Anda di halaman 1dari 15

HUKUM TERHADAP TAWANAN PERANG

DAN HARTA RAMPASAN

MAKALAH

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 4
AKHMAD HAQQUL ZULFIKAR (19103070006)
AULIA RIZKY RAHMA N.R (19103070013)
NUR LAILATUL IZZAH (19103070001)
ABDI KUKUH DEANTO K (19103070007)
ATHIFAH DANIKA PRAMESTI (19103070012)
ROY SANDI (19103070011)

DOSEN PENGAMPU:
MISKI, S.HI., M.Sos

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam sejarah kehidupan politik manusia, peristiwa yang banyak dicatat
adalah perang dan damai. Peristiwa-peristiwa besar yang menjadi tema-tema utama
dalam literatur-literatur politik dan juga hubungan internasional berkisar antara dua
macam interaksi tersebut. Ungkapan bahwa peace to be merely a respite between
wars menunjukkan, situasi perang dan damai, terus silih berganti dalam interaksi
manusia.1

Secara defenitif, perang adalah suatu kondisi tertinggi dari bentuk konflik
antar manusia. Dalam studi Hubungan Internasional, perang secara tradisonal adalah
penggunaan kekerasan yang terorganisir oleh unit-unit politik dalam sistem
internasional. Perang akan terjadi apabila negara-negara dalam situasi konflik dan
saling bertentangan merasa bahwa tujuan-tujuan eksklusif mereka tidak bisa tercapai,
kecuali dengan cara-cara kekerasan.2 Perang merupakan jalan terakhir untuk
menyelesaikan permasalahan antar negara yang bermasalah saat perdamaian gagal
dicapai. Hal-hal terkait perang telah dijelaskan dalam Hukum Humaniter baik Hukum
Humaniter Islam maupun Hukum Humaniter Internasional.

Tujuan utama dari Hukum Humaniter adalah memberikan perlindungan dan


pertolongan kepada mereka yang menderita atau menjadi korban perang, baik mereka
yang secara nyata atau aktif turut dalam permusuhan (kombat), maupun mereka yang
tidak turut serta dalam permusuhan (penduduk sipil = civilian population). Hukum
Humaniter hanya mengatur konflik bersenjata saja, tidak mengatur bentuk-bentuk
konflik atau perang lain, misalnya perang ‘’ekonomi’’ (economical warfare) atau
perang ‘urat syaraf’ (psycologycal warfare)3

Peperangan membutuhkan persiapan dan waktu yang panjang karena akan


melibatkan dan mengorbankan banyak hal seperti nyawa, harta dan wilayah. Dampak
yang terjadi dalam perang akan sangat besar tidak hanya bagi wilayah atau negaranya

1
Author Ambarwati, “Hukum Humaniter Internasional Dalam Studi Hubungan Internasional,”
Universitas Indonesia Library (RajaGrafindo Persada, 2012), 1–2, https://lib.ui.ac.id.
2
K.J. Holsti, International Politics, A Framework For Analysis dalam Ambarwati, ibid., hlm. 2
3
Haryomataram, 2007, Pengantar Hukum Humaniter, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,hlm 3
tetapi juga terhadap rakyatnya. Saat peperangan meletus, seringkali dijumpai hal-hal
kejam dilakukan oleh para tentara perang. Ada banyak sekali kegiatan seperti
penjarahan harta, penawanan warga terutama anak-anak dan wanita, serta
penembakan maupun pengeboman wilayah. Sikap yang diambil atas harta yang
dijarah atau harta rampasan perang serta tawanan perang juga sudah diatur dalam
Hukum Humaniter baik Islam maupun Internasional. Tawanan perang sekalipun tidak
boleh diperlakukan dengan keji karena setiap orang memiliki hak asasi manusia yang
harus dijunjung tinggi, dihormati dan tidak dilanggar atau direnggut paksa.4

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Humaniter Islam dalam


menyikapi tawanan perang?
2. Bagaimana pengelolaan harta rampasan perang menurut Hukum Humaniter
Internasional dan Hukum Humaniter Islam?
C. Tujuan
1. Mengetahui cara memperlakukan tawanan perang dalam perspektif Hukum
Humaniter Internasional dan Hukum Humaniter Islam.
2. Mengetahui bagaimana aturan pada Hukum Humaniter Internasional dan Hukum
Humaniter Islam dalam mengelola harta rampasan perang.
3. Memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Siyasah Harbiyah.

4
Fatimi Hanafi et al., “HAK ASASI MANUSIA DAN PENGLIBATAN WANITA DALAM POLITIK DI
MALAYSIA (Human Rights and Women’s Participation in Politics in Malaysia),” Journal of Al-
Tamaddun 11, no. 1 (June 30, 2016): 17–33.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Menyikapi Tawanan Perang Menurut Hukum Humaniter Islam dan Hukum
Humaniter Internasional
Sesuai dengan pengertian bahwa perang dalam perspektif Islam bersifat
darurat yang dinilai secara proposional dan berpegang kepada definisi Hukum
Humaniter Internasional dalam Islam yang disinggung di atas, dapat ditarik dua
kaidah penting dalam hukum tersebut. Pertama, perang, baik dari segi kuantitas
maupun kualitasnya, harus terbatas pada sifat darurat saja. Kedua, apapun yang terjadi
dalam perang itu, harus bersifat kemanusiaan atau menghormati aspek kemanusiaan
pihak-pihak yang terlibat.

Menurut F.Sugeng Istanto tawanan perang adalah tawanan dari penguasa musuh
yang bertanggung jawab atas penanganan tawanan perang. dalam keaadan apapun,
tawanan perang berhak atas perlakuan manusiawi dan penghormatan atas diridan
kehormatannya dan tetap memiliki kemampuan sipil sepenuhnya.5

1. Kaedah Dan Prinsip Tawanan Perang Menurut Hukum Humaniter Islam


Peperangan telah berlaku dalam kalangan bangsa Arab sebelum datangnya
Islam lagi. Peperangan yang berlaku pada masa tersebut lebih kepada peperangan
di antara kabilah-kabilah Arab. Rekod catatan peperangan tersebut kebiasaanya
diabadikan oleh bangsa Arab dalam bentuk syair. Di antara peperangan yang
berlaku sebelum Nabi Muhammad SAW diutuskan ialah perang Fijar di antara
suku Quraish dengan Kinanah melawan suku Hawazin. Selain itu, perang Bu’ath di
antara suku Aus melawan Khazraj di Madinah beberapa tahun sebelum berlaku
peristiwa Hijrah. Turut direkodkan perang yang terkenal dalam kalangan suku
Arab Badwi iaitu perang al- Basus yang berlaku di penghujung abad kelima Masihi
di antara suku Bani Bakr melawan Bani Taghlib di kawasan barat daya
semenanjung Arab.

Kebanyakan peperangan yang berlaku ketika itu hanya bersifat


pertempuran kecil dan memakan masa yang panjang untuk mencapai perdamaian.
Kebiasaannya, peperangan berlaku disebabkan perkara kecil seperti pertikaian
sempadan dan elemen penghinaan terhadap suku yang berlainan. Islam mempunyai

5
F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Universita Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1994, hlm.94
persyaratan ketat bagi pelaksanaan perang. Bila terjadi karena kondisi yang di luar
kemauannya, maka Islam meletakkan sejumlah prinsip yang bertujuan untuk
membatasi dampak negatifnya pada kombatan saja dan tidak merembet kepada
penduduk sipil dan lainnya yang tidak ikut terlibat dalam peperangan.

Peperangan hanya dapat diselesaikan dengan campur tangan pihak berkecuali


dan pembayaran gantirugi terhadap tebusan. Namun isu berkenaan harta rampasan
perang dan tawanan perang merupakan isu yang kompleks kerana tidak direkodkan
dan tiada peraturan ataupun undang-undang berkaitan perkara tersebut. Namun
kebiasaanya tawanan perang yang terdiri dari wanita dan kanak-kanak akan
dijadikan hamba. Manakala peperangan yang berlaku semasa zaman Nabi
Muhammad SAW adalah bertujuan bagi mempertahankan agama, meninggikan
syiar dan mengalahkan musuh yang menzalimi umat Islam bukan disebabkan
peperangan kebiasaan yang berlaku dalam kalangan bangsa Arab. Baginda SAW
telah menempuhi sebanyak 84 siri peperangan menentang musuh terutamanya non-
muslim yang menentang Baginda SAW dan secara puratanya sebanyak 7 kali
setahun.6

Islam memberikan perhatian istimewa bagi tawanan, dimana kehormatan


dan hak-haknya terjaga dan terhindar dari segala bentuk tindakan pelanggaran
terhadapnya. Dan berikut adalah perlakuan tawanan perang di dalam Islam:

a. Memperlakukan tawanan perang secara baik, melarang menghina atau


merendahkannya yang dapat merusak nilai-nilai kemanusiaannya
Diriwayatkan oleh At Thabrani bahwa Rasulullah Saw. bersabda:"Agar
tawanan perang diberlakukan dengan baik.”
b. Memenuhi kebutuhan pangan tawanan perang
Dalam firmanAllah Swt. ditegaskan:"Dan mereka memberikan makanan
yangdisukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang
ditawan."(Q.S.Al-Insaan:8) Abu Yusuf berpendapat bahwa tawanan kaum
musyrik harus diberi makanan dan diperlakukan secara baik sampai keluar
keputusannya. Bahkan para panglima muslim dahulu sangat konsisten
dengan prinsip ini dalam peperangan yang dilakukannya, di mana mereka
6
Mohd Norazri Mohammad Zaini, dkk, “Layanan Perang dan Hak Asasi Manusia Menurut
Metodologi Wahyun (Al-Qur’an dan Hadist), Journal Of Ma’alim Al-Qur’an Wa Al-Sunnah Vol.17,(2021),
hlm.100-101
menghormati tawanan dan tidak membiarkannya kelaparan. Dalam hal ini,
sejarah mencatat sikap Salahuddin Al Ayubi, ketika meletusnya perang
salib, dimana tertangkapnya jumlah besar tawanan tentara musuh dan dia
tidakmempunyai makanan yang cukup untuk para tawanan, lalu ia
membebaskan mereka semua.7 Namun setelah dibebaskan, mereka
bersepakat untuk menyusun barisan tentara untuk kembali memerangi
Salahuddin. Salahuddin menyambut baik tindakan mereka dan berpendapat
bahwa lebih baik berperang dengan mereka sebagai kombatan daripada
membunuh mereka sebagai tawanan yang kelaparan.
c. Memberikan perlakuan baik terhadap tawanan dengan memberikan pakian
yang baik dan layak yang dapat menjaganya dari cuaca panas ataupun
dingin

Seperti diriwayatkan oleh Jabir bahwa pada masa perang badar, Rasulullah
SAW membawa seorang tawanan, lalu dibawa kepada Abbas, tapi Ia tidak
mempunyai pakaian yang layak. Akhirnya bertemu dengan Abdullah bin
Ubay bin al Harits, ternyata mempunyai pakaian layak dan diberikan
kepada tawanan. Bahkan dalam riwayat lain, Rasulullah memberikan
pakaian pribadinya kepada tawanan.

d. Memberikan hak kepada tawanan untuk melaksanakan ritual agamanya

Islam memberikan hak tersebut kepada tawanan, hal ini terkait dengan
prinsip tidak mencampuri urusan agamanya atau berupaya memaksanya
untuk masuk Islam.8 Firman AllahSwt.:

"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah


jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa
yang ingkar kepada Thaghut [162] dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya Ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang
tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui."(Q.S.Al-Baqarah:256)

7
Ahmad Maulana, “Perang dalam Hukum Islam dan dan Hukum Humaniter Internasional”, (Yogyakarta: Grup
Penerbitan CV Budi Utami, 2017). hlm.236.
8
Ibid., hlm.237
e. Melarang mengkhianti tawanan dan sandera, meskipun musuh
melakukannya terhadap sandera dan tawanan muslim.

f. Tidak memisahkan tawanan dari anggota keluarganya yang sama-sama jadi


tawanan.

Diriwayatkan dari Abi Ayoub bahwa iamendengar Rasulullah


Saw.bersabda: "Siapa yang telah memisahkan ibu dari anaknya, maka
AllahSwt akan memisahkannya dari yang dicintainya nanti di hari kiamat."

g. Dilarang membunuh tawanan yang ditangkapnya, baik individu maupun


kolektif.

Ibnu Qudamah berpendapat: "Siapa yang menangkap tawanan, ia tidak


boleh membunuhnya, hingga datang perintah untuk mengambil keputusan,
karena ia telah bertsebagai tawanan, maka alternatif dalam hal ini berada
di tangan Imam (Pemerintah).”

Islam berkasih sayang dalam perlakuannya terhadap tawanan yang sudah


ditangkap, harus dijaga sampai perang selesai, di mana pemerintah
mempunyai beberapa alternatif, diantaranya:

Pertama, diberikan grasi dan dibebaskan tanpa tebusan. Keputusan ini


merupakan yang paling sering diambil Rasulullah Saw. Kedua, tebusan
bagi tawanan perang. Tawanan dapat menebus sendiri dirinya pada Perang
Badar, dimana seorang tawanan Muslim ditebus dari tangan pihak kafir.
Dalam masalah tebusan ini tidak terbatas pada tebusan dengan harta dan
tebusan orang dengan orang semata, tapi tebusan bisa berbentuk
pemberian pelajaran menulis dan membaca bagi anak-anak umat Islam. Ini
adalah tugas yang cukup ringan bagi tawanan. Dan jelas bahwa Islam lebih
mengutamakan pemberian kebebasan dan pemberantasan kebodohan.

2. Tawanan Perang Menurut Hukum Humaniter Internasional


Menurut Konvensi Jenewa III tahun 1949 Tentang Perlindungan terhadap
tawanan perang Pasal 12 bahwa “tawanan perang adalah tawanan negara
musuh, bukan tawanan orang perorangan atau kesatuan-kesatuan militer yang
telah menawan mereka. Lepas dari tanggung jawab perseorangan yang mungkin
ada, negara Penahan bertanggung jawab atas perlakuan yang diberikan kepada
mereka”. Hukum Humaniter Internasional telah mengatur dengan sedemikian
rupa terkait tawanan perang. Kriteria tawanan perang dalam Hukum Humaniter
Internasional diatur dalam Pasal 4 Konvensi Jenewa III 1949 diataranya:

Paragraf A:

1) Para anggota angkatan perang dari pihak yang bersengketa, anggotaanggota


milisi atau korps sukarela yang merupakan bagian dari angkatan perang itu;
2) Para anggota milisi lainnya, termasuk gerakan perlawanan yang
diorganisasikan (organized resistence movement) yang tergolong pada satu pihak
yang bersengketa dan beroperasi di dalam atau di luar wilayah mereka, sekalipun
wilayah itu diduduki, dan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a) dipimpin
oleh orang yang bertanggung jawab atas bawahannya; b) menggunakan tanda
pengenal tetap yang dapat dilihat dari jauh; c) membawa senjata secara terbuka;
d) melakukan operasinya sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang.
3) Para anggota angkatan perang reguler yang menyatakan kesetiaannya pada
suatu pemerintah atau kekuasaan yang tidak diakui oleh negara penahan;
4) Orang-orang yang menyertai angkatan perang tanpa dengan sebenarnya
menjadi anggota dari angkatan perang itu, seperti anggota sipil awak pesawat
terbang militer, wartawan perang, leveransir, anggota kesatuankesatuan kerja
atau dinas-dinas yang bertanggung jawab atas kesejahteraan angkatan perang,
asal saja mereka telah mendapatkan pengakuan dari 43 angkatn perang yang
disertainya dan melengkapi diri mereka dengan sebuah kartu pengenal;
5) Awak kapal niaga termasuk nahkoda, pandu laut, dan taruna serta awak
pesawat terbang sipil dan pihak-pihak yang bersengketa yang tidak mendapat
perlakuan yang lebih baik menurut ketentuan-ketentuan apapun dalam hukum
internasional;
6) Penduduk wilayah yang belum diduduki, yang tatkala musuh senjata untuk
melawan pasukan-pasukan yang datang menyerbu, tanpa memiliki waktu yang
cukup untuk membentuk kesatuan-kesatuan bersenjata secara teratur, asal saja
mereka membawa senjata secara terbuka dan mengahormati hukum dan
kebiasaan perang.

Paragraf B:

1) Orang yang tergolong atau pernah tergolong dalam angkatan pernah dari
wilayah yang diduduki, apabila negara yang menduduki wilayah itu memandang
perlu untuk menginternir mereka karena kesetiaan itu, walaupun negara itu semula
telah membebaskan mereka selagi permusuhan berlangsung di luar wilayah yang
diduduki negara itu, terutama jika orang-orang tersebut telah mencoba dengan
tidak berhasil untuk bergabung kembali dengan angkatan perang mereka yang
terlibat dalam pertempuran, atau jika mereka tidak memenuhi panggilan yang
ditujukan kepada mereka berkenaan dengan penginterniran.

2) Orang-orang yang termasuk dalam salah satu golongan tersebut dalam Pasal ini,
yang telah diterima oleh negara-negara netral atau negara-negara yang tidak turut
berperang dalam wilayahnya, dan yang harus diinternir oleh negara-negara itu
menurut hukum internasional, tanpa mempengaruhi tiap perlakuan yang lebih baik
yang mungkin diberikan kepada mereka oleh negara-negara itu menurut hukum
internasioanl, tanapa memperngaruhi tiap perlakuan yang lebih baik yang mungkin
diberikan kepada mereka oleh negara-negara itu dan dengan perkecualian Pasal 8,
10, 15, 30 paragraf kelima pasal 58, 67, 92, 126 dan apabila terdapat hubungan
diplomatik antara pihak-pihak dalam sengketa denan negara netral atau negara
yang tidak turut berperang bersangkutan, pasal-pasal mengenai negara
pelindungan.

Tidak semua tawanan yang ditawan oleh pihak lawan dapat diberikan hak
seperti tawanan perang. Tawanan yang diberikan hak selayaknya tawanan perang
adalah tawanan yang sesuai dengan kriteria yang diatur dalam Pasal 4 Konvensi
Jenewa III 1949.9 Menurut J.G. Starke, dalam suatu peperangan, penduduk dibagi
kedalam dua status yaitu status sebagai kombatan dan civilian (penduduk sipil).
Penduduk yang berstatus sebagai kombatan berhak ikut serta secara langsung
dalam permusuhan, boleh membunuh dan dibunuh dan apabila tertangkap
diperlakukan sebagai tawanan perang. Sedangkan kelompok civilian atau penduduk
sipil yang tidak boleh turut serta dalam permusuhan, harus dilindungi dan tidak
boleh dijadikan sebagai sasaran perang.10

3. Hak dan Kewajiban Tawanan Perang


Tawanan perang berhak memperoleh hak-haknya sebagai tawanan.
Menurut Konvensi Jenewa III 1949 hak-hak tawanan perang anatara lain:
a) Hak Mendapatkan Perlakuan Manusiawi

9
Frits Kalshoven, Constraint of Wagging of War, ICRC,Second Edition, 1987, hlm. 41
10
J.G. Strake, Introduction to International Law, Sinar Grafika, Jakarta,edisi ke 6 , hlm. 547
b) Hak Kehormatan Martabat dan Harga Diri
c) Hak Perawatan Medis
d) Hak Memperoleh Perlakuan yang Adil
e) Hak Melaksanakan Ritual Keagamaan
f) Hak Aktivitas Mental dan Fisik
g) Hak Mendapatkan Kebutuhan Primer
h) Hak Berkomunikasi dengan Dunia Luar.

Sedangkan kewajiban tawanan perang diatur dalam Pasal 17 Konvensi


Jenewa III 1949 bahwa, “setiap tawanan perang, apabila ditanyakan mengenai hal
itu, hanya wajib memberikan nama keluarga, nama kecil dan pangkat, tanggal lahir,
dan nomor tentara, resimen, data personel atau nomor registrasi pokok, atau jika
tidak mungkin, keterangan yang serupa”. Tawanan perang wajib untuk patuh
terhadap hukum dan tata tertib negara yang menahannya. Tawanan perang dapat
dihukum akibat pelanggaran disipliner dan diadili karena pelanggaran yang
dilakukan sebelum tertangkap, misalnya kejahatan perang. tawanan perang juga
dapat diadili karena pelanggaran yang dilakukan sebelum penangkapan, yang
melawan hukum di negara penahan.11

B. Pengelolaan Harta Rampasan Perang menurut Hukum Humaniter Internasional


dan Hukum Humaniter Islam
1. Pengelolaan Harta Rampasan Perang Menurut Hukum Humaniter Islam
Salah satu sumber dana dalam Islam adalah harta rampasan perang, yang
mungkin sebagian umat belum mengetahui hukum dan seluk-beluknya. Hal yang
lain, umat Islam dianjurkan senantiasa bersikap amanah, jujur, dan adil, bahkan
ketika terjadi perang pun. Kecuali untuk kepentingan perang, dan untuk
kemaslahatan umat dalam sebuah peperangan, boleh melakukannya untuk
mengecoh dan mengalahkan musuh, karena peperangan adalah tipu muslihat.
Lebih lanjut mengemuka beberapa persoalan yang di antaranya apakah boleh atau
tidak mengambil harta rampasan perang tanpa sepengetahuan imam atau culas

11
Leslie C Green, The Contemporary Law of Armed Conflict, Juris Published, Manchester University Press,
2008, hlm 210
dengan tidak memberitahukan dan melaporkan sekalipun sedikit harta yang
dirampas. Atas dasar inilah, ditemukan hadis-hadis Nabi saw. yang menganjurkan
umat Islam agar tidak bersikap curang dan tidak amanah dalam pembagian harta
rampasan. Hal yang lain, umat Islam dianjurkan senantiasa bersifat amanah, jujur,
dan adil, bahkan ketika terjadi perang pun. Kecuali untuk kepentingan perang, dan
untuk kemaslahatan umat dalam sebuah peperangan, boleh melakukannya untuk
mengecoh dan mengalahkan musuh, karena peperangan adalah tipu muslihat.
Menurut Muhammad rawwas, ghanimah adalah harta yang dirampas dari
orang-orang islam dari tentara kafir dengan jalan perang. 12 Dalam ekspansi besar-
besaran yang dilakukan Umar, sebagai contoh ketika menaklukkan Negeri
Syam.13 Ghanimah merupakan hal-hal yang dirampas oleh orang-orang Islam dari
tentara kafir; tanah, tawanan perang (laki-laki, perempuan, anak-anak), dan harta
yang dapat dipindah-pindah (kuda, dirham, pedang, dan sebagainya). Harta
rampasan tersebut diperoleh dari orang-orang kafir oleh orang-orang Islam
didapatkan setelah melalui pertempuran antara tentara Islam dengan tentara kafir.
banyak ghanimah yang didapatkan oleh orang-orang islam. Dengan demikian
yang menjadi persoalan dasar bagi Umar untuk mengambil kebijakan dalam
pembagian ghanimah.

a) Pembagian ghnaminah terbagi menjadi tiga macam, antara lain:14

1) Shafi yaitu harta rampasan yang dipilih oleh kepala Negara, harta ini tidak
boleh dibagi-bagikan.

2) Seperlima dari shafi dibagikan, seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat


Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil (QS. al-Anfal
41). Setelah Rasul wafat, Abu Bakar menghentikan bagian Rasul dan
kerabat Rasul, menggantikannya ke fakir miskin. Demikian ini, diikuti oleh
Umar dan membagikan kepada fakir, miskin, dan ibnu sabil.

3) Empat perlima dibagikan kepada tentara yang ikut berperang.

Mengenai tentara, menurut Umar ada beberapa syarat bagi tentara-tentara Islam
mendapatkan bagian ghanimah antara lain:15

12
16 Rawwas Muhammad, Mausu’ah Fiqhi Umar bin Khattab RA Pp 679
13
Ibid.
14
Ibid.
1) Hendaknya ikut berperang.

2) Hendaknya merdeka, Umar berkata “seorang hamba sahaya tidak punya


hak bagian atas harta bagian atas harta rampasan perang, jika dia ikut
perang bersama tuannya, tapi dia ikut perang atas kehendaknya sendiri,
maka dia mendapatkan bagian” dan Umar dalam tulisannya “setiap hamba
sahaya yang berperang dan tidak bersama tuannya, maka berikan dia seperti
bagian sepeti orang merdeka”.

3) Baligh, Umar tidak membagikan ghanimah kepada tentara yang belum


baligh.

b) Bentuk Harta Ghanimah

Ada 3 bentuk harta yang termasuk ghanimah :

1.Harta bergerak

Bentuk harta ghanimah pertama adalah harta bergerak. Apapun benda


berharga yang dapat dipindahkan, termasuk ke dalam kategori harta bergerak ini.

 Persenjataan

 Kendaraan

 Perlengkapan perang

 Stok makanan

 Bahan pangan

 Emas dan perhiasan perak

 Barang antik

 Batu mulia

2. Harta tidak bergerak

Tidak hanya harta ghanimah yang bergerak, pada saat memenangkan


pertempuran, tantara Muslim dapat pula mengambil harta yang tidak bergerak
sebagai ghanimah.

15
Rawwas Muhammad, Mausu’ah Fiqhi Umar bin Khattab RA, Pp 83
Beberapa contoh harta ghanimah yang tidak bergerak ialah benteng
pertahanan, wilayah kekuasaan, tanah beserta bangunan di wilayah yang telah
dikuasai, serta harta tidak bergerak lainnya.

3.Tawanan perang

Harta ghanimah terakhir ialah tawanan perang. Jadi, dapat dikatakan bahwa
menahan tantara lawan setelah menaklukan suatu peperangan diperbolehkan
dalam Islam.

2. Pengelolaan Harta Rampasan Perang Menurut Hukum Humaniter Internasional


Dalam Hukum Internasional, kami tidak dapat menemukan ketentuan yang
secara khusus mengatur tentang harta rampasan perang. Namun, terdapat beberapa
ketentuan Hukum Internasional yang melarang tindakan perampasan/penjarahan
dalam perang, di antaranya yaitu:
1. The Fourth Geneva Convention Relative to the Protection of Civilian
Persons in Time of War of 12 August 1949. Dalam Pasal 33 secara jelas
dinyatakan bahwa “pillage is prohibited”.
2. Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and
relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflicts
(Protocol II), 8 June 1997.
Beberapa ketentuan dalam Protokol tersebut pula menjelaskan tindakan
“pillage” sebagai tindakan yang bertentangan dengan Hukum
Internasional dalam suatu konflik internal.
3. Rome Statute of the International Criminal Court
Dalam Pasal 8 dinyatakan bahwa “pillaging a town or place, even when
taken by assault” sebagai suatu kejahatan perang. Pengaturan internasional
di atas menggunakan istilah “Pillage/Pillaging” yang
dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai: “the forcible seizure of
another’s property, especially in war”, yaitu perampasan/penjarahan harta
benda seseorang dalam keadaan perang. Maka dapat dikatakan bahwa
tindakan perampasan/penjarahan merupakan suatu kejahatan perang.
Kebiasaan internasional yang mengatur mengenai perampasan/penjarahan
dalam perang dapat dilihat pada Customary IHL Database yang merupakan hasil
penelitian dalam kebiasaan hukum humaniter internasional yang diselenggarakan
oleh International Committee of the Red Cross (ICRC). Customary IHL
Database memperlihatkan hasil penelitian tentang kebiasaan-kebiasaan umum
dalam hukum humaniter internasional yang telah diterima sebagai hukum oleh
negara. Dapat dilihat dua ketentuan dalam Customary IHL Database yang
mencerminkan kebiasaan internasional dalam hal perampasan/penjarahan dalam
perang. Rule 52 Customary IHL Database menyatakan bahwa “pillage is
prohibited” dan Rule 122 Customary IHL Database menyatakan bahwa “pillage
of personal belongings of persons deprived of their liberty is prohibited”. Kedua
kebiasaan umum tersebut dianggap sebagai suatu kebiasaan yang wajib
dilaksanakan oleh negara dalam keadaan perang. Customary IHL
Database mencantumkan pula beberapa praktik negara yang memperlihatkan
penerapan kedua kebiasaan umum tersebut pada buku panduan militer beberapa
negara.

Sementara itu, di dalam Tata Hukum Nasional, kami tidak dapat menemukan
pengaturan yang secara jelas mengatur mengenai rampasan perang ataupun
tentang tindakan perampasan/penjarahan dalam perang. Namun, mengingat bahwa
Indonesia merupakan negara anggota Geneva Conventions 1949, yang telah
diratifikasi melalui Undang-Undang No. 59 Tahun 1958 tentang Ikut Serta Negara
Republik Indonesia dalam Seluruh Konpensi Jenewa Tanggal 12 Agustus 1949,
maka Indonesia terikat dengan ketentuan Geneva Conventions 1949 termasuk di
dalamnya ketentuan mengenai perampasan/penjarahan dalam perang.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pada dasarnya sesuai dengan pengertian bahwa perang dalam perspektif


Islam bersifat darurat yang dinilai secara proposional dan berpegang kepada
definisi Hukum Humaniter Internasional dalam Islam yang disinggung di atas,
dapat ditarik dua kaidah penting dalam hukum tersebut. Pertama, perang, baik dari
segi kuantitas maupun kualitasnya, harus terbatas pada sifat darurat saja. Kedua,
apapun yang terjadi dalam perang itu, harus bersifat kemanusiaan atau
menghormati aspek kemanusiaan pihak-pihak yang terlibat. Dalam Hukum
Internasional, kami tidak dapat menemukan ketentuan yang secara khusus
mengatur tentang harta rampasan perang. Namun, terdapat beberapa
ketentuan Hukum Internasional yang melarang tindakan perampasan/penjarahan
dalam perang. Ghanimah merupakan hal-hal yang dirampas oleh orang-orang
Islam dari tentara kafir; tanah, tawanan perang (laki-laki, perempuan, anak-anak),
dan harta yang dapat dipindah-pindah (kuda, dirham, pedang, dan sebagainya).
Harta rampasan tersebut diperoleh dari orang-orang kafir oleh orang-orang Islam
didapatkan setelah melalui pertempuran antara tentara Islam dengan tentara kafir.

Anda mungkin juga menyukai