Anda di halaman 1dari 15

UNIVERSITAS INDONESIA

Penerapan Perspektif Hukum Humaniter terkait Hak Asasi Manusia dalam


Kasus Penembakan Reporter Al Jazeera, Shireen Abu Akleh

Diajukan untuk memenuhi nilai mata kuliah


Hukum dan Hak Asasi Manusia - Reguler D

Disusun Oleh:
KELOMPOK 6

Regita Putri Kusumawardani 1906291563

Shafa Annisa Puteri Harahap 1906291626

Stefany 1906291683

Tazqia Aulia Al-Djufri 1906291733

Utari Kusumawardhani 1906291784

Verina Marcillia 1906291815

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
MEI 2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Hukum Humaniter Internasional dikenal sebagai salah satu cabang dari hukum
internasional (International Law), dimana yang dimaksud dari pernyataan tersebut adalah
hukum internasional mencakup Hukum Humaniter. Untuk alasan tersebut, maka karakteristik
Hukum Humaniter tidak memiliki banyak perbedaan dengan hukum internasional, contohnya
berkaitan dengan sumber-sumber hukumnya yang mana juga mengacu kepada Pasal 38 ayat
(1) Statuta Mahkamah Internasional (the Statuta of International Court of Justice/ICJ), yaitu
meliputi: perjanjian internasional (treaty), hukum kebiasaan internasional (customary
international law), prinsip-prinsip umum hukum (general principles of law), yurisprudensi
(judicial decisions) dan doktrin (doctrine) atau pendapat para ahli yang telah diakui
kepakarannya atau reputasinya (teaching of the most highly qualified publicists).1
Selanjutnya, International Committee Of The Red Cross (ICRC) secara rinci
menjabarkan maksud dan tujuan dari Hukum Humaniter ini sendiri sebagai seperangkat
aturan internasional yang dibentuk oleh perjanjian internasional atau kebiasaan, dimana
secara spesifik, diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan
kemanusiaan yang muncul secara langsung dari berbagai sengketa bersenjata internasional
ataupun non-internasional. Serta, dikarenakan oleh alasan-alasan berbasis kemanusiaan,
membatasi hak dari pihak-pihak yang berkonflik untuk menggunakan metode dan alat perang
sesuai dengan pilihan dari pihak-pihak yang mengalami konflik atau untuk melindungi
orang-orang dan harta mereka yang mungkin terkena dampak dari konflik yang terjadi
tersebut.2
Maka dari itu, Hukum Humaniter Internasional dapat dikatakan sebagai salah satu alat
dan cara yang dapat digunakan oleh setiap negara, baik itu negara yang sedang mengalami
konflik maupun negara damai atau netral untuk ikut serta dalam mengurangi penderitaan
yang dialami oleh masyarakat sebagai dampak dari suatu perang yang terjadi di berbagai
negara. Merujuk pada pernyataan sebelumnya, Hukum Humaniter sendiri dapat diartikan
sebagai suatu instrumen kebijakan kemudian sekaligus menjadi pedoman teknis yang dapat
digunakan oleh semua aktor internasional guna mengatasi isu internasional dalam hal yang

1
Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016), hlm.
169.
2
Ambarwati, et. al., Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2017), hlm. 29.
berurusan dengan kerugian serta korban akibat perang. Namun, dengan adanya hukum
humaniter ini dirasa dapat dilakukan berbagai upaya yang lebih besar dan lebih berdampak
kepada para korban, salah satunya adalah dengan menjalankan upaya pemberian peringatan
kepada para pihak yang berperang atau berkonflik agar operasi tempur dari para pihak
dilaksanakan dalam batas-batas perikemanusiaan. Upaya tersebut dapat atau bahkan wajib
dilakukan karena terdapat dasar hukumnya tercantum dalam Hukum Humaniter Internasional
dimana termuat aturan mengenai perlindungan korban konflik serta tentang pembatasan alat
dan cara berperang, sehingga yang dibutuhkan selanjutnya demi melindungi korban-korban
perang tersebut adalah para pihak yang terkait untuk menghormati dan mempraktikkan
Hukum Humaniter Internasional.3

1.2. Rumusan Masalah


1. Apakah asas hukum humaniter yang diterapkan dalam kasus pembunuhan Shireen
Abu Akleh?
2. Apakah sumber hukum humaniter yang dilanggar dalam kasus pembunuhan Shireen
Abu Akleh?
3. Bagaimana perlindungan terhadap wartawan dalam hukum humaniter berkaitan
dengan kasus pembunuhan Shireen Abu Akleh?

3
Ibid., hlm. 27.
BAB II
LANDASAN TEORI

Pada awalnya, terminologi “hukum humaniter internasional” lebih sering disebut sebagai
hukum perang (law of war). Cabang hukum ini adalah salah satu yang tertua dan paling
pertama dikodifikasikan. Hal ini disebabkan karena praktek perang telah dilakukan sejak
berabad-abad yang lalu dan dianggap suatu bentuk aktualisasi naluri untuk mempertahankan
diri sekaligus menunjukkan kekuatan dalam pergaulan antar bangsa.4 Sejarah telah
membuktikan bahwa perang memiliki efek domino di segala aspek kehidupan secara
berkepanjangan. Lebih daripada itu, perang juga menimbulkan banyak tragedi kemanusiaan
akibat tindakan-tindakan keji yang menyasar kelompok-kelompok yang sebetulnya tidak
memiliki kepentingan dari adanya perang, seperti warga sipil, anak-anak, palang merah,
jurnalis, dan sebagainya. Oleh sebab itu, berbagai upaya guna menekan dampak kekejaman
perang terus dilakukan mengingat hal tersebut sangatlah mengancam perikemanusiaan.
Seiring dengan perkembangan zaman, hukum humaniter internasional dikembangkan atas
dasar tujuan demikian sehingga kita perlu memahami aspek-aspek sebagaimana akan
dijabarkan di bawah ini.

2.1. Asas Hukum Humaniter Internasional


Dalam hukum humaniter internasional, dikenal beberapa asas yang menjadi dasar
keberlakuan dari hukum tersebut. Asas itu antara lain terdiri atas asas kepentingan militer
(military necessity), asas kemanusiaan (humanity), asas kesatriaan (chivalry), dan asas
pembedaan (distinction principle). Pada asas kepentingan militer (military necessity)
menempatkan para pihak yang bersengketa dapat dibenarkan menggunakan kekerasan untuk
menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang. Selanjutnya, pada
asas perikemanusiaan (humanity) mengharuskan bagi para pihak yang bersengketa untuk
memperhatikan perikemanusiaan, yang selanjutnya berdasarkan asas ini mereka dilarang
menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan dan penderitaan
yang tidak perlu.
Kemudian terdapat asas kesatriaan (chivalry) yang mengandung arti bahwa di dalam
perang kejujuran harus diutamakan, sehingga penggunaan alat-alat yang tidak terhormat,
berbagai macam tipu muslihat dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang. Keberlakuan

4
Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, (Bandung: PT Alumni, 2002), hlm.
11.
asas-asas dalam hukum humaniter internasional selanjutnya dilengkapi dengan adanya asas
prinsip pembedaan (distinction principle) yang membedakan antara kombatan dan penduduk
sipil dalam wilayah negara yang sedang berperang. Kombatan adalah penduduk yang secara
aktif turut serta dalam permusuhan dan boleh dijadikan sasaran perang, sedangkan penduduk
sipil adalah penduduk yang tidak ikut aktif dalam perang sehingga tidak boleh dijadikan
sasaran perang. Selain itu, asas-asas yang terkandung dalam hukum humaniter itu selanjutnya
mendapat suatu keseimbangan dengan memperhatikan prinsip proporsionalitas dalam
penerapannya guna menyeimbangkan antara kepentingan militer dan resiko yang akan
merugikan penduduk sipil.

2.2. Sumber Hukum Humaniter Internasional


Perjanjian internasional dan hukum kebiasaan internasional merupakan salah satu sumber
hukum internasional yang tertera pada Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional.5 Hal
ini menunjukkan bahwa dua sumber hukum internasional ini adalah salah satu sumber hukum
paling otoritatif yang ada di dunia dan juga dikenal sebagai sumber hukum primer. Dalam hal
ini, suatu kebiasaan dapat dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional apabila praktek
tersebut dilakukan secara umum oleh negara-negara, dan diterima sebagai hukum (opinio juris
sive necessitatis). Sebagai suatu sumber hukum, hukum kebiasaan internasional ini dianggap
memiliki kedudukan yang sama dengan sumber hukum yang lainnya, seperti perjanjian
internasional dan prinsip umum dalam hukum. Berkaitan dengan fakta tersebut, hukum
humaniter internasional telah diadopsi sebagai suatu hukum kebiasaan internasional. Adapun
mengenai pengaturan tentang peperangan dan konflik bersenjata lebih lanjut terdapat pada
perjanjian dan/atau konvensi internasional.6 Berdasarkan perjanjian dan/atau konvensi
internasional yang ada, hukum humaniter dapat dibagi ke dalam dua cabang secara umum:7
A. Hukum Perang (The Law of War)
Lazim dikenal dengan istilah Hague Rules yang diatur dalam Konvensi Den Haag 1899
dan 1907. Hague Rules ini berisi tentang hak dan kewajiban dari pihak yang bersengketa
dalam melakukan kegiatan perang dan memberikan pembatasan pada alat- alat dan cara-cara

5
Article 38(1) Statuta Mahkamah Internasional menyatakan bahwa: The Court, whose function is to
decide in accordance with international law such disputes as are submitted to it, shall apply: a. international
conventions, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states; b.
international custom, as evidence of a general practice accepted as law; c. the general principles of law
recognized by civilized nations; and d. subject to the provisions of Article 59, [.e. that only the parties bound by
the decision in any particular case] judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of
the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law.”
6
definisi dan perbedaan perjanjian inter dan konvensi internasional
7
Jean Pictet, Development and Principles of International Humanitarian Law, (Geneva: Martinus
Nijhoff Publishers, 1985), hlm. 1-3.
melakukan perang.8 Konvensi Den Haag yang pertama pada tahun 1899 menghasilkan 6
(enam) konvensi. Kemudian, Hague Rules ini direvisi dan menghasilkan 14 (empat belas)
konvensi pada tahun 1907. Secara keseluruhan, Hague Rules tidak mengatur mengenai status
dari tawanan perang, pihak yang terluka dan korban kapal karam pada perang di laut dan
mengenai orang-orang sipil dalam wilayah yang diduduki.9 Sebagian dari ketentuan-ketentuan
ini tidak berlaku lagi, namun sisanya bertahan dan menjadi hukum kebiasaan internasional.10
B. The Geneva Conventions for the Protection of War Victims
Geneva Convention atau dikenal dengan sebutan Konvensi-Konvensi Palang Merah
1949. Konvensi ini telah mengalami beberapa perkembangan, pertama kali diadopsi pada
tahun 1864 mengatur mengenai anggota pasukan militer yang terluka di lapangan yang
selanjutnya diperbaiki pada tahun 1906 dan 1929. Dalam versi tahun 1929 ini, terdapat
tambahan ketentuan yang mengatur tawanan perang. Pada tahun 1949, versi 1906 dan 1929
diubah melalui adanya “The Four Geneva Conventions of 1949”, antara lain:
- Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in
Armed Forces in the Fields, of August 12, 1949 (Konvensi Jenewa tahun 1949
mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang yang Luka dan Sakit di
Medan Pertempuran Darat/Konvensi Jenewa I);
- Geneva Convention Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded
and Sick and Shipwrecked Member of Armed Forces at the Sea, of August 12, 1949
(Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai Perbaikan Anggota Angkatan Perang di Laut
yang Luka, Sakit dan Korban Karam/Konvensi Jenewa II);
- Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War, of August 12, 1949
(Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai Perlakuan Tawanan Perang/Konvensi Jenewa
III);
- Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War, of
August 12, 1949 (Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai Perlindungan Orang-Orang
Sipil di Waktu Perang/Konvensi Jenewa IV).
Dari keseluruhan hukum humaniter yang tertulis, Konvensi Jenewa 1949 memiliki peran
terpenting sebab konvensi ini merupakan bagian terbesar dari hukum humaniter tertulis yang
sekarang berlaku dan telah disesuaikan dengan perkembangan perang modern.11 Peran
8
The Hague Conventions of 1899 and 1907, Regulations concerning the Laws and Customs of War on
Land and its annex.
9
Skripsi
10
Yoram Dinstein, The Conduct of Hostilities under the Law of International Armed Conflict, (United
Kingdom: Cambridge University Press, 2004), hlm.10.
11
Skripsi
Konvensi Jenewa 1949 lebih lanjut juga berfungsi sebagai perjanjian yang membentuk hukum
(law-making treaties).12 Pada tahun 1977, konvensi ini menunjukan perkembangan secara
progresif yang ditandai dengan adanya 2 (dua) protokol tambahan (Additional Protocols to
Geneva Conventions) sebagai pelengkap, yaitu protocol relating to international armed
conflicts (Protokol Tambahan I) dan protocol relating to non-international armed conflicts
(Protocol Tambahan II). Kedua protokol tambahan ini sejatinya mengadopsi
ketentuan-ketentuan dalam Hague Rules. Protokol Tambahan I tidak hanya mengatur
mengenai perlindungan korban perang sebagaimana Konvensi Jenewa 1949, tetapi juga
mengatur mengenai hal-hal yang berkaitan langsung dengan tata cara penggunaan
kekerasan.13 Konvensi Jenewa 1949 telah diakui dan diterima secara universal, namun
terdapat beberapa negara menolak adanya ketentuan Protokol Tambahan ini. Meskipun
demikian, Protokol Tambahan dianggap sebagai suatu hukum kebiasaan internasional yang
secara tidak langsung mengikat dan wajib ditaati pula bagi negara-negara yang tidak
menerimanya.

2.3. Perlindungan terhadap Wartawan Perang


Asas pembedaan menjadi salah satu landasan utama hukum perang karena bertujuan
untuk mengetahui siapa saja yang dapat dijadikan objek kekerasan dan siapa yang harus
dilindungi.14 Berdasarkan asas tersebut, terdapat 2 (dua) golongan pembagian penduduk
dalam perang, yaitu warga sipil dan kombatan. Protokol Tambahan 1977 mengadopsi
pengertian warga sipil dalam bentuk negatif sebagaimana Pasal 50 ayat (1).
A civilian is any person who does not belong to one of the categories of persons
referred to in Article 4 (A) (1), (2), (3) and (6) of the Third Convention and in
Article 43 of this Protocol. In case of doubt whether a person is a civilian, that
person shall be considered to be a civilian.
Pengertian dari pihak militer (angkatan bersenjata), sebagaimana dirujuk oleh Pasal 50 ayat
(1), diatur dalam Pasal 4A GC III.47 AP I memberikan definisi tambahan mengenai
angkatan bersenjata (yang juga dikenal dengan istilah kombatan (combatant) ) dalam Pasal
43.
Wartawan berada di wilayah konflik bersenjata untuk melakukan tugas profesinya,
mereka tidak turut serta dalam permusuhan. Berdasarkan ketentuan dari Pasal 4A GC III
dan Pasal 43 AP I wartawan tidak memenuhi ketentuan-ketentuan untuk disebut kombatan
12
Law-making treaties adalah suatu istilah dalam perjanjian internasional di mana perjanjian tersebut
meletakkan ketentuan-ketentuan atau kaedah-kaedah hukum secara keseluruhan bagi masyarakat internasional.
Dalam hal ini, Konvensi Jenewa 1949 mengatur ketentuan hukum humaniter yang menjadi kaidah-kaidah
hukum.
13
lalalalallala
14
Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi…, hlm. 73.
dengan demikian wartawan harus dianggap sebagai warga sipil. Oleh karena itu wartawan
dalam konflik bersenjata berhak memperoleh perlindungan sebagaimana warga sipil pada
umumnya. Perlindungan terhadap wartawan perang diatur dalam Pasal 4A (4) Konvensi
Jenewa III. Dalam perkembangannya, perlindungan terhadap wartawan diatur lebih lanjut
dalam suatu pasal khusus, yaitu Pasal 79 Protokol Tambahan I.
Tidak semua negara telah meratifikasi AP I, walaupun demikian ketentuan mengenai
perlindungan yang diberikan terhadap wartawan yang berada di wilayah konflik bersenjata
internasional telah dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional (customary
international law). Hal ini dapat dilihat dari praktek yang dilakukan negara- negara, bahkan
negara yang belum meratifikasi Protokol I dalam memberikan perlindungan terhadap
wartawan dalam konflik bersenjata internasional. Beberapa negara mengatur perlindungan
terhadap wartawan dalam konflik bersenjata dalam manual militernya. Perlindungan
terhadap wartawan juga dapat ditemukan dalam perundang-undangan nasional beberapa
negara, serta dapat dilihat berdasarkan putusan pengadilan di negara tertentu.
BAB III
PEMBAHASAN DAN ANALISIS

3.1. Kasus Posisi


Sehubungan dengan Hukum Humaniter yang memang mengatur dan mengadili di bidang
konflik dan perang, kali ini akan dibahas mengenai salah satu dampak yang amat memilukan
dari perang yang yang kian tak berujung antara Palestina dan Israel. Salah satu dampak yang
disebabkan dari perang tersebut adalah dengan adanya kasus tertembaknya seorang Shireen
Abu Akleh yang merupakan wartawati senior stasiun televisi milik Pemerintah Qatar, Al
Jazeera. Shireen Abu Akleh dinyatakan tewas akibat terkena tembakan pada bagian wajah
saat meliput penyerbuan tentara Israel ke camp pengungsi di Jenin yang mana merupakan
Tepi Barat dari wilayah Palestina pada 11 Mei 2022.
Wartawati senior yang berusia 51 tahun itu disebutkan telah mematuhi prosedur
peliputan perang, yaitu Shireen telah memakai rompi anti peluru yang bertuliskan PRESS
serta mengenakan helm. Akan tetapi, segala prosedur tersebut menjadi tak berarti saat sebutir
peluru menembus wajah Shireen, yang menyebabkan ia tewas hampir sesaat setelah peluru
tersebut mengenai wajahnya, dimana sangat mungkin ia sengaja dibidik sebagai target,
mengingat hanya satu peluru yang mengena tepat di wajah Shireen. Kemudian pernyataan
tersebut diperkuat dengan kesaksian dari wartawan lain yang bernama Shatha Hanaysha
(wartawan Quds Networks) yang pada saat itu bersama dengan Shireen Abu Akleh saat Ia
ditembak. Merujuk pada kutipan dari Time, Shatha menyatakan bahwa, “jelas bahwa orang
yang menembaknya bermaksud menghajar bagian tubuh yang terbuka. Ini adalah
pembunuhan!”.15 Dengan demikian, pada tulisan ini akan dibahas dan ditelaah berkaitan
dengan kasus diatas ditinjau melalui perspektif Hukum Humaniter.

3.2. Kaitan Kasus dengan Asas Hukum Humaniter Internasional


Pembunuhan jurnalis Al Jazeera, Shireen Abu Akleh yang terjadi ketika Ia sedang
bertugas di Jenin, West Bank, atau wilayah yang dikuasai oleh Israel dilansir dari tirto.id.
Peristiwa ini tentunya melanggar suatu asas perikemanusiaan (humanity) yang merupakan
salah satu dari tiga asas hukum humaniter internasional. Selain itu, peristiwa ini juga
melanggar asas kesatriaan (chivalry) di mana pihak Israel yang melakukan penembakan tanpa

15
Ariandono Dijan Winardi, “Kasus Penembakan Shireen Abu Akleh: Itu Jelas Pembunuhan Wartawan,
Bukan Kecelakaan,” https://voi.id/bernas/167444/kasus-penembakan-shireen-abu- akleh-itu-jelas-
pembunuhan-wartawan-bukan-kecelakaan, diakses pada 27 Mei 2022.
ada permintaan kepada reporter Al Jazeera yang meliput pada hari itu untuk pergi atau
berhenti shooting telah melakukan penggunaan alat-alat yang tidak terhormat.
Pembunuhan jurnalis Shireen Abu Akleh dengan cara penembakan juga telah melanggar
prinsip-prinsip hukum humaniter di mana tentara perang sudah seharusnya bisa membedakan
antara penduduk sipil dengan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan dan
boleh dijadikan sasaran perang. Sudah seharusnya angkatan bersenjata Israel tidak
menyerang para reporter Al Jazeera maupun reporter lainnya yang sedang meliput. Apabila
Angkatan bersenjata Israel tidak memperbolehkan adanya liputan di daerah Jenin, seharusnya
mereka mengomunikasikan mengenai hal tersebut terlebih dahulu pada para reporter di sana.
Menurut kesaksian Shatha Hanaysha seseorang jurnalis lokal yang berdiri di samping Abu
Akleh ketika dia ditembak, juga mengatakan kepada Al Jazeera bahwa tidak ada konfrontasi
antara pejuang Palestina dan tentara Israel.16 Selain itu, Shatha juga menyatakan bahwa
keempat wartawan yang meliput pada saat itu menggunakan rompi dan helm, tetapi tentara
Israel terus menembak walaupun Shireen sudah jatuh pingsan dan terus menembak hingga
Shireen tertembak di daerah kepala.17
Tidak adanya perlawanan menggunakan senjata yang dilakukan oleh para reporter juga
telah membuktikan bahwa Angkatan Bersenjata Israel telah melanggar prinsip
proporsionalitas di mana mereka tidak memperhatikan kepentingan militer yang akan
merugikan kepentingan rakyat sipil karena seperti yang telah dijabarkan sebelumnya tentara
Israel hanya menembak untuk membunuh para reporter dan tidak ada kepentingan apapun di
dalamnya yang dipentingkan. Penyerangan ini juga melanggar prinsip pembatasan khususnya
pembatasan sasaran lawan, di mana angkatan bersenjata tidak menyerang lawan dengan
mengupayakan kekerasan minimal. Dengan dilanggar asas-asas serta prinsip, maka dapat
disimpulkan bahwa penyerangan kepada jurnalis Al Jazeera, Shireen Abu Akleh merupakan
suatu tindakan yang melanggar hukum humaniter dan telah melanggar Hak Asasi Manusia.

3.3. Kaitan Kasus dengan Sumber Hukum Humaniter Internasional


Pembunuhan jurnalis Al Jazeera, Shireen Abu Akleh saat ia sedang meliput serangan
militer Israel memicu kemarahan publik dan berbagai kelompok masyarakat. Banyak pula
organisasi internasional dan perkumpulan media yang mengangkat suara mengenai kasus ini.
Apabila dikaitkan dengan hukum humaniter internasional, maka salah satu tanggapan yang

16
Dipna Videlia Putsanra, “Kronologi Kronologi Israel Tembak Mati Wartawan Al Jazeera Shireen Abu
Akleh,” https://tirto.id/grXyhttps://tirto.id/kronologi-israel-tembak-mati-wartawan-al-jazeera-shireen-abu-akleh-
grXy, diakses pada 29 Mei 2022.
17
Ibid.
mencolok adalah bagaimana pembunuhan ini merupakan pelanggaran dari Konvensi Jenewa
1949. Menurut ahli hak asasi manusia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), serangan
terhadap Abu Akleh adalah serangan terhadap kebebasan berekspresi dalam media. Jurnalis
yang dijadikan sasaran di tengah-tengah wilayah Palestina yang diduduki Israel, dan
kegagalan Israel untuk menyelidiki hal ini juga merupakan pelanggaran hak untuk hidup dan
effective remedies.18
Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI),
International Association of Women in Radio and Television (IAWRT), Independent
Commision for Human Rights (ICHR) dan Sekretaris Jenderal Information Democracy
Christophe De Loire adalah beberapa dari pihak yang mengatakan bahwa tragedi yang
menimpa Abu Akleh adalah pelanggaran atas Konvensi Jenewa 1949. Pasal yang dilanggar
adalah Pasal 4A (4), yakni perlindungan terhadap war correspondents yang di dalamnya
termasuk jurnalis. Selain itu, kasus ini juga merupakan pelanggaran terhadap Pasal 79
Protokol Tambahan (Additional Protocol) I, yang mengatur mengenai perlindungan terhadap
jurnalis. Pelanggaran dalam pembunuhan Abu Akleh terhadap Protokol Tambahan ini antara
lain tidak dilindunginya jurnalis yang termasuk dalam kategori warga sipil dan diserangnya
jurnalis yang telah sedang bekerja dengan rompi sebagai tanda identifikasi bahwa ia adalah
jurnalis.

3.4. Perlindungan Wartawan dalam Hukum Humaniter Internasional


Dalam hal ini, Shireen Abu Akleh, wartawan senior stasiun televisi milik pemerintah
Qatar, Al Jazeera, tewas ditembak pada bagian wajah saat meliput penyerbuan tentara Israel
ke kamp pengungsi di Jenin, Palestina, pada 11 Mei 2022. Padahal, saat itu Shireen Abu
Akleh telah menggunakan pakaian anti peluru dan mematuhi semua ketentuan dalam
peliputan. Berdasarkan Pasal 4A Konvensi Jenewa III dan Pasal 43 Protokol Tambahan I,
wartawan yang berada dalam wilayah konflik bersenjata dapat dikatakan sebagai warga sipil
yang berhak untuk memperoleh perlindungan.
Penembakan tersebut tentunya telah melanggar asas pembedaan yang membagi
penduduk dalam perang, yakni warga sipil dan kombatan. Sebab, Shireen Abu Akleh dapat
dikatakan sebagai warga sipil sehingga perlindungannya pun perlu diatur lebih lanjut,
sebagaimana tercantum dalam Konvensi Jenewa III dan Protokol Tambahan I. Seharusnya,
wartawan dilindungi selagi ia tidak mengambil tindakan yang dapat mempengaruhi ataupun

18
Perserikatan Bangsa-Bangsa, “UN Experts Condemn Journalist Killing amid Rising West Bank
Violence,” https://www.ohchr.org/en/press-releases/2022/05/un-experts-condemn-journalist-killing-amid-rising-
west-bank-violence, diakses pada 29 Mei 2022.
memberi kerugian pada warga sipil.19 Dalam hal ini, Shireen Abu Akleh tidak melakukan
perbuatan yang merugikan terhadap warga ataupun pemerintah Palestina ataupun Israel dan ia
hanya menjalankan kewajibannya sebagai jurnalis untuk meliput keadaan perang.
Oleh karena itu, penembakan ini tentunya telah melanggar ketentuan dalam hukum
humaniter dan Israel sebagai tersangka utamanya harus diadili atas kejahatan perang yang
telah diperbuat. Pengadilan yang berhak untuk menghukum pelaku kejahatan perang ini
adalah Mahkamah Pidana Internasional (International Court of Justice/ICC). Namun, perlu
dilihat apakah Palestina dan Israel telah meratifikasi Statuta Roma yang merupakan
perjanjian internasional atas terbentuknya ICC. Palestina telah meratifikasi Statuta Roma dan
menjadi anggota ke-123 ICC sejak tahun 2014,20 namun Israel bukan anggota ICC. Dapat
dilihat bahwa kejahatan yang dilakukan oleh tentara Israel terhadap Shireen Abu Akleh di
Jenin, Palestina adalah pelanggaran hukum humaniter karena ICC memiliki yurisdiksi
teritorial di Palestina sehingga ICC berhak untuk mengadili dan menghukum tentara Israel.

19
Desia Rakhma Banjarani, Sri Sulastuti dan Kisti Artiasha, “Perlindungan terhadap Wartawan Perang
di Daerah Konflik Bersenjata menurut Hukum Internasional (Studi Kasus Daerah Konflik Irak dan Suriah),
Jurnal Cepalo 3 No. 1 (Januari-Juni 2019), hlm. 15.
20
BBC Indonesia, “Palestina Anggota Mahkamah Kriminal Internasional,” https://www.bbc.com
/indonesia/dunia/2015/04/150401_palestina_mahkamah, diakses pada 30 Mei 2022.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Ambarwati. et al. Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional.
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2017.
Dinstein, Yoram. The Conduct of Hostilities under the Law of International Armed Conflict.
United Kingdom: Cambridge University Press, 2004.
Kusumaatmadja, Mochtar. Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949. Bandung: PT Alumni,
2002.
Pictet, Jean. Development and Principles of International Humanitarian Law. Geneva:
Martinus Nijhoff Publishers, 1985.
Sujatmoko, Andrey. Hukum HAM dan Hukum Humaniter. Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2016.

JURNAL
Banjarani, Desia Rakhma, Sri Sulastuti dan Kisti Artiasha. “Perlindungan terhadap Wartawan
Perang di Daerah Konflik Bersenjata menurut Hukum Internasional (Studi Kasus
Daerah Konflik Irak dan Suriah).” Jurnal Cepalo 3 No. 1 (Januari-Juni 2019). Hlm.
11-18.

SKRIPSI/TESIS/DISERTASI

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DOKUMEN INTERNASIONAL

INTERNET
BBC Indonesia. “Palestina Anggota Mahkamah Kriminal Internasional.”
https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/04/150401_palestina_mahkamah. Diakses
pada 30 Mei 2022.
Perserikatan Bangsa-Bangsa. “UN Experts Condemn Journalist Killing amid Rising West
Bank Violence.”
https://www.ohchr.org/en/press-releases/2022/05/un-experts-condemn-journalist-killing
-amid-rising-west-bank-violence. Diakses pada 29 Mei 2022.
Putsanra, Dipna Videlia Putsanra. “Kronologi Kronologi Israel Tembak Mati Wartawan Al
Jazeera Shireen Abu Akleh.” https://tirto.id/grXyhttps://tirto.id/kronologi-israel-tembak
-mati-wartawan-al-jazeera-shireen-abu-akleh- grXy. Diakses pada 29 Mei 2022.
Winardi, Ariandono Dijan. “Kasus Penembakan Shireen Abu Akleh: Itu Jelas Pembunuhan
Wartawan, Bukan Kecelakaan.”
https://voi.id/bernas/167444/kasus-penembakan-shireen-abu-akleh-itu-jelas-pembunuha
n-wartawan-bukan-kecelakaan. Diakses pada 27 Mei 2022.

Anda mungkin juga menyukai