Anda di halaman 1dari 39

PERSEPSI-PERSEPSI BERBAHAYA

UNTUK MENGHANTAM ISLAM

DAN MENGOKOHKAN PERADABAN BARAT

HIZBUT TAHRIR
1419 H/1998 M

1
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Judul Asli : Mafahim Khatirah li Dlarbil Islam wa Tarkizil Hadlaratil
Gharbiyah
(Dikeluarkan oleh HIZBUT TAHRIR, cetakan I, tahun 1419
H/1998M)
Penerjemah : Muhammad Shiddiq Al Jawi
Penyunting : Saifullah
A.R. Nasser
Penata Letak : M. Aslim Taslam
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

2
Allah SWT berfirman:

“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-


ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-
Nya, walaupun orang-orang kafir tidak menyukai. Dialah yang telah mengutus
Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur`an) dan agama yang benar untuk
dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak
menyukai.”
(QS. At Taubah : 32-33)

3
DAFTAR ISI

1. Ayat Pembukaan
2. Pendahuluan 5
3. Terorisme 8
4. Dialog Antar Agama 12
5. Jalan Tengah (Sikap Moderat/Kompromi) 24
6. Fundamentalisme 28
7. Globalisasi 32

4
PENDAHULUAN
Pertarungan antara kebaikan dan kejahatan atau antara haq dan batil,
adalah salah satu sunnatullah dalam kehidupan, karena dengan hikmah-Nya Allah
berkehendak menjadikan pertarungan dan saling menolak keganasan di antara
manusia sebagai salah satu faktor untuk memunculkan yang haq dan yang baik, serta
menghancurkan yang batil dan yang jahat. Allah SWT berfirman :

“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dari sebagian yang
lain, pasti rusaklah bumi ini.” (QS Al Baqarah : 251)

Allah SWT berfirman pula :

“Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian
yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-
rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut
nama Allah.” (QS Al Hajj : 40)

Setelah Rasulullah SAW dan para shahabatnya terjun dalam pertarungan


pemikiran (ash shira‟ul fikri) dan perjuangan politik (al kifahus siyasi) --untuk
melawan orang-orang musyrik dalam rangka mendirikan Daulah Islamiyah-- serta
terjun dalam pertarungan berdarah/jihad (ash shira‟ud damawi) yang dibarengi
pertarungan pemikiran (ash shira‟ul fikri) setelah berdirinya Daulah Islamiyah --untuk
mengemban Islam sebagai risalah kebajikan dan petunjuk kepada seluruh manusia--
orang-orang kafir senantiasa membuat berbagai tipu daya terhadap negara ini di
sepanjang masa. Kadang-kadang dengan aktivitas-aktivitas fisik berupa peperangan,
seperti yang dilakukan Moghul, kaum Salibis, dan kaum kafir Spanyol. Kadang-kadang
dengan aktivitas-aktivitas yang mengarah pada pemikiran dan kebudayaan
(tsaqafah), seperti yang dilakukan kaum zindiq serta para misionaris dan orientalis,
untuk menghancurkan negara Khilafah sebagai institusi pelaksana ajaran Islam yang
dipimpin oleh Khalifah.
Pada Perang Dunia I mereka berhasil mewujudkan target itu. Mereka telah
meruntuhkan negara Khilafah, mengusir Khalifah, memecah belah negeri-negeri Islam
menjadi negara-negara boneka yang kerdil, dan menerapkan hukum-hukum kufur di
sana. Mereka mengira bahwa dengan ulahnya ini mereka telah berhasil
menghapuskan Islam dalam jiwa kaum muslimin.
Namun demikian, ternyata umat Islam di bawah bimbingan putera-puterinya
yang mu`min, sadar, dan ikhlas, kini telah menapaki kembali jalan menuju
kebangkitan. Negara-negara kafir pun tersadar, bahwa kekuatan Islam ternyata tidak
terbatas pada institusi pelaksana Islam saja (Khilafah), dan bahwa keterkecohan
sebagian kaum muslimin yang berjiwa lemah untuk mencemari pemikirannya dengan
kebudayaan (tsaqafah) Barat, ternyata tidak juga mewujudkan angan-angan mereka.
Setelah mengadakan evaluasi dan studi, mereka sampai pada kesimpulan
bahwa kekuatan Islam dan umatnya sesungguhnya berada di balik Aqidah Islamiyah

5
beserta pemikiran-pemikiran yang lahir dari Aqidah Islamiyah itu. Hal ini
mengharuskan mereka mengevaluasi ulang strategi mereka untuk kemudian lebih
dikembangkan lagi. Tujuannya adalah agar negara-negara kafir --dengan institusi-
insitusi resminya dan agen-agennya dari kalangan penguasa dan intelektual-- dapat
menjalankan misinya untuk memusnahkan Islam, dengan cara menghapus Aqidah
Islamiyah sebagai Aqidah Siyasiyah (dasar sistem politik) kemudian menggantinya
dengan aqidah pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Mereka pun mulai
melontarkan dan mengadopsi berbagai pemikiran untuk mewujudkan target tersebut,
seperti nasionalisme, demokrasi, pluralisme politik, hak asasi manusia, kebebasan,
dan politik pasar bebas. Semua ide ini telah kami terangkan kekeliruan dan
bahayanya (Lihat kitab kami Serangan Amerika Untuk Menghancurkan Islam).
Kemudian mereka melontarkan pemikiran-pemikiran lain yang disertai
dengan aksi-aksi, seperti dialog antar agama dan antar peradaban, perbincangan
tentang anak-cucu Nabi Ibrahim AS, dan pendiskreditan Islam dengan predikat
terorisme, fundamentalisme, dan ekstremisme.
Kami merasa berkewajiban untuk menjelaskan hakikat lontaran-lontaran ini
serta bahayanya bagi umat Islam, agar umat menyadarinya dan dapat mengambil
sikap yang syar‟i terhadapnya. Apalagi perjuangan mengembalikan Islam ke dalam
realitas kehidupan --sebagai ideologi universal dan sistem politik yang akan diemban
oleh negara Khilafah kepada seluruh umat manusia-- merupakan suatu perkara yang
diyakini adanya secara pasti. Bukan hanya oleh umat Islam yang berjuang semata,
tetapi juga oleh seluruh umat Islam, dan bahkan oleh musuh-musuh Islam yang tak
henti-hentinya melakukan persekongkolan terhadap Islam dan kaum muslimin.
Kami akan membahas pemikiran-pemikiran ini guna menerangkan bahaya dan
kekeliruannya. Pemikiran-pemikiran itu harus dipandang bukan hanya sebagai sesuatu
yang harus dipahami, atau hanya sebagai kerancuan yang harus ditolak, melainkan
juga sebagai salah satu ulah Barat yang kafir --di bawah pimpinan Amerika, Inggris,
dan Perancis-- untuk menghantam Islam, untuk menghantam para aktivis yang
mengembalikan Khilafah, bahkan untuk menghantam negara Khilafah itu sendiri
ketika dia diproklamirkan berdirinya nanti, Insya Allah.
Oleh karena itu, berbagai pemikiran dan aksi negara-negara kafir itu harus
dibongkar secara tuntas, agar kaum muslimin menyadari apa yang diingini musuh
Islam terhadap mereka serta menyadari berbagai tipu daya terhadap agama mereka.
Dengan demikian, kaum muslimin akan makin teguh berpegang pada Islam dan makin
bersungguh-sungguh untuk berjuang mengembalikan Khilafah yang mengikuti metode
(minhaj) kenabian dalam rangka meneladani Rasullah SAW, agar mereka berhasil
mendirikan kembali Khilafah dan memberlakukan hukum yang diturunkan Allah SWT.
Allah SWT berfirman :

“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur`an)
dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-
orang musyrik tidak menyukai.” (QS At Taubah : 32-33)

6
Dan kami yakin sepenuhnya, jika kami telah menunaikan kewajiban yang
ditetapkan Allah atas kami tersebut, niscaya orang-orang kafir yang melakukan tipu
daya terhadap Islam dan kaum muslimin itu akan frustrasi dan gagal mencapai cita-
citanya, akan merugi harta benda yang dibelanjakannya, dan akan padam segala
pengaruhnya. Allah SWT berfirman :

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk


menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian
menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan.” (QS Al Anfaal : 36)

7
TERORISME
Terorisme, yang dalam bahasa Arabnya al irhab, adalah mashdar yang
merupakan musytaq (pecahan kata) dari fi‟il arhaba, yang berarti „menciptakan
ketakutan” (akhaafa) atau “membuat kengerian/kegentaran” (fazza‟a). Makna
bahasa ini terdapat dalam firman Allah SWT :

“...(yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah dan musuh
kalian...” (QS Al Anfaal : 60)

Tetapi makna bahasa ini telah dipindahkan kepada makna terminologis


(istilah) yang baru. Dinas Intelijen Amerika dan Dinas Intelijen Inggris dalam sebuah
seminar yang diadakan untuk membahas makna “terorisme” pada tahun 1979 telah
menyepakati,bahwa “terorisme” adalah penggunaan kekerasaan untuk melawan
kepentingan-kepentingan sipil guna mewujudkan target-target politis.
Setelah seminar itu, banyak diselenggarakan konferensi dan seminar
internasional, serta ditetapkan berbagai hukum dan undang-undang untuk membatasi
aksi-aksi yang dapat digolongkan sebagai terorisme, untuk menerangkan kategori
berbagai gerakan, kelompok, dan partai yang melakukan aksi terorisme, serta untuk
menentukan negara-negara mana yang mensponsori terorisme. Semua aturan ini --
menurut sangkaan mereka-- adalah dasar untuk mengambil tindakan-tindakan yang
diperlukan guna memerangi terorisme dan membatasi gerak-geriknya.
Dari tinjauan global terhadap berbagai undang-undang dan hukum yang
berkaitan dengan terorisme, nampak jelas bahwa semua peraturan itu ternyata tidak
mendalam dan tunduk pada orientasi politik dari negara-negara yang membuatnya.
Sebagai contoh, kita lihat Amerika menganggap pembunuhan Indira Gandhi sebagai
aksi terorisme, sementara pembunuhan Raja Faisal dan Presiden Kennedy tidak
dianggap aksi terorisme. Contoh lain, Amerika pada awalnya mencap pemboman
gedung Kantor Penyelidikan Federal di Oklahoma sebagai aksi terorisme. Tetapi
ketika terbukti bahwa pelaku pemboman adalah kalangan milisi Amerika sendiri,
pemboman yang semula dianggap aksi terorisme, kemudian hanya dianggap sebagai
“aksi kriminal” belaka.
Amerika secara khusus mensifati sebagian gerakan sebagai “gerakan
perlawanan rakyat”, misalnya gerakan revolusioner Nikaragua (Zapatista), Tentara
Pembebasan Irlandia (IRA), dan lain-lain. Para anggota dari gerakan-gerakan ini,
ketika ditangkap, diperlakukan sebagai tawanan perang sesuai dengan Protokol
Nomor 1 tahun 1977 yang ditambahkan pada Konvensi Genewa. Akan tetapi Amerika
mensifati setiap gerakan yang bertentangan dengan kepentingan Amerika atau
kepentingan agen-agen Amerika, sebagai gerakan terorisme. Nama gerakan tersebut
pun kemudian dicantumkankan dalam daftar organisasi teroris yang dikeluarkan
secara periodik oleh Departemen Luar Negeri Amerika. Gerakan ini misalnya adalah
sebagian besar gerakan-gerakan Islam yang ada di Mesir, Pakistan, Palestina,
Aljazair, dan lain-lain.

8
Sejak dekade 70-an, Amerika memang telah merekayasa opini umum
internasional dan regional (di Amerika) untuk melawan terorisme seperti yang kita
lihat dan melawan orang yang dicap sebagai teroris. Amerika telah mengeksploitir
aksi-aksi yang dilakukan untuk merealisasikan target-target sipil, baik yang dilakukan
oleh berbagai gerakan politik atau gerakan militer yang tidak mempunyai hubungan
dengan Amerika, maupun yang dilakukan oleh berbagai gerakan yang mempunyai
hubungan dengan Amerika (CIA), sebagaimana yang ditunjukkan oleh banyak
dokumen yang menerangkan, bahwa aksi-aksi yang dicap sebagai aksi terorisme,
sebenarnya didalangi oleh intel-intel CIA sendiri, seperti pembajakan pesawat TWA
di Beirut pada awal 80-an lalu. Amerika telah mengeksploitir peristiwa peledakan
gedung Al Khubar milik Amerika di Saudi, dengan memaksakan 40 rekomendasi yang
berkaitan dengan upaya memerangi terorisme pada Konferensi Negara-Negara G-7
yang diselenggarakan di Perancis tahun 1996. Kemudian Amerika juga memanfaatkan
peristiwa peledakan gedung Pusat Perdagangan Dunia (WTC) di New York dan Kantor
Penyelidikan Federal di Oklahoma --bahkan sebelum diketahui siapa pelakunya--
dengan mengeluarkan Undang-Undang Perlawanan Terhadap Terorisme yang disetujui
oleh Senat Amerika tahun 1997.
Berdasarkan rekomendasi dan undang-undang tersebut, Amerika dapat
memata-matai siapa pun dan di mana pun terhadap orang yang dituduh sebagai
teroris. Amerika berhak untuk menangkap atau menculiknya, serta berhak pula
menjatuhkan sanksi yang dianggap cocok baginya seperti penahanan, penyitaan,
deportasi, atau pencabutan kewarganegaraan, tanpa memberikan hak kepada pihak
tertuduh untuk membela diri, atau untuk hadir di hadapan pengadilan atau lembaga
hakim yuri.
Amerika pun lalu melakukan generalisasi sifat terorisme terhadap negara-
negara yang merintangi kepentingan-kepentingan Amerika, seperti Korea, China,
Irak, dan Libya; juga terhadap banyak gerakan Islam seperti Tanzhimul Jihad,
Hammas, dan Jama‟ah Islamiyah di Mesir, serta FIS di Aljazair, dengan
memanfaatkan peristiwa-peristiwa pemboman yang terjadi di Palestina untuk
melawan Yahudi, dan aksi-aksi yang terjadi di Aljazair tak lama setelah pembatalan
hasil pemilu untuk anggota legislatif oleh kalangan militer.
Berdasarkan undang-undang, keputusan, dan rekomendasi yang ada, Amerika
bisa memata-matai dan menghantam siapa saja yang dicapnya sebagai teroris, baik
itu individu, organisasi, partai, ataupun negara, dengan menggunakan kekuatan
militernya, atau pengaruh politiknya untuk melakukan blokade ekonomi, seperti yang
dilakukannya terhadap Irak dan Libya. Hal ini telah diungkapkan oleh mantan Menlu
Amerika George Schultz yang berkata,”Para teroris itu, bagaimana pun juga mereka
berusaha melarikan diri, tetap tak akan dapat menyembunyikan diri.”
Karena Islam telah dinominasikan oleh Amerika untuk menjadi musuhnya
setelah robohnya Komunisme, maka negeri-negeri Islam menjadi wilayah terpenting
yang akan menjadi sasaran Amerika dalam penerapan undang-undang terorisme.
Tujuannya adalah untuk mengokohkan cengkeraman Amerika di negeri-negeri Islam
itu serta melestarikannya agar tetap ada di bawah hegemoni Amerika. Sebab, kaum
muslimin memang telah mulai merintis jalan menuju kebangkitan untuk

9
mengembalikan Khilafah, yang telah dimengerti betul oleh Amerika dan negara-
negara kafir lainnya, bahwa Khilafah itulah satu-satunya negara yang berkemampuan
untuk meluluh-lantakkan ideologi Kapitalisme yang dipimpin oleh Amerika.
Oleh karena itu, hampir-hampir tak ada satu pun gerakan Islam yang ada
saat ini, kecuali harus siap-siap dicap sebagai teroris oleh Amerika. Begitu pula cap
ini pun bahkan tak dapat dihindarkan oleh gerakan-gerakan dan partai-partai Islam
yang sama sekali tidak menggunakan kekerasan untuk mencapai target-targetnya.
Sebab Amerika telah menganggap bahwa aktivitas tiap gerakan, partai, atau negara
yang menyerukan kembalinya Islam, adalah aksi teroris yang bertentangan dengan
Undang-Undang Internasional. Selanjutnya berdasarkan justifikasi ini dan berdasarkan
ketentuan yang harus dijalankan oleh negara-negara penandatangan Undang-Undang
Terorisme, Amerika dapat menghimpun kekuatan negara-negara tersebut di bawah
kepemimpinannya untuk memukul gerakan, partai, atau negara tersebut.
Dari sinilah, maka kaum muslimin yang kini tengah berjuang mengembalikan
Khilafah, yang menjadi sasaran langsung dari langkah politik yang disebut dengan
“melawan terorisme”, berkewajiban membentuk opini umum Dunia Islam dan opini
internasional dengan membongkar hakikat dari apa yang dinamakan Undang-Undang
Terorisme, dan hakikat politik Amerika yang digunakan untuk menciptakan hegemoni
atas dunia melalui undang-undang itu, serta membeberkan bahwa Amerika-lah
sebenarnya yang berada di balik aksi-aksi terorisme yang banyak terjadi di dunia,
meski pun tuduhannya dilemparkan kepada orang-orang Islam.
Kaum muslimin berkewajiban pula untuk menjadi representasi Islam dalam
segala perbuatan dan tindakannya. Sebab Islam mempunyai metode khusus untuk
merealisasikan berbagai target dan tujuan, yang di antaranya adalah melanjutkan
kehidupan Islam dengan cara mendirikan kembali negara Khilafah. Berpegang teguh
dengan metode ini --yang bertumpu pada pertarungan pemikiran (ash shira‟ul fikri)
dan perjuangan politik (al kifahus siyasi) serta menjauhkan diri dari penggunaan
senjata (kekerasan)-- hakikatnya adalah berpegang teguh dengan metode syar‟i yang
dituntut oleh Islam. Jadi ini bukan karena takut atau melarikan diri dari cap
terorisme.
Mereka juga wajib menjelaskan bahwa tugas Daulah Islamiyah setelah dia
berdiri, tetap terikat dengan syara‟, baik tugas dalam negeri seperti mengatur
beraneka ragam urusan rakyat dan menerapkan hudud, maupun tugas luar negeri
seperti mengemban risalah Islam dengan cara jihad fi sabilillah kepada seluruh umat
manusia dan memusnahkan penghalang-penghalang fisik yang merintangi penerapan
Islam.
Kemudian, mereka wajib pula menerangkan bahwa penerapan Islam oleh
kaum muslimin untuk diri mereka sendiri ataupun untuk yang beragama lain,
tidaklah berdasarkan hawa nafsu kaum muslimin atau untuk mewujudkan
kepentingan pribadi mereka, tetapi semata-mata karena menjalankan perintah-
perintah Allah SWT, yang telah menciptakan alam semesta, manusia, dan kehidupan
ini, yang telah menuntut manusia untuk menata hidupnya sesuai dengan hukum-
hukum Islam yang diturunkan-Nya kepada Muhammad Rasulullah SAW.

10
Cap yang diberikan oleh Amerika dan negara-negara lain bahwa Islam adalah
terorisme dan bahwa kaum muslimin adalah para teroris, sesungguhnya adalah
predikat yang tendensius. Predikat itu tidak sesuai dengan fakta yang ada dan juga
tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah dari ajaran Islam. Allah SWT
berfirman :

“Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi)


rahmat bagi semesta alam.” (QS Al Anbiyaa` : 107)

Allah SWT berfirman pula :

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur`an) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang muslim.”
(QS An Nahl : 89)

Rahmat tersebut sesungguhnya akan terwujud dengan penerapan hukum-


hukum Islam. Tak ada bedanya antara sholat dan jihad, antara do`a dan
menggentarkan musuh, antara zakat dan pemotongan tangan pencuri, antara
menolong orang yang dianiaya dan menghukum mati orang yang melanggar
kehormatan kaum muslimin. Tak ada bedanya, sebab semuanya adalah hukum-hukum
syara‟ semata, yang wajib diterapkan oleh individu muslim atau oleh institusi negara,
masing-masing sesuai dengan faktanya dan pada waktunya secara tepat

11
DIALOG ANTAR AGAMA
Berdakwah kepada orang-orang non-Islam untuk memeluk Islam, adalah
perkara yang diwajibkan oleh Allah SWT atas kaum muslimin. Tugas ini telah mereka
laksanakan selama 14 abad. Tak henti-hentinya mereka mengajak orang-orang non-
Islam untuk masuk Islam, baik golongan Ahli Kitab maupun golongan lainnya. Allah
SWT berfirman :

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah (hujjah) dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS An Nahl : 125)

Rasulullah SAW bersabda dalam surat beliau yang ditujukan kepada Heraklius, Raja
Romawi :

“...Sesungguhnya aku berseru kepadamu dengan seruan Islam; masuk Islam-lah kamu
niscaya kamu akan selamat! Allah akan memberikan dua pahala kepadamu. Tapi jika
kamu berpaling maka kamu menanggung dosa para petani (rakyatmu)...” (HR.
Bukhari)

Jelaslah, bahwa dakwah kita kepada kepada orang-orang non-Islam, adalah


dakwah untuk memeluk Islam dan meninggalkan kekufuran.
Adapun ide dialog antar agama yang ramai dijajakan saat ini, adalah ide dari
Barat yang sangat keji lagi sangat asing. Tidak ada asal usulnya dalam Islam, sebab
ide ini menyerukan untuk mencari titik temu bersama di antara agama-agama.
Bahkan ide tersebut menyerukan untuk membentuk agama baru yang sengaja direka-
reka agar kaum muslimin memeluknya sebagai ganti agama Islam, karena penganut
ide ini dan para propagandisnya adalah orang-orang Barat yang kafir.
Ide ini mulai muncul secara internasional pada tahun 1932 tatkala Perancis
mengutus delegasinya untuk berunding dengan tokok-tokoh ulama Al Azhar (Kairo)
mengenai ide penyatuan tiga agama; Islam, Kristen, dan Yahudi. Kegiatan ini
kemudian ditindaklanjuti dengan Konferensi Paris tahun 1933 yang dihadiri oleh para
orientalis dan misionaris dari berbagai universitas di Inggris, Swiss, Amerika, Italia,
Polandia, Spanyol, Turki, dan lain-lain. Konferensi Agama-Agama Sedunia tahun 1936
merupakan konferensi agama terakhir sebelum Perang Dunia II yang telah membuat
sibuk negara-negara Eropa untuk menyelenggarakan konferensi-konferensi serupa.
Pada tahun 1964 Paus Paulus VI menulis sebuah risalah yang menyerukan
dialog antar agama-agama. Kemudian pada tahun 1969 Vatikan menerbitkan sebuah
buku yang berjudul “Alasan Dialog Antara Kaum Muslimin dan Kaum Kristiani.”
Sepanjang dasawarsa 70-an dan 80-an abad ini, telah diadakan lebih dari 13
pertemuan dan konferensi untuk dialog antar agama dan antara peradaban. Yang
paling menonjol adalah Konferensi Dunia II untuk Agama Islam di Belgia, yang
dihadiri oleh 400 delegasi dari beraneka agama yang berbeda-beda, dan Konferensi
Cordoba di Spanyol yang dihadiri oleh delegasi-delegasi muslim dan Kristen dari 23

12
negara. Kedua konferensi ini diselenggarakan tahun 1974. Kemudian diselenggarakan
pula Pertemuan Islam-Kristen di Carthage di Tunisia tahun 1979.
Pada dekade akhir abad ini para propagandis dialog antar agama bergiat
mengadakan Konferensi Dialog Eropa-Arab tahun 1993 di Yordania, yang disusul
dengan Konferensi Khartoum untuk Dialog Antar Agama tahun 1994. Pada tahun 1995
diadakan dua konferensi untuk dialog antar agama, yang pertama di Stockholm, dan
yang kedua di Amman (Yordania). Kedua konferensi lalu disusul dengan Konferensi
Islam dan Eropa di Universitas Aalul Bait (Yordania) tahun 1996.

Justifikasi Dialog Antar Agama

Justifikasi terpenting yang diajukan para peserta konferensi di berbagai


konferensi antar agama, adalah untuk membendung kekufuran dan ateisme yang
terwujud dalam negara Uni Soviet sebelum negara ini runtuh. Sebab, Komunisme
dipandang sebagai ajaran ateis yang mengancam agama-agama samawi termasuk
prestasi-prestasi peradabannya. Justifikasi lainnya, adalah adanya keprihatinan
terhadap umat manusia dan pembelaan terhadap orang-orang beriman di muka bumi.
Justifikasi lainnya lagi, adalah perlunya upaya mencari kebenaran yang harus
dipandang relatif (nisbi), sehingga tak boleh seorang pun mengklaim telah
memonopoli kebenaran, sebab kebenaran harus tunduk pada kaidah demokrasi, yaitu
pendapat mayoritas merupakan pendapat yang paling dekat dengan kebenaran.

Rekomendasi-Rekomendasi Peserta Konferensi

Rekomendasi terpenting dari konferensi-konferensi yang diselenggarakan atas


nama dialog antar agama dan antar peradaban, serta dialog antara Islam dan Eropa,
adalah sebagai berikut :

 perlu dicari makna-makna dan dimensi-dimensi baru untuk kata “kufur”,


“ateis”, “syirik”, “iman”, “islam”, “moderat”, “ekstrem”, dan
“fundamentalisme” sedemikian rupa, sehingga kata-kata itu tidak menjadi
faktor pemecah-belah di antara penganut-penganut agama.

 perlu dicari titik-temu dari ketiga agama, yang meliputi aspek aqidah, akhlaq,
dan budaya, untuk menegaskan adanya titik-temu positif di antara berbagai
agama dan peradaban, sebab semua Ahli Kitab adalah orang-orang beriman
yang sama-sama menyembah Allah.

 perlu adanya piagam bersama hak-hak asasi manusia, untuk memantapkan


perdamaian dan pola hidup berdampingan secara damai di antara penganut
agama-agama. Hal ini dilakukan dengan cara menghilangkan perasaan akan
adanya batas-batas prinsipil antar agama, dan dengan menghilangkan persepsi
permusuhan dalam budaya berbagai bangsa dan politik berbagai negara.

13
 perlu dilakukan rekonstruksi sejarah dan kurikulum pendidikan, agar jauh dari
hal-hal yang dapat membangkitkan kemarahan dan kebencian, serta
menganggap bahwa pengajaran agama adalah bagian dari kajian humaniora yang
mendasar, yang ditujukan untuk membentuk kepribadian yang terbuka dengan
berbagai kebudayaan umat manusia serta mau memahami agama lain. Karena
itu, wajib dijauhkan beberapa pembahasan tertentu dalam aqidah dan ibadah.

 perlu adanya perhatian pada pembahasan tema-tema tertentu dan menetapkan


persepsi yang mempersatukan pada tema-tema tersebut. Tema-tema tersebut
adalah : “keadilan”, “perdamaian”, “wanita”, “hak asasi manusia”,
“demokrasi”, “etos kerja”, “pluralisme”, “kebebasan”, “perdamaian dunia”,
“hidup berdampingan secara damai”, “keterbukaan peradaban”, “masyarakat
madani” (civil society), dan sebagainya.

Sarana dan Cara Dialog Antar Agama

Setelah orang-orang Barat yang kafir gagal menjauhkan kaum muslimin dari
aqidah mereka melalui para misionaris dan orientalis, beraneka literatur dan jurnal
kebudayaan, serta manipulasi ideologi, politik, dan media, mereka beralih pada
lembaga-lembaga resmi di negara-negara mereka dan negara-negara agen-agen
mereka. Mereka mulai mengadakan berbagai konferensi dan seminar, membentuk
kelompok-kelompok aksi bersama, dan mendirikan pusat-pusat studi di negeri-negeri
mereka ataupun di negeri-negeri Islam, seperti Pusat Studi Islam Universitas Oxford
(Inggris), Pusat Studi Timur Tengah Universitas Durham (Inggris), College of Holly
Cross (Akademi Salib Suci) di Amerika, Rabithah Alam Islami (Liga Dunia Islam) di
Arab Saudi, Al Majma‟ Al Mulki li Buhuutsil Hadlarah Al Islamiyah (Dewan Kerajaan
untuk Pengkajian Peradaban Islam), Universitas Aalul Bait (Yordania), Dewan Gereja-
Gereja Dunia, dan lain-lain.
Mereka menggunakan bermacam-macam istilah dan kata yang manis-memikat
dengan makna-makna yang tidak jelas untuk menyesatkan dan mengecoh kaum
muslimin, seperti “pembaharuan”, “keterbukaan terhadap dunia”, “peradaban umat
manusia”, “pengetahuan universal”, “keharusan hidup berdampingan secara damai”,
“membuang fanatisme dan ekstremisme”, “globalisasi”, dan lain sebagainya.
Mereka merancukan persepsi tentang ilmu pengetahuan/sains („ilmu) dengan
kebudayaan (tsaqafah), serta peradaban (hadlarah) dengan corak kehidupan fisik
(madaniyah). Perancuan ini lalu dijadikan landasan untuk menyerang orang-orang
yang konsisten dengan pandangan hidupnya yang khas, karena dianggap menentang
ilmu pengetahuan dan corak kehidupan fisik yang lahir darinya, serta dicap sebagai
golongan yang terbelakang dan tertinggal. Padahal masalahnya menurut Islam
tidaklah seperti yang mereka dakwakan. Sebab Islam telah membuka diri terhadap
ilmu pengetahuan beserta corak kehidupan fisik yang lahir darinya. Tetapi Islam
memang menutup diri terhadap kebudayaan dan peradaban apa pun yang bukan
kebudayaan dan peradaban Islam, sebab kebudayaan dan peradaban merupakan

14
pemikiran yang berhubungan dengan perilaku manusia yang wajib ditata hanya
dengan persepsi Islam tentang kehidupan.
Mereka membagus-baguskan berbagai pemikiran ideologi Kapitalisme di
hadapan kaum muslimin, serta mempromosikannya sebagai sesuatu yang tidak
menyalahi ajaran Islam. Akibatnya, sebagian kaum muslimin mengira bahwa
pemikiran-pemikiran itu berasal dari Islam, seperti pemikiran demokrasi, kebebasan,
pluralisme politik, sosialisme, dan lain-lain. Sebaliknya, mereka menyerang sebagian
pemikiran Islam dan mensifatinya sebagai sesuatu yang tidak berperadaban dan
tidak layak untuk masa sekarang, seperti jihad, hudud, poligami, dan hukum-hukum
syara‟ lainnya.
Mereka menundukkan kajian terhadap nash-nash ajaran Islam di bawah
metode berpikir ideologi Kapitalisme, yang menjadi fakta sebagai sumber hukum,
bukannya sebagai tempat (objek) penerapan hukum, yang menetapkan kemanfaatan
(kemaslahatan) sebagai standar untuk mengambil atau menolak suatu hukum,
bukannya standar halal dan haram. Inilah yang mendorong sebagian kaum muslimin
untuk menciptakan beberapa kaidah untuk memahami Islam yang sebenarnya tidak
ada sandarannya dari nash-nash syara‟, seperti fiqhul waaqi’ (penetapan hukum
yang bertolak dari fakta dengan mengesampingkan nash syara‟ ), fiqhul
muwaazanaat (penetapan hukum berdasarkan pertimbangan manfaat dan mudlarat
belaka), adl dlaruuratu tubiihul mahzhuuraat (kondisi darurat membolehkan hal-
hal yang diharamkan), dan sebagainya. Hal ini telah mengakibatkan lunturnya
sebagian hukum-hukum Islam serta hilangnya batas-batas pembeda antara ajaran
yang palsu dan yang asli, antara kufur dan Islam, sehingga akhirnya riba menjadi
mubah dan mati syahid dianggap bunuh diri.
Orang-orang kafir yang mengendalikan dialog antar agama itu selalu
berupaya untuk memperumum dan memperluas medan dialog, sehingga dialog tidak
hanya terbatas pada pada konferensi dan seminar saja, tetapi juga menjangkau
seluruh komponen masyarakat; laki-laki dan perempuan, para intelektual dan
pegawai/buruh, yang dilaksanakan melalui jalur-jalur sekolah, perguruan tinggi,
lembaga studi, partai politik, dan asosiasi (buruh, pengusaha, pengacara, pedagang,
dan lain-lain). Jadi, seperti yang diungkapkan oleh para peserta konferensi, kegiatan
ini memang merupakan pengintegrasian diri dengan peradaban Barat dalam aspek
ekonomi, sosial, politik, pendidikan, dan lain-lain. Ideologi Kapitalisme --seperti yang
mereka dakwakan-- dengan ide-ide humanisme dan rasionalisme, liberalisme dan
demokrasi, dianggap sebagai peradaban modern yang sukses. Adapun Islam, dianggap
agama taklid, mengajarkan kediktatoran, dan hanya berkutat pada warisan
kebudayaan masa silam. Islam katanya mengajarkan kedaulatan agama, perbudakan,
dan poligami. Islam itu tidak berperadaban!
Di antara teknik pengecohan atas kaum muslimin yang terjadi dalam
konferensi-konferensi dialog antar agama, adalah adanya partisipasi peserta-peserta
yang beraqidah lain, seperti orang Hindu, Budha, Sikh, dan lain-lain, di samping
orang Islam, Kristen, dan Yahudi. Ini terjadi pada Konferensi Dunia untuk Agama dan
Perdamaian di Jepang dan pada sebuah seminar di Beirut (Lebanon) pada tahun 1970.
Tujuannya adalah agar kaum muslimin tidak berpraduga bahwa hanya mereka saja

15
yang menjadi sasaran dialog antar agama. Heran, bagaimana mungkin mereka yang
disebut ulama kaum muslimin itu menerima begitu saja Islam disetarakan dengan
Budha dan agama-agama lain!

Pandangan Barat Yang Hakiki Terhadap Islam

Sesungguhnya pihak Barat yang menyerukan dialog dengan kaum muslimin


dan memimpin berbagai konferensi dialog antar agama itu, memandang Islam dengan
pandangan permusuhan. Pandangan inilah yang menjadi motif bagi dialog antar
agama, yang dijadikan dasar untuk mengontrol dan mengatur kegiatan tersebut.
Ensiklopedi Kebudayaan Perancis, yang menjadi referensi setiap peneliti,
mendeskripsikan Muhammad Rasulullah SAW sebagai; “pembunuh, penculik para
wanita, dan musuh terbesar bagi akal umat manusia.” Demikian pula halnya
mayoritas literatur akademis di Eropa Barat, yang menjelaskan sifat Rasulullah SAW,
Islam, dan kaum muslimin dengan sifat-sifat yang sangat keji.
Sementara itu, dalam buku The End of History karya pemikir Amerika Francis
Fukuyama, terdapat sebuah pernyataan,”Sistem Kapitalisme adalah babak
penghabisan yang abadi bagi umat manusia di bumi. Akan tetapi Islam meskipun
dalam kondisi lemah dan tercerai-berai, sesungguhnya tengah mengancam agama
baru yang menang ini (yaitu, Kapitalisme).”
Sekjen NATO Willie Claise pernah mengatakan,”Islam fundamentalis adalah
bahaya yang mengancam geopolitik masa depan.” Sedang orientalis Bernard Lewis
menyatakan pandangannya tentang Islam dan Kapitalisme,”Keduanya bertentangan
satu sama lain. Tak mungkin ada dialog di antara keduanya.” Samuel P. Huntington,
profesor ilmu-ilmu politik di Universitas Harvard Amerika, dan direktur Institut John
M. Ulin untuk Studi-Studi Strategis di Universitas Harvard berkata,”Sesungguhnya
benturan antar peradaban nanti akan mendominasi politik luar negeri. Batas-batas
pemisah antar peradaban di masa depan nantinya akan menjadi batas-batas
konfrontasi antar peradaban.” Dia kemudian mengatakan,”Agama telah
membedakan manusia dengan amat tegas dan jelas. Seseorang bisa saja setengah
Perancis setengah Arab...Tetapi sangat sulit seseorang menjadi setengah Katholik
setengah muslim.”
Jika demikian halnya pandangan Barat yang hakiki, lalu di mana sebenarnya
dialog yang mereka serukan kepada kita dengan sikap permusuhannya itu?
Jika berbagai pernyataan di atas dikaitkan dengan berbagai aksi permusuhan
yang dilakukan oleh Barat untuk melawan Islam dan umatnya --seperti Perang Salib,
pembasmian umat Islam di Spanyol, penghancuran Khilafah, lalu pendirian negara
Yahudi di Palestina, pemberian predikat terorisme dan ekstremisme terhadap Islam
dan gerakan-gerakan Islam-- niscaya kita akan dapat memahami target-target dari
dialog antar agama yang diadakan oleh Barat yang kafir terhadap kaum muslimin.

Target-Target Dialog Antar Agama

16
Sesungguhnya target mendasar yang hendak diwujudkan oleh para kapitalis
dari dialog antar agama dan antar peradaban itu, adalah menghalang-halangi
kembalinya Islam ke dalam realitas kehidupan sebagai suatu sistem kehidupan yang
menyeluruh, sebab sistem ini akan mengancam kelestarian ideologi dan peradaban
mereka serta akan dapat memusnahkan segala kepentingan dan pengaruh mereka.
Target-target cabang lainnya untuk merealisasikan target mendasar itu cukup
banyak. Misalnya, mereka berusaha untuk mewarnai dunia dengan warna (shibghah)
peradaban Kapitalisme --utamanya wilayah-wilayah yang menjadi tempat hidup kaum
muslimin-- untuk menggantikan peradaban Islam sehingga Barat dapat lebih mudah
menghapus Tsaqafah Islamiyah dari benak kaum muslimin. Target ini diupayakan
dengan menggoncang kepercayaan kaum muslimin terhadap Tsaqafah Islamiyah
beserta sumber-sumber dan asas-asasnya. Tujuannya adalah untuk mengeluarkan
Islam dari medan pertarungan peradaban dengan mengosongkan Islam dari ciri khas
terpenting yang membedakannya dari agama-agama lain --yaitu politik-- yang
karenanya wajib didirikan negara Khilafah yang akan mengatur seluruh urusan rakyat
sesuai hukum-hukum Islam dan mengemban risalah Islam kepada seluruh manusia.
Mereka juga berusaha untuk membentuk kepribadian muslim dengan format
kepribadian yang baru, yakni pribadi yang tidak akan merasa bersalah bila
meninggalkan kewajiban dan mengerjakan keharaman. Mereka juga berusaha
merusak perasaan Islami pada seorang muslim dan membunuh semangat (ghirah)
Islam yang ada dalam jiwanya, sehingga muslim tersebut tidak mampu lagi membenci
kekufuran dan orang kafir, serta tidak mau memerintahkan yang ma‟ruf dan
mencegah dari yang munkar. Mereka bermaksud pula melenyapkan ketahanan budaya
dalam tubuh umat Islam --yang dengannya dapat ditangkal setiap unsur pemikiran
asing-- serta meratakan barikade-barikade berupa pola pikir (aqliyah) dan pola jiwa
(nafsiyah) yang berpotensi mengancam eksistensi peradaban kapitalis di negeri-
negeri Islam. Dengan demikian, diharapkan pemeliharaan atas segala pengaruh dan
kepentingan mereka dapat berlangsung mudah yang pada gilirannya ini akan dapat
menjamin kelestarian dan kesinambungan eksistensi mereka.
Dialog antar agama yang direkayasa oleh kaum kafir dan para penguasa
negeri-negeri Islam yang menjadi agen mereka, yang didukung oleh kawan-kawan
dekat penguasa tersebut dari kalangan ulama dan intelektual, sebenarnya bermaksud
untuk menciptakan agama baru kaum muslimin yang didasarkan pada aqidah
pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Padahal aqidah ini menetapkan
bahwa membuat hukum adalah hak manusia, bukan hak Allah SWT yang telah
menciptakan manusia. Mengenai para perekayasa dialog antar agama itu, Allah SWT
telah berfirman :

“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat)


mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekafiran) seandainya mereka
mampu.” (QS Al Baqarah : 217)

Demikian pula Allah SWT berfirman :

17
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu
mengikuti agama mereka.” (QS Al Baqarah : 120)

Karena peradaban Islam berasaskan Aqidah Islamiyah sementara peradaban


Kapitalisme berasaskan aqidah kapitalis (pemisahan agama dari kehidupan), maka
titik temu di antara keduanya hakikatnya tak mungkin ada. Jadi maksud dialog antar
agama yang dipimpin oleh Barat yang kafir itu, adalah agar kaum muslimin
melepaskan persepsi-persepsi Islam untuk kemudian digantikan dengan persepsi-
persepsi kapitalis, sebab Barat telah mengerti bahwa mengkompromikan dua ideologi
yang kontradiktif adalah hal yang mustahil.
Dialog antar agama dan antar peradaban untuk mencari titik temu di antara
agama atau peradaban yang ada dan untuk menciptakan sebuah peradaban manusia
yang baru, hanyalah sebuah ilusi belaka. Justru yang harus ada adalah pertarungan
pemikiran (ash shira‟ul fikri) di antara berbagai agama dan peradaban, agar dapat
diketahui mana yang haq mana yang batil, mana yang mulia mana yang hina, dan
mana yang baik mana yang buruk. Allah SWT berfirman :

“Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya. Adapun yang
memberi manfaat pada manusia, maka ia tetap di bumi.” (QS Ar Ra‟d : 17)

Dialog antar agama yang diserukan Barat kepada kita, sesungguhnya adalah
dialog yang bersifat sepihak. Dialog ini diprakarsai oleh musuh-musuh Islam yang
bertujuan untuk menghancurkan Islam, peradaban Islam, dan umat Islam itu sendiri.
Karena itu, kaum muslimin harus mempersiapkan segala sarana pertarungan yang
memadai, yang hanya dapat terwujud dengan kembalinya negara Khilafah. Negara
Khilafah inilah yang akan terjun langsung ke dalam pertarungan fisik/jihad (ash
shira‟ul maadi), di samping pertarungan pemikiran (ash shira‟ul fikri), dalam rangka
menyebarluaskan peradaban Islam yang bermutu tinggi dan untuk memusnahkan
peradaban kapitalis yang palsu dan bejat.

Perbincangan Tentang Anak-Cucu Nabi Ibrahim AS

Perbincangan ini bertujuan untuk memperkuat legitimasi dialog antara tiga


agama, dengan anggapan dasar bahwa agama samawi yang tiga itu telah dibawa oleh
Nabi Muhammad, Isa, dan Musa AS, yang mempunyai Bapak yang satu, yaitu Ibrahim
AS. Karena itu, pemeluk ketiga agama itu harus hidup berdampingan secara damai,
karena mereka secara agama adalah berasal dari satu keturunan.
Ini dari satu segi. Dari segi lain, perbincangan ini adalah untuk mendukung
apa yang disebut “proses perdamaian” dan pembukaan hubungan diplomatik dengan
Yahudi, serta melancarkan satu poin di antara poin-poin konspirasi Barat-Yahudi atas
Islam dan kaum muslimin, yaitu mencaplok Palestina dan Masjidil Aqsha dan
menancapkan pisau beracun dalam dada umat Islam. Juga untuk menjustifikasi
kerjasama orang Yahudi, Kristen, dan Islam guna menjalankan otoritas keagamaan
dalam pengelolaan kota Yerussalem, yang telah dianggap tempat suci untuk tiga

18
agama. Sebab, orang Yahudi, Kristen, dan Islam katanya adalah orang-orang muslim
yang berasal dari agama yang satu, yaitu agama Ibrahin AS, Bapak para nabi (Abul
Anbiyaa`).
Untuk menjelaskan kekeliruan pemikiran ini sekaligus untuk membantahnya,
harus dijelaskan 3 (tiga) poin berikut :

Pertama, Aspek Bahasa. Kata “aslama” di antara makna bahasanya adalah


“inqaada” (tunduk, patuh, berserah diri). Al Qur`an telah menggunakan makna
bahasa ini dalam kisah para nabi dan pemberian sifat para nabi itu sebagai orang-
orang yang tunduk-patuh kepada perintah Allah SWT. Allah SWT telah berfirman
melalui perkataan Nabi Nuh AS, nabi sebelum Ibrahim AS :

“Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku termasuk
golongan orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya).” (QS Yunus : 72)

Allah SWT berfirman melalui perkataan Nabi Nabi Ibrahim dan Isma‟il AS :

“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau
dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau.”
(QS Al Baqarah : 128)

Allah berfirman tentang kaum Nabi Luth AS :

“Dan Kami tidak mendapati di negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang yang
berserah diri.” (QS Adz Dzaariyaat : 36)

Allah SWT berfirman melalui perkataan Nabi Musa AS :

“Maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang-orang yang


berserah diri.” (QS Yunus : 84)

Allah SWT berfirman melalui perkataan para Hawariyin (pengikut-pengikut setia Nabi
Isa AS) :

“Kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah
orang-orang yang menyerahkan diri.” (QS Ali „Imraan : 52)

Dengan demikian, jelas bahwa kata “muslimun” yang terdapat dalam


berbagai ayat tersebut maknanya adalah “munqaaduun” (orang-orang yang patuh,
tunduk, berserah diri). Jadi bukan berarti mereka itu memeluk agama yang satu,
yaitu Islam yang diturunkan kepada Muhammad SAW, sebab Islam belum dikenal oleh
mereka, disamping mereka memang belum diperintahkan untuk memeluk Islam.
Setiap kaum dari mereka mempunyai seorang rasul yang khusus bagi mereka. Dan

19
setiap rasul itu menyeru mereka kepada syari‟at (aturan) yang khusus. Allah SWT
berfirman :

“Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan syari‟at (aturan) dan jalan
yang terang.” (QS Al Maa`idah : 48)

Setelah turunnya wahyu kepada Muhammad SAW, wahyu tersebut telah


mengarahkan perhatiannya pada beberapa kata Arab tertentu, lalu memindahkan
dari makna bahasa yang dibuat pertama kali untuknya, kepada makna syar‟i yang
dijelaskan oleh nash-nash syara‟ dari Al Qur`an dan As Sunnah. Di antara kata-kata
yang telah dipindahkan maknanya ialah kata “Islam”. Makna bahasanya adalah
“inqiyaad” (tunduk,patuh, berserah diri). Tetapi makna syar‟i-nya adalah agama yang
diturunkan Allah kepada Rasul-Nya Muhammad SAW. Makna ini misalnya terdapat
dalam Allah SWT yang ditujukan untuk semua manusia sampai Hari Kiamat :

“...dan telah Kuridlai Islam itu jadi agama bagi kalian.“ (QS Al Maa`idah : 3)

Juga dalam firman-Nya :

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”
(QS Ali „Imraan : 85)

Dan juga dalam sabda Rasulullah SAW :

“Islam dibangun atas dasar lima perkara...”

Sebagaimana diketahui, agama-agama selain Islam tidak dibangun atas dasar lima
perkara seperti tersebut dalam hadits.
Setelah pemindahan kepada makna syar‟i untuk kata “Islam”, maka semua
kata yang berasal dari kata “Islam” --seperti fi‟il “aslama”, dan isim fa‟il “muslim”--
jika diucapkan tanpa suatu qarinah (indikasi), berarti yang dimaksud adalah makna
syar‟i-nya, bukan yang lain. Apabila dimaksudkan untuk menunjukkan makna bahasa
yang dibuat pertama kali untuknya, diperlukan qarinah yang mengalihkan dari makna
syar‟i-nya. Misalnya firman Allah SWT :

“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia
adalah seorang yang lurus lagi menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS Ali „Imraan :
67)

Ini tidak berarti bahwa Ibrahim AS adalah penganut agama yang diturunkan
oelh Allah kepada Muhammad SAW (agama Islam), tetapi artinya, Ibrahim AS tunduk-
patuh (munqaadun) kepada apa yang diturunkan Allah kepadanya, dan dia bukanlah

20
orang Yahudi atau Nashara yang telah mengubah-ubah agama para nabi mereka.

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad, Isa, dan Musa
telah mengikuti agama Ibrahim, maksudnya adalah mereka itu mengimani aqidah
yang sama, yang merupakan dasar (pokok) dari setiap agama yang berasal dari sisi
Allah. Inilah yang dimaksud oleh firman Allah SWT :

“Dia telah mensyari‟atkan bagi kalian tentang agama apa yang telah diwasiatkan -
Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepada Nuh dan apa yang telah
Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu ,‟Tegakkan agama dan janganlah kalian berpecah
belahtentangnya.” (QS Asy Syuura : 13)

Jadi agama yang terdapat dalam ayat di atas adalah dasar/pokok agama
(ashlud diin), yakni aqidah. Akan tetapi syari‟at mereka tidak sama, karena ayat
tersebut telah ditakhsis (dikecualikan) oleh firman Allah SWT :

“Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.”
(QS Al Maa`idah : 48)
:
Kedua, Aspek Hukum Syara‟. Allah SWT telah mengutus Muhammad SAW sebagai
penutup para nabi kepada seluruh umat manusia, dimana mereka semua dituntut
untuk meninggalkan agama-agama mereka --baik samawi maupun bukan-- dan
mengambil Islam sebagai agama mereka. Barangsiapa yang memenuhi tuntutan ini,
berarti telah masuk Islam, sedang yang tidak memenuhinya, berarti telah kafir. Allah
SWT berfirman :

“Dan katakanlah kepada orang-orang yang diberi Al Kitab dan orang-orang yang
ummi,‟Apakah kalian (mau) masuk Islam)?‟Jika mereka masuk Islam , sesungguhnya
mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling,maka kewajiban kamu
hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-
hanba-Nya.” (QS Ali „Imraan : 20)

Allah SWT berfirman :

“Orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa
mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti
yang nyata. (yaitu) seorang rasul dari Allah (Muhammad)...” (QS Al Bayyinah : 1-2)

Jadi, orang-orang Ahli Kitab dan musyrik itu tidak dapat dikatakan
meninggalkan kekufuran, kecuali dengan cara masuk Islam, yakni mengikuti agama
Muhammad SAW. Selain itu Rasulullah SAW juga pernah bersabda :

21
“Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang
aku seseorang dari umat manusia ini, baik dia Yahudi maupun Nashrani, lalu dia
tidak mengimani risalah yang aku bawa, kecuali dia termasuk penghuni neraka.”
(HR. Muslim)

Walhasil, seluruh umat manusia telah diseru untuk memeluk Islam. Siapa saja
yang tidak mau memeluk Islam setelah diajukan hujjah baginya, berarti dia secara
pasti adalah orang kafir. Orang-orang Yahudi dan Kristen yang hidup setelah
diutusnya Nabi Muhammad SAW, jika mereka tetap saja menganut agama mereka
masing-masing, maka mereka adalah orang-orang kafir, menurut nash Al Qur`an.
Haram hukumnya mensifati mereka sebagai muslim.Barangsiapa beri‟tiqad bahwa
orang-orang Yahudi dan Kristen --serta penganut agama lain selain mereka-- adalah
orang-orang muslim, sungguh dia telah kafir. Karena dengan i‟tiqad-nya itu dia telah
mengingkari nash-nash syara‟ yang qath‟i tsubut (pasti sumbernya) dan qath‟i
dalalah (pasti maknanya). Jika dia mati dalam keadaan seperti itu, maka dia
termasuk penghuni neraka.
Ketiga, Perbincangan Tentang Anak-Cucu Ibrahim AS. Sebenarnya perbincangan ini
menyeru kepada ikatan kebangsaan (rabithah qaumiyah), yang pada faktanya
merupakan ikatan yang emosional dan bermutu rendah, yang lahir dari naluri
mempertahankan diri (gharizatul baqa). Ikatan ini tidak manusiawi, sebab tidak layat
untuk menjadi pengikat seorang manusia dengan manusia lain tatkala keduanya
berbeda dalam hal asal keturunan (nasab).
Ikatan anak-cucu Nabi Ibrahim AS telah terhapus oleh jaman, tidak ada lagi
faktanya dalam kehidupan, sebab orang-orang yang bernasab kepada Ibrahim dan
keturunannya telah bercampur baur dengan bangsa-bangsa lain, dikarenakan
hubungan perkawinan, pergaulangan, imigrasi, dan peperangan. Maka kini sangat
sulit, bahkan mustahil, membedakan mereka dari manusia yang lain. Di samping itu,
para pengikut ketiga agama tersebut berasal dari segala bangsa dan suku yang ada di
dunia, yang masing-masing telah terintegrasi atas dasar agama, bukan atas dasar asal
usul keturunan. Maka dari itu, sebutan “Anak-Cucu Ibrahim” untuk orang-orang
Islam, Yahudi, dan Kristen, juga untuk orang-orang yang tinggal di sekitar Masjidil
Aqsha atau yang lainnya, adalah sebutan yang gegabah, serampangan, lagipula tidak
benar. Maksud sebenarnya adalah untuk memerangi Islam, menjustifikasi proses
perdamaian yang dipaksakan, serta meligitimasi pembukaan hubungan diplomatik
dengan negara Yahudi yang bercokol di tanah kaum muslimin yang dirampas. Semua
ini adalah dalam rangka memberikan legalitas terhadap tindakan kriminal yang
sangat menjijikkan yang telah diperbuat oleh para penguasa yang berkhianat atas
dasar suruhan para majikan mereka yang kafir.
Ikatan kebangsaan atau ikatan kekeluargaan (rabithah usriyah), seperti
halnya ikatan anak-cucu Ibrahim AS, tidak dibenarkan oleh syara‟ untuk dijadikan
asas pengaturan interaksi di antara manusia. Allah SWT berfirman :

“Katakanlah,‟Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, dan kaum


keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian

22
khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah
lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya,
maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.‟ Dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS At Taubah : 24)

Jelaslah bahwa perintah Allah SWT, lebih tinggi kedudukannya daripada


ikatan kebangsaan atau ikatan kekeluargaan, atau aspek kemanfaatan. Allah SWT
telah menjelaskan kepada para nabi sebelumnya mengenai lemahnya ikatan-ikatan
seperti itu. Allah SWT berfirman :

“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata,‟Ya Tuhanku, sesungguhnya


anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan
Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya‟. Allah berfirman,‟Hai Nuh, sesungguhnya
dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan),
sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik.” (QS Huud : 45-46)

Allah SWT berfirman mengenai Ibrahim AS :

“Allah berfirman,‟Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh


manusia.‟ Ibrahim berkata,‟(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.‟ Allah
berfirman,‟Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.” (QS Al Baqarah : 124)

Ayat di atas menerangkan, bahwa anak Nabi Nuh AS dalam pandangan syara‟
bukanlah termasuk keluarganya, sebab dia tidak beriman dengan risalah yang
diturunkan Allah kepada ayahnya. Demikian pula, orang-orang zhalim dari keturunan
Nabi Ibrahim AS dikecualikan dari janji Allah untuk mendapat kepemimpinan, sebab
mereka tidak mengikuti risalah yang diturunkan Allah kepada Bapak mereka, Ibrahim
AS.
Oleh sebab itu, propaganda ide “Anak-Cucu Ibrahim AS” saat ini
sesungguhnya adalah propaganda jahiliyah yang bersifat politis dan sangat
tendensius. Haram hukumnya menyerukan dan mempromosikan ide ini, sebab maksud
hakiki dari ide itu adalah untuk memerangi Islam, memalingkan kaum muslimin dari
agamanya, menjustifikasi proses perdamaian yang khianat dengan Yahudi yang kafir,
menyerahkan kepada mereka bumi Palestina yang mereka jarah, mengesahkan
hubungan diplomatik dengan mereka, serta menerima eksistensi negara Israel di
Timur Tengah.

23
JALAN TENGAH (SIKAP MODERAT/KOMPROMI)
Istilah jalan tengah (kompromi/sikap moderat) tidak muncul di tengah-tegah
kaum muslimin kecuali pada masa modern kini. Jalan tengah adalah istilah asing yang
bersumber dari Barat dengan ideologi Kapitalismenya. Sebab, ideologi inilah yang
telah membangun aqidahnya atas dasar jalan tengah, sebagai suatu kompromi yang
lahir akibat pertarungan berdarah antara gereja dan para raja yang mengikutinya di
satu pihak, dengan para pemikir dan filosof Barat di pihak lain. Pihak pertama
memandang agama Kristen adalah agama yang layak untuk mengatur seluruh urusan
kehidupan. Sementara pihak kedua memandang bahwa agama Kristen tidak layak
untuk itu --karena Kristen dianggap penyebab kehinaan dan ketertinggalan-- dan
bahwa akal manusialah yang mampu menciptakan peraturan yang layak untuk
mengatur segala urusan kehidupan.
Setelah pertarungan yang sengit antara dua pihak ini, mereka menyepakati
suatu jalan tengah, yaitu mengakui eksistensi agama sebagai interaksi manusia
dengan Tuhan, tetapi agama tidak diberi hak turut campur dalam kehidupan dan
harus menyerahkan pengaturan urusan kehidupan kepada manusia.Kemudian mereka
menjadikan ide pemisahan agama dari kehidupan sebagai aqidah bagi ideologi
nereka, yang darinya terlahir sistem Kapitalisme. Atas dasar sistem ini mereka
mampu meraih kebangkitan lalu menyebarluaskan sistem ini kepada manusia lain
melalui jalan penjajahan (imperialisme).
Pengaruh prinsip jalan tengah yang menjadi landasan aqidah mereka itu,
akhirnya menjadi ciri menonjol dalam setiap hukum atau perilaku penganut ideologi
Kapitalisme, terutama dalam masalah-masalah politik. Dalam masalah Palestina,
misalnya, kaum muslimin menuntut agar seluruh bumi Palestina menjadi negeri
mereka. Pada saat yang sama, pihak Yahudi mengklaim Palestina sebagai tanah yang
dijanjikan Allah bagi mereka, sehingga semuanya adalah milik mereka. Negara-
negara Barat yang kapitalis pun kemudian menyodorkan suatu solusi pada tahun
1948, yaitu rencana pembagian tanah untuk mendirikan dua negara di Palestina, satu
untuk Arab, dan satu lagi untuk Yahudi. Pemecahan jalan tengah ini nampak jelas
dalam berbagai masalah internasional yang dikendalikan oleh negara-negara
Kapitalis, seperti masalah Kashmir, Cyprus, Bosnia, dan sebagainya.
Prinsip tersebut selanjutnya menjadikan kebijakan mereka selalu bertumpu
pada kedustaan dan penghindaran diri dari masalah. Tidak ditujukan untuk
memperoleh semua hak yang seharusnya dimiliki, tetapi hanya sebagian hak saja,
entah sedikit atau banyak. Jadi prinsip tersebut tidak ditujukan untuk meraih semua
hak, tetapi untuk mencapai suatu kompromi dari kedua belah pihak Ini bukan karena
prinsip itu benar, melainkan karena mempertimbangkan kondisi setiap pihak dari segi
kekuatan dan kelemahannya. Pihak yang kuat mengambil bagian yang diinginkannya
jika dia mampu, sedang pihak yang lemah melepaskan bagian yang tidak mampu
didapatkannya (prinsip take and give).
Alih-alih mengkritik dan menerangkan kekeliruan atau kepalsuan ide jalan
tengah, sebagian kaum muslimin malah mengambilnya dan menyerukan bahwa ide
tersebut ada dalam ajaran Islam, dan bahkan Islam itu dikatakan berdasarkan prinsip

24
jalan tengah. Dikatakan bahwa Islam itu terletak di antara spiritualisme dan
materialisme, antara individualisme dan kolektivisme, antara realistis dan idealis,
antara ketetapan dan perubahan. Islam katanya tidak mengenal sikap berlebih-
lebihan dan sikap lalai, tidak melampaui batas juga tidak kurang dari batas...
Untuk membuktikan pendapat ini, mereka melakukan pengkajian terhadap
segala suatu fakta yang ada. Mereka menyimpulkan bahwa segala sesuatu mempunyai
dua ujung dan titik tengah. Titik tengah adalah daerah yang aman, sementara kedua
ujung selalu terancam bahaya dan kerusakan.Titik tengah adalah pusat kekuatan
serta daerah kesetaraan dan keseimbangan bagi dua ujung. Selama titik tengah atau
jalan tengah memiliki keistimewaan-keistimewaan ini, maka tak heran jika prinsip
jalan tengah senantiasa nampak dalam setiap segi ajaran Islam.Jadi, Islam adalah
pertengahan antara keyakinan dan peribadatan, pertengahan antara hukum dan
akhlaq...
Setelah menganalogikan secara akliah hukum-hukum Islam dengan fakta
benda-benda yang ada, mereka mencari bukti lain dalam nash-nash syara‟. Mereka
mengalahkan nash-nash syara‟ tersebut, lalu menundukkannya di bawah pemahaman
baru mereka agar bisa cocok dengan pendapat mereka itu. Mereka dapatkan firman
Allah SWT :

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan
pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (QS Al Baqarah : 143)
Mengenai ayat tersebut, mereka berkata bahwa kedudukan pertengahan
umat Islam diambil dari metode (manhaj) dan peraturan hidup (nizham) umat yang
bersifat tengah-tengah. Di dalamnya tak ada sikap berlebih-lebihan ala Yahudi, dan
tidak ada sikap meremehkan ala Nashara. Mereka mengatakan bahwa kata “wasath”
artinya adalah “adil”. Dan “adil” --menurut sangkaan mereka--adalah pertengahan
antara dua ujung yang saling bertentangan. Dengan demikian mereka mengartikan
“adil” dalam pengertian “perdamaian” (shulhu), demi untuk mendukung prinsip
jalan tengah.
Padahal makna yang sahih untuk ayat itu adalah, bahwa umat Islam itu
merupakan umat yang adil. Sementara keadilan („adaalah), termasuk salah satu
syarat seorang saksi dalam Islam. Jadi maksudnya, umat Islam ini nanti akan menjadi
saksi yang adil bagi umat-umat lain (pada Hari Kiamat), bahwa umat Islam telah
menyampaikan risalah Islam kepada mereka. Meskipun ayat ini berbentuk kalimat
berita (ikhbar), tetapi mengandung tuntutan (thalab) dari Allah SWT kepada umat
Islam agar menyampaikan Islam kepada umat-umat lain. Jika umat Islam tidak
mengerjakan tugas ini, mereka akan berdosa. Dengan demikian, umat Islam umat
Islam akan menjadi hujjah (sebagai saksi yang adil) bagi umat-umat lain. Hal ini sama
halnya dengan Rasulullah SAW, yang nanti akan menjadi hujjah atas umat Islam
bahwa beliau telah menyampaikan risalah Islam kepada mereka. Allah SWT berfirman
:

“...supaya Rasul itu menjadi saksi atas diri kalian.” (QS Al Hajj : 78)

25
Ayat di atas menerangkan bahwa Rasulullah SAW akan menjadi hujjah atas
umat Islam (di Hari Kiamat nanti), bahwa beliau telah menyampaikan risalah Islam
kepada mereka. Dan Rasulullah SAW juga telah memerintahkan umat Islam untuk
menyampaikan risalah Islam kepada umat yang lain. Rasulullah SAW bersabda :

“Perhatikanlah! Hendaklah orang yang menyaksikan (hadir) menyampaikan kepada


orang yang tidak hadir.”

Mereka berdalil juga dengan firman Allah SWT :

“Dan (hamba-hamba Alah yang baik adalah) orang-orang yang apabila


membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan
adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS Al Furqaan
: 67)

Berdasarkan ayat ini, mereka menetapkan bahwa dalam infaq (pembelanjaan


harta) itu ada dua ujung; yaitu berlebih-lebihan (israf) dan kikir (taqtir/bakhil).
Mereka menetapkan adanya jalan tengah dalam infaq, yaitu pertengahan (qawam).
Dan ini, menurut pandangan mereka, adalah dalil mengenai jalan tengah dalam
berinfaq.
Mereka tidak menyadari bahwa makna ayat itu adalah, bahwa terdapat 3
(tiga) macam infaq, yaitu berlebih-lebihan, kikir, dan pertengahan. Berlebih-lebihan
(israf/tabdziir) adalah infaq dalam perkara yang haram, baik itu sedikit maupun
banyak. Jika seseorang membelanjakan satu dirham untuk membeli khamr, atau
untuk berjudi, atau untuk menyuap, maka ini adalah infaq yang berlebih-lebihan
(israf), yang hukumnya adalah haram. Adapun kikir (taqtir/bakhil) adalah mencegah
diri untuk berinfaq pada perkara yang wajib. Jadi kalau misalkan seseorang tidak
membayar satu dirham dari zakat mal yang wajib dikeluarkannya, atau tidak
menafkahi orang-orang yang wajib dia beri nafkah, maka ini adalah kikir, yang
hukumnya haram. Adapun infaq yang pertengahan (qawam), adalah membelanjakan
harta sesuai tuntunan hukum-hukum syara‟, baik banyak maupun sedikit. Memuliakan
seorang tamu dengan menyuguhkan seekor kambing, atau seekor ayam, atau seekor
unta, adalah infaq yang pertengahan yang hukumnya halal.
Hal ini karena Allah SWT berfiman :

“...di antara yang demikian itu...”

Ayat di atas tujuannya untuk menunjukkan adanya 3 (tiga) macam infaq,


yaitu berlebih-lebihan, kikir, dan pertengahan. Satu macam dari ketiga macam infaq
itu adalah perkara yang dituntut oleh syara‟, yaitu yang pertengahan (qawam). Allah
tidak mengatakan “baina dzalikuma” (di antara keduanya) untuk menunjukkan
pertengahan adalah di antara dua hal yang berbeda.

26
Maka dari itu, dalam Islam tak ada yang namanya kompromi atau jalan
tengah. Karena Allah SWT --yang menciptakan manusia dan mengetahui hakikatnya
dengan suatu pengetahuan yang tidak mungkin diketahui oleh manusia itu sendiri--
adalah satu-satunya pihak yang mampu mengatur kehidupan manusia secara cermat
dan teliti, yang tidak akan mungkin dicapai oleh seorang pun. Hukum-hukum Allah
datang dengan batas-batas yang tegas, tak ada kesan sedikit pun bahwa di dalamnya
ada kompromi atau jalan tangah. Sebab, memang tak ada kompromi atau jalan
tengah dalam nash-nash dan hukum-hukum Islam. Bahkan sebaliknya, berbagai nash
dan hukum Islam itu sangatlah teliti, terang, dan jelas batas-batasnya, sehingga Allah
menamakannya”hudud” (batas-batas), dikarenakan ketelitian dan kecermatannya.
Allah SWT berfirman :

“Itulah hukum-hukum Allah. diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.”


(QS Al Baqarah : 230)

Allah SWT berfirman pula :

“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-
ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal
di dalamnya.” (QS An Nisaa` : 14)

Adakah kompromi atau jalan tengah dalam sabda Rasulullah SAW kepada
pamannya Abu Thalib, ketika kaum Quraisy menawarkan kepada beliau pangkat,
harta, dan kehormatan agar beliau mau meninggalkan Islam :

“Demi Allah! Wahai Paman! Andaikata mereka meletakkan matahari di tangan


kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan perkara ini (Islam),
niscaya aku tak akan meninggalkannya sampai Allah memenangkan perkara itu atau
aku hancur karenanya!”

Adakah pula jalan tengah dalam sabda Rasulullah kepada qabilah Banu
„Amir bin Sha‟sha‟ah, ketika mereka meminta kekuasaan sepeninggal beliau sebagai
kompensasi dari pertolongan yang mereka berikan kepada beliau :

“Perkara ini (kekuasaan) adalah milikAllah, yang akan diberikan-Nya kepada siapa
saja yang dikehendaki-Nya.”

Jelaslah, sikap kompromi atau jalan tengah adalah ide yang sangat asing
dalam pandangan Islam, yang hendak disusupkan ke dalam ajaran Islam oleh orang-
orang Barat dan agen-agennya dari kalangan kaum muslimin. Caranya ialah dengan
memasarkan ide tersebut kepada kaum muslimin atas nama keadilan dan toleransi,
dengan maksud untuk menyimpangkan kaum muslimin dari ketentuan-ketentuan dan
hukum-hukum Islam yang telah jelas batas-batasnya.

27
FUNDAMENTALISME
Istilah fundamentalisme muncul pertama kali di Eropa pada akhir abad ke-19,
untuk menunjukkan sikap gereja terhadap ilmu pengetahuan (sains) dan filsafat
modern serta sikap konsisten mereka yang total terhadap agama Kristen.
Gerakan Protestan dianggap sebagai awal mula munculnya fundamentalisme.
Mereka telah menetapkan prinsip-prinsip fundamentalisme pada Konferensi Bibel di
Niagara tahun 1878 dan Konferensi Umum Presbyterian tahun 1910, dimana saat itu
mulai terkristalisasi ide-ide pokok yang mendasari fundamentalisme. Ide-ide pokok
ini didasarkan pada asas-asas teologi Kristen, yang bertentangan dengan kemajuan
ilmu pengetahuan yang lahir dari ideologi Kapitalisme yang berdasarkan aqidah
pemisahan agama dari kehidupan.
Meskipun gerakan Protestan ini telah padam karena Perang Dunia II, tetapi
telah tertancap dalam benak orang-orang Eropa bahwa fundamentalisme adalah
musuh kemajuan dan ilmu pengetahuan, keterbelakangan pola pikir yang tidak
selaras dengan masa kebangkitan, serta wajib diperangi hingga seluruh pengaruhnya
musnah dari kehidupan masyarakat.
Jelas bahwa fundamentalisme itu muncul di Eropa, karena adanya pengaruh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang muncul setelah pemisahan agama
Kristen dari kehidupan. Fundamentalisme merupakan reaksi yang lahir dari
ketidakmampuan agama Kristen untuk beradaptasi dengan sistem kehidupan baru
yang lahir dari aqidah ideologi Kapitalisme (pemisahan agama dari kehidupan).
Ketidakmampuan itu telah mendorong mereka yang mengimani agama Kristen untuk
mengambil sikap penolakan terhadap segala bentuk kemajuan materi dan peradaban
Barat. Tetapi gerakan yang dinamakan fundamentalisme ini akhirnya gagal dan
punah, karena lemah dalam menyodorkan solusi yang praktis untuk mengatasi
berbagai problem kehidupan, dan karena tujuan gerakan ini adalah menentang ilmu
pengetahuan, seni, dan berbagai ide yang tidak sesuai dengan keyakinan orang-orang
Kristen.
Maka dari itu, pemberian predikat fundamentalisme pada beberapa gerakan
Kristen dan Yahudi, sumbernya adalah dari Barat, yang artinya, gerakan-gerakan
agama tersebut adalah penentang kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
yang terlahir dari penerapan ideologi Kapitalisme.
Pemberian predikat fundamentalisme untuk banyak gerakan Islam dan para
aktivis gerakan Islam belakangan ini oleh para politisi dan intelektual Barat, juga
penumpasan oleh sebagian kaum muslimin terhadap para aktivis itu, tujuannya
adalah untuk memerangi dan melawan gerakan-gerakan tersebut. Juga untuk
membentuk opini umum internasional guna melawan siapa saja yang disebut
fundamentalis, karena menurut mereka, fundamentalisme adalah keterbelakangan
dan kemunduran serta penentangan terhadap segala kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Hanya dengan mencap satu pihak sebagai fundamentalis, sudah cukup pihak
itu dianggap berbahaya bagi peradaban modern yang materialistik dan bagi
kehidupan masyarakat. Predikat itu lalu digunakan sebagai pembenaran terhadap

28
tindakan-tindakan yang diambil --yang sangat kejam dan biadab-- untuk melawan dan
memerangi pihak tersebut. Ketika suatu negara --seperti Mesir, Aljazair, dan lain-
lain-- menjatuhkan hukuman mati kepada orang-orang Islam yang dicap
fundamentalis, dia akan meraih dukungan opini dari Dunia Barat. Sebaliknya,
lembaga-lembaga pembela HAM tidak akan marah sebab yang dihukum mati itu --
menurut lembaga-lembaga ini-- adalah kaum fundamentalis yang menentang nilai-
nilai kemanusiaan. Apalagi, mereka telah pula dituduh sebagai pelaku semua aksi-
aksi yang mengerikan, seperti pembantaian rakyat tak berdosa di Aljazair dan
pembunuhan para turis dan orang sipil di Mesir.
Tak hanya itu, cap fundamentalisme ini juga diberikan kepada setiap gerakan
atau partai yang berjuang mengubah kehidupan kaum muslimin yang sangat buruk
menuju kehidupan Islam, dengan jalan mengembalikan Khilafah dan hukum Islam.
Cap itu juga diberikan kepada setiap gerakan yang melawan para agresor serta
perampas tanah dan hak kaum muslimin, seperti orang-orang Yahudi, Serbia,
Amerika, dan lain-lain. Jadi para mujahidin muslim yang membunuh musuh-musuh
yang telah merampas tanah mereka, disebut para fundamentalis dan teroris. Para
pejuang yang mati syahid demi untuk menghancurkan kekuatan musuh asing, disebut
pelaku bunuh diri dan tindakan kriminal!
Pemberian predikat fundamentalisme mengandung bahaya bagi setiap muslim
dan setiap gerakan penentang kezaliman dan pendudukan. Juga mengandung bahaya
bagi setiap partai yang berjuang dengan metode syar‟i untuk melanjutkan kehidupan
Islam. Sebab, pemberian predikat tersebut tujuannya adalah untuk mendapatkan
legitimasi dari undang-undang untuk memberangus siapa saja yang menyerukan
kembalinya Islam dalam kehidupan, dengan dalih gerakan Islam adalah gerakan
fundamentalis seperti halnya gerakan-gerakan fundamentalis Kristen dan Yahudi yang
telah memerangi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa kebangkitan
Kapitalisme. Pemilihan istilah fundamentalisme itu sendiri untuk mencap gerakan-
gerakan Islam, sebenarnya dilatarbelakangi oleh konteks historis yang khas dalam
opini umum Dunia Barat, yang bertujuan agar bangsa-bangsa Barat beserta para
penguasanya dapat mencegah kembalinya “Islam Politik” dalam bentuk negara dan
sistem kehidupan.
Hendaknya tidak terlintas dalam benak seorang muslim, bahwa penyebutan
gerakan-gerakan Islam dengan istilah fundamentalis itu berhubungan dengan istilah
ushuludin (fundamen/dasar agama) dan ushul fiqih (fundamen/dasar fiqih). Sebab,
ushuludin dalam Islam adalah Aqidah Islamiyah, yaitu iman kepada Allah, para
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, dan Qadar (Taqdir).
Sedang ushul fiqih, adalah kaidah-kaidah yang menjadi landasan adanya fiqih, yang
digunakan oleh seorang mujtahid untuk mengistinbath hukum-hukum syara‟ yang
amaliah dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Sesungguhnya fundamentalisme menurut terminologi Barat sebagaimana yang
dibawa oleh gerakan Kristen Protestan, beserta tujuan yang mendasari keberadaan
gerakan tersebut, sangat jauh dari persepsi-persepsi Islam dan gerakan-gerakan
Islam, baik gerakan yang ada masa kini maupun yang pernah ada dalam sejarah.
Dalam sejarah kaum muslimin memang telah muncul berbagai gerakan politik, aliran

29
pemikiran, dan madzhab fiqih. Tetapi semua itu tidak mirip sedikit pun dengan
gerakan-gerakan fundamentalis Kristen. Bahkan mereka yang menyerukan ditutupnya
pintu ijtihad pada abad VII H, tidak mengatakan bahwa langkah itu adalah untuk
memelihara ajaran lama dan menentang ajaran baru, tetapi karena mereka menduga
bahwa fiqih Islam yang telah disusun oleh ulama salaf telah mencakup setiap masalah
yang mungkin akan dihadapi orang di kemudian hari.
Islam adalah agama yang unik yang berbeda dengan agama-agama samawi
lainnya, yakni Islam adalah agama samawi terakhir dan penghapus agama samawi
sebelumnya. Allah SWT telah menjamin pemeliharaan Islam sebagaimana ia
diturunkan sampai Hari Kiamat nanti. Allah SWT berfirman :

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur`an, dan sesungguhnya Kami benar-


benar menjaganya.” (QS Al Hijr : 9)

Keunikan lainnya, Islam adalah suatu ideologi yang menyeluruh dan


sempurna, yang didasarkan pada aqidah yang dibangun atas dasar akal, yang darinya
lahir peraturan hidup yang menyeluruh untuk mengatasi segala problem kehidupan
manusia sampai Hari Kiamat. Tidak ada kesan bahwa Islam itu lemah dalam
memberikan keterangan hukum syara‟ untuk problem apa pun yang akan dihadapi
manusia. Sebab Allah SWT berfirman :

Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur`an) kepadamu untuk menjelaskan
segala sesuatu.” (QS An Nahl : 89)

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pernah ditunjukkan Dunia


Islam dahulu, adalah hasil penerapan Islam dalam kehidupan, bukan hasil dari
pemisahan agama Islam dari kehidupan. Kemajun ilmu pengetahuan dan teknologi
yang ada di dunia kini, berhutang budi kepada para ulama Islam yang telah
merumuskan berbagai teori dan hukum yang mendasar, di bawah naungan kehidupan
Islam dan Daulah Islamiyah.
Maka dari itu, predikat fundamentalisme yang dilekatkan pada Islam dan
gerakan-gerakan Islam sebagaimana dilekatkan pada gerakan Kristen, adalah predikat
yang salah dan tendensius. Tidak sesuai dengan fakta ajaran Islam dan fakta orang-
orang yang berjuang mengembalikan Islam dalam kehidupan. Sebab, mereka
berusaha untuk mengubah realitas kehidupan kaum muslimin yang buruk, yang
merupakan hasil dari penerapan sistem buatan manusia dalam kehidupan. Ini jelas
bertolak belakang dengan aktivitas gerakan-gerakan fundamentalis Kristen yang
berusaha melestarikan pola kehidupan orang Kristen sebelum era kapitalisme, baik
secara formal maupun substansial.
Dengan demikian, predikat fundamentalisme yang diberikan Amerika dan
Eropa kepada gerakan-gerakan Islam, tak lain adalah untuk memerangi kembalinya
Islam dalam kehidupan. Ini memang masalah yang strategis, bahkan sangat vital bagi
Barat. Karenanya mereka sangat berambisi untuk mempertahankan Dunia Ketiga --
khususnya negeri-negeri Islam-- sebagai dunia yang terbelakang, yang jauh dari

30
kebangkitan yang hakiki. Tujuannya adalah untuk menghalang-halangi kembalinya
negara Khilafah yang akan mencerabut sistem kehidupan mereka dari akar-akarnya
serta menghancurkan ketamakan dan keserakahan mereka.
Dengarlah kesaksian salah seorang dari mereka, seorang peneliti-kunjung
(visiting researcher) di Universitas Harvard untuk Studi-Studi Timur Tengah. Dalam
sebuah memorandum yang disampaikannya kepada Kongres Amerika dia
menyatakan,”Kaum fundamentalis memandang bahwa syari‟at wajib diterapkan
dengan segala rinciannya, dan bahwa penerapan tersebut bersifat mengikat bagi
kaum muslimin seluruhnya. Dia --yaitu Islam-- adalah sumber asasi bagi kekuatan
mereka. Mereka memandang pula bahwa syari‟at layak diterapkan di masa sekarang
sebagaimana layak diterapkan pada masa lampau.” Dia mengatakan pula,”Kaum
fundamentalis sangat membenci peradaban Barat, dan mereka menganggap bahwa
peradaban Barat adalah penghalang terbesar yang menghambat penerapan Syari‟at
Islam.” Seorang peneliti Amerika yang lain --yaitu John L. Esposito-- dalam sebuah
memorandum yang dia sampaikan kepada Kongres Amerika mengatakan,”Sebenarnya
yang mengancam kepentingan-kepentingan Amerika, adalah para fundamentalis
muslim.”
Jadi fundamentalisme yang mereka serang, sesungguhnya adalah upaya
menerapkan kembali Syari‟at Islam dalam kehidupan. Andaikata memang ini yang
dimaksud dengan fundamentalisme, maka kaum muslimin --menurut pengertian Barat
tersebut-- hakikatnya adalah kaum fundamentalis, sebab kaum muslimin kini tengah
merindukan dengan penuh semangat penerapan seluruh hukum-hukum Islam, di
bawah naungan negara Khilafah yang akan menyelamatkan mereka dan bahkan
menyelamatkan dunia dari jurang penderitaan akibat kapitalisme menuju kebajikan
Islam.
Allah SWT berfirman :

“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan dusta
terhadap Allah sedang dia diajak kepada agama Islam? Dan Allah memberi petunjuk
kepada kepada orang-orang yang zalim. Mereka ingin hendak memadamkan cahaya
(agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap
menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir benci” (QS Ash Shaff :
7-8)

31
GLOBALISASI
Perumpamaan kata “globalisasi” di antara istilah-istilah baru, adalah
bagaikan“jilbab” di antara pakaian dan bagaikan “kuda Troya” di antara sarana
perang. Artinya, dia menutupi apa yang terkandung di dalamnya, untuk
menyembunyikan sesuatu yang ditutupinya, bahkan lebih banyak dari sekedar
sesuatu yang dapat ditutupi.
Yang sangat jelas membuktikan hal itu, adalah apa yang pernah terjadi di
Beirut pada akhir tahun 1997, tatkala Pusat Studi Kesatuan Arab --sebagai salah satu
peninggalan kaum nasionalis Arab-- menyelenggarakan konferensi untuk mengkaji
globalisasi dan sikap yang harus diambil negara-negara Arab untuk menghadapinya,
seakan-akan mereka menganggap bahwa globalisasi bertolak belakang dan
mengancam ide nasionalisme.
Dalam konsideran yang terdapat pada undangan konferensi, dinyatakan
bahwa topik konferensi adalah :
1. Globalisasi dan metode negara-negara Arab dalam memahami dan menyikapinya.
2. Kemunculan globalisasi di bidang politik, ekonomi, dan budaya.
3. Sejarah, riwayat, dan peran globalisasi saat ini.
4. Sikap Amerika terhadap globalisasi khususnya setelah runtuhnya Uni Soviet dan
padamnya Perang Dingin.
5. Dampak globalisasi di bidang ekonomi dan pembangunan di negara-negara Arab.
6. Pencarian peran dan identitas kebudayaan Arab.
Pada konferensi itu diundang puluhan ulama dan profesor dari berbagai
universitas. Ternyata mereka mempunyai persepsi yang simpang siur mengenai
globalisasi dan bagaimana mensikapinya. Koran-koran lokal telah mempublikasikan
resume berbagi lontaran peserta konferensi itu yang diselenggarakan tiga hari
berturut-turut, yang menunjukkan bahwa konferensi itu lebih tepat disebut “debat
kusir” daripada sebuah konferensi yang serius membahas suatu pemikiran. Akhirnya
panitia konferensi memutuskan bahwa konferensi tidak akan mengeluarkan resolusi
atau rekomendasi apa pun.
Globalisasi adalah istilah baru dalam bahasa Inggris dan Perancis yang muncul
sejak sekitar 10 tahun lalu. Istilah ini tidak untuk mensifati sesuatu bahwa
keberadaan atau terwujudnya sesuatu itu telah berskala global di sebagian besar
penjuru dunia, tetapi untuk menyatakan bahwa ada satu atau beberapa pelaku yang
bermaksud mengglobalkan sesuatu. Misalnya, ada satu perusahaan tertentu yang
mengadopsi kebijakan produksi yang memandang seluruh dunia sebagai tempat yang
layak untuk memproduksi barangnya. Kemudian perusahaan itu benar-benar
memproduksi barangnya di satu atau beberapa negara dengan biaya produksi yang
lebih rendah daripada di negara lainnya. Pada saat itulah, dikatakan bahwa
perusahaan tersebut telah “mengglobalisasikan” produknya. Istilah ini diterapkan
pula untuk kegiatan-kegiatan lain dari perusahaan tersebut atau perusahaan lainnya,
misalnya kalau perusahaan itu mengadopsi kebijakan “globalisasi” untuk
memasarkan produknya, untuk mempromosikan produknya, atau mencari komoditas-
komoditas baru beserta diversifikasinya. Ataupun untuk mempekerjakan para buruh,

32
ahli, dan manajer, atau untuk menarik para investor dan kreditor guna membiayai
kegiatan-kegiatannya, dan lain sebagainya.
Istilah globalisasi ini pertama kali digunakan untuk mensifati kegiatan
perusahaan-perusahaan besar Amerika pada awal pertengahan 80-an. Pada saat
Ronald Reagan menjadi Presiden Amerika tahun 1981, dia mengambil kebijakan-
kebijakan yang berani dalam hubungan internasional, baik di bidang ekonomi maupun
politik, yang mendapat dukungan kuat dari kalangan bisnis Amerika. Di antara
kebijakan itu adalah kebijakan dolar kuat untuk menarik para investor di luar negeri
agar mereka mau menginvestasikan modalnya pada obligasi-obligasi pemerintah
Amerika dan pasar-pasar modal yang ada di sana. Tujuannya adalah untuk membiayai
program-program Reagan untuk mempersenjatai kembali Amerika dan untuk
memukul Uni Soviet dalam perlombaan senjata yang tengah berkecamuk saat itu.
Program ini benar-benar telah berhasil menjatuhkan perekonomian Komunisme pada
tahun 1989.
Kebijakan dolar kuat ini mengakibatkan nilai dolar mengalami kenaikan yang
tinggi dan konstan pada tahun-tahun pertama pemerintahan Reagan, hingga indeks
nilai tukar dolar --bila diukur dengan mata uang negara-negara lain dan dibandingkan
dengan pertukaran perdagangan Amerika-- mencapai 159 poin pada Pebruari 1985.
Padahal pada bulan pertama pemerintahan Reagan bulan Januari 1981, indeks nilai
tukar dolar adalah 91 poin. Artinya, nilai tukar dolar naik 75 %.
Di antara keberanian langkah politik Reagan, dia tidak memperhatikan
dampak negatif atau efek samping dari kebijakan dolar kuat yang diambilnya, karena
dia mengkonsentrasikan diri untuk memenangkan pertarungan Kapitalisme melawan
Komunisme. Di antara dampak negatif yang ada, adalah meningkatnya nilai dolar
yang telah melemahkan kemampuan Amerika dalam kompetisi antara produk asing
dengan produk Amerika di dalam negeri Amerika. Akibatnya, ekspor Amerika merosot
sementara impornya melonjak tajam. Defisit neraca perdagangan luar negeri Amerika
semakin terakumulasi dalam jumlah besar pada masa Reagan, sebab jumlah totalnya
--pada masa pemerintahan Reagan di tahun 80-an-- telah mencapai 723 miliar dolar
AS. Padahal pada masa presiden sebelumnya di awal 80-an, jumlah total defisit
hanya 4 miliar dolar AS.
Di antara dampak negatif kebijakan dolar kuat, adalah berkurangnya laba
dari banyak perusahaan Amerika, disebabkan adanya persaingan antara produk asing
dengan produk Amerika yang harganya menggunakan standar dolar. Ini memaksa
perusahaan-perusahaan Amerika untuk menurunkan harga barangnya, kemudian
meninjau secara serius cara mengurangi biaya produksi barangnya, khususnya upah
untuk buruh Amerika.
Sekelompok profesor dari beberapa universitas di Amerika kemudian
melontarkan ide restrukturisasi bagi perusahan-perusahaan ini, dengan mengadakan
tinjauan ulang secara mendasar terhadap kegiatan-kegiatannya, baik dalam hal
produksi, pemasaran, maupun kegiatan lainnya. Ide ini mendapat sambutan hangat
dari kalangan investor dan pengusaha Amerika. Penerapan ide secara nyata ternyata
mengakibatkan ditutupnya banyak pabrik dan cabang-cabang perusahaan Amerika,
serta diberhentikannya sejumlah besar pegawai dan buruh perusahaan dengan

33
pesangon yang besar. Misalnya seperti yang pernah dilakukan oleh General Motor --
perusahaan mobil terbesar di Amerika-- yang memberhentikan sekaligus 74 ribu
karyawannya, atau IBM --perusahaan komputer terbesar di sana-- yang telah
memberhentikan 60 ribu karyawannya dalam tiga tahap pada waktu yang hampir
bersamaan.
Setelah mengadakan restrukturisasi, perusahaan-perusahaan ini kemudian
mencari kompensasi dari produksi pabrik yang telah ditutupnya, atau produksi cabang
pabrik yang telah dijualnya di Amerika. Caranya ialah dengan mencari produksi
pengganti yang berasal dari perusahaan-perusahaan kecil yang baru, yang membayar
upah buruh-buruhnya dari dana hutang, di mana buruh-buruh ini terutama adalah
mereka yang terkena PHK akibat restrukturisasi perusahaan. Cara lainnya, ialah
membangun pabrik-pabrik baru dan cabang-cabangnya di luar Amerika, terutama
karena efek samping kebijakan dolar kuat, adalah sangat murahnya harga dan upah
di luar Amerika. Perusahaan-perusahaan ini memusatkan perhatiannya di negeri-
negeri yang miskin dengan penduduk yang berjubel, seperti Indonesia, Filipina,
Thailand, India, Meksiko, dan Brazil, di mana upah buruhnya per bulan bahkan masih
lebih rendah daripada upah buruh pabrik di Amerika untuk satu atau dua jam saja.
Kenyataan seperti ini tidak hanya untuk upah buruh lokal, tetapi termasuk pula untuk
gaji para intelektual dan profesional lokal, seperti para insinyur dan programer
komputer di mana pun juga. Mereka harus menerima gaji mereka lebih rendah
dibandingkan gaji di Amerika, karena yang mereka butuhkan adalah sekedar
pekerjaan dan gaji (yaitu, asal tidak menganggur).
Di Amerika sendiri muncul konflik politik seputar proses restrukturisasi dan
PHK karyawan yang bersifat massal dalam jumlah yang mencengangkan itu. Banyak
orang Amerika berpandangan bahwa pengiriman tenaga kerja Amerika ke luar negeri
serta dicegahnya mereka yang di Amerika untuk bekerja, berarti telah memutus mata
pencaharian mereka, dan bahwa motif berbagai perusahaan itu tiada lain hanyalah
ketamakan kapitalistik belaka. Perusahaan-perusahaan membantah, karena mereka
merasa terpaksa untuk menjalankan langkah-langkahnya disebabkan adanya
kompetisi “global” yang sangat keras. Mereka menyatakan pula, bahwa tak ada lagi
alternatif bagi mereka kecuali harus berkompetisi dalam skala global dan
mengglobalisasikan kegiatan-kegiatannya.
Komisi-komisi dalam Senat dan Kongres Amerika kemudian mengadakan
sidang-sidang investasi terbuka, untuk meninjau masalah “globalisasi” perusahaan-
perusahaan Amerika tersebut. Ini dilakukan pertama kali tahun 1989 dan yang
terakhir tahun 1992. Investigasi-investigasi ini menyebabkan tersebarluasnya istilah
“globalisasi”. Kemudian komisi-komisi tersebut meresmikan istilah ini dengan
mencantumkannya sebagai judul keputusan-keputusannya pada tahun 1989 dan
tahun-tahun berikutnya. Inilah penggunaan istilah “globalisasi” yang pertama kali
sebagai judul buku atau keputusan yang dipublikasikan dalam bahasa Inggris. Sejak
itu terbit banyak buku dengan topik “globalisasi” hingga jumlahnya --yang berbahasa
Inggris-- mencapai sekitar 260 buah buku. Sebagian besarnya terbit pada dekade 90-
an, pada era Bill Clinton.

34
Akan tetapi, di balik itu investigasi-investigasi tersebut ternyata telah
mencairkan stagnasi politik akibat penentangan terhadap PHK karyawan perusahaan
dan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri, juga telah melegitimasi langkah
perusahaan-perusahaan tersebut, serta membuat capai media massa yang menentang
PHK karyawan. Investigasi berakhir tahun 1992, dan belum dilanjutkan lagi sejak saat
itu, kendatipun masalah PHK cukup menimbulkan dampak pada Pemilu pada akhir
1992. Setelah Clinton memegang kekuasaan, Kongres menyetujui kesepakatan NAFTA
yang telah dirintis oleh George Bush dengan Kanada dan Meksiko. Padahal
kesepakatan itu memberikan kesempatan kepada perusahaan-perusahaan Amerika
dan Kanada untuk membuat barang yang diinginkannya di Meksiko --yang upah
buruhnya sangat murah di sana-- kemudian menjualnya di pasar Amerika dan Kanada.
Inilah yang sebenarnya dikhawatirkan oleh berbagai asosiasi buruh dan kelompok-
kelompok politik lainnya di Amerika yang menentang perusahaan-perusahaan
tersebut dan menuduh mereka telah mengirimkan tenaga kerja ke luar Amerika.
Jadi, konflik politik yang muncul di Amerika termasuk perseteruan politik
yang menyertainya seputar PHK massal dan pengiriman tenaga kerja ke luar Amerika,
adalah latar belakang tersebarnya istilah yang kemudian terkenal sebagai
“globalisasi”. Perseteruan politik itu telah berakhir tahun 1992, dengan kemenangan
di pihak kalangan bisnis Amerika beserta perusahaan-perusahaan mereka.
Kondisi ini kemudian melahirkan opini umum bahwa tenaga kerja yang
profesional, berkeahlian tinggi, dan berpenghasilan besar, tidak boleh keluar dari
Amerika. Tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri haruslah yang hanya
mengandalkan tenaga fisik, dengan pekerjaan rutin yang melelahkan, serta upah
yang pas-pasan. Padahal, ini pun sama sekali tidak mereka inginkan untuk diri
mereka sendiri.
Teropinikan pula bahwa jika harapan-harapan itu terwujud, manfaatnya
akan kembali juga bagi umumnya orang Amerika, karena akan membuat Amerika
terspesialisasi sebagai negara industri maju dengan tenaga kerja yang kerja
profesional, berkeahlian tinggi, dan berpenghasilan besar. Dan juga, pengiriman
tenaga-tenaga buruh kasar ke luar negeri, artinya adalah barang akan terkumpul atau
dibuat oleh buruh-buruh asing yang rendah upahnya di luar negeri, kemudian barang
itu akan kembali ke pasar Amerika dengan harga yang sangat murah.
Masalah ini berakhir secara politis tahun 1992 tatkala Clinton memegang
tampuk kekuasaan tahun 1993 yang kemudian mengubah kebijakan ekonomi luar
negeri Amerika. Pendahulu Clinton --George Bush-- telah mengadopsi kebijakan
untuk meningkatkan ekspor barang dan memprakarsai pembentukan WTO (Organisasi
Perdagangan Dunia) sebagai pengganti GATT (Perjanjian Umum Tentang Tarif dan
Perdagangan), untuk membuka pintu seluas-luasnya bagi ekspor. Tetapi para investor
dan kalangan bisnis Amerika memandang bahwa yang lebih penting dari peningkatan
ekspor, adalah penyempurnaan langkah yang telah dirintis pada akhir 80-an, yaitu
restrukturisasi yang tuntas terhadap perusahaan-perusahaan, untuk menggiatkan
perusahaan dan meningkatkan kemampuannya menghasilkan laba. Mereka
memandang pula bahwa restrukturisasi ini, akan memungkinkan dikirimkannya para
tenaga ahli --bukan hanya barang-- ke luar negeri, di samping memungkinkan Amerika

35
untuk terjun dalam kompetisi yang sangat ketat melawan perusahaan-perusahaan
non-Amerika.
Para investor juga melontarkan ide-ide lain kepada Clinton dan menginginkan
agar Clinton mengadopsinya. Mereka mengatakan, ketika Amerika bertahun-tahun
melancarkan Perang Dingin dan memegang tanggung-jawab internasional lainnya,
Eropa dan Jepang telah berhasil memperkokoh kekuatan ekonominya, sehingga
menjadi ancaman bagi kepentingan-kepentingan vital Amerika. Padahal Perang
Dingin telah berakhir, sehingga Amerika wajib mempersiapkan kemampuannya untuk
bersaing dengan Eropa dan Jepang, serta mulai menyaingi keduanya dengan kekuatan
penuh. Amerika juga tidak perlu lagi menjaga kepentingan Eropa dan Jepang seperti
pada saat Amerika melancarkan Perang Dingin. Demikian pendapat para investor itu.
Bahkan, mereka menyerukan untuk mengaktifkan dinas intelijen Amerika untuk
memata-matai perekonomian Eropa dan Jepang beserta perusahaan-perusahaannya,
setelah sebelumnya kurang terpakai untuk itu karena adanya Perang Dingin dan
masalah-masalah politik lainnya.
Menyambut berbagai ide dan opini tersebut, Clinton dan Menteri Keuangan
Robert Rubin --yang juga salah seorang pengusaha besar di Wall Street-- mengadopsi
kebijakan yang menyerukan dibukanya pasar-pasar dunia seluruhnya, tidak hanya
untuk meningkatkan ekspor Amerika, tetapi juga untuk memungkinkan perusahaan-
perusahaan Amerika berproduksi di mana pun selama tenaga kerjanya murah,
memasarkan jasa-jasa dan komoditas industrinya di Amerika dan di mana saja selama
Amerika ingin eksis di pasar internasional. Tetapi yang terpenting, adalah kebijakan
keduanya untuk menggiatkan perusahaan-perusahaan keuangan Amerika --yaitu
beraneka macam bank, perusahaan asuransi, dan kantor pialang saham-- untuk
menembus pasar--pasar modal di luar Amerika. Ini adalah hal baru, sebab belum
pernah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut di luar Amerika dalam zona
yang sangat luas, di mana sebelumnya kedatangan mereka di kebanyakan negeri
tidak pernah disambut baik disebabkan aktivitasnya yang berbahaya. Karena,
perusahaan-perusahaan keuangan pada tabiatnya selalu berupaya untuk menghimpun
dana masyarakat dalam bentuk simpanan, premi asuransi, dana saham dan obligasi,
sehingga terjadi akumulasi dana yang sangat besar pada perusahaan keuangan
tersebut yang kemudian dapat dia kelola sesuai kehendaknya.
Para investor itu senantiasa dihantui oleh suatu ide bahwa segera setelah
berakhirnya Perang Dingin, dunia mau tak mau akan terbagi menjadi 3 (tiga) zona
kekuatan ekonomi raksasa; Pertama, zona yang meliputi Eropa secara keseluruhan
yang akan didominasi negara-negara Eropa Barat, Kedua, zona yang meliputi
sebagian besar Asia, yang akan dikuasai oleh Jepang, Ketiga, zona yang meliputi
benua Amerika, yakni Amerika Utara dan Amerika Latin, yang akan dikuasai oleh
Amerika Serikat Mereka cemas kalau ide ini menjadi kenyataan. Karena itu, mereka
menyerang ide ini dengan ganas dan mencapnya sebagai ide yang bersifat regional
belaka. Mereka mengisyaratkan bahwa Eropa dan Jepang-lah yang berada di balik
sosialisasi ide tersebut.
Para investor itu kemudian melontarkan ide penggantinya, yaitu bahwa
dunia telah menjadi satu, dan bahwa tak ada seorang pun yang lebih berhak dari

36
yang lain untuk mendapatkan sebagian daripadanya. Semua pihak berhak untuk saling
bersaing di mana pun juga. Mereka mempropagandakan ide ini melalui serangan
media massa yang sangat intensif dan pemerintahan Clinton pun akhirnya mengadopsi
ide ini. Karena itu mereka lalu menerbitkan banyak buku, di antaranya buku yang
membicarakan “globalisasi” kegiatan-kegiatan perusahaan Amerika.
Serangan media massa di Amerika itu berhenti ketika pemerintahan Clinton
mengadopsi ide teersebut pada awal masa pemerintahannya. Namun serangan itu
terus berlangsung ke luar Amerika di bawah kendali pemerintahan Clinton beserta
lembaga-lembaga pelaksananya. Di luar Amerika, khususnya di negara-negara yang
disebut “negara-negara berkembang”, serangan media massa tetap berlangsung
masif, yang akhirnya menyibukkan para penduduknya untuk memikirkan ide-ide yang
dangkal dan mengecoh, dengan ungkapan-ungkapan yang tidak jelas dan lemah,
disertai banyak pemutarbalikan fakta yang tidak bermutu dan terasa aneh bin ajaib.
Akibatnya, banyak orang yang kebingungan menghadapi ide “globalisasi”.
Meskipun terdapat kekacauan pada ide-ide yang dilontarkan dalam serangan
media massa tersebut, tetapi serangan ini memang telah terencana secara sentral
untuk mencapai hasil-hasil tertentu, yaitu membentuk dan membuat opini umum
agar masyarakat membuka pintu yang seluas-luasnya terhadap segala kegiatan
perusahaan-perusahaan Amerika dalam serangannya yang total guna memetik hasil-
hasil kemenangan Perang Dingin. Selain itu juga agar Amerika dianggap lebih berhak
menguasai pasar tersebut daripada Eropa dan Jepang.
Sangat disayangkan, serangan tersebut ternyata telah berhasil mencapai
target-targetnya, di samping telah makin memantapkan para penguasa yang
cenderung kepada Barat untuk membius bangsanya sendiri dalam menghadapi
serangan terbaru Amerika dalam upayanya untuk menembus negeri-negeri mereka.
Upaya ini bertujuan adalah untuk membuka pasar negeri-negeri tersebut terhadap
barang buatan Amerika, memanfaatkan tenaga buruhnya yang murah-meriah demi
kepentingan Amerika, mengalirkan harta kekayaan bangsanya ke dalam kantong
perusahaan-perusahaan keuangan Amerika, serta mengendalikan pasar-pasar
modalnya untuk kepentingan usaha Amerika.
Ide-ide yang dijajakan dengan kedok “globalisasi” yang dilontarkan Amerika
ke luar negeri, khususnya negara-negara Dunia Ketiga, antara lain :

-- Setelah hancurnya Uni Soviet, tak ada lagi di dunia ini selain sistem ekonomi Barat
yang mereka namakan “Sistem Ekonomi Pasar”, untuk menggantikan namanya yang
sebenarnya, yaitu “Sistem Ekonomi Kapitalis”, yang patut diingat kerakusannya dan
reputasinya yang sangat buruk sekali. Dikatakan bahwa seluruh negeri-negeri di dunia
kini telah menerapkan sistem tersebut, atau minimal berhasrat dan berupaya untuk
menerapkannya.

-- Dunia modal seluruhnya telah menjadi satu, sebab para pemiliknya mampu
memindahkannya ke negeri mana pun atau mampu menanamkannya di bidang
investasi mana pun dengan keuntungan yang lebih besar daripada pihak lain.
Dikatakan bahwa pemindahan modal ini dapat berlangsung secepat kilat karena

37
dimudahkan oleh sarana-sarana komunikasi yang cepat, dan bahwa modal ini tak
akan diinvestasikan di negeri-negeri yang membuat penghalang-penghalang untuk
menghambat aliran modal.

-- Dunia kerja seluruhnya juga telah menjadi satu. Tetapi perusahaan-perusahaan


yang mereka katakan berasal dari bermacam-macam negara, sebenarnya tidak
demikian faktanya. Karena, perusahaan induknya (holding company) tetap berasal
dari satu negara saja dan tak mungkin kecuali berasal dari satu negara. Perusahaan-
perusahaan ini dikatakan berkemampuan memproduksi atau memasarkan barang
dalam skala global, sehingga negeri mana pun yang sedang giat membangun akan
menyambut perusahaan-perusahaan tersebut untuk membuka lapangan kerja bagi
rakyatnya, atau untuk memasarkan produk-produknya. Jika tidak mau, perusahaan
itu akan berpaling menuju negara lain.

-- Sarana-sarana komunikasi di seantero pelosok dunia seluruhnya telah sempurna dan


saling berhubungan secara kompleks sedemikian rupa, sehingga tak ada satu pihak
pun yang dapat mendominasinya. Dikatakan bahwa saling keterkaitan ini akan
menimbulkan kondisi di mana informasi yang diterima masyarakat hampir sama,
bahkan berbagai pendapat dan perasaan mereka pun hampir-hampir homogen.

Inilah beberapa ide “globalisasi” yang dijajakan di negara-negara Dunia


Ketiga. Tujuannya adalah agar Dunia Ketiga menyambut gembira kedatangan modal
dan tenaga kerja asing, mengambil rekomendasi para pemilik modal dan tenaga kerja
itu untuk mengoreksi berbagai undang-undang di negaranya, serta melakukan
privatisasi badan usaha milik negara (BUMN), agar mereka dapat dengan mudah
membelinya. Mereka mengatakan bahwa tak ada alternatif lain di luar pilihan-pilihan
tersebut, jika kita memang ingin menyusul rombongan dunia seluruhnya untuk
mengglobalisasikan modal dan tenaga kerja. Kalau tak ikut rombongan, kita akan
tetap terbelakang, kata mereka.
Maka, jangan sampai ada seorang pun yang lalai dari pengaruh seruan dan
propaganda yang memutarbalikkan fakta ini, dari kedok “globalisasi” yang digunakan
untuk menutupi hakikat sebenarnya di negeri mana pun yang sedikit di dalamnya
orang-orang yang sadar dan bertanggung-jawab, dari kecenderungan penduduknya
untuk mengikuri seruan-seruan tersebut dari media massa, serta dari meratanya
ketidaktahuan akan masalah ini!
Oleh karena itu, bukan hal yang aneh bila kita membandingkan propaganda
“globalisasi” ini dengan serangan Kristenisasi pada abad lampau, maka serangan kali
ini lebih berbahaya daripada serangan sebelumnya. Sebab serangan kali ini memang
tidak memakai kedok agama, meskipun sebenarnya lebih mengerikan. [ ]

38
39

Anda mungkin juga menyukai