wilayah netral, mereka harus diinternir oleh Negara netral; Konvensi Jenewa
Ketiga juga mewajibkan agar mereka diperlakukan sebagai tawanan perang.39
Pihak-pihak yang berperang, pada gilirannya, harus menghormati sifat tidak
dapat diganggu gugat-nya wilayah netral dan tidak memindahkan pasukan
atau konvoi amunisi atau persediaan melintasi wilayah suatu Negara netral.
Dengan cara yang sama, dari sudut pandang realitas politik, konsekuensi
kelompok bersenjata non-Negara yang menggunakan wilayah suatu Negara
netral untuk melakukan serangan terhadap suatu Negara berperang mirip
dengan yang diperkirakan dalam hukum netralitas tradisional dan termasuk,
terutama, hilangnya sifat tidak dapat diganggu gugat dari wilayah netral itu.
Misalnya, ketika serangan itu diluncurkan oleh al-Qaeda terhadap Amerika
Serikat dari wilayah Afghanistan (2001), oleh Hizbullah terhadap Israel
(2006) dari wilayah Lebanon, dan oleh FARC terhadap Kolombia dari wilayah
Ekuador (2008), semua Negara yang diserang melakukan serangan lintas
batas terhadap kelompok tersebut, karena Negara tuan rumah netral tidak
mampu atau tidak mau melindungi kepentingan Negara yang diserang dalam
wilayah mereka. Sah atau tidaknya serangan lintas batas tersebut di mata
internasional, secara luas, masih kontroversial, terutama mengingat larangan
Piagam PBB tentang penggunaan kekuatan antar-Negara. Namun, kewajiban
pokok Negara untuk mencegah kelompok-kelompok bersenjata non-Negara
di dalam wilayah mereka untuk terlibat dalam kegiatan permusuhan melawan
Negara lain diakui secara umum.41
Setelah bencana Perang Dunia II, yang menjadi saksi kekejaman besar-besaran
yang dilakukan tidak hanya terhadap kombatan yang terluka, ditangkap
dan menyerah tetapi juga terhadap jutaan warga sipil di wilayah-wilayah
pendudukan, Konferensi Diplomatik 1949 mengadopsi keempat Konvensi
Jenewa yang sudah direvisi dan dilengkapi: Konvensi untuk Perbaikan
Kondisi Angkatan Bersenjata yang Luka dan Sakit di Darat (Konvensi Jenewa
Pertama), Konvensi untuk Perbaikan Kondisi Anggota Angkatan Bersenjata
yang Luka, Sakit dan Kapalnya Karam di Laut (Konvensi Jenewa Kedua),
Konvensi tentang Perlakuan terhadap Tawanan Perang (Konvensi Jenewa
Ketiga) dan Konvensi tentang Pelindungan terhadap Warga Sipil pada Masa
Perang (Konvensi Jenewa Keempat). Keempat Konvensi Jenewa 1949 yang
masih berlaku hingga saat ini dan, dengan 196 Negara Pihak, telah menjadi
perjanjian yang paling banyak diratifikasi.43
Pada saat yang sama, upaya untuk menghindari penderitaan yang tidak perlu
di kalangan kombatan dan untuk meminimalisir kerugian insidentil pada
warga sipil berujung pada berbagai konvensi dan protokol internasional yang
melarang atau membatasi pengembangan, penimbunan atau penggunaan
beragam senjata, termasuk senjata kimia dan biologi,44 senjata pembakar,45
senjata laser yang menyebabkan kebutaan,46 ranjau darat dan bom curah.47
Selain itu, Negara-negara kini diwajibkan melakukan kajian kompatibilitas
senjata-senjata yang baru dikembangkan dengan aturan-aturan dan prinsip-
prinsip HHI.48
dan militer yang sangat besar dari Negara yang terlibat mendorong kelompok-
kelompok oposisi menghindari identifikasi diri dan kekalahan dengan cara
bergerak di bawah tanah, berbaur dengan penduduk sipil dan terlibat dalam
berbagai bentuk perang gerilya. Alhasil, konfrontasi militer sering kali
mengambil tempat di tengah-tengah kawasan padat penduduk, yang tidak
hanya membuat penduduk sipil terpapar pada risiko kerugian insidental
yang semakin besar, tetapi juga mempermudah terjadinya partisipasi secara
langsung warga sipil dalam permusuhan. Selain itu, karena tidak bisa
mengalahkan lawan dalam konfrontasi langsung dengan musuh, kelompok
bersenjata semakin tergoda untuk menggunakan alat dan metode yang
dilarang oleh HHI, seperti menyalahgunakan pakaian sipil hingga secara
curang membunuh, melukai atau menangkap musuh, melakukan serangan
tanpa pandang bulu, atau bahkan langsung menjadikan warga sipil, personel
kemanusiaan atau petugas medis dan infrastrukturnya sebagai sasaran (yang
disebut "sasaran empuk"). Angkatan bersenjata Negara, selanjutnya, sering
kali tidak bisa dengan benar mengidentifikasi musuh dan semakin berisiko
diserang oleh orang yang tidak dapat mereka bedakan dengan penduduk
sipil. Secara keseluruhan, tren ini menghadirkan tekanan besar pada konsep
non-resiprositas dan kesetaraan pihak yang berperang dan, sayangnya, juga
pada kemauan baik angkatan bersenjata Negara dan kelompok bersenjata
non-Negara untuk menerima kewajiban mereka berdasarkan HHI.
50 Yang terpenting, Konvensi Jenewa 1949 mewajibkan bahwa “setiap kamp tawanan perang
harus berada di bawah kewenangan langsung perwira yang bertanggung jawab yang berasal
dari angkatan bersenjata reguler Kuasa Penahan” (KJ III, Pasal 39), dan bahwa “setiap tem-
pat interniran harus berada di bawah kewenangan perwira yang bertanggung jawab, yang
dipilih dari pasukan militer reguler atau pemerintahan sipil reguler dari Kuasa Penahan” (KJ
IV, Pasal 99).
51 KJ III, Pasal 4(4) dan (5).
PENGANTAR HHI 43
" Mengenai partisipasi warga sipil dalam permusuhan, lihat Bab 3.I.4.
Dokumen Montreux terdiri dari dua bagian. Bagian I menyatakan kembali kewajiban-
kewajiban Negara, perusahaan militer dan keamanan swasta dan personel mereka
52 Untuk definisi tentara bayaran berdasarkan HHI, lihat PT I, Pasal 47 dan HHI Kebiasaan, Aturan 108.
44 BAB 1
berdasarkan hukum internasional yang ada, termasuk HHI dan hukum hak asasi
manusia, sehubungan dengan operasi perusahaan tersebut dalam situasi konflik
bersenjata. Dalam menyikapi kewajiban negara, Dokumen Montreux membedakan
antara Negara yang menggunakan jasa perusahaan tersebut (Negara yang mengontrak),
Negara yang di wilayahnya perusahaan tersebut beroperasi (Negara teritorial) dan
Negara di wilayah mana mereka bermarkas atau didirikan (Negara asal). Bagian I juga
membahas kewajiban "semua Negara lain," kewajiban perusahaan militer swasta dan
keamanan serta personel mereka, dan isu tanggung jawab atasan dan tanggung jawab
Negara atas perilaku perusahaan tersebut. Bagian II memaparkan kompilasi praktik-
praktik baik yang dirancang untuk membantu Negara pengontrak, Negara teritorial dan
Negara asal dalam mematuhi kewajiban-kewajiban hukum ini. Praktik-praktik yang baik
ini sebagian besar didasarkan pada praktik Negara yang sudah ada di bidang terkait dan
mencakup langkah-langkah seperti memperkenalkan rezim perizinan yang transparan,
mewajibkan pelatihan memadai dan memastikan akuntabilitas perdata dan pidana.
Dokumen Montreux dikembangkan antara Januari 2006 dan September 2008 dengan
dukungan ahli pemerintah dari 17 Negara dan berkonsultasi dengan perwakilan
masyarakat sipil dan industri militer dan keamanan swasta. Dokumen Montreux tidak
menciptakan kewajiban hukum baru, juga tidak melegitimasi atau memberikan dasar
hukum bagi penggunaan perusahaan militer dan keamanan swasta.
Untuk keterangan lebih lanjut, lihat Montreux Document on Pertinent
International Legal Obligations and Good Practices for States related to
Operations of Private Military and Security Companies during Armed Conflict,
ICRC dan Departemen Luar Negeri Pemerintah Federal, Swiss, bulan Agustus
2009, 44 halaman.
Daftar terbaru Negara dan organisasi yang mendukung dapat dilihat di: https://
www.eda.admin.ch/eda/en/fdfa/foreign-policy/international-law/international-
humanitarian-law/private-military-security-companies/participating-states.
html
PENGANTAR HHI 45
S. Robertson/Crown
Sistem udara tak berawak: sebuah pesawat Predator siap mengudara, 2004.
53 PT I, Pasal 49 (1).
PENGANTAR HHI 47
Reuters
Personel di Air Force Space Command Network Operations & Security Center di Peterson
(Pusat Keamanan dan Operasi Jaringan Komande Ruang Angkasa Angkatan Udara) di Colorado
Springs, Colorado, 2014.
Proses Manual Tallinn pada saat ini adalah inisiatif yang paling signifikan untuk
menyatakan kembali dan memperjelas hukum internasional yang berlaku untuk
perang siber. Namun, perlu dicatat bahwa Manual ini tidak mengikat secara hukum
dan tidak selalu mewakili pandangan NATO atau organisasi lain, atau Negara mana
pun. Sebaliknya, Manual ini semata-mata merefleksikan pendapat para ahli yang
berpartisipasi, yang mana semuanya bertindak dalam kapasitas pribadi mereka. Selain
itu, Manual tidak membuat rekomendasi berkaitan dengan bagaimana hukum tersebut
harus diklarifikasi dan dikembangkan; hanya menyatakan kembali dan berkomentar
tentang hukum sebagaimana dipandang oleh para ahli yang berpartisipasi. Manual ini
diterbitkan pada 2013 oleh Cambridge University Press.
Lihat Michael Schmitt (ed.), Tallinn Manual on the International Law Applicable
to Cyber Warfare, Cambridge University Press, Cambridge, 2013, 300 halaman.
Angkatan Darat Amerika Serikat bekerja dengan industri dan universitas untuk mempelajari
robot mikro dan mengembangkan teknologi yang memungkinkan tentara untuk melihat ancaman
yang mengintai yang berada di luar jangkauan pandangan mereka dengan menggunakan robot
otonom seukuran kelelawar dan burung kolibri dan bahkan sekecil lalat buah, 2012.