Anda di halaman 1dari 6

ILMU DAN JIHAD

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya


(ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan
di antara mereka beberapa ornagntuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. At
Taubah: 122)”

Iftitah; Syari’at Jihad


Hampir disetiap bulan bahkan pekannya, berita tentang
perang dan pembantaian selalu saja terdengar melalui berbagai
media dan informasi. Derita muslim Rohingya, derita muslim di
Suriah, derita muslim di Palestina, dan lain-lain. Sebuah
pemandangan darah dan airmata yang menetes dari tubuh kaum
muslimin. Dalam menghadapi situasi seperti ini, kaum muslimin di
berbagai penjuru dunia tidak tinggal diam. Sebagian diantara
mereka bahkan terjun langsung menyumbangkan penghargaan
terbaik yang dimilikinya yakni nyawa.
Kita patut bersyukur memuji Allah ‘Azza Wajalla karena telah
mensyari’atkan kewajiban berjihad (qital) terhadap kaum penjajah
sebagai amalan paling mulia. Seluruh agenda jihad yang
dikerahkan oleh kaum muslimin haruslah digerakkan dalam
rangka mempertahankan izzah Islam dan yang paling pokok
adalah; menolak ’fitnah syirik’. Fitnah kesyirikan ini selalu menjadi
agenda terselubung kekuata asing melalui agresi militer mereka.
Al Imam At Thabari rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya;
“Dan perangilah mereka sehingga tidak terjadi lagi kesyirikan
kepada Allah, tidak ada penyembahan kepada berhala, sekutu
dan tuhan-tuhan lain, sehingga ibadah ketaatan hanya kepada

1
Da’wah Jalan Kami
Allah saja tidak kepada selainnya.” ( Tafsir At Thabary, jilid II, hal.
200).
Jadi pada hakikatnya, setelah fitnah kesyirikan sirna dan
tauhid telah kembali teguh maka tidak ada lagi jihad dalam
bentuk peperangan (qital). Syaikh as Sa’di rahimahullah
menegaskan dalam tafsyirnya bahwa; “Maksud dan tujuan dari
perang di jalan Allah bukanlah sekedar menumpahkan darah
orang kafir dan mengambil hara mereka, akan tetapi tujuannya
agar agama Islam ini tegak karena Allah diatas seluruh agama
dan menghilangkan semua bentuk kesyirikan yang menghalangi
tegaknya agama ini, dan itu yang dimaksud dengan fitnah.
Apabila fitnah itu telah hilang, tercapailah maksud tersebut, maka
tidak ada lagi pembunuhan dan perang. ( Tafsir Karimurrahman,
hal. 89)
Ketika konteks jihad dalam arti qital (perang fisik) telah
diwajibkan, maka kaum muslimin diperintahkan oleh Allah untuk
berangkat ke medan tempur baik dalam keadaan sempit maupun
lapang, dengan keharusan bersiap-siaga mengorbankan sesuatu
yang paling dicintainya yaitu; anfus (jiwa) dan amwal (harta) (QS.
At Taubah:41). Dua hal tersebut merupakan pengorbanan
terpenting untuk Allah ‘Azza Wajalla dan tidak ada tempat terbaik
untuk mengorbankan jiwa dan harta seorang muslim selain di
dalam jihad fi sabilillah.
Suatu ketika, Rasulullah pernah ditanya oleh seseorang lelaki;
“Tunjukkan kepadaku amalan yang menyerupai (keutamaan)
jihad.” Beliau kemudian bersabda; “ Aku tidak menemukannya.”
Kemudian beliau melanjutkan sabdanya; “Mampukah kamu
apabila seorang mujahid keluar lalu engkau masuk masjidmu,
kemudian shalat tanpa berhenti dan shaum tanpa berbuka ?.”
maka lelaki itu menjawab; ”Siapa yang sanggup melakukan itu ?.”
Maka beliaupun bersabda; “Sesungguhnya perumpamaan
seorang mujahid itu seperti orang yang berpuasa, shalat dan

2
Da’wah Jalan Kami
selalu berbuat taat dengan ayat-ayat Allah. Dia tidak pernah
berhenti dari puasanya dan dari shalatnya, hingga seorang
mujahid fi sabilillah itu pulang.” (HR. Muslim, Bab Al Imarah, no:
1878)
Hadits di atas merupakan salah satu berita dari Rasulullah
yang menjelaskan tentang urgensi jihad dilihat dari bentuk
balasan yang akan dianugerahkan Allah berupa kebaikan kepada
diri mujahid secara individu. Hadits-hadits lain yang menunjukkan
tentang keutamaan jihad secara keseluruhan memberikan
kesimpulan bagi para ulama bahwasannya jihad adalah seutama-
utamanya amalan seorang hamba dan puncak dari pada syari’at
Islam sebagaimana Rasulullah bersabda; “ Puncak tertinggi ajaran
Islam adalah jihad fi sabilillah.” (HR. Ahmad, jilid V, hal. 231)
Dengan ditegakkannya syari’at jihad di dalam diri kaum muslimin,
maka Allah menganugerahkan kepada mereka kamuliaan dan
derajat yang mulai dibandingkan dengan kaum-kaum yang
lainnya.
Kemuliaan syari’at jihad ini telah terbukti dalam sejarah
Rasulullah dan para sahabat sebagai manhaj yang efektif dalam
rangka menolak kemudharatan yang ditimbulkan baik dalam
bentuk infasi teritorial yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam
maupun agresi militer dalam rangka membebaskan negeri-negeri
kafir yang menolak da’wah tauhid. Para nabi dan juga rasul telah
dianugerahi oleh Allah dua kekuatan yang dengannya mereka
dimenangkan oleh Allah ‘Azza Wajalla. Anugerah itu pertama;
hujjah yang jelas serta memiiki kekuatan argumentatif
berdasarkan pada wahyu, dan kedua; pedang sebagai bentuk
kekuatan fisik yang menjaganya dari serangan yang bersifat fisik
pula. Sebagaimana hal tersebut dinyatakan oleh Al Imam
Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah di mana beliau
berkata: “Dan para ulama telah menyatakan bahwa kemenangan
para nabi itu ada dua macam. Pertama, menang dengan hujjah

3
Da’wah Jalan Kami
dan bayan (penjelasan), kedua, menang dengan pedang dan
tombak yang hanya dikhususkan bagi orang-orang yang memang
diperintahkan berperang di jalan Allah. ( Adhwa Al Bayan, Jilid I,
hal. 353)

Al Ilmu landasan Jihad


Islam tegak di atas prinsip-prinsip ilmu yang bersumberkan
dari al Qur’an dan as Sunnah dengan pemahaman salafus shalih.
Oleh karenanya, Islam melarang umatnya untuk beramal tanpa
didasari dengan ilmu yang benar pula. Hal ini telah di jelaskan
oleh para ulama sebagaimana perkataan yang dikutip oleh Al
Hafidz Ibnu Hajar al Atsqalani rahimahullah di dalam kitabnya;
Fathul Bari dari perkataan Ibnul Munir rahimahullah yang berkata:
“Ilmu adalah syarat benarnya perkataan dan amal. Tidak akan
diterima keduanya bila tanpa dilandasi ilmu. Ilmu harus
didahulukan karena ilmulah yang akan membenarkan niat dan
amal.” (Fathul Bari, jilid I, hal. 216)
Di dalam mensikapi masalah jihad seperti ini, baik yang
bersifat difensif (pertahanan) maupun opensif (agresi militer)
maka posisi ilmu berperan sebagai petunjuk yang mengarahkan
kaum muslimin untuk menindaklanjuti keadaan tersebut secara
arif dan bijaksana. Kearifan dan kebijaksanaan itu sama sekali
tidaklah identik dengan sikap mengalah, hipokrit, ketakutan, atau
keinginan untuk lari dari medan pertempuran. Akan tetapi ia lebih
mengarah kepada pamahaman bahwa pengamalan jihad harus
sesuai dengan kaidah-kaidah syar’i yang telah ditentukan
langsung melalui nash (dalil).
Allah ‘Azza Wajalla telah memberikan keterangan yang sangat
kuat bahwasannya ketika jihad dikumandangkan, maka harus
tetap ada dari sebagian kaum muslimin yang diletakkan pada
posisi ta’lim wa ta’alum (proses belajar mengajar). Kelompok
inilah yang nantinya akan di jadikan basis ilmiyah dikalangan

4
Da’wah Jalan Kami
umat untuk mengeluarkan fatwa-fatwa serta ijtihad-ijtihad ilmiyah
berdasarkan ilmu yang syar’i (QS. At Taubah: 122).
Sebagai contoh, ketika ilmu tidak ditegakkan secara benar kita
dapat menyaksikan sebagian dari kaum muslimin yang berangkat
berperang masih menggunakan jampi-jampi, rajah-rajah, jimat-
jimat, ataupun ilmu-ilmu seputar kekebalan tubuh yang jelas-jelas
merupakan praktik sihir dan perdukunan yang tidak sesuai
dengan syari’at. Atau dalam praktik yang lain ada amalan jihad
yang mengorbankan manusia yang sedang beridabah di masjid,
meneror dan menculik masyarakat umum yang tidak memiliki
keterkaitan apa-apa dengan musuh-musuh Islam dan lain-lain.
Kondisi seperti ini umumnya terjadi seiring dengan semangat
yang telah menggebu-gebu namun tidak di dasari dengan
landasan ilmu yang benar.
Oleh sebab itu, seseorang yang akan berjihad harus memiliki
pengetahuan tentang tahapan-tahapan jihad sehingga ia bisa
dikatagorikan layak untuk berjihad berdasarkan timbangan syar’i.
Jangan sampai, bumi jihad yang diperjuangkan dalam rangka
menolak segala bentuk kesyirikan dikotori oleh praktik syirik,
yang ditimbulkan oleh kaum muslimin itu sendiri. Maka benarlah
apa yang dikatakan oleh Al Imam Ibnu Qayyim rahimahullah
bahwasannya; “Jihad terhadap diri sendiri itu harus di dahulukan
sebelum berjihad terhadap musuh diluar. Seseorang yang tidak
berjihad melawan dirinya dari menjalankan perintah dan
manjauhi larangan Allah serta memerangi nafsunya, maka ia tidak
akan mampu berjihad melawan musuhnya yang datang dari luar.”
(Zadul Maad, jilid. III, hal. 6)
Di sisi lain, keutamaan basis Al Ilmu yang sangat urgen dalam
jihad adalah tegaknya kekuatan ulama rabbani,. Ulama-ulama ini
mengarahkan kaum muslimin melalui fatwa-fatwa yang bersifat
istimbath (kesimpulan) terhadap dalil-dalil maupun sebuah ijtihad
terhadap realitas yang tidak terdapat di dalam nash. Kefahaman

5
Da’wah Jalan Kami
ahli ilmu yang didukung oleh nash dan kelengakapan informasi
keadaan di lapangan akan menjadikan jihad benar-benar sesuai
dengan konteksnya. Kesalahfahaman terhadap hal ini biasanya
menimbulkan “fitnah” terutama di tengah-tengah masyarakat
awam yang berujung pada mudahnya sebagian kaum muslimin
dalam menyalahkan bahkan mengkafirkan saudaranya yang tidak
ikut memberangkatkan pasukan jihad dan ikut andil di dalamnya.
Wallahua’lam bishawab.

6
Da’wah Jalan Kami

Anda mungkin juga menyukai