Anda di halaman 1dari 9

Pengertian Qital

Qitl ( ) adalah bentuk mashdar dari kata dasar qatala ( ) yang berarti
peperangan ( ) atau pertempuran () .
Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang
dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir
kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari
sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya)
daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat)
mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup.
(Q.S. Al-Baqarah[2]: 217)

Dalam konteks sejarah Islam, tidak dipungkiri adanya peperangan yang pernah dilakukan
oleh Rasulullah SAW. Tercatat tidak kurang dari 19 sampai 21 kali terjadi ghazwah (perang
besar atau perang yang dipimpin Rasulullah langsung), bahkan ada yang mengatakan 27 kali
perang, yang melibatkan pasukan besar dan Rasulullah SAW sendiri yang terlibat di
dalamnya, atau mengutus pasukan tersebut. Selain dalam bentuk ghazwah, terdapat pula
istilah lain dalam sejarah Islam, yaitu yang disebut dengan sariyyah (perang yang tidak
dipimpin Rasulullah) atau perang kecil yang terjadi hampir 35 sampai 42.

Periodesasi Qital (Perang) dalam al-Qur'an

Dalam pandangan Syeikh Abd Al-Aziz bin Baz, jihad dalam arti perang dalam Islam terbagi
menjadi tiga periode :
a. Periode pertama, umat Islam diizinkan berperang tanpa ada kewajiban untuk itu. Dengan
kata lain, perang belum merupakan suatu kewajiban. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam
surat Al-Hajj: Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperanggi karena
sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa
menolong mereka. (Q.S. al-Hajj [22]: 39)

b. Periode kedua, umat Islam diperintahkan untuk memerangi orang-orang yang memerangi
mereka saja, sementara orang-orang yang tidak memerangi mereka tidak boleh diperangi.
Dalam hal ini Allah berfirman dalam surat al-Baqarah :
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu
melampaui batas. Karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas. (Q.S. al-Baqarah [2]: 190)

c. Periode ketiga, umat Islam diperintahkan untuk memerangi orang-orang musyrikin secara
mutlak, baik mereka yang memerangi umat Islam ataupun tidak. Tujuannya adalah agar
kemusyrikan lenyap dari muka bumi dan manusia semuanya tunduk kepada Allah. Hal ini
berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Anfaal: Dan perangilah mereka, supaya jangan
ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari
kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. (Q.S. al-
Afaal [8]: 39)

Perintah Perang Dalam Al-Qur'an dan Al-Hadist


Dalam al-Qur'an disebutkan tujuan dan sebab diperbolehkannya melakukan peperangan, di
antaranya:
1. Melawan musuh ketika umat Islam dalam suasana perang dan atau diperangi. Dalam hal
ini Allah berfirman: "Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu,
(tetapi) janganlah kamu melampaui batas karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang melampaui batas." (Q.S. al-Baqarah [2]: 190)

Melampaui batas disini, sebagai contoh membunuh wanita, anak kecil, orang tua, merusak
tanaman, membunuh hewan (ternak) tanpa alasan yang jelas (kecuali hewan tersebut dibunuh
untuk dimakan).

2. Menolong orang-orang Muslim yang ditindas oleh orang-orang kafir. Allah berfirman:
Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah
baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: "Ya Tuhan kami,
keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang dzalim penduduknya dan berilah kami
pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!" (Q.S. al-Nisa' [4]:
75)

3. Umat Islam sengaja memerangi orang-orang kafir bila mereka menolak ajakan untuk
masuk Islam dan/atau mereka merintangi orang-orang Islam agar tidak memiliki kekuasaan
karena orang-orang Islam akan memberlakukan hukum (syariah) Islam di muka bumi ini.
Perang jenis ketiga inilah yang dinilai oleh sebagian orang sebagai perang yang tidak
beralasan atau tidak mempunyai dasar yang jelas. Padahal sebenarnya, baik Al-Quran
maupun hadis Nabi menunjukkan adanya perang jenis ketiga ini, misalnya Allah berfirman:
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya
semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada
permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang dzalim. (Q.S. al-Baqarah [2]: 193)

Fitnah yang dimaksud dalam ayat ini adalah kekafiran dan kemusyrikan. Di samping itu
Allah juga berfirman: Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak
(pula beriman) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar
(agama Allah), yaitu orang-orang yang diberi Al-Kitab sampai mereka membayar jizyah
(pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (Q.S. al-Taubah [9]: 29)

Ayat ini menegaskan bahwa perang yang dilakukan oleh orang-orang Islam adalah bertujuan
untuk menegakkan agama Islam dengan memberlakukan syariah Islam setelah orang-orang
Islam itu memperoleh kekuasaan, bukan bertujuan untuk membunuh orang-orang non
muslim. Sebab, seandainya tujuan perang itu untuk membunuh orang-orang non muslim,
tentulah tidak ada ketetapan tentang aturan jizyah (pajak keamanan atas mereka) dan tentunya
pula orang-orang yang bukan muslim itu tidak dibiarkan tetap memeluk agamanya.

Sebenarnya, perang jenis ketiga ini adalah untuk kepentingan orang-orang musyrikin juga,
sebab dengan perang ini di satu sisi umat Islam ingin menghilangkan kekuasaan orang-orang
kafir dari mereka dan melenyapkan simbol-simbol kebatilan. Sementara itu, di sisi lain, umat
Islam juga ingin memperlihatkan ajaran-ajaran Islam kepada mereka, bahkan kepada seluruh
manusia. Sehingga bagi mereka yang mengetahui ajaran-ajaran itu kemudian ingin masuk
Islam, mereka dengan mudah dapat masuk Islam. Dan bagi mereka yang ingin tetap memeluk
agamanya, Islam juga tidak menghalang-halanginya. Islam tetap memberikan kebebasan
kepada mereka untuk memeluk agamanya, sementara mereka diwajibkan tunduk kepada
peraturan-peraturan umum dalam Negara Islam.

Inilah sebenarnya inti kepentingan mereka, baik kepentingan duniawi maupun


kepentingan ukhrawi. Kepentingan duniawi, karena dengan diberlakukannya syariah Islam
itu mereka dapat menikmati keadilan Islam sehingga harta dan hak-hak mereka akan
terpelihara. Sedangkan kepentingan ukhrawi, karena dengan diberlakukannya syariah Islam
mereka memperoleh kesempatan untuk mempelajari dan menilai ajaran Islam, sehingga ada
kemungkinan mereka memeluk agama Islam atas kehendak mereka sendiri, tanpa ada
paksaan dan tekanan. Dengan demikian mereka akan memperoleh kebahagiaan di akhirat
kelak.

Gencatan Senjata (Perjanjian Perdamaian)

Dalam al-Quran tidak dibenarkan melakukan penyerangan (secara mendadak), jika


sebelumnya ada perjanjian perdamaian (gencatan senjata) dengan suatu kelompok.
Penyerangan dapat dilakukan (kepada pihak/kelompok yang melanggar perjanjian), jika
pihak yang telah sepakat melakukan perjanjian perdamaian telah melanggar isi dari perjanjian
yang telah disepakati (oleh masing-masing pihak) ataupun jika ada pihak yang melanggar isi
perjanjian sebelum jatuh tempo habis masa berlakunya kesepakatan perjanjian tersebut. Allah
berfirman: kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian
(dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian) mu dan
tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu
penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertakwa. (Q.S. al-Taubah [9]: 4) Ini menunjukan bahwa kaum musyrik yang mengadakan
perjanjian persahabatan dengan kaum muslimin, maka kaum muslimin tidak boleh
memerangi mereka. Hanya kaum yang memusuhi dan yang memutuskan ikatan perjanjian
dan menyerang kaum muslimin sajalah yang harus diperangi.

Adapun kaum musyrik perorangan, sekalipun ia termasuk golongan kaum yang memusuhi, ia
tetap tidak diganggu jika ia mau meminta keterangan tentang Islam (bertobat dan mendirikan
shalat dan menunaikan zakat), dan ia diberi jaminan keamanan untuk pulang kerumah
sekalipun ia tidak/belum memeluk Islam, sebagaimana al-Quran surat at-Taubah[9]:6:
Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu,
maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke
tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.

Asusmsi penulis sebab muculnya perintah untuk memerangi orang-orang kafir dan
musyrik secara mutlak hingga mereka semuanya tunduk kepada Allah dan hukum-
hukum Islam.

Allah berfirman dalam Q.S At-Taubah ayat 8-15: Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi
Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrikin), padahal jika mereka memperoleh
kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap
kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Mereka menyenangkan hatimu dengan
mulutnya, sedang hatinya menolak. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik
(tidak menepati perjanjian). Mereka menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit,
lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang
mereka kerjakan itu. Mereka tidak memelihara (hubungan) kerabat terhadap orang-orang
mukmin dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Dan mereka itulah orang-orang yang
melampaui batas. Jika mereka bertobat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka
(mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi
kaum yang mengetahui. Jika mereka merusak sumpah (janji) nya sesudah mereka berjanji,
dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir
itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang
janjinya, agar supaya mereka berhenti. Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang
yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir
Rasul dan merekalah yang pertama kali memulai memerangi kamu? Mengapakah kamu takut
kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar
orang yang beriman. Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan
(perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu
terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman, dan menghilangkan
panas hati orang-orang mukmin. Dan Allah menerima tobat orang yang dikehendaki-Nya.
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Tidak perlu dijelaskan lagi bahwa ayat-ayat ini menjelaskan bahwa terdapat suatu kabilah
(kelompok) yang tidak menghormati ikatan keluarga dan perjanjian yang telah mereka buat,
dan mereka mendahului menyerang kaum muslimin dan merencanakan untuk mengusir Nabi
Muhammad S.A.W, maka inilah kaum yang harus diperangi.

Penulis berasumsi sebab inilah muculnya perintah untuk memerangi orang-orang kafir &
musyrik secara mutlak hingga mereka semuanya tunduk kepada Allah dan hukum-hukum
Islam adalah dikarenakan sikap kaum Musyrikin yang tidak dapat memelihara sikap
kekerabatan dengan kaum Muslimin (senantiasa memusuhi kaum Muslimin), sehingga
mereka (kaum Musyrikin) seringkali tidak mengindahkan, mengabaikan, atau melanggar isi
dari perjanjian gencatan senjata antara kaum Muslimin dan kaum Musyrikin. Sehingga
turunlah perintah Allah S.W.T untuk memerangi orang-orang musyrikin secara mutlak
hingga mereka semuanya tunduk kepada Allah: Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak
ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah ..... (Q.S. al-
Baqarah [2]: 193) Fitnah yang dimaksud dalam ayat ini adalah kekafiran dan kemusyrikan.

Jihad Fisabilillah

Dari Abi Musa berkata: bahwa telah datang menghadap Rasulullah SAW, seorang laki-laki
dan bertanya kepada Rasul. Seseorang berperang dengan tujuan mencari harta rampasan
(ghanimah), dan seseorang berperang agar dikatakan sebagai seorang pemberani, dan ada
orang yang berperang untuk mendapatkan kedudukan, maka mana di antara mereka yang
termasuk berperang di jalan Allah? Nabi menjawab: "Barang siapa yang berperang di jalan
Allah demi tegaknya kalimat Allah (tauhid), maka dialah yang berperang di jalan Allah".

Hadist di atas menyebutkan bahwa orang yang termasuk berperang di jalan Allah adalah
orang yang membela agama Allah sebagaimana menurut al-Qur'an. Jadi seseorang dapat
dikatakan berperang di jalan Allah, apabila niatnya benar-benar tulus karena Allah, tidak riya'
atau dengan tujuan mencari keuntungan-keuntungan duniawi. Pada saat orang kafir berperang
dengan tujuan menghancurkan agama Islam, maka umat Islam yang melakukan peperangan
dalam kondisi seperti ini termasuk membela agama, dan masuk ke dalam kategori perang
untuk menjunjung tinggi kalimah Allah.
Perang dalam pandangan Islam merupakan sesuatu yang harus dihindari karena Islam tidak
menghendaki terjadinya peperangan. Perang bisa dilakukan setelah melakukan berbagai cara
untuk melakukan negosiasi perdamaian tetapi hal itu tidak ditanggapi oleh pihak musuh,
sehingga tidak ada cara lain untuk menyelesaikannya kecuali dengan melakukan perang . Hal
itu juga dalam keadaan darurat serta terpaksa ketika pihak lawan yang memulai lebih duluan
mengobarkan genderang perang. Dalam melakukan peperangan Islam mempuyai suatu tujuan
tersendiri dimana perang dilakukan dengan tujuan untuk mempertahankan diri dari serangan
musuh dan dalam rangka menjaga penyebaran dawah, sedangkan dawah itu sendiri
merupakan rangkaian dari jihad namun tidak termasuk dalam qital. Itulah qital dalam lingkup
fisabilillah yang khusus menjurus kepada pertempuran dan merupakan hanya bahagian dari
rangkaian jihad. Jadi jangan dimaknai sempit bahwa jihad itu adalah qital (perang) ataupun
sebaliknya (qital itu adalah jihad).

Sebagaimana yang diketahui bahwa pada masa lalu atau dalam masa modern sekarang ini,
jihad dalam bentuk perang yang bertujuan melakukan ekspansi kekuasaan, bukanlah sesuatu
yang datang dari praktek Rasulullah SAW, ataupun semangat al-Qur'an. Terlebih lagi dalam
konteks masa kini, hampir semua masyarakat Internasional telah hidup pada suatu tatanan
sosial politik serta budaya dalam bentuk negara yang memiliki kedaulatan masing-masing,
serta praktek hubungan antara negara yang jauh dari invasi ke wilayah negara lain
sebagaimana yang umum terjadi pada abad ke-7 masehi.

Beda Jihad dan Qital

1. Jihad: umum mencakup usaha Ilau kalimatillah


Qital: bagian daripada usaha menegakkan kalimatullah
2. Jihad: tidak selalu dengan pertempuran
Qital: intinya adalah pertempuran
3. Jihad: penyebutannya identik dengan usaha Ilau kalimatillah
Qital: penyebutannya mempunyai mana yang relative tergantung apa tujuan perang
tersebut.

Hukum Qital

* Fardu Kifayah. Ini berarti berperang melawan musuh yang kafir atau musuh yang ingin
mencelakakan Islam ke negeri tempat kediaman mereka. Wajiblah kaum Muslimin untuk
pergi mendatangi tempat itu sebanyak yang diperlukan. Syarat fardu kifayah orang yang
berperang adalah: Beragama Islam, Baliqh, Berakal, Merdeka (bukan budak), Laki-
Laki, Sehat dan Sanggup berperang. Sanggup berperang di sini bukan hanya dilihat dari
sisi kecakapan berperangnya saja tetapi juga mencakup bekal, belanja, senjata yang cukup
serta sempurna anggota tubuh.

* Fardu Ain. Berperang ketika musuh yang kafir atau yang ingin menghancurkan Islam
telah memasuki negeri kaum Muslimin. Nah, jikalau sudah dalam keadaan begini maka
syarat-syarat berperang yang disebutkan dalam perang Fardu Kifayah di atas tidak
diperlukan lagi karena setiap penduduk baik pria ataupun wanita dan anak-anak YANG
SANGGUP memberikan perlawanan wajib mempertahankan diri dan menolak kedatangan
musuh tersebut. Demikian juga penduduk dalam jarak dua hari dalam jarak perjalanan ke
tempat pertempuran tersebut juga wajib memberikan pertolongan. Bahkan jikalau kekuatan
kaum Muslimin belum mencukupi kekuatannya untuk menghadapi musuh, maka penduduk
yang lebih jauhpun wajib memberikan pertolongan.

Adab dan Etika Perang dalam Islam

Di dalam Al-Qur'an dan hadits shahih ada banyak aturan dalam berperang, antara lain:
1. Harus memegang janji.
2. Jangan membunuh orang yang tidak memerangi (anak-anak, wanita, orang tua (manula),
penghuni rumah ibadah, dan sebagainya).
3. Jangan berlebih-lebihan.
4. Jangan mencincang.
5. Jangan merobohkan atau membakar bangunan.
6. Jangan menebang pohon dan merusak tanaman.
7. Tidak membunuh yang menyerah.
8. Memperlakukan tawanan dengan baik.
9. Menerima tawaran damai.

1. Larangan membunuh personil tertentu dan merusak fasilitas umum.


Dalam mengutus atau mengirim pasukan-pasukan ke medan perang, Rasulullah SAW selalu
menyampaikan pesan-pesan tertentu terkait dengan aturan-aturan perang, di antara pesan
tersebut sebagaimana termaktub dalam hadist seperti yang diriwayatkan dari Sulaiman bin
Buraidah: "Rasulullah SAW pada saat mengangkat pemimpin atas satu pasukan perang
mewasiatkan pemimpinnya agar bertakwa kepada Allah SWT, dan juga kepada umat Islam
untuk selalu berbuat kebajikan. Kemudian Beliau bersabda:

"Berperanglah kalian dengan nama Allah, perangi orang-orang yang ingkar terhadap Allah,
perangi mereka dengan tidak berbuat curang (yaitu mengambil harta rampasan dengan
jalan khianat), melanggar janji, membunuh korban dengan cara mutilasi, serta membunuh
anak-anak. Dan jika kamu bertemu dengan musuh-musuh Allah dari kaum musyrikin, maka
berikan kepadanya tiga alternatif. Bila mereka memenuhi ajakanmu, maka terimalah dan
tahanlah dirimu untuk tidak menyerang. Selanjutnya, ajaklah mereka menuju Islam, agar
mereka mau pindah dari negerinya ke negeri Muhajirin, dan berikan berita bagi mereka,
apabila mereka melakukan hal tersebut, maka mereka memperoleh seperti apa yang
diperoleh atas orang-orang al-Muhajirin, demikian pula sebaliknya. Akan tetapi apabila
mereka masuk ke dalam Islam, dan mereka enggan berpindah dari tempatnya, maka
beritahukanlah bahwa posisi mereka sama seperti orang Arab lainnya, berlaku sebagaimana
terhadap mukmin lainnya, dan mereka tidak memperoleh sedikitpun dari harta rampasan
perang (ghanimah) dan harta fay', kecuali mereka ikut berjihad dengan kaum muslim. Akan
tetapi apabila mereka enggan masuk Islam, maka mintalah kepada mereka jizyah (pajak).
Apabila mereka setuju, maka terimalah dan tahanlah dirimu dari menyerang mereka. Akan
tetapi apabila mereka enggan untuk semua dalam arti mereka menolak, maka berlindunglah
kepada Allah dan perangi mereka.

Dalam konteks masa kini, di mana peperangan tidak lagi mengindahkan tata cara dan etika
dalam berperang, bahkan dalam kondisi sekarang, negara-negara tertentu cenderung
membumihanguskan tempat-tempat yang dilarang untuk dirusak termasuk tempat ibadah,
bahkan juga menelan banyak korban. Pengeboman Hiroshima dan Nagasaki pada 6 Agustus
1945, merupakan contoh nyata mengenai hal tersebut. Demikian pula senjata canggih multi
nasional "menghantam" pemukiman dan merusak semua fasilitas umum seperti yang terjadi
di Iraq pada tahun 2003, hanya dengan alasan mencari sosok Saddam Husain dan kroninya
beserta senjata pemusnah massal, yang sampai sekarang tidak terbukti.

Melihat alasan-alasan tersebut di atas, maka dalam konteks Indonesia, tidak dibenarkan
melakukan atau melegalkan pembunuhan/pengeboman di tempat-tempat tertentu seperti yang
terjadi di Bali dan Jakarta beberapa tahun lalu, dengan alasan apapun, karena tidak semua
orang non Islam saling bermusuhan dengan kaum muslim, terlebih lagi bukan dalam kondisi
perang. Bukankah Rasulullah SAW ketika memerangi Yahudi Bani Qainuqa' pada tahun 2 H,
tidak langsung memerangi Bani Nadhir (4 H), serta Bani Quraidzah (5 H setelah Khandaq)
secara bersamaan? Hal ini dilakaukan oleh Nabi, karena dua komunitas yang disebut terakhir
menampakkan sikap persahabatan. Akan tetapi pada saat mereka menampakkan permusuhan
dan penghianatan, genderang perang pun ditabuh. Namun begitu tidak dengan cara-cara
membunuh secara serampangan (siapa saja) dan merusak segala hal. Kebiasaan melakukan
segala sesuatu secara saporadis inilah yang harus dicegah secara kolektif dan dengan cara
sungguh-sungguh.

2. Larangan membunuh tawanan pada saat berperang


Secara garis besar, yang dimaksud dengan tawanan di sini adalah (1) dari kalangan prajurit
(yang telah menyerah), (2) mereka yang tidak terlibat langsung dalam berperang seperti anak-
anak dan wanita.

Al-Bukhori meriwayatkan dari Ibn Umar, dia berkata; :"saya menemukan seorang
perempuan, terbunuh dalam sebagian peperangan Rasululloh, lalu beliau melarang
membunuh perempuan dan anak-anak" Ahmad meriwayatkan dari Al-aswad bin Sari', ia
berkata; Rasululloh SAW. bersabda "kenapa beberapa kelompok berlebihan dalam
membunuh, sampai -sampai mererka membunuh anak-anak? seorang lelaki menjawab,
wahai Rosul, mereka hanyalah anak-anaknya orang musyrik, lalu Nabi bersabda; ingatlah!
orang-orang yang pilihan dari kalian adalah anaknya orang musyrik".

Dengan penjelasan di atas, tentu sangat ironi kalau melihat fakta sekarang yang jauh berbeda
seperti yang dialami oleh beberapa muslimah kita, baik di Iraq, Palestina ataupun di Bosnia.
Pemerkosaan terhadap mereka, sangat mengguncang jiwa wanita-wanita tersebut. Begitu juga
ketika Yusuf al-Qardhawi berkunjung ke Zegreb Kroasia tahun 1992, beliau sangat sulit
memberikan jawaban tentang hukum aborsi terhadap muslimah yang diperkosa oleh tentara
Serbia.

Dalam konteks sekarang ini, negara-negara yang selalu mengusung isu HAM, seharusnya
lebih tegas memberikan sanksi terhadap pelaku kejahatan perang. Karena pada saat yang
sama, umat Islam di Indonesia yang berpenduduk mayoritas Islam, sedang berjuang keras
untuk memerangi aksi-aksi terorisme. Wallahu 'A'lam.

Sumber:
Zaenuri, Lalu A. (2010) .QITAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM. JDIS Vol. 1, No. 1

Tambahan: Sedikit informasi mengenai beberapa Perang Besar (ghazwah) yang dipimpin
oleh Rasulullah

Perang Badar
Inilah perang pertama yang dilakukan kaum muslimin. Sekaligus peristiwa paling penting
bagi sejarah perkembangan dawah Islam. Meski dengan kekuatan yang jauh lebih kecil
dibanding kekuatan musuh, dengan pertolongan Allah, kaum muslimin berhasil menang
menaklukkan pasukan kafir.
Rasulullah SAW berngkat bersma tigaratusan orang sahabat dalam perang Badar. Ada yang
mengatakan mereka berjumlah 313, 314, dan 31 7 orang. Mereka kira-kira terdiri dari 82 atau
86 Muhajirin serta 61 kabilah Aus dan 170 kabilah Khazraj. Kaum muslimin memang tidak
berkumpul dalam jumlah besar dan tidak melakukan persiapan sempurna. mereka hanya
memiliki dua ekor kuda, milik Zubair bin Awwam dan Miqdad bin Aswad al-Kindi. Di
samping itu mereka hanya membawa tujuh puluh onta yang dikendarai secara bergantian,
setiap onta untuk dua atau tiga orang. Rasulullah saw sendiri bergantian mengendarai onta
dengan Ali dan Murtsid bin Abi Murtsid Al-Ghanawi.
Sementara jumlah pasukan kafir Quraisy sepuluh kali lipat. Tak kurang seribu tiga ratusan
prajurit. Dengan seratus kuda dan enam ratus perisai, serta onta yang jumlahnya tak diketahui
secara pasti, dan dipimpin langsung oleh Abu Jahal bin Hisyam. Sedangkan pendanaan
perang ditanggung langsung oleh sembilan pemimpin Quraisy. Setiap hari, mereka
menyembelih sekitar sembilan atau sepuluh ekor unta.

Perang Uhud
Kekalahan di Badar menanamkan dendam mendalam di hati kaum kafir Quraisy. Mereka pun
keluar ke bukit Uhud hendak menyerbu kaum Muslimin. Pasukan Islam berangkat dengan
kekuatan sekitar seribu orang prajurit, seratus diantaranya menggunakan baju besi, dan lima
puluh lainnya menunggang kuda.
Di sebuah tempat bernama asy-Syauth, kaum muslimin melakukan shalat subuh. Tempat ini
sangat dekat dengan musuh sehingga mereka bisa dengan mudah saling melihat. Ternyata
pasukan musuh berjumlah sangat banyak. Mereka berkekuatan tiga ribu tentara, terdiri dari
orang-orang Quraisy dan sekutunya. Mereka juga memiliki tiga ribu onta, dua ratus ekor
kuda dan tujuh ratus buah baju besi.
Pada kondisi sulit itu, Abdullah bin Ubay, sang munafiq, berkhianat dengan membujuk kaum
muslimin untuk kembali ke Madinah. Sepertiga pasukan, atau sekitar tiga ratus prajurit
akhirnya mundur. Abdullah bin Ubay mengatakan, Kami tidak tahu, mengapa kami
membunuh diri kami sendiri?"
Setelah kemunduran tiga ratus prajurit tersebut, Rasulullah melakukan konsolidasi dengan
sisa pasukan yang jumlahnya sekitar tujuh ratus prrajurit untuk melanjutkan perang. Allah
memberi mereka kemenangan, meski awalnya sempat kocar-kacir.

Perang Mutah
Perang Mutah merupakan pendahuluan dan jalan pembuka untuk menaklukkan negeri-negeri
Nasrani. Pemicu perang Mutah adalah pembunuhan utusan Rasulullah bernama al-Harits bin
Umair yang diperintahkan menyampaikan surat kepada pemimpin Bashra. Al-Harits dicegat
oleh Syurahbil bin Amr, seorang gubernur wilayah Balqa di Syam, ditangkap dan dipenggal
lehemya. Untuk perang ini, Rasulullah mempersiapkan pasukan berkekuatan tiga ribu
prajurit. Inilah pasukan Islam terbesar pada waktu itu.
Mereka bergerak ke arah utara dan beristirahat di Muan. Saat itulah mereka memperoleh
informasi bahwa Heraklius telah berada di salah satu bagian wilayah Balqa dengan kekuatan
sekitar seratus ribu prajurit Romawi. Mereka bahkan mendapat bantuan dari pasukan Lakhm,
Judzam, Balqin dan Bahra kurang lebih seratus ribu prajurit. Jadi total kekuatan mereka
adalah dua ratus ribu prajurit.

Perang Ahzab
Dua puluh pimpinan Yahudi bani Nadhir datang ke Makkah untuk melakukan provokasi agar
kaum kafir mau bersatu untuk menumpas kaum muslimin. Pimpinan Yahudi bani Nadhir juga
mendatangi Bani Ghathafan dan mengajak mereka untuk melakukan apa yang mereka
serukan pada orang Quraisy. Selanjutnya mereka mendatangi kabilah-kabilah Arab di sekitar
Makkah untuk melakukan hal yang sama. Semua kelompok itu akhirnya sepakat untuk
bergabung dan menghabisi kaum muslimin di Madinah sampai ke akar-akarnya. Jumlah
keseluruhan pasukan Ahzab (sekutu) adalah sekitar sepuluh ribu prajurit. Jumlah itu
disebutkan dalam kitab sirah adalah lebih banyak ketimbang jumlah orang-orang yang tinggal
di Madinah secara keseluruhan, termasuk wanita, anak-anak, pemuda dan orang tua.
Menghadapi kekuatan yang sangat besar ini, atas ide Salman al-Farisi, kaum muslimin
menggunakan strategi penggalian parit untuk menghalangi sampainya pasukan musuh ke
wilayah Madinah.

Perang Tabuk
Romawi memiliki kekuatan militer paling besar pada saat itu. Perang Tabuk merupakan
kelanjutan dari perang Mutah. Kaum muslimin mendengar persiapan besar-besaran yang
dilakukan oleh pasukan Romawi dan raja Ghassan. Informasi tentang jumlah pasukan yang
dihimpun adalah sekitar empat puluh ribu personil. Keadaan semakin kritis, karena suasana
kemarau. Kaum muslimin tengah berada di tengah kesulitan dan kekurangan pangan.
Mendengar persiapan besar pasukan Romawi, kaum muslimin berlomba melakukan
persiapan perang. Para tokoh sahabat memberi infaq fi sabilillah dalam suasana yang sangat
mengagumkan. Utsman menyedekahkan dua ratus onta lengkap dengan pelana dan barang-
barang yang diangkutnya. Kemudian ia menambahkan lagi sekitar seratus onta lengkap
dengan pelana dan perlengkapannya. Lalu ia datang lagi dengan membawa seribu dinar
diletakkan di pangkuan Rasulullah saw. Utsman terus bersedekah hingga jumlahnya
mencapai sembilan ratus onta seratus kuda, dan uang dalam jumlah besar. Abdurrahman bin
Auf membawa dua ratus uqiyah perak. Abu bakar membawa seluruh hartanya dan tidak
menyisakan untuk keluarganya kecuali Allah dan Rasul-Nya. Umar datang menyerahkan
setengah hartanya. Abbas datang menyerahkan harta yang cukup banyak. Thalhah, Sad bin
Ubadah, dan Muhammad bin Maslamah, semuanya datang memberikan sedekahnya. Ashim
bin Adi datang dengan menyerahkan sembilan puluh wasaq kurma dan diikuti oleh para
sahabat yang lain.
Jumlah pasukan Islam yang terkumpul sebenarnya cukup besar, tiga puluh ribu personil. Tapi
mereka minim perlengkapan perang. Bekal makanan dan kendaraan yang ada masih sangat
sedikit dibanding dengan jumlah pasukan. Setiap delapan belas orang mendapat jatah satu
onta yang mereka kendarai secara bergantian. Berulangkali mereka memakan dedaunan
sehingga bibir mereka rusak. Mereka terpaksa menyembelih unta, meski jumlahnya sedikit,
agar dapat meminum air yang terdapat dalam kantong air onta tersebut. Oleh karena itu,
pasukan ini dinamakan jaisyul usrrah, atau pasukan yang berada dalam kesulitan.

....................................................

Anda mungkin juga menyukai