Anda di halaman 1dari 11

Justifikasi Perang dalam Islam

Divya Puspita Sari1, Febri Zuan Putra2, Keisya Regita Susilowati3

1
Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Email : 05010721009@student.uinsby.ac.id

2
Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Email : 05010721010@student.uinsby.ac.id

3
Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Email : 05010721011@student.uinsby.ac.id

Abstrak

Perang memiliki makna khusus dalam Islam, yang berbeda dengan makna bahasa.
Perang adalah mengangkat senjata untuk melawan atau berperang melawan orang kafir untuk
membela kehormatan Islam dan umat Islam. Dengan kata lain, perang harus dilakukan semata-
mata dengan maksud menegakkan kedaulatan Islam, bukan untuk hal lain, seperti bermaksud
menguasai negara lain, kemudian merebut apa saja yang bukan haknya, atau untuk mendapatkan
suatu kedudukan, pujian dan sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa perang diperbolehkan
dengan melawan secara fisik dan mengangkat senjata ketika ada kekuatan luar yang mengganggu
wilayah anggota komunitas Muslim wilayah atau wilayah yang disepakati oleh umat Islam
sebagai tanah perjanjian dengan komunitas lain.

Tidak ada pembenaran untuk melakukan penyerangan kecuali ada campur tangan
pihak luar di wilayah masyarakat muslim atau di masyarakat dimana kelompok muslim telah
mengadakan perjanjian dengan masyarakat lain di wilayah negara. Perlawanan tidak dibenarkan
di tempat yang bukan merupakan wilayah masyarakat yang berperang satu sama lain. Karena
dalam keadaan seperti itu, dapat mengintervensi dan melibatkan kelompok lain yang tidak
terlibat dalam sengketa tersebut.

1
Perlawanan fisik ini juga hanya sebagai alternatif untuk mempertahankan wilayah
ummat Islam atau wilayah dimana umat Islam terikat perjanjian dengan masyarakat lain dalam
suatu negara. Jadi bukan satu-satunya alternatif. Karena dalam hal ini Rasulullah juga telah
mengambil jalan damai sebagaimana tercermin dalam kasus Perjanjian Hudaibiyyah. Oleh
karena itu, perang dalam Islam harus dilakukan sesuai dengan pedoman hukum Islam yang
relevan. Perang tidak dapat dibiarkan berlanjut tanpa aturan atau hanya dengan kehendak pribadi
atau kelompok.

Pendahuluan

Perang selalu menjadi bagian penting dari sejarah Islam dan hukum Islam. Jihad,
yang pengertiannya mencakup (namun tidak terbatas pada) jihad fisik dalam peperangan,
merupakan salah satu bentuk ibadah yang paling utama dalam ajaran Islam. Menurut Jean Pictet,
umat Islam telah berperan penting dalam perkembangan sejarah hukum humaniter internasional
(HHI), yaitu hukum internasional yang secara khusus mengatur tentang hukum-hukum yang
berlaku ketika terjadi perang. Perang dalam arti saling membunuh antara manusia memang telah
terjadi sejak permulaan sejarah kehidupan manusia, sebelum diturunkan kitab Taurat, Zabur, Injil
dan al Quran. Karena pada waktu itu jumlah manusia belum begitu banyak.

Di era kontemporer ini, dimana hukum Islam dan HHI telah berkembang dengan
caranya masing-masing, ternyata terjadi hubungan dialogis antara para ahli HHI dan hukum
Islam. Misalnya, Palang Merah Internasional (ICRC) telah mengadakan pembicaraan dengan
'Ulama dan ahli hukum Islam di berbagai belahan dunia, seperti Kairo, Aceh dan Jenewa.

Namun, dalam berbagai perang yang melibatkan umat Islam saat ini, banyak
dugaan pelanggaran HHI oleh kelompok yang mengaku menerapkan Syariat Islam, termasuk
ISIS dan Taliban, yang mengakibatkan banyak orang yang berperang dalam perang tersebut
harus dilindungi menjadi korban. Oleh karena itu, tentunya diharapkan agar perang yang
melibatkan umat Islam lebih taat pada hukum perang, karena mengikuti hukum Islam adalah
bagian dari beribadah kepada Allah.

Dasar diperbolehkannya melakukan peperangan antara lain terdapat pada surat al-
Hâjj [22] ayat 39 yang berbunyi:

2
“Telah diizinkan (berperang) bagi siapa yang diperangi karena sesungguhnya mereka telah
dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu.”

Kemudian surat al-Anfâl [8] ayat 60 yang berbunyi:

“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang
kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan
orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, tetapi Allah mengetahuinya. Apa
saja yang kamu infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu
tidak akan dizalimi (dirugikan)”.

Pengertian Perang

Pada saat nabi Muhammad saw. lahir, perang adalah praktik umum yang tertanam
kuat dalam pemikiran dan kehidupan masyarakat. Islam tidak memulai sejarahnya melawan
hukum, tetapi mempersempit tujuan perangnya untuk menangkis serangan dan membela yang
tertindas. Inilah mengapa Islam menetapkan tujuan perang; dengan aturan bahwa perang harus
berhenti ketika musuh cenderung berdamai. Kewajiban ini didasarkan pada kesepakatan yang
dalam hal-hal tertentu mendahulukan semua hak umat Islam1.

Islam mengelingkungi perang dengan batasan, aturan, alasan, tujuan, perjanjian,


dan hukum umum yang juga diterapkan selama perang. Semua ini dikedepankan agar perang
jarang terjadi, dan kalaupun terjadi, dapat mengurangi akibat yang ditimbulkannya. Menghadapi
kerusakan yang disebabkan oleh perang, risalah nabi Muhammad membatasi perang pada aturan
umum adab, mendefinisikan tujuannya dan mengkhususkan diri hanya dalam melawan agresi,
menegakkan kebebasan berkeyakinan, dan mengakhiri perang melalui kesepakatan yang adil dan
tegas. Islam juga menerapkan aturan khusus untuk diterapkan selama pertempuran yang harus
diperhatikan oleh pihak yang terlibat2.

Berdasarkan alasan tersebut, maka peraturan perang dalam Islam disyariatkan sebagai
berikut;

1
Abd al-Rahman Azzam, The Eternal., h. 142.
2
Ibid., h. 143.

3
Pertama, hukum internasional mensyaratkan bahwa jika suatu negara dipaksa untuk
menyatakan perang, pertama-tama harus memberi tahu negara lain kapan perang dimulai. Selain
itu, juga harus diumumkan sehubungan dengan pemeliharaan bahwa negara lain tidak akan
diserang. Sehingga negara lain siap mengambil sikap netral. Sedangkan tujuan dari pengumuman
tersebut adalah untuk menghindari pengkhianatan dan keputusan yang curang.

Kedua, hukum internasional telah menetapkan dan mengakui bahwa orang tidak boleh
merugikan diri sendiri. Karena penamaan orang yang berperang itu khusus untuk masing-masing
tentara atau militer. Hukum Islam menetapkan bahwa wanita, bayi, pendeta di gereja, orang tua
lanjut usia, orang sakit dan mereka yang dilarang ikut perang, atau mereka yang cacat tidak
boleh dibunuh. Kecuali ketika salah satu dari mereka ikut berperang, baik dengan perkataan,
perbuatan, atau pikiran3.

Ketiga, di bawah hukum internasional, ada kewajiban untuk memberikan perawatan yang
serius kepada yang sakit dan terluka akibat perang. Selain itu, juga diatur bahwa rumah sakit
bersifat netral dengan tetap memberikan pelayanan yang baik kepada pasien yang dirawat di
rumah sakit.

Keempat, hukum internasional melarang pembunuhan dan penghancuran korban luka.


Selain itu, melarang penggunaan bom, peluru, dan senjata yang menambah penderitaan, serta
melarang peracunan sumur, sungai, dan makanan.

Kelima, menurut hukum internasional, tahanan dapat dipaksa dan dilemahkan hingga
dipaksa menyerah. Saat mengepung musuh, syariat Islam membolehkan penggunaan senjata
perang berupa lemparan batu untuk memenangkan perang4.

A. Perang untuk Mempertahankan Diri

Dalam peperangan pun terdapat etika perang yang harus dijaga oleh umat Islam.
Allah berfirman, yang artinya, "Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi
kamu, (tetapi) jangan kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang melampaui batas" (QS Al-Baqarah [2]: 190).
3
Abdul Wahhab Khallaf, Al-Siyasah., h. 106
4
Ibid., h. 110

4
Al-Qur'an telah menggariskan beberapa aturan dan etika perang; kapan dan di
mana perang diperbolehkan, apa yang harus dilakukan dengan tahanan, bagaimana jarahan
digunakan, dan kapan mengakhiri perang dan kapan berdamai.

Pertama, diperbolehkannya perang untuk mempertahankan diri dari serangan


musuh, sebagaimana ditegaskan dalam surat al-Baqarah: 90. Kedua, untuk membalas kesalahan
sebagaimana ditegaskan dalam Surat al Hajj:39. Ketiga, menegakkan kebenaran sebagaimana
disebutkan dalam Surat al Bara'ah: 12. Keempat, menghilangkan penganiayaan sebagaimana
disebutkan dalam Surat al Baqarah: 193. Kelima, menjaga ketentraman beragama sebagaimana
disebutkan dalam surat al Baqarah: 191.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa perang dalam Islam memiliki
prinsip untuk membela diri. Islam melarang umatnya menyerang musuh terlebih dahulu, tetapi
ketika diserang musuh, Islam dilarang mundur sama sekali, sebagaimana ditegaskan dalam surat
al Anfal: 15-16. Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa barangsiapa mundur dalam
pertempuran, maka ia akan mendatangkan murka Allah swt. Bahkan jika kemenangan datang
kepada umat Islam, mereka tidak boleh bertindak sembarangan melawan musuh yang kalah
seperti yang disebutkan dalam surah al Mumtahana: 7-8. Islam menawarkan dua alternatif
terhadap tawanan perang; Lepas tanpa tebusan dan lepas dengan tebusan sebagaimana diatur
dalam surat Muhammad: 4.

Sementara itu juga telah menjadi kesepakatan jumhur ulama', bahwa hukum
diperbolehkannya perang adalah untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Konsekuensi
hukum yang mengikutinya adalah bahwa tidak boleh membunuh seseorang hanya karena
perbedaan keyakinannya dengan Islam5. Sungguh hukum jihad perang baru menjadi wajib bagi
kaum mukminin ketika datangnya keadaan darurat yang membuatnya terjepit untuk melakukan
tindakan-tindakan yang dimampuinya dalam keadaan darurat tersebut6.

B. Perang untuk Menjajah

Agama Islam itu ibarat benih yang sempurna, jika ditanam dengan baik maka akan
tumbuh menjadi pohon rindang yang berbuah lebat yang akan membawa manfaat besar bagi

5
Muhammad Abu Zahrah, Nadzariyat al-Harb fi al-Islam, hlm. 95
6
Muhammad Abu Zahrah, Al-Mujtama' al-Insani, hlm. 193

5
siapa saja yang membutuhkannya. Akarnya menancap jauh ke dalam bumi, dedaunannya yang
rindang menjulang tinggi ke langit, membayangi siapa saja yang melintasinya.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perang dalam konsep Islam bukanlah
perang penjajahan atau perang perampokan, haknya perang adalah untuk mempertahankan dan
melindungi jalannya dakwah Islam. Berdasarkan prinsip ini, A. Hasjmy menyatakan bahwa ada
dua tujuan penting perang dalam Islam7:

1). perlindungan kebebasan berdakwah;

2). Menguatkan cinta damai.

Oleh karena itu, perilaku menjajah dianggap tidak sesuai dengan syariat Islam, karena hal
tersebut dapat menimbulkan kekacauan dan merugikan orang lain. Selain itu, Islam
memperbolehkan berperang hanya jika ia diserang oleh musuh, bukan memulai serangan. Seperti
yang telah dijelaskan dalam surah al-Anfal :15-16.

Sehingga perang atau penjajahan itu tidak perlu dilakukan jika dari sudut pandang
Islam, karena semua negara terlibat dalam perjanjian yang dianggap negara perjanjian yang
terikat oleh kita pada perjanjian yang tidak bisa dilanggar. Perang dalam Islam hanyalah sebuah
keterpaksaan yang tidak dapat lagi dihindari dan tidak dapat diperpanjang. Allah SWT melarang
umat Islam untuk mencegah agresi dan mencegah pembunuhan berlebihan terhadap musuh.
Yang kemudian menjadi isi dari prinsip etik perang dalam Islam adalah pertama prinsip
mempertahankan keyakinan atau kebebasan dalam menjalankan ibadah berdasarkan ayat-ayat
Allah SWT. Kedua, mempertahankan kemerdekaan dan kebebasan rakyat atau negara juga
didasarkan pada ayat-ayat Allah SWT. Ketiga, ajaran pengkhianat dan penentang Islam juga
berdasarkan ayat-ayat Allah SWT.

Selain itu, mayoritas ulama sepakat bahwa perang adalah untuk mempertahankan
diri dari serangan musuh. Konsekuensi hukum dari hal ini adalah tidak boleh membunuh
seseorang hanya karena perbedaan keyakinannya dengan Islam atau karena kekafirannya. Tapi
diperbolehkan untuk berperang dan membunuh ketika orang kafir menyerang Islam8.

7
A.Hasjmy, Nabi Muhammad SAW Sebagai Panglima Perang, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1998), h. 38
8
Muhammad Abu Zahrah, Nadzariyat al-Harb fi al-Islam, hlm. 95

6
Maka sesuai penjelasan tersebut, setidaknya ada 3 syarat wajib yang harus dipenuhi
apabila perang diperbolehkan9:

a. Jika Islam dan kaum Muslim terusir dari wilayahnya.

b. Ketika Islam dan Muslim diganggu dan ditentang.

c. Ketika Islam dan Muslim mengkhianati perjanjian.

C. Perang untuk Membebaskan dari Penjajah

Perang adalah perlawanan antara dua kubu atau lebih yang saling serang dengan
senjata. Terjadinya perang menimbulkan dampak negatif yang besar karena memakan banyak
korban jiwa dan harta benda. Islam mengizinkan perang ketika situasinya mendesak. Saat konflik
muncul, kita tidak boleh langsung berperang kecuali situasinya mendesak. Dasar kebolehan
berperang antara lain surat al-Hâjj [22] ayat 39 yang berbunyi:

“Telah diizinkan (berperang) bagi siapa yang diperangi karena sesungguhnya mereka telah
dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu.”

Kemudian surat al-Anfâl [8] ayat 60 yang berbunyi:

“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang
kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan
orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, tetapi Allah mengetahuinya. Apa
saja yang kamu infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu
tidak akan dizalimi (dirugikan)”.

Dalam peperangan kita juga harus memperhatikan tata cara dalam perang, yang
harus ditempuh dengan cara-cara yang benar dan baik, yaitu dengan mengetahui dan memenuhi
syaratsyaratnya, memahami tujuannya, meluruskan motivasinya, menaati batasan-batasannya,
dan melaksanakan etika-etikanya. Bila jihad perang benar-benar terjadi, maka etikanya Islam
adalah melarang membunuh tokoh agama lain, melarang membunuh anak kecil, orang tua dan
perempuan, petani, dan masyarakat awam, melarang berbuat keji dalam jihad perang,

9
Moh.Irfan, Jihad Perang dalam Hukum Islam,Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Vol.5 no.2 (2020).

7
memerintahkan untuk berlaku lembut terhadap tawanan perang, melindungi kaum kafir dan
hartanya, tidak merusak pepohonan, serta tidak merusak tempattempat yang bukan haknya.

Selain itu, kita juga harus selalu percaya akan adanya pertolongan dari Allah SWT
kepada umat Islam. Sudah tidak terhitung jumlah musuh yang memusuhi agama Islam, tetapi
kita tetap punya Allah SWT yang senantiasa akan melindungi hamba-hamba-Nya. Maka kita
tidak usah terlalu menghiraukan segala macam ancaman dan ketakutan yang seringkali
dihembus-hembuskan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perang dalam Islam memiliki aturan
yang jelas dan tidak boleh membunuh siapapun melainkan hanya mereka yang secara langsung
atau tidak langsung melakukan penyerangan. Dari ungkapan ini teori menyimpulkan bahwa
menurut fikih Islam, tujuan perang bukanlah untuk memperoleh kemenangan atau harta musuh,
tetapi terutama untuk memenuhi kewajiban, yaitu berjuang di jalan yang ditunjukkan oleh Allah
bahwa Islam adalah agama universal10. Islam melarang perang yang bertujuan pamer untuk
meningkatkan kesombongan dan kebesaran, seperti raja dan pahlawan. Islam juga melarang
penjarahan, yang biasanya mengikuti penaklukan (bangsa atau negara)11.

D. Perang untuk Membela Teman yang Diserang

Apabila terjadi peperangan yang menyerang teman kita, maka yang wajib kita
lakukan tentu saja menghentikan perang tersebut, terlebih lagi jika perang tersebut terjadi antar
sesama umat Islam. Maka kita wajib menjadi penengah untuk mendamaikan kedua belah pihak
tersebut, dengan syarat selama kita masih mampu untuk mendamaikannya.

Walaupun sebenarnya mendamaikan dua belah pihak yang sudah dikuasai nafsu
dalam berperang dan bahkan terjadi pertumpahan darah memang bukanlah suatu hal yang
mudah. Bisa jadi kita sendiri juga akan ikut diserang atau kita ikut berperang juga karena

10
Majid Kaddhuri, War and Peace in the Law of Islam, Terj. Syaukat Djayadiningrat, "Perang dan Damai dalam
Hukum Islam", (Jakarta: Usaha Penerbit Jaya Sakti, 1961), h. 81.
11
Sayyid Qutub, Islam and Universal Peace, Terj. Dedi Junaedi, "Perdamaian dan Keadilan Sosial", (Jakarta:
Akdemika Pressindo, 1996), h. 60.

8
terpengaruh situasi tersebut. Apabila kondisi atau keadaan yang terjadi semakin parah, ada
baiknya kita diam saja agar tidak memperkeruh suasana tersebut.

Peperangan yang terjadi dengan dikuasai oleh hawa nafsu hanya akan mencelakai
atau merugikan diri sendiri. Ada baiknya, sesama manusia kita saling mengingatkan agar tidak
terjadi hal yang tidak diinginkan.

Penutup

9
Menurut pandangan Islam, peristiwa perang diatur dengan cara tertentu, jelas, baik
dalam fase objektif, syarat-syarat diterimanya perang sampai tentang etika dalam perang, telah
dijelaskan secara rinci. dalam Islam, Perang dilegalkan hanya dalam keadaan darurat yang sangat
(terpaksa).

Pada prinsipnya, ajaran Islam hanya mengizinkan perang dilakukan untuk menahan
serangan musuh, Hak dilanggar oleh musuh dan melindungi keamanan khotbah Islam. Islam
baru menghalalkan perang jika ada penyerangan benar-benar terjadi atau ada pencemaran nama
baik.

Dari uraian di atas juga dapat disimpulkan bahwa dalam ajaran Islam kehidupan
adalah suci dan harus dihormati dan diperlukan keamanan untuk melindunginya. Oleh karena itu,
Islam mengutamakan kedamaian sebagai prinsip dasar kehidupan dan mengambil segala langkah
yang diperlukan untuk mencapai dan memeliharanya. Namun sifat manusia tidak seperti
malaikat yang luput dari kesalahan. Orang-orang dengan nafsunya, baik individu maupun
kelompok (masyarakat), seringkali cenderung bersikap kasar dan agresif serta tidak suka melihat
orang lain hidup tenang dan damai. Mereka memutuskan semua ikatan moral dan etika dan
menyita milik orang lain tanpa alasan yang kuat. Sikap manusia yang demikian tentu tidak dapat
ditolerir agar orang lain dan masyarakat dapat hidup dengan aman dan damai.

Daftar Pustaka
10
Abd al-Rahman Azzam, The Eternal Message of Muhammad, Alih Bahasa. Elly Batarfi,
"Keabadian Risalah Muhammad", Bandung: PT. Iqra, 1983.

Abdul Wahhab Khallaf, Al-Siyasah al-Syar'iyyah, Terj. Zainudin Adnan, "Politik Hukum Islam",
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005.

Zahrah, Muhammad Abu, Al-Mujtama' al-Insani, (Jeddah: Dar asSaudiyah, 1981)

Nadzariyatul Harb fi al-Islam (Kairo: Wizarat al-Auqaf Majlis al-A'la li al-Syu'un


al-Islamiyah, 2008)

Moh.Irfan, “Jihad Perang dalam Hukum Islam”, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Vol.5
no.2 (2020).

A.Hasjmy, Nabi Muhammad SAW Sebagai Panglima Perang, Jakarta: Mutiara Sumber Widya,
1998.

Majid Kaddhuri, War and Peace in the Law of Islam, Terj. Syaukat Djayadiningrat, "Perang dan
Damai dalam Hukum Islam", Jakarta: Usaha Penerbit Jaya Sakti, 1961.

Sayyid Qutub, Islam and Universal Peace, Terj. Dedi Junaedi, "Perdamaian dan Keadilan
Sosial", Jakarta: Akdemika Pressindo, 1996.

11

Anda mungkin juga menyukai