Hukum kemanusiaan internasional, hukum humaniter internasional (HHI),
yang sering kali juga disebut sebagai hukum konflik bersenjata (international humanitarian law), adalah batang tubuh hukum yang mencakup konvensi jenewa dan konvensi den haag beserta perjanjian-perjanjian, yurisprudensi, dan hokum kebiasaan internasional yang mengikutinya. HHI menetapkan perilaku dan tanggung jawab negara-negara yang berperang, negara-negara netral, dan individu-individu yang terlibat peperangan, yaitu terhadap satu sama lain dan terhadap orang-orang yang dilindungi, biasanya berarti orang sipil. Dalam hukum kemanusaan internasional, terdapat pemisahan antara konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non-internasional. Hukum Humaniter Internasional moderen terdiri dari dua aliran sejarah: hokum den haag, yang pada masa lalu disebut sebagai Hukum Perang yang utama (the law of war proper), dan hokum jenewa atau Hukum Humaniter. Kedua aliran ini dinamai berdasarkan tempat diadakannya konferensi internasional yang merancang perjanjian- perjanjian mengenai perang dan konflik, terutama konvensi-konvensi den hag 1899 dan 1907 dan konvensi jenewa, yang untuk pertama kalinya dirancang pada tahun 1863. Baik Hukum Den Haag maupun Hukum Jenewa adalah cabang dari jus in bello, yaitu hukum internasional mengenai praktik-praktik yang dapat diterima dalam pelaksanaan perang dan konflik bersenjata. Hukum Jenewa Pembantaian penduduk sipil di tengah berlangsungnya konflik bersenjata merupakan hal yang mempunyai sejarah yang panjang dan gelap. Sejumlah contoh dapat dikemukakan, antara lain: pembantaian kaum kalinga oleh ashoka di India; pembantaian sekitar 100.000 orang Hindu oleh pasukan Muslim tamerlane; atau pembantaian kaum Yahudi dan Muslim oleh tentara salib dalam pengempungan yarusalem. Norma-norma Humaniter dalam sejarah Hukum Islam menyatakan bahwa non-kombatan yang tidak ambil bagian dalam pertempuran seperti perempuan, anak-anak, rahib dan pertapa, orang lanjut usia, orang buta, dan orang gila tidak boleh dilecehkan. Khalifah yang pertama,abu bakar , menyatakan, Jangan memutilasi (mengudungi; memotong anggota badan). Jangan membunuh anak kecil atau laki-laki tua atau perempuan. Jangan memotong kepala pohon palma atau membakarnya. Jangan menebang pohon buah-buahan. Jangan membantai ternak kecuali untuk makanan. [ Ahli hukum Islam berpendapat bahwa tawanan tidak boleh dibunuh karena dia tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan perang belaka.
Kodifikasi Norma Humaniter. Namun, baru pada paruh kedua abad ke-19 sebuah pendekatan yang lebih sistematis mulai dilakukan. Di Amerika Serikat, seorang imigran Jerman bernama Francis Lieber pada tahun 1863 menyusun sebuah kode perilaku bagi pasukan Utara, yang di kemudian hari dinamai Kode Lieber) untuk menghormatinya,. Kode Lieber antara lain mengharuskan perlakuan manusiawi bagi penduduk sipil di daerah konflik dan juga melarang eksekusi tawanan perang. Pada saat yang bersamaan, keterlibatan sejumlah individu seperti Florence Nightingale selama berlangsungya perang krimea Hendry dunat, seorang pengusaha Jenewa yang menolong prajurit terluka dalam pertempuran solferino, membuat usaha-usaha mencegah penderitaan korban perang menjadi semakin sistematis. Dunant menulis buku yang dia beri judul kenangan solferino, yang melukiskan berbagai kengerian perang yang telah dia saksikan itu.
Konvensi-konvensi Jenewa.
Keempat Konvensi Jenewa adalah: Konvensi Jenewa Pertama, mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat (diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1864 dan direvisi terakhir kali pada tahun 1949) Konvensi Jenewa Kedua, mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut (diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1949, sebagai pengganti Konvensi Den Haag X 1907) Konvensi Jenewa Ketiga, mengenai Perlakuan Tawanan Perang [diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1929 dan direvisi terakhir kali pada tahun 1949] Konvensi Jenewa Keempat, mengenai Perlindungan Orang Sipil di Masa Perang (diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1949, berdasarkan bagian-bagian tertentu dari Konvensi Den Haag IV 1907) Selain itu, ada tiga protokol amandemen tambahan untuk Konvensi-konvensi Jenewa: Protokol Tambahan I (1977): Protokol Tambahan untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, mengenai Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional. Hingga 12 Januari 2007, Protokol ini telah diratifikasi oleh 167 negara. Protokol Tamabahan II (1977): Protokol Tambahan untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, mengenai Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Non- internasional. Hingga 12 Januari 2007, Protokol ini telah diratifikasi oleh 163 negara. Protokol Tambahan III (2005): Protokol Tambahan untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, mengenai Adopsi Lambang Pembeda Tambahan. Hingga Juni 2007, Protokol ini telah diratifikasi oleh 17 negara dan telah ditandatangani tetapi masih belum diratifikasi oleh 68 negara lagi.
Konvergensi Sejarah antara HHI dan Hukum Perang Dengan diadopsinya Protokol-protokol Tambahan 1977 untuk Konvensi-konvensi Jenewa (1977 Additional Protocols to the Geneva Conventions), kedua aliran hukum tersebut mulai bertemu, meskipun ketentuan-ketentuan yang berfokus pada kemanusiaan sudah terdapat dalam Hukum Den Haag (yaitu perlindungan tawanan perang dan orang sipil tertentu di wilayah pendudukan). Namun, Protokol-protokol Tambahan 1977 mengenai perlindungan korban dalam konflik bersenjata internasional maupun internal bukan hanya memasukkan ke dalamnya aspek-aspek dari Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa, tetapi juga memasukkan ketentuan-ketentuan HAM yang penting. Aturan-aturan dasar HHI Orang yang hors de combat dan orang yang tidak ambil bagian dalam permusuhan dilindungi dan diperlakukan secara manusiawi. 1. Membunuh atau mencederai musuh yang menyerah atau yang hors de combat adalah dilarang. 2. Korban luka dan korban sakit dirawat dan dilindungi oleh peserta konflik yang menguasai mereka. Lambang Palang Merah atau Bulan Sabit Merah harus dihormati sebagai tanda perlindungan. 3. Kombatan dan orang sipil yang tertangkap harus dilindungi terhadap tindakan kekerasan dan pembalasan. Mereka berhak untuk berkorespondensi dengan keluarga dan menerima bantuan kemanusiaan. 4. Tak seorang pun boleh dikenai penyiksaan, hukuman badan, ataupun perlakuan yang kejam atau merendahkan martabat. 5. Pihak peserta konflik dan anggota angkatan bersenjatanya tidak mempunyai pilihan yang tidak terbatas menyangkut cara dan sarana berperang. 6. Pihak peserta konflik membedakan setiap saat antara penduduk sipil dan kombatan. Penyerangan diarahkan hanya terhadap sasaran militer.