Perang adalah sebuah pertikaian baik secara fisik maupun non fisik
yang terjadi antara satu kelompok atau lebih untuk melakukan dominasi di
merupakan suatu dasar yang alamiah dan penting untuk dilakukan dalam
penyelesaian masalah.2
peperangan pertama kali muncul sejak adanya pertikaian antara Habil dan
Qabil bahkan hingga hari ini, perang masih menjadi warisan umat
sahabat, hingga dinasti terakhir Islam yaitu dinasti Turki Utsmani, perang
merupakan peristiwa yang lumrah terjadi saat itu. Perang dilakukan agar
1
Dyan F. D. Sitanggang, “Pengerusakan Tempat Bersejarah dalam Perang Antar Negara
Sebagai Pelanggaran Hukum Humaniter Internasioanal”, Lex et Societatis, Vol. 1, No. 2, April-
Juni 2013, hlm. 6.
2
Ikhwan, “Pembenaran Kekerasan dalam Politik Kekuasaan”, al-Ijtima’, International
Journal of Government and Social Science, hlm. 114.
3
Supriadi, “Ayat-Ayat Perang dalam al-Qur’ān (Suatu Tinjauan Semantik)”, (Skripsi,
Fakultas Seni Budaya Universitas Hasanuddin, Makassar, 2017), hlm. 5.
dapat menduduki daerah tersebut. Dalam Islam penaklukan dilakukan
Perang dalam ayat al-Qur’ān sering disebutkan, salah satu ayat yang
batas yang dimaksud adalah kedua belah pihak yang terlibat menghindari
muslimin. Seperti halnya wanita, anak-anak kecil, orang tua serta para ahli
4
QS al-Baqarah [2]: 190, Departemen Agama Republik Indonesia, Al-‘Aliyy Al-Qur’ān dan
Terjemahannya, (Bandung, CV. Penerbit Diponegoro, 2005), hlm. 23.
5
Sayyid Quthb, Fī Zhilāl al-Qur’ān, (Beirut: Dār al-Syurūq, 1992), Jilid 1, Juz 2, hlm. 223.
Mereka telah mempersiapkan rencana dan mengambil langkah-langkah
hawan nafsu serta bertujuan sebagai pertumpahan darah. Akan tetapi ayat
Sebagai salah satu aturan dan etika Islam dalam memerangi musuh adalah
kekuasaan musuh. Seperti halnya wanita, anak-anak, orang tua, dan orang-
orang yang sakit serta siapa saja yang mengajak perdamaian dan
melakukan perdamaian.7
6
Aryadi Cahyadi, “Perang dalam Perspektif al-Qur’ān (Studi Muqarin Tafsir al-Mishbah
dan Ibnu Katsir)”, (Skripsi, Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah IAIN Curup, Curup, 2019),
hlm. 17.
7
Ibid., hlm. 18.
mempertahankan diri dari serangan musuh dan dalam rangka menjaga
dakwah.8
Perang yang terjadi dalam sejarah Islam banyak sekali, bahkan sejak
Rasulullah SAW. sebagai panglima perang saat itu. Pada awalnya kaum
dalam peperangan tersebut. Adapun korban jiwa pada perang ini tidak
terlalu banyak, namun yang menjadi syahid dalam perang tersebut adalah
Islam ada yang merasa bangga dengan jumlah pasukan sebanyak itu untuk
8
Nurul Fitri, “Ayat-Ayat Qitāl dalam Surah at-Taubah (Studi Penafsiran Kh. Mishbah
Musthafa dalam Tafsir al-Iklīl Fī Ma’ānī at-Tanzīl)”, (Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Dakwah
Institut Ilmu al-Qur’ān, Jakarta, 2021), hlm. 3.
9
Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Ar-Rahīqul Makhtūm, Bahtsun Fī As-Sirah An-
Nabawīyah Ala Shahībina Aidhalish Salāti wa Sallām, (Riyādh: Darussalam, 1993), cet. Ke-1, terj.
Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2020), hlm. 303.
mengalahkan pasukan musuh yang di pimpin Malik bin Auf. Namun Allah
lembah Hunain harus kocar kacir dengan serangan yang sudah disiapkan
musuh saat itu. Kaum muslimin yang sebanyak 12.000 orang tadi lari
yang rendah hati atau tawaddhu’ dengan kondisi yang dihadapi. Serta
sangat penting juga untuk tetap menjaga kekompakan dan menjaga hati
agar selalu satu tujuan, mempersiapkan diri serta taktik dalam peperangan,
tidak merasa cepat puas dengan banyaknya pasukan. Karena makna perang
dari itu.
10
Ibid., hlm. 508.
memahami kata dakwah. Dakwah merupakan suatu rangkaian dari jihad
namun tidak termasuk dalam qitāl atau perang. Hal inilah yang masih
muncul dikarenakan adanya doktrin yang datang dari barat melalui media-
media massa seperti internet, koran, radio dan sejenisnya yang mengatakan
penganiayaan, dan agama yang radikal. Tidak heran jika para sarjana barat
terhadap manusia.12 Qitāl dalam Islam pada dasarnya tidak hanya sebatas
11
Syuryansyah, “Perang dalam Perspektif Islam Kontemporer”, Isbn : 978-602-19568-3-0,
hlm. 1.
12
Hidayatullah Ismail, dkk, “Pemikiran Sayyid Quthb Tentang Makna Qitāl dalam Kitab
Tafsir Fī Zhilāl al-Qur’ān”, an-Nida’, Vol. 44, No. 2, Juli-Desember 2020, hlm. 150.
13
Sadam Husein Harahap, “Perang dalam Perspektif al-Qur’ān (Kajian Terhadap Ayat-Ayat
Qitāl)”, (Tesis, Tafsir Hadis UIN Sumatera Utara, Medan, 2016), hlm. 11.
Perang atau qitāl dikenal sebagai jihad syar’i atau perang di jalan
Allah. Kata jihad yang dinyatakan tanpa menggunakan indikasi atau kata
jalan Allah akan terus berlangsung hingga akhir zaman nanti. 14 Qitāl
perlawanan terhadap musuh Islam, dalam arti sebagai pertahanan diri dan
Sehingga dalam perang tersebut tidak hanya tentang kekuatan fisik saja
Berkaitan dengan ayat-ayat qitāl ini, sangat menarik jika dikaji dari
sudut pandang sufisme. Salah satu tokoh sufi yang terkenal adalah Syaikh
Muhyiddin ‘Abdul Qādir al-Jilāni. Lahir pada tahun 470 H / 1077 M dan
wafat pada tahun 561 H / 1165 M.17 Ia merupakan salah satu ulama
tasawuf yang sangat dihormati oleh kalangan sunni serta terkenal sebagai
14
Ibid., hlm. 12.
15
Imam al-Qurtubi, al-Jāmī‘ li al-Ahkām al-Qur’ān, (Dār al-Kutub al-Mishriyyah, 1964),
Juz III, hlm. 38
16
Jamāluddin al-Qāshimi, Mahasin at-Ta’wīl, (Beirut: Dār al-Qutub al-Ilmiyyah, 1418),
hlm. 99
17
Badriyatul Azizah, “Al-Hayāh Perspektif Tafsir al-Jailāni”, (Skripsi, Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2018), hlm. 27.
wali dalam dunia tarekat atau tasawuf, dan juga terkenal sebagai ulama
fiqih.18
dan pada abad 20 ini, salah satu keturunan beliau bernama Dr. Muhammad
30 juz yang terdiri dari 6 jilid. Khusus pada jilid 5 dan 6 tercantum
dengan memadukan riwayat yang kuat dan shahih dengan hasil ra’yi yang
18
Zakiyatun Nufus, “Tazkiyah An-Nafs Perspektif Tafsir al-Jailāni karya Syaikh ‘Abdul
Qādir al-Jailāni”, (Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IIQ, Jakarta, 2018), hlm. 4.
19
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Tafsir al-Jilāni, (Kairo: Dār al-Rukni wa al-Maqam, 2009).
20
Muhammad Arwani, “Khilafah dalam Perspektif ‘Abdul Qādir al-Jailāni (Studi Tafsir al-
Jailani)”, (Tesis, Ilmu al-Qur’ān dan Tafsir UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2018), hlm. 62.
memerangi hawa nafsu.21 Karena hawa nafsu ini mencegah manusia untuk
kalangan jin, dan juga nafsu yang berada dalam dirinya. Rasulullah SAW.
bersabda: "Apabila telah kembali dari jihad yaitu kembalinya kita dari
jihad yang kecil (perang Badar) dan menuju jihad yang besar (melawan
hawa nafsu)". Dari sabda Rasulullah SAW. tersebut dapat dipahami para
sahabat telah melakukan jihad yang kecil (perang Badar), serta setelah itu
Selain itu, dalam jihad atau perang umat Islam dilarang untuk
tetap menjadi orang yang taat dan istiqomah dengan kemampuan yang
kelalaian.22
21
Larangan mengikuti hawa nafsu karena hawa nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan
dan menyimpang dari kebenaran. Lihat juga Nofitayanti dan Udin Supriadi,” Larangan Mengikuti
Hawa Nafsu dalam Kajian Tematik Digital Quran”, Zad Al-Mufassirin, Volume 2, Nomor 2, 2020,
hlm. 41.
22
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Tafsir al-Jilāni, (Kairo: Dār al-Rukni wa al-Maqam, 2009), hlm.
191.
A. Batasan Masalah
yang akan di bahas atau diteliti, agar pembahasannya tidak melebar dan
qitāl dalam QS. an-Nisā’ ayat 77, QS. al-Hajj ayat 39, QS. al-Baqarah ayat
B. Rumusan Masalah
1. Tujuan Penelitian
2. Manfaat Penelitian
manfaat penelitian.
a. Manfaat Teoritis
sufistik.
b. Manfaat Praktis
E. Telaah Pustaka
23
Irfanuddin, Cara Sistematis Berlatih Meneliti, (Jakarta: Rayyana, 2019), hlm. 45.
pembahasan yang diangkat pada penelitian ini. Adapun penelitian
adalah tentang kehidupan manusia di dunia ini. Skripsi ini ditulis karena
melihat banyaknya manusia yang lalai, tertipu oleh kehdiupan dunia ini.
Maka dari masalah tersebut, skripsi ini tulis untuk mengkaji apa makna
dari hidup manusia beserta tujuan hidupnya di dunia ini dalam tafsir al-
Jilāni.24 Persamaan skripsi ini dengan penelitian yang peneliti teliti adalah
skripsi ini berfokus pada pembahasan tentang hidup dalam tafsir al-Jilāni,
Qur’an.
berkaitan dengan hati di zaman yang semakin maju dan modern agar selalu
24
Badriyatul Azizah, “Al-Hayāh Perspektif Tafsir al-Jailāni”, (Skripsi, Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2018).
25
Zakiyatun Nufus, “Tazkiyah An-Nafs Perspektif Tafsir al-Jailāni Karya Syaikh ‘Abdul
Qādir Al-Jailāni”, (Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IIQ, Jakarta, 2018).
perbedaannya adalah skripsi ini mengkaji tentang ayat-ayat yang berkaitan
Qitāl). Hasil penelitian dari tesis ini adalah dalam perspektif al-Qur’ān
Qur’ān yang meliputi perang fisik, perang lisan, perang dengan hati,
dengan tesis yang ditulis oleh saudara Saddam Husein Harahap ialah
terletak pada tafsir yang digunakan. Penelitian ini menggunakan tafsir sufi,
26
Saddam Husein Harahap, “Perang dalam Perspektif al-Qur’ān (Kajian terhadap Ayat-
Ayat Qitāl)”, (Tesis, Tafsir Hadis UIN Sumatera Utara, Medan, 2016).
27
Muhammad Suaib Tahir, “Qitāl dalam Perspektif al-Qur’ān”, Nida’ al-Qur’ān , Volume
3, Nomor 1, Juni 2018.
Suaib Tahir dengan penelitian ini ialah sama-sama membahas dan
merujuk pada satu tafsir atau tokoh saja. Sedangkan pada penelitian ini
kawan yang berjudul Pemikiran Sayyid Quthb tentang Makna Qitāl dalam
Persamaan jurnal yang ditulis Hidayatullah Ismail dan kawan kawan dengan
Perbedaannya adalah jurnal ini membahas qitāl perspektif Sayyid Quthb yang
penelitian yang diteliti peneliti ini lebih mengarah kepada sufi karena
28
Hidayatullah Ismail, dkk, “Pemikiran Sayyid Quthb tentang Makna Qitāl dalam Kitab
Tafsir Fī Zhilāl al-Qur’ān”, an-Nida’, Volume 44, Nomor 2, Juni-Desember 2020.
Table 1.1
tentang hidup
Jilāni,
sedangkan
peneliti fokus
pada
pembahasan
ayat-ayat qitāl
dalam al-Qur’an
Jailāni berkaitan
tentang tazkiyah
an- nafs,
sedangkan
peneliti meneliti
ayat-ayat yang
berkaitan
tentang qitāl
menggunakan
kitab tafsir
secara umum.
Sedangkan
penelitian ini
menggunakan
tafsir al-Jilāni
karya Syaikh
Jilāni
global tidak
merujuk pada
tokoh saja.
Sedangkan pada
penelitian ini
akan lebih
spesifik kepada
penafsiran
Syaikh ‘Abdul
Qādir al-Jilāni
Jilāni.
Quthb. Berbeda
Kitab Tafsir Fī
peneliti
Zhilāl al-Qur’ān
menggunakan
tafsir al-Jilāni
karya Syaikh
Jilāni
F. Kerangka Teori
1. Pengertian Qitāl
Qitāl seakar dengan kata qatl yang terdiri dari huruf qaf, tha’,
29
Ahmad Ibn Faris, al-Mu’jām al-Maqāyis al-Lughagh), (Kairo: Dār al-Fikr, tt.), Juz 5,
hlm. 56. Lihat juga ath-Thāhir Ahmad az-Zawiy, Tartīb al-Qāmus al-Muhīth, (Kairo: Dār, al-Fikr,
tt.), Jilid 3, hlm. 560.
30
Muhammad Suaib Tahir, “Qitāl dalam Perspektif al-Qur’an”, Nida’ al-Qur’ān, Volume
3, Nomor 1, Juni 2018, hlm. 82.
31
Ibnu Manzhur, Lisân Al-‘Arab, (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, tt.), Jilid. V, hlm. 3531.
32
Abi Al-Ḫusain Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariyya, Mu’jam Maqâyis al-Lugah, Tahqīq ‘Abd
al-Salām Muẖammad Ḫarun, (Beirut, Dâr al-Fikr, 1979), Juz. V, hlm. 56.
dari kata qātala yang memiliki beberapa arti di antaranya: mematikan
merendahkan.33
suatu kewajiban. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat Al-
tidak memerangi mereka tidak boleh diperangi. Dalam hal ini Allah
dari muka bumi dan manusia semuanya tunduk kepada Allah. Hal
33
Ibrāhim Musthafā, al-Mu’jam al-Wasith, (Mesir: Maktabah al-Syurūq al-Dauliyyah, tt.),
Jilid II, hlm. 715. Lihat juga Lilik Ummu Kaltsum, dkk, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Jakarta: UIN
PRESS, 2015), hlm. 155
34
M. Junaidi, Perang dan Jihad dalam Perspektif Fiqh Siyasah Dauliyah (Telaah Historis
Berbasis Teks Suci), Jurnal Law And Justice, Vol. 1, No. 1, Oktober 2016, hlm. 68.
3. Corak Tafsir Sufi
satunya mushtaq dari kata suf karena para sufi memakai pakaian yang
Para sufi memakai pakaian dari kain suf (tenunan dari bulu domba atau
biasa disebut kain wol) sebagai praktek gaya hidup sederhana dan
kezuhudan. Sufi juga diambil dari kata safa’ yang berarti suci. Hal ini
karena kesucian hati para sufi, serta kesucian kondisi secara lahir dan
batin dari menentang Allah. Sufi juga diambil dari kata suffah yang
Tafsir sufi dibagi menjadi dua, yaitu tafsir sufi nazari dan tafsir
sufi isyari. Pertama, tafsir sufi nazari merupakan tafsir sufi yang
35
Abdul Syukur, “Mengenal Corak Tafsir al-Qur’ān”, El-Furqonia, Volume 1, Nomor 1,
Agutus 2015, hlm. 101.
G. Metode Penelitian
sebagai berikut:
Jilāni
e) Membuat kesimpulan
nuzul, kitab tafsir al- Jilāni karya Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni.
dengan tema yang diteliti. Dapat berupa buku-buku dan kitab tafsir,
sebagai berikut:
H. Sistematika Pembahasan
dalam penelitian ini dikaji secara sistematis dalam lima bab yakni:
Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni . Bab ini terdiri dari biografi, pendidikan,
pembahasan.
BAB II
BIOGRAFI SYAIKH ‘ABDUL QĀDIR AL-JILĀNI DAN TAFSIR AL-
JILĀNI
1. Riwayat Hidup
‘Abdul Qādir Al-Jilāni bin Shalih Musa Janki Dausat bin Abu
Abdullah bin Yahya Az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa
Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra. Jika diruntut dari silsilah namanya,
daripada perhatian terhadap status sosial dan silsilah keluarga. Hal ini
38
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Tafsir al-Jilāni, (Kairo: Dār al-Rukni wa al-Maqam, 2009), hlm. 5.
39
Kamran As’ad Irsyadi, Lautan hikmah kekasih Allah, (Jogjakarta: Diva Pres, 2007), hlm.
6.
dapat dilihat ketika beliau memperkenalkan dirinya dengan kalimat,
Kail atau Kailan pada tahun 471 H. Adapun yang mengatakan beliau
lahir pada tahun 470 H dengan riwayat diambil dari perkataan beliau
Tamimi masih hidup dan usia saya pada saat itu delapan belas tahun”.
Penisbatan nama itu ke wilayah ini menjadi Jaili, Jailani, dan Kailani.41
Ridha bin Sayid Musa al-Khadim bin Sayid Ja’far ash-Shadiq bin
Sayyid Muhammad al-Baqir bin Sayyid Zainal Abidin bin Sayyid al-
40
Sa’id bin Musfir al-Qahthani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, terj. Munirul
Abidin, (Jakarta: PT Darul Falah, 2017), hlm. 14.
41
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Secret of the Secrets, terj. Zaimul Am, (Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta), hlm. 15-16.
42
Muhammad bin Yahya al-Tadafi, Mahkota Para Aulia, terj. A Kasyful Anwar, (Jakarta:
Pernada, 2005), hlm. 17.
dalam mendeskripsikan Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni mencantumkan
besar lagi mulia, sesuai dengan nasab dan keturunannya. Ibu dan
didikan kaum sufi yang hidup serba sederhana dan ikhlas. Sejak kecil
bathinnya yang melekat sejak kecil itu berlanjut hingga tampak dalam
secara detail. Sementara itu, di Jailan saat itu belum ada orang yang
terhadap ilmu syariat. Oleh sebab itu, terbesit dalam hatinya untuk
43
Sa’id bin Musfir al-Qahthani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, terj. Munirul
Abidin, (Jakarta: PT Darul Falah, 2017), hlm. 15.
44
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Tafsir al-Jilāni, (Kairo: Dār al-Rukni wa al-Maqam, 2009), hlm. 7.
itu, penduduk Jailan adalah penganut madzhab Hambali.45 Hal itu
pengikutnya.
muslimah, beliau pun mendatangi para ulama Islam untuk belajar lebih
dalam kepada mereka. Beliau belajar dari para ulama besar setelah
Nizamiyah yang pada waktu itu dipimpin oleh seorang sufi besar,
dari gurunya tersebut. Pada tahun 251 H/1127 M. Syaikh ‘Abdul Qādir
45
M. Zainuddin, Karomah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2004), hlm. 36-37.
46
Aly Mashar dan Nailal Muna, 2020, “Filsafat Etika Tasawuf Syaikh ‘Abdul Qadir Al-
Jailani: Kajian Etika Salik dalam Kitab Ghunyah li Thalibi Thariqb al-Haqq”, Jurnal Intelektual:
Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman, Volume 10, Nomor 3, Desember 2020. hlm. 274.
dari seorang sufi besar bernama Yusuf al-Hamadani (440 H/1048 M-
535 H/ 1140 M). Pada tahun 528 H Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni
usia pencari ilmu itu. Jika usia sudah memadai, mereka akan pindah
sarana dan prasarana yang tersedia pada saat itu tidak sebagus yang
terkenal yang ahli dalam berbagai bidang, lalu beliau belajar dari
beliau menjadi seorang yang ahli dalam berbagai bidang ilmu. Adz-
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Tafsir al-Jilāni, (Kairo: Dār al-Rukni wa al-Maqam, 2009), hlm. 8.
47
48
Abdul Razaq Al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir Jailani, Guru Para Pencari Tuhan, terj.
Aedi Rakhman Saleh, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009), cet. ke-1, hlm. 103-104.
seorang Syaikh imam yang alim, zahid, berpengetahuan luas, teladan,
agama).49
lebih. Beliau kembali ke Baghdad pada tahun 521H/ 1127M, dan mulai
memadai.50
wisma tamu (ribath) maka diterapkan sistem sedekah dan infaq, agar
sebuah tempat untuk orang-orang yang datang dari tempat yang jauh
49
Sa’id bin Musfir al-Qahthani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, terj. Munirul
Abidin, (Jakarta: PT Darul Falah, 2017), hlm. 16.
50
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Tafsir al-Jilāni, (Kairo: Dār al-Rukni wa al-Maqam, 2009), hlm.
51
Zakiyatun Nufus, “Tazkiyah An-Nafs Perspektif Tafsir al-Jailāni karya Syaikh ‘Abdul
Qādir al-Jailāni”, (Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IIQ, Jakarta, 2018), hlm. 61.
52
Muhammad Yahya Al-Tadafi, Qalaidul Jawahir, Mahkota Para Auliyā Syaikh Abdul
Qadir Al-Jailani, Terj. Kasyful Anwar, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 6.
a. Guru pada bidang tasawuf : Syaikh Abu Ya’qub Yusuf bin Ayyub
b. Guru pada bidang fiqih dan ushul fiqh : Syekh Abu Al-Wafa’ ibn
d. Guru pada bidang tariqat : Syaikh Abi Khoer Hammad bin Muslim
f. Guru pada bidang ilmu qira’at, tafsir dan syari’at : Abu Zakaria
Yahya ibn Ali at-Tabrizi, Abu Sa’id ibn Abdul Karim, Abu Ana’im
Muhammad ibn Ali ibn Muhammad, Abu Said ibn Mubarak Al-
Makhzumi
menjabat sebagai qadhi pada masa hidupnya. Wafat pada tahun 575
H.
ahli ibadah, ahli atsar, dan selalu beramar ma’ruf nahi munkar. Ia
pendidikan53 :
Madrasahnya
53
Dalam buku Mahkota Para Aulyā diriwayatkan bahwa syaikh Abdul Qadir Al-Jīlānī
mempunyai 4 orang istri pada usia 51 tahun dan mempunyai keturunan sebanyak 49 anak, laki-laki
berjumlah 27 dan anak perempuan berjumlah 22 anak. Lihat Muhammad Yahya Al-Tadafi,
Mahkota Para Auliyā..., Terj. Kasyful Anwar, hal. 103.
b. Abdul Razaq bin Abdul Qādir al-Jilāni (528-593 H.). Ia adalah
perawi hadits
Bani Saljuk yang tengah dilanda pergolakan (baik dari dalam maupun
maupun kemasyarakatan.55
54
Muhammad Yahya Al-Tadafi, Mahkota Para Auliyā..., Terj. Kasyful Anwar, hal. 105-
111.
55
M. Zainuddin, Karomah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2004), hlm. 13.
datangnya penguasa Saljuk menguasai Baghdad. Lalu berdirilah
Billah. Pada masa itu banyak sekali fitnah dan pertentangan antar
penguasa Saljuk.56
Saljuk) berkuasa.
Abbasiyyah.57
56
Sa’id bin Musfir al-Qahthani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, terj. Munirul
Abidin, (Jakarta: PT Darul Falah, 2017), hlm. 5.
57
Mohamed Fadil Al-Jailani Al-Hasani, Biografi Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, (Depok:
Keira Publishing, 2016), hal. 40-49.
para khalifah di Baghdad dan kelompok Bathiniyyah di Mesir. Situasi
nahi munkar karena melakukan hal seperti ini pada masa huru-hara
58
Mohamed Fadil Al-Jailani Al-Hasani, Biografi Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, (Depok:
Keira Publishing, 2016), hal 50.
Tingkat pertama, para penguasa, mereka keturunan Bani Abbas
angan yang hampa. Pada masa itu juga tempat-tempat kesenangan dan
masa yang terbaik dari sisi ilmiahnya karena di dalamnya banyak para
saat itu, tetapi juga di seluruh dunia Islam. Para ulama mempunyai
sekarang.59
unik adalah ia dapat membedakan sufi yang palsu dan yang asli hanya
rahimahumullah.”
59
Sa’id bin Musfir al-Qahthani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, terj. Munirul
Abidin, (Jakarta: PT Darul Falah, 2017), hlm. 8-9
60
Abdul Qadir Al-Jailani, Futuh Al-Ghaib, terj. Syamsu Basarudin, (Bandung, Penerbit
Mizan, 1981), hal. 37.
Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni banyak menyibukkan diri dalam
karya yang tersebar dalam bidang usul dan furu’ serta dalam hal ahwal
dan hakikat. Sebagian dari karyanya sudah tercetak dan sebagian lagi
masih dalam bentuk manuskrip atau bahkan dalam bentuk foto digital.
Karya paling mashur yang dicatat oleh Muhammad Fadil antara lain
adalah:
Al-Hikam Al-Furqāniyyah
b. Al-Salawat wa Al-Aurad
c. Al-Rasāil
d. Yawāqīt Al-Hikam
e. Al-Dīwan
61
Sa’id bin Musfir al-Qahthani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, terj. Munirul
Abidin, (Jakarta: PT Darul Falah, 2017), hlm. 27.
f. Sir Al-Asrār
g. Asrār Al-Asrār
h. Jalā’ Al-Khātir
i. Al-Amr Al-Muhakam
j. Usūl Al-Saba’
k. Usul Al-Dīn
n. Du’a’ Al-Basmalah
q. Futūh Al-Ghaib
s. Al-Dalā’il Al-Qādiriyyah
u. Al-Tuqus Al-Lahutiyyah
v. Bashāir Al-Khairat62
62
Aik Ikhsan Anshori, “Tafsir Ishari, Pendekatan Hermeneutika Sufistik Tafsir Syaikh ‘Abd
Al-Qadir Al-Jilani”, (Ciputat: Ciputat Mega Mall, 2012), cet. 1, hal. 102-103.
dan pemahaman saja, tetapi tafsir ini banyak berpegang teguh kepada
menyimpan berbagai misteri yang masih belum terkuak, pro dan kontra
penisbatan nama al-Jilāni atas tafsir ini juga masih belum final,
literatur yang ada adalah cucu ke 25 dari Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni,
63
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Tafsir al-Jilāni, terj. Muhammad Fadhil Jailani Al-Hasani,
(Jakarta: Salima Publika dan Markaz Al-Jailani, 2013), cet. ke-1, hlm. 21-22.
64
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Tafsir al-Jilāni, (Kairo: Dār al-Rukni wa al-Maqam, 2009), hlm.
23.
‘Abdul Qādir al-Jilāni ditulis oleh murid-muridnya, kecuali beberapa
penelitiannya, beliau takut jika suatu ketika karya ini dicuri oleh
2. Sumber Penafsiran
65
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Tafsir al-Jilāni, (Kairo: Dār al-Rukni wa al-Maqam, 2009), hlm.
xvi.
bahan utama yang digunakan dalam menafsiri al-Qur’ān menjadi tiga
macam:
makna yang bukan makna lahiriyahnya karena ada isyarat samar yang
diketahui oleh para penempuh jalan spiritual dan tasawuf serta mampu
kategori tafsir bil Iqtirani. Hal ini karena dalam menafsirkan ayat al-
Qur’ān, al-Jailani memadukan antara riwayat yang kuat dan sahih serta
66
Aramdhan Kodrat Permana, “Sumber-Sumber Penafsiran Al-Qur’an”, Jurnal Ahwal Al-
Syakhsiyyah, Volume 5, Edisi 1 Tahun 2020, hlm. 92.
67
Annisa Nur Fauziah dan Deswanti Nabilah Putri, “Cara Menganalisis Sumber Tafsir Al-
Qur’an”, Jurnal Iman dan Spiritualitas, Vol. 2, No. 4, 2022, hlm. 537.
tafsirnya kebanyakan terkait dengan asbabunnuzul, meskipun demikian,
lengkap.
3. Metode Penafsiran
bayani).
4. Corak Penulisan
68
Hujair A.H. Sanaky, “Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna
atau Corak Mufassirin)”, Al-Mawarid, Edisi XVIII, 2008, hlm 572.
69
Faisal Amin, “Metode Tafsir Tahlili : Cara Menjelaskan Al-Qur’an dari Berbagai Segi
Berdasarkan Susunan Ayat”, Kalam, Volume 11, Nomor 1, Juni 2017, hlm. 245.
masing-masing mufassir. Perjalanan kehidupan, pendidikan,
Corak atau natijah dari sebuah tafsir adalah hal yang tidak dapat
dipisahkan dari sebuah tafsir. Corak tafsir merupakan aspek yang sangat
oleh mufassir. Tafsir al-Jilāni adalah tafsir yang dikarang oleh seorang
Nya. Sehingga hal ini sangat berpengaruh kepada pola pikir dan gaya
nuansa sufinya yang sangat kental, karena itu corak tafsir al-Jilāni
70
Abdul Syukur, “Mengenal Corak Tafsir Al-Qur’an”, El-Furonia, Vol. 01, No. 01,
Agustus 2015, hlm. 85.
71
Sansan Ziaul Haq, Eksotisme Tafsir Ishari: Studi atas Metode Tafsir Al-Jailânî, (Ciputat:
Cinta Buku Media, 2016), cet ke-1, hal. 78.
72
Menurut Quraish Shihab, ada enam corak penafsiran yang sudah umum dikenal, yaitu; (1)
corak adabi ijtima’i, (2) corak filsafat, (3) corak ilmiah, (4) corak fiqhi, (5) corak sastra dan (6)
corak sufi yang terbagi menjadi dua, corak sufi an-nadzari dan corak sufi alisyari atau al-faidhi,
lihat Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1999), hal. 72.
Dalam muqaddimah tafsir al-Jilāni, Fadhil Jailani menyebutkan
manhaj Syaikh ‘Abdul Qādir al-Jilāni ini adalah manhaj yang luhur.73
5. Sistematika Penulisan
manuskripnya dan tercetak pada tahun 2009 M atau abad ke-15 H atas
Jailani. Tafsir ini terdiri dari 6 jilid yang dicetak langsung dari al-Jailani
73
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Tafsir al-Jilāni, (Kairo: Dār al-Rukni wa al-Maqam, 2009), hlm.
27.
yang mensosialisasikan ajaran dan pemikiran Syaikh ‘Abdul Qādir al-
dalam surat yang telah ditafsirkan serta menyertakan do’a pada setiap
penutup surat.74
6. Karakteristik Tafsir
karena hal inilah yang menunjukkan perbedaan antara satu tafsir dengan
(Khātimah As-Suwār).
74
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Tafsir al-Jilāni, (Kairo: Dār al-Rukni wa al-Maqam, 2009), hlm.
421-423.
c. Memberikan penafsiran yang berbeda kepada setiap lafadzh
para mufassir lain. Hal ini menunjukan bahwa Syaikh ‘Abdul Qādir
secara ringkas yang terkait dengan masalah hukum pada ayat hukum
tersebut.
A. Pengertian Qitāl
Qitāl berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti perang. Dalam
dalam al-Qur’ān.75
َ
mazid satu huruf bab fi’al dari kata ق َت َلyang memiliki arti tiga macam,
75
Muhammad Suaib Tahir, Pendekatan Makna Al-Qital dan Batasan Etiknya Dalam Al-
Qur’an, 198
76
Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Quran al-Karim,
(Qahirah: Dār al-Hadis, 1364 H), hlm. 533-536.
77
Ibn Manzur, Lisân al-‘Arab, (Qâhirah: Dār al-Ma’ārif, t.t.), Jilid. V, hlm. 3531
menghina. Kedua imatah yang berarti mematikan dan membunuh.78 Kata
َ
qitāl merupakan salah satu bentuk derivasi dari kata ق َت َلyang memiliki
dan merendahkan.79
Para tokoh mufassir dan yang lain juga memiliki pendapat masing-
masing mengenai arti kata qitāl. Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya al-
Islam yang berarti berjihad menghadapi mereka dengan tujuan agar dapat
sebuah pertempuran yang terjadi baik antar suku, bangsa, dan negara yang
namun tidak sama. Peneliti membahas jihad di sini agar tidak salah dalam
78
Abī al-Ḫusain Aẖmad Ibn Faris Ibn Zakariyya, Mu’jam Maqāyis al-Lugah, Tahqīq ‘Abd
As-Salâm Muẖammad Ḫarūn (Beirut: Dār al-Fikr, 1979), Juz. V. hlm. 56.
79
Ibrahim Musthafa, al-Mu’jam al-Wasith, (Mesir: Maktabah asy-Syuruq ad-Daūliyyah,
t.t.), Jilid II, h.715. Lihat juga Lilik Ummu Kaltsum, Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat
Ahkam (Jakarta: UIN PRESS, 2015), hlm. 155.
80
Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, (Kairo: Dār al-Kutub al-Mishriyyah, 1964).Juz.
III, h.38.Lihat juga Lilik Ummu Kaltsum, Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam,
(Jakarta: UIN PRESS, 2015), hlm. 156.
81
Al-Qasimi, Mahasin at-Ta’wil (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1418), Juz. II, hlm. 99.
memahami antara qitāl dengan jihad. Jihad dalam derivasinya di dalam al-
kali dalam al-Qur’ān, kemudian dengan kata ُج ْهدsebanyak 5 kali dalam al-
َْ
suatu usaha secara maksimal. Jihad juga berasal dari kata ال َج ْه ُدyang berarti
kata tersebut terbentuklah kata َج َاه َد- ُي َج ِاه ُدyang menghasilkan kata jihad
perang. Pada dasarnya, makna ini memang digunakan dahulu ketika pada
zaman Rasulullah, para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in, karena jihad
82
Lilik Ummu Kaltsum, Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Jakarta: UIN
PRESS, 2015), hlm. 184-185.
83
Jamal al-Din ibn al-Manzhur, Lisan al-Lisân Tahdhib al-Lisân al-‘Arab, I (Beirut: Dār al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), hlm. 212
84
‘Aly Ahmad al-Jurjawy, Hikmat al-Tashri‘ wa Falsafatuha, (Beirut: Dār al-Fikr, 1984),
hlm. 330.
sangat identik dengan peperangan (qitāl). Namun bila makna ini
perbuatan-perbuatan baik.85
rangkaian dari jihad, karena sesuatu yang berkaitan dengan qitāl sudah
memiliki banyak makna, salah satu maknanya ialah qitāl. Sesuatu yang
berkaitan dengan jihad belum tentu termasuk qitāl. Sehingga qitāl dan
85
Suhaimi, “Reinterpretasi Dan Reformulasi Makna Jihad dan Qital”, Jurnal El-Furqania,
Volume 04, Nomor 01, Februari 2017, hlm. 3.
86
Abdullah al-Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Have,
1996), Vol IV, hlm. 1395.
penyerangan. Sehingga pembelaan ini dilakukan karena berkaitan dengan
terlebih dahulu.87
B. Sejarah Qitāl
peperangan atau qitāl terbagi menjadi 2 periode yakni periode Mekkah dan
Madinah. Pada periode Mekkah ini, perang atau jihad yang diperintahkan
belum berbentuk perang secara fisik, melainkan dengan cara bersabar dan
melakukan peperangan. Jihad atau perang pada masa ini dilakukan dengan
bersabar dan memaafkan. Hal ini sesuai dengan ayat al-Qur’ān surah al-
َْ ۚ ُ ُ ْۢ ُ َ َ ْ َ َ
َو َّد ك ِث ْير ِم ْن ا ْه ِل ال ِك ٰت ِب ل ْو َي ُر ُّد ْونك ْم ِم ْن َب ْع ِد ِا ْي َم ِانك ْم ك َّفا ًرا َح َس ًدا ِم ْن ِع ْن ِد ان ُف ِس ِه ْم
ُ ٰ َ َّ ه َ ُ ْْۢ َ ْ َ َ َ َّ َ َ ُ ُ ْ َ ُّ َ ْ ُ ْ َ ْ َ ُ ْ َ ه َ ْ َ ه
اّٰلل َعلى ك ِل اّٰلل ِبا ْم ِر ٖه ۗ ِان ِمن بع ِد ما تبين لهم الحق ۚ فاعفوا واصفحوا حتى يأ ِتي
َ َ
ش ْي ٍء ق ِد ْير
Artinya: “Banyak di antara Ahlul kitab menginginkan agar mereka
dapat mengembalikan kamu setelah kamu beriman menjadi kafir
kembali karena rasa dengki dalam diri mereka setelah kebenaran
jelas bagi mereka. Maka, maafkanlah (biarkanlah) dan berlapang
dadalah (berpalinglah dari mereka) sehingga Allah memberikan
Suhaimi, “Reinterpretasi Dan Reformulasi Makna Jihad dan Qital”, Jurnal El-Furqania,
87
Quraish yang berjumlah besar. Hal ini juga dapat melatih keimanan dan
88
QS al-Baqarah [2]: 109, Departemen Agama Republik Indonesia, Al-‘Aliyy Al-Qur’ān
dan Terjemahannya, (Bandung, CV. Penerbit Diponegoro, 2005), hlm. 14.
89
Muhammad ‘Aly al-Sabūny, Tafsir Ayat al-Ahkām min al-Qur'ān, (Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1993), Jilid I, hlm. 161.
90
Muflikhatul Khairah, Jihad dan Hukum Perang dalam Islam, al-Qanun, Vol. 11, No. 2,
Desember, 2008, hlm. 354.
Artinya: “Diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang
diperangi karena sesungguhnya mereka dizalimi. Sesungguhnya
Allah benar-benar Mahakuasa membela mereka”.91
Ayat ini menurut sebagian pendapat dianggap sebagai ayat pertama
aktivitas jihad dalam bentuk perang pertama kali dilakukan dalam perang
Badar dan berlanjut pada perang Uhud yang merupakan aksi balasan dari
dalam perang ini pasukan kaum muslimin jauh lebih sedikit dibandingkan
dengan tentara kaum kafir. Menurut riwayat dalam tarikh al-Islam bahwa
91
QS al-Hajj [22]: 39, Departemen Agama Republik Indonesia, Al-‘Aliyy Al-Qur’ān dan
Terjemahannya, (Bandung, CV. Penerbit Diponegoro, 2005), hlm. 269.
92
Ada perbedaan pendapat mengenai hal ini. menurut Ibn al-‘Araby, ayat yang
memerintahkan perang pertama kali adalah QS. al-Hajj (22): 39. Ia beralasan adanya prinsip
tadarruj bahwa pada mulanya perang diizinkan kemudian diwajibkan. Sedangkan Menurut Rafi`
ibn Anas bahwa ayat perang pertama adalah QS. al- Baqarah (2): 190 kemudian disusul dengan
QS. al-Hajj (22): 39 dan seterusnya, dengan pengertian bahwa QS. al-Baqarah (2):190 bersifat
menyerukan dalam rangka membalas setimpal sedangkan dalam QS. al-H{ajj (22): 39 bersifat
memberi aturan secara legal bahwa perang diizinkan.
(ghanimah) sehingga sebelum peperangan selesai dan hampir
pertahanan dikuasai oleh pasukan kaum kafir. Oleh sebab itu banyak sekali
para mujahid Islam yang gugur dalam perang Uhud termasuk pamanda
Islam untuk menata kembali niat mereka dalam membela agama Allah,
bukan sebatas mencari harta rampasan perang. Maka ayat yang turun
dalam konsteks ini menyerukan agar mereka taat kepada pimpinan perang,
sebagaimana dalam QS. Ali-Imran ayat 200 dan al-Baqarah ayat 177 dan
216.93
dan Nasrani.94
93
Muflikhatul Khairah, Jihad dan Hukum Perang dalam Islam, al-Qanun, Vol. 11, No. 2,
Desember, 2008, hlm. 357.
94
Yusuf Qardhawy, al-Mujtama‘ al-Islam fi Ghair al-Muslimin, (Beirut: Dār al-Fikr, 1996),
hlm. 22.
perjanjian yang telah disepakati, sebagaimana tertuang dalam: QS. al-
Baqarah (2): 190 dan 193; at-Taubah (9): 12, 29, 36 ; dan al-Anfal (8): 39,
Selain itu perlu diakui bahwa jihad secara ofensif (memulai perang
terlebih dahulu) juga dilakukan. Patut digaris bawahi, jihad jenis ini harus
terhadap umat Islam dan akan menguasai wilayah Islam (Dar al-Islam).
95
Al-Qurthubi, al-Jāmi’ li al-Ahkām al-Qur’an, (Kairo: Dār al-Kutub al-Misriyyah, 1964),
Juz II, hlm.. 406.
96
Pasalnya, jihad ini dilancarkan dalam kerangka futuhat, yakni upaya memperluas wilayah
kekuasaan Daulah Islamiyah dengan cara menaklukkan wilayah-wilayah lain yang sebelumnya
dikuasai penguasa kafir dan sistem kufur. Selanjutnya, wilayah yang telah ditaklukkan tersebut
diintegrasikan dengan Daulah Islamiyah. Konsep tersebut merupakan hasil kesimpulan dari
pengejawantahan tafsir atas QS. Al-Taubah (9): 123. Ditulis dan disampaikan dalam presentasi
makalah kelas Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya konsentrasi Shari’ah tahun
2011, oleh Imadul Haq Fadholi dengan judul makalah ‚Urgensi Jihad Dalam Ranah Historis
Islam‛, yang dibimbing oleh Prof. Dr. Ahmad Zahro, MA.
C. Periodesasi Qital (Perang) dalam al-Qur’an
untuk itu. Dengan kata lain, perang belum merupakan suatu kewajiban.
Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Hajj ayat 39:
97
M. Junaidi, Perang dan Jihad dalam Perspektif Fiqh Siyasah Dauliyah (Telaah Historis
Berbasis Teks Suci), Jurnal Law And Justice, Vol. 1, No. 1, Oktober 2016, hlm. 68.
bumi dan manusia semuanya tunduk kepada Allah. Hal ini berdasarkan
َب ِص ْير
degan qitāl, dalam ayat tersebut tujuan perang (qitāl) dilaksanakan adalah
agar tidak ada lagi manusia yang musyrik atau menyembah selain Allah
QS al-Anfaal [8]: 39, Departemen Agama Republik Indonesia, Al-‘Aliyy Al-Qur’ān dan
98
Qur’ān.99
dengan tujuan agar tidak ada kemusyrikan dan hanya agama Allah yang
Ishaq berkata, bahwa yang dimaksud dengan fitnah pada ayat tersebut
99
Lilik Ummu Kaltsum, Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Jakarta: UIN
PRESS, 2015), hlm. 157.
100
Muhammad Ibn Jarir At-Thabari, Jāmi’ al-Bayān fi Ta’wīl Ayi al-Qur’ān, (Beirut:
Muassasah ar-Risālah, 2000), Juz VIII, hlm. 570.
101
Abu Abdillah Muhammad ibn ‘Umar al-Razi, Mafātih al-Ghaib, (Beirut: Dār Ihyā’ at-
Turāṣ al-‘Arabī, 1420 H/ 1990 M), Juz XV, hlm. 483-484.
adalah berupa kekafiran atau kerusakan dan kejahatan. Kekafiran disebut
beribadah hanya kepada Allah, bukan kepada yang lain. 103 Sementara
sampai tidak ada kemusyrikan dan mereka berserah diri kepada Allah. Jika
tujuan tersebut sudah tercapai dalam arti mereka telah Islam, maka tidak
berperang agar kalimat Allah tegak berdiri maka dia berada di jalan Allah”
muka bumi. Allah menjamin pahala yang besar bagi orang yang
102
Aẖmad ibn ‘Ali Abi Bakr al-Razi al-Jasshas, Ahkām al-Qur’an, (Beirut: Dār al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 1405 H/ 1987 M), Juz IV, hlm. 229.
103
Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn ‘Ali al-Wahidi, Al-Wajīz fī Tafsīr al-
Kitāb al-‘Azīz, (Beirut: Dār al-Qalam, 1415 H/1995 M), Juz I, hlm. 155.
104
Abu al-Muzaffar Mansur Ibn Muhammad Ibn ‘Abd al-Jabbar Ibn Ahmad al-Maruzi as-
Sam’ani, Tafsir al-Quran, (Riyadh: Dar al-Wathan, 1997), Juz I, hlm. 139.
Sebagian mufassir berpendapat bahwa seorang muslim yang
itu, seorang mujahid atau yang berperang di jalan Allah tidak boleh berniat
tidak ada perbedaan mengenai tujuan perang yaitu agar tidak ada lagi
fitnah.
ْ َع ٰلى ن
ص ِر ِه ْم لَقَ ِدي ٌْر ظ ِل ُم ْو ۗا َوا َِّن ه
َ َّٰللا ُ اُذِنَ ِللَّ ِذيْنَ يُقَاتَلُ ْونَ بِاَنَّ ُه ْم
pendapat as-Sam’ani, ayat di atas turun pasca hijrah sebagai ayat pertama
tidak diperkenankan oleh Nabi saw., karena belum ada izin dari Allah.
Kata َ أُذِنdiawal ayat berarti diizinkan, atau dibolehkan. Artinya yaitu umat
105
Nasir ad-Din Abu Sa’id ‘Abdullah Ibn ‘Amr Ibn Muhammad as-Syirazi al-Baidhawi,
Anwār at-Tanzīl wa Asrar at-Ta’wīl, (Beirut: Dār al-Ihyā’ at-Turās al-‘Arabī, 1418 H), Juz II, hlm.
84.
106
QS al-Hajj [22]: 39, Departemen Agama Republik Indonesia, Al-‘Aliyy Al-Qur’ān dan
Terjemahannya, (Bandung, CV. Penerbit Diponegoro, 2005), hlm. 269.
Islam diberi izin untuk berperang untuk mempertahankan eksistensi
penyekapan.108
perspektif Al-Qur’ān.
3. Tidak berlebih-lebihan
107
Abu al-Muzaffar Mansur Ibn Muhammad Ibn ‘Abd al-Jabbar Ibn Ahmad al-Maruzi as-
Sam’ani, Tafsir al-Quran, (Riyadh: Dar al-Wathan, 1997), Juz, III, hlm. 441.
108
Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Muhammad Ibn ‘Abdillah as-Syaukani, Fath al-Qadir, (Beirut:
Dār Ibn Kastsir, 1414 H), Juz III, hlm. 540.
109
Al-Qurthubi, al-Jāmi’ li al-Ahkām al-Qur’an, (Kairo: Dār al-Kutub al-Misriyyah, 1964),
Juz XII, hlm. 68.
6. Tidak menebang pohon dan merusak tanaman
dalam berperang. Dengan kata lain, bahwa dalam berperang ada etika atau
perang.
orang yang telah menyatakan damai. Jika larangan ini tetap dilakukan
110
Lalu Zaenuri. Qitāl Dalam Perspektif Islam, JDIS Vol. 1, No. 1, hlm. 23.
111
Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al-Basri al-Bagdhadi al-Mawardi, An-
Nukāt wa al-‘Uyūn, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), Juz I, hlm. 251.
berarti kaum muslimin telah melanggar batas-batas yang ditetapkan oleh
Allah Swt.
musuh seperti wanita, anak-anak, orang tua dan orang yang sakit, serta
pohon-pohon.112
orang musyrik di Tanah Haram itu adalah bagian dari melampaui batas,
renta.
112
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Alquran al-Hakim asy-Syahrir bi al-Tafsir al-Manar,
(Kairo: dar al-manar, 1954), Juz II, hlm. 207-209.
Jika diperhatikan pendapat di atas adalah bagian dari etika dalam
izin untuk berperang, namun dalam hal tersebut disebabkan karena faktor-
ayat 75:
ْ ْ ۤ
الن َسا ِء َوال ِول َد ِان ْ اّٰلل َو ْاْلُ ْس َت
َ ض َعف ْي َن م َن الر َجال َ ْ ه َ ُْ َُ َ ْ َُ ََ
و
ِ ِ ِ ِ ِ ِ وما لكم َل تق ِاتلون ِف ْي س ِبي ِل
ۚ ْ َّ َّ ْ َ ۚ َ ُ ْ َ َّ َْ ْ َ ٓ َ ُ َّ
اج َع ْل ل َنا ِم ْن ل ُدن َك َوِل اياال ِذ ْي َن َي ُق ْول ْون َرَّب َنا اخ ِر ْج َنا ِم ْن ٰه ِذ ِه الق ْرَي ِة الظ ِال ِم اهلها و
َ ْ َّ َّ ْ َ
اج َع ْل ل َنا ِم ْن ل ُدن َك ن ِص ْي ًراو
َْ َ َ ُ ْ ُ ْ َ ُ ْ َ َ ُ ُ ْ
ۚ َواق ُتل ْو ُه ْم َح ْيث ث ِق ْف ُت ُم ْو ُه ْم َواخ ِر ُج ْو ُه ْم ِم ْن َح ْيث اخ َر ُج ْوك ْم َوال ِف ْت َنة اش ُّد ِم َن الق ْت ِل
ٰ َ ۗ ُ ْ َ ُ ُ ٰ َ ُ ُ ْ َْ ُ ُ َ
َوَل ت ٰق ِتل ْو ُه ْم ِع ْن َد اْل ْس ِج ِد ال َح َر ِام َح هتى ُي ٰق ِتل ْوك ْم ِف ْي ِ ۚه ف ِا ْن ق َتل ْوك ْم فاق ُتل ْو ُه ْم كذ ِل َك
ْٰ ۤ
َج َزا ُء الك ِف ِرْي َن
Artinya: Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi
dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. jika
mereka 134 berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada
permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
6. Untuk menegakkan kebenaran. Dijelaskan pada QS. At-Taubah ayat
12:
َٓ ُْ َ َ ُٓ ََ ُ َ ْۢ َ َُٓ
َوِا ْن َّنكث ْوا ا ْي َم َان ُه ْم ِم ْن َب ْع ِد َع ْه ِد ِه ْم َوط َع ُن ْوا ِف ْي ِد ْي ِنك ْم فقا ِتل ْوا ا ِٕى َّمة الك ْف ِر ِا َّن ُه ْم َل
َّ َ َ َ َ ْ َ
ان ل ُه ْم ل َعل ُه ْم َي ْن َت ُه ْو َن ايم
Tafsir Ayat:
Kemudian ketika kesengsaraan dan kezholiman menimpa orang-orang
(Telah Di Izinikan Berperang) Telah diringankan oleh allah swt. melalui lisannya
muslim di sakiti dan di zholimi maka turunlah ayat ini (ayat berperang) untuk
meringankan mereka setelah apa yang diturunkan 70 ayat setelahnya, oleh sebab
itu dikatakan ayat ini (ayat tentang berperang) untuk menghilangkan 70 ayat
sebelumnya (ayat pelarangan berperang), oleh karena itu allah meringankan atas
QS al-Hajj [22]: 39, Departemen Agama Republik Indonesia, Al-‘Aliyy Al-Qur’ān dan
113
musuhnya.
Asbabun Nuzul :
maka Allah menurunkan ayat ini, dan ibnu Abbas berkata: Tatkala rasulullah
keluar dari mekkah, abu bakar berkata: Sesungguhnya Allah memberkati kita,
maha kuasa membela mereka), Abu Bakar berkata: sungguhnya aku tahu akan
terjadi perang.”114
114
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Tafsir al-Jilāni, (Kairo: Dār al-Rukni wa al-Maqam, 2009), Jilid
3, hlm. 230.
Artinya: Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi
kamu dan jangan melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas.115
Tafsir Ayat:
menyerang di waktu fajar dengan tiba-tiba, serta perang di tanah haram dan pada
keselamatan dan cara untuk mencapai derajat dengan firman Allah : (Perangilah di
Jalan Allah Orang-Orang Yang Memerangi Kamu) [Al-Baqarah ayat 190], Dan
isyarat yang sebenar-benarnya dari ayat ini adalah memerangi orang yang
mencegah kamu dari jalan Allah (nafsu), atau yang ingin menghalangi jalanmu
untuk berperang seperti syaitan-syaitan dari bentuk manusia dan jin hingga
115
QS al-Baqarah [2]: 190, Departemen Agama Republik Indonesia, Al-‘Aliyy Al-Qur’ān
dan Terjemahannya, (Bandung, CV. Penerbit Diponegoro, 2005), hlm. 23.
syaitan berbentuk nafsumu, sekalipun musuhmu menakluki jiwamu yang berada
disisimu, karena nabi bersabda : Apabila telah kembali dari jihad: (yaitu
kembalinya kita dari jihad yang kecil kepada jihad yang besar)", (Dan Jangan
syariat, maka berjihadlah kamu dengan etika dalam Islam namun tetaplah menjadi
dimiliki. dan yang kamu katakan itu yang kamu setujui, dan kamu mengerjakan
kelalaian.116
َ َ َ َّ َ َ َ ْ َ ه َ َ ُ َ ْ ُ ََْ َ ُ
ال ِاذا ف ِرْيق ِم ْن ُه ْم َي ْخ َش ْو َن
اّٰلل ا ْو اش َّد
ِ الناس كخشي ِة ك ِتب علي ِهم ال ِقت
ً َ َ َْ ُ َ َ َ ُ ٰ ْ ۚ َ ْ ُّ
الدن َيا ق ِل ْيل َواَل ِخ َرة خ ْير ِْل ِن َّات ٰق ۗى َوَل تظل ُم ْون ف ِت ْيَل
116
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Tafsir al-Jilāni, (Kairo: Dār al-Rukni wa al-Maqam, 2009), Jilid
1, hlm. 191.
kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami?
Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada
kami beberapa waktu lagi?” Katakanlah, “Kesenangan di dunia ini
hanyalah sedikit, sedangkan akhirat itu lebih baik bagi orang yang
bertakwa dan kamu tidak akan dizalimi sedikit pun.”117
Tafsir Ayat:
(Yang Dikatakan Kepada Mereka) Yaitu ketika mereka lemah, dan keadaan
mereka letih ketika mereka berada di mekah sebelum hijrah mereka ingin
Berperang) Yaitu setelah keadaan mereka kuat, dan hilang kelemahan mereka,
keyakinan mereka, serta tidak terlalu yakin dengan pertolongan Allah dan izinnya,
(seperti Takutnya Kepada Allah) Yaitu seperti takutnya kepada Allah, (Bahkan)
Yaitu akan tetapi, (Lebih Takut) Yaitu jika mereka percaya, berpegang kepada
Allah, karena di awal kemunculan islam saat itu keimanan mereka guncang,
QS an-Nisa’ [4]: 77, Departemen Agama Republik Indonesia, Al-‘Aliyy Al-Qur’ān dan
117
lalai, (Ya Tuhan Kami Mengapa Engkau Wajibkan Berperang Kepada Kami)
Yaitu padahal kami ini lemah, (Mengapa Engkau Tidak Tangguhkan (Kewajiban
Berperang) Kepada Kami Beberapa Waktu Lagi) Yaitu agar bertambah kekuatan
kami, perlengkapan kami, dan janji kami, hanya saja mereka berkata takut mati
dan takut tidak mendapatkan harta, (Katakanlah) Yaitu bagi mereka wahai rasul
agar menjadi peringatan dan teguran, (Kesenangan Dunia Ini Hanya Sementara)
Yaitu bahwa hasil yang di dapatkan lebih sedikit dibandingkan dengan pemberian
Allah, dan sebuah kemuliaan bertemu dengan allah, (Dan Akhirat Itu) Yaitu yang
diberikan di akhirat lebih baik dan kemuliaan bertemu dengan Allah, (Lebih Baik
serta dari hasil yang didapatkan, (Dan) Ketahuilah wahai orang-orang mukmin
sesungguhnya kalian, (Kamu Tidak Akan Di Aniaya) Yaitu tidak akan dikurangi
pahala berperangnya, dan tidak di tunda dari apa yang sudah di tentukan dalam
tidak memberi manfaat bagimu dalam perkara kematian, bahkan waktu kematian
118
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Tafsir al-Jilāni, (Kairo: Dār al-Rukni wa al-Maqam, 2009), Jilid
1, hlm. 378-379.
4. Surah At-Taubah Ayat 29
َ ْ ُ ْ ُ ُ َّ ْ َ َ ُ
َو َر ُس ْول ٗه َوَل َي ِد ْي ُن ْون ِد ْي َن ال َح ِق ِم َن ال ِذ ْي َن ا ْوتوا ال ِك ٰت َب َح هتى ُي ْعطوا ال ِج ْزَية
ࣖ ص ِغ ُر ْو َن
ٰ َع ْن َّي ٍد َّو ُه ْم
Tafsir Ayat:
(Perangilah) Yaitu wahai para penyerang pelindung bagi agama Allah dari
kepada tauhidnya, (Dan Tidak Beriman Kepada Hari Akhir) Yaitu hari yang di
persiapkan untuk dibalasnya amal, dan jika mereka goyah dalam keimanan
mereka menyanjung dan munafik dan tidak peduli dengan iman mereka, (Dan)
Diharamkan Allah Dan Rasulnya) Yaitu dengan izinnya Allah, (Dan) Yaitu
119
Jizyah adalah imbalan atau balasan atas rasa aman dan fasilitas yang diperoleh penganut
agama Yahudi, Nasrani, dan lainnya yang hidup di negara Islam. Ayat ini dan ayat-ayat yang
senada berlaku dalam situasi perang agama, bukan dalam situasi damai.
120
QS at-Taubah [9]: 29, Departemen Agama Republik Indonesia, Al-‘Aliyy Al-Qur’ān dan
Terjemahannya, (Bandung, CV. Penerbit Diponegoro, 2005), hlm. 152.
Benar (Agama Allah)) Yaitu yang diturunkan atas kebenaran, untuk mencapai
Yang Diberi Kitab Kepada Mereka) Yaitu mereka mengklaim memiliki kitab,
Yaitu jizyah ini sebagai hadiah untuk menghargai agama mereka dan
mereka dari tangan yang menindas dan yang berkuasa atas mereka, (Sedang
Mereka) Yaitu ketika memberi jizyah, (dalam Keadaan Tunduk) Yaitu dalam
keadaan hina dan direndahkan, diambil dari janggut mereka, dan diberikan kepada
yang berhak.”121
َّ اّٰلل َي ْو َم َخ َل َق
الس ٰم ٰو ِت
ه ٰ َ َ َ َ ْ َّ َّ َ ُّ ُ ْ ر ْ َ ه
ِ اّٰلل اثنا عش َر ش ْه ًرا ِف ْي ِكت ِب
ِ ِان ِعدة الشهو ِ ِعند
ُ َْ ْ َ ََ َْ َ ٰ ُ َ َ َ ٓ ْ َ ْ اَل َْ
الد ْي ُن الق ِي ُم ە فَل تظ ِل ُم ْوا ِف ْي ِه َّن ان ُف َسك ْم
ِ ض ِمن َها ا ْربعة ح ُرم ۗذ ِلكَو ر
ُْ ْ َو َقات ُلوا ْاْلُ ْشرك ْي َن َك ۤا َّف ًة َك َما ُي َقات ُل ْو َن ُك ْم َك ۤا َّف ًة َۗو
َ اع َل ُم ْٓوا َا َّن ه
اّٰلل َم َع اْل َّت ِق ْي َن ِ ِِ ِ
121
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Tafsir al-Jilāni, (Kairo: Dār al-Rukni wa al-Maqam, 2009), Jilid
2, hlm. 201-202.
122
Allah Swt. menetapkan periode orbit bumi mengitari matahari selama setahun yang
setara dengan dua belas bulan, yaitu dua belas kali ketampakan bulan sabit akibat bulan mengitari
bumi. Keteraturan periode waktu inilah yang menjadi patokan untuk perhitungan waktu.
bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah
kamu menzalimi dirimu padanya (empat bulan itu), dan perangilah
orang-orang musyrik semuanya sebagaimana mereka pun
memerangi kamu semuanya. Ketahuilah bahwa sesungguhnya
Allah bersama orang-orang yang bertakwa.123
Tafsir Ayat:
mukmin atas apa yang di tetapkan disisi Nya dari hari-hari dan bulan-bulan, untuk
(Sesungguhnya Bilangan Bulan) Atas apa yang ditetapkan, (Disisi Allah ada Dua
ketentuannya pada lauhul mahfuz, (Pada Waktu Dia Menciptakan Langit dan
Bumi) Yaitu ketika allah mengungkapkan dunia alam semesta dan kerusakan,
yang di ukur dengan ukuran siang dan malam dibagi menjadi bulan, tahun,
minggu, dan jam, karena dalam dzat Allah Tidak Ada Pagi dan malam, Tidak Ada
musim Panas Dan musim Dingin, Tidak Ada Bulan Dan Tahun, Maka Mahasuci
Allah yang menghendaki atas pergantian dan perpindahan, Maha Suci Allah atas
bulan tersebut atas sebagian yang diperbolehkan pada bulan yang lain, karena
menjadi kemuliaan dan kehormatan bagi bulan tersebut, maka wajib bagi orang
yang mukallaf untuk taat, menetapkan kebaikan kebaikan, mejauhi dosa-dosa dan
QS at-Taubah [9]: 36, Departemen Agama Republik Indonesia, Al-‘Aliyy Al-Qur’ān dan
123
kebenaran pada semua keadaan, terutama pada bulan-bulan yang telah ditetapkan
empat, (Agama Yang Lurus) Agama yang diwariskan untukmu yang berasal dari
agama nabi Ibrahim dan Ismail, (Maka Jangan Kamu Menganiaya Diri Kamu
dalam Bulan Yang Empat) dengan keluar dari tuntutan yang diharamkannya dan
merusak kemuliaannya, sehingga kamu tidak pantas mendapat azab Allah dan
panggilannya.
mereka pada bulan tersbeut serta pada bulan yang lain juga, akan tetapi jika
124
‘Abdul Qādir al-Jilāni, Tafsir al-Jilāni, (Kairo: Dār al-Rukni wa al-Maqam, 2009), Jilid
2, hlm. 205-206.