Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perang terjadi semenjak ribuan tahun yang lalu sampai sekarang. Sebabnya
bisa karena manusia tidak pernah mau mengakui kesalahan pribadi, melainkan
melontarkan sebab kesalahan kepada orang lain. Karenanya manusia selalu
dipenuhi oleh kehendak, dipenuhi oleh keinginan, dipengaruhi oleh ingatan-
ingatan akan kenikmatan duniawi, akan kedudukan tinggi, akan kekayaan,
kemakmuran dan lain sebagainya yang sudah dikenalnya dan didengung-
dengungkan orang. Dari kehendak-kehendak yang demikian banyaknya yang
dimiliki oleh seluruh manusia, tentu saja timbul pertentangan karena masing-
masing hendak mendapatkan apa yang dikehendaki. Pertentangan inilah yang
menimbulkan permusuhan, melahirkan kebencian, memperebutkan kebenaran
masing-masing yang sesungguhnya hanyalah kebenaran palsu belaka, dan sebagai
pelaksanaannya terjadilah perang
Sudah menjadi lazimnya manusia-manusia di dunia ini, perang antara
manusia mendatangkan malapetaka hebat di mana perikemanusiaan sudah dinjak-
injak, nyawa manusia tidak ada harganya, nafsu membunuh, merusak, menyiksa
dan kebencian meluap-luap.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus masalah yang akan dibahas
adalah sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan Humaniter?
2. Sejauh manakah Humaniter mengatur mengenai Perang?
3. Bagaimana proses penyelesaian sengketa perang dalam lingkup Hukum
Humaniter?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hukum Humaniter


a. Pengantar
Hukum humaniter internasional atau hukum humaniter adalah nama lain
dari apa yang dulu disebut dengan hukum perang atau hukum sengketa
bersenjata. Hukum humaniter merupakan salah satu cabang dari hukum
internasional publik, yaitu bidang hukum yang mengatur masalah-masalah
lintas batas antar Negara. Cabang hukum internasional publik lainnya antara
lain hukum diplomatik,hukum laut, hukum perjanjian internasional dan
hukum angkasa.

Dibandingkan dengan cabang hukum internasional publik lainnya,


hukum humaniter mempunyai suatu keunikan yaitu bahwa sekalipun
ketentuan-ketentuan yang mengaturnya dibuat melalui suatu perjanjian
multilateral atau melalui hukum kebiasaan internasional, namun substansinya
banyak mangatur hal-hal yang menyangkut individu, atau dengan kata
lainnya subjek hukumnya juga menyangkut individu. Hal ini cukup unik,
karena pada umumnya subjek hukum internasional publik adalah negara atau
organisasi internasional. Hukum humaniter banyak mengatur tentang
perlindungan bagi orang-orang yang terlibat atau tidak terlibat dalam suatu
peperangan.

Dalam hukum humaniter dikenal dua bentuk perang atau sengketa


bersenjata, yaitu sengketa bersenjata yang bersifat internasional dan yang
bersifat non-internasional. Pada perkembangannya, pengertian sengketa
bersenjata internasional diperluas dalam Protokol I tahun 1977 yang juga
memasukkan perlawanan terhadap dominasi kolonial, perjuangan melawan
pendudukan asing dan perlawanan terhadap rezim rasialis sebagai bentuk-
bentuk lain sengketa bersenjata internasional.

Hukum humaniter juga mengatur sengketa bersenjata yang bersifat non-


internasional, yaitu sengketa bersenjata yang terjadi didalam suatu wilayah
Negara. Dalam situasi-situasi tertentu, sengketa bersenjata yang tadinya
bersifat internal (non-internasional) bisa berubah sifat menjadi sengketa
bersenjata yang bersifat internasional. Hal yang terakhir ini disebut dengan
internasionalisasi konflik internal (internationalized internal
conflict). Namun demikian tidak semua sengketa bersenjata internal bisa
menjadi bersifat internasional apabila ada campur tangan dari negara lain.
Dalam hal ini perlu dilihat dahulu sejauh mana keterlibatan atas turut
campurnya negara lain tersebut. 

b. Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Humaniter


Salah satu prinsip penting dalam hukum humaniter adalah prinsip
pembedaan. Prinsip pembedaan ini adalah prinsip yang membedakan antara
kelompok yang dapat ikut serta secara langsung dalam pertempuran
(kombatan) disatu pihak, dan kelompok yang tidak ikut serta dan harus
dilindungi dalam pertempuran (penduduk sipil).
Disamping prinsip pembedaan, dalam hukum humaniter dikenal pula
prinsip-prinsip lain, yaitu :
1. Prinsip kepentingan militer. Berdasarkan prinsip ini pihak yang
bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan
lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang.
Dalam prakteknya, untuk menerapkan asas kepentingan militer dalam
rangka penggunaan kekerasan terhadap pihak lawan, suatu serangan
harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut :
2. Prinsip proporsionalitas (proportionality principle), yaitu “prinsip yang
diterapkan untuk membatasi kerusakan yang disebabkan oleh operasi
militer dengan mensyaratkan bahwa akibat dari sarana dan metoda
berperang yang digunakan tidak boleh tidak proporsional dengan
keuntungan militer yang diharapkan.
3. Prinsip pembatasan (limitation principle), yaitu prinsip yang membatasi
penggunaan alat-alat dan cara-cara yang dapat menimbulkan akibat yang
luar biasa terhadap musuh.
4. Prinsip Perikemanusiaan (humanity). Berdasarkan prin sip ini maka pihak
yang bersengketa harus memperhatikan perikemanusiaan, dimana mereka
dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka
yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.
5. Prinsip \Kesatriaan (chivalry). Prinsip ini mengandung arti bahwa di
dalam perang, kejujuran harus diutamakan.
6. Prinsip pembedaan. Berdasarkan prinsip ini pada waktu terjadi
perang/konflik bersenjata harus dilakuykan pembedaan antara penduduk
sipil di satu pihak dengan pihak ”combatant” serta antara objek sipil
disatu pihak dengan objek militer di lain pihak.
c. Tujuan Hukum Humaniter
Menurut Mohammed Bedjaoui, hukum humaniter tidak dimaksudkan
untuk melarang perang, tetapi ditujukan untuk memanusiawikan perang.
Ada beberapa tujuan hukum humaniter yang dapat dijumpai dalam berbagai
kepustakaan, antara lain sebagai berikut :
1. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil
dari penderitaan yang tidak perlu.
2. Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka  yang
jatuh ke tanagn musuh.
3. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas.

d. Sumber-Sumber Hukum Humaniter


Menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Pengadilan Internasional
(International Court of Justice) sumber-sumber hukum ineternational terdiri
dari :
1. Perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang
membentuk aturan-aturan yang secara tegas diakui oleh masyarakat
internasional.
Perjanjian internasional yang berlaku tentang hukum humaniter dapat
diklasifikasikan dalam Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag. Hukum
Jenewa yang mengatur tentang perlindungan korban perang dan Hukum
Den Haag mengatur mengenai cara dan alat berperang.
2. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu praktek umum yang
diterima sebagai hukum.
Kebiasaan-kebiasaan Internasional berkembang dengan terbentuknya
Konvensi Jenewa tahun 1864 yaitu kebiasaan untuk menandai rumah
sakit dengan bendera khusus yang melambangkan bendera masing-
masing pihak.
3. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa beradab.
Menurut Statuta Mahkamah Pengadilan Internasional diartikan sebagai
prinsip-prinsip yang terdapat dalam semua system hukum.
4. Keputusan-keputusan Mahkamah dan ajaran dari para ahli yang sangat
kompeten dari berbagai bangsa, sebagai sumber hukum tambahan untuk
menentukan supremasi hukum.
Oleh karena hukum humaniter adalah cabang dari hukum internasional
publik, maka sumber-sumbernya adalah juga sama seperti yang
disebutkan dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta ICJ tersebut 
2.2 Jenis-jenis Sengketa Bersenjata dan Implikasinya sera Pemberlakuan
Hukum Humaniter Internasional.
Pada dasarnya, jenis-jenis perang atau sengketa bersenjata nenurut HHI,
dibedakan antara sengketa bersenjata internasional dan sengketa bersenjata
yang tidak bersifat internasional. Pembedaan tersebut berdampak pada
penentuan norma-norma HHI yang mana yang berlaku pada masing-masing
jenis perang tersebut. Perbedaan antara norma HHI pada waktu perang
internasional dan perang noninternasional tidak terlalu berarti pada nilai
perlindungan korban perang, tetapi cukup berarti berkenaan dengan hak dan
kewajiban para pihak yang berperang, khususnya berkenaan adanya status
kombatan dan status tawanan perang pada perang internasional bagi pihak
angkatan bersenjata negara yang resmi.
Secara terperinci, HHI juga menyebutkan beberapa jenis perang yang
termasuk dalam dua macam jenis sengketa bersenjata serta sekaligus
menjelaskan perbedaan antara situasi sengketa bersenjata dengan situasi yang
tidak termasuk sengketa bersenjata. Adapun situasi yang termasuk dalam dua
jenis sengketa bersenjata, yaitu sebagai berikut :
1. Yang termasuk dalam jenis perang atau sengketa bersenjata internasional
adalah :
a. Peristiwa perang antara dua negara atau lebih, termasuk:
Peristiwa perang antara dua negara atau lebih yang diumumkan.
Peristiwa perang antara dua negara atau lebih yang keadaan perangnya
tidak diakui oleh salah satu antara mereka.
b. Peristiwa pendudukan sebagian atau seluruhnya dari wilayah suatu
negara, sekalipun pendudukan tersbut tidak menemui perlawanan
senjata.
c. Sengketa bersenjata yang situasinya disamakan dengan situasi
sengketa bersenjata internasional dan sering disebut dengan istilah
perang pembebasan nasional, yaitu sengketa-sengketa bersenjata yang
didalamnya suku bangsa sedang berperang melawan dominasi
colonial dan pendudukan asing dan melawan system pemerintahan
rasialis dalam rangka menentukan sendiri nasib mereka sebagaimana
disebut dalam Piagam PBB dan Deklarasi Prinsip-prinsip Hukum
Internasional tentang Hubungan Baik dan Kerja Sama antarnegara
sesuai dengan Piagam PBB
2. Yang termasuk dalam jenis perang yang tidak bersifat internasional
a. Sengketa bersenjata yang bukan antara dua negara.
b. Sengketa bersenjata noninternasional, yaitu sengketa bersenjata yang
terjadi dalam wilayah suatu negara antara pasukan bersenjata negara
tersebut dengan pasukan bersenjata pemberontak atau dengan
kelompok bersenjata terorganisasi lainnya yang berada di bawah
komando yang bertanggung jawab, melaksanakan kendali sedemikian
rupa atas sebagian dari wilayahnya sehingga memungkinkan
kelompok tersebut melakukan operasi militer yang berkelanjutan dan
berkesatuan serta menerapkan aturan-aturan HHI.

Kewajiban para pihak yang berperang untuk mematuhi dan


menerapkan HHI pada tiap sengketa bersenjata internasional maupun
sengketa bersenjata non internasional tidak tergantung pada pernyataan
negara. Kewajiban tersebut juga tidak harus menunggu pernyataan suatu
organisasi internasional.

Alasan dan tujuan dilakukannya perang oleh pihak pihak yang


berperan tidak ikut menentukan jenis perang menurut HHI. Oleh karena
itu, terhadap suatu perang yang dianggap sebagai tindakan agresi
maupun use of force dalam rangka self defence, HHI harus diberlakukan
hanya apabila tindakan tersebut telah memenuhi kriteria sebagai sengketa
bersenjata internasional atau sengketa bersenjata noninternasional.

Berbagai operasi perang atau use of force yang terjadi pada masa dua


dasawarsa ini dan dibungkus dengan istilah-istilah baru
seperti humanitarian intervention, perang melawan terorisme dapat
dimasukkan ke dalam kelompok jenis perang internasional maupun
perang noninternasional asal memenuhi masing-masing kriteria yang
disebut dalam HHI. Dengan demikian, setiap operasi yang dapat
dikelompokkan dalam salah satu jenis perang tersebut harus mengikuti
aturan-aturan HHI, termasuk aturan tentang larangan perbuatan terror,
larangan menggunakan senjata dan cara yang dapat menyebabkan
penderitaan yang berlebihan.

Bagi operasi-operasi militer yang dilakukan bukan sebagai operasi


perang dan dilakukan untuk mengatasi gangguan keamanan atau
ketegangan dalam negeri, penerapan HHI bukanlah suatu kewajiban.
Namun demikian, aturan-aturan HHI dapat digunakan secara analogi
untuk menerapkan hukum nasional dan HAM yang harus diberlakukan
setiap waktu. Bagi korban, penggunaan HHI secara demikian dapat
bermanfaat untuk mengurangi Koran dan penderitaan akibat penggunaan
tindakan keras yang mungkin terjadi. Bagi aparat, penerapan HHI
demikian juga dapat bermanfaat untuk menghindari aparat dari
penggunaan tindakan keras yang berlebihan dan mencegah tuduhan
pelanggaran hukum, termasuk sekiranya operasi tersebut ternyata
kemudian hari dinilai sebagai operasi perang.

Dari pembagian jenis situasi sengketa bersenjata dan aturan norma


HHI yang berlaku bagi maing-masing jenis konflik tersebut, semakin
memperjelas bahwa even war has limits(dalam situasi perang pun ada
batasan). Dengan kata lain, situasi perang bukanlah alasan pembenar
untuk menggunakan tindakan keras yang berlebihan, tetapi ada aturan
yang berlaku pada waktu perang, yaitu HHI. Bahkan, dalam situasi mirip
situasi perang yang tidak termasuk dalam kategori perang pun masih ada
hukum yang harus dipatuhi, yaitu hukum nasional dan hak asasi manusia.
Tambahannya lagi, dalam situasi mirip perang tersebut, HHI dapat
dipergunakan sebagai pedoman untuk menjelaskan dan menerapkan
hukum nasional dan hak asasi manusia.

C. Antara Hukum Hak Asasi Manusia, Hukum Humaniter dan Hukum


Pidana Internasional
Berbeda dengan hak asasi manusia yang penekanan penerapannya lebih
kepada situasi damai atau bukan situasi perang, hukum humaniter berlaku dan
diterapkan hanya dalam situasi perang. Dalam konteks ini perang diartikan
sama dengan sengketa bersenjata di mana ada dua pihak atau lebih yang
terlibat dalam suatu situasi saling bertentangan atau konfrontatif, dan masing-
masing pihak telah menggunakan kekuatan angkatan bersenjatanya.
Sekalipun berbeda dalam hal waktu penerapannya, hukum humaniter dan hak
asasi manusia pada hakekatnya memiliki tujuan yang sam, yaitu memberikan
perlindungan kemanusian kepada mereka yang berada dalam situasi lemah.
Dalam konteks hak asasi manusia, misalnya yang berada dalam situasi lemah
adalah warga negara yang dihadapkan dengan pihak penguasa, sedangkan
dalam konteks hukum humaniter yang berada dalam situasi lemah adalah
penduduk sipil serta “combatant” yang menjadi korban perang. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa hukum humaniter merupakan kelanjutan
hukum hak asasi manusia yang diterapkan pada waktu perang.
Aspek pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hukum humaniter
serta prosedur dan mekanisme penegakannya erat terkait dengan hukum
pidana internasional. Tentu saja tidak semua pelanggaran hak sasi manusia
dapat dimasukkan dalam lingkup hukum pidana internasional. Sebaliknya
semua pelanggaran hukum humaniter [7]termasuk dalam lingkup hukum
pidana internasional. Hanya pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia
tertentu saja yang termasuk dalam lingkup hukum pidana internasional, yaitu
genosida dan kejahatan terhadap kemanusian yang keduanya dikategorikan
sebagai “gross violation of human rights” atau pelanggaran berat hak asasi
manusia.
Ruang lingkup hukum pidana internasional mencakup tindak-tindak
pidana yang dapat dikatakan sebagai kejahatan internasional serta proses
penegakannya melalui mekanisme nasional dan internasional berikut
instrument-instrumen hukum yang berlaku untuk setiap kejahatan
internasional yang dimaksud. Sekalipun bersifat internasional, dalam
kenyataaannya hukum pidana internasional tidak dapat dilepaskan sama
sekali dari hukum pidana nasional. Dalam hal ini Bassiouni, seorang pakar
ternama hukum pidana internasional, mengatakan bahwa “…criminal law
aspects of international law and international aspects of national criminal
law…” (hukum pidana internasional adalah aspek-aspek hukum pidana dari
hukum internasional dan aspek-aspek hukum internasional dari hukum pidana
nasional).
Lingkup pembahasan hukum pidana internasional meliputi tiga objek
studi sebagai berikut :
1. Tindak pidana internasional sejarah perkembangan, konsepsi, dan
konvensi-konvensi internasional yang berkaitan erat dengan tindak
pidana internasional.
2. Masalah yurisdiksi kriminal atas tindak pidana internasional.
3. Prosedur penegakan hukum pidana internasional termasuk masalah
pekembangan kerjasama bilateral dan multilateral di dalam mencegah
dan memberantas tindak pidana internasional.
4. Instrumen penegakan hukum pidana internasional perkembangan
masalah pembentukan Mahkamah Pidana Internasional.

Beberapa kejahatan lainnya yang dikategorikan sebagai kejahatan


internasional dan masuk dalam ruang lingkup hukum pidana internasional
antara lain : perbudakan, pembajakan laut dan udara, terorisme, dan kejahatan
narkoba. Untuk kejahatan-kejahatan internasional tersebut umumnya berlaku
yurisdiksi universal di mana setiap Negara boleh melukakan tindakan hukum
atau mengadili pelaku dari kejahatan-kejahatan dimaksud sekalipn misalnya
kejahatan tersebut dilakukan oleh bukan warga negaranya serta tidak
menimbulkan kerugian langsung terhadap negaranya.
D. Peradilan Internasional Atas Pelanggaran Berat Hukum Humaniter
Internasional
Pelanggaran berat Hukum Humaniter Internasional (HHI) adalah bagian
dari kejahatan perang dalam artian yang luas. Kejahatan perang adalah
pelanggaran-pelanggaran serius terhadap hukum perang, baik yang berasal
dari konvensi-konvensi internasional ataupun dari kebiasaan, yang dilakukan
dalam situasi pertikaian bersenjata dimana pertanggungjawaban pidana
berlaku sesuai dengan yang ditentukan dalam aturan-aturan tersebut.
Kecendrungan dinamis ini disebabkan karena HHI sedang menghadapi
dua fenomena yaitu, pertama, kemajuan teknologi yang berimbas kepada
kemajuan sarana perang yang menyebabkan ketentuan-ketentuan normative
tentang perang dan perlindungan korban perang dalam konvensi Jenewa 1949
dan peraturan tambahannya menjadi kurang atau tidak relevan dalam
pelaksanaanya. Kedua, munculnya masalah internal yang memiliki dimensi
internasional yaitu hak penentuan nasib sendiri, yang pada gilirinnya
meningkatkan perang sipil di dalam  negeri suatu negara, perang gerilya dan
timbulnya pergerakan-pergerakan perlawanan terhadap suatu negara.
1. Jenis dan Pengaturan Pelanggaran Berat HHI
Pada kenyataannya pengertian pelanggaran berat HHI sudah
memperoleh pengakuan dan dikuatkan oleh praktek baik oleh institusi
internasional dan praktek negara-negara hamper diseluruh dunia.
Pengakuan internasional terhadap arti dan makna kejahatan perang dalam
konteks ini diberikan oleh Komisi Hukum Internasional tahun 1950.
Komisi tersebut ditugaskan oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusi
Nomor 177 (II) tahun 1950 untuk memformulasikan dan
mengkodifikasikan prinsip-prinsip dari Mahmakah Nuremberg bagi
perkembangan hukum internasional.
Pengakuan yang kedua adalah diterimanya the Convention on the
Non-applicability of Statutory Limitations to War Crimes against
Humanity tahun 1968. Konvensi tersebut mengakui adanya tiada batasan
interpretasi bagi penegakan hukum terhadap kejahtan perang dan
kejahatan terhadap kemanusiaan. Lebih lanjut, negara-negara peserta wajib
membuat dan melaksanakan semua langkah-langkah berdasarkan hukum
nasionalnya, untuk melaksanakan penegakan hukum terhadap kejahatan
perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan perang merupakan pelanggaran berat yang ditentukan
dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977. Konvensi
Jenewa menentukan pelanggran berat pada Pasal 50 Konvensi I dan Pasal
51 Konvensi II, yaitu : pelanggran berat yang ditujukan kepada orang atau
barang (benda) yang dilindungi oleh Konvensi; pembunuhan yang
disengaja, penganiayaan atau perbuatan yang tidak berperikemanusiaan
termasuk percobaan biologis, perbuatan dengan sengaja menyebabkan
pernderitaaan yang besar atau luka berat atas badan atau kesehatan,
pembinasaan yang luas dan tindakan pemilikan atas harta benda yang
dibenarkan oleh kepentingan militer yang dilakukan dengan melanggar
ketentuan hukum dan bersifat sewenang-wenang.
Kejahatan perang juga diformulasikan oleh Komisi Hukum
Internasional pada draft Kodifikasi tentang Kejahatan Terhadap
Perdamaian dan Keamanan Umat Manusia 1991.Dalam Draft tersebut
terdapat definisi tentang kejahatan perang yangb bersifat khusus yaitu
pelanggaran khusus terhadap prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum
internasional yang berlaku pada saat konflik bersenjata berupa perbuatan-
perbuatan sebagai berikut :
a. Perbuatan yang tidak manusiawi, kekejaman atau perbuatan barbar
yang ditujukan pada kehidupan seseorang, hak dasar,hak dasar atau
keutuhan menatal dan fisik orang.
b. Pendirian tempat pemukiman pada daerah yang diduduki dan
mengubah komposisi demografi dari wilayah yang diduduki.
c. Penggunaan senjata yang tidak sah atau illegal.
d. Mempergunakan cara-cara dan metode perang yang ditujukan atau
diharapkan menyebabkan kerusakan yang luar biasa, luas dan
berjangka panjang terhadap lingkungan hidup.
e. Pengrusakan dalam skala luas terhadap hak milik penduduk sipil.
f. Serangan yang disengaja terhadap hal-hal yang berhungan dengan
agama tertentu, dan benda-benda cagar budaya.

Sedangkan kejahatan perang dalam Statuta Roma yang


bertentangan dengan Pasal 8 Statuta Roma, yaitu suatu kejahatan yang
dilakukan sebagai bagian dari suatu rencana atau kebijaksanaan atau
sebagai salah satu pelaksanaan dari kebijaksanaan atau rencana yang
dilaksanakan secara besar-besaran terhadap kejahatn tersebut.
Formulasi dari Pasal 8 ini mengambil dan menjabarkan ketentuan-
ketentuan dari Draft Kodifikasi tahun 1996 yang pada intinya
mengakui bentuk-bentuk kejahatan perang sebagai berikut :
1. Pelanggaran berat Konvensi Jenewa 1949 dengan elemen
kejahatan yang sama, disertai dengan daftar kejahatan berat
menurut ketentuan Konvensi.
2. Pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan perang
yang dapat diberlakukan dalam sengketa bersenjata internasional,
dalam rangka hukum internasional yang sudah berlaku, disertai
dengan daftar kejahatan yang termasuk dalam kategori ini.
3. Dalam suatu sengketa bersenjata yang bukan merupakan sengketa
bersenjata internasional, dan tidak terjadi pada keadaan
kekacauan serta keteganngan dalam negeri seperti hura-hura,
tindakan kekerasan  dan sporadis secara terpisah atau perbuatan-
perbuatan lain yang bersifat sama dalam suatu negara.
4. Pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang
berlaku dalam sengketa bersenjata yang tidak bersifat
internasional berdasarkan hukum internasional yang sudah
berlaku , disertai daftra kejahtan yang masuk dalam kategori ini;  

E. Mekanisme Penegak Hukum Humaniter


Suatu perangkat hukum akan dapat efektif apabila ia dapat
diimplementasikan dan sanksinya dapat ditegakan apabila ada yang
melanggarnya. Untuk dapat ditegakkan maka dalam perangkat hukum itu
perlu ada suatu mekanisme yang mengatur dan menetapkan bagaimana
norma-norma itu ditegakkan.
Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam
ketentuan-ketentuan  hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh
melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang
bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Mahmakah kejahatan perang
tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana.
Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan
bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau
kompensasi seperti dikenal dalam system hukum internasional umumnya.
Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi
Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk
memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan
pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang
didahulukan dalam Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional,
yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan
Nasional dan dengan menggunakan instrument hukum nasional. Apabila
mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi
rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya :
1. Mekanisme Nasional Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan
Protokol Tambahan 1977
Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal dalam Konvensi Jenewa
maka negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan
untuk menerbitkan suatu Undang-undang nasional yang
memberikan sanksi pidana efektif kepada setiap orang yang
melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran
berat terhadap Konvensi.
Mekanisme yang terdapat pada ketentuan ini adalah suatu
mekanisme di mana penegakan hukum humaniter yang
dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan nasional. Artinya,
apabila terjadi kasus pelanggaran hukum humaniter maka si
pelakuk akan dituntut dan dihukum berdasarkan peraturan
perundangan nasional dan dengan menggunakan mekanisme
peradilan nasional yang bersangkutan.
Dilingkungan TNI, apabila ada seorang prajuit yang
melakukan pelanggaran terhadap hukum humaniter maka
Komandan atau atasan yang berwenang untuk menghukum
berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan. Apabila
Komandan atau atasan langsung dari prajurit yang bersalah tidak
mengambil tindakan, maka Komandan yang diatasnya
berkewajiban untuk mengambil tindakan yang dimaksud. Begitu
seterusnya sampai kepada tingkat yang paling tinggi. Jika
diperlukan, disamping menggunakan sistem disiplin internal
komando, maka institusi pengadilan (militer dan/atau sipil) juga
dapat menjalankan fungsinya bagi tegaknya penghormatan
terhadap ketentuan-ketentuan hukum humaniter.
2. Mekanisme Internasional
Disamping mekanisme nasional penegakan hukum
humaniter juga dapat dilaksanakan melalui mekanisme
internasional. Ada dua bentuk mekanisme internasional yang
dikenal sampai saat ini, yaitu mahkamah bersifat ad-hoc dan
mahkamah bersifat tetap.
a. Mahkamah Internasional Ad Hoc tentang Kejahatan Perang
Dalam sejarah dikenal ada dua Mahkamah yang mengadili
penjahat Perang Dunia II, yaitu Mahkamah Nuremberg dan
Mahkamah Tokyo. Mahkamah Nuremberg dibentuk untuk
mengadili para penjahat perang Nazi Jerman, sedangkan
Mahkamah Tokyo dibentuk untuk mengadili para penjahat
perang Jepang. Kedua mahkamah ini bersiafat ad-hoc atau
sementara yang berarti bahwa mahkamah ini dibentuk untuk
jangka waktu dan kasus tertentu saja
b. Mahkamah Nuremberg
Mahkamah Nuremberg dibentuk berdasarkan Piagam
Nuremberg atau biasa disebut Piagam London. Sejak
terbentuknya, mahkamah ini telah menjatuhkan hukumannya
kepada 24 tersangka. Ada tiga kategori pelanggaran atau yang
menjadi yurisdiksi Mahkamah Nuremberg yaitu ; kejahatan
terhadap perdamaian, kejahatan perang dan kejahatan terhadap
kemanusiaan.
c. Mahkamah Tokyo dibentuk pada tanggal 19 Januari 1946.
Berbeda dengan mahkamah Nuremberg yang dibentuk
melalui Treaty yang disusun ileh beberapa negara, mahkamah
Tokyo dibentuk berdasarkan pernyataan atau proklamasi dari
Jenderal Douglas MacArthur sebagai Komandan Tertinggi
Pasukan Sekutu di Timur Jauh.Kemudian oleh Amerika Serikat
disusun Piagam untuk Mahkamah ini yang pada dasarnya
mengacu kepada Piagam Mahmakah Nuremberg.
d. International Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY)
dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR)
Pembentukan dua tribunal ini juga bersifat ad hoc, artinya
tribunal ini berlaku untuk mengadili kejahatan tertentu pada
jangka waktu tertentu dan untuk daerah tertentu saja. Perbedaan
kedua kategori mahkamah ad hoc tersebut yang dibentuk setelah
Perang Dunia II disatu sisi dengan ICTY dan ICTR di sisi lain
yaitu Mahkamah Tokyo dan Mahkamah Nuremberg dibentuk
oleh pihak yang menang perang, sedangkan mahkamah
Yugoslavia dan Rwanda dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan
Keamanan PBB.
Pasal 1 samapai Pasal 5 dari Statuta Mahkamah untuk
bekas Yugoslavia mengatur mengenai kompetensi atau
yurisdiksi mahkamah, yaitu :
1. Pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional.
2. Pelanggaran berat sebagaimana yang dimaksud dalam
Konvensi-konvensi Jenewa 1949.
3. Pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang.
4. Genosida.
5. Kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sedangkan Mahkamah Ad Hoc Rwanda dibentuk untuk mengadili
orang-orang yang melakukan kejahahatn genosida dan pelaggaran serupa
lainnya yang terjadi di wilayah negara tetangga dan di Rwanda yang
dilakukan antara tanggal 1 Januari 1994 sampai dengan 31 Desember
1994. Mahkamah keduanya menetapkan tanggung jawab individu terhadap
mereka yang melakukan kejahatan dan pelanggaran sebagaimana disebut
dalam masing-masing Statuta. Adapun untuk hukum acaranya Mahkamah
untuk negara bekas Yugoslavia menggunakan sistem Common
Law,  sedangkan Mahkamah Rwanda mengggunakan campuran anatara
system Civil Law dan Common Law.

3. Statuta Roma : Mahkamah Pidana Internasional


Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional bertujuan untuk
mengisi kekosongan lembaga pidana kejahatan hak asasi manusia dan
memutus rantai panjang impunity (kekebalan hukum).Statu Roma
merupakan sebuah perjanjian multilateral untuk membentuk
Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court), yang
dihasilkan dalam sebuah Konferensi Diplomatik Perserikatan Bangsa-
Bangsa di Roma (Italia) pada 17 Juli 1998. Disetujuinya Statuta Roma
merupakan suatu langkah penting bagi penegakan hak asasi manusia
di dunia. Dari 148 negara peserta konferensi, 120 mendukung, 7
menentang dan 21 abstain.
Tindak pelanggaran serius hak asasi manusia yang diadopsi di
dalam statuta ini adalah genosida (genocide), kejahatan terhadap
kemanusiaan (crime against humanity), kejahatan perang (war crimes)
dan kejahatan agresi (aggression).
Sebelum munculnya Statuta Roma, PBB telah memiliki
International Court of Justice (ICJ) yang bermarkas di Den Haag,
Belanda. Tetapi ICJ hanya mengadili sengketa antara negara-negara,
bukan mengadili tindak pidana. ICJ tidak memadai untuk mengadili
kejahatan internasional, seperti kejahatan perang dan kejahatan
terhadap kemanusiaan.
Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional, suatu pengadilan
pidana yang permanen merupakan langkah untuk mengisi kekosongan
lembaga pidana di tingkat internasional pelanggaran berat hak asasi
manusia. Ini jelas merupakan langkah maju untuk memutus rantai
panjang impunity (kekebalan hukum) yang terjadi di banyak negara
yang penegakan hukumnya masih sangat rendah. Pembentukan
Mahkamah Pidana Internasional bertujuan untuk mengisi kekosongan
lembaga pidana kejahatan hak asasi manusia dan memutus rantai
panjang impunity (kekebalan hukum).
Hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa ICC
bersifat complementarity atau pelengkap terhadap  sistem hukum
nasional. Oleh karena itu yurisdiksi ICC hanya bisa dilaksanakan
apabila telah diakui suatu mekanisme nasional. Dalam hal ini
yurisdiksi ICC hanya bisa dilaksanakan apabila ternyata suatu negara
tidak mau dan tidak mampu untuk mengadili kejahatan yang termasuk
dalam ruang lingkup kompetensi ICC.
Berkaitan dengan mekanisme penegakan hukum humaniter ini
maka hal yang mendesak dan penting dilakukan Indonesia adalah
menyusun suatu hukum nasional yang mengatur tentang
penghukuman bagi pelaku kejahtan perang. Dalam hal ini diperlukan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidan (KUHP) dan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) belum mengatur tentang
kejahatan perang. Artinya Indonesia belum melaksanakan
kewajibannya berdasarkan Konvensi Jenewa 1949.

                        
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang didapatkan, dapat disimpulkan bahwa :


1. Hukum humaniter internasional atau hukum humaniter adalah nama lain
dari apa yang dulu disebut dengan hukum perang atau hukum sengketa
bersenjata.
2. Hukum humaniter mempunyai suatu keunikan yaitu bahwa sekalipun
ketentuan-ketentuan yang mengaturnya dibuat melalui suatu perjanjian
multilateral atau melalui hukum kebiasaan internasional, namun
substansinya banyak mangatur hal-hal yang menyangkut individu, atau
dengan kata lainnya subjek hukumnya juga menyangkut individu.
3. Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Humaniter adalah Prinsip proporsionalitas,
Prinsip kepentingan militer, Prinsip Perikemanusiaan, Prinsip Kesatriaan,
Prinsip pembedaan.
4. Sumber-Sumber Hukum Humaniter yaitu Perjanjian internasional,
Kebiasaan internasional, Keputusan-keputusan Mahkamah dan ajaran dari
para ahli Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa beradab.
5. Mekanisme Internasional dalam penegakan hukum humaniter mencakup
melalui Mahkamah Internasional Ad Hoc tentang Kejahatan Perang,
Mahkamah Nuremberg, Mahkamah Tokyo, International Criminal
Tribunal for former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal
Tribunal for Rwanda (ICTR), Statuta Roma : Mahkamah Pidana
Internasional.
DAFTAR PUSTAKA

Syahmin.1985.Hukum Intenasional Humaniter 1 Bagian Umum. CV Armico.

Bandung.

Smith, Rhona K.M.dkk. 2008. Hukum Hak Asasi Manusi. Pusat Studi Hak Asasi

Manusia Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta.

Atmasasmita, Romli Prof.DR.SH.,LLM.,.2006. Pengantar Hukum Pidana

Internasional. PT. Refika Aditama. Bandung.

Baharuddin, Ahmad S.H.,M.H.,.2010.  Hukum Humaniter Internasional.

Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Ambarwati, dkk. 2009. Hukum Humaniter Internasion dalam Studi Hubungan

Internasional. PT.Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai