Anda di halaman 1dari 15

RUKUN ARKANUL BAI’AH

4. Al Jihad

Hidup ini adalah perjuangan dan perjuanganlah yang membuat kita hidup. Jihad fi sabilillah
merupakan puncak ajaran Islam. Sehingga umat Islam yang melaksanakannya akan mendapatkan
kemuliaan dan kejayaan di dunia dan surga Allah di akhirat.

Sebaliknya mereka yang meninggalkan jihad dan tidak terbersit sedikitpun dalam hatinya untuk
berjihad akan hina dan menderita di dunia serta mendapatkan siksa Allah di neraka. Jihad adalah
satu-satunya jalan bagi umat Islam untuk meraih kejayaan Islam, merdeka dari penjajahan dan
meraih kembali tanah yang hilang.

Ketika umat Islam lalai terhadap kewajiban, maka Allah akan menghinakan mereka. Rasulullah saw.
bersabda,” Jika kalian telah berdagang dengan ‘Inah (sistem riba’), mengikuti ekor-ekor sapi (sibuk
beternak), rela bercocok tanam dan meninggalkan jihad, pasti Allah akan menimpakan kehinaan atas
kalian. Allah tidak akan mencabut kehinaan itu hingga kalian kembali ke ajaran agama kalian.” (HR
Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi).

Imam Syahid Hasan al-Banna berkata: Sesungguhnya umat yang mengetahui bagaimana cara
membuat kematian, dan mengetahui bagaimana cara meraih kematian yang mulia, Allah pasti
memberikan kepada mereka kehidupan mulia di dunia dan keni’matan yang kekal di akhirat. Wahn
(kelemahan) yang menghinakan kita tidak lain karena penyakit cinta dunia dan takut mati. Maka
persiapkanlah jiwa kalian untuk amal yang besar, dan semangatlah menjemput kematian niscaya
diberi kehidupan. Ketahuilah bahwa kematian adalah kepastian dan tidak datang kecuali satu kali.
Jika engkau menjadikannya di jalan Allah, maka hal itu merupakan keuntungan dunia dan ganjaran
akhirat.

Definisi Jihad (Pengertian Jihad)

Jihad secara bahasa berarti mengerahkan dan mencurahkan segala kemampuannya baik berupa
perkataan maupun perbuatan. Dan secara istilah syari’ah berarti seorang muslim mengerahkan dan
mencurahkan segala kemampuannya untuk memperjuangkan dan meneggakan Islam demi mencapai
ridha Allah SWT. Oleh karena itu kata-kata jihad selalu diiringi dengan fi sabilillah untuk menunjukkan
bahwa jihad yang dilakukan umat Islam harus sesuai dengan ajaran Islam agar mendapat keridhaan
Allah SWT.

Imam Syahid Hasan Al-Banna berkata, “Yang saya maksud dengan jihad adalah; suatu kewajiban
sampai hari kiamat dan apa yang dikandung dari sabda Rasulullah saw.,” Siapa yang mati, sedangkan
ia tidak berjuang atau belum berniat berjuang, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah”.

Adapun urutan yang paling bawah dari jihad adalah ingkar hati, dan yang paling tinggi perang
mengangkat senjata di jalan Allah. Di antara itu ada jihad lisan, pena, tangan dan berkata benar di
hadapan penguasa tiran.

Dakwah tidak akan hidup kecuali dengan jihad, seberapa tinggi kedudukan dakwah dan cakupannya
yang luas, maka jihad merupakan jalan satu-satunya yang mengiringinya. Firman Allah,” Berjihadlah
di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad” (QS Al-Hajj 78).
Dengan demikian anda sebagai aktifis dakwah tahu akan hakikat doktrin ‘ Jihad adalah Jalan Kami’

Tujuan Jihad

Jihad fi sabilillah disyari’atkan Allah SWT bertujuan agar syari’at Allah tegak di muka bumi dan
dilaksanakan oleh manusia. Sehingga manusia mendapat rahmat dari ajaran Islam dan terbebas dari
fitnah. Jihad fi sabilillah bukanlah tindakan balas dendam dan menzhalimi kaum yang lemah, tetapi
sebaliknya untuk melindungi kaum yang lemah dan tertindas di muka bumi. Jihad juga bertujuan
tidak semata-mata membunuh orang kafir dan melakukan teror terhadap mereka, karena Islam
menghormati hak hidup setiap manusia. Tetapi jihad disyariatkan dalam Islam untuk menghentikan
kezhaliman dan fitnah yang mengganggu kehidupan manusia. (QS an-Nisaa’ 74-76).

Macam-Macam Jihad

Jihad fi Sabilillah untuk menegakkan ajaran Islam ada beberapa macam, yaitu:

Jihad dengan lisan, yaitu menyampaikan, mengajarkan dan menda’wahkan ajaran Islam kepada
manusia serta menjawab tuduhan sesat yang diarahkan pada Islam. Termasuk dalam jihad dengan
lisan adalah, tabligh, ta’lim, da’wah, amar ma’ruf nahi mungkar dan aktifitas politik yang bertujuan
menegakkan kalimat Allah.

Jihad dengan harta, yaitu menginfakkan harta kekayaan di jalan Allah khususnya bagi perjuangan dan
peperangan untuk menegakkan kalimat Allah serta menyiapkan keluarga mujahid yang ditinggal
berjihad.

Jihad dengan jiwa, yaitu memerangi orang kafir yang memerangi Islam dan umat Islam. Jihad ini
biasa disebut dengan qital (berperang di jalan Allah). Dan ungkapan jihad yang dominan disebutkan
dalam al-Qur’an dan Sunnah berarti berperang di jalan Allah.

Keutamaan Jihad dan Mati Syahid

Beberapa ayat Alquran memberikan keutamaan tentang berjihad. Di antaranya, (QS an-Nisaa’ 95-96)
(QS as-Shaff 10-13).

Rasulullah SAW bersabda: Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah SAW ditanya: ”Amal apakah yang
paling utama?” Rasul SAW menjawab: ”Beriman kepada Allah”, sahabat berkata:”Lalu apa?” Rasul
SAW menjawab: “Jihad fi Sabilillah”, lalu apa?”, Rasul SAW menjawab: Haji mabrur”. (Muttafaqun
‘alaihi)

Dari Anas ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Pagi-pagi atau sore-sore keluar berjihad di jalan Allah
lebih baik dari dunia seisinya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Dari Anas ra bahwa nabi SAW bersabda: ”Tidak ada satupun orang yang sudah masuk surga ingin
kembali ke dunia dan segala sesuatu yang ada di dunia kecuali orang yang mati syahid, ia ingin
kembali ke dunia, kemudian terbunuh 10 kali karena melihat keutamaan syuhada.” (Muttafaqun
‘alaihi)

”Bagi orang yang mati syahid disisi Allah mendapat tujuh kebaikan: 1. Diampuni dosanya dari mulai
tetesan darah pertama. 2. Mengetahui tempatnya di surga. 3. Dihiasi dengan perhiasan keimanan. 4.
Dinikahkan dengan 72 istri dari bidadari. 5. Dijauhkan dari siksa kubur dan dibebaskan dari ketakutan
di hari Kiamat. 6. Diletakkan pada kepalanya mahkota kewibawaan dari Yakut yang lebih baik dari
dunia seisinya. 7. Berhak memberi syafaat 70 kerabatnya.” (HR at-Tirmidzi)

Hukum Jihad Fi Sabilillah

Hukum Jihad fi sabilillah secara umum adalah Fardhu Kifayah, jika sebagian umat telah
melaksanakannya dengan baik dan sempurna maka sebagian yang lain terbebas dari kewajiban
tersebut. Allah SWT berfirman:

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa
tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” (QS at-Taubah 122).

Jihad berubah menjadi Fardhu ‘Ain jika:

1. Muslim yang telah mukallaf sudah memasuki medan perang, maka baginya fardhu ‘ain berjihad
dan tidak boleh lari.

”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang
menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang
membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak
menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan
membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat
kembalinya.” (QS al-Anfal 15-16).

2. Musuh sudah datang ke wilayahnya, maka jihad menjadi fardhu ‘ain bagi seluruh penduduk di
daerah atau wilayah tersebut .

”Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah
mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang
yang bertakwa.” (QS at-Taubah 123)

3. Jika pemimpin memerintahkan muslim yang mukallaf untuk berperang, maka baginya merupakan
fardhu ‘ain untuk berperang. Rasulullah SAW bersabda:

”Tidak ada hijrah setelah futuh Mekkah, tetapi yang ada adalah jihad dan niat. Dan jika kamu
diperintahkan untuk keluar berjihad maka keluarlah (berjihad).” (HR Bukhari)

Kata-Kata Jihad

Khubaib bin Adi ra. berkata ketika disiksa oleh musuhnya, “Aku tidak peduli, asalkan aku terbunuh
dalam keadaan Islam. Dimana saja aku dibunuh, aku akan kembali kepada Allah. Kuserahkan kepada
Allah kapan saja Ia berkehendak. Setiap potongan tubuhku akan diberkatinya”.

Al-Khansa ra. berpesan kepada 4 anaknya mengantarkan mereka untuk jihad, “Wahai anak-anakku !
Kalian tidak pernah berkhianat pada ayah kalian. Demi Allah, kalian berasal dari satu keturunan.
Kalianlah orang yang ada dalam hatiku. Jika kalian menuju ke medan perang, jadilah kalian pahlawan.
Berperanglah ! Jangan kembali. Aku membesarkan kalian untuk hari ini”.

Abdullah bin Mubarak berkata pada saudaranya Fudail bin Iyadh yang sedang asyik ibadah di tahan
suci,” Wahai ahli ibadah di dua tahan Haram, jika engkau melihat kami, niscaya engkau akan tahu
bahwa engkau hanya bermain-main dalam ibadah. Barangsiapa membasahi pipinya dengan air mata.
Maka, leher kami basah dengan darah”.

**********************************************************************************

Jihad ( ‫ ) جهاد‬adalah berjuang dengan sungguh-sungguh menurut syariat Islam.[1]

Jihad dilaksanakan untuk menjalankan misi utama manusia yaitu menegakkan Din Allah atau
menjaga Din tetap tegak, dengan cara-cara sesuai dengan garis perjuangan para Rasul dan Al-Quran.
Jihad yang dilaksanakan Rasul adalah berdakwah agar manusia meninggalkan kemusyrikan dan
kembali kepada aturan Allah, menyucikan qalbu, memberikan pengajaran kepada ummat dan
mendidik manusia agar sesuai dengan tujuan penciptaan mereka yaitu menjadi khalifah Allah di
bumi.

Pelaksanaan Jihad

Pelaksanaan Jihad dapat dirumuskan sebagai berikut:

Pada konteks diri pribadi - berusaha membersihkan pikiran dari pengaruh-pengaruh ajaran selain
Allah dengan perjuangan spiritual di dalam diri, mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-
Nya.

Komunitas - Berusaha agar Din pada masyarakat sekitar maupun keluarga tetap tegak dengan
dakwah dan membersihkan mereka dari kemusyrikan.

Kedaulatan - Berusaha menjaga eksistensi kedaulatan dari serangan luar, maupun pengkhianatan dari
dalam agar ketertiban dan ketenangan beribadah pada rakyat di daulah tersebut tetap terjaga
termasuk di dalamnya pelaksanaan Amar Ma'ruf Nahi Munkar. Jihad ini hanya berlaku pada daulah
yang menggunakan Din Islam secara menyeluruh (Kaffah).

[sunting]

Jihad dan perang

Arti kata Jihad sering disalahpahami oleh yang tidak mengenal prinsip-prinsip Din Islam sebagai
'perang suci' (holy war); istilah untuk perang adalah Qital, bukan Jihad.

Jihad dalam bentuk perang dilaksanakan jika terjadi fitnah yang membahayakan eksistensi ummat
(antara lain berupa serangan-serangan dari luar).

Pada dasar kata arti jihad adalah "berjuang" atau "ber-usaha dengan keras" , namun bukan harus
berarti "perang dalam makna "fisik" . jika sekarang jihad lebih sering diartikan sebagai "perjuangan
untuk agama", itu tidak harus berarti perjuangan fisik .
jika meng-arti-kan jihad hanya sebagai peperangan fisik dan extern, untuk membela agama, akan
sangat ber-bahaya , sebab akan mudah di-manfaat-kan dan rentan terhadap fitnah .

jika meng-artikan Jihad sebagai "perjuangan membela agama" , maka lebih tepat bahwa ber-Jihad
adalah : "perjuangan menegakkan syariat Islam" . Sehingga berjihad harus -lah dilakukan setiap saat ,
24 jam sehari , sepanjang tahun , seumur hidup .

Jihad bisa ber-arti ber-juang "Menyampaikan atau menjelaskan kepada orang lain kebenaran Ilahi
Atau bisa ber-jihad dalam diri kita sendiri" , Bisa saja ber-jihad adalah : "Memaksakan diri untuk
bangun pagi dan salat Subuh , walau masih mengantuk dan dingin dan memaksakan orang lain untuk
salat subuh dengan menyetel TOA mesjid dan memperdengarkan salat subuh." dlsbl.

Saat ini kerangka berfikir masyarakat tentang pengertian jihad hanyalah sebatas mengurusi syiar -
syiar ibadah saja. Seperti halnya mempermasalahkan banyak orang yang tidak salat, padahal hal ini
tidak murni dilakukan oleh prinsip seseorang, namun perlulah disadari bahwa setiap poin - poin
syariat bukan sebatas harus dilakukan oleh perorangan tetapi oleh seluruh lapisan Islam di Jagad
Raya. Karena perilaku seseorang terdapat pada nilai - nilai prosesi pembinaan terkait kelembagaan
yang mengelola masyarakat. Dengan kata lain, sebetulnya kemerosotan moral masyarakat terbentuk
oleh adanya sistem pemerintahan di dalam negeri yang sangat kuat berpengaruh pada setiap aspek
kehidupan masyarakat. Contoh, kesenjangan ekonomi. Ekonomi adalah salah satu sektor yang
dikuasai oleh pemerintahan. Hal ini mampu menyebabkan kerusakan pshychologis masyarakat jika
sistem yang dijalankan adalah hasil buatan manusia yang sudah tentu tidak mampu mengatur
semesta alam.

Hal di atas menyimpulkan bahwa Jihad harus mengkerucut pada penegakan Dien Islam di dunia.
Sesuai dengan apa yang diajarkan oleh seorang tokoh revolusioner Islam, yakni Baginda Rosulullah
Muhammad SAW. Juga berdasarkan Undang - Undang Allah yaitu Kitab Suci Al- Qur'an mengatakan
bahwa " Allah mengutus RosulNya ( Muhammad ) dengan membawa petunjuk ( Al-Qur'an ) dan
agama ( Dien/Sistem ) yang benar ( Islam ) untuk dimenangkannya di atas segala agama
( Dien/Sistem ), walaupun kaum musyrikin( Segolongan orang beridentitaskan Islam namun tidak
mengakui syariat Islam bahkan secara halus memerangi Islam dengan Rezimnya, Contoh Idiologi
Pancasila ) tidak menyukai.

[sunting]

Etika perang Muhammad

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Peraturan perang Islam

Semasa kepemimpinan Muhammad dan Khulafaur Rasyidin antara lain diriwayatkan bahwa Abu
Bakar sebelum mengirim pasukan untuk berperang melawan pasukan Romawi, memberikan pesan
pada pasukannya , yang kemudian menjadi etika dasar dalam perang yaitu:

Jangan berkhianat.

Jangan berlebih-lebihan.

Jangan ingkar janji.


Jangan mencincang mayat.

Jangan membunuh anak kecil, orang tua renta, wanita.

Jangan membakar pohon, menebang atau menyembelih binatang ternak kecuali untuk dimakan.

Jangan mengusik orang-orang Ahli Kitab yang sedang beribadah.

Jihad dan terorisme

Terorisme tidak bisa dikategorikan sebagai Jihad; Jihad dalam bentuk perang harus jelas pihak-pihak
mana saja yang terlibat dalam peperangan, seperti halnya perang yang dilakukan Nabi Muhammad
yang mewakili Madinah melawan Makkah dan sekutu-sekutunya. Alasan perang tersebut terutama
dipicu oleh kezaliman kaum Quraisy yang melanggar hak hidup kaum Muslimin yang berada di
Makkah (termasuk perampasan harta kekayaan kaum Muslimin serta pengusiran).

Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-
laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami
dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan
berilah kami penolong dari sisi Engkau !".(QS 4:75)

Perang yang mengatasnamakan penegakan Islam namun tidak mengikuti Sunnah Rasul tidak bisa
disebut Jihad. Sunnah Rasul untuk penegakkan Islam bermula dari dakwah tanpa kekerasan!, bukan
dalam bentuk terorisme, hijrah ke wilayah yang aman dan menerima dakwah Rasul, kemudian
mengaktualisasikan suatu masyarakat Islami (Ummah) yang bertujuan menegakkan Kekuasaan Allah
di muka bumi.

"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan
mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak
beragama dengan agama yang benar (agama Allah<-islam), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al
Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan
tunduk."

Tsabat
6 Agustus 2007 oleh Embun Tarbiyah

Yang dimaksud dengan tsabat adalah tetaplah Anda sebagai aktivis dakwah dalam kondisi apa
pun. Anda senantiasa aktif berjuang pada jalan yang dituju walaupun masanya panjanga,
bahkan sampai bertahun-tahunm sampai mati bertemu Allah Rabbul ‘Alamin dalam kondisi
itu dengn meraih salah satu dari kedua kebaikan, berhasil mencapai tujuan atau meraih
syahadah pada akhirnya.
“Dan dia antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah
mereka janjikan kepada Allah, maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka
ada pula yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah janji-Nya” (Al
Ahzab:23)
Waktu bagi kami merupakan bagian dari solusi, sebab dakwah itu panjang, jauh
jangkauannya, dan banyak rintangannya. Tapi semua itu adalah cara untuk mencapai tujuan
dan ada nilai tambah berupa pahala dan balasan yang besar serta menarik (Hasan Al-Banna)
Yang akan ditulis disini hanya sebagian contoh dari sikap Tsabat terutama dalam menghadapi
ujian keluarga/orang tua. Semoga bisa meneguhkan hati kita dalam berjuang di jalan Allah.

Para pembesar Quraisy berusaha membujuk dan mengancam Abu Thalib untuk mengentikan
kegiatan dakwah yang dilakukakan kemenakannya, Muhammad saw. Abu Tholib pun sangat
sedih, usianya terlampau berat memikul beban itu. Akhirnya dengan kegalauan dan
kekhwatiran berat, dipanggilnya Rasulullah saw. dan mengatakan “Wahai anakku…!
Sayangilah dirimu dan diriku, janganlah engkau membebani diriku dengan persoalan yang
berada di luar kemampuanku..!
Mendengar kata pamannya, Rasulullah saw. menduga bahwa pamannya tidak lagi hendak
menolong dan melindunginya. Tetapi keteguhan hatinya menyahut, maka kepada paman yang
dicintai itu Rasul saw. berkata, “Wahai Paman. Demi Allah, seandainya mereka itu
meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku supaya aku menghentikan
urusan ini, sungguh aku tidak akan berhenti sampai Allah memenangkan agama-Nya, atau
aku binasa karenanya.” Rasulullah saw. tidak kuasa membendung air matanya. Kecintaannya
kepada dakwah melebihi cintanya kepada segala sesuatu, termasuk pamannya itu Meskipun
Rasulullah sadar bahwa ia kecil dan besar dalam asuhannya, ia dilindungi, dan disayangi
selalu. Tak pernah sekalipun paman membuat hatinya terlaku. Pun demikian dengan
Rasulullah saw. pamannya itu sangat dicintai melebihi apapun. Kecuali cintanya kepada
dakwah..!
Abu Thalib segera memanggil kemenakannya kembali dengan air mata berurai membasahi
janggutnya, “Kemenakanku, pergilah dan katakanalah apa saja yang kau suka. Demi Allah,
engkau tidak akan aku serahkan kepada siapa pun selama-lamanya!”
Demikianlah keteguhan Rasulllah saw. dalam berdakwah (diambil dari buku Teladan
Tarbiyah)
Mush’ab Bin Umair. Sebelum memeluk Islam, beliau adalah anak orang yang terkemuka di
Mekah, hidupnya mewah dan serba berkecukupan. Hidayah Allah pun sampai padanya
hingga ia memeluk Islam. Awalnya ia merahasiakan keislamannya itu terutama kepada
ibunya. Ia rajin mendatangi majlis Rasulullah di rumahnya Arqam, sedang harinya merasa
bahagia dengan keimanan dan sedia menebusnya dengan amarah ibunya yang belum
mengetahui keislamannya. Tetapi pada akhirnya rahasianya pun terbongkar. Ia dikurung oleh
ibunya tetapi akhirnya bias melarikan diri dan ikut hijrah ke Habsyi. Baik di Habsyi ataupun
di Mekah, ujian dan penderitaan semakin meningkat Kehidupannya pun jauh berbeda dengan
yang dulu. Ia hanya memakai jubah usang yang ditambal-tambal. Semenjak ibunya merasa
putus asa mengembalikan Mush’ab kepada agamanya yang lama, ia telah menghentikan
segala pemberian yang biasa dilimpahkan kepadanya. Ketika sang ibu mengetahui kebulatan
tekad putranya yang telah mengambil keputusan, tak ada jalan lain baginya keculai
melepasnya dengan cucuran air mata, sementara Mush’ab mengucapkan selamat berpisah
dengan menangis pula. Ketika sang ibu mengusirnya dari rumah sambil berkata: “Pergilah
sesuka hatimu! Aku bukan ibumu lagi!” Maka Mush’ab pun mengampiri ibunya dan berkata”
“Wahai bunda! Telah ananda sampaikan nasehat kepada bunda, dan ananda menaruh kasihan
kepada bunda. Karena itu saksikanlah bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, Muhammad
adalah hamba dan utusan-Nya”.
Itulah keteguhan Mush’ab dalam mempertahankan keimanannya.

Satu lagi kisah dari sahabat yang mirip, yakni kisahnya Sa’ad bin Abi Waqqash. Ketika Sa’ad
masuk Islam dan mengikuti Rasulullah, saat itu ibunya berusaha membendung dan
menghalangi putranya dari Agama Allah, tetapi karena keteguhan Sa’ad usahanya itu gagal.
Maka ditempuhlah oleh sang ibu yang diharapkan bias melemahkan Sa’ad dan membawanya
kembali ke agama berhala. Sang ibu menyatakan akan mogok makan dan minum sampai
Sa’ad bersedia kembali ke agama nenek moyang dan kaumnya. Rencana itu dilaksanakannya
dengan tekad yang luar biasa, ia tak hendak menjamah makanan dan minuman hingga
hamper menemui ajalnya.
Tetapi Sa’ad tidak terpengaruh oleh ahal tersebut, bahkan ia tetap pada pendiriannya, ia tak
hendak menjual agama dan keimanannya dengan sesuatu pun, bahkan walau dengan nyawa
ibunya sekalipun. Ketika keadaan ibunya telah demikian gawat, beberapa orang keluarganya
membawa Sa’ad kepadanya dengan harapan hatinya akan menjadi lunak. Sesampainya
disana, Sa’ad menyaksikan pemandangan yang amat menghancurkan hatinya
Tapi keimanan terhadap Allah dan Rasul mengatasi baja dan batu karang manapun juga.
Didekatkan wajahnya ke wajah ibunya, dan dikatakan olehnya “Demi Allah, ketahuilah
wahai ibunda… seandainya bunda mempunyai seratus nyawa, lalu ia keluar satu per satu,
tidaklah ananda akan meninggalkan agama ini walau ditebus dengan apapun juga…! Maka
terserah kepada bunda, apakah bunda akan makan atau tidak…!!”
Akhirnya ibunya mundur teratur, dan turunlah wahyu menyokong pendirian Sa’ad serta
mengucapkan selamat kepadanya sbb:
“Dan seandainya kedua orang tua memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu
yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan
pergauilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku,
kemudian hanya kepada Ku-lah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan” (Q.S. Luqman:15)

Tsabat’ bermakna teguh pendirian dan tegar dalam menghadapi ujian serta mehnah di jalan
kebenaran.

Ia merupakan benteng bagi seorang aktivis dakwah sehingga ia memiliki daya tahan dan
pantang menyerah terhadap berbagai perkara yang merintanginya sehingga ia mendapatkan
cita-citanya atau mati dalam keadaan mulia kerana tetap konsisten di jalanNya.

Dalam ‘Majmu’atur Rasaail’, Imam Hasan Al Banna menjelaskan bahwa yang dimaksudkan
dengan ‘tsabat’ adalah orang yang sentiasa bekerja dan berjuang di jalan dakwah yang amat
panjang sehingga ia kembali kepada Allah swt dengan kemenangan, samada kemenangan di
dunia ataupun mati syahid.

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka
janjikan kepada Allah swt. maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka
ada pula yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah janjinya”. (QS Al
Ahzab : 23)

Sesungguhnya jalan dakwah yang kita lalui ini adalah jalan yang bukan mudah bahkan ianya
adalah jalan yang :

a. Jauh.

b. Panjang.

c. Penuh liku.

d. Ditaburi dengan halangan dan rintangan, rayuan dan godaan.

Oleh kerana itu dakwah ini sangat memerlukan orang-orang yang memiliki ciri-ciri dan sifat-
sifat yang tinggi nilainya iaitu orang-orang yang :
1. Berjiwa ikhlas.

2. Profesional dalam bekerja.

3. Berjuang dan beramal.

4. Tahan akan berbagai tekanan.

sehingga dengan modal itu mereka akan sampai pada harapan dan cita-citanya.

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian malaikat-malaikat,
kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-
anak yatim, orang-orang miskin, musafir yang memerlukan pertolongan dan orang-orang
yang meminta-minta dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan solat dan menunaikan
zakat dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji dan orang-orang yang
bersabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang
yang benar imannya dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. (QS Al Baqarah : 177)

Di samping itu, dakwah ini juga sentiasa menghadapi musuh-musuhnya di setiap masa dan
zaman sesuai dengan keadaannya masing-masing. Tentulah musuh-musuh ini sangat tidak
menginginkan dakwah ini tumbuh dan berkembang sehingga mereka berusaha untuk
memangkas pertumbuhan dakwah atau mematikannya kerana dengan tumbuhnya dakwah,
ianya akan bertentangan dengan kepentingan hidup mereka.

Oleh kerana itu, dakwah ini memerlukan pemikulnya yang berjiwa teguh menghadapi
perjalanan yang panjang dan penuh liku-liku serta musuh-musuhnya. Merekalah orang-orang
yang mempunyai ketahanan daya juang yang kukuh.

Kita boleh melihat keteguhan Rasulullah saw ketika baginda mendapatkan tawaran yang
menggiurkan untuk meninggalkan dakwah Islam tentunya dengan imbalan kekuasaan,
kekayaan atau wanita namun dengan tegar beliau bersifat tegas dan berkata dengan ungkapan
penuh keyakinannya kepada Allah swt :

‘Demi Allah, wahai bapa saudaraku, seandainya mereka boleh meletakkan matahari di
tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan dakwah ini.
Niscaya tidak akan aku tinggalkan urusan ini sehingga Allah swt memenangkan
dakwah ini atau aku binasa kerananya’.

Demikian juga para sahabatnya ketika menghadapi ujian dan cubaan dakwah, mereka tidak
pernah berkurang sedikit pun langkah dan jiwanya malah semakin mantap komitmen mereka
pada jalan Islam ini.

Ka’ab bin Malik pernah ditawarkan oleh Raja Ghassan untuk menetap di wilayahnya dan
mendapatkan kedudukan yang menggiurkan. Tapi semua itu ditolaknya kerana perkara itu
justeru akan menimbulkan mudharat yang jauh lebih besar lagi.

Kita dapat juga saksikan peristiwa yang menimpa umat Islam pada masa Khalifah Al
Mu’tashim Billah tentang fitnah dan ujian ‘Khalqul Qur’an’. Imam Ahmad bin Hanbal
sangat tegar menghadapi ujian tersebut dengan tegas ia menyatakan bahwa Al Qur’an adalah
kalamullah, BUKAN makhluk sebagaimana yang didoktrin oleh Khalifah. Dengan tuduhan
sesat dan menyesatkan kaum muslimin, Imam Ahmad bin Hanbal menerima penjara dan
hukuman rotan. Dengan keteguhan beliaulah, kaum muslimin dapat diselamatkan aqidah
mereka dari kesesatan.

Begitu pula kita merasakan ketegaran Imam Hasan Al Banna dalam menghadapi tribulasi
dakwahnya. Ia terus bersabar dan bertahan. Meskipun akhirnya ia pun menemui Rabbnya
dengan tembakan senjata api.

Tidak lupa juga dengan Sayyid Qutb yang menerima hukuman mati dengan jiwa yang lapang
lantaran aqidah dan menguatkan sikapnya berhadapan dengan tiang gantung. Beliau dengan
yakin menyatakan kepada saudara perempuannya :

‘Duhai saudaraku, semoga kita boleh berjumpa di depan pintu syurga kelak’.

Namun dalam masa yang sama, tidak sedikit aktivis dakwah yang kendur daya tahannya.

Ada yang berguguran kerana tekanan material dan tergoda oleh rayuan harta benda. Setelah
mendapatkan kenderaan mewah, rumah megah dan sejumlah wang yang dimasukkan ke
dalam akaunnya ia membuatkan semangat dakwahnya luntur. Bahkan ia akhirnya sangat haus
dan rakus pada harta benda duniawi yang fana itu.

Ada pula yang menurun daya juangnya kerana tekanan keluarga. Keluarganya menghendaki
sikap hidup yang berbeza dengan nilai dakwah. Keluarganya ingin ia kekal sebagai keluarga
kebanyakan masyarakat yang sekular dengan gaya dan ‘style’ nya, sikap dan perilakunya
sehingga ia pun mengikuti selera keluarganya.

Ada juga yang tidak tahan kerana tekanan politik yang sangat keras di mana ancaman,
kekerasan, hukuman dan penjara sentiasa menghantui dirinya sehingga ia tidak tahan di mana
akhirnya ia pun meninggalkan jalan dakwah ini.

Oleh kerana itu, ‘tsabat’ mesti berlandaskan sikap istiqamah pada petunjuk Allah swt. Ia
mestilah berpegang teguh pada :

a. Ketaqwaan.

b. Kebenaran hakiki.

serta tidak mudah dipujuk oleh bisikan nafsu dirinya sehingga dirinya kukuh untuk
memegang janji dan komitmen pada nilai-nilai kesucian.

Ia tidak memiliki keinginan sedikitpun untuk menyimpang lalu mengikuti kecenderungan


yang hina dan tipu muslihat syaitan yang durjana. Sikap ini mesti terus diperkemaskan
dengan ‘taujihat’ dan ‘tarbawiyah’ sehingga tetap bersemayam dalam sanubari yang paling
dalam. Dengan bekalan itu seorang aktivis dakwah dapat bertahan untuk berada di jalan
dakwah ini.

Melalui sikap teguh ini :

a. Perjalanan panjang akan menjadi pendek.

b. Perjalanan yang penuh onak dan duri tidak menjadi hambatan untuk meneruskan
langkah-langkah panjangnya.

Bahkan ia dapat melihat kepentingan sikap ‘tsabat’ dalam dakwah.


Adapun kepentingan ‘tsabat’ dalam memikul amanah dakwah ini di antaranya :

PERTAMA : BUKTI JALAN HIDUP YANG BENAR

Jalan hidup ini sangat berbagai bentuk :

1. Ada jalan yang baik ada pula yang buruk.

2. Ada yang menyenangkan ada pula yang menyusahkan.

Sikap ‘tsabat’ menjadi bukti siapa yang benar jalan hidupnya. Mereka berani menghadapi
jalan hidup bagaimana keadaan sekalipun selama jalan itu menghantarkan pada kemuliaan
meskipun perlu merasakan kepahitan atau kesusahan.

Sikap ‘tsabat’ ini melahirkan keberanian menghadapi realiti hidup. Ia pantang menyesali
keadaan dirinya apalagi menyalahkan keadaan. Ia tidak serik atau berputus asa kerana
berbagai persoalan yang mengelilinginya.

Malah ia mampu mengendalikan permasalahan dan menemui harapan besar untuk ia raih.
Amatlah munasabah perintah Allah swt pada orang yang beriman tatkala menghadapi musuh
agar menguatkan jiwa yang tegar dan konsisten pada keyakinannya.

“Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu menghadapi satu pasukan maka berteguh
hatilah kamu dan sebutlah nama Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung”. (QS Al
Anfal : 45).

Oleh yang demikian, mereka yang ‘tsabat’ di atas jalan dakwah ini menjadi pilihan hidupnya
lantaran ia tahu dan berani menerima kenyataan yang memang perlu ia alami serta muncullah
sikap kesatria yang gagah berani meniti jalan hidupnya bersama dakwah ini.

Seorang pujangga yang masyhur, Al Bukhturi dalam baris syairnya ia mengungkapkan bahwa
jiwa yang berani hidup dengan menghadapi risiko apapun dan tetap teguh berdiri di atas
tapak kakinya adalah ‘nafsun tudhi’u wa himmatun tatawaqqadu’, (jiwa yang menerangi
dan cita-cita yang menyala-nyala’) kerana jiwa yang seperti ini menjadi bukti bahwa ia
benar dalam mengharungi bahtera hidupnya.

KEDUA : CERMIN KEPERIBADIAN SESEORANG

Sikap ‘tsabat’ membuatkan pemiliknya menjadi tenang di mana ketenangan hati


menimbulkan kepercayaan. Kepercayaan menjadi modal utama dalam berinteraksi dengan
banyak kalangan. Oleh kerana itu, sikap ‘tsabat’ menjadi cermin keperibadian seorang
muslim dan cermin itu berada pada bagaimana sikap dan jiwa seorang mukmin dalam
menjalani arah hidupnya dan bagaimana ia menyelesaikan masalah-masalahnya.

Semua orang sangat memerlukan cermin untuk memperbaiki dirinya. Dari cermin, kita dapat
mengarahkan sikap salah kepada sikap yang benar. Cermin amat membantu untuk
mempermudahkan bagi menemui kelemahan diri sehingga dengan cepat mudah diperbaiki.

Amatlah beruntung bagi diri kita kerana masih ramai orang yang menjual ‘cermin’ agar kita
semakin mudah untuk memperbaiki diri. Oleh kerana itulah, Rasulullah saw meletakkan
peranan seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya.
Begitu pula, seorang ulama’, memberi hadiah kepada sahabatnya yang diberi amanah
kepimpinan sebuah ‘cermin antik’ yang besar. Rupa-rupanya hadiah itu membuatkan
sahabatnya itu menangis dan menginsafi diri lalu memahami betul bahwa hadiah ‘cermin
antik’ tersebut bukanlah untuk hiasan rumahnya melainkan sebagai usaha nasihat. Nasihat
yang tulus dari ulama’ yang soleh untuk mengingatkan sahabatnya agar dapat memperbaiki
diri dalam memikul amanah kepimpinannya.

Begitu juga, sikap ‘tsabat’ adalah cermin bagi setiap mukmin kerana ‘tsabat’ mampu
menjadi mesin penggerak jiwa-jiwa yang rapuh di mana ia dapat mengukuhkannya. Tidak
sedikit orang yang jiwanya telah mati hidup kembali lantaran mendapatkan tenaga dari sikap
‘tsabat’ seseorang. Ia bagaikan inspirasi yang mengalirkan udara segar terhadap jiwa yang
bingung menghadapi segala kepahitan.

Seorang ulama’ mengingatkan kita :

‘Berapa ramai orang yang jiwanya mati menjadi hidup dan jiwa yang hidup menjadi
layu disebabkan keadaan daya tahan yang dimiliki oleh seseorang’.

Maka, di sinilah fungsi dan peranan ‘tsabat’ yang cukup penting.

KETIGA : USAHA UNTUK MENUJU KEMENANGAN DAN KEJAYAAN

Setiap kemenangan dan kejayaan memerlukan sikap ‘tsabat’ dan istiqamah dalam
mengharungi aneka ragam bentuk kehidupan. Sudah tentu tidak akan ada kemenangan dan
kejayaan secara percuma. Ia hanya akan dapat dicapai apabila kita memiliki pra-syaratnya
iaitu sikap tetap istiqamah menjalani kehidupan ini.

Seorang murabbi mengingatkan mutarabbinya dengan mengatakan :

‘Peliharalah keteguhan hatimu, kerana ia bentengmu yang sesungguhnya. Barang siapa


yang memperkukuhkan bentengnya niscaya ia tidak akan goyah oleh badai walau
sekencang manapun dan ini menjadi pengamanmu’.

Begitulah nasihat ramai ulama’ kita yang mengingatkan agar kita berusaha secara maksima
bagi mengukuhkan kekuatan hati dan keteguhan jiwa agar mendapatkan cita-cita kita.

Begitu juga jika kita meneliti terhadap jalan dakwah. Kegemilangan jalan suci ini hanya
dapat diraih dari sikap konsisten terhadap prinsip dakwah ini yang tidak mudah berubah
kerana tarikan-tarikan kepentingan yang mengarah pada kecenderungan duniawi.

Tanpa sikap ‘tsabat’, seseorang aktivis dakwah itu akan terseret pada putaran kehancuran dan
kerugian dunia dan akhirat.

“Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan
kepadamu agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami. Dan kalau sudah
begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Dan kalau Kami tidak
memperkuat hatimu niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka. Kalau
terjadi demikian benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu siksaan berlipat ganda di
dunia ini dan begitu pula siksaan berlipat pula sesudah mati dan kamu tidak akan mendapat
seorang penolongpun terhadap Kami”. (QS Al Isra’ : 73 - 75)
Sikap ini menjadi daya tahan terhadap gegaran apapun dan dari sanalah ia mencapai
kejayaannya sebagaimana yang diingatkan oelh Rasulullah saw kepada Khabbab bin Al
‘Arats agar tetap bersabar dan berjiwa tegar menghadapi ujian dakwah ini bukan dengan
sikap yang tergesa-gesa apalagi dengan sikap yang menginginkan jalan dakwah ini tanpa
sebarang halangan dan rintangan.

KEEMPAT : JALAN UNTUK MENCAPAI SASARAN

Untuk mencapai sasaran hidup yang dikehendaki, tidak ada jalan lain kecuali dengan
bermodalkan ‘tsabat’. Teguh meniti jalan yang sedang dilaluinya, meskipun perlahan-lahan.

Tidak tertarik untuk melencong sedikit pun atau sesekali melainkan mereka lakukan terus-
menerus meniti jalannya dengan sikap tetap istiqamah.

Bahkan dalam dunia penglipur lara dikisahkan kura-kura mampu mengalahkan kancil untuk
mencapai suatu tempat. Kura-kura meskipun berjalan perlahan-lahan namun akhirnya mampu
menghantarkan dirinya pada tempat yang dituju.

Ibnu ‘Athaillah As Sakandary menasihatkan muridnya untuk sentiasa tekun dalam beramal
agar meraih harapannya dan tidak cepat merasa letih atau putus asa untuk mendapatkan
hasilnya.

‘Barang siapa yang menggali telaga lalu berpindah pada tempat yang lain untuk
menggali lagi dan seterusnya berpindah lagi maka selamanya ia tidak akan menemui
air dari lubang yang ia gali. Tapi bila kamu telah menggali lubang, galilah terus hingga
kamu dapatkan air darinya meskipun amat meletihkan’. (Disunting dari ‘Kitab Tajul
‘Arus’)

Oleh yang demikian, ketekunan dan kesabaran menjadi alat bantu untuk mencapai cita-cita
dan harapan yang dikehendakinya dan kedua-dua sifat itu adalah merupakan pancaran sikap
‘tsabat’ seseorang.

‘Tsabat’ meliputi beberapa aspek :

Pertama : Teguh terhadap agama Allah swt.

Keteguhan pada masalah ini dengan tidak menanggalkan agama ini dari dirinya walaupun
kematian menjadi ancamannya. Ini sebagaimana wasiat yang sentiasa dikumandangkan oleh
Khatib Juma’at agar sentiasa menjaga keimanan dan ketaqwaan sehingga mati dalam keadaan
muslim.

Ini juga yang menjadi wasiat para Nabi kepada keturunannya.

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya. Demikian pula Ya’qub.
‘Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu. Maka janganlah
kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”. (QS Al Baqarah : 132)

Wasiat ini untuk menjadi amaran kepada pada kaum muslimin agar tetap memelihara
imannya. Jangan mudah tergiur oleh kesenangan dunia lalu :

1. Mengganti keyakinannya dengan yang lain.

2. Menjual agamanya dengan harga yang murah.


3. Menukar prinsip hidupnya dengan tarikan dunia.

4. Mengganti aqidahnya dengan secebis kariernya.

Kedua : Tetap komited pada agama Allah swt.

Ini berlaku samada dalam ketaatan mahupun ketika menerima kenyataan hidup. Ia tidak
mengeluh atas apa yang menimpa dirinya malah tetap tegar menghadapinya. Bangunan
komitmennya tidak pernah pudar oleh kenyataan pahit yang dirasakannya. Keluhan dan
penyesalan bukanlah sebuah penyelesaiaan malah akan menambah bebanan hidup. Oleh
kerana itu, keteguhan dan kesabaran menjadi modal untuk menghadapi seluruh
permasalahannya.

Mereka yang menjaga komitmennya pada ajaran Allah sentiasa memandang bahwa apa
sahaja yang diberikanNya adalah sesuatu yang baik bagi dirinya.

Persepsi ini tidak akan membuatkan ia goyah menghadapi pengalaman sepahit atau segetir
manapun malah berkemungkinan ia mampu merubahnya menjadi suatu kenangan manis yang
patut diabadikan dalam kumpulan album kehidupannya kerana segala pengalaman pahit itu,
apabila mampu diatasi dengan sikap tegar maka ia akan menjadi bahan nostalgia yang amat
mahal.

Ketiga : Teguh pada prinsip dakwah.

Ia menjadikan prinsip-prinsip dakwah itu sebagai petunjuk-petunjuk jalan dalam memberikan


khidmatnya kepada tugas yang agung ini serta mengutamakan dakwah di atas aktiviti lainnya
sehingga mampu memberikan sumbangannya di atas jalan ini tanpa kenal erti penat lelah.

Ia sentiasa terkehadapan dalam usaha pembelaan terhadap dakwah walaupun harus menderita
kerana sikapnya. Ketenangan dan kegusaran hatinya sentiasa dikaitkan dengan nasib dakwah.
Ia tidak akan merasa nyaman apabila dakwah berada dalam ancaman.

Oleh kerana itu, ia berusaha untuk sentiasa berdisiplin pada prinsip dakwah ini kerana ia
faham bahwa berubahnya ia dari prinsip ini akan memberi akibat yang merbahaya bagi
dakwah dan masa depan umat. Perhatikanlah peristiwa Uhud, Bir Ma’unah dan lainnya di
mana peristiwa yang amat memilukan dalam sejarah dakwah tersebut di antaranya
disebabkan oleh kurangnya disiplin aktivis dakwah pada prinsip dan petunjuk dakwah.

KELIMA : HARGA DIRI SEORANG AKTIVIS DAKWAH

Ketika ini kita memasuki era di mana halangan dan peluang sama-sama terbuka. Kita
mungkin binasa lantaran tidak tahan menghadapi tentangan atau mungkin berjaya kerana
mampu membuka pintu peluang seluas-luasnya.

Oleh kerana itu kita dituntut untuk bersikap ‘tsabat’ dalam keadaan dan situasi apapun
samada senang atau susah, sempit ataupun lapang. Tidak pernah tergoda oleh bisikan-bisikan
kemewahan dan gemerlapan dunia lalu tertarik padanya dan lari dari jalan dakwah.

‘Tsabat’ tidak mengenal waktu dan tempat, di mana dan bila sekalipun. Kita tetap mesti
menjunjung misi dan visi dakwah kita yang suci ini untuk menyelamatkan umat manusia dari
kehinaan dan kemudaratan. Dengan jiwa ‘tsabat’ inilah aktivis dakwah memiliki harga diri
pada pandangan Allah swt mahupun di mata musuh-musuhnya. Melalui sikap ini seorang
aktivis dakwah lebih istimewa daripada kebanyakan orang lain dan ia menjadi citra yang
tidak ternilai harganya.

Imam Hasan Al Banna menegaskan :

‘Janganlah kamu merasa rendah diri, lalu kamu samakan dirimu dengan orang lain.
Atau kamu tempuh dalam dakwah ini jalan yang bukan jalan kaum mukminin. Atau
kamu bandingkan dakwahmu yang cahayanya diambil dari cahaya Allah dan
manhajnya diserap dari sunnah RasulNya dengan dakwah-dakwah lainnya yang
terbentuk oleh berbagai kepentingan lalu hilang begitu sahaja dengan berlalunya
waktu dan terjadinya berbagai peristiwa. Kuncinya adalah ‘Tsabat’ dalam jalan
dakwah ini’.

Kalau begitu, bagaimanakah bangunan ‘tsabat’ yang kita miliki?

Ya Allah, Engkaulah pemilik hati-hati kami. Engkaulah Tuhan yang membolak balikkan hati-
hati, teguhkanlah hati-hati dan jiwa-jiwa kami untuk sentiasa berpegang teguh pada
agamaMu dan ketaatan di jalanMu. Berilah kekuatan kepada kami untuk kami tetap ‘tsabat’
di jalanMu sehingga kami menemui antara dua kebaikan samada kemenangan di dunia atau
kami gugur di jalanMu untuk mendapatkan syurga dan kenikmatan di sisiMu.

Ameen Ya Rabbal Alameen

Anda mungkin juga menyukai