Anda di halaman 1dari 34

HUKUM

HUMANITE
R
NAMA KELOMPOK :

1. Ika Manuarta 2100024078 10. Nadira Rahma 2100024103


2. Saarah Salsabilla Nabilla 2100024131 11. Ramdlan Drajat Cahyo Bagoskoro
3. Annisa Azzara Saumi 2100024090 2100024359
4. Elsha Gita Aprivia 2100024114 12. Riza Haidar 2100024360
5. Nabila Syafa Nurmalita 2100024122 13. Nur Huda Rizki Isnawan 2100024318
6. Adnin Putri Ramadhani 2100024400 14. Nurul Khotimah 2100024380
7. Muhammad Mudzakir 2100024099 15. Ajeng Fitriani Nur Lailli 2100024366
8. Nur Achmad Saputra 2100024111 16. Mohammad Ardi Hanzah 2100024118
9. Ayup Oktavian Putra Bahtiyar 17. Dheyta Salsabila Balqis 2100024130
2100024134
Peristilahan

A. Law Of War (Hukum Perang)

Hukum perang atau yang sering disebut dengan Hukum Humaniter


internasional (HHI), atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah
yang sama tuanya dengan peradaban manusia, atau sama tuanya
dengan perang itu sendiri. Law Of War adalah sebuah komponen
hukum internasional yang mengatur mengenai syarat-syarat untuk
berperang (jus ad bellum) dan tindakan-tindakan yang diizinkan
dalam keadaan perang (jus in bello).
B. Law Of Armed Conflict (Hukum Konflik Bersenjata)

Menurut hukum humaniter, konflik bersenjata dibagi menjadi dua, yaitu


konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non internasional.
- International Armed Conflict (“IAC”) atau konflik bersenjata bersifat
internasional, yakni konflik yang terjadi antar negara. Misalnya 2 (dua)
negara atau lebih bertikai satu sama lain. Contohnya Perang Dunia I dan II.
-Non-International Armed Conflict (“NIAC”) atau konflik bersenjata tidak
bersifat internasional, yaitu konflik yang terjadi di dalam wilayah negara
(internal conflict). Contohnya pihak Pemerintah Indonesia melawan
pemberontak Gerakan Aceh Merdeka, Pemerintah Filipina melawan
pemberontak Front Pembebasan Islam Moro
C. International Humanitarian Law Applicable in Arned
Conflict (Hukum Humaniter Internasional yang Berlaku
Konflik Bersenjata

Hukum Humaniter Internasional yang juga dikenal sebagai hukum konflik


bersenjata atau hukum perang, adalah kumpulan aturan yang dalam masa
perang, milindunggi orang orang yang tidak atau tidak lagi ikut dalam
permusuhan. Hukum itu membatasi alat dan cara berperang. Tujuan
utamanya adalah untuk mengurangi dan mencegah penderitaan manusia pada
saat terjadinya konflik bersenjata. Aturan-aturan itu harus dipatuhi tidak
hanya oleh pemerintahpemerintah dan angkatan bersenjatanya, tetapi juga
kelompok-kelompok perlawanan bersenjata dan setiap pihak yang terlibat
dalam suatu konflik.

RUANG LINGKUP

A. Ius ad Bellum dan Ius in Bello


Mochtar Kususmaatmadja menyebutkan bahwa hukum Hukum Humaniter merupakan
bagian dari hukum perang. Beliau kemudian meembagi hukum perang dalam dua
kelompok, yaitu:
• Jus Ad Bellum atau hukum perang
yaitu hukum yang mengatur mengenai dalam hal bagaimanakah suatu Negara dibenarkan
untuk menggunakan kekerasan senjata ;
• Jus In Bello yaitu hukum yang berlaku dalam perang. Hukum yang berlaku dlam perang
dapat dibagi dalam ketentuanketentuan hukum yang mengatur cara dilakukannya perang
itu sendiri (the conduct of war) termasuk pembatasanpembatasannya dan hukum
menenai perlindungan orangorang yang menjadi korban perang, baik sipil maupun
politik.(Sumber : Buku Hukum Internasional dan Kepentingan Nasional Indonesia karya
Dr. Muh. Risnain, Sh.,Mh (2020) hal 126)
B. Hukum Humaniter Internasional Merupakan cabang dari Hukum
Internasional

Hukum perang atau yang sering disebut dengan Hukum Humaniter internasional (HHI), atau hukum sengketa
bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia, atau sama tuanya dengan perang itu
sendiri. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa suatu kenyataan yang menyedihkan selama 3400 tahun
sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. perkembangan hukum internasional
modern sebagai suatu sistem hukum yang berdiri sendiri dimulai dengan tulisan-tulisan mengenai hukum perang.
Hukum Humaniter Internasional dapat ditemukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh
dunia. Perkembangan modern dari hukum humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara
telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis, yang berdasarkan pengalaman-pengalaman pahit atas
peperangan modern. HHI itu mewakili suatu keseimbangan antara kebutuhan kemanusiaan dan kebutuhan
militer dari negara-negara.
C. Hubungan antara Hukum Humaniter dan Hukum HAM
Internasional
Hubungan Hukum HAM Internasional dan Hukum Humaniter Internasional Pada hakikatnya HAM dan Hukum
Humaniter Internasional memiliki tujuan yang sama, yaitu memberikan jaminan perlindungan terhadap
manusia. Hanya saja, keduanya memiliki perbedaan dari sisi, waktu dan situasi penerapannya. Ketentuan HAM
dimaksudkan untuk menjamin hak dan kebebasan, baik sipil, politik, ekonomi, sosial maupun budaya bagi
setiap orang. Dalam hukum HAM ini setiap orang harus dilindungi dari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of
power) dari pemerintah. Ketentuan HAM tersebut terdapat baik dalam berbagai peraturan perundangan nasional
maupun instrumen-instrumen internasional. Ketentuan HAM berlaku pada masa damai. Sedangkan HHI
diterapkan apabila terjadi sengketa bersenjata internasional maupun non-internasional atau perang saudara (civil
war). Hukum Humaniter Internasional terdiri atas peraturan-peraturan tentang alat dan cara berperang (Hukum
Den Haag) serta peraturan-peraturan tentang perlindungan korban konflik bersenjata (Hukum Jenewa).
D. Hubungan antara Hukum Humaniter dan Hukum Pidana Internasional

Peran Hukum Pidana Internasional dalam kejahatan perang terhadap kemanusiaan


juga dapat dilihat dari hubungan Hukum Pidana Internasional dengan Hukum
Humaniter Internasional (Hukum Perang), yaitu pada konvensi-konvensi yang ada
pada Hukum Humaniter Internasional hanya sekedar menampilkan perintah atau
larangan saja dan sama sekali tidak mengatur tentang sanksi pidana terhadap
pelanggaran perintah atau larangan itu. Dengan kata lain, rumusan norma dalam
konvensi-konvensi itu. Dalam kejahatan terhadap kemanusiaan peran hukum pidana
internasional dapat dilihat dari dasar hukum bagi kejahatan ini yaitu Konvensi Den
Haag ke IV tahun 1907, yang menyatakan bahwa penduduk sipil dan pihak-pihak
berperang akan tetap tunduk pada perlindungan dan pada prinsip- prinsip pokok hukum
internasional, yang ditetapkan dalam kebiasaan bangsa-bangsa beradab.
B. Sejarah dan Asas Hukum Humaniter
1. Sejarah hukum humaniter
keberadaan hukum humaniter sejalan Setua dengan adanya konflik bersenjata
dalam kehidupan manusia itu sendiri.
Sejarah perang dapat ditelusuri dari dokumen yang ada sejak zaman prasejarah
sampai modern zaman dahulu banyak panglima perang yang memerintahkan
pasukannya untuk menyelamatkan jiwa dan harta benda musuh yang tertangkap
melakukan perawatan terhadap musuh yang menderita luka-luka serta
menyelamatkan penduduk sipil yang tidak terlibat perang. Pada saat konflik
berakhir biasanya para pihak yang terlibat perang melakukan negosiasi untuk
pertukaran tawaran perang selama waktu tersebut Praktek pertukaran tawaran
barang seperti ini dan yang serupa seperti perang secara ksatria berkembang
menjadi kebiasaan internasional yang berhubungan dengan perang.
2. Zaman Kuno (Mesir, Sumeria, Hittite, India)
Perang pada zaman kuno sudah menunjukkan adanya jiwa sifat ksatria tidak boleh dilakukan
secara licik (culas) dengan tipu daya perlakuan ksatria terusit dengan adanya ketentuan bahwa
para pihak yang akan melakukan serangan harus memberitahukan terlebih dahulu (sebelum
Perang harus ada pernyataan perang. Ujung panah yang akan digunakan tidak boleh diarahkan
ke sasaran ulu hati dan jantung guna menghindari luka-luka yang berlebihan dan tidak manusiawi.
Pada saat perang berlangsung, apabila sudah banyak prajurit yang terbunuh dan menderita luka
maka perang dihentikan untuk sementara waktu atau diadakan waktu jeda (gencatan senjata)
biasanya dilakukan selama kurang lebih 15 hari. Pada saat gencatan senjata prajurit yang terlibat
perang ditarik ke garis belakang yang menderita luka dilaksanakan pengobatan dan yang gugur
dilakukan pemakaman.
a) Konsepsi perang yang terlembaga dalam penyusunan sejarah dimulai dari bangsa
Sumeria. Peran yang dilakukan sudah merupakan kegiatan yang terlembaga dan terorganisir
menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh terlihat adanya pernyataan perang sebelum
melakukan serbuaN. Para pihak selama dimungkinkan untuk melakukan perdamaian dengan
cara langsung maupun melalui pihak ketiga Netral (mediasi dan Arbritase), melakukan
perjanjian damai dengan pihak lain, dan lain sebagainya.
b) Bangsa Mesir sejak dahulu sudah mempunyai kebudayaan yang lebih maju apabila dibandingkan
dengan bangsa lain. Dalam ajaran seven works of true mercy yang merupakan pegangan hidupnya, dijelaskan
bahwa bangsa Mesir kuno telat mempunyai kebudayaan untuk memberikan pakaian, minuman dan makanan
serta melindungi musuh atas perlakuan yang tidak manusiawi (sadis) dalam perang. Disamping itu, juga ada
perintah melakukan perawatan terhadap musuh yang menderita luka dan sakit serta menguburkan sesuai ajaran
agamanya terhadap yang mati.
c) Bangsa Hitie telah mempunyai kebudayaan yang maju hampir sama dengan bangsa Mesir kuno. dalam
melakukan peperangan bangsa Hitie surah mempunyai peradaban tinggi, sangat elegan dan manusiawi. Hukum
(aturan) yang digunakan dalam peperangan harus didasarkan pada asas keadilan, ksatria bermartabat dan
menjunjung tinggi integritas. Pada saat akan melakukan penyerangan, bangsa Hitie memberikan pernyataan
perang terlebih dahulu dan membuat traktat (perjanjian internasional) antarnegara, baik terhadap pihak musuh
maupun pihak ketiga yang netral. Civilions yang telah menyerah tidak boleh diganggu kehormatannya dan
tidak boleh dilakukan penganiayaan hingga terluka atau mati. Penduduk dalam suatu wilayah apabila
melakukan perlawanan akan diberantas dengan menggunakan armada perang dan dilakukan penindakan secara
tegas dan terukur. kemurahan hati bangsa Hitie bertolak belakang dengan bangsa Assiria,. yang dalam
memperoleh kemenangan dengan menggunakan tindakan yang keji, biasa, tidak bermartabat, tidak
berperikemanusiaan dan dengan menggunakan kekerasan fisik, kota dirusak yang diperkosa, dibunuh dan
dijadikan budak.
d) Bangsa India juga susah mempunyai kebudayaan yang tinggi dalam berperang, hampir
sama dengan bangsa Sumeria dan Hitie. Tata cara berperang telah diatur dalam undang-
undang Manu dan Kitab Mahabarata yang menjadi pegangan kehidupan pribadi, kehidupan
berbangsa dan bernegara rakyatnya. Para prajurit dan ksatria dalam melakukan peperangan
dilarang melakukan pembunuhan terhadap musuh yang mengalami kecacatan, telah menyerah
serta yang menderita luka-luka dikembalikan ke daerah asal (negaranya) untuk dilakukan
pengobatan. Senjata api dan beracun yang sasarannya dapat menusuk hati dilarang digunakan,
tata cara penyitaan terhadap harta benda musuh dan masyarakat yang mempunyai status
sebagai tawanan perang yang menang tidak boleh menyatakan bahwa tidak terdapat tempat
tinggal untuk melakukan penahanan.
3. Abad Pertengahan
Konsepsi perang abad pertengahan dipengaruhi oleh doktrin agam Kristen dan Islam, seperti larangan
penggunaan jenis senjata tertentu yang bersifat tidak manusiawi dan adanya pernyataan perang terlebih
dahulu sebelum dilakukan penyerangan. Doktrin agam kristen mempengaruhi konsep perang yang adil
dan bijaksana sebagaimana yang dijelaskan dalam Stn Agustine, bahwa dalam peperangan terdapat
prinsip perlindungan terhadap anak-anak, wanita dan para lanjut usia. 5idak semua daerah merupakan
zona perang, masih terdapat daerah netral yang penuh dengan kedamaian yang selanjutnya
menghasilkan hal kekebalan diplomatik atau hak untuk mengungsi pada wilayah yang netral.
Keterlibatan kaum Kristiani dalam suatu peperangan yang adil, ksatria dan dengan maksud yang benar
sangat dimungkinkan menusur pandangan St. Agustine.Konsepsi perang yang adil dan ksatria juga
diatur dalam Al Qur'an yang merupakan pegangan hidup dan kitab suci pemeluk agama Islam. Perang
bukan merupakan misi rumah sehingga bangsa Eropa (barat) yang berpandangan bahwa Islam
merupakan benar dan perlu diluruskan. Dalam pandangan Islam, perang merupakan jalan terkahir
apabila jalur diplomatik telah menemukan jalan buntu dan tida diperoleh kesepakatan di antara para
pihak yang terlibat. Prinsip perang yang manusiawi sudah dikenal Islam sebagaimana yang telah
disareatkan dalam Al Quran. Perang hanya dapat dibenarkan apabila digunakan sebagai sarana untuk
membela diri karena adanya upaya dari kaum kafir yang menghalang-halangi pelaksanaan syiar agama
Islam.
4. Zaman Modern
Hukum humaniter mengalami perkembangan pesat setalah penggunaan senjata jenis baru dengan efek merusak
(destruktif) yang tidak dapat dikendalikan. Keberadaan hukum humaniter dipengaruhi adanya korban yang
menderita luka-luka dan sakit dalam pertempuran dengan tidak mendapatkan perawatan kesehatan. Kecenderungan
ini merupakan momentum berdirinya palang merah internasional yang salah satu tugasnya adalah mengurusi korban
luka akibat perang. Palang merah internasional juga mengharuskan para pihak yang terlibat pertempuran untuk
melakukan perawatan terhadap korban perang yang terluka, dengan perlakuan yang sama baik terhadap musuh
maupun pasukan sendiri.
5. Asas – Asas Hukum Humaniter :

a. Asas kepentingan militer (military necessity), yakni pihak yang bersengketa dibenarkan
menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan
keberhasilan perang.

b. Asas perikemanusiaan (humanity), yaitu pihak yang bersengketa diharuskan untuk


memperhatikan perikemanusiaan, di mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan
yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.

c. Asas kesatriaan (chivalry), yaitu dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan
alat-alat tidak terhormat, berbagai macam tipu muslihat dan cara yang bersifat khianat
dilarang.
c. Sumber-sumber Hukum Humaniter
1. Pasal 38 Ayat (1) Statuta ICJ
Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional yang lazim dikenal sebagai pasal yang secara resmi merupakan
sumber hukum formal daripada hukum internasional. Sebagai sumber hukum dalam arti formal, kebiasaan
internasional haruslah memenuhi unsur-unsur sebagaimana yang diformulasikan dalam pasal 38 ayat (1) sub b, Yang
oleh Mochtar Kusumaatmadja diterjemahkan "Kebiasaan internasio- " . nal yang merupakan kebiasaan umum yang
diterima sebagai hukum" I) Selanjutnya dikatakan bahwa, kebiasaan internasional diciptakan oleh dua faktor,2)
yaitu:
1) bahwa harus terdapat suatu k~biasa an yang dilakukan dan dit uru ti oleh banyaknegara,
2) bahwa kebiasaan itu harus dianggap sebagai suatu kewajiban hukum . Unsur pertama oleh Mochtar
Kusumaatmadja disebut "unsur material" dan unsur kedua disebut "unsur Psychologis" Mengenai pem bagian
atas ked ua unsur inilah terdapat masalah yang cukup luas.
Antara lain adalah apakah kebiasaan itu harus dilakukan dahulu oleh semuanegara untuk dapat diterima segagai
hukum , bagaimanakah kedudukan kebiasaan internasional sebagai sum ber hukum internasional, apakah terdapat
hubungannya antara kebiasaan internasional dengan sumber hukum yang lain sebagaimana yang disebut dalam pasal
38 ayat ( 1) Statuta.
2. Perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus,
yang merupakan ketentuan-ketentuan yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa;
a. Konvensi-konvensi Den Haag, adalah dua perjanjian internasional sebagai hasil perundingan yang
dilakukan dalam konferensi-konferensi perdamaian internasional di Den Haag, Belanda: Konvensi Den
Haag Pertama (1899) dan Konvensi Den Haag Kedua (1907). Bersama Konvensi-konvensi Jenewa,
Konvensi-konvensi Den Haag adalah sebagian dari pernyataan-pernyataan formal pertama tentang
hukum perang dan kejahatan perang dalam batang tubuh Hukum Internasional yang baru berkembang
pada waktu itu. Konferensi internasional yang ketiga direncanakan untuk diadakan pada tahun 1914
dan kemudian dijadwal ulang untuk tahun 1915.
b. Marten Clause, Dalam Hukum Humaniter dikenal apa yang disebut dengan “Marten’s clause“.
Marten’s clause atau Klausula Marten adalah suatu klausula yang menentukan bahwa apabila Hukum
Humaniter belum mengatur masalah-masalah tertentu, maka ketentuan yang dipergunakan harus
mengacu pada prinsip-prinsip hukum internasional yang terbentuk dari kebiasaan antara negara-negara,
hukum kemanusiaan serta dari hati nurani masyarakat.
c. Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 beserta Protokol-Protokol Tambahannya Konvensi Jenewa 1949 lahir
setelah adanya konferensi internasional yang diselenggarakan di Swiss, Jenewa pada tahun 1949. Konvensi
Jenewa 1949 memiliki empat perjanjian pokok, yang masing-masing adalah:
1) Konvensi Jenewa 1949 tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang yang Luka dan Sakit di
Medan Pertempuran Darat;
2) Konvensi Jenewa 1949 tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang di Laut yang Luka, Sakit
dan Korban Karam
3) Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlakuan Tawanan Perang;
4) Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Orang-orang Sipil di Waktu Perang.
Selain melahirkan empat buah perjanjian pokok, Konvensi Jenewa juga memiliki beberapa protokol
tambahan. Protokol tambahan ini disusun sekitar tahun 1977 dan dibagi ke dalam 2 buku, yakni:
5) Protokol I, berisikan beberapa aturan mengenai perang atau konflik bersenjata yang bersifat
internasional. Protokol Tambahan I melengkapi perlindungan yang diberikan konvensi Jenewa 1949
dalam konflik bersenjata internasional. Misalnya, memberikan perlindungan untuk warga sipil dan
tenaga medis sipil yang terluka, sakit, dan kapal karam.
2) Protokol II, berisikan beberapa aturan mengenai perang atau konflik bersenjata yang terjadi di wilayah
salah satu pihak peserta agung antara pasukannya dengan pemberontak yang ada di wilayah tersebut.
Dengan kata lain, sifat nya non-internasional. Protokol Tambahan II ini menambah isi/ruang lingkup
Pasal 3 Konvensi Jenewa. Pasal 3 konvensi jenewa merupakan pasal yang menjelaskan tentang
kewajiban pihak yang terlibat pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung
dalam wilayah salah satu Pihak Peserta Agung, akan diwajibkan untuk melaksanakan sekurang-
kurangnya tiga ketentuan yang ada dalam pasal tersebut.
3) Pada tahun 2005 lahir Protokol tambahan III, instrumen ini mengatur tentang lambang tambahan terdiri
dari bingkai merah dalam bentuk persegi di tepi di atas dasar putih yang kemudian dikenal sebagai
kristal merah. Lambang tambahan ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan palang merah dan bulan
sabit merah tetapi untuk memberikan pilihan tambahan.
d. “common articles“; yaitu pasal-pasal yang sama atau nyaris sama, baik isinya ataupun nomor pasalnya, yang
terdapat di dalam semua Konvensi Jenewa 1949. Pasal-pasal tersebut atau “pasal-pasal kembar” (istilah dari
Prof. Sugeng Istanto, FH-UGM Jogjakarta), dicantumkan-ulang pada setiap Konvensi Jenewa karena memang
sangat penting dan merupakan ketentuan pokok dari Konvensi Jenewa. Mempelajari common articles sangat
membantu untuk memahami Konvensi-konvensi Jenewa secara komprehensif. Common articles dari Konvensi
Jenewa 1949 dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu :
A. Ketentuan-ketentuan umum.
B. Ketentuan-ketentuan mengenai pelanggaran dan penyalahgunaan konvensi; dan
C. Ketentuan-ketentuan pelaksanaan dan ketentuan penutup.

e. Mini Convention ; Mini Convention atau konvensi merupakan perjanjian yang dihasilkan dari pelaksanaan
konferensi yang biasanya bersifat sangat penting sehingga mewajibkan negara-negara untuk turut serta dalam
perjanjian tersebut biasanya konvensi akan berlaku sebagai kaidah hukum internasional yang mengatur suatu isu
penting dan dapat berlaku secara luas. Salah satunya konvensi dibidang lingkungan yaitu Konvensi kerangka
kerja PBB mengenai perubahan iklim 1992 (UNFCCC).
3. Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan
Konflik bersenjata internasional adalah perang yang dideklarasikan atau konfrontasi bersenjata antara dua Negara
atau lebih, walaupun keadaan perang yang ada tidak diakui oleh salah satu dari mereka. Konflik bersenjata
internasional bisa terdiri hanya dari pertempuran tingkat rendah, penyerbuan berskala kecil ke dalam wilayah musuh
atau invasi yang tidak menghadapi perlawanan.Konflik bersenjata internasional tidak hanya semata- mata antar
negara, menurut penjelasan pada Protokol Tambahan I 1977 Pasal 1 ayat 4, dalam situasi pendudukan, maupun
dalam konflik bersenjata dimana “rakyat-rakyat sedang berperang melawan dominasi kolonial dan pendudukan
asing dan melawan pemerintahan- pemerintahan rasialis untuk melaksanakan hak menentukan nasib sendiri mereka,
sebagaimana yang dijunjung tinggi di dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Deklarasi tentang Asas-asas
Hukum Internasional mengenai Hubungan-hubungan Persahabatan dan Kerjasama di antara Negara sesuai dengan
Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa.
4. Prinsip Hukum Umum

Prinsip-prinsip hukum internasional pada umumnya.


Hukum internasional juga mengenal prinsip-prinsip hukum yang mendasari atau menjadi landasan lahirnya
dan berlakunya kaidah hukum internasional positif. Di dalam prinsip hukum internasional tersebut dapat
dirumuskan norma atau kaidah hukum internasional positif dan sebaliknya suatu norma hukum positif dapat
dicarikan landasan pada prinsip hukum internasional itu sendiri.

Misalnya: prinsip penentuan nasib sendiri dari masing-masing negara, prinsip non intervensi, prinsip-prinsip
hukum internasional yang terkandung dalam piagam PBB dll.
5. Putusan Pengadilan

Dalam sebagian putusan, MK memang sudah merujuk kepada perjanjian internasional yang signed and ratified;
sebagian putusan- putusan pengadilan merujuk pada perjanjian internasional yang signed but not yet ratified;
terdapat putusan-putusan yang merujuk pada Perjanjian International yang mana Indonesia sama sekali tidak
menjadi State-Party; bahkan terdapat suatu Putusan MK yang merujuk sekaligus pada perjanjian-perjanjian
internasional

Jikapun hakim merujuk pada perjanjian internasional yang signed and ratified, penerapan tersebut belum
memiliki dasar atau kaidah yang jelas. Beberapa contoh putusan-putusan tersebut adalah sebagai berikut:

Beberapa putusan MK yang menggunakan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966
(Indonesia menandatangani ICCPR pada 23 Februari 2006 dan diratifikasi 23 Mei 2006), antara lain:
a. Pengujian Materi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM);
b. Pengujian Materi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
tentangPenghinaan Kepada Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia
c. Pengujian Materi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
6. Doktrin
1. Doktrin adalah sebuah ajaran pada suatu aliran politik dan keagamaan serta pendirian
segolongan ahli ilmu pengetahuan, keagamaan, ketatanegaraan secara bersistem, khususnya
dalam penyusunan kebijakan negara. Secara singkat, doktrin ialah ajaran yang bersifat
mendorong sesuatu seperti memobilisasinya.Doktrin dalam hukum disebut juga pendapat
sarjana hukum.
2. Doktrin mempunyai kekuasaan dan berpengaruh dalam pengambilan keputusan hakim.
Biasanya, dalam penetapan apa yang akan diputuskannya, seorang hakim mengutip atau
menyebut pendapat sarjana hukum mengenai hal yang harus diselesaikannya. Karena sangat
berpengaruhnya pendapat sarjana hukum ini, dijadikan dasar saat pengambilan keputusan.
D. Jenis-Jenis Konflik Bersanjata
1. Konflik Bersenjata Internasional

Konflik bersenjata internasional adalah perang yang dideklarasikan atau konfrontasi bersenjata antara dua Negara
atau lebih, walaupun keadaan perang yang ada tidak diakui oleh salah satu dari mereka. Perlu ditekankan bahwa
tidak diperlukan adanya taraf intensitas minimum, pengorganisasian militer, ataupun kendali atas wilayah agar
sebuah konflik bersenjata internasional dapat diakui sebagai konflik internasional. Konflik bersenjata
internasional bisa terdiri hanya dari pertempuran tingkat rendah, penyerbuan berskala kecil ke dalam wilayah
musuh atau invasi yang tidak menghadapi perlawanan.Konflik bersenjata internasional tidak hanya semata- mata
antar negara, menurut penjelasan pada Protokol Tambahan I 1977 Pasal 1 ayat 4, dalam situasi pendudukan,
maupun dalam konflik bersenjata dimana “rakyat-rakyat sedang berperang melawan dominasi kolonial dan
pendudukan asing dan melawan pemerintahan- pemerintahan rasialis untuk melaksanakan hak menentukan nasib
sendiri mereka, sebagaimana yang dijunjung tinggi di dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Deklarasi
tentang Asas-asas Hukum Internasional mengenai Hubungan-hubungan Persahabatan dan Kerjasama di antara
Negara sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa.
2. Konflik Bersenjata Non Internasional

Dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa memakai istilah Armed Conflict not of an International character atau
“Sengketa Bersenjata yang tidak bersifat Internasional” dalam berbagai macam konflik yang bukan
termasuk konflik bersenjata internasional. Konflik seperti ini memiliki banyak istilah antar lain perang
saudara, pemberontakan, revolusi, terorisme, perang gerilya, perlawanan, pemberontakan internal, atau
perang untuk menentukan nasib sendiri.
Menurut Jean Pictet, usulan untuk mendefinisikan konflik bersenjata non internasional tersebut sangatlah
berguna untuk membedakan mana yang merupakan konflik bersenjata non internasional dengan
pemberontakan yang tidak terorganisir dan tidak berlangsung lama (unorganized and shortlived
insurrection) juga tindakan kekerasan bersenjata lainnya yang diikuti dengan tindakan para penjahat atau
tindakan kriminal biasa.
3. Konflik Bersenjata Internal yang Di Internasionalisasikan

Pada umumnya, suatu konflik bersenjata akan diasumsikan sebagai konflik internasional atau non-internasional,
namun demikian pada praktiknya tidak selalu demikian. Suatu konflik bersenjata non- internasional dapat berubah
karakter menjadi konflik bersenjata yang diinternasionalisasikan ketika intervensi suatu negara asing memasuki
arena konflik internal.

Konflik Bersenjata Internal yang Diinternasionalisasikan atau Internationalized internal armed conflict
didefinisikan oleh Pietro Verri dengan menyebutkan beberapa kriteria sebagai berikut :
a) Negara dimana terjadi pemberontakan mengakui pihak pemberontakan sebagai belligerents atau pihak yang
berperang.
b) Satu atau lebih negata asing membantu salah satu angkatan bersenjata pihak yang bertikai.
c) Dua negara asing melakukan intervensi dengan angkatan bersenjata dan membantu masing-masing pihak
yang bertikai
E. Prinsip Pembedaan
1. Pembedaan antara Orang Sipil (Civilian) dan Kombatan (Combatant)
Orang sipil/penduduk sipil merupakan Penduduk dari sebuah wilayah atau negara yang tidak terlibat dalam konflik
bersenjata yang sedang berlangsung di negara/wilayah tersebut.
Sedangkan Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan.
2. Pembedan anyata Objek Sipil atau (civil object) dan sasaran militer (military objective)
Objek sipil adalah semua objek yang bukan objek militer, dan oleh karena itu tidak dapat dijadikan sasaran serangan
pihak yang bersengketa.
Sebaliknya, jika suatu objek termasuk dalam kategori sasaran militer, maka objek tersebut dapat dihancurkan
berdasarkan ketentuan-ketentuan Hukum Humaniter. sedangkan sasaran militer adalah obyek-obyek yang jika
diserang akan memberikan keuntungan yang signifikan terhadap aksi militer.
3. Target Sah ( lawful target) dan Target Tidak Sah (unlawful target)
Target Tidak Sah (obyek sipil)Dalam perang dilarang untuk menargetkan obyek sipil. Yang dimaksud dengan obyek
sipil yang tidak boleh dijadikan sasaran militer adalah semua obyek yang tidak memiliki sumbangan yang efektif
bagi aksi-aksi militer, yang jika dihancurkan secara total atau sebagian, direbut atau dinetralisasi, tidak memberikan
keuntungan militer yang pasti. Oleh karena itu dalam Pasal 54 ayat 2 Protokol Tambahan 1 tahun 1977 menegaskan
larangan untuk menyerang, menghancurkan, memindahkan atau merusak obyek-obyek dan sarana-sarana yang
mutlak diperlukan bagi kelangsungan hidup penduduk sipil,
seperti bahan makanan dengan berbagai macamnya, daerah-daerah pertanian yang memproduksi bahan makanan,
hasil panen, ternak, instalasi air minum, irigasi dan kebutuhan-kebutuhan primer penduduk sipil lainnya.
Selanjutnya, Pasal 54 ayat 4 Protokol Tambahan 1 menegaskan bahwa obyek-obyek dan sarana-sarana tersebut tidak
boleh dijadikan sasaran pembalasan suatu aksi militer.
Target Sah (obyek militer)Dalam perang untuk obyek militer boleh dijadikan target serangan. Pada dasarnya tidak
ada definisi harta benda penduduk sipil dalam hukum humaniter internasional. Oleh karena itu, perlu mengetahui
definisi sasaran militer untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan obyek sipil. Pasal 52 ayat 2 Protokol
Tambahan I memberikan definisi sasaran militer adalah “sasaran-sasaran militer dibatasi pada obyek-obyek yang
oleh sifatnya, letak tempatnya, tujuannya atau kegunaannya memberikan sumbangan yang efektif bagi aksi militer
yang jika dihancurkan secara menyeluruh atau sebagian, direbut atau dinetralisasi, di dalam keadaan yang berlaku
pada waktu itu, memberikan suatu keuntungan militer yang pasti.
4. Prinsip Proposionalitas
Prinsip Propotionalitas melarang penggunaan segala jenis atau tingkat kekuatan melebihi dari yang diperlukan untuk
mencapai tujuan militer. Propotionalitas membandingkan keuntungan militer yang diperoleh dengan kerugian sipil
yang diderita. Propotionalitas membutuhkan keseimbangan antara keunggulan militer, konkret dan langsung yang
diantisipasi dengan menyerang target militer yang sah dan kerugian sipil yang diperkirakan atau tidak sengaja
F. Penegakan Hukum Humaniter
1. Peran PBB dan Organisasi Internasional Publik lainnya
1) Menjaga keamananan dan kedamaian dunia,
2) Menggembangkan hubungan antar negara didasari rasa hormat terhadapprinsip kesamaan hak,
3) Berkooperasi dalam menyelasikan masalah ekonomi, sosial, budaya dankemanusiaan dan
mempromosikan hak – hak asasi manusia dan kebebasanfundamental,
4) Pusat untuk mengharmonisasi tindakan negara dalam mencapai tujuandiatas.Secara garis besar, PBB
bertujuan untuk membentuk kerjasamainternasional yang setara dan menjaga kedamaian dunia. Piagam
PBB menyebutkan prinsip – prinsip yang dipegang PBB dalam menjalankan tugasnya yaitu
berdasarkan kedaulataan persamaan dalam anggotanya, setiap anggota punya tujuan yang mulia dalam
melakukan tugasnya, tidak menggunakan kekerasan atau ancaman ke negara lainnya dan piagam PBB
tidak digunakan untuk mengintervensi jurisdiksi domestik dalam negara anggota.Keanggotaan dari
PBB adalah bersifat terbuka kepada negara yang menerima peraturan di Piagam dan bisa menngemban
kewajiban tersebut.
2. Peran ICRC dan Non Govermental Organization
Peran ICRC yang diakui secara universal sebagai "penjaga HHI" hanya disebutkan secara singkat dalam Konvensi
Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I. Tentu saja, sampai batas tertentu, peran ini dapat dianggap sebagai bagian
tersirat dari mandat operasional ICRC untuk membantu orang-orang yang dilindungi.
Mengingat bahwa ICRC berbagi sebagian tugasnya dengan organisasi lain atau Kuasa Pelindungan, mungkin lebih
tepat untuk dikatakan bahwa secara historis, alih-alih didefinisikan terutama dalam HHI perjanjian, dasar hukum
untuk mandat khusus organisasi ini berkaitan dengan HHI telah berkembang melalui praktik Negara yang sudah
berlangsung lama dan seragam.kedudukan ICRC "sebagai penjaga" HHI diakui secara tegas dalam Statuta Gerakan,
sebuah instrumen yang diadopsi tidak hanya oleh komponen-komponen Gerakan, tetapi juga oleh semua Negara
pihak pada Konvensi Jenewa 1949, sehingga memberikan ICRC legitimasi kuasi-universal. Yang paling penting,
Statuta tersebut memberi mandat khusus kepada ICRC:untuk mempromosikan kesadaran dan mendiseminasikan
penge- tahuan tentang HHI, dan mempersiapkan pengembangannya;untuk menjalankan tugas-tugas yang
diembankan kepadanya me- nurut Konvensi Jenewa 1949, mengupayakan penerapan HHI sebaik-baiknya yang
berlaku dalam konflik bersenjata, dan untuk menyadari pengaduan apa pun berdasarkan dugaan pelanggaran hukum
ini;untuk memberikan pelindungan dan bantuan kepada korban kon- flik bersenjata militer dan sipil;untuk
menjalankan Badan Penelusuran Pusat (Central Tracing Agency);untuk bekerja sama dengan Perhimpunan Nasional
dalam berbagai hal seperti persiapan mereka dalam konflik bersenjata, yang men- dorong penghormatan atas,
memperkuat dan mempromosikan ra- tifikasi Konvensi Jenewa 1949, dan diseminasi HHI.1170ICRC juga berusaha
memastikan bahwa hak, keistimewaan dan prosedur kerja yang sudah ada diakui dalam setiap konteks melalui
perjanjian kantor pusat (headquarters agreement) dan nota kesepahaman (memorandum of understanding).
3. Negara Pelindung (protecting power)
6. Negara pelindung adalah negara yang mewakili negara berdaulat lain yang tidak memiliki perwakilan
diplomatik di sebuah negara. Negara pelindung ditunjuk ketika dua negara memutuskan hubungan diplomatik
satu sama lain. Negara pelindung bertugas mengurus aset diplomatik dan warga negara pengirim di negara
yang menaunginya. Apabila hubungan diplomatik diputus akibat perang, negara pelindung juga akan mengurus
tawanan perang serta kepentingan warga sipil di wilayah yang diduduki musuh.
7. Peradilan Nasional (permanen dan Ad Hoc)
Sistem peradilan nasional adalah keseluruhan komponen peradilan nasional, pihak-pihak dalam proses peradilan,
hirarki kelembagaan peradilan, maupun aspek aspek yang bersifat prosedural yang saling berkait, sehingga terwujud
keadilan hukum.
5) Peradilan Internasional (permanen Ad dan Hoc)
Peradilan Internasional merupakan proses penyelesaian hukum pertikaian internasional secara adil menurut hukum
yaitu melalui kesepakatan maupun perjanjian tertentu. Peradilan Sengketa Internasional dapat dilakukan melalui
arbitrase internasional dan pengadilan internasional.
6. Peradilan Hibrida (Hybrid Court)
Internasional Pengadilan campuran (hybrid tribunal) merupakan pencampuran antara hukum nasional dan hukum
internasional. Pengadilan campuran (hybrid tribunal) sejauh ini hanya dibentuk untuk menangani perbuatan-
perbuatan yang dikategorikan sebagai kejahatan internasional (international crimes).

Anda mungkin juga menyukai