Anda di halaman 1dari 14

Makalah Hukum Humaniter Internasional kelas D

Dosen: Dr. Sasmini, SH, LL.M

A. Kelompok 5
B. Nama Anggota:
a. Novianingrum S F Rivai / E0019322
b. Reihan Arij Nuraini / E0019360
c. Salafiyyah Diwayanti / E0019382
C. Topik Diskusi: Perlindungan Kombatan dan Tawanan Perang
D. Pengertian atau konsep dasar Perlindungan Kombatan dan Tawanan Perang
Perang merupakan suatu keadaan dimana terjadi suatu perselisihan antar negara
yang satu dengan negara yang lain dan salah satu pihak melakukan pemaksaan dan
melakukan tindakan kekerasan yang dipandang sebagai pelanggaran perdamaian.
Perang atau yang biasa disebut juga dengan konflik bersenjata selalu mengakibatkan
timbulnya banyak korban, baik itu dari kombatan maupun penduduk sipil. Disini
Hukum Humaniter Internasional hadir sebagai cabang dari Hukum Internasional Publik
yang mana didalamnya mengatur mengenai perang dan diatur di dalamnya adalah
perihal konflik bersenjata baik yang bersifat internasional maupun non internasional.
Prinsip kemanusian sebagai salah satu prinsip dasar dalam hukum humaniter
internasional, dimaksudkan untuk memberikan bantuan tanpa diskriminasi kepada
orang yang terluka di medan perang, berupaya dengan kapasitas internasional dan
nasional untuk mengurangi penderitaan manusia dimanapun ditemukan. Pada Intinya
Hukum Humaniter Internasional diciptakan secara khusus untuk melindungi dan
memelihara hak asasi korban dan non kombatan dalam konflik bersenjata.
Di dalam Hukum Humaniter Internasional dikenal adanya prinsip pembedaan
(distinction principle) yang membedakan warga negara yang sedang terlibat di dalam
suatu konflik bersenjata ke dalam dua pembagian, yaitu kombatan dan penduduk sipil.
Kombatan merupakan anggota angkatan bersenjata yang dapat terlibat langsung di
dalam suatu peperangan sehingga boleh dijadikan objek kekerasan ataupun dibunuh
sedangkan penduduk sipil biasa disebut sebagai non kombatan yang tidak turut serta di
dalam suatu konflik bersenjata. Melalui prinsip pembedaan tersebut, kita dapat
mengetahui siapa yang dapat ditahan ketika sedang berlangsung sebuah peperangan.
Orang – orang yang ditahan atau ditawan oleh pihak musuh pada saat terjadi perang
disebut sebagai tawanan perang. Tawanan perang dapat berupa kombatan maupun
nonkombatan.
Terkait dengan makna perlindungan hukum itu sendiri adalah cara, proses, dan
perbuatan melindungi harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi
manusia yang dimiliki oleh subjek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari
kesewenangan. Maka dari pengertian - pengertian diatas yang dimaksud dengan
perlindungan terhadap kombatan dan tawanan perang perlindungan adalah suatu upaya
melindungi orang - orang yang ikut serta dalam konflik bersenjata yang turut menjadi
korban dikarenakan terluka, sakit, atau tertawan sebagai tawanan perang sehingga
terjamin keselamatannya guna terpeliharanya hak - hak asasinya. Oleh karena itu pihak
penawan harus menjalankan kewajibannya untuk memperlakukan tawanan perang
sebagaimana yang sudah diatur yaitu secara manusiawi, menempatkan tawanan perang
pada tempat yang aman dan mereka tidak boleh ditahan dalam tutupan, menjaga
kesejahteraan tawanan perang, memberikan makanan dan minuman yang sesuai
kebiasaan mereka, merawat atau memberikan pelayanan kesehatan bila diperlukan.
E. Pengaturan Perlindungan Kombatan dan Tawanan Perang dalam HHI
Konflik bersenjata dapat berupa konflik bersenjata internasional dan konflik
bersenjata non-internasional. Akibat konflik bersenjata banyak menimbulkan korban,
baik kombatan maupun penduduk sipil. Perlindungan terhadap tawanan perang adalah
hal yang sangat penting diperhatikan saat terjadinya konflik bersenjata, hal ini
dimaksudkan untuk menghindari perlakuan tidak manusiawi. Terkait dengan
Perlindungan Kombatan dan Tawanan Perang telah diatur dalam Konvensi Jenewa III
Tahun 1949 dan Declaration of Human Rigths yang mana peraturan ini menandai titik
awal kodifikasi hukum perlindungan perang pada zaman modern. Konvensi-konvensi
Jenewa Tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang (Geneva Convention of 1949
for the Protection of Victims of war) terdiri atas 4 Konvensi, yaitu :
1. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan yang Luka dan Sakit dalam
Angkatan Bersenjata di Medan Pertempuran Darat (Geneva Convention for the
Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the
Field, of August 12, 1949).
2. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata di
Laut yang Luka, Sakit, dan Korban Karam (Geneva Convention for the
Amelioration of the Condition of the Wounded, Sick, and Shipwrecked Members
of Armed Forces atSea, of August 12, 1949).
3. Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan Perang (Geneva Convention
relative to the Treatment of Prisoners of War, of August 12, 1949).
4. Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang Sipil di waktu Perang (Geneva
Convention relative to the Protection of Civilian Persons in time of War, of
August 12,1949). Ketentuan tersebut bertujuan untuk mencegah atau
melindungi korban konflik bersenjata, supaya terhindar dari tindakan kekerasan
yang berakibat buruk terutama bagi orang yang sudah tidak berdaya dan juga
tawanan perang.
Konvensi Jenewa III 1949 tentang Perlakuan terhadap Tawanan Perang secara
khusus mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan atau angkatan bersenjara
serta tawanan perang. Konvensi ini mengatur adanya perlindungan hukum terhadap
tawanan perang tersebut dan mengatur bagaimana negara penahan memperlakukan
tawanan perangnya. Serta terdapat kriteria kriteria tertentu mengenai orang orang yang
dapat diperlakukan sebagai tawanan perang dimulai sejak awal hingga akhir penawanan
yang termuat di dalam konvensi ini. Sehingga negara penahan tidak seenaknya
memperlakukan tawanan perang tersebut.
Bentuk perlindungan yang diberikan menurut konvensi ini meliputi jaminan
atas sandang, pangan, papan, intelektual dan jasmani dalam hal ini tidak menyiksa,
membunuh, maupun melakukan balas dendam terhadap tawanan perang yang sudah
tidak berdaya.,kemudian kegiatan keagamaan, komunikasi dengan keluarga tawanan,
pengaduan perlakuan yang diterima selama masa tawanan, serta hak untuk memperoleh
upah apabila tawanan perang tersebut dipekerjakan. Dengan peraturan - peraturan ini
maka apa yang menjadi tujuan hukum humaniter bisa tercapai, yaitu meminimalisir
korban dan mengurangi penderitaan berlebihan yang disebabkan oleh peperangan.
Jadi, Konvensi Jenewa III Tahun 1949 dan Declaration of Human Rigths
mewajibkan setiap negara yang turut serta meratifikasi konvensi tersebut, agar
menghindarkan diri dari segala bentuk penyiksaan dan mengawasi para aparat penegak
hukum mulai dari interogasi hingga adanya putusan pengadilan. Hal ini dilakukan
untuk mencengah segala bentuk penyiksaaan terhadap tawanan perang demi
penghormatan terhadap prinsip-prinsip kemanusian. Selain itu, setiap perbuatan yang
bertentangan dengan hukum atau kelalaian Negara penahan yang mengakibatkan
kematian atau benar-benar membahayakan kesehatan tawanan perang yang berada
dibawah pengawasannya, adalah dilarang dan dianggap sebagai pelanggaran berat
terhadap konvensi ini.
F. Perkembangan dan Tantangan HHI
Selama 70 tahun terakhir, Konvensi Jenewa Ketiga (KJ III) telah memastikan
bahwa tawanan perang diperlakukan secara manusiawi dan bermartabat saat berada di
tangan pasukan musuh, menyelamatkan nyawa yang tak terhitung jumlahnya. Konvensi
ini disusun setelah Perang Dunia Kedua, ketika jutaan tawanan perang menjadi korban
kekejaman yang mengerikan. Pada 1949, belajar dari pengalaman yang menyakitkan
ini, Konvensi Jenewa Ketiga merevisi dan memperluas perlindungan yang diberikan
kepada tawanan perang menurut Konvensi 1929. Konvensi 1949 berisi 143 pasal, 46
lebih banyak dari pendahulunya. Penambahan dan revisi ini dianggap perlu, mengingat
perubahan yang telah terjadi selama dua dekade sebelumnya dalam melakukan perang
dan konsekuensinya. Sebagai bagian dari amanatnya, ICRC mengunjungi para tawanan
perang untuk memastikan penghormatan terhadap standar perlindungan Konvensi.
Selama ini ICRC berada dalam posisi menyaksikan dampak yang dimiliki oleh
Konvensi Jenewa Ketiga terhadap tawanan perang bila konvensi itu dihormati.
Kepatuhan otoritas yang menahan terhadap perlindungan yang diberikan oleh Konvensi
secara langsung tercermin dalam kesehatan fisik dan mental tahanan, ketahanan mereka
dalam menghadapi kesulitan, dan kapasitas mereka untuk pulih dari penangkapan.
Pada hari Rabu, 26 September pemerintah Sudan membebaskan tawanan perang
kemudian Komite Internasional Palang Merah (ICRC) memfasilitasi pemulangan 19
tawanan perang Sudan Selatan. Sebagai perantara yang bersifat netral, ICRC membantu
para tawanan perang untuk kembali ke keluarganya setelah mendapat persetujuan dari
mereka pemerintah Sudan. Para tawanan perang menggunakan pesawat ICRC dari
Sudan menuju Sudan Selatan, di mana mereka akan diserahkan kepada pemerintah
Sudan Selatan. Sesuai dengan mandatnya yang tertulis dalam perjanjian Konvensi
Jenewa, ICRC mengunjungi tawanan perang pada bulan Agustus untuk memeriksa
kondisi mereka. ICRC melakukan kunjungan tahanan hanya untuk memastikan bahwa
mereka diperlakukan secara penuh martabat dan berperikemanusiaan, sesuai dengan
Hukum Humaniter Internasional, sebuah kumpulan peraturan yang berdasarkan pada
kemanusian, bertujuan mengurangi dampak dari konflik bersenjata.
Selain itu ICRC memastikan sudah dipatuhinya peraturan Hukum Humaniter
Internasional dengan mengunjungi tawanan perang. Pada tahun 2012, ICRC
mengunjungi lebih dari 500.000 tahanan di 97 negara atau wilayah. Fasilitas yang
disediakan untuk kombatan dan tawanan perang diantaranya:
1. Jerman, Perang Dunia Kedua. Sebuah sistem logistik yang luas itu diberlakukan
selama Perang Dunia Kedua untuk memberikan bantuan kepada tawanan
perang. Staf-staf ICRC secara teratur mengunjungi kamp tawanan perang
dimana mereka diberikan akses.
2. Palestina, 1948. Seorang staf ICRC mendistribusikan bantuan selama
kunjungan ke kamp tawanan perang Israel. Pada bulan Juni 1948, ini merupakan
kali pertama ICRC mendapatkan akses sekitar 400 tawanan Israel dari perang
di Trans-Yordania, Mesir dan Suriah. ICRC juga mengunjungi beberapa 2000
tawanan perang Arab di Israel.
3. Hanoi, Viet Nam, Perang Indochina Pertama, 1952. Selama perang Indochina
Pertama, ICRC tidak memiliki akses ke tawanan yang ditangkap oleh Republik
Demokratik Vietnam. Namun, ICRC dapat mengunjungi tawanan perang yang
berada di Vietnam Utara dan bertemu tawanan di rumah sakit penjara di Hanoi.
4. Pusat penyortiran dan transit di Bliva, Aljazair, 1961. Pada tahun 1955 ICRC
merupakan organisasi kemanusiaan pertama kali yang berwenang untuk
melakukan kunjungan ke penjara di Aljazair, dan untuk melakukan wawancara
pribadi dengan tawanan. Perancis tidak mengakui nasionalisme Aljazair sebagai
tawanan perang, yang berarti mereka mempertaruhkan hukuman berat hanya
untuk terlibat dalam pertempuran. selama tahun-tahun terakhir perang Aljazair,
ICRC berhasil memastikan bahwa semua pejuang yang ditangkap membawa
senjata dan mengenakan seragam akan diperlakukan dengan cara yang sama
sebagai tawanan perang.
5. Gitarama, Rwanda, 1996. Setelah peristiwa pembantaian pada tahun 1994,
tahun 1994, puluhan ribu orang yang dituduh terlibat dalam pembunuhan
disebut tahanan, kondisi dalam tahanan menjadi semakin sulit karena tempat
penahanan sangat padat.
6. Baku, Azerbaijan, 2002. Seorang tahanan mengambil obat sehari-hari di bawah
pengawasan perawat, dari sisi penjara yang membantu pasien tuberkulosis.
7. Lima, Peru, 2004. Tahanan perempuan merupakan minoritas dalam lingkungan
penjara yang didominasi laki-laki. ICRC Memberikan perawatan khusus untuk
para tahanan perempuan, guna Memastikan bahwa kebutuhan mereka juga
diperhitungkan.
8. Pos pemeriksaan Erez, antara Gaza dan Israel, 2005. ICRC Menyelenggarakan
dan memfasilitasi kunjungan keluarga Palestina untuk melihat orang-orang
terkasih yang ditahan di Israel dan membantu keluarga untuk melewati pos
pemeriksaan dan mendapatkan akses ke pusat-pusat penahanan. Hak
mengunjungi ditangguhkan pada tahun 2007 dibuka kembali pada bulan Juli
2012. Saat ini hampir setiap hari Senin, ICRC Menyertai keluarga tahanan dari
Gaza ke Israel.
9. Kabul, Afghanistan, 2008. ICRC Telah mendirikan fasilitas konferensi video di
sejumlah delegasi untuk memungkinkan kerabat mereka yang ditahan oleh
Amerika Serikat di penjara Bagram (Afghanistan) dan Guantanamo untuk
menghubungi orang yang mereka cintai.
Tantangan Hukum Humaniter Internasional dalam menghadapi perkembangan
perlindungan kombatan dan tawanan perang yaitu harus bisa memastikan bahwa negara
yang berkonflik sudah mematuhi aturan HHI. Misalnya krisis kemanusiaan yang terjadi
di Ukraina akibat perang dengan Rusia. Tim ICRC menerima banyak telepon dari
orang-orang yang sangat membutuhkan keselamatan. Angka korban terus bertambah
sementara fasilitas kesehatan berjuang untuk mengatasinya. Tantangannya di sini
adalah negara yang berkonflik harus selalu diberi pengingat tentang apa saja aturan-
aturan prinsip dasar kemanusiaan selama konflik bersenjata. Seperti orang-orang yang
dilindungi, termasuk tawanan perang dan tahanan, dimana setiap pihak yang terlibat
dalam konflik harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk bertanggung
jawab atas orang-orang yang dilindungi yang berada dalam kekuasaannya – personil
militer yang terluka, sakit dan meninggal, tawanan perang dan warga sipil yang
dilindungi yang dicabut kebebasannya. Setiap pihak harus mengumpulkan,
memusatkan dan mengirimkan informasi yang diperlukan ke pihak lain melalui Central
Tracing Agency (Badan Penelusuran Pusat) ICRC yang bertindak sebagai perantara
netral. Tawanan perang dan warga sipil yang ditahan harus diperlakukan secara
bermartabat dan benar-benar dilindungi dari perlakuan buruk dan rasa ingin tahu publik
termasuk gambar-gambar yang beredar secara terbuka di media sosial. Konvensi
Jenewa 1949 memastikan akses ICRC ke para tahanan – baik tawanan perang maupun
warga sipil.
Terdapat 10 perlindungan paling penting yang diberikan oleh Konvensi Jenewa
Ketiga kepada tawanan perang dalam konflik bersenjata, yang menjadi tantangan dan
harus diperhatikan:
1. Perlakuan manusiawi
Inti Konvensi Jenewa Ketiga adalah prinsip dasar bahwa tawanan
perang harus diperlakukan secara manusiawi dan dilindungi setiap saat. Mereka
dilindungi dari tindakan kekerasan dan intimidasi, penghinaan dan rasa ingin
tahu publik, dan terhadap pembalasan. Tawanan perang tidak boleh sekali pun
menjadi subjek percobaan medis atau ilmiah yang tidak dibenarkan secara
medis dan demi kepentingan mereka sendiri — perlindungan penting dan
pelajaran yang diambil dari pengalaman Perang Dunia Kedua. Prinsip
menyeluruh dari perlakuan manusiawi tercermin dalam banyak ketentuan
Konvensi dan harus memandu interpretasi mereka.
2. Hormat terhadap orang-orang dan kehormatannya
Perlakuan manusiawi terhadap tawanan perang juga berarti bahwa
Kuasa Penahan harus menghormati orang-orang mereka dan kehormatan
mereka dalam segala situasi. Sementara ada nuansa kuno yang mewarnai
pembacaan ketentuan-ketentuan ini, ide yang bertahan adalah semacam
‘memperhatikan rasa nilai yang dimiliki setiap orang dalam diri mereka
sendiri’. Para tawanan perang tidak hanya diizinkan untuk memakai emblem
pangkat dan kebangsaan mereka serta lencana militer mereka dan diperlakukan
sesuai dengan pangkat dan usia mereka, terkait dengan kehormatan militer
mereka; mereka juga, terutama, harus diberikan kondisi kerja yang sesuai, yang
tidak akan mempermalukan, dan mereka harus dibayar untuk pekerjaan mereka.
3. Prinsip kesetaraan dan pembedaan yang tidak merugikan
Semua tawanan perang berhak atas penghormatan dan perlindungan
yang sama dan harus diperlakukan setara. Ini berarti bukan saja ada larangan
diskriminasi tahanan perang tertentu, tetapi juga ada kewajiban untuk
mempertimbangkan dan menanggapi kebutuhan spesifik, terutama ketika
berhadapan dengan kategori tahanan tertentu seperti perempuan, penyandang
disabilitas, atau anak-anak. Sementara kosakata yang digunakan dalam
Konvensi 1949 agak ketinggalan jaman, misalnya bahasa yang berkaitan
dengan ‘gangguan mental’, kosakata itu mewakili kemajuan pada masanya.
Misalnya, sementara Konvensi 1929 hanya mengharuskan perempuan
diperlakukan ‘dengan segala pertimbangan karena jenis kelamin mereka’,
Konvensi 1949 menambahkan bahwa mereka, dalam semua kasus, harus
diberikan ‘perlakuan yang sama menguntungkan sebagaimana yang diberikan
kepada laki-laki’. Sekarang ini, redaksi Konvensi, ditafsirkan menurut objek
dan tujuannya, sehingga memungkinkan penafsiran yang memperhitungkan
kebutuhan spesifik dari tawanan perang yang beragam.
4. Tanya-jawab
Ketika ditanya, tawanan perang terikat untuk hanya memberikan nama,
pangkat, tanggal lahir dan nomor dinas militer mereka. Setelah menerima
informasi tersebut, Kuasa Penahan akan dapat menetapkan identitas, status dan
pangkat mereka sebagai anggota angkatan bersenjata musuh. Ini adalah
perlindungan penting, karena memungkinkan Kuasa Penahan untuk
mengidentifikasi tahanan perang dengan benar dan mencegah mereka hilang,
serta untuk memberi mereka perlakuan yang berhak mereka dapatkan. Dilarang
keras untuk menjadikan tawanan perang sebagai subjek penyiksaan fisik atau
mental, atau bentuk pemaksaan lainnya, untuk mendapatkan informasi dalam
bentuk apa pun.
5. Perhatian medis
Konvensi Jenewa Ketiga menetapkan serangkaian tindakan untuk
memastikan bahwa tawanan perang mendapat perhatian medis yang memadai,
seperti yang dipersyaratkan oleh keadaan kesehatan mereka. Di seluruh
Konvensi, baik kesehatan fisik maupun mental ditekankan. Tindakan tersebut
meliputi, misalnya, pemeriksaan medis bulanan dan akses ke perawatan
kesehatan — termasuk perawatan khusus jika terjadi penyakit serius — dan
akses ke fasilitas kesehatan khusus untuk penyandang disabilitas. Konvensi juga
mengatur pembuatan bangsal isolasi untuk kasus penyakit menular dan
memberlakukan langkah-langkah kebersihan dan sanitasi untuk memastikan
kondisi kehidupan yang bersih dan sehat di kamp-kamp. Tawanan perang yang
terluka serius atau sakit harus langsung dipulangkan ke negara mereka sendiri
atau dipindahkan ke negara netral untuk perawatan, tergantung pada
kemungkinan dan waktu pemulihan yang diharapkan.
6. Kontak dengan dunia luar
Konvensi Jenewa Ketiga memberikan tawanan perang hak untuk terus
menjalin hubungan dengan keluarga mereka. Hal ini memungkinkan mereka
untuk mengirim dan menerima surat dan kartu, menerima paket dan pengiriman
bantuan kolektif dan secara ketat mengatur kemungkinan untuk menyensor
korespondensi dan memeriksa barang kiriman. Sarana komunikasi yang lebih
modern juga harus dipertimbangkan, karena ketentuan tersebut harus
ditafsirkan sesuai dengan perkembangan teknologi terbaru dalam
telekomunikasi. Konvensi Jenewa Ketiga memperkuat kewajiban — yang
sudah ada pada 1929 — untuk mendirikan Badan Pusat Pencarian (Central
Tracing Agency) bagi tawanan perang, yang diamanatkan untuk
mengumpulkan dan memusatkan informasi tentang tawanan perang dan
mengirimkannya kepada Para Pihak dalam konflik. Sejak 1949, Badan tersebut
berada di bawah tanggung jawab ICRC.
7. Hak untuk dikunjungi oleh ICRC
Kuasa Penahan harus mengizinkan delegasi ICRC untuk mengunjungi
semua tempat di mana tawanan perang berada dan mewawancarai mereka tanpa
saksi. Pihak berwenang tidak dapat memberlakukan pembatasan atas tempat
dan tahanan perang mana yang boleh dikunjungi. Dengan peran
pengawasannya, ICRC memastikan agar tawanan perang diperlakukan sesuai
dengan hak dan kewajiban yang diberikan oleh Konvensi Jenewa Ketiga, bahwa
kebutuhan mereka terpenuhi, dan agar mereka tidak hilang. Untuk itu, ICRC
dapat memberikan dukungan tambahan kepada pihak berwenang melalui
Central Tracing Agency atau berdasarkan haknya untuk menawarkan layanan
sebagai organisasi kemanusiaan dan imparsial.
8. Hak untuk pengadilan yang adil
Tujuan dari penahanan tawanan perang bukan untuk menghukum
mereka, tetapi untuk mencegah tentara yang ditangkap mengambil bagian lebih
jauh dalam permusuhan yang sedang berlangsung melawan Kuasa Penahan.
Oleh karena itu, tawanan perang tidak boleh dituntut semata-mata karena fakta
telah berpartisipasi dalam permusuhan. Jika dituduh melakukan pelanggaran,
tawanan perang harus diadili di hadapan pengadilan independen dan tidak
memihak, dalam persidangan yang adil yang memberikan semua jaminan
peradilan yang esensial. Agar hukuman yang dijatuhkan sah, putusan harus
dikeluarkan oleh pengadilan yang sama dan sesuai dengan prosedur yang sama
seperti dalam kasus anggota angkatan bersenjata Kuasa Penahan.
9. Kegiatan pendidikan dan rekreasi
Pihak berwenang yang menahan harus mendorong tawanan perang
untuk mengejar kegiatan intelektual, pendidikan, dan rekreasi. Untuk tujuan ini,
pihak berwenang harus menyediakan tempat dan peralatan yang memadai untuk
mempraktikkan kegiatan seperti belajar, bermain alat musik, berolahraga dan
bertanding, dengan perhatian khusus pada latihan fisik dan aktivitas di ruang
terbuka. Pelindungan ini berhubungan langsung dengan prinsip perlakuan
manusiawi, karena membantu para tawanan perang mengatasi penangkapan
mereka dengan menjaga kesejahteraan fisik dan mental mereka. Kuasan
Penahan harus selalu menghormati preferensi tawanan secara individu dan tidak
boleh menjadikan mereka sebagai bagian kegiatan propaganda.
10. Pembebasan dan repatriasi
Para tawanan perang harus dibebaskan dan dipulangkan ke negara
mereka sendiri tanpa penundaan setelah berhentinya permusuhan aktif, kecuali
di mana mereka telah didakwa secara kriminal atau menjalani hukuman
pengadilan pidana. Karena kurangnya kesepakatan damai formal, pembebasan
jutaan tawanan perang tertunda selama bertahun-tahun setelah berakhirnya
Perang Dunia Kedua. Untuk alasan ini, Konvensi Jenewa Ketiga 1949
menetapkan bahwa kewajiban untuk membebaskan dan memulangkan tawanan
perang tidak bergantung pada timbal balik (reciprocity) dan berlaku bahkan
tanpa adanya perjanjian damai.
G. Case Law
Georgia/Russia, Human Rights Watch’s Report on the Conflict in South Ossetia
(Case No. 291, Georgia/Russia, Independent International Fact-Finding Mission
on the Conflict in South Ossetia)
Human Rights Watch melaporkan telah terjadi eksekusi, penyiksaan, dan
perlakuan merendahhkan tawanan perang pada konflik bersenjata antara Georgia dan
Osetia Selatan yang berafiliasi dengan Rusia. Hukum Humaniter Internasional telah
memberikan aturan mengenai perlindungan terhadap tawanan perang. Hukum
Humaniter Internasional juga menentukan bahwa seseorang yang berstatus sebagai
kombatan (dalam hal ini lawful combatant) otomatis berhak diperlakukan sebagai
tawanan perang apabila mereka tidak mampu lagi melanjutkan pertempuran dan
tertangkap pihak lawan. Tetapi ada pula sekelompok penduduk sipil tertentu, walaupun
mereka bukan kombatan, apabila jatuh ke tangan musuh berhak pula mendapatkan
status tawanan perang sebagaimana yang diatur Pasal 4A Konvensi Jenewa III tahun
1949. Selanjutnya dalam kasus Georgia dengan Rusia akan dibahas lebih lanjut
mengenai analisa perlakuan terhadap tawanan perang serta permasalahan yang dikaji
berdasarkan perspektif perlindungan tawanan perang berdasarkan hukum humaniter
internasional.
1. Latar Belakang Kasus
Ossetia Selatan adalah wilayah Georgia yang memisahkan diri, Ossetia
Selatan berbagi perbatasan dan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan
Rusia. Konflik bersenjata berlangsung sejak musim semi 2008, dimulai 7
Agustus dengan serangan militer Georgia di Ossetia Selatan dan tanggapan
militer Rusia pada hari berikutnya. Diperkirakan terjadi gencatan senjata pada
15 Agustus, dengan mundurnya pasukan Georgia dan pasukan Rusia yang
menduduki wilayah Ossetia Selatan.
Pada 16 Agustus, Presiden Saakashvili dan timpalannya dari Rusia
Presiden Dmitry Medvedev telah menandatangani enam poin perjanjian
gencatan senjata yang ditengahi oleh Presiden Prancis Nikolas Sarkozy dalam
kapasitasnya sebagai pemimpin kepresidenan Uni Eropa Prancis. Perjanjian
gencatan senjata menyerukan penghentian konflik bersenjata dan penarikan
semua pasukan, sementara memungkinkan pasukan penjaga perdamaian Rusia
untuk menerapkan langkah-langkah keamanan tambahan sampai ada
mekanisme pemantauan secara internasional.
2. Eksekusi, Penyiksaan, dan Perlakuan Merendahkan Tawanan Perang Georgia
oleh Pasukan Ossetia dan Rusia
Pasukan Rusia dan Ossetia menahan setidaknya 13 prajurit Georgia
selama pertempuran aktif. Semua tahanan ini berhak atas status tawanan perang
(Prisoner of War). Empat prajurit Georgia ditahan di tempat-tempat penahanan
informal, termasuk asrama dan sekolah, selama beberapa hari, dan kemudian
dipindahkan ke polisi Ossetia.Tentara Georgia melaporkan bahwa mereka telah
mengalami penyiksaan dan perlakuan buruk selama penahanan mereka oleh
pasukan Ossetia. Human Rights Watch mendokumentasikan eksekusi tiga
prajurit Georgia saat berada dalam tahanan pasukan Ossetia [Para. 99
Georgia/Russia, Human Rights Watch’s Report on the Conflict in South
Ossetia].
Pasukan Ossetia akhirnya memindahkan 13 tawanan perang Georgia ke
pasukan Rusia, dan pihak berwenang Rusia menukar mereka dengan lima
tawanan perang Rusia pada 19 Agustus 2008 [Para. 100 Georgia/Russia, Human
Rights Watch’s Report on the Conflict in South Ossetia].
Tentara Georgia ditahan di Tskhinvali, di mana Rusia menjalankan
kendali efektif mulai 9 Agustus 2008, dan oleh karena itu dianggap telah jatuh
ke dalam kekuasaan Rusia. Oleh karena itu Rusia berkewajiban untuk memberi
mereka status tawanan perang dan memperlakukan mereka sesuai dengan
perlindungan Konvensi Jenewa Ketiga, yang mencakup larangan mutlak atas
perlakuan buruk dan mengharuskan tawanan perang diperlakukan secara
manusiawi dan dijaga kesehatannya. Eksekusi, penyiksaan, dan perlakuan
buruk terhadap tawanan perang adalah pelanggaran berat Konvensi Jenewa
Ketiga dan merupakan kejahatan perang (Para 101 Georgia/Russia, Human
Rights Watch’s Report on the Conflict in South Ossetia).
Semua tahanan yang ditahan Georgia ditukar dengan 159 warga sipil
Georgia dan 39 tawanan perang yang ditahan di bawah otoritas Rusia. ICRC
diberikan akses tanpa hambatan ke fasilitas penahanan Georgia dan
mengunjungi tiga dari lima tawanan perang – dua lainnya ditawan di akhir
perang. ICRC beberapa kali mengunjungi fasilitas yang dikelola oleh
Kementerian Pertahanan dan Kehakiman, memeriksa kondisi di mana tidak
hanya tawanan perang yang ditahan, tetapi juga anggota formasi bersenjata
ilegal yang ditahan.“Mereka yang ditahan dalam konteks konflik ditempatkan
terpisah dari tahanan lain.” (Para. 86 Independent International Fact-Finding
Mission on the Conflict in Georgia, Report, Volume I,)
3. Dasar Hukum dalam Hukum Humaniter Internasional khususnya terkait
perlindungan tawanan perang
- Pasal 12 Konvensi Jenewa III
“(1) Prisoners of war are in the hands of the enemy Power, but not of the
individuals or military units who have captured them. Irrespective of the
individual responsibilities that may exist, the Detaining Power is
responsible for the treatment given them.
(2) Prisoners of war may only be transferred by the Detaining Power to a
Power which is a party to the Convention and after the Detaining Power
has satisfied itself of the willingness and ability of such transferee Power to
apply the Convention. When prisoners of war are transferred under such
circumstances, responsibility for the application of the Convention rests on
the Power accepting them while they are in its custody.
(3) Nevertheless if that Power fails to carry out the provisions of the
Convention in any important respect, the Power by whom the prisoners of
war were transferred shall, upon being notified by the Protecting Power,
take effective measures to correct the situation or shall request the return of
the prisoners of war. Such requests must be complied with.”
Tawanan perang berada di tangan Kekuatan musuh, tetapi tidak berada
di tangan individu atau unit militer yang telah menangkap mereka. Terlepas
dari tanggung jawab individu yang mungkin ada, Negara Penahan
bertanggung jawab atas perlakuan yang diberikan kepada mereka.
- Pasal 14(1) Konvensi Jenewa III
“(1) Prisoners of war are entitled in all circumstances to respect for their
persons and their honour.”
Tawanan perang berhak dalam segala keadaan untuk dihormati secara
pribadi atas kehormatannya. Ada dua aspek yang berbeda dari pengertian
menghormati tersebut: integritas fisik dan integritas moral. Tawanan perang
meskipun dari kelompok yang berbeda harus berada dalam tempat yang
sama dan tidak boleh diisolasi, hal ini untuk memperhatikan aspek moral
yaitu kondisi psikologis dari tawanan perang.
- Pasal 22(1) Konvensi Jenewa III
“(1) Prisoners of war may be interned only in premises located on land and
affording every guarantee of hygiene and healthfulness. Except in particular
cases which are justified by the interest of the prisoners themselves, they
shall not be interned in penitentiaries.”
Kalimat kedua dari Pasal 22(1) Konvensi Jenewa III menetapkan bahwa
lembaga pemasyarakatan pada prinsipnya tidak boleh digunakan untuk
tawanan perang yang ditawan tetapi memungkinkan pengecualian ketika
'dibenarkan oleh kepentingan tawanan itu sendiri'.
- Pasal 97 Konvensi Jenewa III
“(1) Prisoners of war shall not in any case be transferred to penitentiary
establishments (prisons, penitentiaries, convict prisons, etc.) to undergo
disciplinary punishment therein.
(2) All premises in which disciplinary punishments are undergone shall
conform to the sanitary requirements set forth in Article 25. A prisoner of
war undergoing punishment shall be enabled to keep himself in a state of
cleanliness, in conformity with Article 29.
(3) Officers and persons of equivalent status shall not be lodged in the same
quarters as non-commissioned officers or men.
(4) Women prisoners of war undergoing disciplinary punishment shall be
confined in separate quarters from male prisoners of war and shall be under
the immediate supervision of women.”
Ketentuan dalam Pasal tersebut berusaha untuk menjaga kehormatan
dan martabat dari tawanan perang serta terdapat pula perlindungan terhadap
tawanan perang wanita. Bahwasanya tawanan perang tidak boleh ditahandi
tempat yang sama dengan penjahat biasa. Akibatnya, juga dilarang untuk
memindahkan penjahat biasa ke fasilitas yang digunakan untuk tahanan
disipliner di kamp tawanan perang.
H. Penutup
Perlindungan terhadap tawanan perang adalah hal yang sangat penting
diperhatikan saat terjadinya konflik bersenjata, hal ini dimaksudkan untuk menghindari
perlakuan tidak manusiawi. Terkait dengan Perlindungan Kombatan dan Tawanan
Perang telah diatur dalam Konvensi Jenewa III Tahun 1949 dan Declaration of Human
Rigths yang mana peraturan ini menandai titik awal kodifikasi hukum perlindungan
perang pada zaman modern. Tantangan Hukum Humaniter Internasional dalam
menghadapi perkembangan perlindungan kombatan dan tawanan perang yaitu harus
bisa memastikan bahwa negara yang berkonflik sudah mematuhi aturan hukum
humaniter internasional. Penawanan yang dilakukan bertentangan dengan ketentuan
yang berlaku dalam hukum humaniter internasional merupakan bentuk kejahatan
perang.

Anda mungkin juga menyukai