali pada tahun
1864 dan direvisi terakhir kali pada tahun 1949)
 Konvensi Jenewa Kedua, “mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata
yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut” (diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1949,
sebagai pengganti Konvensi Den Haag X 1907)
 Konvensi Jenewa Ketiga, “mengenai Perlakuan Tawanan Perang” [diadopsi untuk
pertama kali pada tahun 1929 dan direvisi terakhir kali pada tahun 1949]
 Konvensi Jenewa Keempat, “mengenai Perlindungan Orang Sipil di Masa Perang”
(diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1949, berdasarkan bagian-bagian tertentu dari
Konvensi Den Haag IV 1907)
Selain itu, ada tiga protokol amendemen tambahan untuk Konvensi-konvensi Jenewa:

 Protokol Tambahan I (1977): Protokol Tambahan untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12


Agustus 1949, mengenai Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional. Hingga
12 Januari 2007, Protokol ini telah diratifikasi oleh 167 negara.
 Protokol Tamabahan II (1977): Protokol Tambahan untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12
Agustus 1949, mengenai Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Non-internasional.
Hingga 12 Januari 2007, Protokol ini telah diratifikasi oleh 163 negara.
 Protokol Tambahan III (2005): Protokol Tambahan untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12
Agustus 1949, mengenai Adopsi Lambang Pembeda Tambahan. Hingga Juni 2007,
Protokol ini telah diratifikasi oleh 17 negara dan telah ditandatangani tetapi masih belum
diratifikasi oleh 68 negara lagi.
Meskipun Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dapat dilihat sebagai hasil dari proses yang
dimulai pada tahun 1864, dewasa ini konvensi-konvensi tersebut telah “mencapai partisipasi
universal dari 194 negara peserta.” Ini berarti bahwa konvensi-konvensi tersebut berlaku
pada hampir setiap konflik bersenjata internasional.
Konvergensi Sejarah antara HHI dan Hukum Perang
Dengan diadopsinya Protokol-protokol Tambahan 1977 untuk Konvensi-konvensi Jenewa
(1977 Additional Protocols to the Geneva Conventions), kedua aliran hukum tersebut mulai
bertemu, meskipun ketentuan-ketentuan yang berfokus pada kemanusiaan sudah terdapat
dalam Hukum Den Haag (yaitu perlindungan tawanan perang dan orang sipil tertentu di
wilayah pendudukan). Namun, Protokol-protokol Tambahan 1977 mengenai perlindungan
korban dalam konflik bersenjata internasional maupun internal bukan hanya memasukkan
ke dalamnya aspek-aspek dari Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa, tetapi juga
memasukkan ketentuan-ketentuan HAM yang penting

Kasus Mengenai Hukum Perang


Perlindungan Hukum Humaniter terhadap Perempuan Korban Kekerasan Seksual
dalam Perang (Studi Kasus Perang Saudara di Sudan Selatan)

Perang saudara biasa terjadi akibat perbedaan paham antar kedua pihak, bahkan sampai
konflik antar agama dan etnis yang tidak mampu hidup harmonis bersama dalam sebuah
negara. Konflik internal yang terjadi di Sudan Selatan juga merupakan konflik antar agama,
sekaligus ras. Kekerasan seksual terhadap wanita terjadi di dalam perang saudara Sudan
Selatan ini, keberadaan wanita yang lemah dalam perang seolah memberikan peluang
tentara perang melakukan kekerasan seksual.Permasalahan yang menjadi dasar penelitian
ini adalah: bagaimana ketentuan perlindungan Hukum Humaniter mengenai korban
kekerasan seksual terhadap wanita dalam perang saudara Sudan Selatan? dan bagaimana
implementasi perlindungan Hukum Humaniter Internasional mengenai kekerasan sesksual
terhadap wanita terhadap kasus perang saudara Sudan selatan? Metode penelitian yang
digunakan dalam penulisan hukum ini adalah metode yuridis normatif. Spesifikasi penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-analitis. Data dalam penelitian ini yaitu
bahan perjanjian, peraturan Perundang-undangan, dan bahan pustaka.Hasil penelitian
dapat disimpulkan bahwa pengaturan mengenai kekerasan seksual terdapat dalam Pasal
49-50 Konvensi Jenewa I, Pasal 27 (2) Konvensi Jenewa IV, dan Pasal 4 (C) Protokol
Tambahan I. Bahwa Sudan Selatan telah melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya. Sebagaimana diketahui Sudan
Selatan telah meratifikasi Konvensi Jenewa I hingga Konvensi Jenewa IV, serta Protokol
Tambahan I dan II pada tanggal 25 Januari 2013.
MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL

MAKALAH MENGENAI HUKUM PERANG

NAMA : RAYSHA FEBRIANI 1610012111034


M.DAFA 1510012111
WILY SEPTIN PRAMESWARA 1610012111
RAFI

Anda mungkin juga menyukai