MAKALAH
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 4
AKHMAD HAQQUL ZULFIKAR (19103070006)
AULIA RIZKY RAHMA N.R (19103070013)
NUR LAILATUL IZZAH (19103070001)
ABDI KUKUH DEANTO K (19103070007)
ATHIFAH DANIKA PRAMESTI (19103070012)
ROY SANDI (19103070011)
DOSEN PENGAMPU:
MISKI, S.HI., M.Sos
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam sejarah kehidupan politik manusia, peristiwa yang banyak dicatat
adalah perang dan damai. Peristiwa-peristiwa besar yang menjadi tema-tema utama
dalam literatur-literatur politik dan juga hubungan internasional berkisar antara dua
macam interaksi tersebut. Ungkapan bahwa peace to be merely a respite between
wars menunjukkan, situasi perang dan damai, terus silih berganti dalam interaksi
manusia.1
Secara defenitif, perang adalah suatu kondisi tertinggi dari bentuk konflik
antar manusia. Dalam studi Hubungan Internasional, perang secara tradisonal adalah
penggunaan kekerasan yang terorganisir oleh unit-unit politik dalam sistem
internasional. Perang akan terjadi apabila negara-negara dalam situasi konflik dan
saling bertentangan merasa bahwa tujuan-tujuan eksklusif mereka tidak bisa tercapai,
kecuali dengan cara-cara kekerasan.2 Perang merupakan jalan terakhir untuk
menyelesaikan permasalahan antar negara yang bermasalah saat perdamaian gagal
dicapai. Hal-hal terkait perang telah dijelaskan dalam Hukum Humaniter baik Hukum
Humaniter Islam maupun Hukum Humaniter Internasional.
1
Author Ambarwati, “Hukum Humaniter Internasional Dalam Studi Hubungan Internasional,”
Universitas Indonesia Library (RajaGrafindo Persada, 2012), 1–2, https://lib.ui.ac.id.
2
K.J. Holsti, International Politics, A Framework For Analysis dalam Ambarwati, ibid., hlm. 2
3
Haryomataram, 2007, Pengantar Hukum Humaniter, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,hlm 3
tetapi juga terhadap rakyatnya. Saat peperangan meletus, seringkali dijumpai hal-hal
kejam dilakukan oleh para tentara perang. Ada banyak sekali kegiatan seperti
penjarahan harta, penawanan warga terutama anak-anak dan wanita, serta
penembakan maupun pengeboman wilayah. Sikap yang diambil atas harta yang
dijarah atau harta rampasan perang serta tawanan perang juga sudah diatur dalam
Hukum Humaniter baik Islam maupun Internasional. Tawanan perang sekalipun tidak
boleh diperlakukan dengan keji karena setiap orang memiliki hak asasi manusia yang
harus dijunjung tinggi, dihormati dan tidak dilanggar atau direnggut paksa.4
B. RUMUSAN MASALAH
4
Fatimi Hanafi et al., “HAK ASASI MANUSIA DAN PENGLIBATAN WANITA DALAM POLITIK DI
MALAYSIA (Human Rights and Women’s Participation in Politics in Malaysia),” Journal of Al-
Tamaddun 11, no. 1 (June 30, 2016): 17–33.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Menyikapi Tawanan Perang Menurut Hukum Humaniter Islam dan Hukum
Humaniter Internasional
Sesuai dengan pengertian bahwa perang dalam perspektif Islam bersifat
darurat yang dinilai secara proposional dan berpegang kepada definisi Hukum
Humaniter Internasional dalam Islam yang disinggung di atas, dapat ditarik dua
kaidah penting dalam hukum tersebut. Pertama, perang, baik dari segi kuantitas
maupun kualitasnya, harus terbatas pada sifat darurat saja. Kedua, apapun yang terjadi
dalam perang itu, harus bersifat kemanusiaan atau menghormati aspek kemanusiaan
pihak-pihak yang terlibat.
Menurut F.Sugeng Istanto tawanan perang adalah tawanan dari penguasa musuh
yang bertanggung jawab atas penanganan tawanan perang. dalam keaadan apapun,
tawanan perang berhak atas perlakuan manusiawi dan penghormatan atas diridan
kehormatannya dan tetap memiliki kemampuan sipil sepenuhnya.5
5
F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Universita Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1994, hlm.94
persyaratan ketat bagi pelaksanaan perang. Bila terjadi karena kondisi yang di luar
kemauannya, maka Islam meletakkan sejumlah prinsip yang bertujuan untuk
membatasi dampak negatifnya pada kombatan saja dan tidak merembet kepada
penduduk sipil dan lainnya yang tidak ikut terlibat dalam peperangan.
Seperti diriwayatkan oleh Jabir bahwa pada masa perang badar, Rasulullah
SAW membawa seorang tawanan, lalu dibawa kepada Abbas, tapi Ia tidak
mempunyai pakaian yang layak. Akhirnya bertemu dengan Abdullah bin
Ubay bin al Harits, ternyata mempunyai pakaian layak dan diberikan
kepada tawanan. Bahkan dalam riwayat lain, Rasulullah memberikan
pakaian pribadinya kepada tawanan.
Islam memberikan hak tersebut kepada tawanan, hal ini terkait dengan
prinsip tidak mencampuri urusan agamanya atau berupaya memaksanya
untuk masuk Islam.8 Firman AllahSwt.:
7
Ahmad Maulana, “Perang dalam Hukum Islam dan dan Hukum Humaniter Internasional”, (Yogyakarta: Grup
Penerbitan CV Budi Utami, 2017). hlm.236.
8
Ibid., hlm.237
e. Melarang mengkhianti tawanan dan sandera, meskipun musuh
melakukannya terhadap sandera dan tawanan muslim.
Paragraf A:
Paragraf B:
1) Orang yang tergolong atau pernah tergolong dalam angkatan pernah dari
wilayah yang diduduki, apabila negara yang menduduki wilayah itu memandang
perlu untuk menginternir mereka karena kesetiaan itu, walaupun negara itu semula
telah membebaskan mereka selagi permusuhan berlangsung di luar wilayah yang
diduduki negara itu, terutama jika orang-orang tersebut telah mencoba dengan
tidak berhasil untuk bergabung kembali dengan angkatan perang mereka yang
terlibat dalam pertempuran, atau jika mereka tidak memenuhi panggilan yang
ditujukan kepada mereka berkenaan dengan penginterniran.
2) Orang-orang yang termasuk dalam salah satu golongan tersebut dalam Pasal ini,
yang telah diterima oleh negara-negara netral atau negara-negara yang tidak turut
berperang dalam wilayahnya, dan yang harus diinternir oleh negara-negara itu
menurut hukum internasional, tanpa mempengaruhi tiap perlakuan yang lebih baik
yang mungkin diberikan kepada mereka oleh negara-negara itu menurut hukum
internasioanl, tanapa memperngaruhi tiap perlakuan yang lebih baik yang mungkin
diberikan kepada mereka oleh negara-negara itu dan dengan perkecualian Pasal 8,
10, 15, 30 paragraf kelima pasal 58, 67, 92, 126 dan apabila terdapat hubungan
diplomatik antara pihak-pihak dalam sengketa denan negara netral atau negara
yang tidak turut berperang bersangkutan, pasal-pasal mengenai negara
pelindungan.
Tidak semua tawanan yang ditawan oleh pihak lawan dapat diberikan hak
seperti tawanan perang. Tawanan yang diberikan hak selayaknya tawanan perang
adalah tawanan yang sesuai dengan kriteria yang diatur dalam Pasal 4 Konvensi
Jenewa III 1949.9 Menurut J.G. Starke, dalam suatu peperangan, penduduk dibagi
kedalam dua status yaitu status sebagai kombatan dan civilian (penduduk sipil).
Penduduk yang berstatus sebagai kombatan berhak ikut serta secara langsung
dalam permusuhan, boleh membunuh dan dibunuh dan apabila tertangkap
diperlakukan sebagai tawanan perang. Sedangkan kelompok civilian atau penduduk
sipil yang tidak boleh turut serta dalam permusuhan, harus dilindungi dan tidak
boleh dijadikan sebagai sasaran perang.10
9
Frits Kalshoven, Constraint of Wagging of War, ICRC,Second Edition, 1987, hlm. 41
10
J.G. Strake, Introduction to International Law, Sinar Grafika, Jakarta,edisi ke 6 , hlm. 547
b) Hak Kehormatan Martabat dan Harga Diri
c) Hak Perawatan Medis
d) Hak Memperoleh Perlakuan yang Adil
e) Hak Melaksanakan Ritual Keagamaan
f) Hak Aktivitas Mental dan Fisik
g) Hak Mendapatkan Kebutuhan Primer
h) Hak Berkomunikasi dengan Dunia Luar.
11
Leslie C Green, The Contemporary Law of Armed Conflict, Juris Published, Manchester University Press,
2008, hlm 210
dengan tidak memberitahukan dan melaporkan sekalipun sedikit harta yang
dirampas. Atas dasar inilah, ditemukan hadis-hadis Nabi saw. yang menganjurkan
umat Islam agar tidak bersikap curang dan tidak amanah dalam pembagian harta
rampasan. Hal yang lain, umat Islam dianjurkan senantiasa bersifat amanah, jujur,
dan adil, bahkan ketika terjadi perang pun. Kecuali untuk kepentingan perang, dan
untuk kemaslahatan umat dalam sebuah peperangan, boleh melakukannya untuk
mengecoh dan mengalahkan musuh, karena peperangan adalah tipu muslihat.
Menurut Muhammad rawwas, ghanimah adalah harta yang dirampas dari
orang-orang islam dari tentara kafir dengan jalan perang. 12 Dalam ekspansi besar-
besaran yang dilakukan Umar, sebagai contoh ketika menaklukkan Negeri
Syam.13 Ghanimah merupakan hal-hal yang dirampas oleh orang-orang Islam dari
tentara kafir; tanah, tawanan perang (laki-laki, perempuan, anak-anak), dan harta
yang dapat dipindah-pindah (kuda, dirham, pedang, dan sebagainya). Harta
rampasan tersebut diperoleh dari orang-orang kafir oleh orang-orang Islam
didapatkan setelah melalui pertempuran antara tentara Islam dengan tentara kafir.
banyak ghanimah yang didapatkan oleh orang-orang islam. Dengan demikian
yang menjadi persoalan dasar bagi Umar untuk mengambil kebijakan dalam
pembagian ghanimah.
1) Shafi yaitu harta rampasan yang dipilih oleh kepala Negara, harta ini tidak
boleh dibagi-bagikan.
Mengenai tentara, menurut Umar ada beberapa syarat bagi tentara-tentara Islam
mendapatkan bagian ghanimah antara lain:15
12
16 Rawwas Muhammad, Mausu’ah Fiqhi Umar bin Khattab RA Pp 679
13
Ibid.
14
Ibid.
1) Hendaknya ikut berperang.
1.Harta bergerak
Persenjataan
Kendaraan
Perlengkapan perang
Stok makanan
Bahan pangan
Barang antik
Batu mulia
15
Rawwas Muhammad, Mausu’ah Fiqhi Umar bin Khattab RA, Pp 83
Beberapa contoh harta ghanimah yang tidak bergerak ialah benteng
pertahanan, wilayah kekuasaan, tanah beserta bangunan di wilayah yang telah
dikuasai, serta harta tidak bergerak lainnya.
3.Tawanan perang
Harta ghanimah terakhir ialah tawanan perang. Jadi, dapat dikatakan bahwa
menahan tantara lawan setelah menaklukan suatu peperangan diperbolehkan
dalam Islam.
Sementara itu, di dalam Tata Hukum Nasional, kami tidak dapat menemukan
pengaturan yang secara jelas mengatur mengenai rampasan perang ataupun
tentang tindakan perampasan/penjarahan dalam perang. Namun, mengingat bahwa
Indonesia merupakan negara anggota Geneva Conventions 1949, yang telah
diratifikasi melalui Undang-Undang No. 59 Tahun 1958 tentang Ikut Serta Negara
Republik Indonesia dalam Seluruh Konpensi Jenewa Tanggal 12 Agustus 1949,
maka Indonesia terikat dengan ketentuan Geneva Conventions 1949 termasuk di
dalamnya ketentuan mengenai perampasan/penjarahan dalam perang.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN