Anda di halaman 1dari 20

Volume 9 No.

1 Februari 2021 59

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL POLA TANAM DAN


KEMITRAAN USAHA PETANI KAKAO (Theobroma
cacao L.) DI KABUPATEN MADIUN
FINANCIAL FEASIBILITY ANALYSIS OF COCOA PLANTING PATTERN
(Theobroma cacao L.) AND PARTNERSHIP IN MADIUN DISTRICT

Arsyadani Sabilal Haq, Budi Setiawan, Suhartini

Program Studi Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya,


Jln. Veteran Malang 65145, Jawa Timur, Indonesia

E-mail: daniarsya8@gmail.com

Abstrak

Perkebunan kakao di Indonesia sebagian besar diusahakan oleh perkebunan rakyat. Terdapat
beberapa pola tanam yang diusahakan petani dengan menggabungkan kakao dengan tanaman
perkebunan lain. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Madiun, sebagai salah satu penghasil
kakao dan pemasok ekspor kakao dari Jawa Timur. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
kelayakan finansial usaha tani dari beberapa pola tanam kakao yang telah dibudidayakan
masyarakat sejak lama sebagai dasar untuk pengembangan kakao lebih lanjut di Kab Madiun, serta
menganalisis kemitraan yang terjalin antara petani kakao dengan perusahaan mitra yakni Gapoktan
Guyub Santosa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola tanam monokultur dan multiple
cropping semuanya layak secara finansial, tetapi monokultur kakao lebih layak jika dibandingkan
dengan pola tanam campuran. Hubungan kemitraan antara petani kakao dengan Gapoktan saling
menguntungkan, petani dapat menjual kakao dengan harga yang lebih tinggi, sedangkan Gapoktan
mendapatkan pasokan kakao dengan kualitas yang baik. Kemitraan yang dijalankan digolongkan
dalam bentuk pola dagang umum, antara petani dan mitra mengutamakan aspek pemasaran yakni
melakukan pembelian dan penjualan.

Kata kunci: Kelayakan finansial; kemitraan kakao; pola tanam kakao

Abstract

Indonesia cocoa plantations are most cultivated by smallholder plantation. There are some farmers
cultivated cropping patterns by combining cocoa with other plantation crops. This research was
conducted in Madiun District as the largest cocoa-producing region in East Java and became the
main supplier of cocoa exports from East Java. This study aimed to analyze the farming financial
feasibility of some cocoa cropping patterns that has been cultivated by the community for a long
time as the basis for further cocoa to be developed in Madiun District, as well as analyzing the
partnership that exists between cocoa farmers with partner companies named Guyub Santosa. The
results showed that the cocoa monoculture dan multiple cropping were financially profitable and
feasible to be developed. However, cocoa monoculture was more feasible than the multiple
cropping. Partnership between cocoa farmers and partners companies were mutually beneficial,
farmers can sell cocoa at a higher price, while partners gets of good quality of cocoa. While the
analysis of partnership run by the people was rated in the form of general trade pattern, between
farmers and partner pioritizing marketing aspects by buying and selling.

Keywords: Financial feasibility; cocoa partnership; cocoa cropping patterns


60 AGRILAN : Jurnal Agribisnis Kepulauan

Pendahuluan

Pengembangan komoditas kakao tidak dapat dilakukan hanya satu sektor


saja, namun sinergitas antar sektor mulai sektor hulu hingga hilir perlu digiatkan.
Pemerintah, melalui Kementrian Pertanian telah mencanangkan berbagai program
agar komoditas kakao menjadi produsen utama kakao dunia. Hal ini dikarenakan
kontribusi dari sub sektor perkebunan ini terhadap perekonomian nasional
semakin meningkat dan diharapkan dapat memperkokoh perkebunan secara
menyeluruh. Produksi kakao dunia yang mengalami fluktuasi dapat menjadi
peluang Indonesia yang dapat dimanfaatkan, karena potensi pengembangan kakao
masih terbuka lebar. Perkebunan kakao ini sebagian besar dikelola oleh rakyat,
sehingga jika pemerintah ingin menghasilkan kakao berlimpah dengan kualitas
tinggi, maka pengembangan tersebut juga harus dimulai dari masyarakat yang
mengusahakan usaha tani kakao.
Dalam segi ekonomi, analisis mengenai kelayakan dalam usaha tani kakao
perlu dilakukan agar dapat diketahui apakah usaha tani kakao yang telah
dilakukan masyarakat selama bertahun-tahun tersebut layak untuk dijalankan dan
memberikan peningkatan pendapatan pada petani dan keluarganya. Dalam
penelitian Pasaribu dkk (2016), Kelayakan finansial dalam usaha tani kakao dapat
dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan dalam memilih usahatani yang
akan dilakukan petani. Usahatani kakao juga membutuhkan modal yang tinggi,
investasi yang besar, serta masa pengembalian yang cukup lama.
Menurut Ditjenbun (2019), Kabupaten Madiun merupakan produsen kakao
terbesar di Provinsi Jawa Timur. Meskipun mempunyai produksi yang besar,
namun petani baru berperan sebagai pemasok dan belum mandiri untuk skala
industri. Beberapa kendala yang terjadi adalah kualitas panenan petani yang
kurang stabil dan masih rendahnya posisi tawar petani (bargaining power) dalam
hal pemasaran. Petani seringkali menjual kakao secara individu kepada penjual
keliling ataupun tengkulak, sehingga harga yang didapat lebih rendah. Wardhani
dan Prasetiyo (2016) mengatakan meskipun tanaman perkebunan seperti kakao
menjadi andalan ekonomi petani, tetapi produksi dan produktivitas kakao masih
Volume 9 No. 1 Februari 2021 61

tergolong rendah. Hal ini antara lain disebabkan petani masih menjalankan
usahatani kakao secara tradisional seperti tanpa pemberian pupuk, pengendalian
organisme pengganggu tanaman (OPT) yang belum optimal, dan pemangkasan
yang belum optimal. Di lain pihak, teknologi sudah banyak dikembangkan, akan
tetapi penyebaran ke tingkat petani belum maksimal.
Oleh karena itu diperlukan kerja sama antar petani agar kakao yang
mereka panen mendapatkan harga yang sesuai dengan harga kakao di pasar dunia.
Salah satu kerja sama yang disarankan oleh pemerintah adalah kemitraan dengan
tujuan agar petani mendapatkan jaminan pemasaran dan harga yang transparan.
Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997, kemitraan
sebagai kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah dan atau
dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha
Menengah dan atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling
memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Malia dan Sutarno
(2011) menyebutkan jika pola kemitraan petani kakao disesuaikan dengan
kebutuhan dan potensi masalah petani di daerahnya. Dalam penelitian Fidyansari
dkk (2016) disebutkan bahwa pola kemitraan merupakan suatu strategi dalam
meningkatkan kinerja pelaku agribisnis, khususnya petani dan pengusaha kecil.
Sedangkan pihak perusahaan memfasilitasi dengan modal usaha, teknologi,
manajemen modern, dan kepastian pemasaran hasil. Petani dan pengusaha kecil
bertanggungjawab terhadap proses produksi sesuai dengan petunjuk teknis dari
pihak pengusaha besar. Penelitian tentang analisis kemitraan perusahaan
agribisnis dengan petani penting dilakukan karena dua hal pokok. Pertama,
berkaitan dengan keefektifan integrasi kerjasama petani dengan perusahaan dalam
kemitraan agribisnis dalam mengembangkan potensi kedua belah pihak. Kedua,
secara konseptual berkenaan dengan perkembangan kajian tentang kemitraan
dalam bidang pertanian
Salah satu kerja sama Kemitraan yang dijalankan petani kakao di
Kabupaten Madiun adalah bermitra dengan Gapoktan Guyub Santosa dari Blitar.
Gapoktan Guyub Santosa ini memiliki koperasi yang mewakili dalam hal
penjualan dan pembelian kakao dari petani. Koperasi ini tidak hanya menerima
62 AGRILAN : Jurnal Agribisnis Kepulauan

pasokan kakao dari Madiun saja, tetapi juga dari berbagai daerah di Jawa Timur,
seperti Ponorogo, Nganjuk, Tulungagung, dsb. Kakao yang diusahakan oleh
petani di daerah penelitian rata-rata sudah berumur antara 10-15 tahun dengan
beberapa pola tanam yang paling banyak diusahakan petani antara lain yakni pola
tanam monokultur kakao, pola tanam campuran kakao-cengkeh-kelapa, dan pola
tanam campuran kakao-durian-kelapa.
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka tujuan dari penelitian adalah
menganalisis kelayakan finansial usaha tani kakao antara pola tanam monokultur
dan pola tanam campuran di daerah penelitian. Serta sejauh mana pola kemitraan
yang dijalankan saling menguatkan dan menguntungkan antara petani kakao
dengan mitra Gapoktan Guyub Santosa.

Metodologi Penelitian

Metode Pengumpulan Data


Pertumbuhan kakao memang mengalami fluktuasi tiap tahunnya. Menurut
data dari Ditjenbun (2019), sampai tahun 2020, estimasi angka untuk produksi
kakao, Jawa Timur merupakan penyumbang terbesar kakao untuk Pulau Jawa,
sedangkan Kabupaten Madiun merupakan penghasil kakao terbesar dengan
produksi mencapai 2915 ton pada tahun 2018. Sehingga data yang digunakan
sampai sekarang masih relevan.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan
kuisioner dan pengamatan langsung kepada petani dan lahan kakao di Kabupaten
Madiun, pegawai Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Madiun serta
Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) di dinas atau kecamatan setempat. Selain itu
dari pihak perusahaan mitra data primer diperoleh dari wawancara mendalam
dengan ketua dan anggota Gapoktan Guyub Santosa. Data sekunder dikumpulkan
dari instansi terkait seperti data dari Kecamatan Dagangan, Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kabupaten Madiun, Badan Pusat Statistik, jurnal penelitian kakao,
buku literatur kakao, serta website terkait. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja
Volume 9 No. 1 Februari 2021 63

(purposive) dengan pertimbangan Kecamatan Dagangan, Kecamatan Kare, dan


Kecamatan Gemarang merupakan sentra kakao di Kabupaten Madiun.
Responden petani diambil dengan metode Proportioned Stratified Random
Sampling yakni pengambilan sampel dilakukan secara acak dengan
memperhatikan strata yang ada. Jumlah petani yang mengusahakan pola tanam
monokultur dan pola tanam campuran adalah 106 petani. Penentuan jumlah
sampel ditentukan dengan rumus Slovin (Setiawan, 2007), yaitu:
𝑁
n = 𝑁.𝑑2 +1
106
n=
106.(0,1)2+1

n = 51 sampel
Berdasarkan perhitungan sampel yang telah dilakukan diperoleh jumlah
responden sebanyak 51 petani Setelah jumlah sampel petani kakao diketahui,
maka jumlah sampel untuk tiap strata diperoleh dengan rumus (Nazir, 1988) :
𝑁𝑖
ni = xn
𝑁

Keterangan :
ni = N1, N2, N3
N = jumlah populasi petani kakao
Ni = jumlah populasi dari masing-masing strata
n = jumlah sampel petani kakao

Berdasarkan rumus di atas dapat ditentukan besarnya sampel untuk masing-


masing strata sebagai berikut :

Tabel 1. Sampel strata


Strata Jumlah sampel Pola Tanam
n1 16/106 (51) = 8 Monokultur
n2 47/106 (51) =23 Campuran I
n3 43/106 (51) = 20 Campuran II

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis data kualitatif menggambarkan secara
deskriptif tentang pola kemitraan yang dijalankan antara perusahaan mitra dengan
kelompok mitra, yakni petani kakao. Analisis deskriptif juga dilakukan untuk
mengetahui karakteristik petani meliputi umur, pendidikan, luas lahan, jumlah
64 AGRILAN : Jurnal Agribisnis Kepulauan

tanaman kakao, dan pengalaman bertani kakao. Sedangkan analisis data secara
kuantitatif dipergunakan untuk menganalisis kelayakan finansial kakao pada
berbagai pola tanam yang diusahakan. Kelayakan finansial dianalisis
menggunakan kriteria investasi Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return
(IRR), Net B/C, dan Payback Period (PP). Kriteria investasi yang dihitung
menggunakan present value yang didiskonto dengan arus benefit dan cost selama
umur suatu proyek mengikuti Gittinger (1986); Kadariah dan Gray (1988).

Analisis Kelayakan Finansial


Menurut Kadariah (2001), untuk menilai kelayakan finansial suatu usaha,
dapat dilihat dari nilai kriteria NPV, IRR, Gross B/C, Net B/C dan Payback
Period. Dalam penelitian ini kelayakan finansial ditentukan melalui beberapa
kriteria investasi yakni ; NPV, Net B/C, IRR, Payback Period. Suku bunga yang
digunakan pada penelitian ini adalah 14 persen. Tingkat suku bunga digunakan
berdasarkan tingkat suku bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dikeluarkan
oleh BRI pada tahun tersebut.
Net Present Value (NPV) adalah kriteria investasi yang banyak digunakan
dalam mengukur apakah suatu proyek feasible atau tidak. Perhitungan NPV
merupakan net benefit yang telah didiskon dengan menggunakan Social
Opportunity Cost of Capital (SOCC) sebagai discount factor (Ibrahim, 2003).
Perhitungan NPV sebagai berikut :
𝐵𝑡−𝐶𝑡
NPV = ∑𝑛𝑡=0 (1+𝑖)𝑡

Keterangan :
Bt : Benefit usaha tani kakao pada tahun ke t
Ct : Biaya yang dikeluarkan usaha tani kakao pada tahun ke t
i : Tingkat bunga yang berlaku (14% per tahun)
n : Lamanya Periode Waktu (umur ekonomis proyek)
t : Tahun proyek
Kriteria kelayakan menurut NPV yaitu:
 NPV > 0, usaha tani kakao layak untuk dijalankan.
 NPV < 0, usaha tani kakao tidak layak untuk dijalankan.
Volume 9 No. 1 Februari 2021 65

Menurut Gray et al. (1997) Net B/C merupakan angka perbandingan antara
jumlah present value yang positif dengan jumlah present value yang negatif. Jika
Net B/C > dari 1 (satu) berarti gagasan usaha/proyek tersebut layak untuk
dikerjakan dan jika < dari 1 (satu) berarti tidak layak untuk dikerjakan.

𝐵𝑡−𝐶𝑡
∑𝑛
𝑡=1 (1+𝑖)𝑡
Net B/C = 𝑛 𝐶𝑡−𝐵𝑡
∑𝑡=1
(1+𝑖)𝑡

𝑃𝑉 𝐵𝑒𝑛𝑒𝑓𝑖𝑡
=
𝑃𝑉 𝐶𝑜𝑠𝑡

Keterangan :
B/C = Benefit/cost ratio
PV Benefit = PresentValue dari benefit
PV Cost = Present Value dari cost
Kriteria kelayakan menurut Net B/C yaitu:
 Net B/C>1, usaha tani kakao layak untuk dijalankan.
 Net B/C<1, usaha tani kakao tidak layak untuk dijalankan.
Internal Rate of Return (IRR) menunjukkan bahwa tingkat bunga yang akan
menghasilkan present value dari sebuah proyek atau usaha sama dengan nol.
Usahatani layak jika nilai IRR lebih tinggi dari tingkat suku bunga yang berlaku.
Usahatani tidak layak jika nilai IRR lebih rendah dari tingkat suku bunga yang
berlaku (Buharman, 2015).
𝑁𝑃𝑉1
𝑖2 + 𝑥(𝑖 − 𝑖1 )
𝑁𝑃𝑉1 − 𝑁𝑃𝑉2 2
IRR =

Keterangan:
i1 = Discount rate yang menghasilkan NPV positif (%)
i2 = Discount rate yang menghasilkan NPV negatif (%)
NPV1 = NPV positif (Rp)
NPV2 = NPV negatif (Rp)
Kriteria kelayakan menurut IRR yaitu:
 IRR>14 %, usaha tani kakao layak untuk dijalankan.
66 AGRILAN : Jurnal Agribisnis Kepulauan

 IRR<14 %, usaha tani kakao tidak layak untuk dijalankan.


Payback period bertujuan untuk melihat seberapa lama investasi bisa
kembali. Semakin pendek jangka waktu kembalinya investasi, semakin baik suatu
investasi. Apabila nilai Payback period lebih kecil daripada umur ekonomis
usahatani kakao, maka usahatani tersebut layak diusahakan dan dikembangkan.
Sebaliknya, apabila nilai payback period lebih besar dari umur ekonomis suatu
proyek, maka proyek tersebut tidak layak untuk diusahakan (Pasaribu dkk, 2016).
Nilai Investasi .
Payback Period = x 1 tahun
𝐶𝑎𝑠ℎ 𝑓𝑙𝑜𝑤

Analisis Kemitraan
Untuk mengetahui pelaksanaan dari kemitraan metode analisisnya
menggunakan metode analisis deskriptif. Analisis deskriptif adalah metode
statistika yang digunakan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan data yang
telah dikumpulkan menjadi sebuah informasi (Suharyadi dan Purwanto, 2008).
Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dengan kuisioner dengan
responden 51 petani kakao, 3 anggota dari Gapoktan Guyub Santosa, 3 Penyuluh
Pertanian Lapangan (PPL) Kecamatan dan Kabupaten Madiun. Data sekunder
dikumpulkan dari Dishutbun Kabupaten Madiun, Badan Pusat Statistik, jurnal
penelitian, buku-buku literatur, serta website.

Hasil Dan Pembahasan

Karakteristik Responden
Mayoritas responden masih berada pada usia yang produktif, antara umur
30-50 tahun (53%). Bahkan usia di atas 65 tahun pun masih banyak yang bertani.
Hampir semua petani masih aktif dalam keanggotaan kelompok taninya.
Sedangkan untuk tingkat pendidikan, sebagian besar responden tamat SMP
(41,15%), kemudian tamat SLTA (29,45%), dan tamat SD (23,5%). Untuk
pengalaman bertani, responden sudah memiliki pengalaman yang cukup lama,
yakni antara 21-25 tahun (29,4%), hal ini juga merupakan awal-awal program
Volume 9 No. 1 Februari 2021 67

penanaman kakao masuk di Kabupaten Madiun. Selain bertani, responden rata-


rata juga mempunyai pekerjaan sampingan seperti beternak kambing, ayam, dan
bebek.
Untuk penguasaan lahan, semua lahan adalah milik pribadi dari responden
dengan rata-rata memiliki lahan seluas ≤0,25 Ha sebesar (39,2%). Sebanyak 3
orang responden saja (5,9%) yang mempunyai lahan yang luas yakni >1 Ha. Hal
ini juga terlihat pada banyaknya jumlah pohon kakao yang dimiliki oleh
responden, dengan mayoritas mempunyai pohon berjumlah ≤200 pohon (35,3%).

Tabel 2. Karakteristik petani dan usahatani kakao Kec. Dagangan, Kec. Kare, dan
Kecamatan Gemarang
Sebaran
Karakteristik
Jumlah Presentase (%)
Kelompok umur (tahun)
- 30-40 tahun 11 21,6
- 41-50 tahun 16 31,4
- 51-64 tahun 12 23,5
- >65 tahun 12 23,5
Pendidikan
- Tidak tamat SD 3 5,9
- Tamat SD/sederajat 12 23,5
- Tamat SMP 21 41,15
- Tamat SLTA 15 29,45
- Tamat PT - -
Pengalaman Bertani
- 6-10 tahun 5 9,8
- 11-15 tahun 6 11,8
- 16-20 tahun 12 23,5
- 21-25 tahun 15 29,4
- > 25 tahun 13 25,5
Luas Lahan
- ≤2500 m2 20 39,2
- 0,25-0,5Ha 18 35,3
- 0,51-1Ha 10 19,6
- >1 Ha 3 5,9
Jumlah Pohon Kakao
- ≤ 200 pohon 18 35,3
- 201-400 pohon 10 19,6
- 401-600 9 17,6
- 601-800 6 11,8
- 801-1000 5 9,8
- >1000 pohon 3 5,9

Berdasarkan penelitian, responden melakukan penanaman kakao dengan


jarak tanam sebesar 3m x 3m, dengan lubang tanam sebesar 40cm x 40cm. Dari
tabel 2 di atas, kita dapat lihat bahwa sebagian besar responden tidak memiliki
68 AGRILAN : Jurnal Agribisnis Kepulauan

lahan yang cukup luas. Hal ini membuat petani untuk memaksimalkan hasil
produksinya dengan menentukan jenis tanam dan melakukan pola tanama
campuran atau polikultur. Menurut Susanto (1994), secara fisiologis, jarak tanam
akan menyangkut ruang dan tempat tanaman hidup dan berkembang, jika jarak
tanam terlalu sempit akan terjadi persaingan dalam memperoleh unsur hara, air,
sinar matahari, dan tempat untuk berkembang.
Selanjutnya untuk pola tanam kakao dari responden terdapat 2 jenis
pemilihan, yakni pola tanam monokultur dan pola tanam campuran atau
polikultur. Responden yang memilih monokultur adalah yang mempunyai lahan
luas, sedangkan untuk yang luas lahan sempit memilih pola tanam campuran.
Sayogyo (1997) mengelompokkan petani ke dalam tiga kategori : petani skala
kecil dengan luas usaha tani <0,5 Ha, skala menengah dengan luas usahatani 0,5 –
1,0 Ha, dan skala luas dengan luas lahan usaha tani >1,0 hektar. Semakin luas
lahan pertanian maka semakin efisien lahan tersebut jika sarana dan prasarana
serta pengelolaanya memadai.
Pilihan petani dalam pemilihan pola tanam dan jenis tanaman ini
dilakukan untuk menghindari kegagalan yang akan berujung pada kegagalan
panen. Pilihan ini juga diambil berdasarkan pengalaman usaha tani yang sudah
dilakukan secara turun temurun. Pemilihan pola tanam campuran kakao dengan
durian (Durio zibethinus), cengkeh (Sysygium aromaticum), dan kelapa (Cocos
nucifera), memberikan banyak kesempatan dan tidak hanya mengandalkan kakao
saja. Sikap ini dapat dijelaskan dengan melihat pandangan James Scott (1982),
mengenai moral ekonomi petani yang sederhana tetapi juga sangat kuat. Terdapat
3 prinsip sikap dari petani terkait dengan usahataninya yang dikembangkan Scott,
yakni sebagai berikut : (1) Dahulukan selamat : ekonomi subsistensi. Prinsip
safety first, yakni petani enggan mengambil resiko dan lebih memusatkan diri
untuk menghindari jatuhnya produksi, bukan semata memaksimalkan keuntungan;
(2) Etika subsitensi, yakni etika yang merupakan konsekuensi dari suatu
kehidupan yang dekat dengan garis batas, serta (3) distribusi resiko, sikap
menghindari resiko ini juga dikemukakan mengapa petani lebih suka menanam
Volume 9 No. 1 Februari 2021 69

tanaman subsistensi dibandingkan tanaman bukan pangan yang hasilnya untuk


dijual.
Pola tanam di daerah penelitian yang paling banyak diusahakan kemudian
dapat dikelompokkan dalam tabel sebagai berikut :

Tabel 3. Penyebaran pola tanam kakao di daerah penelitian


Pola Keterangan Responden
Tanam
I Kakao Monukultur 8
II Kakao – kelapa – Campuran I 23
cengkeh
III Kakao – kelapa – durian Campuran II 20

Dari tabel 3 tersebut dapat diklasifikasikan bahwa terdapat beberapa pola


yang berada di daerah penelitian dan dapat digolongkan menjadi tiga besar pola
penanaman kakao, yakni monokultur kakao, kemudian pola tanam campuran
kakao–kelapa–cengkeh, dan kakao–kelapa–durian. Pola monokultur kakao
didapat dengan jumlah sampel yang sedikit dikarenakan hanya sedikit petani yang
mempunyai lahan luas sehingga kakao ditanam secara monokultur. Meskipun
monokultur, namun beberapa petani tetap menanam tanaman naungan pada awal
tanam kakao. Menurut Ditjenbun (2014), tanaman naungan memiliki fungsi
sebagai berikut: (1) Menaungi, meredam suhu maksimum dan suhu minimum
yang dapat merusak tanaman kakao; (2) pemecah angin; (3) mencegah terjadinya
erosi; (4) menambah pendapatan sampingan apabila tanaman penaung yang
ditanam memiliki nilai jual. Tanaman naungan yang biasa digunakan petani antara
lain lamtoro atau Glirisida sebagai penaung tetap, Moghania macrophylla sebagai
penaung sementara, dan tanaman lain seperti pisang, sengon, dan kelapa.
Selain aspek kesesuaian lahan, petani juga memilih tanaman dengan
tingkat pemeliharaan dan pemanenan yang mudah. Dua tanaman utama petani,
yakni kakao dan cengkeh tidak harus membutuhkan perawatan yang rumit. Hal ini
tentu akan menghemat input produksi misalnya tenaga kerja yang dibutuhkan.
Harga kakao basah pada tahun 2016 berkisar Rp 15.000/kg-Rp 18.000/kg,
sedangkan kakao kering dapat mencapai Rp 25.000/kg – Rp 30.000/kg. Harga
kakao memang mengalami fluktuasi, tergantung dari pasar kakao dunia.
70 AGRILAN : Jurnal Agribisnis Kepulauan

Sedangkan pada tahun 2020, menurut Antara (2020) harga jual kakao kering dari
petani Madiun berkisar Rp 24.000-25.000/Kg. Untuk kakao basah untuk saat ini
petani sudah jarang menjual dalam kondisi basah dikarenakan harganya cukup
rendah. Sedangkan tanaman cengkeh ditanam dengan alasan karena harga jual
yang tinggi, dengan harga jual berkisar Rp 120.000/kg. Namun, tanaman cengkeh
ini cukup rentan akan hama penyakit yang mengancam. Selain cengkeh, tanaman
yang di tumpangsari adalah tanaman kelapa dan durian. Selain perawatan yang
cukup mudah, harga jual tanaman tersebut cukup stabil dengan cara penjualan
yang cukup mudah pula. Harga kelapa sekitar Rp 2.500,- per butir, sedangkan
untuk durian kesepakatan dengan pembeli. Untuk tanaman kelapa dan durian,
pedagang akan berkeliling dan membeli secara borongan.

Biaya Usahatani Kakao


Biaya usahatani kakao yang dikeluarkan saat Tanaman Belum
Menghasilkan (TBM) dapat dikatakan sebagai biaya investasi, sedangkan biaya
yang habis dalam satu kali pakai disebut biaya operasional. Tanaman kakao di
daerah penelitian mulai dapat dipanen pada umur 3 tahun. Biaya yang dikeluarkan
saat tahun pertama-kedua merupakan biaya investasi kakao. Biaya pada saat TBM
meliputi biaya pupuk, biaya bibit, biaya pestisida, biaya tenaga kerja, dan biaya
penyusutan. Petani tidak mengeluarkan sewa lahan, karena semua usahatani
diusahakan di lahan milik petani.
Biaya bibit yang dikeluarkan petani sebesar Rp 1.000.000,- per Ha, dengan
jarak tanam sebesar 3m x 3m. Sedangkan biaya pupuk pada tahun pertama sebesar
Rp 2.760.000,- per Ha per tahun yang terdiri atas pupuk bokashi, kompos,
Phonska, dan TSP. Biaya pestisida yang dikeluarkan sebesar Rp 840.000,- per Ha
per tahun. Jenis pestisida yang digunakan adalah pestisida alami yang dibuat dan
dijual anggota kelompok. Tenaga kerja menggunakan tenaga kerja dalam keluarga
dan luar keluarga. Upah tenaga kerja di daerah penelitian sebesar Rp 60.000,- per
hari, besarnya sama antara pekerja laki-laki dan perempuan. Biaya yang
dikeluargan untuk tenaga kerja sebesar Rp 5.840.000,- per Ha. Sedangkan biaya
penyusutan alat yang dikeluarkan sebesar Rp 531.167,- per Ha. Selain secara
Volume 9 No. 1 Februari 2021 71

monokultur, biaya usaha tani kakao campuran juga dihitung. Tanaman kakao yang
dihitung di daerah penelitian sampai tahun ke 15, dikarenakan usia kakao paling
tua adalah 15 dan masih masuk kategori umur produktif.
Tabel 4. Biaya usahatani kakao pola tanam monokultur dan pola tanam campuran
Umur Biaya usahatani kakao (Rp)
(tahun) Monokultur Campuran I Campuran II
1 10.971.167 11.068.667 12.436.167
2 7.113.667 4.673.667 5.176.167
3 9.626.167 4.933.667 6.221.167
4 9.626.167 4.763.667 7.091.167
5 8.186.167 9.243.667 7.091.167
6 9.718.667 9.268.667 8.201.167
7 11.523.667 11.508.667 8.526.167
8 11.763.667 13.323.667 8.286.167
9 12.603.667 14.103.667 8.946.167
10 12.603.667 14.103.667 11.293.667
11 13.141.167 16.233.667 12.438.667
12 13.141.167 16.233.667 12.438.667
13 13.141.167 19.458.667 13.321.667
14 13.631.167 19.938.667 13.321.667
15 13.631.167 19.938.667 13.713.667

Dari tabel di atas dapat kita ketahui bahwa biaya investasi untuk tahun
pertama cukup besar untuk semua pola tanam, kemudian mengalami penurunan di
tahun kedua sampai tahun ke enam. Biaya untuk pola tanam campuran lebih besar
dikarenakan ada kebutuhan bibit yang lebih banyak. Untuk menghitung benefit,
kakao sudah dapat dihitung mulai tahun ke 3 dan umur ekonomisnya bisa
mencapai 25 tahun, cengkeh sudah mulai menghasilkan pada tahun ke 4-6 tahun
dan umur ekonomisnya hingga umur 35 tahun, durian mulai dipanen tahun ke 10
dan umur ekonomisnya hingga 50 tahun, dan kelapa dipanen pada tahun ke 5-8
dan umur ekonomisnya hingga 50 tahun.

Analisis Kelayakan Finansial


Penilaian kelayakan ini untuk menentukan keputusan layak atau tidaknya
usaha tani kakao ini untuk dikembangkan lebih lanjut. Beberapa kriteria investasi
yang digunakan antara lain adalah (1) Net Present Value (NPV); (2) Net Benefit
Cost Ratio (Net B/C) ; (3) Internal Rate of Return (IRR) ; (4) Payback Period
(PP). Data disusun dalam jangka 15 tahun dengan tingkat suku bunga 14%.
Tingkat suku bunga tersebut digunakan berdasarkan tingkat suku bunga yang
72 AGRILAN : Jurnal Agribisnis Kepulauan

digunakan oleh BRI pada tahun tersebut. Arus biaya dan penerimaan secara
lengkap dapat dilihat di lampiran dan menghasilkan nilai investasi sebagai
berikut:

Tabel 5. Analisis kelayakan finansial usahatani kakao monokultur dan campuran


Kriteria Monokultur Campuran I Campuran II
NPV (Rp) 51.370.907 49.710.405 24.731.619
IRR (%) 35% 37% 26%
Net B/C 1,8 1,79 1,45
PP (th) 7 6 8

1. NPV (Net Present Value)


Analisis NPV merupakan nilai bersih sekarang (present value) dari selisih
antara benefit dengan cost (biaya) pada discount rate tertentu yang berlaku
pada saat penelitian. Hasil perhitungan NPV pada usaha tani monokultur
kakao dan campuran secara keseluruhan mempunyai nilai yang positif
(NPV>1), dengan nilai NPV terbesar pada pola tanam monokultur kakao.
Untuk NPV monokultur kakao yakni Rp 51.370.907, sedangkan nilai NPV
untuk pola tanam campuran I sebesar Rp 49.710.405, dan NPV untuk pola
tanam campuran II sebesar Rp 24.731.619. Nilai NPV yang positif ini dapat
diartikan bahwa pola tanam monokultur kakao dan pola tanam campuran
layak untuk diusahakan.
2. Net B/C
Net B/C adalah perbandingan antara jumlah nilai bersih sekarang (present
value of net benefit) yang positif dengan nilai bersih sekarang yang negatif.
Hasil perhitungan Net B/C diperoleh dari perbandingan net present value
yang positif dengan net present value yang negatif menunjukkan nilai Net
B/C untuk tanaman kakao pada pola tanam monokultur adalah 1,8, pola
tanam campuran I sebesar 1,79, dan pola tanam campuran II sebesar 1,45.
Proyek usaha tani dinilai layak dan efisien untuk dijalankan apabila nilai Net
B/C lebih dari 1 yang artinya manfaat yang diperoleh lebih besar
dibandingkan biaya yang dikeluarkan. Sehingga pola tanam monokultur
kakao dan pola tanam campuran layak untuk dikembangkan.
Volume 9 No. 1 Februari 2021 73

3. IRR (Internal Rate of Return)


Berdasarkan perhitungan diperoleh nilai IRR pada pola tanam monokultur
kakao sebesar 35% per tahun, pola tanam campuran I sebesar 37%, dan pola
tanam campuran II sebesar 26%. Angka ini dperoleh dari interpolasi antara
nilai NPV1 yang menunjukkan angka positif dan NPV2 yang menunjukkan
nilai negatif. Kriteria penilaian investasi dapat dikatakan menguntungkan dan
layak untuk diteruskan apabila nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga
bank yang ditentukan yakni 14%. Sehingga pola tanam kakao monokultur
dan pola tanam campuran layak untuk dilanjutkan.
4. PP (Payback Period)
Hasil perhitungan Payback Period dari usaha tani monokultur kakao
menunjukkan bahwa modal investasi yang ditanamkan akan kembali pada
tahun ke-7, sedangkan pola tanam campuran I pada tahun ke-6, dan pola
tanam campuran II pada tahun ke-8. Hal ini menandakan bahwa pola tanam
campuran II kakao paling cepat dalam menghasilkan keuntungan
dibandingkan pola tanam monokultur kakao dan campuran II. Payback
Period menunjukkan bahwa usahatani kakao, baik dengan pola tanam
monokultur maupun campuran layak untuk dilaksanakan dan dikembangkan.

Analisis Kemitraan Petani Kakao di Kabupaten Madiun dengan Gapoktan


Guyub Santosa
Kemitraan petani kakao di Kabupaten Madiun dengan Gapoktan Guyub
Santosa diawali pada tahun 2012 ini dijalankan antara mitra Guyub Santosa
dengan petani kakao hanya sebatas penjualan dan pembelian yang terbatas pada
komoditas kakao saja. Untuk komoditas pada pola tanam yang lain, petani dapat
menjual langsung kepada pedagang yang sudah menjadi langganan petani untuk
membeli panenan. Cara pembelian antara petani dengan mitra yakni ketua
kelompok tani menghubungi mitra dengan menyebutkan jumlah panenan kakao.
Jika jumlahnya memenuhi, minimal 1 ton maka mitra akan datang dan mengambil
ke tempat petani. Peran ketua kelompok di sini sangat penting, karena berperan
sebagai penghubung antara petani dengan mitra. Harga yang ditentukan oleh mitra
juga disesuaikan dengan kualitas panenan kakao petani pada waktu tersebut.
74 AGRILAN : Jurnal Agribisnis Kepulauan

Pola Kemitraan menurut SK Mentan No.940/Kpts/OT.210/10/1997 dalam


Hafsah (2009), dikategorikan dalam 6 bentuk pola kemitraan, yakni: 1) pola inti
plasma, 2) pola sub kontrak, 3) pola dagang umum, 4) pola keagenan, 5) pola
kerjasama operasional agribisnis (KOA), dan 6) waralaba. Sedangkan kerja sama
yang dilakukan antara petani kakao dengan Guyub Santosa termasuk dalam
kategori pola dagang umum. Hal ini dikarenakan kerja sama antara petani dan
mitra mengutamakan aspek pemasaran yakni melakukan pembelian dan
penjualan. Tujuan dari kemitraan pola dagang umum ini adalah kedua belah pihak
sama-sama mendapatkan keuntungan dengan adanya jaminan harga dan kualitas
produk sesuai dengan yang telah disepakati. Penyuluhan mengenai teknis
budidaya kakao yang baik juga diberikan oleh mitra Guyub Santosa sekitar 3-4
kali setahun. Dalam pelaksanaan analisis kemitraan ini tidak ada kontrak
perjanjian secara tertulis antara petani dengan mitra.

Tabel 6. Analisis kemitraan antara petani kakao dengan Guyub Santosa


Keadaan kemitraan yang terjalin Pelaksanaan Keterangan

Adanya kontrak perjanjian kemitraan X Perjanjian yang dilakukan hanya


secara tertulis secara lisan

Petani menjual seluruh hasil panenan x Iya jika panenan banyak dan
kakao ke perusahaan mitra mencukupi, namun petani bebas
menjual ke siapa saja apalagi jika
butuh dana mendadak
Hasil panen petani dijemput oleh 
perusahaan mitra Jika jumlahnya memenuhi maka dari
perusahaan mitra akan langsung
mengambil ke tempat petani

Petani tidak dikenai biaya transportasi  Semua biaya ditanggung mitra

Harga kakao disesuaikan ketika  Pihak dari Guyub Santosa baru akan
penyerahan kakao ke perusahaan mitra menentukan harga ketika melihat
panenan kakao yang dikumpulkan
petani
Perusahaan mitra menjamin harga jual  Disesuaikan dengan harga kakao dunia
kakao dan kualitas kakao petani
Petani kakao mendapatkan penyuluhan  Meskipun ada bimbingan, namun hal
dan bimbingan teknis budidaya tersebut tidak berjalan konsisten,
tergantung permintaan dari petani jika
terdapat kendala dalam budidaya
Kontinuitas penjualan kakao berjalan x Hal ini dikarenakan petani ingin cepat
lancer menjual kakao untuk pemenuhan
kubutuhan sehari-hari.
Keterangan : (x) tidak dilakukan () dilakukan
Volume 9 No. 1 Februari 2021 75

Tabel di atas didapatkan dari hasil wawancara dengan 3 orang anggota


mitra Guyub Santosa dan 6 orang petani yang bertindak sebagai key narasumber,
yakni ketua kelompok dan anggota aktif. Meski terdapat beberapa kekurangan
dalam pelaksanaan kemitraan pola dagang antara petani kakao dengan Guyub
Santosa, kemitraan tetap memberikan manfaat bagi pelaku kemitraan khususnya
bagi petani kakao, apalagi jika kemitraan tersebut dilaksanakan sesuai dengan
konsep ideal kemitraan, yakni saling menguntungkan kedua belah pihak.
Beberapa hal mengenai kegiatan kemitraan yang dijalankan oleh petani
kakao dengan perusahaan mitra berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Erfit
(2012) yang dapat disebutkan dalam tabel berikut :

Tabel 7. Jenis kegiatan dalam pengambilan keputusan kemitraan pola dagang umum di
daerah penelitian
Jenis Kegiatan Kewenangan
Penentuan harga komoditi Ditentukan oleh perusahaan mitra setelah
melihat kualitas produk dari petani
Pengelolaan lahan Petani
Waktu penjualan Petani dengan persetujuan oleh perusahaan
mitra
Penentuan mutu/kualitas komoditi yang Petani dengan menyesuaikan standar yang
dihasilkan diinginkan perusahaan mitra
Resiko Petani

Aspek-aspek dalam kemitraan yang terjalin antara petani dengan mitra


Guyub Santosa antara lain dapat ditinjuau dari segi kesanggupan (commitment),
kesungguhan, kepercayaan (trust), dan kepuasan. Beberapa aspek dari kemitraan
ini diambil berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Saptana et al. (2009) dan
tulisan dari Martodireso et al. (2006) yang meneliti mengenai kemitraan usaha
pada agribisnis. Aspek-aspek ini disimpulkan melalui wawancara dengan alat
bantu kuesioner pada petani dan anggota Guyub Santosa. Beberapa aspek
kemitraan yang terjalin antara petani dengan perusahaan mitra dintaranya adalah
sebagai berikut : 1) kesanggupan dalam memasok kakao dalam jumlah tertentu
dari petani kakao ke perusahaan mitra belum berjalan secara kontinyu, 2)
Kesungguhan dapat diartikan masing-masing pihak menyadari akan adanya kerja
sama yang sedang berlangsung. Tidak adanya hak dan kewajiban secara tertulis
dalam kontrak menyebabkan tidak adanya acuan yang jelas mengenai peran
76 AGRILAN : Jurnal Agribisnis Kepulauan

masing-masing, 3) kemitraan yang terjalin hanya mengandalkan kepercayaan


antar pelaku usaha, sehingga perjanjian hanya didasarkan atas kontrak secara
lisan. Dyer et al. (2002) dalam Saptana et al. (2009) mengemukakan bahwa
terdapat empat isu sentral yang berkaitan dengan kepercayaan (trust), yakni : (a)
menyangkut resiko dan ketidakpastian; (b) kemauan untuk menerima saran dan
kritikan; (c) adanya harapan dan saling ketergantungan; dan (d) kesediaan berbagi
nilai atau berkontribusi, dan yang terakhir adalah 4) petani kakao cukup puas
dengan harga yang ditawarkan karena harga tersebut sesuai dengan harga yang
berlaku di pasaran kakao dunia. Sedangkan dari pihak mitra Guyub Santosa,
meskipun tidak mengikat petani harus selalu menjual hasil panenan kepada
mereka, namun pihak mitra cukup puas dengan kualitas kakao khususnya dari
Kabupaten Madiun, meskipun seharusnya kualitas tersebut masih dapat
ditingkatkan. Sehingga kemitraan dengan pola dagang umum yang terjalin antara
petani dengan mitra ini saling menguntungkan kedua belah pihak.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai analisis kelayakan


finansial dan kemitraan kakao di Kabupaten Madiun, maka diperoleh kesimpulan
bahwa usahatani kakao di Kabupaten Madiun dengan pola tanam monokultur dan
pola tanam campuran I dan campuran II layak untuk diusahakan dan
dikembangkan berdasarkan kriteria NPV, IRR, Net B/C dan Payback Period.
Sedangkan analisis kemitraan yang dijalankan antara kelompok mitra petani
kakao dengan perusahaan mitra Gapoktan Guyub Santosa dikategorikan dalam
pola dagang umum, antara petani dan mitra mengutamakan aspek pemasaran
yakni melakukan pembelian dan penjualan. Kedua belah pihak saling
membutuhkan dan menguntungkan, dan dapat dinilai dari beberapa aspek,
diantaranya adalah: aspek kesanggupan (commitment), kesungguhan, kepercayaan
(trust), dan kepuasan.
Volume 9 No. 1 Februari 2021 77

Daftar Pustaka

Antara, 2020. Harga Kakao di Madiun Naik. https://papua.antaranews.com/. <Diakses


Oktober 2020>.

Buharman, B. 2015. “Analisis Usahatani Kakao Rakyat Di Kabupaten Solok


Sumatera Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat”.
http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/. Oktober 2020.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2014. Statistik Perkebunan Indonesia Kakao.
Jakarta: Departemen Perkebunan.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2019. Statistik Perkebunan Indonesia Kakao
2018-2020. Departemen Perkebunan. Jakarta.
http://ditjenbun.pertanian.go.id/. <Diakses Oktober 2020>.
Erfit, 2012. “Analisis Kesetaraan Dalam Kemitraan Pada Agribisnis
Hortikultura”. Jurnal Embrio. Vol 5(2): 132-143.
Fidyansari, Dharma., Hastuty, Sri., dan Arianto I Kadek. 2016. “Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Petani Kakao Bermitra Dengan Pt Mars (Studi Kasus
Di Desa Cendana Hijau Kecamatan Wotu Kabupaten Luwu Timur)”. Jurnal
Perbal Universitas Cokroaminoto Palopo. Vol 4 (2):-
Gittinger, J. Price. 1993. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. UI Press. Jakarta.

Gray C, P. Simanjuntak, L.K. Sabur, P.F.L. Maspaitella, R.C.G. Varley. 2007.


Pengantar Evaluasi Proyek. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Hafsah, M.J. 2009. Kemitraan Usaha Konsepsi dan Strategi. Jakarta :
PT. Pustaka Sinar Harapan.
Ibrahim, Yacob. 2003. Studi Kelayakan Bisnis. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.
Kadariah. 2001. Evaluasi Proyek Analisis Ekonomi. Jakarta : Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Malia, Rosda dan Sutarno, Tarno. 2011. “Evaluasi Tujuan Kemitraan Petani
Kakao Dengan Pt. Inter Green Estate Perkebunan Layungsari Di Desa
Cikidang Bayabang Kecamatan Mande Kabupaten Cianjur”. Journal Of
Agroscience. Vol. 2(1): 12-20.

Martodireso, Sudadi dan W.A. Suryanto. 2006. Agribisnis Kemitraan Usaha


Bersama. Cetakan ke-5. Kanisius. Yogyakarta.
Nazir, Moh. 1988. Metodologi Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
78 AGRILAN : Jurnal Agribisnis Kepulauan

Pasaribu, M.Christina, Prasmatiwi, F.E., Murniati, Ktut. 2016. “Analisis


Kelayakan Finansial Usahatani Kakao Di Kecamatan Bulok Kabupaten
Tanggamus”. JIIA. Vol 4 (4) : 367-375.
Peraturan Pemerintah. PP No.44 Tahun 1997. http://perundangan.pertanian.go.id.
admin/p_pemerintah/PP-44-97.pdf. November 2015. <Diakses Oktober
2020>

Saptana, A. Daryanto, H.K. Daryanto, Kuntjoro. 2009. “Strategi Kemitraan Usaha


dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Agribisnis Cabai Merah di Jawa
Tengah”. Pusat Analisis Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Sayogyo. 1997. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. Bogor:
LPSBIPB.
Scott, James. 1982. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia
Tenggara . Jakarta: LP3ES.
Setiawan, Nugraha. 2007. “Penentuan ukuran sampel memakai rumus Slovin dan
tabel krejcie-morgan: Telaah konsep dan aplikasinya”. Skirpsi. Fakultas
Peternakan Universitas Padjadjaran.
Suharyadi dan Purwanto. 2008. Statistika Untuk Ekonomi dan Keuangan Modern,
Salemba Empat: Jakarta.
Susanto, F.X. 1994. Tanaman Kakao, Budidaya dan Pengolahan Hasil.
Yogyakarta: Kanisius.
Wardhani, R.M. dan Prasetiyo, Edy. 2016. “Faktor-Faktor Yang Mempengarui
Persepsi Masyarakat Terhadap Budidaya Tanaman Kakao (Theobroma
cacao L.) (Studi Kasus Di Kecamatan Dagangan Kabupaten Madiun)”.
Agri-Tek: Jurnal Ilmu Pertanian, Kehutanan dan Agroteknologi Vol 17(1) :
8-18.

Anda mungkin juga menyukai