Anda di halaman 1dari 78

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perang adalah sebuah pertikaian baik secara fisik maupun non fisik

yang terjadi antara satu kelompok atau lebih untuk melakukan dominasi di

suatu wilayah yang dipertentangkan. Karena mencangkup kelompok maka

perang tersebut biasanya terjadi antar suku, bangsa dan negara.

Menurut Haryomataram perang adalah konflik antara dua negara

atau lebih dengan kekuatan senjata masing-masing, yang bertujuan

menguasai lawan dan membentuk keadaan yang damai seperti yang

diinginkan pemenang.1 Sedangkan menurut Machiavelli bahwa perang

merupakan suatu dasar yang alamiah dan penting untuk dilakukan dalam

penyelesaian masalah.2

Berbicara mengenai perang, dalam sejarah Islam tercatat bahwa

peperangan pertama kali muncul sejak adanya pertikaian antara Habil dan

Qabil bahkan hingga hari ini, perang masih menjadi warisan umat

manusia.3 Peristiwa pertikaian tersebut menjadi awal pertumpahan darah

yang terjadi di dunia ini.

Sejarah Islam khususnya juga sejak zaman Rasulullah SAW. para

sahabat, hingga dinasti terakhir Islam yaitu dinasti Turki Utsmani, perang

merupakan peristiwa yang lumrah terjadi saat itu. Perang dilakukan agar

1
Dyan F. D. Sitanggang, “Pengerusakan Tempat Bersejarah dalam Perang Antar Negara
Sebagai Pelanggaran Hukum Humaniter Internasioanal”, Lex et Societatis, Vol. 1, No. 2, April-
Juni 2013, hlm. 6.
2
Ikhwan, “Pembenaran Kekerasan dalam Politik Kekuasaan”, al-Ijtima’, International
Journal of Government and Social Science, hlm. 114.
3
Supriadi, “Ayat-Ayat Perang dalam al-Qur’ān (Suatu Tinjauan Semantik)”, (Skripsi,
Fakultas Seni Budaya Universitas Hasanuddin, Makassar, 2017), hlm. 5.
dapat menduduki daerah tersebut. Dalam Islam penaklukan dilakukan

selain untuk menguasai wilayah tersebut, juga untuk menyebarkan ajaran-

ajaran agama Islam.

Perang dalam ayat al-Qur’ān sering disebutkan, salah satu ayat yang

membahas tentang perang, yaitu QS. al-Baqarah ayat 190:


ُْ َ َ ‫َ َ ُ ْ ْ َ ْ ه َّ ْ َ ُ َ ُ ْ َ ُ ْ َ َ َ ْ َ ُ ْ َّ ه‬
‫اّٰلل َل ُي ِح ُّب اْل ْع َت ِد ْي َن‬ ‫اّٰلل ال ِذين يق ِاتلونكم وَل تعتدوا ۗ ِان‬
ِ ‫وق ِاتلوا ِفي س ِبي ِل‬

Artinya: “Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi


kamu dan jangan melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas.”4

Jika dicermati, perintah perangilah pada ayat tersebut menjelaskan

tentang diperbolehkannya melakukan perang selama perang tersebut di

jalan Allah. Tujuan perang adalah untuk menerapkan nilai-nilai ketuhanan

Yang Maha Esa, menegakkan kalimat tauhid, serta kemerdekaan dan

kebebasan yang sejalan dengan tuntunan agama. Sedangkan melampaui

batas yang dimaksud adalah kedua belah pihak yang terlibat menghindari

terjadinya dampak terhadap kehidupan di sekitarnya yang sudah rukun dan

damai. Juga menghindari dampak terhadap dakwah Islam dan kaum

muslimin. Seperti halnya wanita, anak-anak kecil, orang tua serta para ahli

ibadah yang dapat mengganggu bahkan memutuskan aktivitas ibadah

mereka, sekalipun berdampak terhadap umat agama lain.5

Ayat tersebut juga menjelaskan bahwa perang dimulai pada saat

mengetahui secara pasti bahwa akan ada orang-orang yang memerangi.

4
QS al-Baqarah [2]: 190, Departemen Agama Republik Indonesia, Al-‘Aliyy Al-Qur’ān dan
Terjemahannya, (Bandung, CV. Penerbit Diponegoro, 2005), hlm. 23.
5
Sayyid Quthb, Fī Zhilāl al-Qur’ān, (Beirut: Dār al-Syurūq, 1992), Jilid 1, Juz 2, hlm. 223.
Mereka telah mempersiapkan rencana dan mengambil langkah-langkah

untuk memerangi kaum muslimin atau bahkan benar-benar telah

melakukan urgensi dengan tujuan dan faktor tertentu.

Islam tidak memperkenankan perang dilakukan dalam pelampiasan

hawan nafsu serta bertujuan sebagai pertumpahan darah. Akan tetapi ayat

tersebut menjelaskan bahwa perang dilakukan terhadap orang-orang yang

memerangi serta tidak melampaui batas.6 Makna melampaui batas yang di

maksud menurut Muhammad Abduh adalah orang-orang yang tidak ikut

serta dalam peperangan tersebut tidak termasuk dalam ayat di atas.

Sebagai salah satu aturan dan etika Islam dalam memerangi musuh adalah

jangan memerangi mereka yang tidak berdaya yang hidup dalam

kekuasaan musuh. Seperti halnya wanita, anak-anak, orang tua, dan orang-

orang yang sakit serta siapa saja yang mengajak perdamaian dan

menghentikan perang maka hendaklah ia menghentikan perangnya dan

melakukan perdamaian.7

Perang dalam konteks keislaman merupakan sesuatu yang harus

dihindari, karena Islam tidak menghendaki terjadinya peperangan dalam

bentuk apapun. Islam dalam berperang memiliki tujuan tersendiri untuk

6
Aryadi Cahyadi, “Perang dalam Perspektif al-Qur’ān (Studi Muqarin Tafsir al-Mishbah
dan Ibnu Katsir)”, (Skripsi, Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah IAIN Curup, Curup, 2019),
hlm. 17.
7
Ibid., hlm. 18.
mempertahankan diri dari serangan musuh dan dalam rangka menjaga

dakwah.8

Perang yang terjadi dalam sejarah Islam banyak sekali, bahkan sejak

zaman Rasulullah SAW. Perang Uhud merupakan perang sangat menarik,

karena pada perang ini kaum muslimin menerima kekalahannya

disebabkan ketidakpatuhan para pasukan pemanah terhadap perintah

Rasulullah SAW. sebagai panglima perang saat itu. Pada awalnya kaum

muslimin berhasil memukul mundur mush-musuhnya, namun ketika para

pemanah melihat harta ghonimah yang berada di arena pertempuran

mereka tergiur dan turun ke bawah untuk mengambilnya.

Mengetahui hal itu Khalid bin Walid selaku panglima pasukan

berkuda musuh melakukan serangan terhadap kaum muslimin, serta

berhasil membuat kaum muslimin terdesak dan harus menerima kekalahan

dalam peperangan tersebut. Adapun korban jiwa pada perang ini tidak

terlalu banyak, namun yang menjadi syahid dalam perang tersebut adalah

para sahabat yang sangat berpengaruh dalam Islam.9

Selanjutnya perang Hunain merupakan pertempuran yang diikuti

Rasulullah SAW. dengan jumlah pasukan sebanyak 12.000 orang.

Sebelum berada di medan pertempuran para sahabat yang baru masuk

Islam ada yang merasa bangga dengan jumlah pasukan sebanyak itu untuk

8
Nurul Fitri, “Ayat-Ayat Qitāl dalam Surah at-Taubah (Studi Penafsiran Kh. Mishbah
Musthafa dalam Tafsir al-Iklīl Fī Ma’ānī at-Tanzīl)”, (Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Dakwah
Institut Ilmu al-Qur’ān, Jakarta, 2021), hlm. 3.
9
Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Ar-Rahīqul Makhtūm, Bahtsun Fī As-Sirah An-
Nabawīyah Ala Shahībina Aidhalish Salāti wa Sallām, (Riyādh: Darussalam, 1993), cet. Ke-1, terj.
Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2020), hlm. 303.
mengalahkan pasukan musuh yang di pimpin Malik bin Auf. Namun Allah

berkehendak lain di awal pertempuran, kaum muslimin yang telat tiba di

lembah Hunain harus kocar kacir dengan serangan yang sudah disiapkan

musuh saat itu. Kaum muslimin yang sebanyak 12.000 orang tadi lari

tunggang langgang dengan serangan yang dilancarkan pada saat subuh

tersebut. Akibatnya tersisa 80 sahabat dari kalangan Anshar yang masih

setia bersama Rasulullah SAW. untuk melindungi beliau. Namun selang

beberapa lama kemudian datanglah pertolongan Allah serta kembalinya

beberapa pasukan kaum muslimin ke medan pertempuran yang tadinya

lari, sehingga Allah memberikan kemenangan kepada kaum muslimin

pada pertempuran tersebut.10

Berdasarkan uraian perang di atas, terdapat beberapa kandungan

ataupun nilai-nilai yang dapat diterapkan dalam kehidupan. Seperti halnya

agar menjadi pasukan yang patuh terhadap pemimpin, menjadi manusia

yang rendah hati atau tawaddhu’ dengan kondisi yang dihadapi. Serta

sangat penting juga untuk tetap menjaga kekompakan dan menjaga hati

agar selalu satu tujuan, mempersiapkan diri serta taktik dalam peperangan,

tidak merasa cepat puas dengan banyaknya pasukan. Karena makna perang

tidak sebatas tentang menumpahkan darah melawan musuh tetapi lebih

dari itu.

Namun saat ini banyak masyarakat yang mengelakkan nilai-nilai

tersebut serta memahami peperangan secara mentah saja, seperti dalam

10
Ibid., hlm. 508.
memahami kata dakwah. Dakwah merupakan suatu rangkaian dari jihad

namun tidak termasuk dalam qitāl atau perang. Hal inilah yang masih

banyak dipahami masyarakat bahwa perang tersebut hanya sebatas jihad,

sedangkan sebagian yang lain menganggapnya pembunuhan. Hal ini

muncul dikarenakan adanya doktrin yang datang dari barat melalui media-

media massa seperti internet, koran, radio dan sejenisnya yang mengatakan

bahwa Islam merupakan agama yang melegalkan kekerasan,

penganiayaan, dan agama yang radikal. Tidak heran jika para sarjana barat

berkata demikian karena tujuan mereka sedari awal adalah untuk

menjatuhkan Islam, membuat Islam terasa asing di kalangan umatnya

sendiri sehingga Islam memiliki wajah yang buruk. 11

Mengenai ayat-ayat qitāl, masyarakat Islam perlu mengetahui

bahwasanya perang di dalam Islam tidak terjadi begitu saja. Melainkan

adanya sebab-sebab yang membuat Islam menyeru umatnya untuk

berperang demi tegaknya kalimat Tauhid dan menghilangkan sesembahan

terhadap manusia.12 Qitāl dalam Islam pada dasarnya tidak hanya sebatas

bermakna perang melawan musuh-musuhnya. Akan tetapi dalam

peperangan, Islam selalu memperhatikan koridor, etika, dan batasan-

batasan ketika menghadapi para musuhnya, seperti halnya yang dijelaskan

dalam surah al-Baqarah ayat 190 tersebut.13

11
Syuryansyah, “Perang dalam Perspektif Islam Kontemporer”, Isbn : 978-602-19568-3-0,
hlm. 1.
12
Hidayatullah Ismail, dkk, “Pemikiran Sayyid Quthb Tentang Makna Qitāl dalam Kitab
Tafsir Fī Zhilāl al-Qur’ān”, an-Nida’, Vol. 44, No. 2, Juli-Desember 2020, hlm. 150.
13
Sadam Husein Harahap, “Perang dalam Perspektif al-Qur’ān (Kajian Terhadap Ayat-Ayat
Qitāl)”, (Tesis, Tafsir Hadis UIN Sumatera Utara, Medan, 2016), hlm. 11.
Perang atau qitāl dikenal sebagai jihad syar’i atau perang di jalan

Allah. Kata jihad yang dinyatakan tanpa menggunakan indikasi atau kata

selatelahnya maka yang dimaksudkan adalah jihad dalam makna syar’i,

yakni qitāl (perang). Rasulullah SAW. sendiri berkata bahwa perang di

jalan Allah akan terus berlangsung hingga akhir zaman nanti. 14 Qitāl

menurut al-Qurthubi merupakan peperangan yang dilakukan orang-orang

mukmin yang bertujuan untuk menjaga pertahanan dan melawan musuh-

musuh Islam seperti orang-orang kafir, munafik dan sejenisnya.15

Jamāluddin al-Qāshimi juga berpendapat qitāl adalah sebuah upaya

perlawanan terhadap musuh Islam, dalam arti sebagai pertahanan diri dan

berjihad agar dapat menundukkan, melemahkan, dan melawan mereka.16

Sehingga dalam perang tersebut tidak hanya tentang kekuatan fisik saja

melainkan terdapat nilai-nilai sufistik didalamnya.

Berkaitan dengan ayat-ayat qitāl ini, sangat menarik jika dikaji dari

sudut pandang sufisme. Salah satu tokoh sufi yang terkenal adalah Syaikh

‘Abdul Qādir al-Jilāni. Ia mempunyai nama lengkap Muhammad

Muhyiddin ‘Abdul Qādir al-Jilāni. Lahir pada tahun 470 H / 1077 M dan

wafat pada tahun 561 H / 1165 M.17 Ia merupakan salah satu ulama

tasawuf yang sangat dihormati oleh kalangan sunni serta terkenal sebagai

14
Ibid., hlm. 12.
15
Imam al-Qurtubi, al-Jāmī‘ li al-Ahkām al-Qur’ān, (Dār al-Kutub al-Mishriyyah, 1964),
Juz III, hlm. 38
16
Jamāluddin al-Qāshimi, Mahasin at-Ta’wīl, (Beirut: Dār al-Qutub al-Ilmiyyah, 1418),
hlm. 99
17
Badriyatul Azizah, “Al-Hayāh Perspektif Tafsir al-Jailāni”, (Skripsi, Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2018), hlm. 27.
wali dalam dunia tarekat atau tasawuf, dan juga terkenal sebagai ulama

fiqih.18

Karya-karya beliau sangat banyak sekali, terutama yang bercorak

sufisme termasuk di dalamnya tafsir al-Jilāni. Setelah sekian lama hilang

dan pada abad 20 ini, salah satu keturunan beliau bernama Dr. Muhammad

Fadhil berhasil menemukan manuskrip tafsir al-Jilāni. Tafsir ini lengkap

30 juz yang terdiri dari 6 jilid. Khusus pada jilid 5 dan 6 tercantum

qāsidah dengan munajat asmaul husna dan qasidah al-Khomriyyah (syair

sufi).19 Adapun tafsir tersebut termasuk kategori tafsir bi al-iqtirāni

dengan memadukan riwayat yang kuat dan shahih dengan hasil ra’yi yang

sehat. Dari segi susunannya tafsir ini menggunakan metode tahlīli,

sehingga membahas semua ayat dalam al-Qur’ān secara berurutan. Dari

segi penjelasan beliau menggunakan metode bayāni. Mengenai coraknya

tafsir ini menggunakan corak sufistik karena pengarangnya terkenal

sebagai tokoh sufi besar hingga saat ini.20

Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni dalam menafsirkan kata qitāl atau

perang seperti ayat di atas memiliki pandangan yang berbeda dari

mufassir-mufassir lainnya. Dalam konteks tasawuf, Syaikh ‘Abdul Qādir

al-Jilāni memiliki pandangan bahwa qitāl (perang) yang dimaksud adalah

18
Zakiyatun Nufus, “Tazkiyah An-Nafs Perspektif Tafsir al-Jailāni karya Syaikh ‘Abdul
Qādir al-Jailāni”, (Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IIQ, Jakarta, 2018), hlm. 4.
19
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Tafsir al-Jilāni, (Kairo: Dār al-Rukni wa al-Maqam, 2009).
20
Muhammad Arwani, “Khilafah dalam Perspektif ‘Abdul Qādir al-Jailāni (Studi Tafsir al-
Jailani)”, (Tesis, Ilmu al-Qur’ān dan Tafsir UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2018), hlm. 62.
memerangi hawa nafsu.21 Karena hawa nafsu ini mencegah manusia untuk

berperang di jalan Allah. Begitu juga setan-setan dari kalangan manusia,

kalangan jin, dan juga nafsu yang berada dalam dirinya. Rasulullah SAW.

bersabda: "Apabila telah kembali dari jihad yaitu kembalinya kita dari

jihad yang kecil (perang Badar) dan menuju jihad yang besar (melawan

hawa nafsu)". Dari sabda Rasulullah SAW. tersebut dapat dipahami para

sahabat telah melakukan jihad yang kecil (perang Badar), serta setelah itu

akan melawan jihad yang besar (hawa nafsu).

Selain itu, dalam jihad atau perang umat Islam dilarang untuk

berlebihan atau melampaui batas dari ketentuan syariat. Maka mereka

diperintahkan berjihad atau berperang dengan etika dalam Islam, serta

tetap menjadi orang yang taat dan istiqomah dengan kemampuan yang

dimiliki. Jangan menggabungkan antara kebenaran atau kebaikan dengan

kelalaian.22

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk

memfokuskan penelitian pada ayat-ayat qitāl dalam al-Qur’ān. Penelitian

tentang ayat-ayat qitāl (perang) dengan sudut pandang sufistik masih

jarang diteliti. Sehingga, penulis tertarik mengangkat penelitian ini dengan

judul “Nilai-Nilai Sufistik Penafsiran Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni

Tentang Ayat-Ayat Qitāl dalam Al-Qur’ān”.

21
Larangan mengikuti hawa nafsu karena hawa nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan
dan menyimpang dari kebenaran. Lihat juga Nofitayanti dan Udin Supriadi,” Larangan Mengikuti
Hawa Nafsu dalam Kajian Tematik Digital Quran”, Zad Al-Mufassirin, Volume 2, Nomor 2, 2020,
hlm. 41.
22
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Tafsir al-Jilāni, (Kairo: Dār al-Rukni wa al-Maqam, 2009), hlm.
191.
A. Batasan Masalah

Batasan masalah adalah pembatasan terhadap suatu permasalahan

yang akan di bahas atau diteliti, agar pembahasannya tidak melebar dan

tidak terjadi kerancauan, sehingga fokus terhadap pembahasan yang akan

dibahas. Dalam penelitian ini penulis hanya akan membahas ayat-ayat

qitāl dalam QS. an-Nisā’ ayat 77, QS. al-Hajj ayat 39, QS. al-Baqarah ayat

190, dan QS. at-Taubah ayat 29 dan 36.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka peneliti

membuat permasalahan tentang bagaimana nilai-nilai sufistik penafsiran

Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni tentang ayat-ayat qitāl?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh jawaban atas

pertanyaan atau persoalan-persoalan secara sistematis. Adapun tujuan

penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji nilai-nilai sufistik

penafsiran Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni tentang ayat-ayat qitāl.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian terbagi kepada dua hal, ada yang manfaat

secara teoritis, yaitu hanya untuk menambah khazanah keilmuan. Ada

yang berupa manfaat praktis, yaitu dapat digunakan untuk melakukan


sesuatu yang lebih baik, efektif, dan efisien.23 Berikut beberapa

manfaat penelitian.

a. Manfaat Teoritis

1) Menambah wawasan keilmuan dalam bidang Ilmu al-Qur’ān

dan tafsir, khususnya mengenai pembahasan qitāl dalam

perspektif al-Qur’ān dan sufistik.

2) Berupaya mengintegrasikan dan menginterkoneksikan

keilmuan perspektif al-Qur’ān dan sufistik.

3) Sebagai kajian pustaka atau bahan perbandingan dalam

penelitian lainnya tentang qitāl dalam perspektif al-Qur’ān dan

sufistik.

b. Manfaat Praktis

Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat berguna

untuk menambah ilmu pengetahuan dan pemahaman, serta dapat

dijadikan sebagai salah satu sumber rujukan untuk mahasiswa atau

dosen, umumnya bagi Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama dan

khususnya bagi jurusan Ilmu al-Qur’ān dan Tafsir.

E. Telaah Pustaka

Dalam penelitian, telaah pustaka dilakukan dengan megkaji hasil

penelitian-penelitian terdahulu yang bertujuan agar memberi kesan

keaslian dalam sebuah penelitian. Dengan adanya tinjauan pustaka ini

peneliti berupaya untuk menghindari duplikasi penelitian terkait tema

23
Irfanuddin, Cara Sistematis Berlatih Meneliti, (Jakarta: Rayyana, 2019), hlm. 45.
pembahasan yang diangkat pada penelitian ini. Adapun penelitian

sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

Pertama, skripsi yang ditulis oleh Badriyatul Azizah yang berjudul

Al-Hayāh Perspektif Tafsir al-Jailāni. Hasil penelitian dari skripsi ini

adalah tentang kehidupan manusia di dunia ini. Skripsi ini ditulis karena

melihat banyaknya manusia yang lalai, tertipu oleh kehdiupan dunia ini.

Maka dari masalah tersebut, skripsi ini tulis untuk mengkaji apa makna

dari hidup manusia beserta tujuan hidupnya di dunia ini dalam tafsir al-

Jilāni.24 Persamaan skripsi ini dengan penelitian yang peneliti teliti adalah

sama-sama menggunakan tafsir al-Jilāni. Adapun perbedaannya adalah

skripsi ini berfokus pada pembahasan tentang hidup dalam tafsir al-Jilāni,

sedangkan peneliti fokus pada pembahasan ayat-ayat qitāl dalam al-

Qur’an.

Kedua, skripsi yang ditulis oleh Zakiyatun Nufus yang berjudul

Tazkiyah An-Nafs Perspektif Tafsir al-Jailani Karya Syaikh ‘Abdul Qādir

al-Jailāni. Hasil penelitian penulis dari skripsi ini adalah bagaimana

proses cara menyucikan jiwa untuk masyarakat umum terutama muslim

pada saat ini untuk menghadapi masalah-masalah kontemporer yang

berkaitan dengan hati di zaman yang semakin maju dan modern agar selalu

dekat dengan Allah.25 Persamaan skripsi ini dengan penelitian yang

peneliti teliti adalah sama-sama menggunakan tafsir al-Jilāni. Adapun

24
Badriyatul Azizah, “Al-Hayāh Perspektif Tafsir al-Jailāni”, (Skripsi, Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2018).
25
Zakiyatun Nufus, “Tazkiyah An-Nafs Perspektif Tafsir al-Jailāni Karya Syaikh ‘Abdul
Qādir Al-Jailāni”, (Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IIQ, Jakarta, 2018).
perbedaannya adalah skripsi ini mengkaji tentang ayat-ayat yang berkaitan

tentang tazkiyah an- nafs, sedangkan peneliti meneliti ayat-ayat yang

berkaitan tentang qitāl.

Ketiga, tesis yang ditulis oleh Saddam Husein Harahap yang

berjudul Perang dalam Perspektif al-Qur’ān (Kajian terhadap Ayat-Ayat

Qitāl). Hasil penelitian dari tesis ini adalah dalam perspektif al-Qur’ān

tidak semua kata qitāl dan derivasinya dalam ayat-ayat al-Qur’ān

bermakna “perang”. Selanjutnya menjelaskan jenis-jenis perang dalam al-

Qur’ān yang meliputi perang fisik, perang lisan, perang dengan hati,

perang dengan harta, serta perang ideologi.26 Persamaan penelitian ini

dengan tesis yang ditulis oleh saudara Saddam Husein Harahap ialah

sama-sama membahas ayat-ayat mengenai qitāl. Adapun perbedaannya

terletak pada tafsir yang digunakan. Penelitian ini menggunakan tafsir sufi,

yaitu tafsir al-Jilāni karya Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni.

Keempat, jurnal yang ditulis oleh Muhammad Suaib Tahir yang

berjudul Qitāl dalam Perspektif al-Qur’ān.Hasil penelitian dari jurnal ini

penulis menjelaskan bahwa prinsip qitāl adalah fī sabīllillāh yaitu harus

senantiasa dalam koridor-koridor yang ditetapkan Allah dimulai dari niat

hingga tujuannya. Bentuk perang defensif yang diperbolehkan adalah

melawan agresi, menghilangkan fitnah terhadap agama dan membebaskan

kaum mustadh’afūn.27 Persamaan jurnal yang ditulis oleh Muhammad

26
Saddam Husein Harahap, “Perang dalam Perspektif al-Qur’ān (Kajian terhadap Ayat-
Ayat Qitāl)”, (Tesis, Tafsir Hadis UIN Sumatera Utara, Medan, 2016).
27
Muhammad Suaib Tahir, “Qitāl dalam Perspektif al-Qur’ān”, Nida’ al-Qur’ān , Volume
3, Nomor 1, Juni 2018.
Suaib Tahir dengan penelitian ini ialah sama-sama membahas dan

menganalisis ayat-ayat qitāl. Adapun perbedaannya adalah jurnal tersebut

memberikan penjelasan mengenai ayat-ayat qitāl secara global tidak

merujuk pada satu tafsir atau tokoh saja. Sedangkan pada penelitian ini

akan lebih spesifik kepada penafsiran Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni

dalam tafsir al-Jilāni.

Kelima, jurnal yang ditulis oleh Hidayatullah Ismail dan kawan-

kawan yang berjudul Pemikiran Sayyid Quthb tentang Makna Qitāl dalam

Kitab Tafsir Fī Zhilāl al-Qur’ān. Penelitian ini membahas tentang qitāl

dalam al-Qur’ān secara umum yang dimaknai oleh sebagian mufassir

dengan perang melawan kelompok kafir yang menyerang terlebih dahulu

(defensif). Melarang perang yang bersifat menyerang atau ofensif.28

Persamaan jurnal yang ditulis Hidayatullah Ismail dan kawan kawan dengan

penelitian yang ditulis ini adalah sama-sama membahas tentang qitāl.

Perbedaannya adalah jurnal ini membahas qitāl perspektif Sayyid Quthb yang

mengatakan bahwa qitāl dilakukan untuk menegakkan kalimat Allah dan

melepaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah. Berbeda dengan

penelitian yang diteliti peneliti ini lebih mengarah kepada sufi karena

menggunakan tafsir al-Jilāni karya Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni.

28
Hidayatullah Ismail, dkk, “Pemikiran Sayyid Quthb tentang Makna Qitāl dalam Kitab
Tafsir Fī Zhilāl al-Qur’ān”, an-Nida’, Volume 44, Nomor 2, Juni-Desember 2020.
Table 1.1

Persamaan dan perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian sekarang

No Nama Peneliti Judul Penelitian Persamaan Perbedaan

1 Badriyatul Azizah Al-Hayāh Perspektif Sama-sama Skripsi ini

Tafsir al-Jailāni menggunakan tafsir berfokus pada


al-Jilāni pembahasan

tentang hidup

dalam tafsir al-

Jilāni,

sedangkan

peneliti fokus

pada

pembahasan

ayat-ayat qitāl

dalam al-Qur’an

2 Zakiyatun Nufus Tazkiyah An-Nafs Sama-sama Skripsi ini

Perspektif Tafsir al- menggunakan tafsir mengkaji

Jailani Karya Syaikh al-Jilāni tentang ayat-

‘Abdul Qādir al- ayat yang

Jailāni berkaitan

tentang tazkiyah

an- nafs,

sedangkan
peneliti meneliti

ayat-ayat yang

berkaitan

tentang qitāl

3 Saddam Husein Perang dalam Sama-sama Terletak pada

Harahap Perspektif al-Qur’ān membahas ayat- tafsir yang

(Kajian terhadap ayat mengenai qitāl digunakan. Tesis

Ayat-Ayat Qitāl) ini

menggunakan

kitab tafsir

secara umum.

Sedangkan

penelitian ini

menggunakan

tafsir sufi, yaitu

tafsir al-Jilāni

karya Syaikh

‘Abdul Qādir al-

Jilāni

4 Muhammad Suaib Qitāl dalam Sama-sama Jurnal tersebut

Tahir Perspektif al-Qur’ān membahas dan memberikan

menganalisis ayat- penjelasan

ayat qitāl mengenai ayat-


ayat qitāl secara

global tidak

merujuk pada

satu tafsir atau

tokoh saja.

Sedangkan pada

penelitian ini

akan lebih

spesifik kepada

penafsiran

Syaikh ‘Abdul

Qādir al-Jilāni

dalam tafsir al-

Jilāni.

5 Hidayatullah Pemikiran Sayyid Sama-sama Jurnal ini

Ismail dan kawan- Quthb tentang membahas tentang membahas qitāl

kawan Makna Qitāl dalam qitāl perspektif Sayyid

Quthb. Berbeda
Kitab Tafsir Fī
peneliti
Zhilāl al-Qur’ān
menggunakan

tafsir al-Jilāni

karya Syaikh

‘Abdul Qādir al-

Jilāni
F. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan wadah yang menerangkan variabel atau

pokok permasalahan yang terkandung dalam penelitian. Berikut kerangka

teori yang penulis gunakan.

1. Pengertian Qitāl

Qitāl seakar dengan kata qatl yang terdiri dari huruf qaf, tha’,

dan lam yang memiliki arti dasar pendudukan/penaklukan dan

pembunuhan.29 Menurut al-Raghib al-Isfahani qatl adalah

menghilangkan nyawa dari badan, dapat juga berarti berkelahi,

bertengkar, dan saling memaki.30

Secara bahasa qitāl merupakan bentuk mashdar dari kata

qātala yuqātilu yang memiliki tiga pengertian. Pertama bermakna

berkelahi melawan seseorang, kedua bermakna memusuhi, dan ketiga

bermakna memerangi musuh.31

Adapun Ibnu Faris berpendapat bahwa qitāl memiliki dua jenis

makna. Pertama, izlal yang bermakna merendahkan, menghina, dan

melecehkan. Kedua, imatah yang bermakna membunuh dan

mematikan.32 Kata qitāl sendiri merupakan salah satu bentuk derivasi

29
Ahmad Ibn Faris, al-Mu’jām al-Maqāyis al-Lughagh), (Kairo: Dār al-Fikr, tt.), Juz 5,
hlm. 56. Lihat juga ath-Thāhir Ahmad az-Zawiy, Tartīb al-Qāmus al-Muhīth, (Kairo: Dār, al-Fikr,
tt.), Jilid 3, hlm. 560.
30
Muhammad Suaib Tahir, “Qitāl dalam Perspektif al-Qur’an”, Nida’ al-Qur’ān, Volume
3, Nomor 1, Juni 2018, hlm. 82.
31
Ibnu Manzhur, Lisân Al-‘Arab, (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, tt.), Jilid. V, hlm. 3531.
32
Abi Al-Ḫusain Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariyya, Mu’jam Maqâyis al-Lugah, Tahqīq ‘Abd
al-Salām Muẖammad Ḫarun, (Beirut, Dâr al-Fikr, 1979), Juz. V, hlm. 56.
dari kata qātala yang memiliki beberapa arti di antaranya: mematikan

atau membunuh, mencampur, mengutuk, menolak keburukan,

menghina, menghilangkan lapar atau haus, melecehkan serta

merendahkan.33

2. Periodesasi Qitāl (Perang) dalam al-Qur’ān

Dalam pandangan Syeikh Abd Al-Aziz bin Baz, jihad dalam

arti Qitāl /perang dalam Islam terbagi menjadi tiga periode:34

a. Periode pertama, umat Islam diizinkan berperang tanpa ada

kewajiban untuk itu. Dengan kata lain, perang belum merupakan

suatu kewajiban. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat Al-

Hajj ayat 39.

b. Periode kedua, umat Islam diperintahkan untuk memerangi orang-

orang yang memerangi mereka saja, sementara orang-orang yang

tidak memerangi mereka tidak boleh diperangi. Dalam hal ini Allah

berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 190.

c. Periode ketiga, umat Islam diperintahkan untuk memerangi orang-

orang musyrikin secara mutlak, baik mereka yang memerangi umat

Islam ataupun tidak. Tujuannya adalah agar kemusyrikan lenyap

dari muka bumi dan manusia semuanya tunduk kepada Allah. Hal

ini berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Anfaal ayat 39.

33
Ibrāhim Musthafā, al-Mu’jam al-Wasith, (Mesir: Maktabah al-Syurūq al-Dauliyyah, tt.),
Jilid II, hlm. 715. Lihat juga Lilik Ummu Kaltsum, dkk, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Jakarta: UIN
PRESS, 2015), hlm. 155
34
M. Junaidi, Perang dan Jihad dalam Perspektif Fiqh Siyasah Dauliyah (Telaah Historis
Berbasis Teks Suci), Jurnal Law And Justice, Vol. 1, No. 1, Oktober 2016, hlm. 68.
3. Corak Tafsir Sufi

Kata tasawwuf memiliki beberapa macam pengertian. Salah

satunya mushtaq dari kata suf karena para sufi memakai pakaian yang

berbeda dengan masyarakat umum yang memakai pakaian mewah.

Para sufi memakai pakaian dari kain suf (tenunan dari bulu domba atau

biasa disebut kain wol) sebagai praktek gaya hidup sederhana dan

kezuhudan. Sufi juga diambil dari kata safa’ yang berarti suci. Hal ini

karena kesucian hati para sufi, serta kesucian kondisi secara lahir dan

batin dari menentang Allah. Sufi juga diambil dari kata suffah yang

dinisbatkan kepada sahabat-sahabat Nabi yang tidak mampu kemudian

mereka dikenal dengan ahli suffah. Pendapat lain berkata ini

merupakan laqab bagi mereka, bukan mushtaq.

Tafsir sufi dibagi menjadi dua, yaitu tafsir sufi nazari dan tafsir

sufi isyari. Pertama, tafsir sufi nazari merupakan tafsir sufi yang

berlandaskan pada teori-teori dan ilm-ilmu filsafat. Kedua, tafsir sufi

isyari adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān tidak sama dengan

makna lahir dari ayat-ayat tersebut. Karena disesuaikan dengan isyarat-

syarat yang tersembunyi yang nampak pada perilaku ritual sufistik.

Bisa saja penafsiran mereka sesuai dengan makna lahir sebagaimana

yang dimaksud dalam tiap-tiap ayat tersebut.35

35
Abdul Syukur, “Mengenal Corak Tafsir al-Qur’ān”, El-Furqonia, Volume 1, Nomor 1,
Agutus 2015, hlm. 101.
G. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan langkah-langkah yang akan ditempuh

oleh peneliti untuk mendapatkan hasil yang ingin dicapai.

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian

kualitatif. Metode kualitatif merupakan metode yang digunakan untuk

mengungkapkan beragam fenomena yang terjadi baik itu berupa

situasi, kondisi sosial di masyarakat, lalu di deskripsikan secara akurat

menggunakan kata-kata yang benar dengan teknik pengumpulan dan

analisis data secara ilmiah dan relevan.36

Adapun jenisnya, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian

kepustakaan (library research) karena peneliti meneliti tentang nilai-

nilai sufistik penafsiran Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni tentang ayat-

ayat qitāl serta berfokus pada penelusuran literatur-literatur dan bahan

pustaka yang berkaitan dengan tema penelitian. Jenis penelitian ini

berpijak pada sumber informasi yang berasal dari dokumen-dokumen

tertulis, buku-buku tafsir, majalah, naskah-naskah, dan sebagainya.37

Peneliti dalam penelitian ini menggunakan pendekatan ilmu

tafsir, karena peneliti meneliti tentang tafsir al-Jilāni karya Syaikh

‘Abdul Qādir al-Jilāni. Selain itu, peneliti juga menggunakan

pendekatan tasawuf karena peneliti meneliti tentang nilai-nilai sufistik

penafsiran Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni tentang ayat-ayat qitāl.


36
Dja’an Satori dan Aan Komariah, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta,
2014), cet. Ke-6, hlm. 25.
37
Nursapia Harahap, “Penelitian Kepustakaan”, Jurnal Iqra’, Vol. 8, No. 1, 2014, hlm. 68.
Pendekatan tasawuf ini berusaha menyingkap makna bathin dari ayat-

ayat qitāl dalam al-Qur’ān.

Adapun langkah langkah dalam penelitian yang akan dilakukan

sebagai berikut:

a) Menentukan tema dan tokoh

b) Menyusun dan mengumpulkan data serta menyeleksinya,

khususnya karya-karya Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni

tentang ayat-ayat qitāl

c) Melakukan identifikasi tentang elemen-elemen bangunan

serta struktur-struktur pemikiran Syaikh ‘Abdul Qādir al-

Jilāni

d) Melakukan analisis dan kritik

e) Membuat kesimpulan

2. Data dan Sumber Data

Sumber data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bahan

yang nyata yang digunakan sebagai dasar kajian.

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer merupakan sumber data yang dijadikan

refrensi dalam penelitian yakni al-Qur’ān dan terjemah, asbabun

nuzul, kitab tafsir al- Jilāni karya Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder merupakan data yang diperoleh dari

literatur-literatur lain yang berupa buku-buku tafsir, jurnal, hasil


penelitian yang terkait dengan masalah yang diteliti serta karya-

karya Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni yang berupa tasawuf, salah

satunya al-Gunyāh Li Thālibī Tharīqil Haq ‘Azza wa Jalla.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah suatu cara yang digunakan

peneliti untuk mengumpulkan data yang diperlukan. Adapun cara yang

digunakan peneliti melalui penelitian kepustakaan (library research)

berupa penelaahan terhadap berbagai refrensi bacaan yang berkaitan

dengan tema yang diteliti. Dapat berupa buku-buku dan kitab tafsir,

jurnal, artikel, maupun hasil penelitian yang berkaitan. Serta

menganalisa bagian-bagian terpenting dari bacaan tersebut.

4. Metode Pengolahan Data

Dalam penelitian ini, pengolahan data yang digunakan peneliti

sebagai berikut:

a. Metode deskriptif, yaitu metode yang berfungsi untuk memaparkan

dan memberikan penjelasan secara mendalam dan maksimal

mengenai sebuah data.

b. Metode analisis, yaitu metode yang berfungsi untuk memberikan

data-data yang ada secara konseptual, kemudian diklasifikasikan

sesuai dengan pemahaman, dengan maksud untuk memperoleh

kejelasan atas data yang sebenarnya.

Dengan demikian, kajian dalam penelitian ini lebih bersifat

deskriptif analisis, karena berupaya memberikan keterangan dan


gambaran yang sejelas-jelasnya secara sistematis, objektif, dan

analistis mengenai permasalahan yang dikaji.

H. Sistematika Pembahasan

Agar penelitian ini terarah dan mudah dipahami, maka penyajian

dalam penelitian ini dikaji secara sistematis dalam lima bab yakni:

Bab I berisi pendahuluan sebagai pengantar pembahasan secara

keseluruhan. Bab ini terdiri dari latar belakang permasalahan, batasan

masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka,

kerangka teori, metode penelitian, serta sistematika penelitian.

Bab II akan membahas mengenai profil kitab tafsir al-Jilāni karya

Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni . Bab ini terdiri dari biografi, pendidikan,

dan karya-karya Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni. Selanjutnya, membahas

profil tafsirnya, yaitu tafsir al-Jilāni.

Bab III akan memaparkan seputar tinjauan umum mengenai

pengertian qitāl, periodesasi qitāl, dan ayat-ayat qitāl di dalamnya.

Bab IV akan memaparkan nilai-nilai sufistik penafsiran Syaikh

‘Abdul Qādir al-Jilāni tentang ayat-ayat qitāl dalam tafsir al-Jilāni.

Bab V merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dari

pembahasan pokok masalah sebagai akhir dari seluruh rangkaian

pembahasan.
BAB II
BIOGRAFI SYAIKH ‘ABDUL QĀDIR AL-JILĀNI DAN TAFSIR AL-
JILĀNI

A. Biografi Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni

1. Riwayat Hidup

Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni memiliki nama lengkap Syaikh

‘Abdul Qādir Al-Jilāni bin Shalih Musa Janki Dausat bin Abu

Abdullah bin Yahya Az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa

bin Abdullah bin Musa Al-Jun bin Abdullah Al-Mahadh.38

Beliau dijuluki juga dengan Mujmil bin Hasan Al-Matani bin

Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra. Jika diruntut dari silsilah namanya,

beliau termasuk salah satu keturunan Nabi Muhammad SAW. 39 Dalam

banyak tradisi sufi dan spiritualitas Islam, tawaddhu’ (sikap rendah

hati) dan zuhud (penolakan terhadap dunia materi) adalah nilai-nilai

yang sangat di anjurkan. Syaikh ‘Abdul Qādir Al-Jilāni dikenal karena

sifatnya yang rendah hati dan kurang tertarik untuk membicarakan

nasab atau gelar. Dalam pendekatannya, beliau lebih menekankan

pentingnya pengabdian kepada Allah dan pengembangan spiritualitas

daripada perhatian terhadap status sosial dan silsilah keluarga. Hal ini

38
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Tafsir al-Jilāni, (Kairo: Dār al-Rukni wa al-Maqam, 2009), hlm. 5.
39
Kamran As’ad Irsyadi, Lautan hikmah kekasih Allah, (Jogjakarta: Diva Pres, 2007), hlm.
6.
dapat dilihat ketika beliau memperkenalkan dirinya dengan kalimat,

“Saya ilmuwan dari Jailani”.40

Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni dilahirkan di negeri Jailan, yaitu

negeri yang terpencil di belakang Thabrastan, yang dikenal dengan

Kail atau Kailan pada tahun 471 H. Adapun yang mengatakan beliau

lahir pada tahun 470 H dengan riwayat diambil dari perkataan beliau

sendiri tentag kelahirannya, “Saya tidak mengethaui secraa pasti, tetapi

saya datang ke Baghdad pada tahun-tahun yang didalamnya At-

Tamimi masih hidup dan usia saya pada saat itu delapan belas tahun”.

Penisbatan nama itu ke wilayah ini menjadi Jaili, Jailani, dan Kailani.41

Ibunya bernama Syarifah Fatimah binti Sayid Abdillah ash-

Shuma’i az-Zahid bin Abi Jamaluddin Muhammad bin Sayyid

Kamaluddin Isa bin Aluddin Muhammad al-Jawad bin Sayyid Ali

Ridha bin Sayid Musa al-Khadim bin Sayid Ja’far ash-Shadiq bin

Sayyid Muhammad al-Baqir bin Sayyid Zainal Abidin bin Sayyid al-

Husain bin Sayyid Ali bin Abi Thalib ra.42

Adapun laqab (julukan) beliau sangat banyak. Salah satu

julukan yang diberikan kepada Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni adalah

“Al-Imām”. Konon, julukan ini tak akan diberikan kecuali kepada

seseorang yang sudah pakar dalam satu bidang ilmu. As-Sam’ani

40
Sa’id bin Musfir al-Qahthani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, terj. Munirul
Abidin, (Jakarta: PT Darul Falah, 2017), hlm. 14.
41
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Secret of the Secrets, terj. Zaimul Am, (Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta), hlm. 15-16.
42
Muhammad bin Yahya al-Tadafi, Mahkota Para Aulia, terj. A Kasyful Anwar, (Jakarta:
Pernada, 2005), hlm. 17.
dalam mendeskripsikan Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni mencantumkan

redaksi berikut, “Imam madzhab Hambali sekaligus Syaikh para

pengikut madzhab Hambali di zamannya.” Imam adz-Dzahabi

memberikan julukan “Syaikhul Islam”. Ada juga yang memberinya

julukan “al-Baz al-Asyhab (Merak Kelabu)” serta masih banyak

julukan yang lainnya.43

Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni dididik dalam lingkungan yang

besar lagi mulia, sesuai dengan nasab dan keturunannya. Ibu dan

kakeknya, Ash-Shuma’i sangat mencintainya. Ia ditempa dalam

didikan kaum sufi yang hidup serba sederhana dan ikhlas. Sejak kecil

ia sudah ditinggal ayahnya. Kealimannya sudah tampak di masa

bayinya. Ia tidak mau menyusu di siang bulan Ramadhan. Kekuatan

bathinnya yang melekat sejak kecil itu berlanjut hingga tampak dalam

tingkah lakunya sehari-hari.44

Selain itu, Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni sejak kecil sudah

menampakkan dirinya sebagai remaja yang rajin beribadah, saleh,

bertaqwa, zuhud, dan terobsesi mengetahui ushul serta cabang syariat

secara detail. Sementara itu, di Jailan saat itu belum ada orang yang

dapat memenuhi keinginannya dan menghilangkan rasa hausnya

terhadap ilmu syariat. Oleh sebab itu, terbesit dalam hatinya untuk

pergi belajar ke Baghdad yang menjadi pusat kemajuan Islam. Kala

43
Sa’id bin Musfir al-Qahthani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, terj. Munirul
Abidin, (Jakarta: PT Darul Falah, 2017), hlm. 15.
44
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Tafsir al-Jilāni, (Kairo: Dār al-Rukni wa al-Maqam, 2009), hlm. 7.
itu, penduduk Jailan adalah penganut madzhab Hambali.45 Hal itu

terjadi setelah sunnah yang suci memperoleh kemenangan di tangan

pembelanya, Imam Ahmad bin Hambal. Kemenangan inilah yang

mengharumkan namanya sebagai pembela sunnah dan mendapatkan

simpati di seluruh negeri Islam sehingga banyak orang yang menjadi

pengikutnya.

2. Riwayat Pendidikan dan Karir

Setelah Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni mengetahui bahwa

menuntut ilmu hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim dan

muslimah, beliau pun mendatangi para ulama Islam untuk belajar lebih

dalam kepada mereka. Beliau belajar dari para ulama besar setelah

menguasai qira’at al-Qur’ān dengan baik.46

Dalam usia 18 tahun beliau pergi ke Baghdad untuk menuntut

ilmu (488 H/1095 M). Karena tidak diterima belajar di Madrasah

Nizamiyah yang pada waktu itu dipimpin oleh seorang sufi besar,

Ahmad al-Gazali, Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni mengikuti pelajaran

fikih madzhab Hambali dari Abu Sa’d Mubarak al-Mukharrimi

(pemimpin sekolah hukum Hambali) hingga beliau mendapat ijazah

dari gurunya tersebut. Pada tahun 251 H/1127 M. Syaikh ‘Abdul Qādir

al-Jilāni mengajar dan berfatwa dalam madzhab tersebut kepada

masyarakat luas hingga akhir hidupnya. Beliau juga mendapat restu

45
M. Zainuddin, Karomah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2004), hlm. 36-37.
46
Aly Mashar dan Nailal Muna, 2020, “Filsafat Etika Tasawuf Syaikh ‘Abdul Qadir Al-
Jailani: Kajian Etika Salik dalam Kitab Ghunyah li Thalibi Thariqb al-Haqq”, Jurnal Intelektual:
Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman, Volume 10, Nomor 3, Desember 2020. hlm. 274.
dari seorang sufi besar bernama Yusuf al-Hamadani (440 H/1048 M-

535 H/ 1140 M). Pada tahun 528 H Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni

didirikan sebuah madrasah dan ribat di Baghdad yang dijadikan

sebagai tempat tinggal bersama keluarganya dan sekaligus tempat

mengajar murid-muridnya yang juga tinggal bersamanya. 47

Baghdad pada saat itu menjadi pusat keilmuan terbesar di dunia

Islam. Di kota itu berkumpul ribuan ulama dalam berbagai bidang.

Biasanya perjalanan untuk mencari ilmu disesuaikan dengan tingkat

usia pencari ilmu itu. Jika usia sudah memadai, mereka akan pindah

dari negeri mereka meninggalkan keluarga dan kampung mereka untuk

mencari ilmu dan pengetahuan tertentu demi kemaslahatan dan

manfaat yang mereka harapkan sebagai bekal hidupnya. Adapun

sarana dan prasarana yang tersedia pada saat itu tidak sebagus yang

dimiliki oleh para pencari ilmu pada saat sekarang.48

Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni telah bepergian dari negerinya dan

tempat kelahirannya, Jailan, menuju Baghdad tahun 488 H serta

usianya pada saat itu adalah 18 tahun. Seperti yang dijelaskan

sebelumnya, di Baghdad beliau bertemu dengan dengan banyak ulama

terkenal yang ahli dalam berbagai bidang, lalu beliau belajar dari

mereka dan mengambil manfaat dari pengetahuan mereka, sehingga

beliau menjadi seorang yang ahli dalam berbagai bidang ilmu. Adz-

Dzahabi ketika menulis biografinya mengatakan bahwa beliau adalah

‘Abdul Qādir al-Jilāni, Tafsir al-Jilāni, (Kairo: Dār al-Rukni wa al-Maqam, 2009), hlm. 8.
47
48
Abdul Razaq Al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir Jailani, Guru Para Pencari Tuhan, terj.
Aedi Rakhman Saleh, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009), cet. ke-1, hlm. 103-104.
seorang Syaikh imam yang alim, zahid, berpengetahuan luas, teladan,

Syaikhul Islam, ilmunya para wali, dan muhyiddin (penghidup

agama).49

Ketika kembali ke Baghdad beliau berusia lima puluh tahun

lebih. Beliau kembali ke Baghdad pada tahun 521H/ 1127M, dan mulai

memberikan khutbah kepada masyarakat. Para pendengarnya

sedemikian terpesona dengan gaya dan kandungan kuliah-kuliahnya,

sehingga reputasinya tumbuh menyebar ke seluruh lapisan masyarakat.

Beliau memasuki madrasah milik guru lamanya, Al-Mukharrimi,

namun pandangan-pandangannya pada akhirnya terbukti tidak

memadai.50

Pada tahun 528 H, untuk membangun sebuah kediaman serta

wisma tamu (ribath) maka diterapkan sistem sedekah dan infaq, agar

mampu memberikan tempat tinggal yang layak kepada Syaikh dan

keluarganya, juga berupa akomodasi kepada murid-muridnya serta

sebuah tempat untuk orang-orang yang datang dari tempat yang jauh

untuk menghadiri majelisnya. 51

Semasa belajarnya Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni berguru pada

banyak ulama’ besar pada zamannya, diantaranya:52

49
Sa’id bin Musfir al-Qahthani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, terj. Munirul
Abidin, (Jakarta: PT Darul Falah, 2017), hlm. 16.
50
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Tafsir al-Jilāni, (Kairo: Dār al-Rukni wa al-Maqam, 2009), hlm.
51
Zakiyatun Nufus, “Tazkiyah An-Nafs Perspektif Tafsir al-Jailāni karya Syaikh ‘Abdul
Qādir al-Jailāni”, (Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IIQ, Jakarta, 2018), hlm. 61.
52
Muhammad Yahya Al-Tadafi, Qalaidul Jawahir, Mahkota Para Auliyā Syaikh Abdul
Qadir Al-Jailani, Terj. Kasyful Anwar, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 6.
a. Guru pada bidang tasawuf : Syaikh Abu Ya’qub Yusuf bin Ayyub

bin Yusuf bin Husain Al-Wahrah Al-Hamdani

b. Guru pada bidang fiqih dan ushul fiqh : Syekh Abu Al-Wafa’ ibn

Aqil Al-Hambali, Abu Hasan Muhammad ibn Qadhi Abu Ula,

Syekh Abdul Khatab Mahfuzh Al-Hambali, dan Qadhi Abu Sa’id

Al-Mubarak ibn Ali Al-Makhzumi Al-Hambali

c. Guru pada bidang adab : Abi Zakaria At-Tibrizi

d. Guru pada bidang tariqat : Syaikh Abi Khoer Hammad bin Muslim

bin Darowatid Dibbas

e. Guru pada bidang hadits : Sayyid Abu Barakat Thalhah Al-Aquli,

Abu Ana’im Muhammad ibn Ali ibn Maimun Al-Farisi, Abu

Utsman Isma’il ibn Muhammad Al-Ishbihani, Abu Ghalib

Muhammad ibn Hasan Al-Baqillani, Abu Muhammad Ja’far ibn

Ahmad ibn Al-Husaini, Sayyid Muhammad Mukhtar Al-Hasyimi,

Sayyid Abu Manshur, Abdur Rahman Al-Qaz’az dan Abu Qasim,

Ali ibn Ahmad Ban’an Al-Karghi

f. Guru pada bidang ilmu qira’at, tafsir dan syari’at : Abu Zakaria

Yahya ibn Ali at-Tabrizi, Abu Sa’id ibn Abdul Karim, Abu Ana’im

Muhammad ibn Ali ibn Muhammad, Abu Said ibn Mubarak Al-

Makhzumi

Murid-murid Syekh Abdul Qadir Al-Jilani yang terkenal,

menonjol, dan mempunyai pengaruh besar, diantaranya :


a. Al-Qadhi Abu Mahasin Umar bin Ali bin Hadhar Al-Quraisyi. Ia

adalah seorang hafidz al-Qur’ān, fakih, dan ahli hadits. Ia pernah

menjabat sebagai qadhi pada masa hidupnya. Wafat pada tahun 575

H.

b. Taqiyuddin Abu Muhammad Abdul Ghani bin Abdul Wahid bin

Ali bin Surur Al-Maqdisi. Ia adalah seorang hafidz al-Qur’ān, jujur,

ahli ibadah, ahli atsar, dan selalu beramar ma’ruf nahi munkar. Ia

tinggal di Baghdad sekaligus berguru kepada Syaikh ‘Abdul Qādir

al-Jilāni selama 50 malam. Ia wafat pada tahun 600 H.

c. Muwaffiquddin Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin

Muhammad bin Qadamah Al-Maqdusi. Ia seorang yang dalam

bidang fiqih dan tokoh mazhab Hambali di Damaskus. Ia pernah

tinggal bersama Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni selama 50 malam.

Selain para guru dan muridnya, Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni

memiliki beberapa Anak laki-laki yang berpengaruh dalam dunia

pendidikan53 :

a. Abdul Wahab bin Abdul Qādir al-Jilāni (522-593 H.). Ia adalah

seorang yang ahli dalam bidang fiqih, yang menguasai

perbandingan mazhab, orator, humoris, dan berwibawa. Abdul

Wahab diberi amanah oleh sang ayah untuk mengajar fiqih di

Madrasahnya

53
Dalam buku Mahkota Para Aulyā diriwayatkan bahwa syaikh Abdul Qadir Al-Jīlānī
mempunyai 4 orang istri pada usia 51 tahun dan mempunyai keturunan sebanyak 49 anak, laki-laki
berjumlah 27 dan anak perempuan berjumlah 22 anak. Lihat Muhammad Yahya Al-Tadafi,
Mahkota Para Auliyā..., Terj. Kasyful Anwar, hal. 103.
b. Abdul Razaq bin Abdul Qādir al-Jilāni (528-593 H.). Ia adalah

seorang yang faqih dan ahli dalam bidang hadits

c. Ibnu Rajab bin Abdul Qādir al-Jilāni (521-593 H.). Ia adalah

seorang yang ahli dalam bidang fiqih.

d. Ibrahim bin Abdul Qādir al-Jilāni (508-600 H.) Ia adalah seorang

perawi hadits

e. Musa bin Abdul Qādir al-Jilāni (530-618 H.). Bisa dikatakan ia

sebagai pelaku hidup sufistik.

f. Yahya bin Abdul Qādir al-Jilāni (550-600 H.). Ia adalah anak

bungsu dari Syekh Abdul Qadir.54

3. Kondisi Sosial, Politik, dan Ilmiah

Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni adalah seorang tokoh besar

spiritual yang lahir pada pertengahan masa Daulah Abbasiyah IV atau

Bani Saljuk yang tengah dilanda pergolakan (baik dari dalam maupun

dari luar) dan persaingan ideologis yang hebat, sehingga

mengakibatkan dehumanisasi, despiritualisasi, dan destrukturalisasi.

Namun, Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni tumbuh di lingkungan yang

penuh dengan kemajuan, baik ilmu pengetahuan, intelektualitas,

maupun kemasyarakatan.55

Baghdad sebagai pusat kerajaan Islam pada saat itu masa

runtuhnya kekuasaan Bani Buwaihi dari kelompok Syi’ah dan

54
Muhammad Yahya Al-Tadafi, Mahkota Para Auliyā..., Terj. Kasyful Anwar, hal. 105-
111.
55
M. Zainuddin, Karomah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2004), hlm. 13.
datangnya penguasa Saljuk menguasai Baghdad. Lalu berdirilah

kerajaan Sunni, yaitu pada masa khalifah Abbasiyyah al-Mustadzir

Billah. Pada masa itu banyak sekali fitnah dan pertentangan antar

penguasa Saljuk.56

Pada masa kerajaan Abbasiyyah, Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni

tumbuh menjadi remaja. Para sejarawan membagi Daulah Abbasiyyah

menjadi 3 masa, dimulai dengan berdirinya Daulah Abbasiyyah tahun

123 H, hingga runtuhnya pada tahun 565 H.

Masa Pertama (142-334), yaitu masa para penguasa

Abbasiyyah menguasai pemerintahan yang berlangsung hingga 334 H

yaitu hingga Daulah Buwaihiyah menguasai pemerintahan.

Masa Kedua (142-334 H), yaitu masa Daulah Buwaihiyah

berkuasa sehingga Daulah Abbasiyyah tinggal nama saja. Masa ini

berlangsung hingga tahun 447 H yaitu hingga Daulah Salajiqah (Bani

Saljuk) berkuasa.

Masa Ketiga (447-656 H), yaitu masa Bani Saljuk berkuasa,

sementara para khalifah Abbasiyyah hanya tinggal nama. Hal ini

berlangsung hingga tahun 656 H, yaitu masa berakhirnya Daulah

Abbasiyyah.57

Secara umum pada masa-masa pemerintahan tersebut telah

terjadi kekeruhan politik karena adanya persaingan yang ketat antara

56
Sa’id bin Musfir al-Qahthani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, terj. Munirul
Abidin, (Jakarta: PT Darul Falah, 2017), hlm. 5.
57
Mohamed Fadil Al-Jailani Al-Hasani, Biografi Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, (Depok:
Keira Publishing, 2016), hal. 40-49.
para khalifah di Baghdad dan kelompok Bathiniyyah di Mesir. Situasi

politik semacam ini memberikan pengaruh terhadap diri Syaikh

‘Abdul Qādir al-Jilāni dan kepribadiannya sehingga dia lebih

mengutamakan diri untuk menghabiskan waktunya dalam

perkumpulan ilmu, pendidikan, rohani serta menzuhudkan manusia

dari perkara-perkara dunia, serta melakukan amar ma’ruf nahi

munkar dalam situasi kondisi yang carut-marut, dimana usaha yang

dilakukan dianggap usaha dalam berjihad.

Hal ini juga yang mempengaruhi kejiwaan dan kepribadian

Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni, sehingga beliau mengutamakan

membentuk halaqah (pengajian) ilmu, penyucian jiwa, dan zuhud

terhadap urusan dunia. Disamping upayanya melakukan amar ma’ruf

nahi munkar karena melakukan hal seperti ini pada masa huru-hara

pahalanya seperti jihad di jalan Allah SWT.58

Kehidupan yang diwarnai kekacauan politik, banyak pergantian

penguasa menyebabkan adanya bentuk kehidupan sosial yang

bervariatif dan tidak berpegang kepada satu pegangan yang sama.

Masyarakat hidup dalam keperihatinan, kelaparan, harga-harga

meningkat dan banyak terjadi pembunuhan. Masyarakat pada masa ini

terbagi menjadi tiga tingkat:

58
Mohamed Fadil Al-Jailani Al-Hasani, Biografi Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, (Depok:
Keira Publishing, 2016), hal 50.
Tingkat pertama, para penguasa, mereka keturunan Bani Abbas

di Baghdad, hidup dalam kesenangan, syahwat, larut dalam kelezatan

dan mendapatkan kemewahan.

Tingkat kedua, para ulama, mereka memiliki peran yang besar

dalam mendidik umat yang menyeru ke dalam kebenaran serta

mengembalikan rasa percaya diri masyarakat pada umumnya.

Tingkat ketiga, manusia umum. Mereka inilah orang-orang yang

banyak mengalami keperihatinan karena terjadinya peperangan-

peperangan, sisi kehidupan yang kacau dan banyaknya kerusakan

yang menyebabkan mereka lari dari perhatian terhadap tuntutan

kehidupan primer mereka.

Kondisi semacam inilah telah menyebabkan menyebarnya

kemunafikan, kemerosotan moral serta runtuhnya nilai-nilai

kehidupan sehingga banyak di antara mereka yang terpedaya angan-

angan yang hampa. Pada masa itu juga tempat-tempat kesenangan dan

pusat kemaksiatan seperti panti-panti pijat, rumah-rumah border dan

biduan-biduan wanita merajalela.

Namun, masa kehidupan Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni termasuk

masa yang terbaik dari sisi ilmiahnya karena di dalamnya banyak para

ulama yang mulia, bukan hanya di Baghdad sebagai pusat keilmuan

saat itu, tetapi juga di seluruh dunia Islam. Para ulama mempunyai

peran besar dalam memberikan pengaruh terhadap pemikiran Islam

dan perpustakaan Islam dengan banyaknya buku-buku karangan yang


bermanfaat yang masih tetap dikaji oleh para ulama hingga

sekarang.59

4. Wafat dan karya-karyanya

Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni wafat pada malam Sabtu tanggal

delapan Rabi’ul Akhir tahun 561 H setelah maghrib dan jenazahnya

dimakamkan di sekolahannya dengan dihadiri oleh manusia yang tidak

terhitung jumlahnya. Makamnya di Baghdad sampai saat ini masih

ramai dikunjungi orang. Dikatakan bahwa salah satu sifatnya yang

unik adalah ia dapat membedakan sufi yang palsu dan yang asli hanya

dengan mencium baunya.

Sepeninggalnya sang wali, para putra dan muridnya mendirikan

suatu thariqah, untuk menyuburkan spiritualitas Islam dan ajaran-

ajaran Islam di kalangan umat dunia, yakni Thariqoh Qadiriyyah, yang

hingga kini terkenal taat kepada prinsip-prinsip Syari’at. Thariqah ini

sangat berjasa bagi kebangkitan dunia Islam dan sumbangannya

terhadap tasawuf tak terhingga.60

Ibnu an-Najjar berkata, “Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni wafat

pada masa pemerintahan Al-Mustanjid Billah Abul Muzhaffar Yusuf

bin Al-Muqtafa li Amrillah bin al-Mustazhhar Billah al-Abbasi

rahimahumullah.”

59
Sa’id bin Musfir al-Qahthani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, terj. Munirul
Abidin, (Jakarta: PT Darul Falah, 2017), hlm. 8-9
60
Abdul Qadir Al-Jailani, Futuh Al-Ghaib, terj. Syamsu Basarudin, (Bandung, Penerbit
Mizan, 1981), hal. 37.
Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni banyak menyibukkan diri dalam

memberikan nasihat dan mengajar. Beliau menghabiskan sebagian

besar waktunya untuk kepentingan ilmu dan pengajaran sehingga

perhatiannya kepada tulis-menulis dan karya ilmiah sangat terbatas.

Seandainya beliau ingin menulis ilmu dan pengetahuannya, seperti

ulama-ulama lain yang sezaman dengannya atau yang hidup sebelum

dan sesudahnya, tentu beliau meninggalkan warisan keilmuan yang

besar dan bermanfaat dalam ilmu-ilmu keahliannya kepada kita.61

Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni mempunyai karya tulis yang

banyak sekali dan bermanfaat bagi umat. Beliau mengarang karya-

karya yang tersebar dalam bidang usul dan furu’ serta dalam hal ahwal

dan hakikat. Sebagian dari karyanya sudah tercetak dan sebagian lagi

masih dalam bentuk manuskrip atau bahkan dalam bentuk foto digital.

Karya paling mashur yang dicatat oleh Muhammad Fadil antara lain

adalah:

a. Al-Fawātih Al-Ilāhiyyah wa Al-Mafātīh Al-Ghaybiyyah Al-

Muwadhihah li Al-Kalim Al-Ilahiyyah Al-Qur’āniyyah wa

Al-Hikam Al-Furqāniyyah

b. Al-Salawat wa Al-Aurad

c. Al-Rasāil

d. Yawāqīt Al-Hikam

e. Al-Dīwan

61
Sa’id bin Musfir al-Qahthani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, terj. Munirul
Abidin, (Jakarta: PT Darul Falah, 2017), hlm. 27.
f. Sir Al-Asrār

g. Asrār Al-Asrār

h. Jalā’ Al-Khātir

i. Al-Amr Al-Muhakam

j. Usūl Al-Saba’

k. Usul Al-Dīn

l. Al-Mukhtasar fī ‘Ulūm Al-Dīn

m. Hizb Al-Raja’ wa Al-Intihā’

n. Du’a’ Al-Basmalah

o. Al-Gunyah li Tālibi Tarīq Al-Haq

p. Al-Fath Al-Rabbani wa Faydu Al-Rahmani

q. Futūh Al-Ghaib

r. Hizb Abd Al-Qādir Al-Jīlānī

s. Al-Dalā’il Al-Qādiriyyah

t. Wird Al-Syaikh Abd Al-Qādir Al-Jīlānī

u. Al-Tuqus Al-Lahutiyyah

v. Bashāir Al-Khairat62

B. Metodologi Tafsir Al-Jailānī karya Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni

1. Latar Belakang dan Motivasi Penulisan

Kitab tafsir al-Jilāni merupakan salah satu karya Syaikh ‘Abdul

Qādir al-Jilāni, beliau mengatakan bahwa tafsir ini tidaklah sama

dengan kitab-kitab tafsir lainnya yang berpedoman kepada keilmuan

62
Aik Ikhsan Anshori, “Tafsir Ishari, Pendekatan Hermeneutika Sufistik Tafsir Syaikh ‘Abd
Al-Qadir Al-Jilani”, (Ciputat: Ciputat Mega Mall, 2012), cet. 1, hal. 102-103.
dan pemahaman saja, tetapi tafsir ini banyak berpegang teguh kepada

ilham-ilham yang telah di terimanya yang dapat membuat jiwa-jiwanya

kembali dan meningkatkan ketaqwaan dari berbagai sisi kehidupan.63

Tafsir ini merupakan salah satu karya besar Syaikh ‘Abdul

Qādir al-Jilāni dalam bidang tafsir. Kendati demikian, tafsir ini

menyimpan berbagai misteri yang masih belum terkuak, pro dan kontra

penisbatan nama al-Jilāni atas tafsir ini juga masih belum final,

walaupun sudah terdapat bukti-bukti otentik atas penisbatan tafsir al-

Jilāni kepada al-Jilāni.

Dalam muqaddimah tafsir al-Jilāni tedapat keterangan bahwa

Syaikh Fadhil Jailani al-Hasani al-Tailani al-Jimazraq yang menurut

literatur yang ada adalah cucu ke 25 dari Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni,

sekaligus pentahqiq dari al-Jilāni menyatakan bahwa Fadhil Jailani

adalah orang yang pertama kali menemukan tafsir al-Jilāni yang

sebelumnya hilang kemudian mentahqiqnya. Fadhil Jailani al-Hasani

lahir di desa Jimzarqa pada tahun 1954 M, dibesarkan di Qurtalan,

wilayah yang terkenal dengan ulama di daerah Turki Timur dan

bermukim di Istanbul, daerah yang makmur.64

Tidak ada keterangan secara pasti yang menjelaskan latar

belakang Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni dalam menulis tafsir al-Qur’ān.

Sebagaimana karya-karyanya yang lain, kebanyakan karya Syaikh

63
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Tafsir al-Jilāni, terj. Muhammad Fadhil Jailani Al-Hasani,
(Jakarta: Salima Publika dan Markaz Al-Jailani, 2013), cet. ke-1, hlm. 21-22.
64
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Tafsir al-Jilāni, (Kairo: Dār al-Rukni wa al-Maqam, 2009), hlm.
23.
‘Abdul Qādir al-Jilāni ditulis oleh murid-muridnya, kecuali beberapa

karya yang ditulis langsung oleh beliau.

Berdasarkan keterangan yang ada, hal yang pasti adalah latar

belakang Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni dalam menulis kitab-kitabnya

disebabkan adanya kekecewaan terhadap keadaan atau masa ketika

beliau hidup karena banyaknya kemunafikan dan kesenangan duniawi

yang merajalela, sehingga beliau mengasingkan diri dan gencar

memberikan nasihat-nasihat beraliran sufi di setiap majelis yang

diadakannya. Hal inilah sepertinya juga menjadi latar belakang

penulisan kitab-kitabnya termasuk tafsir al-Jilāni.

Tafsir ini dianalisa selama kurun waktu 30 tahun oleh Syaikh

Muhammad Fadhil serta orang yang menghimpun tafsir ini

menamakannya dengan tafsir al-Jilāni.65 Adapun terkait penamaannya

sebagai tafsir al-Jilāni itu semata-mata merupakan gagasan dari

penelitiannya, beliau takut jika suatu ketika karya ini dicuri oleh

peneliti gadungan yang banyak tersebar di Arab, sehingga usaha beliau

untuk memunculkan karya-karya Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni yang

masih terkubur akan terganggu dan diselewengkan untuk tujuan

materialistis belaka dan sebagai mata pencaharian semata.

2. Sumber Penafsiran

Sumber adalah bahan utama yang digunakan seorang mufassir

dalam menafsiri kitab tafsirnya. Para mufassir membagi tafsir dari

65
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Tafsir al-Jilāni, (Kairo: Dār al-Rukni wa al-Maqam, 2009), hlm.
xvi.
bahan utama yang digunakan dalam menafsiri al-Qur’ān menjadi tiga

macam:

Pertama, tafsir bil Ma’tsur adalah menjelaskan makna-makna ayat

al-Qur’ān dan menguraikannya dengan al-Qur’ān, sunnah nabawiyah

yang shahih serta pendapat para sahabat Nabi.

Kedua, tafsir bil Ra’yi adalah menafsirkan al-Qur’ān dengan

ijtihad setelah mufassir memahami bahasa Arab, menguasai makna-

maknanya, pola-pola bahasa Arab, metode-metode bahasa Arab dalam

mengungkapkan kalimat serta menguasai berbagai sarana dan ilmu

yang diperlukannya. Dalam menafsirkan ayat bertumpu pada

pemahaman terhadap bahasa Arab, penguasaannya terhadap hal ihwal

bangsa Arab, ilmu-ilmu dan syarat-syarat penafsiran.

Ketiga, tafsir al-Isyāri adalah mentakwilkan al-Qur’ān dengan

makna yang bukan makna lahiriyahnya karena ada isyarat samar yang

diketahui oleh para penempuh jalan spiritual dan tasawuf serta mampu

memadukan antara makna-makna itu dengan makna lahiriyah yang juga

dikehendaki oleh ayat yang bersangkutan.66

Dari segi sumber penafsirannya, tafsir al-Jilāni termasuk dalam

kategori tafsir bil Iqtirani. Hal ini karena dalam menafsirkan ayat al-

Qur’ān, al-Jailani memadukan antara riwayat yang kuat dan sahih serta

hasil ra’yi yang sehat,67 riwayat yang disebutkan al-Jilāni dalam

66
Aramdhan Kodrat Permana, “Sumber-Sumber Penafsiran Al-Qur’an”, Jurnal Ahwal Al-
Syakhsiyyah, Volume 5, Edisi 1 Tahun 2020, hlm. 92.
67
Annisa Nur Fauziah dan Deswanti Nabilah Putri, “Cara Menganalisis Sumber Tafsir Al-
Qur’an”, Jurnal Iman dan Spiritualitas, Vol. 2, No. 4, 2022, hlm. 537.
tafsirnya kebanyakan terkait dengan asbabunnuzul, meskipun demikian,

dalam menyebutkan riwayat, al-Jilāni tidak menyertakan sanad yang

lengkap.

3. Metode Penafsiran

Tafsir al-Jilāni termasuk dalam tafsir yang menggunakan

metode ijmali, yaitu menafsirkan ayat al-Qur’ān secara global, tidak

mendalam dan panjang lebar.68 Selain menjelaskan secara global

(ijmali), al-Jailani juga hanya mendeskripsikan tanpa mentarjih atau

menghadirkan pendapat mufassir yang lain (sebagai indikasi metode

bayani).

Dari segi tertib ayat yang ditafsirkan, tafsir al-Jailānī tergolong

tafsir yang menggunakan metode tahlili. Tahlili berarti metode yang

menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’ān dari seluruh aspeknya

berdasarkan urutan ayat dalam al-Qur’ān, mulai dari mengemukakan

arti kosa kata, munasabah (penyesuaian antar ayat), antar surah,

asbabunnuzul, dan lainnya.69 Metode tahlili sangat terlihat jelas pada

Tafsir al-Jilāni, yang mana al-Jailani menafsirkan al-Qur’ān lengkap 30

juz sesuai dengan urutan mushaf ‘utsmani.

4. Corak Penulisan

Corak atau warna tafsir adalah orientasi mufassir yang

dipengaruhi oleh kecenderungan, minat dan bidang yang dikuasai oleh

68
Hujair A.H. Sanaky, “Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna
atau Corak Mufassirin)”, Al-Mawarid, Edisi XVIII, 2008, hlm 572.
69
Faisal Amin, “Metode Tafsir Tahlili : Cara Menjelaskan Al-Qur’an dari Berbagai Segi
Berdasarkan Susunan Ayat”, Kalam, Volume 11, Nomor 1, Juni 2017, hlm. 245.
masing-masing mufassir. Perjalanan kehidupan, pendidikan,

lingkungan, kondisi sosial masyarakat dan peristiwa yang terjadi di

sekitar kehidupan mufassir juga dapat mempengaruhi corak suatu tafsir.

Corak tafsirlah yang membedakan satu tafsir dengan tafsir lainnya. 70

Corak atau natijah dari sebuah tafsir adalah hal yang tidak dapat

dipisahkan dari sebuah tafsir. Corak tafsir merupakan aspek yang sangat

bergantung pada kecenderungan atau bidang keilmuan yang dikuasai

oleh mufassir. Tafsir al-Jilāni adalah tafsir yang dikarang oleh seorang

sufi terkenal, yakni Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni. Mendengar nama

pengarangnya saja, kita sudah dapat menebak bahwa corak yang

mendominasi tafsir ini adalah corak sufi (isyari).71

Peran Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni sebagai seorang penasihat

dan guru, menjadikan beliau banyak memberikan nasihat-nasihat

kepada masyarakat sekitarnya. Perkataannya banyak mengarah kepada

hal-hal ketentraman jiwa, kedekatan kepada Allah dan ajaran-ajaran-

Nya. Sehingga hal ini sangat berpengaruh kepada pola pikir dan gaya

Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni dalam menulis kitab tafsirnya dengan

nuansa sufinya yang sangat kental, karena itu corak tafsir al-Jilāni

adalah bercorak sufi.72

70
Abdul Syukur, “Mengenal Corak Tafsir Al-Qur’an”, El-Furonia, Vol. 01, No. 01,
Agustus 2015, hlm. 85.
71
Sansan Ziaul Haq, Eksotisme Tafsir Ishari: Studi atas Metode Tafsir Al-Jailânî, (Ciputat:
Cinta Buku Media, 2016), cet ke-1, hal. 78.
72
Menurut Quraish Shihab, ada enam corak penafsiran yang sudah umum dikenal, yaitu; (1)
corak adabi ijtima’i, (2) corak filsafat, (3) corak ilmiah, (4) corak fiqhi, (5) corak sastra dan (6)
corak sufi yang terbagi menjadi dua, corak sufi an-nadzari dan corak sufi alisyari atau al-faidhi,
lihat Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1999), hal. 72.
Dalam muqaddimah tafsir al-Jilāni, Fadhil Jailani menyebutkan

bahwa tafsir al-Jilāni mempresentasikan tasawuf yang hakiki, murni,

bersih, mengikuti al-Qur’ān dan as-Sunnah, dan dari sini tampaknya

dalam menulis tafsirnya, Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni menggunakan

manhaj tasawufnya dan jumhur ulama memberi kesaksian bahwa

manhaj Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni ini adalah manhaj yang luhur.73

Penafsiran sufi isyari yang digunakan oleh Syaikh ‘Abdul Qādir

al-Jilāni dalam menafsirkan ayat al-Qur’ān sangat terlihat jelas. Hampir

semua ayat yang ditafsirkannya selalu dihubungkan dengan ketauhidan

yang mana ketauhidan merupakan pokok ajaran tasawuf.

5. Sistematika Penulisan

Sebagaimana tertulis dalam muqaddimahnya, tafsir ini diberi

judul “Al-Fawātih Al-Ilāhiyyah wa Al-Mafātīh Al-Ghaibiyyah Al-

Muwadhdhihah li Al-Kalim Al-Qur’āniyyah wa Al-Hikam Al-

Furqāniyyah” dikenal dengan judul tafsir al-Jilānī, pengarangnya

adalah Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni. Tafsir ini baru terkumpul

manuskripnya dan tercetak pada tahun 2009 M atau abad ke-15 H atas

usaha pengumpulan dari berbagai perpustakaan di berbagai negara oleh

keturunan beliau yang ke-25 yaitu Syaikh Muhammad Fadhil al-

Jailani. Tafsir ini terdiri dari 6 jilid yang dicetak langsung dari al-Jailani

Center, yang berpusat di Turki. Jailani Center adalah sebuah Yayasan

73
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Tafsir al-Jilāni, (Kairo: Dār al-Rukni wa al-Maqam, 2009), hlm.
27.
yang mensosialisasikan ajaran dan pemikiran Syaikh ‘Abdul Qādir al-

Jilāni dari berbagai aspek.

Tentang sistematika penulisan tafsir al-Jilāni, beliau mengawali

penafsiran dengan penyebutan nama surah, sebelum menafsirkan beliau

memberikan pembukaan surah yang berisi ulasan tentang bahasan surah

secara global di setiap surah yang akan ditafsirkan. Kemudian Syaikh

‘Abdul Qādir al-Jilāni mulai menafsirkan dari basmallah hingga ayat

terakhir sesuai tartib mushaf ‘utsmani. Pada akhir surah terdapat

penutup surat yang berisi tentang ringkasan keterangan yang ada di

dalam surat yang telah ditafsirkan serta menyertakan do’a pada setiap

penutup surat.74

6. Karakteristik Tafsir

Masing-masing tafsir tentu memiliki karakteristik tersendiri,

karena hal inilah yang menunjukkan perbedaan antara satu tafsir dengan

tafsir lainnya. Karakteristik yang dimiliki tafsir al-Jilāni adalah:

a. Memberikan pembukaan yang berisi uraian global tentang

kandungan surah yang akan ditafsirkan dan memberikan penutupan

yang berisi ringkasan tentang kandungan surah yang ditafsirkan.

b. Pada setiap surah memberikan muqaddimah yang disebut dengan

istilah “Pendahuluan surah” (Fatihah As-Surah), lalu menutupnya

dengan bagian penutup yang disebut dengan istilah “Penutup surah”

(Khātimah As-Suwār).

74
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Tafsir al-Jilāni, (Kairo: Dār al-Rukni wa al-Maqam, 2009), hlm.
421-423.
c. Memberikan penafsiran yang berbeda kepada setiap lafadzh

Basmallah sesuai dengan makna yang terkandung di dalam surah

secara keseluruhan pada setiap awal surah.

d. Memberikan ringkasan dari kandungan isi surah yang bersangkutan

dan juga memberikan do’a-do’a yang ditujukan kepada kaum

muslimin pada akhir penafsiran di setiap akhir surah.

e. Pada ayat-ayat tentang hukum (ayat al-Ahkam), Syaikh ‘Abdul Qādir

al-Jilāni menyebutkan secara singkat mengenai hukum fikih, tafsir

ini tampak mentarjih sebagian pendapat ulama dan mendhaifkan

serta menshahihkan sebagian riwayat secara tersirat, singkat dan

dengan redaksi yang hemat, tidak seperti yang banyak dilakukan

para mufassir lain. Hal ini menunjukan bahwa Syaikh ‘Abdul Qādir

al-Jilāni memiliki pengetahuan ilmu hadits yang sangat mapan.

f. Ketika membahas ayat-ayat hukum dijelaskan juga hikmah-hikmah

secara ringkas yang terkait dengan masalah hukum pada ayat hukum

tersebut.

g. Terkadang terdapat pembahasan tentang qira’at yang dimasukkan

dalam pembahasan tambahan dalam penafsirannya. Berkenaan

dengan masalah qira’at, Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni tidak selalu

mengikuti qira’at Imam Hafsh dan terkadang menggunakan

beberapa jenis qira’at sekaligus tanpa menyebut sumbernya.


BAB III

TINJAUAN UMUM MENGENAI QITĀL

A. Pengertian Qitāl

Qitāl berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti perang. Dalam

bahasa Indoensia perang memiliki arti sebuah pertempuran yang terjadi

antar suku, bangsa, negara dan sebagainya. Pertempuran tersebut terjadi

antar pasukan dengan menggunakan senjata. Selain qitāl, terdapat

beberapa kata memiliki makna hampir sama, di antaranya harb (war),

sira’ah (combat), ma’rakah (battle), jihad (crusade), dan ghazwah

(agretion). Adapun penggunaan kata qitāl tersebut karena lebih signifikan

dalam al-Qur’ān.75

Qitāl serta derivasinya dalam al-Qur’ān disebutkan sebanyak 157

kali. Sedangkan penggunaan kata qitāl sendiri dalam ayat-ayat al-Qur’ān

disebutkan sebanyak 9 kali dalam 6 surah yang berbeda.76 Qitāl


َ َ
merupakan bentuk mashdar dari kata ‫ قات َل‬- ‫ ُي َقا ِت ُل‬atau lebih tepatnya tsulatsi

َ
mazid satu huruf bab fi’al dari kata ‫ ق َت َل‬yang memiliki arti tiga macam,

yang pertama berkelahi melawan seseorang, yang kedua memusuhi

(adaahu), dan ketiga memerangi musuh (haarabahuu al-adaa).77

Adapun Ibnu Faris berpendapat bahwa qitāl memiliki dua arti.

Pertama izlal yang memiliki arti merendahkan, melecehkan, dan

75
Muhammad Suaib Tahir, Pendekatan Makna Al-Qital dan Batasan Etiknya Dalam Al-
Qur’an, 198
76
Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Quran al-Karim,
(Qahirah: Dār al-Hadis, 1364 H), hlm. 533-536.
77
Ibn Manzur, Lisân al-‘Arab, (Qâhirah: Dār al-Ma’ārif, t.t.), Jilid. V, hlm. 3531
menghina. Kedua imatah yang berarti mematikan dan membunuh.78 Kata
َ
qitāl merupakan salah satu bentuk derivasi dari kata ‫ ق َت َل‬yang memiliki

beberapa arti seperti: membunuh, mematikan, mencampur, menghilangkan

lapar dan haus, menolak keburukan, mengutuk, menghina, melecehkan,

dan merendahkan.79

Para tokoh mufassir dan yang lain juga memiliki pendapat masing-

masing mengenai arti kata qitāl. Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya al-

Jami’ li Ahkâm al-Qur’ān mengartikan qitāl sebagai berperang melawan

musuh-musuh Islam seperti dari kalangan orang-orang kafir.80 Begitu juga

Jamaluddin al-Qashimi berpendapat bahwa qitāl adalah melawan musuh

Islam yang berarti berjihad menghadapi mereka dengan tujuan agar dapat

menghancurkan, menundukkan, memaksa, ataupun melemahkan mereka.81

Dari paparan di atas, maka dapat difahami bahwa qitāl merupakan

sebuah pertempuran yang terjadi baik antar suku, bangsa, dan negara yang

dilakukan dengan senjata dengan tujuan untuk melemahkan musuh,

bahkan dampak besarnya adalah dapat mengakibatkan musuh terbunuh.

Berkaitan dengan qitāl, maka tidak lengkap bila tidak membahas

jihad juga, karena keduanya merupakan sesuatu yang berkaitan, serupa

namun tidak sama. Peneliti membahas jihad di sini agar tidak salah dalam

78
Abī al-Ḫusain Aẖmad Ibn Faris Ibn Zakariyya, Mu’jam Maqāyis al-Lugah, Tahqīq ‘Abd
As-Salâm Muẖammad Ḫarūn (Beirut: Dār al-Fikr, 1979), Juz. V. hlm. 56.
79
Ibrahim Musthafa, al-Mu’jam al-Wasith, (Mesir: Maktabah asy-Syuruq ad-Daūliyyah,
t.t.), Jilid II, h.715. Lihat juga Lilik Ummu Kaltsum, Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat
Ahkam (Jakarta: UIN PRESS, 2015), hlm. 155.
80
Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, (Kairo: Dār al-Kutub al-Mishriyyah, 1964).Juz.
III, h.38.Lihat juga Lilik Ummu Kaltsum, Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam,
(Jakarta: UIN PRESS, 2015), hlm. 156.
81
Al-Qasimi, Mahasin at-Ta’wil (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1418), Juz. II, hlm. 99.
memahami antara qitāl dengan jihad. Jihad dalam derivasinya di dalam al-

Qur’ān disebutkan sebanyak 41 kali. Kata juhud disebutkan sebanyak 1

kali dalam al-Qur’ān, kemudian dengan kata ‫ ُج ْهد‬sebanyak 5 kali dalam al-

Qur’ān, serta kata jihad beserta derivasinya sebanyak 35 kali disebutkan


َْ
dalam al-Qur’ān.82 Jihad berasal dari kata ‫ ال ُج ْه ُد‬yang berarti mengeluarkan

َْ
suatu usaha secara maksimal. Jihad juga berasal dari kata ‫ ال َج ْه ُد‬yang berarti

kesungguhan dalam melakukan perbuatan di atas kemampuan.83 Maka dari

kata tersebut terbentuklah kata ‫ َج َاه َد‬- ‫ ُي َج ِاه ُد‬yang menghasilkan kata jihad

sebagai mashdarnya. Jihad di sini dapat bermakna bersungguh-sungguh

dalam berusaha melakukan sesuatu yang berkaitan dengan agama Allah.

Adapun menurut istilah jihad adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh

untuk meluhurkan agama Allah di atas bumi dalam menegakkan nilai-nilai

kemanusiaan dengan berbagai cara, termasuk perang. 84 Sehingga dapat

dipahami bahwa jihad merupakan upaya yang sungguh-sungguh dalam

melakukan suatu perjuangan di jalan Allah, termasuk juga membela Islam.

Namun belakangan ini jihad hanya dimaknai sempit yaitu dengan

berperang. Sehingga apapun yang berkaitan dengan jihad selalu dimaknai

perang. Pada dasarnya, makna ini memang digunakan dahulu ketika pada

zaman Rasulullah, para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in, karena jihad

82
Lilik Ummu Kaltsum, Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Jakarta: UIN
PRESS, 2015), hlm. 184-185.
83
Jamal al-Din ibn al-Manzhur, Lisan al-Lisân Tahdhib al-Lisân al-‘Arab, I (Beirut: Dār al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), hlm. 212
84
‘Aly Ahmad al-Jurjawy, Hikmat al-Tashri‘ wa Falsafatuha, (Beirut: Dār al-Fikr, 1984),
hlm. 330.
sangat identik dengan peperangan (qitāl). Namun bila makna ini

digunakan pada zaman sekarang maka konteksnya sudah berbeda, karena

perubahan zaman yang sudah berkembang dan modern. Sehingga jihad

dalam konteks sekarang dapat berupa upaya yang sungguh-sungguh dalam

melakukan perjuangan di jalan Allah baik berupa membela Islam dengan

perbuatan-perbuatan baik.85

Qitāl dan jihad merupakan sesuatu yang berbeda. Qitāl termasuk

rangkaian dari jihad, karena sesuatu yang berkaitan dengan qitāl sudah

termasuk jihad. Sedangkan jihad adalah sesuatu yang umum karena

memiliki banyak makna, salah satu maknanya ialah qitāl. Sesuatu yang

berkaitan dengan jihad belum tentu termasuk qitāl. Sehingga qitāl dan

jihad merupakan sesuatu yang tidak dapat disamakan.

Qitāl dalam pelaksanaannya merupakan peperangan dalam konteks

Islam yang masih menerapkan aturan, termasuk menghargai

perikemanusiaan dan tidak melampaui batas. Berbeda dengan Harb yang

dalam definisinya merupakan peperangan yang dilakukan secara membabi

buta tanpa menghiraukan adanya aturan, melanggar perikemanusiaan serta

bersifat habis-habisan.86 Peperangan dalam Islam tidak dilakukan secara

serta merta atau langsung menyerang pihak musuhnya, melainkan

peperangan dalam Islam bersifat defensif. Maksudnya adalah perang yang

dilakukan untuk mempertahankan atau membela diri karena adanya

85
Suhaimi, “Reinterpretasi Dan Reformulasi Makna Jihad dan Qital”, Jurnal El-Furqania,
Volume 04, Nomor 01, Februari 2017, hlm. 3.
86
Abdullah al-Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Have,
1996), Vol IV, hlm. 1395.
penyerangan. Sehingga pembelaan ini dilakukan karena berkaitan dengan

persoalan akidah dan keyakinan. Berbeda dengan perang yang bersifat

ofensif, yaitu perang yang dilakukan dengan melakukan penyerangan

terlebih dahulu.87

B. Sejarah Qitāl

Pada konteks sejarahnya dalam al-Qur’ān, ayat-ayat tentang

peperangan atau qitāl terbagi menjadi 2 periode yakni periode Mekkah dan

Madinah. Pada periode Mekkah ini, perang atau jihad yang diperintahkan

belum berbentuk perang secara fisik, melainkan dengan cara bersabar dan

memaafkan. Karena pada awal-awal keislaman Rasulullah dan umat Islam

di Mekkah masih sangat sedikit sehingga tidak memungkinkan apabila

melakukan peperangan. Jihad atau perang pada masa ini dilakukan dengan

bersabar dan memaafkan. Hal ini sesuai dengan ayat al-Qur’ān surah al-

Baqarah ayat 109 yang berbunyi:

َْ ۚ ُ ُ ْۢ ُ َ َ ْ َ َ
‫َو َّد ك ِث ْير ِم ْن ا ْه ِل ال ِك ٰت ِب ل ْو َي ُر ُّد ْونك ْم ِم ْن َب ْع ِد ِا ْي َم ِانك ْم ك َّفا ًرا َح َس ًدا ِم ْن ِع ْن ِد ان ُف ِس ِه ْم‬
ُ ٰ َ ‫َّ ه‬ َ ُ ‫ْْۢ َ ْ َ َ َ َّ َ َ ُ ُ ْ َ ُّ َ ْ ُ ْ َ ْ َ ُ ْ َ ه َ ْ َ ه‬
‫اّٰلل َعلى ك ِل‬ ‫اّٰلل ِبا ْم ِر ٖه ۗ ِان‬ ‫ِمن بع ِد ما تبين لهم الحق ۚ فاعفوا واصفحوا حتى يأ ِتي‬
َ َ
‫ش ْي ٍء ق ِد ْير‬
Artinya: “Banyak di antara Ahlul kitab menginginkan agar mereka
dapat mengembalikan kamu setelah kamu beriman menjadi kafir
kembali karena rasa dengki dalam diri mereka setelah kebenaran
jelas bagi mereka. Maka, maafkanlah (biarkanlah) dan berlapang
dadalah (berpalinglah dari mereka) sehingga Allah memberikan

Suhaimi, “Reinterpretasi Dan Reformulasi Makna Jihad dan Qital”, Jurnal El-Furqania,
87

Volume 04, Nomor 01, Februari 2017, hlm. 4


perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu”.88
Konsep jihad yang bersifat bersabar dan bertahan ini merupkan

konsekuensi yang dapat dibilang logis karena masih minimnya pengikut

umat Islam pada waktu tersebut untuk melawan kekuatan orang-orang

Quraish yang berjumlah besar. Hal ini juga dapat melatih keimanan dan

kesabaran kaum muslimin terhadap kebengisan orang-orang Quraish

hingga puncaknya pada penganiayaan yang mendatangkan pertolongan

Allah untuk menyeru kaum muslimin Hijrah ke Madinah.89 Sehingga

kesimpulannya pada periode Mekkah ini (pra-hijrah) belum terdapat

pensyari’atan khusus mengenai jihad dalam bentuk perang yang bersifat

eksternal ataupun melawan musuh-musuh Allah.90

Selanjutanya pada periode Madinah setelah aktivitas hijrah

dilakukan, jihad mengalami perkembangan makna. Pada fase ini Nabi

Muhammad mendapatkan izin melakukan jihad dengan bentuk

peperangan. Izin ini turun setelah melakukan hijrah ke Madinah, sebagai

jawaban atas penindasan orang-orang kafir sebelumnya. Ayat al-Qur’ān

yang mengizinkan perang ini adalah:

ََ َ ‫ُاذ َن ل َّلذ ْي َن ُي َق َات ُل ْو َن ب َا َّن ُه ْم ُظل ُم ْو ۗا َوا َّن ه‬


ْ ‫اّٰلل َع ٰلى َن‬
‫ص ِر ِه ْم لق ِد ْير‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ

88
QS al-Baqarah [2]: 109, Departemen Agama Republik Indonesia, Al-‘Aliyy Al-Qur’ān
dan Terjemahannya, (Bandung, CV. Penerbit Diponegoro, 2005), hlm. 14.
89
Muhammad ‘Aly al-Sabūny, Tafsir Ayat al-Ahkām min al-Qur'ān, (Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1993), Jilid I, hlm. 161.
90
Muflikhatul Khairah, Jihad dan Hukum Perang dalam Islam, al-Qanun, Vol. 11, No. 2,
Desember, 2008, hlm. 354.
Artinya: “Diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang
diperangi karena sesungguhnya mereka dizalimi. Sesungguhnya
Allah benar-benar Mahakuasa membela mereka”.91
Ayat ini menurut sebagian pendapat dianggap sebagai ayat pertama

yang mencetuskan perang secara tegas.92 Sejarah mencatat, bahwa

aktivitas jihad dalam bentuk perang pertama kali dilakukan dalam perang

Badar dan berlanjut pada perang Uhud yang merupakan aksi balasan dari

kekalahan kalangan kafir Quraish dalam perang sebelumnya. Dalam

perang badar umat Islam mengalami kemenangan karena kesungguhan

yang dilakukan oleh kaum muslimin untuk membela Islam. Walaupun

dalam perang ini pasukan kaum muslimin jauh lebih sedikit dibandingkan

dengan tentara kaum kafir. Menurut riwayat dalam tarikh al-Islam bahwa

jumlah pasukan kaum muslimin sebanyak 313 orang sedangkan pasukan

kaum kafir berjumlah 1000 orang.

Adapun dalam perang Uhud kaum muslimin mengalami kekalahan

dikarenakan; pertama, kurang adanya siasat yang baik dalam peperangan.

Kedua, ketidakpatuhan tentara kepada pemimpin perang sehingga tentara

kaum muslimin menjadi kocar-kacir sehingga memberikan peluang bagi

pihak lawan untuk menduduki benteng pertahanan perang yaitu di bukit

Uhud. Ketiga, adanya sifat rakus terhadap harta rampasan perang

91
QS al-Hajj [22]: 39, Departemen Agama Republik Indonesia, Al-‘Aliyy Al-Qur’ān dan
Terjemahannya, (Bandung, CV. Penerbit Diponegoro, 2005), hlm. 269.
92
Ada perbedaan pendapat mengenai hal ini. menurut Ibn al-‘Araby, ayat yang
memerintahkan perang pertama kali adalah QS. al-Hajj (22): 39. Ia beralasan adanya prinsip
tadarruj bahwa pada mulanya perang diizinkan kemudian diwajibkan. Sedangkan Menurut Rafi`
ibn Anas bahwa ayat perang pertama adalah QS. al- Baqarah (2): 190 kemudian disusul dengan
QS. al-Hajj (22): 39 dan seterusnya, dengan pengertian bahwa QS. al-Baqarah (2):190 bersifat
menyerukan dalam rangka membalas setimpal sedangkan dalam QS. al-H{ajj (22): 39 bersifat
memberi aturan secara legal bahwa perang diizinkan.
(ghanimah) sehingga sebelum peperangan selesai dan hampir

dimenangkan oleh kaum muslimin, maka pasukan pertahanan yang ada

dibukit Uhud semuanya turun tanpa adanya komando dari pimpinan

perang demi memperebutkan harta ghanimah tersebut. Sehingga benteng

pertahanan dikuasai oleh pasukan kaum kafir. Oleh sebab itu banyak sekali

para mujahid Islam yang gugur dalam perang Uhud termasuk pamanda

Rasulullah saw. yaitu Hamzah.

Kekalahan di bukit Uhud memberikan pelajaran besar bagi umat

Islam untuk menata kembali niat mereka dalam membela agama Allah,

bukan sebatas mencari harta rampasan perang. Maka ayat yang turun

dalam konsteks ini menyerukan agar mereka taat kepada pimpinan perang,

sebagaimana dalam QS. Ali-Imran ayat 200 dan al-Baqarah ayat 177 dan

216.93

Selanjutnya dalam perang Khandaq yang dimenangkan oleh kaum

muslimin semakin membuat kaum muslimin diakui oleh banyak orang,

sehingga mereka berbondong-bondong untuk masuk Islam. Di sisi lain

terbentuklah Piagam Madinah (Mithaq Madinah) sebagai respon atas

kerukunan antara kaum muslim dan non-muslim, khususnya kaum Yahudi

dan Nasrani.94

Perintah mengusir dan memerangi orang-orang Yahudi dan Nasrani,

sebagai konsekuensi atas fitnah dan sikap pengingkaran terhadap

93
Muflikhatul Khairah, Jihad dan Hukum Perang dalam Islam, al-Qanun, Vol. 11, No. 2,
Desember, 2008, hlm. 357.
94
Yusuf Qardhawy, al-Mujtama‘ al-Islam fi Ghair al-Muslimin, (Beirut: Dār al-Fikr, 1996),
hlm. 22.
perjanjian yang telah disepakati, sebagaimana tertuang dalam: QS. al-

Baqarah (2): 190 dan 193; at-Taubah (9): 12, 29, 36 ; dan al-Anfal (8): 39,

karena telah berhasil membuat kekacauan di Madinah. Dengan

memperhatikan latar belakang turunnya ayat di atas dapat dipahami bahwa

perang yang diwajibkan itu bukan bersifat ofensif tetapi sebaliknya

bersifat defensif dan antisipatif.95

Selain itu perlu diakui bahwa jihad secara ofensif (memulai perang

terlebih dahulu) juga dilakukan. Patut digaris bawahi, jihad jenis ini harus

dilakukan di bawah komando Daulah Islamiyah.96 jihad secara ofensif

dilakukan apabila kondisi sangat mendesak, apabila gerakan musuh sudah

diketahui secara jelas bahwa mereka akan melakukan penyerangan

terhadap umat Islam dan akan menguasai wilayah Islam (Dar al-Islam).

Keadaan seperti ini maka diperbolehkan untuk melakukan penaklukan

terlebih dahulu dengan menggunakan prinsip-prinsip perang yang

diajarkan oleh Islam.

95
Al-Qurthubi, al-Jāmi’ li al-Ahkām al-Qur’an, (Kairo: Dār al-Kutub al-Misriyyah, 1964),
Juz II, hlm.. 406.
96
Pasalnya, jihad ini dilancarkan dalam kerangka futuhat, yakni upaya memperluas wilayah
kekuasaan Daulah Islamiyah dengan cara menaklukkan wilayah-wilayah lain yang sebelumnya
dikuasai penguasa kafir dan sistem kufur. Selanjutnya, wilayah yang telah ditaklukkan tersebut
diintegrasikan dengan Daulah Islamiyah. Konsep tersebut merupakan hasil kesimpulan dari
pengejawantahan tafsir atas QS. Al-Taubah (9): 123. Ditulis dan disampaikan dalam presentasi
makalah kelas Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya konsentrasi Shari’ah tahun
2011, oleh Imadul Haq Fadholi dengan judul makalah ‚Urgensi Jihad Dalam Ranah Historis
Islam‛, yang dibimbing oleh Prof. Dr. Ahmad Zahro, MA.
C. Periodesasi Qital (Perang) dalam al-Qur’an

Pandangan Syaikh Abd Al-Aziz bin Baz, jihad bermakna perang

dalam konteks Islam terbagi menjadi tiga periode :97

1. Periode pertama, umat Islam diizinkan berperang tanpa ada kewajiban

untuk itu. Dengan kata lain, perang belum merupakan suatu kewajiban.

Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Hajj ayat 39:

ََ َ ‫ُاذ َن ل َّلذ ْي َن ُي َق َات ُل ْو َن ب َا َّن ُه ْم ُظل ُم ْو ۗا َوا َّن ه‬


ْ ‫اّٰلل َع ٰلى َن‬
‫ص ِر ِه ْم لق ِد ْير‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ

Artinya: Diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi


karena sesungguhnya mereka dizalimi. Sesungguhnya Allah benar-
benar Mahakuasa membela mereka.
2. Periode kedua, umat Islam diperintahkan untuk memerangi orang-

orang yang memerangi mereka saja, sementara orang-orang yang tidak

memerangi mereka tidak boleh diperangi. Dalam hal ini Allah

berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 190:


ُْ َ َ ‫َ َ ُ ْ ْ َ ْ ه َّ ْ َ ُ َ ُ ْ َ ُ ْ َ َ َ ْ َ ُ ْ َّ ه‬
‫اّٰلل َل ُي ِح ُّب اْل ْع َت ِد ْي َن‬ ‫اّٰلل ال ِذين يق ِاتلونكم وَل تعتدوا ۗ ِان‬
ِ ‫وق ِاتلوا ِفي س ِبي ِل‬

Artinya: Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi


kamu dan jangan melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas.
3. Periode ketiga, umat Islam diperintahkan untuk memerangi orang-orang

musyrikin secara mutlak, baik mereka yang memerangi umat Islam

ataupun tidak. Tujuannya adalah agar kemusyrikan lenyap dari muka

97
M. Junaidi, Perang dan Jihad dalam Perspektif Fiqh Siyasah Dauliyah (Telaah Historis
Berbasis Teks Suci), Jurnal Law And Justice, Vol. 1, No. 1, Oktober 2016, hlm. 68.
bumi dan manusia semuanya tunduk kepada Allah. Hal ini berdasarkan

firman Allah dalam surat Al-Anfaal ayat 39:


ُ َ ‫ّٰلل َفان ْان َت َه ْوا َفا َّن ه‬
‫ُ ُّ ٗ ه‬ َ ْ ُ َ َّ َ ْ َ ْ ُ َ َ ‫َ َ ُ ْ ُ َ ه‬
‫اّٰلل ِب َما َي ْع َمل ْو َن‬ ِ ِِ ۚ ِ ِ ‫الد ْي ُن كله‬
ِ ‫وقا ِتلوه ْم حتى َل تكون ِفتنة ويكون‬

‫َب ِص ْير‬

Artinya: Perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah


(penganiayaan atau syirik) dan agama seutuhnya hanya bagi Allah.
Jika mereka berhenti (dari kekufuran), sesungguhnya Allah Maha
Melihat apa yang mereka kerjakan.
D. Tujuan Perang (Qitāl)

Jika dianalisis pada al-Qur’ān surat al-Anfal ayat 39 yang berkaitan

degan qitāl, dalam ayat tersebut tujuan perang (qitāl) dilaksanakan adalah

agar tidak ada lagi manusia yang musyrik atau menyembah selain Allah

dan agar semua melaksanakan aturan-aturan Allah. Hal ini sebagaimana

telah dijelaskan dalam QS. Al-Anfal ayat 39.


ُ ۚ ‫َو َقات ُل ْو ُه ْم َح هتى ََل َت ُك ْو َن ف ْت َنة َّو َي ُك ْو َن ْ ُ ُ ُّ ٗ ه‬
َ ‫ّٰلل َفان ْان َت َه ْوا َفا َّن ه‬
‫اّٰلل ِب َما َي ْع َمل ْو َن‬ ِ ِ ِ ِ ِ ‫الدين كله‬ ِ ِ ِ
‫َب ِص ْير‬
Artinya: Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan
supaya agama itu semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti
(dari kekafiran), Maka Sesungguhnya Allah Maha melihat apa
yang mereka kerjakan.98
Dengan ayat tersebut, tak bisa ditutupi tentang adanya tendensi

peperangan yang diarahkan kepada orang lain. Pandangan tersebut kian

QS al-Anfaal [8]: 39, Departemen Agama Republik Indonesia, Al-‘Aliyy Al-Qur’ān dan
98

Terjemahannya, (Bandung, CV. Penerbit Diponegoro, 2005), hlm. 144.


nyata jika dilakukan penelusuran terhadap sejumlah literatur tafsir al-

Qur’ān.99

Fitnah yang maksud adalah gangguan-gangguan terhadap umat Islam

dan agama Islam. Menurut An-Nasafi dan Al-Maraghi, yang dimaksud

dengan “agama itu semata-mata untuk Allah” adalah tegaknya agama

Islam dan sirnanya agama-agama yang batil.

At-Thabari menjelaskan bahwa peperangan bertujuan agar tidak ada

lagi manusia yang melakukan perbuatan syirik, tidak seorangpun yang

menyembah selain kepada Allah, tidak muncul lagi praktik penyembahan

kepada patung, berhala dan tuhan lainnya. Sebaliknya, semua manusia

melaksanakan ibadah dan ketaatan kepada Allah.100

Pendapat tersebut diperkuat oleh kutipan Ar-Razi bahwa Allah

memerintahkan kaum muslimin untuk berperang melawan kaum musyrik

dengan tujuan agar tidak ada kemusyrikan dan hanya agama Allah yang

tegak berdiri. Tujuan tersebut, menurutnya bisa tercapai ketika kekufuran

hilang secara total.101

Sementera terkait dengan kata ‘fitnah’ dalam ayat tersebut, Al-

Jashshash telah menjelaskan dengan mengutip pendapat Muhammad bin

Ishaq berkata, bahwa yang dimaksud dengan fitnah pada ayat tersebut

99
Lilik Ummu Kaltsum, Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Jakarta: UIN
PRESS, 2015), hlm. 157.
100
Muhammad Ibn Jarir At-Thabari, Jāmi’ al-Bayān fi Ta’wīl Ayi al-Qur’ān, (Beirut:
Muassasah ar-Risālah, 2000), Juz VIII, hlm. 570.
101
Abu Abdillah Muhammad ibn ‘Umar al-Razi, Mafātih al-Ghaib, (Beirut: Dār Ihyā’ at-
Turāṣ al-‘Arabī, 1420 H/ 1990 M), Juz XV, hlm. 483-484.
adalah berupa kekafiran atau kerusakan dan kejahatan. Kekafiran disebut

sebagai fitnah karena di dalamnya mengandung kerusakan. 102

Al-Wahidi juga menjelaskan, bahwa tujuan perang dilakukan agar

orang-orang musyrik menjadi muslim dan semua manusia taat dan

beribadah hanya kepada Allah, bukan kepada yang lain. 103 Sementara

menurut as-Sam’ani, bahwa perintah berperang bagi umat Islam berlaku

sampai tidak ada kemusyrikan dan mereka berserah diri kepada Allah. Jika

tujuan tersebut sudah tercapai dalam arti mereka telah Islam, maka tidak

ada lagi penjarahan, penawanan, dan pembunuhan kecuali kepada orang-

orang yang tetap dalam kemusyrikan mereka.104

Tujuan di atas dipertegas dalam Hadis Nabi saw., “Barang siapa

berperang agar kalimat Allah tegak berdiri maka dia berada di jalan Allah”

(HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan lainnya). Dengan demikian,

perang dilakukan semata-mata karena Allah demi kejayaan agama-Nya di

muka bumi. Allah menjamin pahala yang besar bagi orang yang

melaksanakannya, baik kalah maupun menang, baik terbunuh di medan

perang maupun tetap hidup dan kembali ke keluarganya. Perang

disyariatkan bukan untuk mencari kemuliaan duniawi atau popularitas

pribadi, golongan atau suku tertentu, melainkan untuk memperoleh

keridhaan Allah Swt.

102
Aẖmad ibn ‘Ali Abi Bakr al-Razi al-Jasshas, Ahkām al-Qur’an, (Beirut: Dār al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 1405 H/ 1987 M), Juz IV, hlm. 229.
103
Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn ‘Ali al-Wahidi, Al-Wajīz fī Tafsīr al-
Kitāb al-‘Azīz, (Beirut: Dār al-Qalam, 1415 H/1995 M), Juz I, hlm. 155.
104
Abu al-Muzaffar Mansur Ibn Muhammad Ibn ‘Abd al-Jabbar Ibn Ahmad al-Maruzi as-
Sam’ani, Tafsir al-Quran, (Riyadh: Dar al-Wathan, 1997), Juz I, hlm. 139.
Sebagian mufassir berpendapat bahwa seorang muslim yang

berperang di medan perang harus memantapkan hatinya di jalan Allah

sehingga ia harus bersungguh-sungguh untuk mengalahkan musuh. Karena

itu, seorang mujahid atau yang berperang di jalan Allah tidak boleh berniat

hanya untuk terbunuh di dalamnya.105

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa

tidak ada perbedaan mengenai tujuan perang yaitu agar tidak ada lagi

fitnah.

E. Sebab Terjadinya Perang

Adapun sebab terjadinya perang adalah dalam hal ini telah di

jelaskan dalam Al-Qur’ān pada surat al-Hajj ayat 39 :

ْ َ‫ع ٰلى ن‬
‫ص ِر ِه ْم لَقَ ِدي ٌْر‬ ‫ظ ِل ُم ْو ۗا َوا َِّن ه‬
َ َ‫ّٰللا‬ ُ ‫اُذِنَ ِللَّ ِذيْنَ يُقَاتَلُ ْونَ بِاَنَّ ُه ْم‬

Artinya: Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang


diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan
Sesungguhnya Allah, benarbenar Maha Kuasa menolong mereka
itu.106
Ayat di atas menjelaskan bahwa terjadinya perang disebabkan

karena faktor penganiayaan. Para ahli tafsir juga berpendapat, seperti

pendapat as-Sam’ani, ayat di atas turun pasca hijrah sebagai ayat pertama

tentang perintah berperang bagi kaum muslimin. Sebelumnya, perang

tidak diperkenankan oleh Nabi saw., karena belum ada izin dari Allah.

Kata َ‫ أُذِن‬diawal ayat berarti diizinkan, atau dibolehkan. Artinya yaitu umat

105
Nasir ad-Din Abu Sa’id ‘Abdullah Ibn ‘Amr Ibn Muhammad as-Syirazi al-Baidhawi,
Anwār at-Tanzīl wa Asrar at-Ta’wīl, (Beirut: Dār al-Ihyā’ at-Turās al-‘Arabī, 1418 H), Juz II, hlm.
84.
106
QS al-Hajj [22]: 39, Departemen Agama Republik Indonesia, Al-‘Aliyy Al-Qur’ān dan
Terjemahannya, (Bandung, CV. Penerbit Diponegoro, 2005), hlm. 269.
Islam diberi izin untuk berperang untuk mempertahankan eksistensi

mereka sebagai umat beragama. Namun, izin tersebut diberikan Allah

karena mereka telah dizalimi, disiksa, ditahan dan dihalangi untuk

menjalankan ajaran agama Allah.107

As-Syaukani juga menyatakan hal yang senada, perang terjadi

disebabkan karena umat Islam mendapatkan perlakuan yang buruk dari

kaum musyrikin, mereka mengalami cacian, penyiksaan dan

penyekapan.108

Pendapat yang senada juga yang diungkapkan oleh Al-Qurthubi

bahwa terjadinya perang disebabkan karena umat Islam telah mengalami

penganiayaan atau penyiksaan di Mekah.109

F. Etika Perang dalam al-Qur’ān

Dalam al-Qur’ān telah dijelaskan mengenai etika perang dalam

perspektif Al-Qur’ān.

1. Harus memegang janji

2. Tidak membunuh orang yang tidak memerangi (anak-anak,wanita,

orang tua renta, penghuni rumah ibadah, dan sebagainya)

3. Tidak berlebih-lebihan

4. Tidak boleh mencincang

5. Tidak boleh merobohkan atau membakar bangunan

107
Abu al-Muzaffar Mansur Ibn Muhammad Ibn ‘Abd al-Jabbar Ibn Ahmad al-Maruzi as-
Sam’ani, Tafsir al-Quran, (Riyadh: Dar al-Wathan, 1997), Juz, III, hlm. 441.
108
Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Muhammad Ibn ‘Abdillah as-Syaukani, Fath al-Qadir, (Beirut:
Dār Ibn Kastsir, 1414 H), Juz III, hlm. 540.
109
Al-Qurthubi, al-Jāmi’ li al-Ahkām al-Qur’an, (Kairo: Dār al-Kutub al-Misriyyah, 1964),
Juz XII, hlm. 68.
6. Tidak menebang pohon dan merusak tanaman

7. Tidak boleh membunuh yang menyerah

8. Memperlakukan tawanan dengan baik

9. Menerima tawaran damai.110

Jika diperhatikan kembali kepada Q.S. Al-Baqarah ayat 190 pada

potongan ayat berikut :


ُْ َ َ ‫َ َ ُ ْ ْ َ ْ ه َّ ْ َ ُ َ ُ ْ َ ُ ْ َ َ َ ْ َ ُ ْ َّ ه‬
‫اّٰلل َل ُي ِح ُّب اْل ْع َت ِد ْي َن‬ ‫اّٰلل ال ِذين يق ِاتلونكم وَل تعتدوا ۗ ِان‬
ِ ‫وق ِاتلوا ِفي س ِبي ِل‬

Artinya: Janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya


Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

Sebagian mufassir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan

“Janganlah kamu melampaui batas” tersebut menyangkut mengenai etika

dalam berperang. Dengan kata lain, bahwa dalam berperang ada etika atau

aturan yang harus diperhatikan oleh kaum muslimin ketika melaksanankan

perang.

Adapun etika dalam berperang adalah sebagaimana telah dijelaskan

oleh al-Mawardi, tidak boleh menyerang orang-orang musyrik yang tidak

terlibat di dalam penyerangan, seperti perempuan dan anak kecil.111

At-Thabari juga menuturkan bahwa kaum muslimin tidak boleh

memerangi kaum perempuan, anak-anak, orang yang sudah renta, dan

orang yang telah menyatakan damai. Jika larangan ini tetap dilakukan

110
Lalu Zaenuri. Qitāl Dalam Perspektif Islam, JDIS Vol. 1, No. 1, hlm. 23.
111
Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al-Basri al-Bagdhadi al-Mawardi, An-
Nukāt wa al-‘Uyūn, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), Juz I, hlm. 251.
berarti kaum muslimin telah melanggar batas-batas yang ditetapkan oleh

Allah Swt.

Menurut Muhammad Abduh bahwa, salah satu aturan dan etika

berperang dalam Islam ketika memerangi musuh adalah hendaklah jangan

memerangi mereka yang tidak berdaya yang hidup dalam kekuasaan

musuh seperti wanita, anak-anak, orang tua dan orang yang sakit, serta

siapa saja yang mengajak perdamaian untuk menghentikan peperangan,

dan juga bentuk-bentuk pelampiasan yang berlebiham seperti memotong

pohon-pohon.112

Menurut ar-Razi, bahwa berperang secara ofensif melawan orang-

orang musyrik di Tanah Haram itu adalah bagian dari melampaui batas,

kemudian memerangi orang-orang yang dilarang untuk diperangi dari

kalangan orang-orang yang telah menjalin kerjasama dengan umat Islam,

menyerang dengan tipu daya, menyerang mereka sebelum sampainya

dakwah kepada mereka, membunuh para perempuan, anak-anak, orang tua

renta.

Begitu juga dengan pendapat az-Zamkhsyari, bahwa etika dalam

berperang yang harus diperhatikan adalah menyerang secara ofensif orang-

orang musyrik, memerangi orang-orang yang dilarang untuk diperangi

seperti kaum perempuan, orang tua renta, anak-anak atau memerangi

mereka yang telah menjalin perjanjian dami dengan Islam.

112
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Alquran al-Hakim asy-Syahrir bi al-Tafsir al-Manar,
(Kairo: dar al-manar, 1954), Juz II, hlm. 207-209.
Jika diperhatikan pendapat di atas adalah bagian dari etika dalam

melakukan peperangan. Hal tersebutlah yang dimaksud dengan melampaui

batas dalam al-Qur’ān surat al-Baqarah ayat 190. Dan membuktikan

bahwa Islam adalah agama yang damai.

G. Faktor-faktor Yang membolehkan Perang

Dalam Al-Qur’ān telah dijelaskan pada QS. Al-Baqarah ayat 190


ُْ َ َ ‫َ َ ُ ْ ْ َ ْ ه َّ ْ َ ُ َ ُ ْ َ ُ ْ َ َ َ ْ َ ُ ْ َّ ه‬
‫اّٰلل َل ُي ِح ُّب اْل ْع َت ِد ْي َن‬ ‫اّٰلل ال ِذين يق ِاتلونكم وَل تعتدوا ۗ ِان‬
ِ ‫وق ِاتلوا ِفي س ِبي ِل‬

Artinya: Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang


memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas,
karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas.

Jika diperhatikan derivasi ayat di atas menunjukka bahwa adanya

izin untuk berperang, namun dalam hal tersebut disebabkan karena faktor-

faktor tertentu kenapa perang dibolehkan.

Adapun faktor-faktor yang membolehkan perang dilakukan dalam

perspektif al-Qur’ān adalah sebagai berikut:

1. Untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Hal ini dinyatakan

dalam QS. Al-Baqarah ayat 190:

َ‫ّٰللاَ َ ا ي ُِب ُا ْال ُم ْتد َ ِديْن‬


‫ّٰللا الَّ ِذيْنَ يُقَاتِلُ ْونَ ُم ْم َو َ ا ت َ ْتدَد ُْوا ۗ ا َِّن ه‬ َ ‫َوقَاتِلُ ْوا فِ ْي‬
ِ ‫س ِب ْي ِل ه‬

Artinya: Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang


memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas,
karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas.
2. Untuk membalas serangan musuh. Hal ini dinyatakan dalam QS. Al-

Hajj ayat 39:


ََ َ ‫ُاذ َن ل َّلذ ْي َن ُي َق َات ُل ْو َن ب َا َّن ُه ْم ُظل ُم ْو ۗا َوا َّن ه‬
ْ ‫اّٰلل َع ٰلى َن‬
‫ص ِر ِه ْم لق ِد ْير‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ

Artinya: Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang


diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan
Sesungguhnya Allah, benarbenar Maha Kuasa menolong mereka
itu.
3. Untuk menentang penindasan. Hal ini dtegaskan pada QS. An-Nisa’

ayat 75:
ْ ْ ۤ
‫الن َسا ِء َوال ِول َد ِان‬ ْ ‫اّٰلل َو ْاْلُ ْس َت‬
َ ‫ض َعف ْي َن م َن الر َجال‬ ‫َ ْ ه‬ َ ُْ َُ َ ْ َُ ََ
‫و‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫وما لكم َل تق ِاتلون ِف ْي س ِبي ِل‬

ۚ ْ َّ َّ ْ َ ۚ َ ُ ْ َ َّ َْ ْ َ ٓ َ ُ َّ
‫اج َع ْل ل َنا ِم ْن ل ُدن َك َوِل ايا‬‫ال ِذ ْي َن َي ُق ْول ْون َرَّب َنا اخ ِر ْج َنا ِم ْن ٰه ِذ ِه الق ْرَي ِة الظ ِال ِم اهلها و‬

َ ْ َّ َّ ْ َ
‫اج َع ْل ل َنا ِم ْن ل ُدن َك ن ِص ْي ًرا‬‫و‬

Artinya: Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan


(membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita
maupun anak-anak yang semuanya berdoa: "Ya Tuhan Kami,
keluarkanlah Kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim
penduduknya dan berilah Kami pelindung dari sisi Engkau, dan
berilah Kami penolong dari sisi Engkau!".
4. Untuk mempertahankan kemerdekaan beragama. Hal ini dijelaskan
pada QS. Al-Baqarah ayat 191:

َْ َ َ ُ ْ ُ ْ َ ُ ْ َ َ ُ ُ ْ
ۚ ‫َواق ُتل ْو ُه ْم َح ْيث ث ِق ْف ُت ُم ْو ُه ْم َواخ ِر ُج ْو ُه ْم ِم ْن َح ْيث اخ َر ُج ْوك ْم َوال ِف ْت َنة اش ُّد ِم َن الق ْت ِل‬

ٰ َ ۗ ُ ْ َ ُ ُ ٰ َ ُ ُ ْ َْ ُ ُ َ
‫َوَل ت ٰق ِتل ْو ُه ْم ِع ْن َد اْل ْس ِج ِد ال َح َر ِام َح هتى ُي ٰق ِتل ْوك ْم ِف ْي ِ ۚه ف ِا ْن ق َتل ْوك ْم فاق ُتل ْو ُه ْم كذ ِل َك‬

ْٰ ۤ
‫َج َزا ُء الك ِف ِرْي َن‬

Artinya: Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka,


dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu
(Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan,
dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil haram, kecuali
jika mereka memerangi kamu di tempat itu. jika mereka
memerangi kamu (di tempat itu), Maka bunuhlah mereka.
Demikanlah Balasan bagi orang-orang kafir.
5. Untuk menghilangkan penganiayaan. Ini dinyatakan dalam QS. Al-

Baqarah ayat 193:


‫ه‬ َ َّ َ َ ْ َ ‫َ ٰ ُ ْ ُ ْ َ ه َ َ ُ ْ َ ْ َ َّ َ ُ ْ َ ْ ُ ه‬
‫ّٰلل ۗ ف ِا ِن ان َت َه ْوا فَل ُع ْد َو َان ِاَل َعلى الظ ِل ِم ْي َن‬ ِ ‫وق ِتلوهم حتى َل تكون ِفتنة ويكون‬
ِ ِ ‫الدين‬

Artinya: Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi
dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. jika
mereka 134 berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada
permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
6. Untuk menegakkan kebenaran. Dijelaskan pada QS. At-Taubah ayat

12:
َٓ ُْ َ َ ُٓ ََ ُ َ ْۢ َ َُٓ
‫َوِا ْن َّنكث ْوا ا ْي َم َان ُه ْم ِم ْن َب ْع ِد َع ْه ِد ِه ْم َوط َع ُن ْوا ِف ْي ِد ْي ِنك ْم فقا ِتل ْوا ا ِٕى َّمة الك ْف ِر ِا َّن ُه ْم َل‬

َّ َ َ َ َ ْ َ
‫ان ل ُه ْم ل َعل ُه ْم َي ْن َت ُه ْو َن‬ ‫ايم‬

Artinya: Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka


berjanji, dan mereka mencerca agamamu, Maka perangilah
pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena Sesungguhnya
mereka itu adalah orangorang (yang tidak dapat dipegang) janjinya,
agar supaya mereka berhenti.
BAB IV

NILAI-NILAI SUFISTIK PENAFSIRAN SYAIKH ‘ABDUL QĀDIR AL-

JILĀNI TENTANG AYAT-AYAT QITĀL DALAM AL-QUR’ĀN

1. Surah Al-Hajj Ayat 39

ََ َ ‫ُاذ َن ل َّلذ ْي َن ُي َق َات ُل ْو َن ب َا َّن ُه ْم ُظل ُم ْو ۗا َوا َّن ه‬


ْ ‫اّٰلل َع ٰلى َن‬
ۙ ‫ص ِر ِه ْم لق ِد ْير‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ

Artinya: Diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi


karena sesungguhnya mereka dizalimi. Sesungguhnya Allah benar-
benar Mahakuasa membela mereka.113

Tafsir Ayat:
Kemudian ketika kesengsaraan dan kezholiman menimpa orang-orang

muslim dan menyakiti, menghinakan, dan merendahkan mereka atas

kemampuannya untuk melawan serta membela dirinya dari orang-orang kafir,

(Telah Di Izinikan Berperang) Telah diringankan oleh allah swt. melalui lisannya

rasulullah saw., (Bagi Orang-Orang Yang Diperangi) Orang-orang muslim yang

berkeinginan untuk berperang melawan orang-orang kafir setelah orang-orang

muslim di sakiti dan di zholimi maka turunlah ayat ini (ayat berperang) untuk

meringankan mereka setelah apa yang diturunkan 70 ayat setelahnya, oleh sebab

itu dikatakan ayat ini (ayat tentang berperang) untuk menghilangkan 70 ayat

sebelumnya (ayat pelarangan berperang), oleh karena itu allah meringankan atas

mereka, (karena sesungguhnya mereka di aniaya) oleh sebab itu mereka di

zholimi, direndahkan, disakiti oleh orang-orang kafir dan musyrik, (Dan

Sesungguhnya Allah) Sesungguhnya Allah Maha Mampu dan Maha

QS al-Hajj [22]: 39, Departemen Agama Republik Indonesia, Al-‘Aliyy Al-Qur’ān dan
113

Terjemahannya, (Bandung, CV. Penerbit Diponegoro, 2005), hlm. 269.


Memampukan, (Benar-Benar Menolong Mereka) Menolong kekasihnya atas

musuh-musuhnya, (Yang Maha Kuasa) Untuk menolong dan mengalahkan musuh

mereka, walaupun musuh mereka lebih banyak daripada orang-orang muslim,

serta bagaimana mungkin allah tidak membalaskan kekasihnya terhadap

musuhnya.

Asbabun Nuzul :

Allah berfirman : (Diizinkan (Berperang) Kepada orang-orang yang

diperangi karena sesungguhnya mereka dizalimi. sesungguhnya Allah benar-benar

Maha Kuasa membela mereka). Para mufasir berkata : Orang-orang musyrik

mekkah mereka menyakiti sahabat-sahabat rasulullah, mereka senantiasa datang

menyiksa dan menyakiti mereka, maka mereka mengadu kepada rasulullah

kemudian rasulullah berkata kepada mereka: “Bersabarlah maka sesungguhnya

aku tidak diperintahkan untuk berperang sampai rasulullah hijrah ke madinah”,

maka Allah menurunkan ayat ini, dan ibnu Abbas berkata: Tatkala rasulullah

keluar dari mekkah, abu bakar berkata: Sesungguhnya Allah memberkati kita,

maka Allah berfirman : (Diizinkan (Berperang) kepada orang-orang yang

diperangi karena sesungguhnya mereka dizalimi. sesungguhnya allah benar-benar

maha kuasa membela mereka), Abu Bakar berkata: sungguhnya aku tahu akan

terjadi perang.”114

2. Surah Al-Baqarah Ayat 190


ُْ َ َ ‫َ َ ُ ْ ْ َ ْ ه َّ ْ َ ُ َ ُ ْ َ ُ ْ َ َ َ ْ َ ُ ْ َّ ه‬
‫اّٰلل َل ُي ِح ُّب اْل ْع َت ِد ْي َن‬ ‫اّٰلل ال ِذين يق ِاتلونكم وَل تعتدوا ۗ ِان‬
ِ ‫وق ِاتلوا ِفي س ِبي ِل‬

114
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Tafsir al-Jilāni, (Kairo: Dār al-Rukni wa al-Maqam, 2009), Jilid
3, hlm. 230.
Artinya: Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi
kamu dan jangan melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas.115

Tafsir Ayat:

(Dan) Diantara batasan-batasan yang dikenakan kepadamu: Perang kepada

orang-orang yang memusuhi agamamu, (Perangilah Mereka di Jalan Allah)

Orang-orang musyrik yang bertentangan dari jalan yang benar, menolak

kebenaran dalam keadaan angkuh dan takabbur, khususnya (Orang-Orang Yang

Memerangi Kamu) Dan mereka bermaksud membunuh kamu dengan niat

memulai peperangan dan mereka berani melakukannya, (Dan Jangan Kamu

Melampaui Batas) Jangan melampaui batas wahai orang-orang mukmin terhadap

apa yang dilarang kepadamu dengan menghancurkan institute/lembaga, dan tidak

menyerang di waktu fajar dengan tiba-tiba, serta perang di tanah haram dan pada

bulan-bulan yang di haramkan, dan jangan memulai peperangan dan sebagainya,

(Sesungguhnya Allah Tidak Menyukai Kepada Orang-Orang Yang Melampaui

Batas) Orang-orang yang melampaui batas terhadap batas-batas dan perjanjian

yang telah ditetapkan.

Penjelasan : Najamudin Kubra Berkata : Dia menceritakan tentang

keselamatan dan cara untuk mencapai derajat dengan firman Allah : (Perangilah di

Jalan Allah Orang-Orang Yang Memerangi Kamu) [Al-Baqarah ayat 190], Dan

isyarat yang sebenar-benarnya dari ayat ini adalah memerangi orang yang

mencegah kamu dari jalan Allah (nafsu), atau yang ingin menghalangi jalanmu

untuk berperang seperti syaitan-syaitan dari bentuk manusia dan jin hingga

115
QS al-Baqarah [2]: 190, Departemen Agama Republik Indonesia, Al-‘Aliyy Al-Qur’ān
dan Terjemahannya, (Bandung, CV. Penerbit Diponegoro, 2005), hlm. 23.
syaitan berbentuk nafsumu, sekalipun musuhmu menakluki jiwamu yang berada

disisimu, karena nabi bersabda : Apabila telah kembali dari jihad: (yaitu

kembalinya kita dari jihad yang kecil kepada jihad yang besar)", (Dan Jangan

Melampaui Batas) Yaitu: jangan melampaui batas dari ketentuan-ketentuan

syariat, maka berjihadlah kamu dengan etika dalam Islam namun tetaplah menjadi

orang yang taat dengan menegakkan keistiqomahan dengan kemampuan yang

dimiliki. dan yang kamu katakan itu yang kamu setujui, dan kamu mengerjakan

apa yang di perintahkan, (Sesungguhnya Allah tidak Menyukai Orang-Orang yang

Melampaui Batas), Maka jangan kamu menggabungkan antara kelebihan dengan

kelalaian.116

3. Surah An-Nisa’ Ayat 77


َ َ َۚ ٰ َّ ُ ٰ َ ٰ َّ َ ُ َ ٓ ُ َ َّ َ َ َ َ
‫الزكوة فل َّما‬ ‫الصلوة َواتوا‬ ‫ال ْم ت َر ِالى ال ِذ ْي َن ِق ْي َل ل ُه ْم ك ُّف ْوا ا ْي ِد َيك ْم َوا ِق ْي ُموا‬

َ َ َ ‫َّ َ َ َ ْ َ ه‬ َ َ ُ َ ْ ُ ََْ َ ُ
‫ال ِاذا ف ِرْيق ِم ْن ُه ْم َي ْخ َش ْو َن‬
‫اّٰلل ا ْو اش َّد‬
ِ ‫الناس كخشي ِة‬ ‫ك ِتب علي ِهم ال ِقت‬

ُ ‫ال َل ْ َو َٓل َا َّخ ْرَت َن ٓا ا ٰٓلى َا َجل َقرْي ۗب ُق ْل َم َت‬


‫اع‬ َۚ ‫َخ ْش َي ًة ۚ َو َق ُال ْوا َرَّب َنا ل َم َك َت ْب َت َع َل ْي َنا ْالق َت‬
ٍ ِ ٍ ِ ِ ِ

ً َ َ َْ ُ َ َ َ ُ ٰ ْ ۚ َ ْ ُّ
‫الدن َيا ق ِل ْيل َواَل ِخ َرة خ ْير ِْل ِن َّات ٰق ۗى َوَل تظل ُم ْون ف ِت ْيَل‬

Artinya: Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang


dikatakan kepada mereka, “Tahanlah tanganmu (dari berperang),
tegakkanlah salat, dan tunaikanlah zakat!” Ketika mereka
diwajibkan berperang, tiba-tiba segolongan mereka (munafik) takut
kepada manusia (musuh) seperti ketakutan mereka kepada Allah,
bahkan lebih takut daripada itu. Mereka berkata, “Wahai Tuhan

116
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Tafsir al-Jilāni, (Kairo: Dār al-Rukni wa al-Maqam, 2009), Jilid
1, hlm. 191.
kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami?
Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada
kami beberapa waktu lagi?” Katakanlah, “Kesenangan di dunia ini
hanyalah sedikit, sedangkan akhirat itu lebih baik bagi orang yang
bertakwa dan kamu tidak akan dizalimi sedikit pun.”117

Tafsir Ayat:

(Apakah Kamu Perhatikan Orang-Orang) Yaitu orang-orang mukmin,

(Yang Dikatakan Kepada Mereka) Yaitu ketika mereka lemah, dan keadaan

mereka letih ketika mereka berada di mekah sebelum hijrah mereka ingin

berperang: (Tahanlah Tanganmu Dari Berperang) Yaitu dari berperang sampai

Allah memberikan izin kepadamu untuk berperang dan perintah berperang

dikembalikan padanya, (Dan Dirikan) Yaitu tetapkan, (Sholat) Yaitu

kecenderungan yang mendekatkanmu sebagaimana semua organ dan anggota

tubuh, (Tunaikanlah Zakat) Yaitu untuk membersihkan jiwamu dari

kecenderungan kesenangan dunia, dan tunggulah sampai datangnya perintah allah

kepada mu untuk berperang dan berjihad, (Setelah Mereka Diwajibkan

Berperang) Yaitu setelah keadaan mereka kuat, dan hilang kelemahan mereka,

(Tiba-Tiba Sebagian Dari Mereka Golongan Munafik) Yaitu yang lemah

keyakinan mereka, serta tidak terlalu yakin dengan pertolongan Allah dan izinnya,

(Mereka Takut Kepada Manusia/Musuh) Yaitu takut kepada orang-orang kafir,

(seperti Takutnya Kepada Allah) Yaitu seperti takutnya kepada Allah, (Bahkan)

Yaitu akan tetapi, (Lebih Takut) Yaitu jika mereka percaya, berpegang kepada

Allah, karena di awal kemunculan islam saat itu keimanan mereka guncang,

QS an-Nisa’ [4]: 77, Departemen Agama Republik Indonesia, Al-‘Aliyy Al-Qur’ān dan
117

Terjemahannya, (Bandung, CV. Penerbit Diponegoro, 2005), hlm. 71.


keyakinan mereka tidak murni oleh tauhid, (Dan Mereka Berkata) Yaitu ketika

mereka mendengar datangnya perintah berperang mereka menunda-nunda dan

lalai, (Ya Tuhan Kami Mengapa Engkau Wajibkan Berperang Kepada Kami)

Yaitu padahal kami ini lemah, (Mengapa Engkau Tidak Tangguhkan (Kewajiban

Berperang) Kepada Kami Beberapa Waktu Lagi) Yaitu agar bertambah kekuatan

kami, perlengkapan kami, dan janji kami, hanya saja mereka berkata takut mati

dan takut tidak mendapatkan harta, (Katakanlah) Yaitu bagi mereka wahai rasul

agar menjadi peringatan dan teguran, (Kesenangan Dunia Ini Hanya Sementara)

Yaitu bahwa hasil yang di dapatkan lebih sedikit dibandingkan dengan pemberian

Allah, dan sebuah kemuliaan bertemu dengan allah, (Dan Akhirat Itu) Yaitu yang

diberikan di akhirat lebih baik dan kemuliaan bertemu dengan Allah, (Lebih Baik

Untuk Orang-Orang Bertakwa) Yaitu atas kesibukan mereka dari pekerjaanya

serta dari hasil yang didapatkan, (Dan) Ketahuilah wahai orang-orang mukmin

sesungguhnya kalian, (Kamu Tidak Akan Di Aniaya) Yaitu tidak akan dikurangi

pahala berperangnya, dan tidak di tunda dari apa yang sudah di tentukan dalam

ketetapannya, (Sedikitpun) Yaitu ketentuan yang sedikitpun tidak akan terlewat.

Dan ketahuilah juga sesungguhnya menunda nunda dan berlalai-lalai itu

tidak memberi manfaat bagimu dalam perkara kematian, bahkan waktu kematian

itu tidak pasti dan kejadiannya pasti.118

118
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Tafsir al-Jilāni, (Kairo: Dār al-Rukni wa al-Maqam, 2009), Jilid
1, hlm. 378-379.
4. Surah At-Taubah Ayat 29

ُ ‫اَلخر َ َوَل ُي َحر ُم ْو َن َما َح َّر َم ه‬


‫اّٰلل‬
ٰ ْ ْ َ ْ َ َ ‫َ ُ َّ ْ َ َ ُ ْ ُ ْ َن ه‬
ِ ِ ِ ‫اّٰلل وَل ِباليو ِم‬
ِ ‫ق ِاتلوا ال ِذين َل يؤ ِمنو ِب‬

َ ْ ُ ْ ُ ُ َّ ْ َ َ ُ
‫َو َر ُس ْول ٗه َوَل َي ِد ْي ُن ْون ِد ْي َن ال َح ِق ِم َن ال ِذ ْي َن ا ْوتوا ال ِك ٰت َب َح هتى ُي ْعطوا ال ِج ْزَية‬

ࣖ ‫ص ِغ ُر ْو َن‬
ٰ ‫َع ْن َّي ٍد َّو ُه ْم‬

Artinya: Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah


dan hari akhir, tidak mengharamkan (menjauhi) apa yang telah
diharamkan (oleh) Allah dan Rasul-Nya, dan tidak mengikuti
agama yang hak (Islam), yaitu orang-orang yang telah diberikan
Kitab (Yahudi dan Nasrani) hingga mereka membayar jizyah119
dengan patuh dan mereka tunduk.120

Tafsir Ayat:

(Perangilah) Yaitu wahai para penyerang pelindung bagi agama Allah dari

orang-orang musyrik, (Orang-Orang Yang Tidak Beriman Kepada Allah) Yaitu

kepada tauhidnya, (Dan Tidak Beriman Kepada Hari Akhir) Yaitu hari yang di

persiapkan untuk dibalasnya amal, dan jika mereka goyah dalam keimanan

mereka menyanjung dan munafik dan tidak peduli dengan iman mereka, (Dan)

Yaitu mereka bukan orang-orang yang memelihara keimanan, kalau begitu,

(Mereka Tidak Mengharamkan) Yaitu dari yang haram-haram, (Apa Yang

Diharamkan Allah Dan Rasulnya) Yaitu dengan izinnya Allah, (Dan) Yaitu

kesimpulannya, (Tidak Beragama) Yaitu dan tidak mengikuti, (Agama Yang

119
Jizyah adalah imbalan atau balasan atas rasa aman dan fasilitas yang diperoleh penganut
agama Yahudi, Nasrani, dan lainnya yang hidup di negara Islam. Ayat ini dan ayat-ayat yang
senada berlaku dalam situasi perang agama, bukan dalam situasi damai.
120
QS at-Taubah [9]: 29, Departemen Agama Republik Indonesia, Al-‘Aliyy Al-Qur’ān dan
Terjemahannya, (Bandung, CV. Penerbit Diponegoro, 2005), hlm. 152.
Benar (Agama Allah)) Yaitu yang diturunkan atas kebenaran, untuk mencapai

tingkatan ketauhidan, sekalipun mereka mengklaim diri mereka, (Orang-Orang

Yang Diberi Kitab Kepada Mereka) Yaitu mereka mengklaim memiliki kitab,

padahal mereka tidak pantas diberikan kitab, sekalipun orang-orang kafir

mengajak orang-orang mukmin beserta keluargnya, sebaliknya mereka diperangi

sampai mereka dihinakan dan direndahkan, (Sehingga Mereka Membayar Jizyah)

Yaitu jizyah ini sebagai hadiah untuk menghargai agama mereka dan

melindunginya, (Dengan Patuh) Yaitu keadaan pemberian jizyah yang diberikan

mereka dari tangan yang menindas dan yang berkuasa atas mereka, (Sedang

Mereka) Yaitu ketika memberi jizyah, (dalam Keadaan Tunduk) Yaitu dalam

keadaan hina dan direndahkan, diambil dari janggut mereka, dan diberikan kepada

yang berhak.”121

5. Surah At-Taubah Ayat 36

َّ ‫اّٰلل َي ْو َم َخ َل َق‬
‫الس ٰم ٰو ِت‬
‫ه‬ ٰ َ َ َ َ ْ ‫َّ َّ َ ُّ ُ ْ ر ْ َ ه‬
ِ ‫اّٰلل اثنا عش َر ش ْه ًرا ِف ْي ِكت ِب‬
ِ ‫ِان ِعدة الشهو ِ ِعند‬

ُ َْ ْ َ ََ َْ َ ٰ ُ َ َ َ ٓ ْ َ ْ ‫اَل‬ َْ
‫الد ْي ُن الق ِي ُم ە فَل تظ ِل ُم ْوا ِف ْي ِه َّن ان ُف َسك ْم‬
ِ ‫ض ِمن َها ا ْربعة ح ُرم ۗذ ِلك‬‫َو ر‬

ُْ ْ ‫َو َقات ُلوا ْاْلُ ْشرك ْي َن َك ۤا َّف ًة َك َما ُي َقات ُل ْو َن ُك ْم َك ۤا َّف ًة َۗو‬
َ ‫اع َل ُم ْٓوا َا َّن ه‬
‫اّٰلل َم َع اْل َّت ِق ْي َن‬ ِ ِِ ِ

Artinya: Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas


bulan,122 (sebagaimana) ketetapan Allah (di Lauh Mahfuz) pada
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat

121
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Tafsir al-Jilāni, (Kairo: Dār al-Rukni wa al-Maqam, 2009), Jilid
2, hlm. 201-202.
122
Allah Swt. menetapkan periode orbit bumi mengitari matahari selama setahun yang
setara dengan dua belas bulan, yaitu dua belas kali ketampakan bulan sabit akibat bulan mengitari
bumi. Keteraturan periode waktu inilah yang menjadi patokan untuk perhitungan waktu.
bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah
kamu menzalimi dirimu padanya (empat bulan itu), dan perangilah
orang-orang musyrik semuanya sebagaimana mereka pun
memerangi kamu semuanya. Ketahuilah bahwa sesungguhnya
Allah bersama orang-orang yang bertakwa.123

Tafsir Ayat:

“Kemudian Maha Suci Allah berfirman untuk mengajar orang-orang

mukmin atas apa yang di tetapkan disisi Nya dari hari-hari dan bulan-bulan, untuk

menyempurnakan kemashlatan dan hubungan-hubungan diantara mereka :

(Sesungguhnya Bilangan Bulan) Atas apa yang ditetapkan, (Disisi Allah ada Dua

Belas Bulan di dalam Kitab Allah) Yaitu di hadapan pengetahuan dan

ketentuannya pada lauhul mahfuz, (Pada Waktu Dia Menciptakan Langit dan

Bumi) Yaitu ketika allah mengungkapkan dunia alam semesta dan kerusakan,

yang di ukur dengan ukuran siang dan malam dibagi menjadi bulan, tahun,

minggu, dan jam, karena dalam dzat Allah Tidak Ada Pagi dan malam, Tidak Ada

musim Panas Dan musim Dingin, Tidak Ada Bulan Dan Tahun, Maka Mahasuci

Allah yang menghendaki atas pergantian dan perpindahan, Maha Suci Allah atas

zhahir dan bathin.

(Sebagian Diantaranya) Dari bulan-bulan yang ada dalam kitab Allah,

(Empat Bulan Haram) diantaranya bulan Rajab, Zul Qoidah, Zulhijjah,

Muharrom, dinamakan bulan haram karena Allah mengharamkan hambanya pada

bulan tersebut atas sebagian yang diperbolehkan pada bulan yang lain, karena

menjadi kemuliaan dan kehormatan bagi bulan tersebut, maka wajib bagi orang

yang mukallaf untuk taat, menetapkan kebaikan kebaikan, mejauhi dosa-dosa dan

QS at-Taubah [9]: 36, Departemen Agama Republik Indonesia, Al-‘Aliyy Al-Qur’ān dan
123

Terjemahannya, (Bandung, CV. Penerbit Diponegoro, 2005), hlm. 153.


kebodohan, serta memperbanyak amal-amal soleh dan bersungguh-sungguh dalam

kebenaran pada semua keadaan, terutama pada bulan-bulan yang telah ditetapkan

untuk bersungguh-sungguh, (Itulah Ketetapan) Yaitu diharamkannya bulan yang

empat, (Agama Yang Lurus) Agama yang diwariskan untukmu yang berasal dari

agama nabi Ibrahim dan Ismail, (Maka Jangan Kamu Menganiaya Diri Kamu

dalam Bulan Yang Empat) dengan keluar dari tuntutan yang diharamkannya dan

merusak kemuliaannya, sehingga kamu tidak pantas mendapat azab Allah dan

panggilannya.

(Dan Perangilah Kaum Musyrikin) Pada bulan tersebut jika mereka

memerangi kamu, dan jangan mengambil inisiatif untuk memulai memerangi

mereka pada bulan tersbeut serta pada bulan yang lain juga, akan tetapi jika

mereka berinisiatif memerangi kamu maka perangilah mereka, (Semuanya) Yaitu

seluruhnya tanpa terkecuali, (Sebagaimana Mereka Memerangi Kamu Semuanya)

Tanpa ampunan dan waktu, (Dan Ketahuilah) Wahai orang-orang mukmin,

(Sesungguhnya Allah) keadilan yang merata, (Beserta Orang-Orang Yang

Bertakwa) Orang-orang yang memelihara jiwa mereka dari melanggar larangan

Allah, sesunguhnya Allah mengharamkan bagi yang melanggar larangan Nya

karena ada hikmah dan mashlahat yang tidak kamu ketahui.”124

124
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Tafsir al-Jilāni, (Kairo: Dār al-Rukni wa al-Maqam, 2009), Jilid
2, hlm. 205-206.

Anda mungkin juga menyukai