Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

Pihak-Pihak Yang Dilindungi Hukum Humaniter Internasional

Hukum Humaniter Internasional

Dosen Pengampu : Afandi Sitamala, S.H.,LL.M.

Disusun Oleh :

M. Zaki Amini 1111170036

Annisa Amelia Firdhani 1111170080

Tri Algi Sugima S 1111170144

Amanda Vashti Almira 1111170256

Dimas Fahrezi 1111170301

Fakultas Hukum

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

2019/2020
i

KATA PENGANTAR

Puji Syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah Subhanahu


Wata’ala. Karena berkat Dia-lah kita masih diperkenankan untuk selalu
menuntut Ilmu dalam kebenaran. Selalu berada dalam naungannya yang
senantiasa menyejukkan hati.

Terima kasih kami ucapkan kepada Dosen Hukum Humaniter


Internasional, yaitu Bapak Affandi SItamala, S.H., L.LM. Berkat beliau lah
kami di didik dalam segala aspek menyangkut Mata Kuliah ini, semoga apa
yang telah beliau kerahkan kepada kami senantiasa mendapatkan pahala
disisi-Nya. Aamiin.

Dibuatnya makalah ini, senantiasa bertujuan untuk mmemberi Ilmu


Pengetahuan terkait “Pihak-Pihak Yang Dilindungi Oleh Hukum
Humaniter Internasional”. Yang digagas sekian rupa agar dipahami oleh
seluruh aspek civitas akademik.

Begitu saja hal-hal yang kami sampaikan, semoga makalah ini dapat
membantu kita semua dalam proses berpendidikan. Maaf apabila terdapat
kekurangan dari makalah ini, semoga dapat membantu kita semua. Aamiin.

Serang, 25 September 2019

Penyusun
ii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………………………………………………………………………………i

BAB I Pendahuluan……………………………………………………………………………………………………………..1

1. Latar Belakang………………………………………………………………………………………………………..1

2. Identifikasi Masalah………………………………………………………………………………………………..2

3. Tujuan Masalah……………………………………………………………………………………………………...2

BAB II Pembahasan……………………………………………………………………………………………………………..3

1. Pihak-Pihak yang dilindungi Hukum Humaniter Internasional………………………………..3

2. Pengaturan Perlindungan Hukum Humaniter Internasional…………………………………..5

BAB III Penutup……………………………………………………………………………………………………………………10

1. Kesimpulan…………………………………………………………………………………………………………….10

Daftar Pustaka
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law) adalah


istilah baru dari Hukum Perang (Law of War). Hukum ini adalah salah satu
cabang dari Hukum Internasional Publik yang membatasi penggunaan
kekerasan dalam sengketa ataupun permusuhan bersenjata (hostilities). Starke
mengemukakan bahwa perkembangan yang sangat penting dari Peraturan
Perang adalah “the importation of human right rules and standars into the law
of armed conflict”.Artinya, Starke ingin menyatakan bahwa usaha mengatur
tentang perang dalam Law of war terdesak oleh suatu usaha yang lebih
penting, yaitu untuk melindungi orang (penduduk sipil), terutama perempuan
dan anak-anak, dari kekejaman perang. Pada penyusunan konsepsi-konsepsi
berikutnya, azas perikemanusiaan mempunyai pengaruh yang sangat besar.
Hal ini tergambar dalam Hukum Humaniter Internasional (International
Humanitarian Law).

Ketentuan–ketentuan tersebut mengatur agar penyerangan ditujukan hanya


terhadap objek-objek militer dan tidak terhadap objek sipil.Dari pengertian
tersebut memunculkan prinsip-prinsip dasar dalam Hukum Humaniter
Internasional, yaitu Prinsip Pembeda (distinction principle), larangan
penyerangan terhadap mereka yang telah meletakkan senjata (hors de combat),
larangan melakukkan tindakan yang menimbulkan kerugian yang tidak perlu
(unnecessary suffering), prinsip kegunaan (necessity principle), dan prinsip
proporsionalitas (proportionality principle). Aspek yuridis dalam aturan ini
adalah bahwa penduduk sipil (semua orang selain kombatan) tidak boleh
dijadikan objek kekerasan dan harus dilindungi dari segala kaitannya dengan
peperangan, sedangkan kombatan (anggota angkatan perang) adalah orang
yang terlibat langsung dalam peperangan dan dapat dijadikan objek kekerasan
ketika berperang tetapi tetap harus dilindungi ketika menjadi tawanan perang.
2

Tempat-tempat umum yang sangat penting untuk warga sipil, seperti


sumber air minum, sumber listrik, sekolah, pasar, rumah sakit, dan tempat
peribadatan, merupakan tempat-tempat yang harus dilindungi. Oleh karenanya,
bila tempat ini diserang, maka dipastikan yang paling menderita adalah
perempuan dan anak-anak.1

B. Identifikasi Masalah

Adapun Identifikasi Masalah yang diambil berdasarkan Latar Belakang diatas


diantaranya :

1. Pihak apa saja yang dilindungi oleh Hukum Humaniter Internasional?

2. Bagaimana pengaturan Perlindungan dalam Hukum Humaniter


Internasional?

C. Tujuan Masalah

Adapun tujuan dari permasalahan yang telah kami buat diantaranya :

1. Untuk mengetahui siapa saja pihak yang dilindungi oleh Hukum


Humaniter Internasional

2. Unruk mengetahui mekanisme pengaturan perlindungan dalam Hukum


Humaniter Internasioinal.

1
Nita Triania, Perlindungan Perempuan dan Anak Ketika Perang Dalam Hukum
Humaniter Internasional, Purwokerto:Pusat Studi Gender STAIN, 2009.
3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pihak Yang Dilindungi Hukum Humaniter Internasional

1. Anggota Angkatan Bersenjata (Kombatan)

Konflik bersenjata merupakan suatu peristiwa yang penuh dengan


kekerasan dan musuhan antara pihak-pihak yang bertikai. Dalam sejarah
konflik bersenjata telah terbukti bahwa konflik tidak saja dilakukan secara
2
adil, tetapi juga menimbulkan kekejaman. Hukum Humaniter
Internasional (HHI) diciptakan khusus untuk melindungi dan memelihara
hak asasi korban dan non kombatan dalam konflik bersenjata. 3 Pada
dasarnya, orang yang terutama terlibat dalam suatu konflik bersenjata
adalah kombatan. Di samping itu terdapat orang yang tidak terlibat dalam
konflik bersenjata, sehingga dibutuhkan suatu perlindungan bagi
keselamatnnya.

Orang-orang yang dijamin perlindungan dalam konflik bersenjata


adalah orang-orang yang tidak ikut aktif dalam konflik tersebut, termasuk
anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata karena luka, sakit
dan sebab lainnya. Dalam suatu sengketa bersenjata, orang-orang yang
dilindungi termasuk kombatan. Kombatan yang telah berstatus hors de
combat harus dilindungi dan dihormati dalam segala keadaan. Kombatan
yang jatuh ke tangan musuh mendapatkan status sebagai tawanan perang.

Perlindungan dalam hal ini adalah perlindungan terhadap orang-


orang yang turut serta dalam konflik bersenjata yang menjadi korban
karena luka, sakit atau tertawan sebagai wanan perang, seperti diatur

2
Asep Darmawan, 2005, Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Komandan Dalam Hukum
Humaniter, Kumpulan Tulisan, Jakarta: Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM Fakultas Hukum
Universitas Trisakti, hlm. 51.
3
Rizanizarli, “Hukum Humaniter Internasional dan Hubungan Dengan Hak Asasi
Manusia” Jurnal Ilmu Hukum Kanun Vol. XI No. 29 Agustus 2001, FH UNSYIAH Aceh, hlm.
394.
4

dalam Pasal 13 Konvensi Jenewa I, II dan III 1949 dan Pasal 4 Konvensi
Jenewa III. Dengan demikian merupakan kewajiban bagi pihak-pihak yang
berperang untuk melindungi orang-orang tersebut.

Seseorang yang berstatus sebagai kombatan, mendapatkan


perlakuan sebagai tawanan perang, apabila sudah tidak mampu lagi
bertempur (hors de combat) dan jatuh ke tangan musuh. Namun ada pula
sekelompok penduduk sipil tertentu, walaupun mereka bukan kombatan,
apabila jatuh ke tangan musuh berhak pula mendapatkan status sebagai
tawanan perang. Hal ini terdapat dalam ketentuan Pasal 4A Konvensi III,
seperti wartawan perang. Perlindungan ini merupakan perlindungan dalam
konflik senjata internasional, sedangkan dalam konflik non internasional
bila Pemerintah belum memberlakukan hukum humaniter, maka bagi para
petempur, baik petempur pemerintah atau petempur pemberontak yang
jatuh ke tangan musuhnya harus diperlakukan secara manusiawi sesuai
dengan hukum nasional.

2. Orang-Orang Sipil

Orang-orang dalam hal ini adalah berbeda dengan yang diatas,


meskipun orang-orang ini tidak terlibat dalam konflik. Oleh karena itu
“orang yang dilindungi” yang dimaksudkan dalam hal ini adalah penduduk
sipil. Konflik bersenjata menimbulkan akibat fatal yang tidak diinginkan
oleh setiap umat manusia. Di sini dapat dipahami bahwa tidak ada suatu
perang yang tidak meninggalkan korban jiwa atau kerugian material.

Perlindungan terhadap penduduk sipil yang diatur dalam Konvensi


Jenewa IV adalah tidak sama dengan “orang yang dilindungi” yang diatur
dalam Konvensi Jenewa I, II dan III yang pelindungannya ditujukan
kepada kombatan atau orang yang ikut serta dalam permusuhan,
sedangkan perlindungan terhadap penduduk sipil, ditujukan bagi orang-
orang yang tidak ikut serta dalam permusuhan (Pasal 27 Konvensi Jenewa
IV 1949
5

B. Pengaturan Perlindungan Dalam Hukum Humaniter Internasional

1. Perlindungan Kombatan

Orang-orang yang dilindungi menurut pasal-pasal yang bersamaan


dalam ketiga Konvensi Jenewa yaitu :

a. Anggota-anggota angkatan perang dari suatu pihak dalam sengketa


begitu pula anggota milisi atau barisan sukarela;

b. Anggota-anggota milisi lainnya serta anggota-anggota dari barisan


sukarela lainnya, termasuk gerakan perlawanan yang diorganisir,
asal saja milisi atau barisan sukarela demikian, termasuk gerakan
yang diorganisir memenuhi syarat-syarat berikut: dipimpin oleh
seorang yang bertanggung jawab atas bawahannya; mempunyai
tanda pengenal tetap yang dapat dikenal dari jauh; membawa
senhata secarat terang-terangan; dan melakukan operasi-operasi
mereka sesuai dengan hukum kebiasaan-kebiasaan perang.

c. Anggota-anggota angkatan bersenjata tetap yang tunduk pada suatu


pemerintah atau kekuasaan yang tidak diakui oleh negara penahan;

d. Orang-orang yang menyertai angkatan bersenjata tanpa dengan


sebenarnya menjadi anggota dari dari angkatan perang itu, seperti
anggota sipil awak pesawat terbang militer, wartawan perang,
anggota kesatuan kerja atau dinas yang bertanggung jawab atas
kesejahteraan angkatan bersenjata, asal saja mereka telah
mendapatkan pengesahan dari angkatan bersenjata yang mereka
sertai;

e. Anggota awak kapal pelayaran niaga termasuk nahkoda, pemandu


laut, taruna dan awak-awak pesawat terbang sipil dari pihak-pihak
dalam sengketa; dan
6

f. Levee en maase, yaitu penduduk wilayah yang belum diduduki


yang tatkala musuh mendekat, atas kemauan sendiri dan dengan
serentak mengangkat senjata untuk melawan pasukan yang
menyerbu, tanpa mempunyai waktu untuk membentuk kesatuan-
kesatuan bersenjata yang teratur, asal saja mereka memikul senjata
secara terang-terangan dan menghormati hukum dan kebiasaan-
kebiasaan perang.

Sehubungan dengan ketentuan pasal bersamaan, seperti Pasal 3


Konvensi Jenewa 1949, maka hors de combat, kombatan yang telah
meletakkan senjatanya dalam keadaan apapun harus diperlakukan dengan
perikemanusiaan tanpa diskriminasi. Untuk maksud ini, maka tindakan
berikut dilarang dan tetap akan dilarang. Pertama, kekerasan terhadap jiwa
dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, pengundungan, perlakuan
kejam dan penganiayaan; kedua, penyanderaan; ketiga, perkosaan atas
kehormatan pribadi, perlakuan yang merendahkan martabat; keempat,
eksekusi tanpa proses peradilan.4

Sebagaimana juga terjadi dalam konflik bersenjata (perang) dari


Amerika Serikat yang tertulis dalam US Field Manual of the law of land
warfare, disebutkan tujuannya yaitu :

a. Melindungi kombatan dan penduduk sipil dari penderitaan yang tidak


perlu;

b. Menjamin hak asasi tertentu dari orang yang jatuh ke tangan musuh;

c. Memungkinkan dikembalikannya perdamaian;

d. Membatasi kekuasaan pihak yang berperang.

4
PLT. Sihombing, “Tinjauan Hukum Terhadap Rule of Engagement (ROE) Dalam
Operasi Militer di Aceh Tinjauan Berbagai Aspek Hukum Internasional”, Jurnal Teras Jakarta,
April 2003, hlm. 47.
7

Situasi dari dahulu hingga sekarang terjadi kesewenang-wenangan,


penindasan, peperangan dan kekejaman yang dilakukan oleh orang yang
sedang berkuasa terhadap orang-orang lainnya. 5 Dari keadaan demikian
muncullah upaya untuk menciptakan perdamaian, ketertiban dan
ketentraman melalui penegakan hukum. Sesungguhnya orang-orang yang
terlibat dalam konflik bersenjata jika jatuh ke tangan musuh harus
dijadikan sebagai tawanan perang, maka pihak penawan harus
menjalankan kewajibannya untuk memperlakukan tawanan perang secara
manusiawi, menempatkan tawanan perang pada tempat yang aman dan
mereka tidak boleh ditahan dalam tutupan, menjaga kesejahteraan tawanan
perang, memberikan makanan dan minuman yang sesuai kebiasaan mereka,
merawat atau memberikan pelayanan kesehatan bila mereka luka dan sakit.

2. Perlindungan Orang Sipil

Hukum humaniter juga telah mengatur perlindungan terhadap


penduduk sipil dalam Pasal 27 Konvensi IV 1949. Menurut M. Gaussyah
bahwa untuk mewujudkan cita-cita meindungi segenap bangsa dan seluruh
warga negara, maka harus diadakan Lembaga/alat yang bertugas
melindungi penduduk, yaitu alat negara atau Lembaga Kepolisian sebagai
penegak hukum yang bertanggung jawab penuh bagi keamanan.6

Perkembangan Teknik persenjataan modern dewasa ini


mengakibatkan bertambah sukarnya usaha untuk mencegah penduduk sipil
turut menjadi korban serangan musuh. Kenyataan bahwa perang modern
merupakan perang yang total, mengakibatkan perlindungan yang diberikan
oleh hukum perang tradisional secara negative, dengan menempatkan di
luar perang jelas tidak memadai lagi dewasa ini. 7 Di samping itu orang

5
Roberia dan Siti Maimunah, “Cakupan Hak Asasi Manusia Bidang Kesehatan”, Jurnal
Hukum Kesehatan Vo. 2 No. 4 Tahun 2009, hlm. 59.
6
M. Gaussyah, “Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi Sebagai Alat Negara dalam
Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat”, Jurnal Ilmu Hukum Kanun Vol.
XIII No. 35 April 2003, FH UNSYIAH Aceh, hlm. 63.
7
Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-konvensi Palang Merah 1949 Mengenai
Perlindungan Korban Perang, Bandung : Alumni, 2002, hlm. 103.
8

sipil/penduduk sipil harus bersikap netral atau tidak boleh ikut serta dalam
konflik bersenjata. Dalam kenyataannya dijumpai orang sipil yang
dilibatkannya. Untuk itu perlu dipikirkan lebih lanjut untuk mengatasi
masalah tersebut. Kombatan berhak secara aktif turut dalam permusuhan
dan jika jatuh ke tangan musuh, ia berhak diperlakukan sebagai tawanan
perang. Di samping itu orang sipil tidak boleh secara aktif turut dalam
permusuhan dan karena itu berhak mendapat perlindungan.8

Pemerintah atau negara wajib melakukan penegakan hukum secara


maksimal guna melindungi orang-orang menjadi korban dari pelanggran
hukum humaniter.9 Dalam rangka melindungi hak asasi orang-orang dalam
berbagai situasi, instrument yuridis menjadi suatu hal yang diperlukan agar
dapat memberikan kepastian hukum dalam melaksanaan perlindungan
hak-hak setiap orang. 10 Sebagaimana dalam konflik Aceh yang menelan
banyak korban bahkan kaum perempuan yang semula 3.000 orang
kemudian menjadi 12.000 orang. 11 Jatuhnya korban sipil dalam konflik
Aceh tidak terhindarkan. Untuk jangka waktu menengah dan jangka
Panjang, perempuan dan anak-anak tampaknya menjadi kelompok terbesar
korban di antara korban-korban sipil, karena mereka terkena ekses dari
konflik bersenjata.12

Dasar hukum bagi tindakan kejahatan dapat mendasarkan pada


Konvensi Den Haag ke-IV tahun 1907 yang menyatakan bahwa penduduk
sipil dan pihak-pihak yang berperang akan tetap tunduk pada perlindungan

8
GPH Haryomataram, 2005, Pengantar Hukum Humaniter Internasional, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, hlm. 3.
9
Sophia Listriani, “Tanggung Jawab Komandan Atas PElanggaran Hukum Humaniter
Dalam SUatu Sengketa Bersenjata Non Internasional”, Jurnal Ilmiah Mondial Ilmu-Ilmu Sosial
dan Kemasyarakatan Vol. 9 No. 16 Juli-Desember 2007, UNSYIAH Aceh, hlm. 121.
10
M. Ya’cup A. Kadir, “Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Internasional”, Jurnal Ilmu
Hukum Kanun Vol. XIX No. 48 Desember 2009, FH UNSYIAH Aceh, hlm. 486.
11
Syarifah Rahmatillah, “Korban Konflik Tidak Diperhatikan”, akses tanggal 18
November 2011, http://222.waspada.co.id/index.php?option=com-
content&view=article&id=185209,.
12
Saifuddin, “Akar Konflik dalam Penyelesaian Konflik Aceh”, Jurnal Ilmu Hukum
Kanun Vol. XIV No. 40 Desember 2004, FH UNSYIAH Aceh, hlm. 651.
9

dan prinsip-prinsip pokok hukum internasional sebagai yang ditetapkan


dalam kebiasaan bangsa-bangsa yang beradab.13

13
Iskandar A. Gani, “Perspektif Penegakan Hukum Atas Pelanggaran HAM Berat di
Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum Kanun, Vol. XIII No. 37 Desember 2003, FH UNSYIAH Aceh,
hlm. 440.
10

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari yang telah dijelaskan diatas, pada hakikatnya semua yang


berada dalam perlindungan Hukum Humaniter adalah segala sesuatu yang
sudah tidak berdaya. Dalam hal ini seperti para tawanan perang serta
penduduk sipil yang mana tidak mempunyai perlawanan sama sekali.

Semua yang telah dijelaskan diatas telah mendapatkan


perlindungan hukum dari Hukum Humaniter Internasional, akan tetapi ada
saja p Pemerintah atau negara wajib melakukan penegakan hukum secara
maksimal guna melindungi orang-orang menjadi korban dari pelanggran
hukum humaniter ihak-pihak yang berperang tanpa mematuhi peraturan
internasional tersebut.

Telah dijelaskan pula bahwa dasar hukum bagi tindakan kejahatan


dapat mendasarkan pada Konvensi Den Haag ke-IV tahun 1907 yang
menyatakan bahwa penduduk sipil dan pihak-pihak yang berperang akan
tetap tunduk pada perlindungan dan prinsip-prinsip pokok hukum
internasional sebagai yang ditetapkan dalam kebiasaan bangsa-bangsa
yang beradab. Jadi dibentuknya peraturan tersebut agar para pihak yang
lemah atau sedang terluka, memiliki hak untuk hidup ketika perang
berkecamuk.
11

DAFTAR PUSTAKA

Triania , Nita . 2009 . Perlindungan Perempuan dan Anak Ketika Perang Dalam
Hukum Humaniter Internasional . Purwokerto:Pusat Studi Gender
STAIN.

Darmawan , Asep . 2005 . Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Komandan


Dalam Hukum Humaniter . Jakarta: Pusat Studi Hukum
Humaniter dan HAM Fakultas Hukum Universitas Trisakti.

Kusumaatmadja , Mochtar . 2002 . Konvensi-konvensi Palang Merah 1949


Mengenai Perlindungan Korban Perang . Bandung : Alumni.

GPH Haryomataram . 2005 . Pengantar Hukum Humaniter Internasional . Jakarta:


Raja Grafindo Persada.

Rizanizarli, “Hukum Humaniter Internasional dan Hubungan Dengan Hak Asas


i Manusia” Jurnal Ilmu Hukum Kanun Vol. XI No. 29 Agustus
2001, FH UNSYIAH Aceh.

PLT. Sihombing, “Tinjauan Hukum Terhadap Rule of Engagement (ROE) Dalam


Operasi Militer di Aceh Tinjauan Berbagai Aspek Hukum
Internasional”, Jurnal Teras Jakarta, April 2003

Roberia dan Siti Maimunah, “Cakupan Hak Asasi Manusia Bidang Kesehatan”,
Jurnal Hukum Kesehatan Vo. 2 No. 4 Tahun 2009.

M. Gaussyah, “Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi Sebagai Alat Negara


dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam
Masyarakat”, Jurnal Ilmu Hukum Kanun Vol. XIII
No. 35 April 2003, FH UNSYIAH Aceh.

Sophia Listriani, “Tanggung Jawab Komandan Atas PElanggaran Hukum


Humaniter Dalam SUatu Sengketa Bersenjata Non
12

Internasional”, Jurnal Ilmiah Mondial Ilmu-Ilmu Sosial dan


Kemasyarakatan Vol. 9 No. 16 Juli- Desember 2007,
UNSYIAH Aceh.

M. Ya’cup A. Kadir, “Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Internasional”, Jurnal


Ilmu Hukum Kanun Vol. XIX No. 48 Desember 2009,
FH UNSYIAH Aceh,

Syarifah Rahmatillah, “Korban Konflik Tidak Diperhatikan”,


http://222.waspada.co.id/index.php?option=com-
content&view=article&id=185209

Saifuddin, “Akar Konflik dalam Penyelesaian Konflik Aceh”, Jurnal Ilmu Hukum
Kanun Vol. XIV No. 40 Desember 2004, FH UNSYIAH Aceh.

Iskandar A. Gani, “Perspektif Penegakan Hukum Atas Pelanggaran HAM Berat di


Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum Kanun, Vol. XIII No. 37
Desember 2003, FH UNSYIAH Aceh.

Anda mungkin juga menyukai