Anda di halaman 1dari 79

PROYEK PENGISLAMAN PENGIKUT AGAMA DEMOKRASI

Dengan Nama Allah, Yang Maha Pengasih Maha Penyayang. Segala puji bagi-Nya Yang Mengokohkan Islam dengan pertolongan-Nya, yang Menghinakan syirik dengan Keperkasaan-Nya, yang Mengatur segala urusan dengan Perintah-Nya dan Yang memberi ulur orang-orang ahli maksiat dengan makar-Nya. Dia Yang menampakkan dien-Nya atas semua dien, Yang Maha Kuasa atas semua hambahamba-Nya sehingga tidak ada yang bisa mengelak, Yang mengatur hamba-hamba-Nya sehingga tidak ada yang melawan, Dan Yang Maha Bijaksana dalam apa yang Dia inginkan sehingga tidak ada yang bisa menentang. Saya memuji-Nya atas pemuliaan-Nya kepada para wali-Nya, pertolongan-Nya terhadap tentara-tentara-Nya, dan penghinaan-Nya terhadap musuh-musuh-Nya. Saya bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, Yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, serta Yang tidak ada tandingan bagi-Nya; dengan kesaksian orang yang membersihkan hatinya dengan tauhid dan yang berusaha meraih ridla Tuhannya dengan melakukan permusuhan terhadap musyrikin dan loyalitas di dalam tauhid itu. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, yang menegakkan tauhid dan yang menghancurkan segala kemusyrikan biidznillah, Sang Uswatun Hasanah yang wajib dipanuti dan Sang Panglima Besar Revolusioner Tentara Islam Mujahidin yang gagah bijaksana. Serta saya kafir kepada setiap thagut dan mengkafirkannya, memusuhinya, membencinya dan memeranginya dengan lisan dan tangan ini, serta berlepas diri dari para pengusungnya, ideologi dan konstitusinya, aparatur dan rakyat yang membelanya; dengan kebencian dan permusuhan yang dahsyat. Shalawat dan salam tetap terlimpah lestari kepada Muhammad rasulallah, Nabi-Nya, panglima besar tentara Islam yang cerdas, gagah berani nan bijaksana, semoga terlimpah pula kepada keluarga, sahabat dan orang-orang yang bertauhid dari awal hingga tegaknya Hari Kiamat. Sesungguhnya, sebenarbenar perkataan adalah kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shalallahu'alaihi wassalam, seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan, setiap yang diada-adakan adalah bid'ah, setiap bid'ah itu sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka. Allah Taala berfirman, Sungguh, bila kamu berbuat syirik, maka hapuslah amalanmu, dan sungguh kamu tergolong orang-orang yang rugi (Az Zumar : 65) Barangsiapa mencari peraturan selain peraturan Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (aturan itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (Ali Imran : 85) Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu; sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (Al Maaidah : 51) Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat (dien) mu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman. (Al Maaidah : 57) Rasulallah Shalallahu'alaihi wassalam bersabda, Hari kiamat tidak akan tiba sehingga setiap kabilah dari umatku ini kembali menyembah berhala dan setiap kabilah (kelompok, ormas, jamaah) dari umatku ini, mereka bergabung dengan pemimpin-pemimpin kaum musyrikin (mengikuti penguasa thaghut yang tidak menjalankan hukum Islam -penj). (HR. Muslim) "Akan berpecah belah Yahudi dan Nashara menjadi 72 golongan dan akan berpecah umatku menjadi 73 golongan. Semuanya di neraka kecuali satu. Shahabat bertanya: Siapakah mereka wahai Rasulullah? Beliau menjawab: mereka itu adalah orang-orang yang mengikuti aku dan para shahabat lakukan hari ini." (HR. Tirmidzi dan Thabrani) Senantiasa akan ada sekelompok dari umatku yang menegakan kebenaran, orang-orang yang membencinya tidak membuat mereka gentar sampai datang ketentuan Allah (HR. Muslim) Hari ini manusia telah terfitnah dengan fitnah syirik akbar dien demokrasi dan adanya pembelaan secara mati-matian yang dilakukan oleh para penghusungnya dari kalangan thaghut-thaghut yang dimana mereka itu sudah lepas dari ikatan Islam, atau bahkan dibela oleh sebagian kalangan yang katanya ahli agama dan sebagai juru dakwah, mereka kaburkan kebatilan dengan kebenaran, terkadang mereka menamakan demokrasi ini sebagai kebebasan, terkadang mereka menamakannya sebagai syuraa dan terkadang berdalih dengan dalih maslahat dakwah dan istihsan (anggapan baik); dengan dalih-dalih itu mereka mengaburkan kebenaran dengan kebathilan dihadapan orang-orang awam, dan mencampuradukan cahaya dengan kegelapan, syirik dengan tauhid dan Islam. Kini umat telah kembali menyembah berhala dan mengikuti para pemimpin thaghut musyrikin yang memerintah berdasarkan hawa nafsu, mengikuti dien demokrasi yang diusung oleh Zionis dan Salibis, tanpa umat sadari; mereka telah keluar dari Islam dengan mengikuti dien tersebut, bahkan telah termasuk golongan Zionis dan Salibis, walaupun mereka berniat demi maslahat dakwah, karena demokrasi adalah salah satu syirik akbar, sedang syirik akbar adalah kekafiran dan salah satu pembatal keislaman.

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


1-

Alhamdulillah, atas karunia dan perlindunganNya, saya telah menyusun sebuah buku dalam bentuk tanya-jawab berjudul MENGISLAMKAN PENGIKUT AGAMA DEMOKRASI yang dibagi menjadi beberapa pasal yaitu Kajian Tauhid, Kajian Aqidah Islamiyah, dan Seruan Dakwah Islam. Buku ini disusun untuk menjadi hujjah bagi manusia dan sebagai bahan hujjah bagi para dai tauhid. Buku ini disusun dari buku-buku ulama salaf dan khalaf yang menapaki jejak para nabi dan ahli tauhid terdahulu dan yang konsisten memperjuangkan Islam. Ketahuilah, saya hanyalah seorang hamba Allah yang dhaif, masih muda belia dan merupakan salah satu prajurit Tentara Islam di Indonesia di tengah jutaan Tentara Islam di negeri ini yang telah berkomitmen kepada Allah untuk berjuang mengembalikan kembali kemerdekaan Negara Islam dengan sempurna dibawah naungan Khilafah Islamiyyah, sampai ruh berpisah dari jasad. Sejarah mencatat, semangat perjuangan Umat Islam di Indonesia telah bermula sejak Islam masuk ke nusantara, pada zaman kerajaan, pada zaman penjajahan kafirin Belanda-Jepang, hingga kini (penjajahan thaghut Negara Kafir Republik Indonesia terhadap umat Islam) dan seterusnya insya Allah hingga Negara Islam merdeka secara de yure, de facto atau kaaffah, bahkan pernah pula tertegak Negara Islam di Indonesia yang merupakan rahim, akar dan basis pergerakan Islam di Indonesia. Setelah thaghut NKRI lanatullahalaihim berkuasa, pergerakan Islam kembali pada metode dakwah periode Makiyyah yaitu sirryah at tanzhim. Sehingga saat ini atas karuniaNya, kita dapat melihat perkembangan dakwah Islam yang semakin-hari semakin subur dan tumbuh diberbagai tempat. Jutaan mujahidin telah merapatkan barisan dibawah kepemimpinan Islam yang saat ini masih menjaga dan merahasiakan eksistensinya. Mereka bagaikan air yang tertutupi oleh buih (ansharut thaghut) sebagaimana firman-Nya. Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Demikianlah Allah membuat perumpamaan tentang yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan (Ar Radu : 17) Sesungguhnya, musuh-musuh Islam merasa resah dan ketakutan dengan gerakan Islam yang masih memberlakukan Underground System atau Gerakan Bawah Tanah ini (sirriyah at tanzhim). Metode ini adalah salah satu bagian dari Manhaj Haraki Nabi Shalallahualaihi wassalam pada permulaan dakwah periode Makkiyyah, yaitu pada saat wilayah Mekkah masih dikuasai oleh pemerintahan thaghut musyrikin, umat Islam masih dalam keadaan lemah dan tertindas; seperti pada saat kita sekarang ini. Mereka semakin ketakutan ketika bermunculan beberapa mujahidin yang menampakan keislamannya dengan membuat gebrakan-gebrakan aksi yang membuat orang kafir jengkel & ketakutan, walaupun diantara mereka (mujahidin) menemui syahid-nya. Padahal perlu mereka ketahui bahwa terdapat jutaan mujahidin di negeri ini yang siap melakukan hal yang serupa, bahkan lebih dahsyat dari apa yang telah mereka (syuhada) lakukan. Dan ini hanya tinggal menunggu waktu saja. Hal ini tidak lepas dari usaha sungguh-sungguh yang telah dilakukan oleh para ulama yang jujur dalam mengemban risalah Islam. Mereka tidak henti-hentinya untuk menyerukan tauhid, meskipun mereka dikejar-kejar, dipenjarakan serta dipersempit ruang gerak dan penghidupan mereka, bahkan ada pula yang dibunuh. Terutama ketika musuh-musuh Allah yang terdiri dari thaghut penguasa negeri ini, pembuat & pelaksana undang-undang kafir, aparatur pemerintahannya, para jurnalis, hartawan, ilmuan dan ulama jahat; berusaha keras menghalangi para duat dalam menyerukan tauhid kepada manusia yang tengah dibodohi oleh penguasa thaghut, mereka mengaburkan kebenaran dengan kebatilan dan mengusung syirik akbar agama demokrasi. Bahkan mereka membuat buih jamaah Islam binaan bagaikan anjing piaraan, yang melegalkan perbuatan syirik mereka dengan syubhat yang menutupi kebenaran, seperti menyamakan syuraa dengan demokrasi, dan penggunaan istilah-istilah Islam dalam perbuatan syirik mereka, bahkan banyak istilah Islam yang dipergunakan untuk menakut-nakuti manusia, seperti jihad yang disamakan dengan terorisme, baiat dan infaq disangkut-pautkan dengannya, Jamaah Islamiyah dinisbatkan sebagai nama komunitasnya, dan pemelihara jengot merupakan anggotanya. Padahal, istilah-istilah tersebut merupakan esensi dinul Islam dan memelihara jenggot merupakan sunnah Nabi Muhammad Shalallahualaihi wassalam. Hal ini mereka lakukan dengan tujuan untuk mencegah rakyatnya dari menerima Dakwah Islam sehingga banyak dari rakyatnya yang berpaling darinya sebelum bertabayun, padahal kaum musyrikin terdahulu tersesat karena sikap tersebut, Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka penjelasannya. Demikianlah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul). Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim itu (Yunus : 36 & 39) Alhamdulillah, ketika ujian itu datang bertubi-tubi, justru Allah memberikan hidayah ke dalam hati manusia yang dikehendaki-Nya untuk mendapat petunjuk di berbagai belahan bumi, khususnya di bumi nusantara ini. Atas karunia Allah; para pemuda dan orang tua dengan penuh antusias menyambut seruanseruan para ulama Tauhid. Sehingga semakin hari semakin jelas di hadapan kita bahwa pintu kemerdekaan Islam semakin dekat dan terbuka lebar untuk kita. Alhamdulillah, kini telah terkumpul jutaan Tentara Islam di Indonesia dengan kualitas yang mantap; mereka siap berjihad serentak ketika maklumat jihad dikumandankan oleh Imam Umat Islam. Peperangan antara Tentara Islam dengan Tentara Thaghut ini sudah digariskan dalam kitabullah dan hadist Nabi Muhammad Shalallahualaihi wassalam.

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


2-

Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu lemah (An Nisaa : 76) Dien ini akan senantiasa tegak, sekelompok umat Islam berperang di atas dien ini sampai tegaknya hari kiamat. (HR. Muslim) Melihat kemajuan dakwah ini, saya ingin berperan aktif sebagai wujud dukungan saya kepada umat Islam dan sebagai bentuk sambutan saya terhadap seruan para ulama tauhid untuk terus berjihad. Semoga dapat membantu pelaksanaan jihad yang kita tekuni sampai mendapatkan kemerdekaan Darul Islam (Negara dan Khilafah Islam) dalam waktu yang dekat ini. Adalah suatu keyakinan yang kuat bagi kita akan kemerdekaan Islam seperti yang telah dijelaskan oleh Nabi Shalallahualaihi wassalam. Bahkan musuh-musuh kita; Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya lanatullahalaihim; memprediksikan bahwa Khilafah Islamiyyah akan tegak pada tahun 2020 Masehi insya Allah. Dan ingatlah, bahwa Kemerdekaan Negara Islam itu adalah janji Allah Yang Maha Menepati Janji, sebagaimana firman-Nya taala; Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh; bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka aturan yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (An Nuur : 55) Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orangorang yang berdosa dan orang-orang yang kafir di antara mereka. (Al Insaan : 24) Maka bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi. (Al Mumin : 55) Wahai saudara-saudaraku yang bertauhid, nantikan dengan semangat perjuangan yang membara bahwa Kemerdekan Islam dan Kehancuran Thaghut akan segera tiba dalam waktu dekat. Selamat berjihad, hingga Islam merdeka atau kita binasa karena memperjuangkannya. Allah Yang Maha Perkasa beserta pasukan-Nya. Dia Taala berfirman; Sungguh, saat jatuhnya azab kepada mereka (thaghut dan pembelanya) ialah di waktu subuh; bukankah subuh itu sudah dekat? (Huud : 81)

Penyusun Berikan kesaksian dan komentar Anda kepada : singa_tauhid@rocketmail.com islamic.bussiness@yahoo.com

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


3-

PASAL KAJIAN TAUHID Visi Kajian :

1. 2.

Tabligh : Menjelaskan mengenai tauhid dan syirik akbar (termasuk demokrasi), status dan hukum bagi para pelaku syirik akbar, dan sikap mukmin terhadap mereka. Dakwah : Menyeru kepada setiap pembaca atau pendengar kepada Tauhid, Islam dan Jamaah Islam serta baroah (berlepas diri) dari seluruh kemusyrikan dan kekafiran.

Misi Kajian :
Mengemas setiap permasalahan dalam bentuk tanya-jawab. Adapun pertanyaan dalam Pasal Kajian Tauhid ini adalah sebagai berikut; 1. Apakah syarat ibadah kita diterima oleh Allah? 2. Apakah hakikat tauhid itu?

3. 5. 7. 9.

Apakah pengertian tentang Tauhid Rububiyah, Mulkiyah dan Uluhiyah? 4. Apakah dalil tentang kalimat Tauhid Laa ilaaha illallaah? Dipermulaan tadi disebutkan tentang kufur kepada thaghut, siapakah thaghut itu? 6. Bagaimana syarat sahnya orang berpegang kepada kalimat Laa ilaaha illallaah? Apakah Demokrasi itu adalah agama (dien) baru selain Islam? 8. Bagaimana jika ada yang berkata bahwa para penguasa; baik eksekutif, legeslatif beragama Islam? dan yudikatif

Bagaimana dengan status hukum orang/kelompok yang mengklaim menolak thaghut, tetapi mereka memperjuangkan syariat Islam dengan masuk ke parlemen thaghut atas niat Maslahat Dakwah? 10. Bagaimana jika hukum Islam tegak dengan cara mereka yaitu dengan berjuang lewat parlemen mereka? 11. Siapakah yang disebut orang musyrik itu? Kapan seseorang dikatakan musyrik? Apakah ada kaitan antara penamaan musyrik dengan tegaknya hujjah? Apakah pelaku syirik akbar yang jahil bisa dikatakan musyrik? 12. Bukankah ayat itu berkenaan dengan para penyembah berhala, tapi kenapa anda terapkan kepada orang yang mengaku Islam hanya karena dia melakukan syirik akbar, sedangkan dia masih shalat, zakat, shaum dan melakukan ibadah lainnya? 13. Mengapa orang yang mengaku Islam dan rajin beribadah kepada Allah, tapi dia berbuat syirik akbar karena kebodohannya dikatakan musyrik? Apakah para ulama atau rakyat yang setuju (karena kejahilannya) dengan syirik demokrasi juga dikatakan musyrik? 14. Apakah Dalil-dalil dari as sunnah yang menguatkan penjelasan tadi? 15. Adakah dalil dari ijma para ulama tentang penjelasan tersebut?

16.

Siapakah saja ansharut (pembela) thaghut itu? Hal ini penting diketahui karena mereka adalah pelaku syirik akbar dan berperan aktif dalam menjaga kekafiran? 17. Apakah status hukum bagi mereka (ansharut thaghut) itu juga kafir, padahal tadi disinggung bahwa orang-orang yang mengikuti thaghut karena kebodohan; mereka adalah musyrikin? 18. Berarti dapat disebutkan bahwa status seseorang itu tergantung kepada kelompok dan pemimpinnya?

19.

Bagaimana hukum berwala (loyalitas) terhadap pemerintahan thaghut (kaum musyrikin)? 20. Bagaimana kita membantah sebagian ulama jahil dan ulama jahat yang menganggap penguasa di Indonesia ini sebagai mukmin (bahkan ulil amri) sehingga rakyat (umat Islam) harus mengikuti dan mentaatinya?

21. 22.

Apa saja pembatal-pembatal keislaman?

Biasanya kelompok yang mengungkap kajian seperti ini disemati sebagai khawarij, bagaimana penjelasannya? 23. Bagaimana jika ada yang mengatakan bahwa para penguasa itu hanya melakukan kufrun duna kufrin merujuk pada tafsir Ibnu Abbas? Mereka juga mengatakan bahwa yang merongrong pemerintah adalah khawarij.

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


4-

24. Bagaimana hukumnya jika muslim membuat KTP, surat nikah, SIM dan surat-surat lainnya dari thaghut, apakah ia sudah musyrik? 25. Bagaimana sikap kita terhadap para pelaku syirik akbar?

Tata Tertib Membaca Risalah Ini :


1. Berlindung kepada Allah dari segala bisikan syaitan dan mengawalinya dengan basmallah.

2.

Memohon kepada Allah agar diberi petunjuk ke jalan yang lurus. 3. Melapangkan hati untuk menerima kebenaran dan berniat lurus karena Allah. 4. Mentabayyuni (membaca, menelaah dan mengkaji) risalah ini dari materi awal hingga materi terakhir karena materi ini saling berkaitan agar tidak terjadi kesalah-pahaman. 5. Dilarang keras membuka halaman berikutnya sebelum mengkaji dan memahami halaman sebelumnya. Risalah ini dilindungi langsung oleh Allah Yang Maha Kuat. Barangsiapa yang berniat jahat, merubah dengan al bathil dan/atau mendustakannya, Maka akan disiksa dengan siksa yang pedih dan kekal di akhirat.

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


5-

PASAL KAJIAN TAUHID


Apakah syarat ibadah kita diterima oleh Allah?
Syaratnya ialah ber-Tauhid tanpa syirik, itulah pintunya, sedang kuncinya adalah mengikrarkan syahadatain. Amal shalih apapun, baik itu shalat, shaum, zakat, haji, infaq, birrul walidain (berbakti kepada orang tua), jihad dan sebagainya tidak mungkin diterima Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan tidak ada pahalanya bila tidak dilandasi tauhid yang bersih dari syirik. Berapapun banyaknya amal kebaikan yang dilakukan seseorang, tetap tidak ada artinya bila pelakunya tidak kufur kepada thaghut, sedangkan seseorang tidak dikatakan beriman kepada Allah apabila dia tidak kufur kepada thaghut. Nanti kita akan menguak mengenai thaghut itu insya Allah. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman, Siapa yang melakukan amal shalih, baik laki-laki atau perempuan sedang dia itu mukmin, maka Kami akan berikan kepadanya penghidupan yang baik serta Kami akan memberikan kepadanya balasan dengan balasan yang lebih baik dari apa yang telah mereka amalkan (An Nahl : 97) Siapa yang melakukan amal shalih, baik laki-laki atau perempuan sedangkan dia mukmin, maka mereka masuk surga seraya mereka diberi rizqi di dalamnya tanpa perhitungan (Al Mukmin : 60) Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (An-Nisa : 48) Sungguh, bila kamu berbuat syirik, maka hapuslah amalanmu, dan sunguh kamu tergolong orang-orang yang rugi (Az Zumar : 65) Amalan-amalan yang banyak itu hilang sia-sia dengan satu kali saja berbuat syirik, maka apa gerangan apabila orang tersebut terus-menerus berjalan di atas kemusyrikan, padahal ayat ini ancaman kepada Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam yang tidak mungkin berbuat syirik. Dan begitu juga para nabi semuanya diancam dengan ancaman yang sama. Allah Taala berfirman : Dan bila mereka berbuat syirik, maka lenyaplah dari mereka apa yang pernah mereka amalkan (Al Anam : 88) Ya, lenyap bagaikan debu yang disapu angin topan, sebagaimana firmanNya Taala : Amalan-amalan mereka (orang-orang musyrik/kafir) adalah bagaikan debu yang diterpa oleh angin kencang di hari yang penuh badai (Ibrahim : 18) Dalam ayat ini Allah serupakan amalan orang-orang musyrik/kafir dengan debu, dan kemusyrikan/ kekafiran diserupakan dengan angin topan. Apa jadinya bila debu diterpa angin topan? Tentu lenyaplah debu itu. Allah juga mengibaratkan amalan orang kafir itu dengan fatamorgana : Dan orang-orang kafir amalan mereka itu bagaikan fatamorgana di tanah lapang, yang dikira air oleh orang yang dahaga, sehingga tatkala dia mendatanginya ternyata dia tidak mendapatkan apa-apa, justeru dia mendapatkan Allah disana kemudian Dia menyempurnakan penghisabanNya (An Nur : 39) Orang yang musyrik di saat dia melakukan shalat, zakat, shaum, jihad dan sebagainya, mengira bahwa di sisi Allah pahalanya banyak, tapi ternyata saat dibangkitkan dia tidak mendapatkan apa-apa melainkan adzab! Dalam ayat lain amalan-amalan mereka itu bagaikan debu yang bertaburan; Dan Kami hadapkan apa yang telah mereka kerjakan berupa amalan, kemudian Kami jadikannya debu yang bertaburan (Al Furqan : 23) Sungguh sangatlah merugi. Ya, memang mereka rugi karena mereka lelah, capek, letih, berusaha keras, serta berjuang untuk amal kebaikan, tapi ternyata tidak mendapat apa-apa karena tidak bertauhid alias musyrik. Allah Taala berfirman : Dia beramal lagi lelah, dia masuk neraka yang sangat panas (Al Ghasyyiah : 3-4). Tauhid adalah syarat paling mendasar dan asasi, tetapi jarang diperhatikan oleh banyak orang. Masih ada dua syarat lagi yang berkaitan dengan satuan amalan, tentunya setelah ia ber-Tauhid; yaitu ikhlash dan mutabaah. Dan berikut ini adalah penjelasan ringkasnya : 1. Ikhlash Orang yang melakukan amal shaleh akan tetapi dia tidak ikhlas, namun justeru dia ingin dilihat orang atau ingin didengar orang, maka amalan-amalan itu tidak diterima Allah Subhanahu Wa Ta'ala sebagaimana firmanNya :

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


6-

Siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia beramal shalih dan tidak menyekutukan sesuatupun dalam ibadah kepada Tuhannya (Al Kahfi : 110) Ayat ini berkenaan dengan ikhlas, jadi orang yang saat melakukan amal shalih dan dia bertujuan kepada yang lain disamping kepada Allah, maka ia itu tidak ikhlas. Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam hadits qudsiy : Bahwa Allah berfirman : Aku adalah yang paling tidak butuh akan sekutu, siapa yang melakukan amalan dimana dia menyekutukan yang lain bersamaKu dalam amalan itu, maka Aku tinggalkan dia dengan penyekutuannya (HR. Muslim) 2. Mutabaah (sesuai dengan tuntunan Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam) Amal ibadah meskipun dilakukan dengan ikhlash akan tetapi jika tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam, maka pasti ditolak. Beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Siapa yang melakukan amalan yang tidak ada dasarnya dari kami, maka itu tertolak (HR. Muslim) Beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda : Jauhilah hal-hal yang diada-adakan karena setiap yang diada-adakan adalah bidah, dan setiap bidah itu sesat (HR. At Tirmidzi) Sedikit amal tapi di atas Sunnah adalah lebih baik daripada banyak amal dalam bidah. Ibnu Masud radliyallahu 'anhu berkata : Ikutilah (tuntunan Rasulullah) dan jangan mengada-ada yang baru. Jadi, dalam urusan ibadah, antum harus bertanya pada diri sendiri : Apa landasan atau dalil yang antum jadikan dasar? Karena siapa antum beramal? Apabila tidak mengetahui dasarnya maka tinggalkanlah amalan itu karena hal itu lebih selamat bagi kita.

Apakah hakikat tauhid itu?


Sebelum memulai kepada hakikat tauhid, saya akan memaparkan beberapa pernyataan ulama tentang hal ini; Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam kitab An Nubuwwat hal 127: "Islam adalah berserah diri kepada Allah saja, tidak kepada yang lainnya, dia beribadah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dia tawakkal hanya kepada-Nya saja, dia hanya takut dan mengharap kepada-Nya, dan dia mencintai Allah dengan kecintaan yang sempurna, dia tidak mencintai makhluk seperti kecintaan dia kepada Allah siapa yang enggan beribadah kepadaNya maka dia bukan muslim, dan siapa yang disamping beribadah kepada Allah, dia beribadah kepada yang lain maka dia bukan orang muslim". Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam kitabnya Thariqul Hijratain hal 542 dalam thabaqah yang ke tujuh belas: Islam adalah mentauhidkan Allah, beribadah kepada-Nya saja tidak ada sekutu bagi-Nya, iman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya, serta mengikuti apa yang dibawanya, maka bila seorang hamba tidak membawa ini berarti dia bukan orang muslim, bila dia bukan orang kafir mu'aanid (membangkang) maka dia adalah orang kafir yang jahil, dan status orang-orang ini adalah sebagai orangorang kafir yang jahil tidak mu'aanid (membangkang), dan ketidak-membangkangan mereka itu tidak mengeluarkan mereka dari status sebagai orang-orang kafir." Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam Ad Durar Assaniyyah 1/113: Bila amalan kamu seluruhnya adalah bagi Allah maka kamu muwahhid (orang bertauhid), dan bila ada sebagian yang dipalingkan kepada makhluk maka kamu adalah musyrik". Beliau rahimahullah juga berkata dalam Ad Durar 1/323 dan Minhajut Ta'siis hal 61: Sekedar mengucapkan kalimat syahadat tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan tuntutannya maka itu tidak membuat mukallaf tersebut menjadi muslim, dan justru itu menjadi hujjah atas dia Siapa yang bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan dia itu beribadah kepada yang selain Allah (pula) maka kesaksiannya itu tidak dianggap meskipun dia itu shalat, zakat, shaum dan melaksanakan sebagian ajaran Islam." Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam Tafsiir Al 'Aziz Al Hamid hal 58: Siapa yang mengucapkan kalimat ini (Laa ilaaha Illallaah) dengan mengetahui maknanya, mengamalkan tuntutannya berupa menafikan syirik dan menetapkan wahdaniyyah hanya bagi Allah dengan disertai keyakinan yang pasti akan kandungan maknanya dan mengamalkannya maka dia itu adalah orang muslim yang sebenarnya. Bila dia mengamalkannya secara dhahir tanpa meyakininya maka dia munafiq, dan bila dia mengamalkan apa yang menyalahinya berupa syirik maka dia itu kafir meskipun mengucapkannya (Laa ilaaha Illallaah)". Beliau mengatakan juga dalam kitab yang sama: Sesungguhnya mengucapkan Laa ilaaha Illallaah tanpa disertai pengetahuan akan maknanya, dan tidak mengamalkan tuntutannya berupa iltizaam dengan tauhid dan meninggalkan syirik serta kufur kepada thaghut; maka sesungguhnya pengucapan itu tidak sah/tidak bermanfaat berdasarkan ijma para ulama. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk memahami kandungan atau hakikat kalimat tauhid tersebut. Allah Subhanahu Wa Taala mengatakan dalam surat Adz Dzaariyaat : 56, Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


7-

Jadi, tujuan kita diciptakan oleh Allah Subhanahu Wa Taala dan hidup di dunia ini adalah dalam rangka mengabdi kepada Allah Subhanahu Wa Taala bukan mengabdi kepada selain Allah Subhanahu Wa Taala. Kita sebagai hamba Allah, tentu kita adalah abdi bagi Allah Subhanahu Wa Taala dan kita hanya menghambakan diri dan mengabdikan diri kepada Allah Subhanahu Wa Taala. Dari al Quran surat al Fathihah dan an Naas dapat disimpulkan bahwa tauhid itu dibagi menjadi tiga macam, yang merupakan kedudukan Allah Taala; yaitu Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Mulkiyah. Seperti pada kalimat; Alhamdulllahi Rabbilalamiin ------ Rabbinnaas ------ Ini tentang tauhid Rububiyyah. Maalikiyaumiddiin ------ Malikinnaas ------ Ini tentang tauhid Mulkiyah. Iyyaakanabuduwa iyyaakanastaiin ------ Ilaahinnaas ------ Ini tentang tauhid Uluhiyah.

Apakah pengertian tentang Tauhid Rububiyah, Mulkiyah dan Uluhiyah!


Allah sebagai Rabb ialah kita meyakini bahwa hanya Allah saja yang menciptakan, memelihara, mengatur, mengurus, mendidik semua ciptaan-Nya. Allah sebagai Malik (Raja) ialah kita meyakini bahwa yang berhak memerintah, menghukum dan memberikan pahala hanyalah Dia saja. Allah sebagai raja maka Ia memiliki wilayah kekuasaan yang meliputi langit dan bumi, Ia pun memiliki aparatur kerajaan yang terdiri dari malaikat dan manusia (rasul), Ia pun memiliki Undang Undang Kerajaan yaitu kitabNya (al Quran), Ia pun memiliki rakyat (umat) yaitu seluruh makhluk ciptaanNya sendiri dan tidak ada lagi Pencipta selain Dia. Allah sebagai ilah ialah kita meyakini bahwa Allah saja yang berhak untuk diibadahi, ditaati, diikuti, dicintai, ditakuti, dirindukan, karena Ia pula yang meridhai, yang memurkai, yang mengabulkan doa (permohonan hamba-hambaNya). Dan hal ini dapat dikaji didalam Kitab Tauhid yang sudah bertebaran dimana-mana.

Apakah dalil tentang kalimat Tauhid Laa ilaaha illallaah?


Dalilnya adalah firman Allah; Maka barang siapa yang kufur terhadap thaghut dan beriman kepada Allah maka dia telah berpegang dengan tali yang sangat kuat. (Al-Baqoroh: 256) Dan ayat ini merupakan tafsiran syahadat laa ilaaha illallah, yang berisi nafyu dan itsbat; AnNafyu artinya meniadakan peribadahan dari setiap apa yang diibadahi selain Allah. Hal ini direalisasikan dengan meyakini batilnya beribadah kepada selain Allah, meninggalkan peribadahan itu, membencinya, mengkafirkan pelakunya dan memusuhi mereka. Inilah yang dimaksud dengan mengkufuri thaghut. Dan al-Itsbat artinya menetapkan peribadahan hanya untuk Allah semata, dengan mengarahkan semua bentuk peribadahan hanya kepada Allah semata. Dan inilah yang dimaksud dengan beriman kepada Allah yang disebutkan dalam ayat tadi. Ibnu Katsir berkata: Dan firman Allah: Maka barang siapa yang kufur terhadap thaghut dan beriman kepada Allah maka dia telah berpegang dengan tali yang sangat kuat. Tidak akan putus tali itu (Al-Baqoroh: 256) Maksudnya barangsiapa yang meninggalkan tandingan-tandingan, berhala-berhala dan segala yang diserukan oleh syaitan untuk diibadahi selain Allah, lalu mentauhidkan Allah dengan beribadah hanya kepadaNya dan bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang diibadahi secara benar kecuali Allah, maka dia telah berpegang dengan tali yang sangat kuat (maksudnya ia telah kokoh urusannya dan istiqomah pada jalan yang paling baik dan pada jalan yang lurus). Tali tersebut adalah kalimat tauhid Laa ilaaha illallaah.

Dipermulaan thaghut itu?

tadi

disebutkan

tentang

kufur

kepada

thaghut,

siapakah

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan dalam Risalah Fie Mana Thaghut: Thaghut itu pengertiannya umum; maka setiap apa yang diibadahi selain Allah dan dia rela dengan peribadahan itu, baik berupa sesuatu yang disembah atau diikuti atau ditaati selain ketaatan kepada Allah dan rasulNya adalah thaghut. Thaghut itu banyak dan kepalanya ada lima:

1. Syetan yang menyeru untuk beribadah kepada selain Allah, dalilnya adalah: Bukankah Aku telah
memerintahkan kepadamu wahai Bani Adam; supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagi kamu", (Yasin : 60)

2. Penguasa

yang dzolim yang merubah hukum-hukum Allah. Dalilnya adalah: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (An Nisa:60) yang memutuskan perkara dengan selain apa yang diturunkan Allah. Dalilnya adalah: Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir. (Al Maaidah:44) Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang

3. Orang

4. Orang yang mengaku mengetahui hal-hal yang ghoib selain Allah. Dalilnya adalah : (Dia adalah
DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI
8-

ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjagapenjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. (Al Jin : 26 - 27)

5. Orang

yang diibadahi selain Allah dan dia rela dengan ibadah itu. Dalilnya adalah: Dan barangsiapa diantara mereka mengatakan:"Sesungguhnya aku adalah ilah selain daripada Allah", maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahanam, demikian Kami memberi balasan kepada orang-oramg zhalim. (Al Anbiyaa : 29)

Kufur kepada thaghut serta iman kepada Allah adalah dua hal yang dengannya orang bisa dikatakan mukmin, muslim, muwahhid dan dengannya pula amalan bisa diterima, Allah Taala berfirman, Siapa yang melakukan amal shalih, baik laki-laki atau perempuan sedang dia itu mukmin, maka Kami akan berikan kepadanya penghidupan yang baik serta Kami akan memberikan kepadanya balasan dengan balasan yang lebih baik dari apa yang telah mereka amalkan (An Nahl : 97) Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta'ala menetapkan pahala amal shalih hanya bagi orang mukmin, sedang orang yang suka membuat tumbal, sesajen, meminta kepada orang yang sudah mati atau mengusung sekulerisme, liberalisme, demokrasi atau nasionalisme dan falsafah sistem syirik lainnya, dia bukanlah orang mukmin, tetapi dia musyrik, karena tidak kufur kepada thaghut, sehingga shalat, shaum, zakat dan ibadah lainnya yang dia lakukan tidaklah sah dan tidak ada pahalanya.

Bagaimana syarat sahnya orang berpegang kepada kalimat Laa ilaaha illallaah?
Seseorang dikatakan memegang Laa ilaaha illallaah dan dikatakan muslim-mukmin adalah apabila dia meninggalkan, atau menjauhi, atau berlepas diri (baraah) dari empat hal, yaitu;

1.

Alihah (Sembahan-sembahan) 2. Arbab (tuhan-tuhan pengatur) 3. Andad (tandingan-tandingan) 4. Thaghut Jadi, Laa ilaaha illallaah menuntut kita untuk berlepas diri, menjauhi, meninggalkan empat hal tadi dan kita akan membahas satu demi satu dari keempat hal tersebut. 1. Alihah Alihah adalah jamak daripada ilah, yang artinya tuhan. Jadi, Laa ilaaha illallaah ketika kita mengucapkannya : tidak ada ilah, tidak ada tuhan yang diibadati kecuali Allah, berarti menuntut dari kita untuk meninggalkan ilah-ilah selain Allah (tuhan-tuhan selain Allah) dan yang penting bagi kita di sini adalah memahami apa makna ilah. Karena kalau kita melihat realita orang yang melakukan kemusyrikan pada zaman sekarang, mereka tidak menamakan apa yang mereka ibadati selain Allah itu sebagai ilah (sebagai tuhan) akan tetapi dengan nama-nama yang lain. Kalau kita memahami makna ilah, maka kita akan mengetahui bahwa apa yang dilakukan oleh si fulan atau masyarakat fulani itu adalah mempertuhankan selain Allah. Ilah, definisinya adalah Apa yang engkau tuju dengan sesuatu hal dalam rangka mencari manfaat atau menolak bala (bencana). Kalimat dengan sesuatu hal adalah suatu tindakan atau suatu perbuatan. Contoh 1 : Batu besar (ini adalah sesuatu), lalu orang datang menuju ke batu besar tersebut dengan sesajen, bisa berbentuk cerutu, kopi pahit, rurujakan (sebutan salah satu bentuk sesajian dalam masyarakat suku Sunda), bekakak ayam atau apa saja. Batu ini adalah sesuatu yang dituju oleh orang tersebut dengan suatu hal tadi (sesajian, cerutu, dll.) dan pemberian sesajen ini pasti ada maksudnya, karena tidak mungkin seseorang menyimpan sesajen-sesajen pada batu besar tersebut dengan tujuan agar dimakan semut, tidak tentu bukan itu maksudnya, akan tetapi maksudnya adalah sebagai bentuk mencari manfaat atau tolak bala. Misalnya minta dijauhkan dari bala (bencana), karena menurut keyakinannya bahwa pada batu besar itu ada penunggunya. Ketika orang tadi melakukan tindakan pemberian sesajen pada batu besar itu dengan persembahan-persembahan tadi dalam rangka tolak bala atau minta manfaat, berarti batu besar ini adalah ilah yang dipertuhankan selain Allah, sehingga pengucapan Laa ilaaha illallaah-nya adalah tidak benar bohong! Dengan kata lain orang tersebut belum muslim, meskipun dia shalat, shaum, zakat, haji, dan lainnya. Contoh 2 : Nyi Roro Kidul biasanya orang pantai selatan, mereka datang ke pantai menuju Nyi Roro Kidul dengan suatu hal seperti Pesta Laut, dengan cara melemparkan makanan-makanan ke laut sebagai persembahan kepada Nyi Roro Kidul, kata mereka ada maksudnya Apakah itu? Yaitu tolak bala atau cari

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


9-

manfaat, di antaranya mereka ingin mendapat keselamatan jika sedang melaut, tidak diterpa badai atau kecelakaan lainnya, sekaligus diberi tangkapan ikan yang melimpah. Maka dalam kasus ini berarti Nyi Roro Kidul itu adalah ilah, yang telah dipertuhankan selain Allah. Mereka yang melakukan pesta laut itu adalah orang-orang musyrik! Bukan orang-orang muslim. Contoh 3 : Orang mau membuat rumah, di mana kata masyarakat bahwa di daerah yang akan dibangun rumah itu terdapat jin penunggunya. Ketika membuat rumah, maka orang tersebut menuju sesuatu itu (jin) dengan sesuatu hal berupa tumbal (seperti: memotong ayam lalu dikubur sebelum dibuat pondasi rumah) agar tidak diganggu oleh jin tersebut. Berarti jin ini adalah sesuatu yang dituju oleh pemilik rumah dengan sesuatu (yaitu tumbal) dalam rangka tolak bala. Berarti jin ini telah dipertuhankan, dan orang yang melakukan perbuatan tersebut adalah orang musyrik! Bukan muslim, meskipun dia shalat, shaum, zakat, haji dan yang lainnya. Contoh 4 : Kuburan, baik itu kuburan Nabi atau kuburan wali atau kuburan siapa saja. Orang menamakan kuburan tersebut adalah kuburan keramat sehingga orang datang ke kuburan tersebut. Kuburan adalah sesuatu, kemudian dituju oleh orang tersebut dengan sesuatu. Ada yang minta jodoh kepada penghuni kubur tersebut, bahkan ada yang minta doanya (sedangkan meminta doa kepada yang sudah meninggal adalah tidak dibolehkan), berarti kuburan ini adalah sesuatu yang dituju oleh orang tadi dalam rangka meminta manfaat, minta jodoh, minta rizqi, atau minta doa, ada juga yang minta agar dijauhkan dari bala. Berarti kuburan tersebut telah dipertuhankan, telah dijadikan sekutu Allah, dan para pelakunya adalah orang-orang musyrik. Mereka beralasan bahwa kami ini adalah orang kotor, sedangkan wali ini adalah orang suci, bersih, dan dekat dengan Allah, sedangkan Allah itu Maha Suci, jika orang kotor seperti kami ini minta langsung kepada Allah maka kami malu, sebagaimana kalau minta suatu kebutuhan pada penguasa kita tidak langsung datang kepada penguasa tersebut, akan tetapi melalui orang dekatnya jadi dia menyamakan Allah dengan makhluk. Perbuatan tersebut adalah penyekutuan Allah Subhanahu Wa Ta'ala, berarti orangnya adalah orang musyrik dan orang tersebut telah mempertuhankan selain Allah, walaupun dia tidak mengatakan bahwa dirinya telah mempertuhankan selain Allah. Walaupun batu besar, pohon besar, atau kuburan keramat itu tidak disebut tuhan, akan tetapi hakikat perbuatan mereka itu adalah mempertuhankan selain Allah. Maka orang-orang yang melakukan hal itu adalah bukan orang-orang muslim. Dan kalau kita hubungkan dengan realita, ternyata yang melakukan hal itu umumnya adalah orang yang mengaku muslim. Mereka itu sebenarnya bukan muslim tapi masih musyrik. Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengatakan tentang orang-orang kafir Arab, karena di antara kebiasaan mereka adalah menjadikan berhala Latta sebagai perantara, mereka memohon kepada Latta yang dahulunya orang shalih untuk menyampaikan permohonan mereka kepada Allah. Ketika mereka diajak untuk mengatakan dan komitmen dengan Laa ilaaha illallaah maka mereka menolaknya, Allah Taala berfirman : Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha illallah" (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: "Apakah Sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?" (As Shaaffaat : 35-36) Dalam ayat ini Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam digelari penyair gila, padahal sebelumnya mereka menyebutnya Al Amin (yaitu orang jujur lagi terpercaya), mereka memahami bahwa apabila komitmen dengan Laa ilaaha illallaah konsekuensinya adalah meninggalkan ilah-ilah tadi (batu-batu keramat, pohon-pohon keramat, kuburan keramat, dst), sedangkan mereka itu tidak mau meninggalkan kebiasaan-kebiasaan tersebut. Juga ketika Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam menawarkan kepada mereka beliau mengatakan : Maukah kalian berikan kepada saya satu kalimat yang dengannya kalian akan mampu mendudukan orang-orang Arab dan Ajam?, Abu Jahl mengatakan : Senang sekali, saya akan memberikannya bahkan 10x lipat dari kalimat yang kamu minta itu, kemudian Rasulullah mengatakan : Katakan; Laa ilaaha illallaah. Lalu mereka bangkit dan pergi sambil mengatakan : Apakah kami harus menjadikan ilah-ilah itu hanya menjadi satu saja?, ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan! (sebagiannya diriwayatkan oleh At Tirmidzi dan Al Hakim) Mereka (kaum musyrik Quraisy) adalah orang Arab asli, mereka sangat paham kandungan Laa ilaaha illallaah, dan mereka tak perlu diajari artinya, tidak seperti kita. Mereka paham bahwa di antara maknanya adalah sesungguhnya mereka harus meninggalkan alihah selain Allah, sehingga karena hal itulah mereka menolak. Jadi, mereka enggan meninggalkannya, berbeda dengan orang sekarang; mengucapkan mau bahkan ratusan kali, ribuan kali akan tetapi perbuatannya bertentangan dengan kandungan Laa ilaaha illallaah. Ini adalah yang pertama, alihah : sesuatu yang engkau tuju dengan suatu hal dalam rangka tolak bala atau meminta manfaat. 2. Arbab

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


10 -

Laa ilaaha illallaah menuntut kita untuk meninggalkan Arbab, berlepas diri dari Arbab. Apakah Arbab?? Ia adalah bentuk jamak dari Rabb, yang artinya tuhan pengatur atau yang mengatur, berarti kalau kata-kata atur maka berhubungan dengan aturan, seperti hukum/undang-undang. Jadi Rabb adalah tuhan yang mengatur, yang menentukan hukum. Kita sebagai makhluq Allah, Dia telah memberikan sarana kehidupan kepada kita, maka konsekuensi sebagai makhluk yang diciptakan Allah adalah beriman bahwa yang berhak menentukan aturan hanyalah Allah. Jadi Allah disebut Rabbulaalamiin karena Allah yang mengatur alam ini baik secara kauniy (hukum alam) maupun secara syariy (syariat). Sedangkan jika ada orang yang mengaku atau mengklaim bahwa dia berhak mengatur, berarti dia memposisikan dirinya sebagai rabb. Apakah rabb disini? Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah mendefinisikan rabb disini adalah Yang memberikan fatwa kepada engkau dengan fatwa yang menyelisihi kebenaran, dan engkau mengikutinya seraya membenarkan. Ketika orang mengikuti apa yang bertentangan dengan hukum Allah, maka dia disebut mempertuhankan, sedangkan yang diikutinya yang mana ia mengetahui bahwa hal itu pembuatan aturan, maka dia memposisikan dirinya sebagai Rabb. Allah Subhanahu Wa Taala berfirman : Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (At Taubah : 31) Pada ayat ini Allah memvonis orang Nashara dengan lima vonis :

1. Orang-orang Nashara tersebut telah mempertuhankan para alim ulama dan pendeta mereka. 2. Mereka telah beribadah kepada selain Allah
3. Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah 4. Mereka musyrik 5. Alim ulama dan pendeta mereka telah memposisikan dirinya sebagai Arbab sebagai Tuhan Ketika ayat ini dibacakan di hadapan shahabat Adiy Ibnu Hatim (asalnya beliau ini Nashrani), sedang beliau datang kepada Rasul dalam keadaan masih Nashrani. Ketika mendengar ayat ini dengan vonis-vonis di atas, maka Adiy Ibnu Hatim mengatakan : Kami (maksudnya : dia dan orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat, sujud kepada alim ulama kami, atau kepada pendeta kami, lalu kenapa Allah memvonis kami musyrik, apakah kami melanggar Laa ilaaha illallaah dst. Jadi yang ada dalam benak Adiy Ibnu Hatim bahwa yang namanya kemusyikan itu adalah shalat, sujud atau memohon kepada selain Allah. Sehingga mereka tidak mengetahui bahwa yang mereka lakukan selama ini adalah kemusyrikan, mereka heran sebenarnya apa kemusyrikan yang dilakukan dan bagaimana bentuknya sehingga kami disebut telah mentuhankan alim ulama? Maka Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam berkata : Bukankah alim ulama dan pendeta kalian itu menghalalkan apa yang telah Allah haramkan lalu kalian ikut-ikutan menghalalkannya? Bukankah mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan kemudian kalian juga mengharamkannya?, lalu Adiy berkata : Ya!, maka Rasul berkata : Itulah bentuk peribadatan (orang Nashrani) terhadap mereka. Jadi, ketika alim ulama memposisikan dirinya sebagai pembuat hukum mengklaim memiliki kewenangan untuk membuat hukum atau undang-undang, maka dia mengklaim bahwa dirinya sebagai tuhan sebagai Rabb. Sedangkan orang yang mengikuti atau menjalankan hukum-hukum yang mereka buat itu, maka Allah memvonisnya sebagai orang yang telah mempertuhankan, yang beribadah kepada si pembuat hukum itu dan melanggar Laa ilaaha illallaah lagi musyrik! Dalam ayat yang lain, Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik. (Al Anam : 121) Ayat ini berkenaan dengan masalah bangkai, dan kita mengetahui bahwa bangkai adalah haram. Dalam ajaran orang-orang kafir Quraisy; bangkai adalah sembelihan Allah, dan dalam hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan Al Hakim dengan sanad yang shahih : Orang-orang Quraisy datang kepada Rasul : Hai Muhammad, kambing mati siapa yang membunuhnya?, beliau berkata : Allah yang mematikannya, lalu mereka berkata : Kambing yang kalian sembelih kalian katakan halal, sedangkan kambing yang disembelih Allah dengan Tangan-Nya yang mulia dengan pisau dari emas (maksudnya bangkai), kalian katakan haram! Berarti sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah. Ucapan ini adalah bisikan atau wahyu syaitan kepada mereka dan ketahuilah : Jika kalian mentaati mereka (ikut setuju dengan hukum dan aturan mereka yang bertentangan dengan hukum dan aturan Allah), maka kalian ini orang-orang musyrik. Dalam hal ini ketika orang mengikuti hukum yang bertentangan dengan aturan hukum Allah disebut musyrik, padahal hanya dalam satu hal saja, yaitu penghalalan bangkai. Lalu apa gerangan jika semua hukum Islam diganti? Sedangkan orang yang membuat hukumnya disebut syaitan, dan hukum tersebut pada dasarnya adalah wahyu syaitan atau bisikan syaitan, kemudian digulirkan oleh wali-wali syaitan dari kalangan manusia, dan orang yang mengikuti hukum-hukum tersebut disebut sebagai orang musyrik! Agar lebih kuat lagi, mari kita lihat firman Allah :

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


11 -

...Menentukan hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Yusuf : 40) Dalam ayat ini, Allah Subhaanahu Wa Taala menjelaskan bahwa hak menentukan hukum itu hanyalah milik Allah, hak membuat hukum, aturan, undang-undang hanyalah milik Allah. Dan Allah memerintahkan agar tidak menyandarkan hukum kecuali kepada Allah. Dalam ayat ini penyandaran hukum disebut ibadah. Jika disandarkannya kepada Allah berarti ibadah kepada Allah, sedangkan jika disandarkan kepada selain Allah berarti ibadah kepada selain Allah, itulah dien yang lurus ajaran yang lurus, akan tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui. Jadi, Allah Subhanahu Wa Taala menjelaskan bahwa hak menetapkan hukum, aturan, undangundang hanya di Tangan Allah, ketika dipalingkan kepada selain Allah maka itu artinya memalingkan ibadah kepada selain Allah, dengan kata lain adalah syirik dan orangnya disebut musyrik. Maka dari itu tidaklah aneh, ketika hal itu dipalingkan kepada alim ulama dan pendeta disebut musyrik, ibadah kepada selain Allah, mempertuhankan alim ulama. Jadi, dalam satu hal saja orang yang mengikutinya itu disebut musyrik. dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik. (Al Anam : 121)

Apa saja sisi kekafiran Demokrasi?


Dari penjelasan sebelumnya, sekarang kita hubungkan dengan realita : Bukankah kita mengenal sistem demokrasi?! Orang yang berpendidikan pasti mengetahui apa makna demokrasi, yaitu pemegang kekuasaan adalah rakyat atau sering pula disebut : dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Jadi, dalam demokrasi pihak yang berdaulat, yang berhak menentukan hukum itu adalah rakyat. Apa yang diinginkan rakyat atau mayoritasnya itu adalah kebenaran yang wajib diikuti. Sistem demokrasi mulai populer ketika Revolusi Prancis, (walau ide-ide dasarnya sudah muncul jauh sebelum itu). Hal ini terjadi agar terlepas dari kungkungan gereja yang mengekang mereka karena kekuasaan kaisar-kaisar pada saat itu, dengan kezhaliman, kediktatoran, dan sikap otoriter yang mereka lakukan di atas nama tafwidl ilahiy (atas nama kewenangan Tuhan) maka terjadilah revolusi yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan Tuhan yang diberikan kepada rakyat yang mana demokrasi ini dibangun di atas beberapa pilar : 1. Kebebasan keyakinan, dengan nama lain kebebasan meyakini apa saja sekalipun kekafiran. 2. Kebebasan mengeluarkan pendapat 3. Hukum berada di tangan rakyat 4. Melepaskan norma akhlaq dari agama Dalam masalah ini kita secara khusus mengambil masalah hukum berada di tangan rakyat, di mana yang berhak memutuskan hukum aturan/undang-undang dalam sistem itu adalah rakyat, yang mana dalam sistem demokrasi perwakilan diwakilkan melalui pemilu (intikhab). Mari kita perhatikan bahwa dalam praktek demokrasi, yang berhak memutuskan hukum itu adalah rakyat, setiap individiu-individu rakyat memiliki kewenangan membuat hukum, dengan kata lain bahwa rakyat itu memiliki sifat ketuhanan yaitu pembuat hukum, akan tetapi kalau rakyat yang berjumlahnya berjuta-juta ini berkumpul semuanya adalah tidak mungkin, maka diwakilkan hak ketuhanannya itu lewat pemilu, dan ketika nyoblos atau nyontreng itu pada dasarnya mereka mewakilkan hak ketuhanannya kepada wakilnya yang nantinya akan dipajang di gedung Parlemen. Sehingga nantinya akan membuat hukum atas nama rakyat (bukan atas nama Allah). Hal ini bisa dilihat pada saat sidang-sidang thaghut itu dimana mereka mengatasnamakan rakyat, karena mereka adalah perwakilan rakyat penyalur aspirasi rakyat. Jadi, dalam sistem demokrasi ini yang berwenang atau menentukan hukum dan undang-undang adalah rakyat. Jika dalam surat Al Anam 121 di saat satu hukum saja dipalingkan kepada selain Allah dihukumi syirik dan yang membuatnya disebut wali syaithan (Arbab). Maka apa gerangan dengan sistem demokrasi ini, yang mana bukan hanya satu hukum, akan tetapi seluruh hukum dipalingkan dari Allah kepada makhluk (rakyat)?? Maka dari itu dalam Undang Undang Dasar 1945 dalam Bab 1 (1) ayat 2 dikatakan : Kedaulatan berada di tangan rakyat. Jika dahulu sebelum di-amandemen dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka sekarang adalah dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar. Jadi, kedaulatan atau hak hukum itu berada di tangan rakyat, atau dengan kata lain bahwa demokrasi itu merampas sifat ketuhanan dari Allah dan diberikan kepada rakyat yang nantinya akan terwujud dalam wakil-wakil rakyat yang ada di gedung Parlemen (MPR/DPR atau yang lainnya). Jika sekarang kita ingin mengetahui siapa Arbab-Arbab para pengaku tuhan di NKRI (Negara Kafir Republik Indonesia) ini, maka tinggal membaca kitab Undang Undang Dasar 1945 dan di dalamnya akan didapatkan : Bahwa setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan Rancangan Undang Undang (RUU) atau akan didapatkan juga pasal : Bahwa Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang dst. Juga yang berkaitan dengan otonomi daerah: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintahan setempat diberikan kewenangan membuat Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah. Itu semua adalah Arbab-Arbab yang ada di Indonesia Sekali lagi, jika ingin mengetahui

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


12 -

siapa Arbab atau para pengaku tuhan maka pahamilah Tauhid lalu baca kitab Undang Undang Dasar 1945, maka akan diketahui bahwa mereka adalah para pengaku tuhan. Jadi, demokrasi ini adalah sistem syirik sedangkan hukum yang muncul dari bingkai demokrasi dalam bentuk apapun itu adalah syariat demokrasi syariat syirik walaupun umpamanya sanksi potong tangan bagi pencuri muncul dalam bingkai demokrasi, maka hakikatnya adalah bukan hukum Allah akan tetapi hukum demokrasi, karena munculnya bukan dari Allah, tapi dari sang pembuat hukum yang diakui dalam sistem demokrasi, yaitu rakyat (wakil rakyat) sehingga bukan ayat Al Quran lagi yang tertera, akan tetapi : Tap MPR no sekian atau perpu no sekian seperti itulah yang ada. Ketika membuatnya : Mereka (partai-partai yang katanya ngaku berasas Islam) mengambil dari Al Quran hukum tentang potong tangan, dengan kata lain proposal diambil dari Al Quran (dari Allah) kemudian disodorkan kepada pengaku tuhan-tuhan yang ada di gedung MPR/DPR disodorkan kepada Arbab-Arbab itu, setelah itu akan terjadi tarik ulur, jadi hukum Allah disodorkan kepada mereka, karena yang namanya proposal itu muncul berawal dari bawah lalu disodorkan ke atas, dan ketika berada di atas (MPR/DPR) dibahas agar sampai pada kata setuju atau tidak. Jika tidak setuju, maka jelaslah kekafirannya, dan ketika setuju juga jelas kekafirannya, karena hal itu menunjukan bahwa Allah itu tidak diakui sebagai Rabb pengatur, akan tetapi merekalah yang berhak mengatur sehingga hukum Allah membutuhkan persetujuan mereka !!! dan ketika digulirkan tidak mungkin nantinya sesuai dengan firman Allah surat ini atau ayat sekian akan tetapi jika yang mengeluarkannya Pemerintah, maka yang keluar adalah perpu no sekian, perda no sekian, jika MPR yang menggulirkannya maka yang yang keluar adalah TAP MPR No sekian, begitulah keadaannya!! Jadi semua itu adalah hukum Arbab. Arbabnya banyak ada Arbab dari berbagai partai politik, fraksi, utusan setiap daerah dan lain-lain, mereka itu adalah Arbab. Allah Subhanahu WaTaala berfirman : Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui". (QS. Yusuf [12] : 39-40) Ayat Tuhan-tuhan yang bermacam itu maksudnya adalah tuhan-tuhan pengatur atau pembuat hukum yang beraneka ragam, yang banyak dari berbagai golongan, fraksi, utusan daerah, komisi-komisi, dll dan ayat yang kalian ibadati maksudnya adalah mengikuti hukum. nama-nama yang kalian ciptakan maksudnya adalah seperti apa yang diibadati oleh para anshar thaghut zaman sekarang berupa Undang Undang Dasar, mereka menciptakannya dan mereka mengibadatinya. Perpu-perpu juga mereka yang membuatnya. KUHP juga mereka yang membuatnya semua itu adalah nama-nama yang mereka ciptakan sendiri, kitab hukum yang lainnya mereka pula yang membuatnya sendiri lalu mereka juga yang mengibadatinya (mengikuti dan mentaatinya). Jadi, membuat hukum itu adalah sebagai bentuk membuat tuhan yang akan mereka ibadati. Arbab-Arbab itu adalah pengaku tuhan. Supaya lebih dipahami, saya gambarkan mungkin kita sering mendengar orang memperolokolokkan Arab Quraisy ketika membuat tuhan dari roti yang terbuat dari adonan yang kemudian diibadati, dan ketika lapar maka tuhan-tuhan itu dimakan, mereka yang memperolok-olok itu mengatakan Oh bodoh sekali orang-orang Arab itu, Jahiliyyah banget gitu lho !!, padahal semua itu justeru adalah realita yang nyata zaman sekarang. Jika kita sudah paham bahwa Arbab (mereka para pengaku tuhan) adalah tuhan jadi-jadian dan hukum yang diibadati itu juga tuhan (tuhan yang diibadati bukan dengan shalat atau doa, tapi dengan taat, patuh dan loyalitas), maka kita akan mendengar bahasa mereka menggodok undang-undang, seperti fraksi anu menggodok undang-undang buruh (umpamanya), fraksi lain tentang perbankan, fraksi yang lain tentang pendidikan, fraksi yang lain tentang keamanan! Mereka menggodok seperti membuat adonan, tapi mereka menggodok undang-undang dan hukum, bukan adonan roti. Fraksi ini membuat bagian tangannya, fraksi itu membuat kepalanya, yang lain membuat kakinya atau bagian yang lainnya sehingga setelah semuanya digodok dan dicetak sampai menjadi sebuah berhala (seperti berhala dari roti). Ketika hukum dan undang-undang selesai digodok, kemudian digulirkan (menjadi sebuah berhala), maka akan dibuatkan TAP MPR No. sekian atau Perpu No. sekian lalu disosialisasikan ke tengah masyarakat atau kepada aparatur thaghut ini dan kemudian rame-rame diibadati, bukan dengan disembah-sembah seperti shalat atau sujud, akan tetapi dengan ditaati, dirujuk, dijadikan acuan hukum. Kita juga melihat dan mendengar apa yang dikatakan oleh para aparat thaghut, jelas bukan : Sesuai dengan firman Allah surat anu ayat sekian atau sabda Rasulullah, akan tetapi mereka mengatakan : Sesuai TAP MPR No sekian, atau pasal sekian!. Setelah disosialisasikan dan diibadati ramai-ramai oleh para aparat, polisi, jaksa, hakim, dan yang lainnya, kemudian ketika ada celah atau hukum tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, maka berhala yang sudah jadi itu dipotong-potong dan dimakan lagi oleh mereka yang membuatnya dengan bahasa mereka direvisi atau di-amandemen seperti layaknya tuhan yang terbuat dari roti. Setelah itu kemudian dibuatkan lagi yang baru digodok lagi dicetak lagi sehingga menjadi sebuah berhala baru lagi (hukum dan undang-undang baru), kemudian disembah lagi, dan ketika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan atau ada celah untuk merubah (misalnya karena ada kepentingan politik partai), maka

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


13 -

berhala yang sudah jadi itu dipotong-potong dan dimakan lagi oleh mereka, begitu dan begitulah seterusnya!!! Jadi, berhalaisme atau paganisme itu selalu terjadi bahkan lebih dahsyat dan lebih berbahaya, karena apabila menyembah berhala yang berbentuk patung tidak akan ada yang memaksa, akan tetapi kalau untuk mentaati hukum thaghut, maka akan dipaksa dan diberi sanksi jika menolak. Pada gambaran yang lain, Allah Subhanahu Wa Taala menurunkan kitab suci Al Quran sebagai pedoman, sebagai aturan bagi orang yang beriman, hal demikian itu adalah sebagai tali Allah yang diulurkan dari sisi-Nya (dari surga) ke bumi. Barangsiapa yang memegangnya maka ia akan sampai kepada Allah, sedangkan kitab-kitab selain Al Quran (seperti: KUHP atau kitab hukum dan perundangundangan lainnya) adalah pada hakikatnya kitab syaitan yang merupakan tali syaitan yang di ulurkan dari neraka, barangsiapa yang memegangnya atau yang mengikutinya, maka akan ditarik oleh syaitan ke dasar neraka. Jadi, kitab-kitab suci selain Al Quran pada dasarnya adalah wahyu syaitan atau ucapan syaitan yang dihasilkan oleh para Arbab (para pengaku tuhan itu) yaitu Undang-Undang Dasar. Firaun mengatakan Aku adalah tuhan kalian yang tertinggi, apakah ketika dia mengucapkannya dia mengklaim pencipta langit dan bumi ? atau bahwa dialah yang menyediakan isi dan segala apa yang ada di atasnya ?? Tidak! dia tidak memaksudkan hal itu, karena masyarakat mengetahui bahwa sebelum Firaun telah ada manusia, bahkan masyarakatnya pun mengetahui bahwa Firaun sendiri terlahir dari manusia. Akan tetapi ketika dia mengucapkan Aku adalah tuhan kalian tertinggi maksudnya adalah tuhan yang hukumnya harus kalian taati yang mana tidak ada hukum yang harus kalian ikuti kecuali hukum buatan saya ! Jadi ketika Firaun mengatakan hal itu, bukanlah karena dia yang menciptakan manusia atau yang bisa memberikan manfaat atau madharat atau yang bisa memberi anak, tetapi Sayalah pembuat hukum yang hukumnya harus kalian ikuti!. Apabila telah paham apa yang diucapkan Firaun itu, berarti kita bisa melihat banyak FiraunFiraun zaman sekarang yang mengatakan bahwa hukumnya harus ditaati ! mereka adalah Farainah. Jadi, jika kita membaca tentang Firaun itu, jangan selalu mengidentikan pada Firaun zaman Nabi Musa saja, karena sifat-sifat Firaun itu banyak dan Firaun-Firaun zaman sekarang justeru mereka itu lebih dahsyat lagi. Apabila Firaun zaman dulu membunuh anak laki-laki karena takut suatu hari ada yang menyaingi atau membunuh dia (sesuai dengan mimpinya itu), sedangkan jika anak-anak kecil ~yang masih suci fithrahnya~ dibunuh, maka insya Allah masuk surga, sedangkan Firaun zaman sekarang mereka membunuh fithrah anak-anak kecil dengan didoktrinkan ideologi-ideologi kafir tersebut di sekolah-sekolah milik Firaun sehingga fithrahnya mati, bukan jasadnya yang dimatikan, akan tetapi fithrahnya yang dimatikan, sedangkan apabila di waktu kecil fithrah sudah rusak atau mati sampai dia dewasa lalu tidak bertaubat (tidak kembali kepada tauhid) dan dia mati dalam keadaan seperti itu, maka dia akan dijerumuskan ke dalam api neraka dan ini adalah bahaya !! Sedangkan apabila anak kecil yang mati jasadnya saja, sedang fithrahnya tidak, maka dia masuk surga. Akan tetapi apabila mereka (FiraunFiraun zaman sekarang) itu tidak mampu membunuh fithrahnya sewaktu masa anak-anak, maka setelah dewasa barulah dibunuh jasadnya atau dimasukkan ke penjara-penjara Firaun-Firaun zaman sekarang. Jadi, itulah Firaun yang mana dia mengatakan Akulah tuhan kalian tertinggi adalah bukan dimaksudkan bahwa dia itu pencipta manusia atau yang menyediakan berbagai sarana kehidupan buat manusia, akan tetapi yang dia maksudkan : Sayalah pembuat hukum bagi kalian yang hukumnya harus kalian ikuti! Bila semua ini kita pahami, maka kita akan melihat bahwa pada zaman sekarang banyak sekali yang seperti Firaun. Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah ketika menjelaskan surat Al Anam : 121 dan At Taubah : 31, mengatakan : Sesungguhnya setiap orang yang mengikuti aturan, hukum, dan undang-undang yang menyelisihi apa yang Allah syariatkan lewat lisan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, maka dia musyrik terhadap Allah, kafir, lagi menjadikan yang diikutinya itu sebagai Rabb (Tuhan). [Al Hakimiyyah : 56] Jadi, kesimpulannya bahwa Arbab adalah orang yang mengaku bahwa dirinya berhak membuat hukum/aturan/undang-undang, dengan kata lain Arbab adalah orang-orang yang mempertuhankan diri, sedangkan orang yang mengikuti hukum buatan para Arbab itu disebut dengan orang musyrik, dan peribadatan kepada Arbab ini adalah bukan dengan shalat, sujud, doa, nadzar atau istighatsah, akan tetapi dengan mengikuti, mentaati, dan loyalitas terhadapnya. Sehingga pada saat Firaun mencela Nabi Musa dan Harun ~salam bagi mereka~, dia mengatakan : Dan mereka berkata: "Apakah (patut) kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita (juga), padahal kaum mereka (Bani Israil) adalah orang-orang yang beribadah kepada kita?" (Al Mukminun : 47) Maksud beribadah di atas adalah ketaatan, oleh karena itu ketaatan kepada Firaun disebut beribadah kepada Firaun. Dan begitu juga orang sekarang yang taat kepada hukum buatan para Arbab, maka disebut orang yang beribadah kepada Arbab tersebut. Ini adalah penjelasan tentang Arbab yang mana ini adalah bagian ke dua yang harus dinafikan oleh Laa ilaaha illallaah. 3. Andad (Tandingan-tandingan)

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


14 -

Andad adalah jamak dari kata nidd, yang artinya tandingan, maksudnya adalah tandingan bagi Allah Subhanahu Wa Taala. Allah memerintahkan agar kita hanya menghadapkan dan menjadikan-Nya sebagai tujuan satusatunya. Tidak boleh seseorang mengedepankan yang lain terhadap Allah Subhanahu Wa Taala. Allah berfirman tentang nidd ini atau tentang Andad ini : Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah sedang kamu mengetahui. (Al Baqarah : 22) Andad itu apa? Andad adalah sesuatu yang memalingkan kamu dari Al Islam, atau sesuatu yang memalingkan kamu dari Tauhid, baik itu anak, isteri, jabatan, harta, atau apa saja yang mana jika hal itu memalingkan seseorang dari Tauhid atau memalingkan seseorang dari Al Islam atau menjerumuskan seseorang kepada kekafiran atau ke dalam kemusyrikan, maka sesuatu hal itu sudah menjadi Andad. Jadi, sesuatu yang memalingkan seseorang dari Al Islam atau Tauhid; baik itu anak, isteri, suami, posisi jabatan, harta benda, dst, kalau hal tersebut justeru mamalingkan seseorang dari tauhid, berarti sesuatu itu telah dijadikan Andad tandingan bagi Allah Subhanahu Wa Taala. Contoh, kita bisa melihat dalam realita yang ada di dalam kehidupan masyarakat mereka berbondong-bondong menjadi abdi hukum buatan. Kita mengetahui bahwa dalam sistem yang dipakai Pemerintahan ini adalah sistem kafir, sistem syirik, yaitu sistem demokrasi. Perundang-undangannya juga adalah perundang-undangan thaghut. Undang-Undang Dasar atau undang-undang lainnya yang dibuat oleh manusia adalah kafir. Orang-orangnya baik itu pejabat Legislatif, Eksekutif, Yudikatif, atau dari kalangan bala tentaranya seperti aparat POLRI, TNI atau para pejabatnya atau bahkan pegawai kecilnya sekalipun; mereka tidak bisa memegang posisinya, kecuali mereka menyatakan ikrar atau janji setia, kepada apa?? Kepada berhala Pancasila dan Undang Undang Dasar dan kepada sistem thaghut ini, sedangkan kesetiaan terhadap thaghut merupakan kekafiran ! Kita mengetahui bahwa yang mereka inginkan bukanlah menjadi kafir atau murtad, ~umpamanya~ orang mendaftarkan diri menjadi TNI, Polisi atau jadi Caleg (Calon Legislatif) yang mana dia tidak bisa meraihnya kecuali kalau mereka setia kepada sistem thaghut tersebut, sedangkan menyatakan ikrar atau janji setia kepada sistem kafir merupakan kekafiran. Kita memahami bahwa yang diinginkan oleh orang tersebut bukanlah ingin kafir atau ingin murtad dan bukan sebagai kebencian kepada Islam akan tetapi dia menginginkan posisi, jabatan, gaji bulanan, dst. Nah keinginan-keinginan tersebut yang menyebabkan orang tersebut meninggalkan Tauhid, dengan demikian keinginan tersebut atau posisi jabatan atau gaji bulanan yang diinginkan tersebut telah menjadi Andad. Orang tersebut telah meninggalkan Tauhidnya karena ia menjadikan hal-hal tersebut sebagai Andad. Ketika seseorang mau menjadi pegawai di dinas thaghut, maka dia harus bersumpah setia kepada sistem thaghut ini terlebih dahulu. Mungkin ketika seseorang telah mengenal Tauhid dia pasti benci dengan sistem ini, atau benci dengan undang-undang ini, benci dengan falsafah yang syirik ini. Akan tetapi yang diinginkan bukan itu (bukan ingin kafir atau menjadi suka pada sistemnya), melainkan gaji bulanan atau fasilitas-fasilitas. Dan dikarenakan harus setia kepada kekafiran sedang hal demikian itu adalah kekafiran maka perbuatan tersebut telah menjadikan orang tersebut terjerumus ke dalam kekafiran, orang tersebut telah menjadikan keinginan-keinginannya sebagai Andad yang memalingkannya dari Tauhid! Jadi Andad adalah sesuatu yang memalingkan seseorang dari Tauhid dari Islam, baik itu berupa jabatan, harta, atau keluarga. Umpamanya, seorang ayah yang sangat sayang kepada anaknya, sedang si anak tersebut dalam keadaan sakit, lalu ada orang yang menyarankan kepada si ayah tersebut agar si anak yang sakit itu dibawa ke dukun. Dikarenakan saking sayangnya kepada si anak tersebut akhirnya si ayah datang ke dukun dan mengikuti apa yang disarankan oleh si dukun tersebut. Maka dengan demikian si anak tersebut telah memalingkan si ayah tadi dari Tauhid, dan berarti si anak telah menjadi Andad yaitu segala sesuatu yang memalingkan seseorang dari Tauhid dan Al Islam disebut Andad. Sedangkan Allah berfirman : Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah sedang kamu mengetahui. (Al Baqarah : 22) 4. Thaghut. Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya kewajiban pertama yang Allah fardhukan atas anak Adam adalah kufur terhadap thaghut dan iman kepada Alah Subhanahu Wa Taala sebagaimana yang Dia firmankan : Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat itu seorang rasul (mereka mengatakan kepada kaumnya): Ibadahlah kepada Allah dan jauhi thaghut (An Nahl : 36) Perintah kufur terhadap thaghut dan iman kepada Allah adalah inti dari ajaran semua Rasul dan pokok dari Islam. Dua hal ini adalah landasan utama diterimanya amal shalih, dan keduanyalah yang menentukan status seseorang apakah dia itu muslim atau musyrik, Allah Ta'ala berfirman :

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


15 -

Siapa yang kufur terhadap thaghut dan beriman kepada Allah, maka dia itu telah berpegang teguh kepada buhul tali yang sangat kokoh (laa ilaaha ilallaah) (Al Baqarah : 256) Bila seseorang beribadah shalat, zakat, shaum, haji, jihad dsb; akan tetapi dia tidak kufur terhadap thaghut, maka dia itu bukan muslim dan amal ibadahnya tidak diterima. Adapun tata cara kufur kepada thaghut adalah sebagaimana yang dijabarkan oleh Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah : 1. Engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah, 2. Engkau meninggalkannya, 3. Engkau membencinya, 4. Engkau mengkafirkan pelakunya, 5. Dan engkau memusuhi para pelakunya. Ini sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Taala : Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya tatkala mereka mengatakan kepada kaumnya: Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja (Al Mumtahanah : 4) Adapun penjabarannya adalah sebagai berikut : I. Engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah. Ibadah adalah hak khusus Allah, maka ketika dipalingkan kepada selain Allah, itu adalah syirik lagi bathil. Doa adalah ibadah sebagaimana firman-Nya Taala : Berdoalah kepadaKu, tentu akan Kukabulkan permohonan kalian, sesungguhnya orang-orang yang menolak beribadah kepadaKu, maka mereka akan masuk nereka Jahannam dalam keadaan hina (Al Mukmin : 60) Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: Doa itu adalah ibadah. Memohon kepada orangorang yang sudah mati adalah di antara bentuk pemalingan ibadah doa kepada selain Allah, dan itu harus diyakini bathil, sedang orang yang meyakini bahwa memohon kepada orang atau wali yang sudah mati adalah sebagai bentuk pengagungan terhadap wali tersebut maka dia belum kufur terhadap thaghut. Sembelihan adalah ibadah, bila dipalingkan kepada selain Allah maka hal tersebut adalah syirik lagi bathil, Allah Taala berfirman : Katakanlah, Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku adalah bagi Allah Rabbul alamin, tiada satu sekutupun bagiNya (Al Anam : 162-163) Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda : Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah (tumbal). Sedangkan dalam kenyataan, orang yang membuat tumbal, baik berupa ayam atau kambing saat hendak membangun rumah, gedung, jembatan dsb, dia menganggap sebagai tradisi yang patut dilestarikan, maka orang ini tidak kufur terhadap thaghut. Taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan cara bersedekah makanan adalah ibadah, sedangkan taqarrub kepada jin dan syaitan dengan sesajen adalah syirik lagi bathil. Allah berfirman tentang syiriknya orang-orang Arab dahulu : Dan mereka menjadikan bagi Allah satu bahagian dari apa yang telah Allah ciptakan berupa tanaman dan binatang ternak. Mereka mengatakan sesuai dengan persangkaan mereka : Ini bagi Allah dan ini bagi berhala-berhala kami... (Al Anam : 136) Jadi orang yang menganggap pembuatan dan persembahan sesajen sebagai tradisi yang mesti dilestarikan, berarti dia tidak kufur terhadap thaghut. Wewenang (menentukan/membuat) hukum/undang-undang/aturan adalah hak Allah semata. Penyandaran hukum kepada Allah adalah bentuk ibadah kepadaNya, sedangkan bila wewenang itu disandarkan kepada makhluk, maka itu adalah syirik dan merupakan suatu bentuk ibadah kepada makhluk tersebut. Allah Ta'ala berfirman : (Hak) hukum itu tidak lain adalah milik Allah. Dia memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali kepadaNya. Itulah dien yang lurus (Yusuf : 40) Dalam ayat ini Allah memerintahkan manusia agar tidak menyandarkan hukum, kecuali kepada Allah, dan Allah namakan penyandaran hukum itu sebagai ibadah, sehingga apabila disandarkan kepada makhluk, maka hal itu adalah perbuatan syirik, sebagaimana firman-Nya Subhanah:

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


16 -

Dan janganlah kalian memakan dari (sembelihan) yang tidak disebutkan nama Allah padanya, sesungguhnya hal itu adalah fisq. Dan sesungguhnya syaitan mewahyukan kepada wali-walinya untuk mendebat kalian, dan bila kalian mentaati mereka maka sungguh kalian ini adalah orang-orang musyrik (QS. Al Anam [6] : 121) Kita mengetahui dalam ajaran Islam bahwa sembelihan yang tidak memakai nama Allah adalah bangkai dan itu haram, sedangkan dalam ajaran kaum musyrikin adalah halal. Syaitan membisikan kepada wali-walinya, Hai Muhammad, ada kambing mati di pagi hari, siapakah yang membunuhnya? maka Rasulullah menjawab, Allah yang telah mematikannya Mereka berkata, Kambing yang telah Allah sembelih (maksudnya bangkai) dengan tanganNya Yang Mulia kalian haramkan, sedangkan yang kalian sembelih dengan tangan-tangan kalian, kalian katakan halal, berarti sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah [HR. Hakim] Ucapan tersebut adalah wahyu syaitan untuk mendebat kaum muslimin agar setuju dengan aturan yang menyelisihi aturan Allah, dan agar setuju dengan penyandaran hukum kepada mereka, maka Allah tegaskan, bahwa apabila mereka (kaum muslimin) setuju dengan hal itu berarti mereka telah musyrik. dan dalam ayat lain Allah Taala berfirman : Mereka (orang-orang Nashrani) telah menjadikan para Harb (ahli ilmu/ulama) dan para Rahib (ahli ibadah) sebagai Arbaab (tuhan-tuhan) selain Allah. Juga Al Masih putera Maryam, padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan Yang Haq kecuali Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan (At Taubah : 31) Dalam ayat ini Allah vonis orang-orang Nashrani sebagai berikut : Mereka telah mempertuhankan para ahli ilmu dan para rahib Mereka telah beribadah kepada selain Allah Mereka telah musyrik Juga para ahli ilmu dan para rahib tersebut; Allah vonis mereka sebagai Arbaab. Di dalam atsar yang hasan dari Adiy Ibnu Hatim (dia asalnya Nashrani kemudian masuk Islam) Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam membacakan ayat itu dihadapan Adiy Ibnu Hatim, maka dia berkata : Wahai Rasulullah, kami dahulu tidak pernah ibadah dan sujud kepada mereka (ahli ilmu dan para rahib) maka Rasulullah berkata, Bukankah mereka itu menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan kalian ikut-ikutan menghalalkannya? Bukankah mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan lalu kalian ikut-ikutan mengharamkannya ? lalu Adiy Ibnu Hatim berkata, Ya, betul lalu Rasulullah berkata lagi, Itulah bentuk peribadatan orang-orang Nashrani kepada mereka itu [HR. At Tirmidzi] Jadi, orang Nashrani divonis musyrik karena mereka setuju dengan penyandaran hukum kepada ahli ilmu dan para rahib, meskipun itu menyelisihi aturan Allah Subhanahu Wa Taala. Sedangkan pada masa sekarang, orang meyakini bahwa demokrasi adalah pilihan terbaik, atau minimal boleh menurut mereka. Padahal demokrasi berintikan pada penyandaran wewenang hukum kepada kedaulatan rakyat atau wakil-wakilnya, sedangkan ini adalah syirik, maka orang tersebut tidak kufur terhadap thaghut dan dia itu belum muslim. Allah Taala berfirman berkaitan dengan semua peribadatan di atas: Itu dikarenakan sesungguhnya Allah adalah satu-satunya Tuhan Yang Haq, dan sesungguhnya apa yang mereka seru selain Dia adalah bathil (Luqman : 30) II. Engkau meninggalkannya Meyakini perbuatan syirik itu adalah bathil belumlah cukup, namun harus disertai. meninggalkan perbuatan syirik itu. Orang yang meyakini pembuatan tumbal/sesajen itu bathil, akan tetapi karena takut akan dikucilkan masyarakatnya lalu ia melakukan hal tersebut, maka dia tidak kufur terhadap thaghut.

Bagaimana jika ada ulama yang masuk parlemen untuk berdakwah, sudahkah ia kufur pada thaghut?
Orang yang meyakini bahwa demokrasi itu syirik, tetapi dengan dalih Maslahat Dakwah lalu ia masuk kedalam sistem demokrasi tersebut, maka dia tidak kufur terhadap thaghut. Seperti orang yang membuat partai-partai berlabel Islam dalam rangka ikut dalam Pesta Demokrasi. Sesungguhnya kufur terhadap thaghut menuntut seseorang untuk meninggalkan dan berlepas diri dari kemusyrikan tersebut. Allah Subhanahu Wa Taala berfirman : Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya : Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadati (Az Zukhruf : 26) Dan saya tinggalkan kalian dan apa yang kalian seru selain Allah (Maryam : 48)

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


17 -

Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda, Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi akan laa ilaaha ilallaah (Muttafaq alaih) Sedangkan orang yang tidak meninggalkan syirik, maka dia itu tidak dianggap syahadatnya, karena yang dia lakukan bertentangan dengan apa yang dia ucapkan, oleh sebab itu Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata : Dan siapa yang bersyahadat laa ilaaha ilallaah, namun disamping ibadah kepada Allah, dia beribadah kepada yang lain juga, maka syahadatnya tidak dianggap, meskipun dia shalat, shaum, zakat dan melakukan amalan Islam lainnya [Ad Durar As Saniyyah : 1/323, Minhajut Tasis : 61]. Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata : Ulama berijma, baik ulama salaf maupun khalaf dari kalangan para shahabat dan tabiin, para imam dan semua Ahlus Sunnah bahwa orang tidak dianggap muslim kecuali dengan cara mengosongkan diri dari syirik akbar dan melepaskan diri darinya [Ad Durar As Saniyyah : 2/545]. Beliau juga berkata: Siapa yang berbuat syirik, maka dia telah meninggalkan Tauhid [Syarah Ashli Dienil Islam, Majmuah tauhid]. Orang berbuat syirik, dia tidak merealisasikan firman-Nya : Dan mereka itu tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah seraya memurnikan seluruh ketundukan kepadaNya (Al Bayyinah : 5). Orang yang melakukan syirik akbar meskipun tujuannya baik maka dia tetap belum kufur terhadap thaghut. Al Imam Suud Abdil Aziz Ibnu Muhammad Ibnu Suud rahimahullah berkata : Orang yang memalingkan sedikit dari (ibadah) itu kepada selain Allah, maka dia itu musyrik, sama saja dia itu ahli ibadah atau orang fasik, dan sama saja maksudnya itu baik atau buruk [Durar As Saniyyah : 9/270]. Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Ibnu Muhammad rahimahullah mengatakan : Sesungguhnya pelafalan laa ilaaha ilallaah tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan tuntutannya berupa komitmen terhadap tauhid, meninggalkan syirik, dan kufur kepada thaghut maka sesungguhnya hal itu (syahadat) tidak bermanfaat, atas ijma (para ulama) [Kitab Taisir] Syaikh Hamd Ibnu Athiq rahimahullah berkata : Para ulama ijma, bahwa siapa yang memalingkan sesuatu dari dua macam doa kepada selain Allah, maka dia telah musyrik meskipun dia mengucapkan Laa ilaaha ilallaah Muhammadur Rasulullah, dia shalat, shaum dan mengaku muslim [Ibthal At Tandid : 76]. Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata : Orang tidak disebut muwahhid kecuali dengan cara menafikan syirik dan baraah darinya. Jadi, orang yang tidak meninggalkan syirik, dia tidak kufur terhadap thaghut. III. Engkau Membencinya Orang yang meninggalkan perbuatan syirik akan tetapi dia tidak membencinya, maka dia belum kufur terhadap thaghut. Ini dikarenakan Allah mensyaratkan adanya kebencian terhadap syirik dalam merealisasikan tauhid kepadaNya. Allah Taala berfirman tentang Ibrahim alayhissalam. : Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadati (Az Zukhruf : 26) Kata bara (berlepas diri) dari syirik itu menuntut adanya kebencian akan adanya syirik itu. Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Ikatan iman yang paling kokoh adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah Kebencian terhadap syirik ini harus berbentuk realita (ada tindakan nyatanya), yaitu dengan tidak hadir di majelis syirik saat syirik sedang berlangsung. Sebagai contoh : orang yang hadir di tempat membuat atau mengubur tumbal yang sedang dilakukan, maka dia itu sama dengan pelakunya. Allah Ta'ala berfirman : Dan sungguh Dia telah menurunkan kepada kalian dalam Al Kitab, yaitu bila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok, maka janganlah kalian duduk bersama mereka sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain, karena sesungguhnya kalian (bila duduk bersama mereka saat hal itu dilakukan), berarti sama (status) kalian dengan mereka (An Nisa : 140) Jadi, orang yang duduk dalam majelis di mana kemusyrikan atau kekufuran sedang berlangsung atau sedang dilakukan atau dilontarkan (diucapkan) dan dia duduk tanpa dipaksa dan tanpa mengingkari hal tersebut maka dia sama kafir dan musyrik seperti para pelaku kemusyrikan tersebut. Seandainya tidak dapat mengingkari dengan lisannya, maka hal tersebut harus diingkari dengan hatinya yang berbentuk sikap meninggalkan majelis tersebut. Sungguh sebuah kesalahan fatal orang yang mengatakan : Saya ingkar dan benci di hati saja sedangkan dia tidak pergi meninggalkan majelis tersebut. Oleh karenanya para shahabat pada masa khalifah Utsman radliyallahu 'anhu berijma atas kafirnya seluruh jamaah mesjid di kota Kuffah saat salah seorang di antara mereka mengatakan : Saya menilai apa yang dikatakan Musailamah itu bisa jadi benar dan yang lain hadir di mesjid itu tanpa mengingkari ucapannya seraya pergi darinya. [Riwayat para penyusun As Sunan/ Ashhabus Sunan]

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


18 -

Orang yang tidak membenci ajaran syirik, agama kuffar, sistem kafir, dan thaghut berarti ia tidak kufur terhadap thaghut. IV. Engkau Mengkafirkan Pelakunya. Allah Subhanahu Wa Taala mengkafirkan para pelaku syirik akbar dalam banyak ayat, misal: ..Dan orang-orang yang menjadikan sembahan-sembahan selain Allah, (mereka mengatakan) : Kami tidak beribadah kepada mereka, melainkan supaya mereka itu mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. Sesungguhnya Allah memutuskan di antara mereka di hari kiamat dalam apa yang telah mereka perselisihkan, sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang yang dusta lagi sangat kafir. (Az Zumar : 3) dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala : Dan siapa yang menyeru ilaah yang lain bersama Allah yang tidak ada bukti dalil kuat buat itu baginya, maka perhitungannya hanyalah disisi Rabbnya, sesungguhnya tidak beruntung orang-orang kafir itu (Al Mukminun : 117) Bila Allah mengkafirkan para pelaku syirik, maka orang yang tidak mengkafirkan mereka berarti tidak membenarkan Allah. Dia Subhanahu Wa Taala juga telah memerintahkan untuk mengkafirkan para pelaku syirik, di antaranya adalah firman-Nya : Dan dia menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah supaya dia menyesatkan dari jalanNya, katakanlah, Nikmatilah kekafiranmu sebentar, sesungguhnya kamu tergolong penghuni neraka (Az Zumar : 8) Dan orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik, berarti dia menolak perintah Allah, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam besabda : Siapa yang mengucapkan Laa ilaaha ilallaah dan dia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya, sedangkan perhitungannya adalah atas Allah (HR. Muslim) Para imam dakwah Najdiyyah telah menjelaskan maksud sabda nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam, dan dia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah maksud kalimat tersebut adalah : Mengkafirkan pelaku syirik dan berlepas diri dari mereka dan dari apa yang mereka ibadati [Durar As Saniyyah: 291] Orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik akbar adalah orang yang tidak kufur kepada thaghut, dan mereka bergelar kafir. Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata : Orang yang tidak mengkafirkan para pelaku syirik atau ragu akan kekafiran mereka atau membenarkan ajaran mereka, maka dia telah kafir [Risalah Nawaqidlul Islam] Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata : Seseorang tidak menjadi muwahhid (orang berTauhid), kecuali dengan menafikan syirik, berlepas diri darinya dan mengkafirkan pelakunya [Syarh Ashli Dienil Islam Majmuah Tauhid] Syaikh Abdul Lathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata : Dan sebagian ulama memandang bahwa hal ini (mengkafirkan pelaku syirik) dan jihad diatasnya adalah salah satu rukun yang mana Islam tidak tegak tanpanya (Mishbahuzh Zhalam :28). Beliau berkata lagi : Adapun menelantarkan jihad dan tidak mengkafirkan orang-orang murtad, orang yang menjadikan andaad (tandingan-tandingan) bagi Tuhannya, dan orang yang mengangkat andaad dan arbaab (tuhan-tuhan) bersamaNya, maka sikap seperti ini hanyalah ditempuh oleh orang yang tidak beriman kepada Allah dan RasulNya. Orang yang tidak mengagungkan perintahNya, tidak meniti jalanNya dan tidak mengagungkan Allah dan Rasul-Nya dengan pengagungan yang sebenar-benarnya pengagungan terhadapNya, bahkan dia itu tidak menghargai kedudukan ulama dan para imam umat ini dengan selayaknya [Mishbahuzh Zhalam : 29] Para imam dakwah Nejed berkata : Di antara hal yang mengharuskan pelakunya diperangi adalah sikap tidak mengkafirkan pelaku-pelaku syirik atau ragu akan kekafiran mereka karena sesungguhnya hal itu termasuk pembatal dan penggugur keIslaman. Siapa yang memiliki sifat ini maka dia telah kafir, halal darah dan hartanya serta wajib diperangi sehingga dia mengkafirkan para pelaku syirik [Durar As Saniyyah: 9/291] Mereka juga mengatakan : Sesungguhnya orang yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, dia itu tidak membenarkan Al Quran, karena sesungguhnya Allah dalam Al Quran telah mengkafirkan para pelaku syirik dan memerintahkan untuk mengkafirkan mereka, memusuhi mereka dan memerangi mereka [Ad Durar As Saniyyah: 9/291] Jadi, takfir (mengkafirkan) para pelaku syirik adalah bagian Tauhid dan pondasi dien ini, bukan fitnah sebagaimana yang diklaim oleh musuh-musuh Allah dari kalangan ulama suu (ulama jahat) kaki tangan thaghut dan kalangan neo murjiah. Orang mengkafirkan pelaku syirik bukanlah Khawarij, justeru mereka itu adalah penerus dakwah rasul-rasul. Orang yang menuduh mereka sebagai Khawarij adalah orang yang tidak paham akan dakwah para rasul.

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


19 -

Syaikh Abdul Lathif Ibnu Abdirrahman rahimahullah berkata : Siapa yang menjadikan pengkafiran dengan syirik akbar termasuk aqidah Khawarij, maka sungguh dia telah mencela semua rasul dan umat ini. Dia tidak bisa membedakan antara Dien para rasul dengan madzhab Khawarij, dia telah mencampakan nash-nash Al Quran dan dia mengikuti selain jalan kaum muslimin [Mishbahuzh zhalam : 72] Orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik akbar secara nau (jenis pelaku) maka dia kafir, sedangkan orang yang membedakan antara nau dengan muayyan (orang tertentu) maka minimal jatuh dalam bidah dan bila (sudah) ditegakkan hujjah atasnya, maka dia kafir juga. Orang yang tidak mau mengkafirkan para pelaku syirik, pada umumnya dia lebih loyal kepada pelaku syirik dan justru memusuhi para muwahhid yang mengkafirkan pelaku syirik. Demikianlah realita yang terjadi, sehingga banyak yang jatuh dalam kekafiran. Tidaklah sah shalat dibelakang orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik secara muayyan. Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata : Siapa yang membela-bela mereka (para thaghut dan pelaku syirik akbar) atau mengingkari terhadap orang yang mengkafirkan mereka, atau mengklaim bahwa : perbuatan mereka itu meskipun bathil, tetapi tidak mengeluarkan mereka pada kekafiran, maka status minimal orang yang membela-bela ini adalah fasiq, tidak diterima tulisannya, tidak pula kesaksiannya, serta tidak boleh shalat bermakmum di belakangnya [Ad Durar As Saniyyah : 10/53] Ini adalah status minimal, adapun kebanyakannya berstatus sebagaimana yang digambarkan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah: Orang-orang yang merasa keberatan dengan masalah takfir, bila engkau mengamati mereka ternyata kaum muwahhidin adalah musuh mereka, mereka benci dan dongkol kepada para muwahhid itu. Sedangkan para pelaku syirik dan munafiqin adalah teman mereka yang mana mereka bercengkrama dengannya. Akan tetapi hal seperti ini telah menimpa orangorang yang pernah bersama kami di Diriyah dan Uyainah yang mana mereka murtad dan benci akan dien ini [Ad Durar As Saniyyah : 10/92] V. Engkau Memusuhi Mereka Orang yang tidak memusuhi pelaku syirik bukanlah orang yang kufur kepada thaghut, Allah berfirman tentang ajaran Ibrahim alayhissalam. Dan para nabi yang bersamanya : Dan tampak antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian selamanya hingga kalian beriman kepada Allah saja (Al Mumtahanah : 4) Kalian tidak mungkin mendapatkan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan RasulNya, meskipun mereka itu ayah-ayahnya, anak-anaknya, saudara-saudaranya atau karib kerabatnya (Al Mujaadilah : 22) Syaikh Muhammad rahimahullah mengatakan : Sesungguhnya orang tidak tegak keIslamannya walaupun ia mentauhidkan Allah dan meninggalkan kemusyrikan kecuali dengan memusuhi para pelaku syirik [Syarh Sittati Mawadli Minas Sirah, Majmu At Tauhid:21] Permusuhan lainnya adalah loyalitas kepada orang kafir. Menafikan (meniadakan) keimanan atau tauhid, Allah Taala berfirman : Dan siapa yang berloyalitas kepada mereka (orang-orang kafir) di antara kalian, maka sesungguhnya dia adalah bagian dari mereka (Al Maaidah : 51) Karena permusuhan ini Allah Taala berfirman : Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di manapun kalian mendapati mereka, tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah mereka ditempat pengintaian (At Taubah : 5)

Apakah Demokrasi itu adalah agama ( dien ) baru selain Islam?


Ya. Ketika kita berbicara mengenai Arbab pada pembahasan tadi telah sedikit terbahas. Undangundang telah Allah Subhaanahu Wa Taala namakan sebagai dien (agama/jalan hidup yang ditempuh), sedangkan demokrasi itu memilliki undang-undang selain Islam. Jadi, dien (agama) kafir itu bukan hanya Nashrani, Yahudi, Hindu, Budha, Konghucu, Shinto, dan Majusi saja; akan tetapi Demokrasi adalah dien, Nasionalisme adalah dien, Kapitalisme adalah dien, Sekulerisme adalah dien. Sistem tersebut adalah sistem (dien) atau thaghut! Islam adalah dien kaum muslimin, sedangkan Demokrasi adalah dien kaum musyrikin, baik kaum musyrikin yang mengaku Islam atau yang mengaku bukan Islam. Untuk benar-benar mengetahui kekufuran dien Demokrasi ini, maka mari kita kupas ajaran-ajarannya itu dengan membandingkannya dengan ajaran Islam. 1. Sumber hukum bukan Allah Subhanahu Wa Taala, akan tetapi rakyat. Dikarenakan rakyat adalah yang berdaulat dan yang berkuasa, maka sumber hukumnya pun adalah rakyat yang diwakili oleh wakil-wakil mereka di Parlemen (MPR/DPR). Dan bila anda membuka Konstitusi (Undang Undang Dasar) semua negara yang bersistem Demokrasi, maka pasti mendapatkan

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


20 -

bahwa kekuasaan Legislatif (Tasyriiyyah/pembuatan hukum) ada di tangan majelis rakyat, ada juga yang bebas seperti di negara-negara barat, dan ada yang terbatas seperti di negara-negara Arab dan negara timur yang mana Raja, Amir, dan Presiden sangat menentukan, dan tidak lupa juga bahwa demokrasi atau aspirasi rakyat ini tidak semuanya digulirkan, kecuali bila sesuai dengan thaghut Latta mereka yaitu Undang Undang Dasar. Padahal sumber/kekuasaan/wewenang hukum itu di dalam dien Al Islam ada di Tangan Allah Subhanahu Wa Taala, sebagaimana firman-Nya : keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah (Yusuf : 40) menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah (Al Anam : 57) Setelah Allah Subhaanahu Wa Taala menjelaskan bahwa Dia-lah yang menciptakan dan yang memilih apa yang Dia kehendaki serta bahwa manusia tidak punya hak untuk memilih setelah Allah menentukan, Dia Subhanahu Wa Taala berfirman; Dan Dia-lah Allah, tidak ada Tuhan yang berhak diibadati melainkan Dia, bagiNya-lah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagiNya-lah segala penentuan dan hanya kepadaNya-lah kamu dikembalikan (Al Qashash : 70) Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari (menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah mereka kepada (jalan) Tuhanmu, dan janganlah sekalisekali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apapun yang lain, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. bagi-Nyalah segala penentuan, dan Hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan. (Al Qashash : 87-88) Ayat-ayat lainnya yang menjelaskan bahwa hak menentukan hukum dan putusan serta penetapan hanyalah milik Allah dan hak khusus rububiyyah, uluhiyyah serta mulkiyah-Nya, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah-lah yang memutuskan dan hanya kepada-Nyalah putusan itu (disandarkan). Ini adalah dienullah yang dianut oleh kaum muslimin, sedangkan yang tadi adalah dien Demokrasi yang dianut oleh kaum musyrikin. Allah Subhanahu Wa Taala berfirman : Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran [3] : 85) Apakah sama antara dua dien (aturan) ini wahai saudara? Dan apa yang anda pilih, Islam ataukah Demokrasi? Bayangkan saja bila yang menjadi sumber hukum itu adalah manusia yang sangat penuh dengan kekurangan dan keterbatasan, apa jadinya hukum yang diundang-undangkan itu? Bulan ini dibuat dan diibadati, namun beberapa bulan berikutnya dihapuskan (baca : dimakan) atau direvisi, karena sudah tidak relevan lagi, tidak ada bedanya dengan tuhan (berhala) dari adonan roti yang mereka (kafir Arab dahulu) buat dan mereka ibadati, namun ketika lapar mereka santap habis. Sedangkan bila yang menjadi sumber hukum itu hanya Allah Subhanahu Wa Taala, maka Dia-lah Dzat Yang Maha Mengetahui segalanya. 2. Hukum yang dipakai bukan hukum Allah tapi hukum buatan manusia Tadi telah dijelaskan bahwa sumber hukum agama Demokrasi adalah rakyat, maka sudah pasti hukum yang dipakai adalah bukan hukum Allah, tapi hukum rakyat (wakilnya) atau hukum yang disetujui oleh mereka, juga dikarenakan dien Demokrasi ini adalah menyatukan semua pemeluk dien yang beraneka ragam dan mengakuinya serta menampung semua aspirasinya, sedangkan untuk kesatuan mereka ini dibutuhkan hukum yang mengikat semua dan disepakati bersama, padahal para pemeluk dien selain Al Islam tidak akan rela dengan hukum Islam sehingga disepakatilah hukum yang menyatukan mereka, dan itu bukan hukum Allah, tapi hukum wali-wali syaitan. Sungguh ini adalah kerusakan yang besar, kekafiran yang nyata serta kemurtadan yang nampak jelas bagi pemeluk Islam yang ridha dengannya atau mendukungnya apalagi menerapkan atau melindunginya. Padahal Allah Subhaanahu Wa Taala berfirman; barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Al Maidah : 44) Sekutu dengan hukum buatan itu syirik akbar, Allah Subhaanahu Wa Taala berfirman: Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik. (Al Anam : 121)

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


21 -

Tentang ayat ini Al Hakim dan yang lainnya meriwatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas : Bahwa orang-orang membantah kaum muslimin tentang sembelihan dan pengharaman bangkai, mereka berkata : Kalian makan apa yang kalian bunuh dan tidak makan dari apa yang Allah bunuh yaitu bangkai, maka Allah berfirman Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsir ayat ini : Dimana kamu berpaling dari perintah Allah dan aturan-Nya kepada yang lainnya, terus kamu mendahulukan terhadap aturan Allah yang lainnya, maka inilah syirik itu Memakai hukum selain hukum Allah adalah syirik akbar !!! Bila saja orang yang menuruti atau meridhai satu hukum yang menyelisihi aturan Allah, telah Dia Subhanahu Wa Taala vonis musyrik, maka apa gerangan dengan Demokrasi yang seluruhnya adalah bukan hukum Allah. Kalau memang ada satu macam atau beberapa macam hukum yang ada dalam Demokrasi itu serupa dengan ajaran Islam, tetap saja itu tidak disebut hukum Allah dan tidak merubah kekafiran penganut dien Demokrasi. Andai ada orang Nashrani yang jujur dan amanah, apakah itu bisa menyebabkan dia itu disebut muslim karena jujur dan amanah itu ajaran Islam? Sama sekali tidak, karena jujur dan amanahnya itu bukan atas dorongan tauhid, tapi kepentingan lain, maka begitu juga dengan Demokrasi. Oleh sebab itu para ulama tetap ijma atas kafirnya orang yang menerapkan kitab Undangundang hukum Tartar (Yasiq/Ilyasa) yang dibuat oleh Jengis Khan, padahal sebagiannya diambil dari syariat Islam. Ibnu Katsir rahimahullah berkata : Siapa yang meninggalkan syariat paten yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu Abdillah penutup para nabi, dan dia malah merujuk hukum kepada yang lainnya berupa hukum-hukum (Allah) yang sudah dinasakh (dihapus), maka dia kafir. Maka apa gerangan dengan orang yang berhukum kepada Ilyasa dan lebih mengedepankannya atas hukum Allah ? Siapa yang melakukannya maka dia kafir dengan ijma kaum muslimin. [Al Bidayah Wan Nihayah : 13/119]. Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang Yasiq/Ilyasa : Ia adalah kitab undang-undang hukum yang dia (Raja Tartar, Jengis Khan) kutip dari berbagai sumber; dari Yahudi, Nashrani, Millah Islamiyyah, dan yang lainnya, serta di dalamnya banyak hukum yang dia ambil dari sekedar pandangannya dan keinginannya, lalu (kitab) itu bagi keturunannya menjadi aturan yang diikuti yang lebih mereka kedepankan dari pada al hukmu bi Kitabillah wa sunnati Rasulillah shalallahu alaihi wasallam. Siapa yang melakukan itu, maka wajib diperangi hingga kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, selainnya tidak boleh dijadikan acuan hukum dalam hal sedikit atau banyak. Ini dikarenakan Allah Subhanahu Wa Taala berfirman; Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu (Al Maidah : 49) Dalam ayat itu, Allah mengatakan menurut apa yang diturunkan Allah, dan tidak mengatakan menurut seperti apa yang diturunkan Allah. Dalam ajaran Demokrasi hukum yang berlaku adalah hukum jahiliyyah : Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki (Al Maidah : 50) Dalam ajaran tauhid, orang tidak dikatakan muslim, kecuali dengan kufur kepada thaghut yang di antaranya berbentuk undang-undang buatan manusia, sedangkan Demokrasi mengajak orang-orang untuk beriman kepada thaghut, padahal Allah berfirman : Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu... (An Nisa : 60) Lihatlah realita para demokrat serta para pendukungnya justeru adalah sebagaimana yang Allah Subhaanahu Wa Taala firmankan; Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafiq menghalangi (manusia) dengan sekuatkuatnya dari (mendekati) kamu. (An Nisaa : 61) Jika ada yang serupa dengan ajaran Islam dalam hukum mereka itu, tidak lebih dari apa yang tidak bertentangan dengan selera dan kepentingan mereka, dan itu setelah proses tarik menarik dan diskusi panjang antara mengiakan dengan tidak, tak ubahnya dengan orang-orang yang Allah firmankan; Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada Rasul dengan patuh. Apakah (ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


22 -

kalau-kalau Allah dan Rasul-Nya berlaku zhalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka Itulah orang-orang yang zhalim. (An Nur : 48-50) Apakah anda masih meragukan bahwa Demokrasi itu dien kufriy? Apakah mau ikut Islam atau demokrasi??? Maka apakah mereka mencari dien yang lain dari dien Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan. (Ali Imran : 83) 3. Memberikan kebebasan berkeyakinan dan mengeluarkan fikiran dan pendapat Demokrasi adalah dien yang melindungi semua agama, mengakui serta menjamin kebebasannya. Orang Kristen bila mau masuk Islam maka Demokrasi mempersilahkan dan mengakuinya, dan begitu juga orang Islam jika ingin masuk Kristen atau agama lainnya, maka dien Demokrasi tidak mempersalahkannya apalagi memberikan sanksi terhadapnya. Dari itu berarti dien Demokrasi telah menghalalkan pintu-pintu kemurtadan serta menggugurkan hukum-hukum yang berkaitan dengannya, padahal Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda : Siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah. Andai seorang muslim karena ghirahnya sangat tinggi lalu dia membunuh orang murtad, maka tentulah dia mendapat hukuman. Begitu juga dien demokrasi memberikan kebebasan untuk mengeluarkan fikiran dan pendapat, walaupun fikiran dan pendapat itu adalah kekufuran. Jadi Demokrasi membuka pintu kekufuran dari berbagai sisi. Dari sinilah rahasia kenapa sanksi-sanksi yang bersifat keagamaan ditiadakan dan tidak diberlakukan, karena itu bertentangan dengan kebebasan berkeyakinan. Saat seorang bapak meninggal dunia dan si anak telah murtad, maka hukum demokrasi masih menetapkan warisan baginya. Saat si suami murtad, sedangkan isteri masih muslimah, namun dien Demokrasi tidak mengharuskan pisah (fasakh) di antara keduanya. Allah dan Rasul-Nya dibiarkan dihina siang dan malam, dan ajaran Islam dicemoohkan dan dilecehkan dengan dalih kebebasan mengeluarkan fikiran dan pendapat. Memang Demokrasi itu memberikan kebebasan yang seluas-luasnya bagi semua faham dan aliran kecuali Tauhid, karena seandainya ada muwahhid yang mencela dan menghina atau berupaya membunuh thaghut mereka, tentulah dia dikenakan pasal hukuman, padahal itu ajaran Tauhid. Begitulah kebebasan yang dimaksud oleh dien Demokrasi Kebebasan kufur, syirik, ilhad, zandaqah, dan riddah bukan kebebasan Tauhid ! 4. Kebenaran adalah suara terbanyak Hal yang tidak bisa dipungkiri lagi adalah bahwa dien Demokrasi memiliki ajaran bahwa al haq itu bersama suara rakyat atau mayoritasnya. Adapun yang diinginkan oleh mayoritas, maka itu adalah kebenaran yang harus diterima dan diamalkan meskipun jelas-jelas bertentangan dengan Tauhid. Oleh karena itu setiap partai politik yang ingin menguasai Parlemen dan Pemerintahan pasti dia mencari dukungan sebanyak-banyaknya dari rakyat, kemudian setelah itu mereka bisa menerapkan putusan apa saja meskipun melanggar aturan Allah Subhaanahu Wa Taala dan Rasul-Nya shalallahu alaihi wasallam, asal tidak melenceng dari Tuhan mereka tertinggi yang padahal mereka sendiri yang membuatnya, tuhan mereka yang tertinggi itu adalah Undang Undang Dasar. Padahal kebenaran itu hanyalah bersumber dari Allah, baik mayoritas menyukainya atau tidak. Allah Subhaanahu Wa Taala berfirman : Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, Karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu. (Al Baqarah : 147) Dikarenakan kebenaran adalah datang dari Allah Subhaanahu Wa Taala lewat lisan Rasul-Nya, maka bila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu putusan atau hukum, tidak boleh manusia mempertimbangkan antara menerima atau tidak serta tidak ada pilihan lain kecuali menerima dan tunduk kepadanya. Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Al Ahzab : 36) sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka (Al Qashash : 68) Para ahli tafsir menyatakan bahwa bila Allah telah menentukan sesuatu, maka manusia tidak dapat memilih yang lain lagi dan harus mentaati dan menerima apa yang telah ditetapkan Allah. Namun agama Demokrasi mengatakan lain, rakyat bebas memilih apa yang mereka inginkan dan mereka memiliki pilihan. Tapi bila rakyat (wakil-wakil mereka tentunya) atau mayoritasnya menentukan

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


23 -

sesuatu, maka tidak ada pilihan lagi kecuali mengikutinya, karena Tuhan yang berhak menetapkan ketentuan dalam ajaran Demokrasi adalah para wakil rakyat itu, bukannya Allah Subhaanahu Wa Taala. Bila dien Demokrasi memiliki tolak ukur kebenaran itu berdasarkan pada suara aghlabiyyah (mayoritas), sehingga apapun yang disuarakan oleh mereka, maka itulah kebenaran yang mesti diikuti, padahal Allah Subhanahu Wa Taala telah menghati-hatikan dari mengikuti keinginan mayoritas manusia Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) (Al Anam : 116) Ini dikarenakan mayoritas (manusia) musyrik Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman mempersekutukan Allah. (Yusuf : 106) kepada Allah, melainkan dalam keadaan

Mayoritas manusia tidak beriman Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya. (Yusuf : 103) Mayoritas manusia benci akan kebenaran dan kebanyakan mereka benci kepada kebenaran itu. (Al Mukminun : 70) Mayoritas manusia tidak mengetahui kebenaran akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Al Jaatsiyah : 26) Mayoritas manusia tidak memahami kebenaran tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya). (Al Ankabut : 63) Mayoritas manusia itu kaum yang tidak beriman akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman. (Al Mukmin/Ghafir : 59) Mayoritas manusia itu tidak bersyukur akan tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur. (Al Mukmin/Ghafir : 61) Itulah sifat-sifat orang yang dijadikan Tuhan (arbab) dalam Agama Demokrasi ; musyrik, kafir, sesat, bodoh, kurang akal, benci terhadap kebenaran, tidak mau bersyukur lagi menyesatkan. Orang yang ridha dan beribadah kepada tuhan-tuhan itu, maka ia lebih sesat dan lebih bodoh dari kerbau piaraannya! mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi (Al Araf : 179) Katakan kepada kaum demokrat itu, Enyahlah kalian dan apa yang kalian ibadati selain Allah. Maka apakah kalian tidak berakal??! 5. Tuhannya banyak dan beraneka ragam Sudah dijelaskan di awal pembahasan ini bahwa hukum adalah hak khusus Allah Subhaanahu Wa Taala dan ia adalah ibadah, bila ia disandarkan kepada selain Allah Subhanahu Wa Taala maka itu adalah syirik, dan yang menerima penyandarannya itu adalah Tuhan (arbab) selain Allah. Sudah diketahui bahwa rakyat (wakil-wakilnya) adalah pemegang kewenangan hukum, itu dalam dien Demokrasi, sedangkan wakil-wakil rakyat itu jumlahnya sangat banyak, berarti tuhan-tuhan mereka itu beraneka ragam. Ada tuhan yang katanya mengaku Islam, ada yang Kristen, ada yang dari Budha, Hindu, Dukun, Paranormal, Tentara, Polisi, dan lain sebagainya. Sedangkan Tauhid mengajarkan bahwa sumber yang berwenang menentukan hukum hanyalah Allah Subhaanahu Wa Taala Yang Maha Mengetahui manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa ? (Yusuf : 39) Di dalam Al Quran, para pembuat hukum itu diberi beberapa nama oleh Allah : Arbaab, thaghut, syuraka, auliaa-usy syaithan (wali-wali syaitan). Dia Subhaanahu Wa Taala berfirman : Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Arbaab (Tuhan) selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (At Taubah : 31) Dalam ayat ini Allah menamakan orang-orang alim dan para rahib Yahudi dan Nashrani sebagai ARBAAB, saat ayat ini dibacakan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam di hadapan Adiy Ibnu Hatim saat itu asalnya Nashrani kemudian masuk Islam, maka dia langsung mengatakan : Kami tidak pernah

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


24 -

sujud dan shalat kepada mereka, maka Rasulullah menjelaskan makna mereka menjadikan para rahib dan alim itu sebagai Arbab : Bukankah mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan kemudian kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya ?,maka Adiy menjawab : Ya, benar. Dan Rasulullah berkata : Itulah bentuk ibadah kepada mereka. [Atsar ini dihasankan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah] Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: Bab : Orang yang mentaati ulama dan penguasa dalam mengharamkan apa yang Allah haramkan atau (dalam) menghalalkan apa yang Allah haramkan, maka ia telah menjadikan mereka sebagai Arbaab selain Allah. Allah Subhanahu Wa Taala berfirman : Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? mereka hendak berhakim kepada thaghut (An Nisa : 60) Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata tentang beberapa tokoh thaghut: Penguasa yang zhalim yang merubah ketentuan-ketentuan Allah, terus beliau tuturkan ayat di atas. Mujahid rahimahullah berkata : Thaghut adalah syaitan berwujud manusia yang mana orangorang berhakim kepadanya sedang dia adalah pemegang kendali mereka Dalam catatan kaki Terjemahan Mushhaf Departemen Agama RI : Termasuk thaghut juga adalah; orang yang menerapkan hukum secara curang menurut hawa nafsu. Ketahuilah sesungguhnya selain aturan Allah adalah curang lagi bersumber dari hawa nafsu !!! Allah Subhanahu Wa Taala berfirman : Apakah mereka mempunyai syurakaa (sembahan-sembahan) selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka dien (aturan) yang tidak diizinkan Allah? (Asy Syuura : 21) Anda harus ingat dalam memahami ayat ini dan yang lainnya bahwa hukum/aturan adalah dien. Kemudian tentang penamaan para pembuat hukum selain Allah sebagai wali-wali syaitan, Dia Subhanahu Wa Taala berfirman tentang upaya kaum musyrikin mendebat kaum muslimin supaya setuju dengan aturan yang menyelisihi aturan Allah Subhanahu Wa Taala, Dia berfirman : Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu membisikkan kepada wali-wali mereka agar membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, maka sesungguhnya kamu adalah benar-benar musyrik. (Al Anam : 121) Bisikan syaitan kepada mereka adalah ucapan yang mereka lontarkan kepada kaum muslimin Kalian makan apa yang kalian bunuh (maksudnya sembelihan) dan tidak makan apa yang dibunuh Allah (maksudnya bangkai). Jadi para pembuat hukum dan undang-undang itu adalah wali-wali syaitan, dan sedangkan undang-undang dan hukumnya itu adalah syariat syaitan. Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithiy berkata : Sesungguhnya orang-orang yang mengikuti qawanin wadliyyah (undang-undang) yang disyariatkan oleh syaitan lewat lisan wali-walinya Jadi, Demokrasi adalah ajaran syaitan, sedangkan para penganutnya adalah para penyembah syaitan demokrasi dengan sisi mana saja dari kedua sisi (praktek) itu merupakan kekafiran terhadap Allah Yang Maha Agung, dan syirik terhadap Rabb langit dan bumi, serta bertentangan dengan millatuttauhid dan dien para Rasul, berdasarkan alasan-alasan yang banyak, di antaranya:

1. Sesungguhnya

demokrasi adalah tasyrii'ul jamaahiir (penyandaran wewenang hukum kepada rakyat/atau mayoritasnya) atau hukum thaghut, dan bukan hukum Allah subhaanahu wa ta'aala, sedangkan Allah subhaanahu wa ta'aala memerintahkan Nabi-Nya untuk menghukumi sesuai dengan apa yang telah Dia turunkan kepadanya, serta Dia melarangnya dari mengikuti keinginan umat, atau mayoritas orang atau rakyat, Dia menghati-hatikan Nabi-Nya agar jangan sampai mereka memalingkan dia dari apa yang telah Allah turunkan kepadanya, Allah subhaanahu wa ta'aala berfirman: Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. (AlMaaidah:49). Ini dalam ajaran tauhid dan dinul Islam. Adapun dalam agama demokrasi ada ajaran syirik, maka para penyembahnya berkata: Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diinginkan rakyat, dan ikutilah keinginan mereka. Dan berhati-hatilah kamu jangan sampai kamu dipalingkan dari apa yang mereka inginkan dan mereka tetapkan hukumnya." Begitulah mereka katakan dan inilah yang diajarkan dan ditetapkan oleh agama demokrasi. Ini merupakan kekafiran yang jelas dan kemusyrikan yang terang bila mereka menerapkannya, namun demikian sesungguhnya kenyataan mereka lebih busuk dari itu, sebab bila seseorang mau mengatakan tentang keadaan praktek mereka tentu dia pasti mengatakan: Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diinginkan oleh para thaghut dan kroni-

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


25 -

2. Karena

kroninya, dan janganlah satu hukum dan satu undang-undang dibuat kecuali setelah ada pengesahan dan persetujuannya!!! Sungguh ini adalah kesesatan yang terang lagi nyata, bahkan penyekutuan (Khalik) dengan hamba secara aniaya. sesungguhnya itu adalah hukum rakyat atau thaghut yang sesuai dengan undang-undang dasar, bukan yang sesuai dengan syari'at Allah subhaanahu wa ta'aala. Begitulah yang ditegaskan oleh undang-undang dasar dan buku-buku panduan mereka yang mereka sakralkan dan mereka sucikan lebih dari pensucian mereka terhadap Al Qur'an dengan bukti bahwa hukum undang-undang itu lebih didahulukan terhadap hukum dan syari'at Al Qur'an lagi mendiktenya. Rakyat dalam agama demokrasi, hukum dan perundang-undangan yang mereka buat tidak bisa diterima bila memang mereka memutuskan kecuali bila keputusan itu berdasarkan nash-nash undang-undang dasar dan sesuai dengan materi-materinya, karena undang-undang itu adalah bapak segala peraturan dan perundangundangan serta kitab hukumnya yang mereka jungjung tinggi.

Dalam agama demokrasi ini ayat-ayat Al Qur'an atau hadits-hadits Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak begitu dianggap, dan tidak mungkin suatu hukum atau undang-undang ditetapkan sesuai dengan ayat atau hadits kecuali bila hal itu sejalan dengan nash-nash undang-undang dasar yang mereka jungjung tinggi silahkan engkau tanyakan hal itu kepada para pakar hukum dan perundang-undangan bila engkau masih ragu tentangnya!! Sedangkan Allah subhaanahu wa ta'aala berfirman: "Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (An-Nisaa' : 59) Padahal agama demokrasi mengatakan: Bila kalian berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikan kepada rakyat, majlis perwakilannya, dan rajanya sesuai dengan undang-undang dasar dan aturan yang berlaku di bumi ini." Dengan risalah ini saya bermaksud untuk menggugah manusia agar mengetahui bahwa Demokrasi (dan sistem, falsafah, ajaran, ideologi selain Islam) itu adalah agama kafir lagi syirik, sedang para pengusungnya serta para penganutnya adalah kaum musyrikin walau mereka menyatakan bahwa dirinya muslim, shalat, zakat, shaum, haji dan yang lainnya.

Bagaimana jika ada yang berkata bahwa para penguasa, baik eksekutif, legeslatif dan yudikatif beragama Islam?
Dari kajian tadi sudah dibahas bahwa mereka kafir murtad bahkan mereka itu arbab, andad dan thaghut; walaupun mereka bersyahadah, shalat, zakat, shaum, haji dan mengaku muslim. Kita diperintahkan untuk kafir kepada Thaghut, lalu bagaimana kita mau kafir kepada thaghut sedang kita masih menganggap thaghut sebagai muslim? Sedang pembuat aturan/hukum/undang-undang disebut oleh Allah Taala sebagai syuraka (sesembahan) selain-Nya. Apakah mereka mempunyai syuraka (sembahan-sembahan) selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka aturan yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih. (Asy Syura : 21)

Bagaimana dengan status hukum orang/kelompok yang mengklaim menolak thaghut, tetapi mereka memperjuangkan syariat Islam dengan masuk ke parlemen thaghut atas niat Maslahat Dakwah?
Tadi sudah dijelaskan bahwa demokrasi adalah agama baru selain Islam. Dan ketahuilah bahwa maksiat tidak diperbolehkan dan tidak berubah menjadi sebuah ketetapan dengan sebab niat sebagaimana ucapan Abu Hamid Al Ghozaliy rahimahullah. Al Ghazaliy berkata : bagian pertama : maksiat dan dia itu tidak bisa berubah dari posisinya dengan sebab niat, maka tidak selayaknya orang bodoh memahami hal itu dari keumuman sabda Nabi saw "sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya" terus dia menduga bahwa maksiat bisa berubah menjadi ketaatan dengan sebab niat, seperti orang yang membicarakan aib seseorang dalam rangka menyenangkan hati orang lain, atau memberi makan orang faqir dari harta orang lain, atau membangun sekolahan atau masjid atau pos penjagaan dengan harta yang haram sedang maksudnya adalah baik. maka ini semua adalah kebodohan; karena niat itu tidak memiliki pengaruh dalam mengeluarkannya dari statusnya sebagai kedhaliman, aniaya dan maksiat. Bahkan maksud dia dengan keburukan yang menyelisihi tuntunan syariat itu adalah keburukan lain, bila ia mengetahuinya maka dia adalah orang yang membangkang terhadap syariat dan bila ia tidak mengetahuinya maka ia maksiat dengan sebab kebodohannya karena mencari ilmu itu adalah fardlu atas setiap muslim sedangkan kebaikan itu bisa diketahui sebagai kebaikan hanyalah dengan syariat, maka sebagaimana keburukan itu bisa menjadi kebaikan? Mana mungkin, justeru yang melariskan hal itu terhadap hati adalah syahwat yang tersembuyi dan hawa nafsu yang terpendam sampai ia berkata maksudnya adalah bahwa orang yang memaksudkan kebaikan dengan maksiat karena kebodohan adalah tidak diudzdur kecuali bila ia baru masuk islam dan belum mendapat kesempatan untuk belajar.

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


26 -

Dan Allah ta'ala telah berfirman : "Maka bertanyalah kepada ahli Al Qur'an (ulama') bila kalian tidak mengetahui" sampai ia berkata jadi sabdanya saw : "sesungguhnya amal itu tergantung niatnya" adalah khusus bagi ketaatan dan hal-hal yang mubah. Dari ketiga macam amalan itu (kedhaliman, aniaya dan kemaksiatan) tidak berlaku (apalagi syirik & kekafiran penj), karena ketaatan bisa menjadi maksiat dengan sebab niat, dan hal-hal yang mubah bisa menjadi maksiat dan ketaatan dengan sebab niat. Adapun maksiat sama sekali tidak bisa menjadi ketaatan dengan sebab niat, ya niat memiliki pengaruh didalamnya yaitu bila maksiat itu disertai maksud-maksud yang buruk maka dosanya berlipat ganda dan siksanya semakin besar. Wahai saudaraku yang muslim, sesungguhnya para anggota parlemen para pemegang wewenang dalam pembuatan hukum bagi manusia adalah mereka itu pada hakikatnya adalah tuhan-tuhan (arbab) yang diibadati selain Allah. Sedangkan orang-orang yang memilih mereka dari kalangan manusia adalah sebenarnya mengangkat mereka sebagai arbab selain Allah, mereka (pemilih) telah menjadi musyrik. Dan kedua pihak ini adalah kafir dengan sebab ini. Allah Taala berfirman: Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam (An Nisa 140) Sehingga tidak boleh kita masuk ke dalam majelis-majelis ini dan tidak boleh pula ikut serta dalam memilih anggota-anggotanya, apalagi duduk di parlemen mereka. Karena jika kita berbuat demikian maka kita serupa dengan mereka; yaitu bergelar musyrikin, kafirin. Dan katakanlah kepada kelompok sesat yang memperjuangkan syariat Islam lewat jalur parlemen thaghut itu; Dikala hukum Allah hendak ditetapkan sebagai hukum Negara yang beragama demokrasi, maka hukum Allah itu harus disodorkan terlebih dahulu kepada para arbaab (tuhan-tuhan buatan) yang duduk di atas kursi yang empuk itu, bila mayoritas mereka menyetujuinya, baru bisa diterapkan, dan bila tidak maka tidak bisa diberlakukan. Subhaanallah, siapa yang lebih tinggi, Allah atau mereka, sehingga hukum Allah memerlukan persetujuan dan pengesahan mereka terlebih dahulu? Orang-orang yang katanya ingin memperjuangkan Islam lewat parlemen mereka adalah arbaab juga, apakah Islam bisa tegak lewat jalur syirik, ingatlah ketika hukum-hukum Islam digolkan lewat lembaga syirik itu, maka yang disahkan itu bukanlah hukum Allah tapi itu adalah hukum parlemen. Kita bertanya kepada orang-orang yang sesat lagi menyesatkan itu; Bagaimana bila para thaghut itu menawarkan kepada kalian hukum Islam namun dengan syarat kalian harus berzina terlebih dahulu, apakah kalian mau menerimanya? Kalau kalian jawab tidak, maka kenapa kalian menerima bergabung dengan kemusyrikan mereka, padahal zina itu lebih ringan dari syirik? Binasalah kalian, kecuali bila Allah memberi hidayah kepada kalian sehingga kalian masuk Islam kembali. Telah jelas dan terang serta meyakinkan bahwa ikut serta di dalam parlemen-parlemen ini dengan pencalonan diri atau dengan pemberian suara pilih adalah termasuk kufur akbar, dan tadi telah dikatakan bahwa maksiat itu tidak menjadi boleh dengan sebab niat, akan tetapi boleh dengan dalil khusus dari syariat, sedangkan kekafiran itu adalah lebih dahsyat dan lebih besar daripada maksiat, sehingga tidak bisa dibolehkan dengan alasan niat, dlarurat, dan maslahat, maka pernyataan kebolehan dengan dalil maslahat meskipun terpenuhi syarat-syarat syarinya maka ia adalah sekedar Ijtihad, sedangkan tidak ada Ijtihad di saat ada nash. Artinya ijtihadnya tidak sah dan haram dilaksanakan.

Bagaimana jika hukum Islam tegak dengan cara mereka yaitu dengan berjuang lewat parlemen mereka?
Tidak mungkin akan tegak! Bila mayoritas rakyat menghendaki penerapan hukum syari'at lewat jalur agama demokrasi ini dan lewat lembaga legislatif yang syirik ini, maka itu tidak bisa terealisasi ini bila thaghut mempersilahkannya kecuali lewat jalur undang-undang dasar mereka serta dari arah pasalpasal dan penegasan undang-undang tersebut, karena itu adalah kitab suci agama demokrasi. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa itu adalah jalan kekafiran, karena kalau seandainya itu berhasil ini hanya mengandai-andai saja maka itu tidak akan menjadi hukum Allah, akan tetapi itu adalah hukum undang-undang, hukum rakyat, dan hukum mayoritas. Mereka partai-partai Islam (padahal Islam berlepas diri dari mereka); mengambil dari Al Quran hukum tentang potong tangan, dengan kata lain proposal diambil dari Al Quran (dari Allah) kemudian disodorkan kepada tuhan-tuhan yang ada di gedung MPR/DPR disodorkan kepada Arbab-Arbab pembuat hukum itu, setelah itu akan terjadi tarik ulur, jadi hukum Allah disodorkan kepada mereka, karena yang namanya proposal itu muncul berawal dari bawah lalu disodorkan ke atas, dan ketika berada di atas (MPR/DPR) dibahas agar sampai pada kata setuju atau tidak. Jika tidak setuju, maka jelaslah kekafirannya, dan ketika setuju juga jelas kekafirannya, karena hal itu menunjukan bahwa Allah itu tidak diakui sebagai Rabb pengatur, akan tetapi merekalah yang berhak mengatur sehingga hukum Allah membutuhkan persetujuan mereka!!! Dan ketika digulirkan tidak mungkin nantinya sesuai dengan firman Allah surat ini atau ayat sekian akan tetapi jika yang mengeluarkannya Pemerintah, maka yang keluar adalah perpu no sekian, perda no sekian, jika MPR yang menggulirkannya maka yang yang keluar adalah TAP MPR No sekian, begitulah keadaannya!!

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


27 -

Jadi semua itu adalah hukum Arbab. Arbabnya banyak ada Arbab dari berbagai partai politik dari setiap daerah dan lain-lain, mereka itu adalah Arbab (tuhan-tuhan pembuat hukum). Dan tidak akan menjadi hukum Allah kecuali saat adanya berserah diri dan menerima sepenuhnya akan firman Allah, dada lapang untuk menerima syari'at-Nya dan untuk menghamba kepada-Nya subhaanahu wa ta'aala. Adapun saat menerima penuh ajaran demokrasi, syari'at undang-undang, dan hukum rakyat serta hukum mayoritas, maka itu adalah hukum thaghut meskipun pada saat yang bersamaan sesuai dengan hukum Allah dalam beberapa bentuknya, karena Allah subhaanahu wa ta'aala telah berfirman: Keputusan itu hanyalah milik Allah,. (Yusuf: 40) Allah tidak mengatakan: Keputusan itu hanyalah milik manusia", dan Allah subhaanahu wa ta'aala juga berfirman: Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah (AlMaaidah : 49). Allah tidak mengatakan: menurut seperti apa yang Allah turunkan, atau dan hendaklah putuskan di antara mereka menurut apa yang ditegaskan oleh hukum dan undang-undang buatan," justeru itu adalah ucapan kaum musyrikin dari kalangan budak-budak demokrasi dan para penyembah undang-undang bumi. Dan kekafiran mereka itu adalah ketika hukum Allah hendak ditetapkan sebagai hukum Negara yang beragama demokrasi, maka hukum Allah itu harus disodorkan terlebih dahulu kepada para arbaab (tuhan-tuhan buatan) yang duduk di atas kursi yang empuk itu, bila mayoritas mereka menyetujuinya, baru bisa diterapkan, dan bila tidak maka tidak bisa diberlakukan. Subhaanallah, siapa yang lebih tinggi, Allah atau mereka, sehingga hukum Allah memerlukan persetujuan dan pengesahan mereka terlebih dahulu? Dan ini perlu direnungkan dengan mendalam.

Siapakah yang disebut orang musyrik itu? Kapan seseorang dikatakan musyrik? Apakah ada kaitan antara penamaan musyrik dengan tegaknya hujjah? Apakah pelaku syirik akbar yang jahil bisa dikatakan musyrik?
Mari kita mengkajinya dengan berlandaskan ulama dakwah Tauhid. Syirik adalah lawan Tauhid, maka tidak ada yang berbuat syirik akbar dengan sengaja tanpa laki atau perempuan, baik mengaku Islam atau Kitabullah (Al-Quran) : Al-Quran, As-Sunnah serta ijma dan pernyataan para Tauhid bila syirik terdapat pada diri seseorang. Orang ada unsur paksaan maka dia itu musyrik, baik lakitidak, berdasarkan dalil-dalil berikut ini. Dalil dari

Dan bila ada satu orang dari kalangan orang-orang musyrik meminta perlindungan kepadamu, maka berilah dia perlindungan sampai dia mendengar firman Allah. (At Taubah : 6) Dalam ayat ini Allah menamakan pelaku syirik sebagai orang musyrik, meskipun dia belum mendengar firman Allah SWT, maka apa gerangan dengan pelaku syirik yang telah mendengar firman Allah SWT, dia membaca Al Quran dan terjemahannya. Bahkan mungkin juga menghafalnya?

Bukankah ayat itu berkenaan dengan para penyembah berhala, tapi kenapa anda terapkan kepada orang yang mengaku Islam hanya karena dia melakukan syirik akbar, sedangkan dia masih shalat, zakat, shaum dan melakukan ibadah lainnya?
Silakan rujuk kitab Kasyfusy Syubuhat karya Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah supaya lebih jelas. Tidak selayaknya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampunan bagi kaum musyrikin, meskipun mereka itu kerabat dekat. (At Taubah : 113). Ayat ini berkenaan dengan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam saat meminta izin kepada Allah untuk memintakan ampunan bagi ibunya yang meninggal sebelum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam diutus, dan meninggal di atas ajaran kaumnya yang syirik. Allah SWT menggolongkan ibunda beliau dalam jajaran kaum musyrikin, padahal saat itu dalam kebodohan, belum ada dakwah dan hujjah risaliyyah (saat itu terjadi kekosongan dakwah). Apa gerangan dengan pelaku syirik akbar sekarang yang mengaku Islam, padahal hujjah ada di sekeliling mereka, dan Al Quran mereka baca, bahkan mereka hafal?

Mengapa orang yang mengaku Islam dan rajin beribadah kepada Allah, tapi dia berbuat syirik akbar karena kebodohannya dikatakan musyrik? Apakah
DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI
28 -

para ulama atau rakyat yang setuju (karena kejahilannya) dengan syirik demokrasi juga dikatakan musyrik?
Ya. Mereka musyrikin. Tadi telah dijelaskan. Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman : Dan beribadahlah kalian kepada Allah dan jangan menyekutukan sesuatupun dengan-Nya. (An Nisaa : 36). Saya bertanya : Apakah orang yang meminta kepada yang sudah mati itu disebut menyekutukan Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa atau tidak? Apakah yang ikut dalam sistem demokrasi itu menyekutukan Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa atau tidak? Dan mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah seraya memurnikan seluruh dien (ketundukan) hanya kepada-Nya, lagi mereka itu hanif. (Al Bayyinah : 5). Saya bertanya : Apakah orang yang menyandarkan hak hukum kepada rakyat atau wakilwakilnya itu telah memurnikan dien (ketundukan) seluruhnya kepada Allah atau sebaliknya? Padahal hukum adalah dien: .Hak hukum (putusan) hanyalah milik Allah. Dia memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Itulah dien yang lurus. (Yusuf : 40) Dia (Yusuf) tidak mungkin membawa saudaranya pada dien (UU/Hukum) raja itu. (Yusuf : 76) Orang yang di samping beribadah kepada Allah juga sesungguhnya dia itu tidak dianggap beribadah kepada Allah SWT. beribadah kepada yang lainnya,

Katakanlah : Wahai orang-orang kafir, aku tidak beribadah kepada tuhan-tuhan yang kalian ibadati. (Al Kaafiruun : 1-2) Dalam surat ini Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam diperintahkan untuk menyatakan : Saya tidak akan beribadah kepada tuhan-tuhan yang kalian ibadati, wahai orang-orang kafir Quraisy ! , padahal di antara tuhan yang mereka ibadati itu adalah Allah. Apakah ini berarti Rasulullah tidak akan beribadah kepada Allah juga? Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa peribadatan mereka kepada Allah itu tidak dianggap, karena mereka juga beribadah kepada yang lain-Nya. Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda di dalam hadits shahih : Hak atas hambahamba-Nya adalah mereka beribadah kepada-Nya dan mereka tidak menyekutukan sesuatupun dengan-Nya. Jadi penafian syirik adalah syarat dalam beribadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aalaa . Maka dari itu Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa : Islam adalah mentauhidkan Allah dan beribadah kepada-Nya saja tidak ada sekutu bagi-Nya. (Thariq Al Hijratain, Thabaqah yang ke-17). Mereka (orang-orang Nashrani) telah menjadikan para ulama dan para rahib (ahli ibadah) mereka sebagai arbaab (tuhan-tuhan) selain Allah dan juga Al Masih Ibnu Maryam, padahal mereka tidak diperintahkan, kecuali untuk ibadah kepada Ilah yang satu, tidak ada Ilah (yang berhak diibadati) kecuali Dia, Maha Suci Dia dari apa yang mereka sekutukan. (At Taubah : 31) Dalam ayat ini Allah memvonis orang-orang Nashrani sebagai orang-orang musyrik, padahal mereka tidak mengetahui bahwa sikap mereka mengikuti ulama dan rahib dalam aturan yang bertentangan dengan aturan Allah itu adalah bentuk ibadah kepada ulama dan rahib itu, sebagaimana yang Rasulullah jelaskan dalam hadits hasan dari Adiy Ibnu Hatim radliyallahu 'anhu. Maka begitu juga para pejabat dan aparat keamanan di negeri demokrasi, yang mana mereka itu dengan sigap berkomitmen dengan UU yang digulirkan oleh thaghut-thaghut mereka. Orang-orang yang kafir dari kalangan Ahlul Kitab dan kaum musyrikin (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (dien-nya) sehingga datang kepada mereka bayyinah, yaitu utusan dari Allah yang membaca lembaran-lembaran yang disucikan. (Al Bayyinah : 1-2) Perhatikanlah, dikarenakan mereka berbuat syirik akbar, maka mereka dinamakan kaum musyrikin, meskipun rasul belum datang kepada mereka. Apa gerangan dengan pelaku syirik masa sekarang, Rasul telah datang, Al Quran ada di rumah mereka, bahkan sebagian mengaku sebagai ulama dan ahli Islam ? Tidak ragu lagi jika mereka berbuat syirik akbar- mereka itu adalah kaum musyrikin, baik dia ustadz, kyai, ulama atau cendekiawan atau orang umum, karena syirik dan status musyrik tidak mengenal status atau jabatan. Al Imam Suud Ibnu Abdil Aziz Ibnu Muhammad Ibnu Suud rahimahullah berkata : Siapa yang memalingkan satu macam dari (ibadah) itu kepada selain Allah, maka dia itu musyrik, baik dia itu ahli ibadah atau orang fasiq, dan sama saja (apakah) tujuannya baik atau buruk. (Ad Durar As Saniyyah 9/270).

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


29 -

Syaikh Muhammad rahimahullah berkata kepada hakim agung Riyadh yang bernama Sulaiman Ibnu Suhaim : Tapi kamu adalah laki-laki yang bodoh lagi musyrik. Lihat Risalah kepadanya dalam Tarikh Nejd. Sebenarnya masih banyak ayat-ayat yang memvonis pelaku syirik akbar sebagai orang musyrik, padahal hujjah risaliyyah belum tegak. Saat membaca ayat-ayat tentang kaum musyrikin kebanyakan orang hanya menafsirkannya dengan orang-orang musyrik Arab dan jarang ada orang yang mau menafsirkan seraya menghubungkannya dengan realita masyarakat di sekelilingnya, maka dari itu banyak yang jatuh kepada kemusyrikan tanpa disadari. Umar Ibnul Khaththab radliyallaahu'anhu berkata : Orang-orang itu telah lalu, dan tidak dimaksud oleh dalil itu kecuali kalian. Beliau berkata lagi : Ikatan-ikatan Islam ini lepas satu demi satu bila tumbuh di dalam Islam ini orang yang tidak mengenal jahiliyyah.

Apakah Dalil-dalil dari as sunnah yang menguatkan penjelasan tadi?


Dahulu ada seorang laki-laki datang bertanya kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam tentang ayahnya yang meninggal pada zaman fatrah (zaman ketika tidak ada dakwah) di atas ajaran syirik, maka Rasulullah menjawab : Ayahmu di neraka, mendengar jawaban itu si laki-laki mukanya merah, dan ketika dia berpaling, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam memanggilnya dan mengatakan kepadanya : Ayahku dan ayahmu di neraka. (HR. Muslim). Ayah Rasulullah ~Abdullah~ meninggal pada zaman jahiliyyah, saat tidak ada dakwah dan tidak ada hujjah risaliyyah, meninggal di atas ajaran syirik kaumnya. Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bukan hanya menetapkan status nama di dunia, tapi juga langsung hukum pasti bagi ayahnya di akhirat kelak, berupa api neraka. Dari hadits ini Imam Nawawiy rahimahullah menyatakan bahwa orang yang berbuat syirik akbar, baik zaman fatrah atau bukan, baik ada dakwah atau tidak, dia itu adalah calon penghuni neraka. Sebagian ulama yang lain sepakat dengan penamaan status musyrik di dunia, namun masalah akhirat adalah lain. Apa gerangan dengan pelaku syirik akbar masa sekarang, karena Rasulullah sudah diutus, dakwah ada, hujjah beraneka ragam bentuknya, dan Al Quran dilantunkan di masjid-masjid, sungguh mereka itu adalah orang-orang musyrik bukan kaum muslimin. Di antara mereka ada yang meminta ke kuburan keramat, ada yang membuat tumbal, sesajen, dan ada pula yang menyandarkan wewenang hukum atau peraturan kepada selain Allah Subhaanahu wa Ta'aalaa. Mereka adalah kaum musyrikin tanpa diragukan lagi. Ada rombongan dari Banu Al Muntafiq, mereka bertanya tentang ayah mereka Al Muntafiq yang meninggal pada zaman fatrah. Rasulullah menjelaskan bahwa dia itu di neraka, kemudian beliau menyatakan : Demi Allah, kamu tidak melewati satu kuburan pun dari orang Amiriy atau Quraisy dari kalangan orang musyrik, maka katakan : Saya diutus kepada kalian oleh Muhammad untuk memberi kabar bahwa kalian digusur di dalam api neraka. (Shahih, riwayat Al Imam Ahmad). Dalam hadits ini orang yang meninggal di atas syirik dari kalangan Ahlul Fatrah disebut musyrik. Apa halnya dengan zaman bukan fatrah seperti sekarang ini?

Adakah dalil dari ijma para ulama tentang penjelasan tersebut?


Para ulama ijma bahwa orang yang berbuat syirik akbar itu dinamakan musyrik. Hal yang menjadi perdebatan di antara mereka hanyalah masalah adzab di akhirat bagi yang belum tegak hujjah risaliyyah atasnya. Adapun masalah nama di dunia mereka sepakat bahwa ia adalah musyrik. Sehingga mereka sepakat bahwa status anak orang musyrik di dunia adalah musyrik, namun perbedaan di antara mereka hanya dalam masalah status akhirat, dia ke surga atau ke neraka. Di dunia tentang nama sepakat, sehingga anak-anak orang musyrik dijadikan budak, sedangkan orang muslim itu tidak bisa dijadikan budak di awalnya. Syaikh Hamd Ibnu Atiq rahimahullah berkata: Para ulama ijma bahwa orang yang memalingkan satu macam dari 2 doa (doa ibadah dan doa permintaan) kepada selain Allah maka dia itu telah musyrik, meskipun mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah, shalat, dan mengaku muslim. (Ibthal At Tandid). Bila banyak orang yang berbuat syirik akbar namun dia masih rajin shalat, dsb, padahal sebenarnya dia tahu bahwa orang musyrik itu amalannya tak berarti, kekal di neraka bila mati di atasnya, serta tidak diampuni. Itu terjadi tak lain karena dia tidak tahu bahwa yang dia lakukan itu perbuatan syirik atau tidak tahu bahwa dirinya musyrik, namun demikian para ulama sepakat bahwa orang jahil itu adalah musyrik. Para ulama juga ijma bahwa hal paling pertama yang diserukan semua Rasul adalah ajakan beribadah kepada Allah dan penanggalan syirik yang mereka lakukan. Para rasul itu mengkhithabi kaumnya atas dasar mereka itu adalah orang-orang musyrik. Umat para Rasul itu adalah musyrikin saat sebelum menerima dakwahnya. Azar ayah Ibrahim adalah musyrik sebelum Ibrahim diutus, Abdul Muththalib juga berstatus musyrik. Bahkan para ulama menjelaskan bahwa nama musyrik itu ada sebelum adanya Risalah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : Nama musyrik itu sudah ada sebelum risalah, karena dia

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


30 -

(pelakunya) menyekutukan Tuhannya, menjadikan tandingan bagi-Nya dan mengangkat tuhan-tuhan lain bersama-Nya. (Majmu Al Fatawa : 20/38) Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata saat menjelaskan para pelaku syirik yang mengaku muslim : Maka macam orang-orang musyrik itu dan yang semisal dengan mereka dari kalangan yang beribadah kepada para wali dan orang-orang shalih, kami vonis mereka itu sebagai orangorang musyrik, dan kami memandang kekafiran mereka bila hujjah risaliyyah telah tegak atas mereka. (Ad Durar 1/322 cet. lama) Pelaku syirik akbar bila belum tegak hujjah dinamakan musyrik, sedangkan bila sudah tegak hujjah atasnya maka dinamakan musyrik kafir. Bila kita tidak mengenal (istilah) ini, maka bisa jatuh ke dalam kekeliruan yang luar biasa fatalnya, seperti yang dialami kalangan salafiy mazuum sekarang ini. Syaikh Hamd Ibnu Nashir Alu Muammar dan putra-putra Syaikh Muhamamd Ibnu Abdil Wahhab berkata tentang para pelaku syirik yang mengaku Islam yang belum tersentuh dakwah tauhid : Bila dia melakukan kemusyrikan dan kekafiran karena kebodohan dan tidak adanya orang yang mengingatkannya, maka kami tidak memvonis dia kafir hingga hujjah risaliyyah ditegakkan atasnya, namun kami tidak menghukumi dia sebagai orang muslim. (Ad Durar). Dia bukan orang kafir karena belum tegak hujjah risaliyyah, dan dia bukan muslim karena melakukan syirik akbar, tapi dia musyrik. Orang yang tidak memahami istilah ini dari kalangan mazuumin di negeri ini, maka mereka ngawur dalam memahami maksud perkataan para ulama dakwah Tauhid. Mereka kira bahwa jika bukan kafir artinya dia itu muslim. Ini salah besar yang bersumber dari ketidakfahaman akan hakikat Al Islam. Saat mereka mendapatkan pernyataan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah bahwa, Bagaimana kami mengkafirkan orang jahil yang menyembah Qubbah Kawwaz mereka langsung meloncat girang seraya mengatakan bahwa pelaku syirik akbar yang jahil itu tidak kafir, tapi muslim sebagaimana perkataan Syaikh tadi. Alangkah dungunya mereka itu, mereka tak ubahnya bagaikan lalat yang tidak mau hinggap kecuali pada benda kotor, sedang yang bersih dijauhinya. Begitu juga mereka hanya mencari ucapanucapan yang samar dan meninggalkan ucapan-ucapannya yang jelas yang berlandaskan Al Kitab dan As Sunnah serta Ijma. Jarimah mereka itu tidak cukup disitu, tapi mereka menambahnya. Mereka mengambil perkataan Syaikh Muhammad tentang Ahlu Fatrah atau yang belum tersentuh dakwah yang mereka fahami secara keliru itu, terus mereka menerapkannya kepada orang-orang musyrik sekarang di saat hujjah bertebaran dimana-mana bahkan orang musyrik itu sendiri memiliki andil dalam penyebaran hujjah itu. Bahkan bukan sekedar orang musyrik yang mereka bela, tapi tak kepalang tanggung para thaghut pun ikut mendapatkan pembelaan mereka yang penuh ikhlash tanpa diminta. Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah berkata : Orang yang berbuat syirik itu musyrik, baik mau atau tidak (dengan nama itu). (Al Intishar). Jadi jelaslah sudah, bahwa orang-orang yang menyetujui sistem demokrasi (sebagai salah satu syirik akbar) atau ikut terlibat didalamnya, karena kebodohannya; mereka dikatakan sebagai Musyrikin. Demikianlah sekilas pembahasan tentang penamaan musyrik bagi pelaku syirik akbar.

Siapakah saja ansharut (pembela) thaghut itu? Hal ini penting diketahui karena mereka adalah pelaku syirik akbar dan berperan aktif dalam menjaga kekafiran ?
Setiap orang yang membela thaghut dengan ucapan atau dengan perbuatan maka ia adalah termasuk anshar para thaghut tersebut, karena perang itu terjadi dengan ucapan atau perbuatan sebagaimana yang dikatakan Ibnu Taymiyah rahimahullah dalam pembicaraannya tentang memerangi orang-orang kafir asli; [Dan adapun orang yang tidak tergolong orang orang yang biasa bertempur dan berperang seperti para wanita, anak-anak, pendeta, kakek tua renta, orang buta, manula dan yang semisal mereka maka tidak boleh dibunuh menurut jumhur ulam kecuali bila mereka ikut perang dengan ucapannya dan perbuatannya] (Majmu al Fatawa 28/354) Dan berkata juga; Dan wanita mereka tidak dibunuh kecuali mereka memerangi dengan ucapan atau perbuatan, dengan kesepakatan ulama (Majmu Al Fatawa 28/414). Dan berkata juga; Penyerangan itu ada dua macam : penyerangan dengan tangan dan penyerangan dengan lisan sampai ucapannya dan begitu juga dengan perusakan bisa jadi dengan tangan dan bisa jadi dengan lisan sedangkan apa yang dirusakan oleh lisan dari agama-agama adalah berlipat lipat apa yang dirusakkan dengan tangan (Ash Shorimul Maslul, hal 385). Sehingga atas dasar ini maka ansharut thaghut adalah:

1. Orang-orang yang membela-bela dengan ucapan dan tulisan, dan diantara para pemuka mereka adalah
sebagian ulama suu (jahat) dan orang-orang yang sok berilmu yang memberikan Syariyyah Islamiyah (keabsahan Islam) terhadap penguasa kafir dan mereka membentengi para penguasa itu dari tuduhan kafir, mereka menganggap bodoh kaum muslimin mujahidin yang memberontak para penguasa itu, mereka menuduhnya sebagai orang jahat dan sesat serta mereka menyemangati para penguasa untuk menindak mereka. Sebagaimana juga yang masuk dalam jajaran orang yang membela dengan ucapan adalah sebagian penulis, wartawan dan pers yang melakukan perbuatan serupa dengan ini.

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


31 -

2. Orang-orang yang membela-bela dengan perbuatannya. Dan sebagai tameng terdepan adalah pasukan
para penguasa Kafir baik itu dari pasukan tentara atau polisi, pasukan penopang (dibelakang) sama dengan yang terjun langsung dimedan. Mereka itu sesuai ketentuan UUD dan undang undang yang berlaku dinegeri ini dipersiapkan untuk tugas-tugas berikut : Menjaga keutuhan negara yang berarti lancarnya keberlangsungan penerapan UUD dan undang undang kafir buatan serta memberikan sangsi setiap orang yang menentang hal itu atau berusaha merubahnya. Menjaga keabsahan UUD : dan ia berarti melindungi penguasa kafir itu sendiri karena dia menurut mereka dianggap sebagai pemimpin yang syah sesuai UUD karena pengangkatannya telah berlangsung menurut proses yang dijelaskan UUD. Mengokohkan kekuasaan UUD: dengan melaksanakan apa yang digariskan UUD. Dan masuk dalam hal itu pelaksanaan putusan-putusan yang muncul di Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi Thaghut.

Apakah status hukum bagi mereka (ansharut thaghut) itu juga kafir, padahal tadi disinggung bahwa orang-orang yang mengikuti thaghut karena kebodohan; mereka adalah musyrikin?
Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa pelaku syirik akbar bila belum tegak hujjah (karena kebodohan) dinamakan musyrik, sedangkan bila sudah tegak hujjah atasnya maka dinamakan musyrik kafir. Sedang semua orang musyrik yang mati dalam kemusyrikan; haram masuk surga dan mereka pasti kekal di neraka, baik ia musyrik karena kebodohannya, maupun karena pembangkangannya. Untuk mengkaji permasalahan ini, silakan kaji buku Melacak Jejak Thaghut karya Syaikh Abdul Qadir bin AbdulAziz. Dalam kitab tersebut dijelaskan secara mendalam bahwa status hukum bagi ansharut thaghut yang terdiri para ulama suu, para jurnalis, pers, tentara dan lain-lain, mereka kafir secara tayin (perorangannya) pada hukum dzohirnya. Dalil dari al Quran Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah dan orang-orang kafir berperang di jalan thaghut, maka perangilah wali-wali syaitan itu (An Nisa : 76) Dalam ayat ini secara jelas Allah menetapkan vonis bahwa orang yang berperang di jalan Allah maka dia adalah orang yang beriman, sedangkan orang yang berperang di jalan thaghut adalah orang kafir. Orang yang berperang, baik itu berperang dengan lisan, tulisan atau dengan senjata dan fisiknya. Jika dia berperang atau melakukan pembelaannya di jalan Allah, maka dikatakan sebagai mukmin, dan orang yang berperang atau melakukan pembelaan di jalan thaghut, maka itu adalah orang kafir. Allah Subhanahu Wa Ta'ala memvonis secara sharih (jelas dan gamblang) bahwa orang yang berjuang dalam rangka mengokohkan sistem thaghut atau membela thaghut adalah orang kafir, baik itu dengan lisan/tulisan seperti para ulama suu atau orang-orang media ataupun orang yang terjun dengan fisik dan senjata seperti aparat tentara dan polisi atau orang-orang intelejen atau yang sejenisnya, Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengatakan tentang orang ini : maka perangilah wali-wali syaitan itu. Dari ayat ini diambil kaidah baku, bahwa hukum asal pada anshar thaghut adalah hukumnya kafir. Atau hukum asal pada orang yang menampakkan sikap pembelaan terhadap thaghut adalah adalah hukum kafir. Atau hukum asal dari barisan anshar thaghut adalah hukum kafir. FirmanNya : Barangsiapa yang tawalliy kepada mereka maka ia termasuk golongan mereka (Al Maidah : 51) Para ulama menjelaskan bahwa barang siapa membela mereka atas kaum muslimin maka dia termasuk golongan mereka. Anshar thaghut yang membela-bela dengan lisan/tulisan atau dengan fisik dan senjata ini, baik itu dalam rangka untuk memerangi kaum muslimin mujahidin atau tawalliy kepada hukumnya itu sendiri berupa sikap setuju dan mengikutinya. Orang yang tawalliy kepada mereka Allah vonis bahwa dia termasuk golongan mereka, yaitu kafir sama halnya dengan mereka. Barangsiapa tawalliy kepada orang kafir apa saja keyakinannya, maka dia sama kafirnya dengan orang kafir tersebut. FirmanNya taala; Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah thaghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran), mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya (Al Baqarah : 257) Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengatakan bahwa orang yang walinya atau pemimpinnya adalah thaghut, maka dia adalah orang kafir, sedangkan bagi anshar thaghut pemimpin mereka yang mereka bela-bela adalah thaghut, maka Allah mencap kafir orang yang menjadikan thaghut menjadi walinya. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman : Barang siapa yang mana dia itu musuh bagi Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir. (Al Baqarah : 98)

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


32 -

Ayat ini berkenaan dengan orang-orang Yahudi, di mana ketika mereka mengetahui bahwa yang turun membawa wahyu kepada Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam adalah malaikat Jibril, maka orangorang Yahudi tidak menyukainya. Mereka mengatakan bahwa itu (Jibril) adalah musuh kami. Padahal malaikat adalah rasul Allah dan mereka hanya memusuhi Jibril saja, akan tetapi mereka Allah vonis dengan ayat ini. Orang yang memusuhi satu rasul Allah, baik itu rasul dari kalangan malaikat atau manusia, maka sesungguhnya orang itu telah menjadi musuh Allah, musuh rasul-Nya, musuh malaikatmalaikat-Nya, maka Allah Subhanahu Wa Ta'ala memvonisnya sebagai orang kafir. Bentuk permusuhan macam apa yang lebih dasyat daripada sikap thaghut dan ansharnya yang mana mereka meninggalkan ajaran Allah dan justeru malah membuat ajaran atau hukum sendiri yang diambil dari orang-orang bejat dan cabul, mereka memerangi wali-wali Allah yang akan menegakkan hukum Allah, mereka memenjarakannya, menyiksanya, membunuhnya, mempersempit hidupnya, dan malah memberikan keleluasaan bagi orang-orang bejat, para pelacur, para penjudi dan orang-orang durjana, orang-orang kafir, orang-orang murtad dan orang zindiq untuk merusak ajaran Allah dan merusak di muka bumi ini bentuk permusuhan terhadap Allah macam apa yang lebih dasyat dari sikap macam tadi??! Di sini Allah mengatakan bahwa orang yang seperti itu adalah orang-orang kafir. Sedangkan anshar thaghut, mereka dibuat dalam rangka mengokohkan hukum thaghut dan dalam rangka mengokohkan ajaran yang dimusuhi oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Oleh karena itu anshar thaghut dan orang-orang yang semacam mereka, Allah katakan bahwa mereka adalah musuh bagi Allah dan mereka adalah orang-orang kafir. Jadi, ayat ini secara tegas menjelaskan bahwa siapa yang memusuhi satu rasul Allah, maka itu artinya memusuhi semua malaikat dan memusuhi semua para rasul. Sebagaimana Allah juga mengatakan: Kaum Nuh telah mendustakan semua rasul, padahal kita mengetahui sebelum Nabi Nuh alaihissalam belum ada rasul karena beliau adalah rasul pertama, tapi Allah memvonis bahwa kaum Nabi Nuh alaihissalam mendustakan para Rasul. Orang mendustakan Nabi Nuh alaihissalam maka itu telah mendustakan seluruh rasul-rasul Allah yang akan diutus setelahnya. Dalil Dari As Sunnah Ketika perang Badr, kita mengetahui bahwa di antara kaum musyrikin ada orang-orang yang mengaku Islam yang tidak hijrah, kemudian mereka dipaksa untuk ikut berperang di barisan kaum musyrikin dalam rangka memerangi kaum muslimin, yang mati dari barisan kaum kafir Quraisy sebanyak 70 orang dan yang menjadi tawanan adalah 70 orang. Dan di antara mereka terdapat Al Abbas (paman Rasulullah), kemudian ketika ditangkap Al Abbas radliyallahu 'anhu mengatakan : Ya Rasulullah, saya ini dipaksa, maka Rasul berkata : Zhahir kamu di barisan kaum musyrikin memerangi kami, adapun rahasia bathin kamu maka urusan itu atas Allah, tebus diri kamu dan dua keponakanmu. Di sini Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam memperlakukan Al Abbas radliyallahu 'anhu sebagai orang kafir dengan menawannya dan menyuruh Al Abbas untuk menebus dirinya sendiri, padahal Al Abbas mengatakan bahwa saya ini dipaksa. Bila saja orang yang berada dibarisan kaum musyrikin untuk memerangi kaum muslimin dengan kondisi dipaksa adalah diperlakukan sebagaimana halnya orang kafir (secara hukum dunia), maka apa gerangan dengan orang yang berada dibarisan kaum musyrikin atau di barisan thaghut tanpa dipaksa tapi penuh ikhlash dan dengan sukarela ???, bahkan dengan cara menyuap agar mereka bisa masuk ke dalam barisannya, mereka mendaftarkan diri dengan mendatangi setiap Kodim atau Polda untuk menjadi calon anshar thaghut, dan ketika sudah masuk menjadi anshar thaghut mereka merasa bangga dengan Korpsnya atau bangga dengan seragamnya ??? maka mereka lebih kafir lagi! Ini adalah nash hadits dari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam yang memperlakukan Al Abbas sebagai orang kafir karena berada di barisan kaum musyrikin dalam rangka memerangi kaum muslimin di Badr, meskipun Al Abbas ini dalam kondisi dipaksa. Jadi hukum orang yang berada di barisan kaum musyrikin adalah kafir, sebagaimana juga apa yang menimpa pasukan yang akan menginvasi Kabah, Allah Subhanahu Wa Ta'ala membenamkan mereka semuanya mulai dari barisan paling depan hingga paling belakang, Allah membenamkan mereka semua dengan tanpa memilah-milah antara yang dipaksa dengan yang tidak atau orang yang sedang musafir dalam perjalanannya dan berpapasan dengan pasukan mereka, dan dengan tanpa memilah mana orang yang kafir dan mana orang yang muslim, padahal Allah Maha Mengetahui akan orang-orang yang menyembunyikan keimanan di antara mereka dan Maha Mampu untuk memisahkan mereka, Rasul mengatakan tentang kisah ini: Mereka dihancurkan semuanya dan Allah membangkitkan berdasarkan niatnya. Begitu juga bila seandainya ada salah seorang dari barisan thaghut itu yang menyembunyikan keimanannya, namun dia belum berlepas diri dari barisannya karena menunggu suatu moment tertentu dan waktu yang tepat, maka kaum mujahidin tidak disalahkan bila dia (orang yang menyembunyikan keimanan itu) tertembak oleh pasukan mujahidin. Jika saja Allah Maha Kuasa dan Maha Mampu tidak memilah-milah orang yang berada di barisan kaum musyrikin yang memerangi kaum muslimin, maka apa gerangan dengan seorang mujahid yang hanya manusia biasa yang tidak mengetahui hal yang ghaib ? Dalil Dari Ijma Perlu diingat, bahwa para penguasa thaghut itu telah kafir murtad sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu.

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


33 -

Ketika terjadi riddah (kemurtaddan) di kalangan kabilah-kabilah Arab, di antaranya kelompok Tulaihah Al Asadiy dan kelompok Musailamah Al Kadzdzab si nabi palsu. Di sini thaghutnya adalah Tulaihah dan Musailamah sedangkan ansharnya adalah para pengikutnya. Di dalam Tarikh disebutkan bahwa pengikut Musailamah Al Kadzdzab berjumlah sekitar 100.000 orang. Khalifah Abu Bakar radliyallahu 'anhu dan semua shahabat ijma (sepakat) bahwa para pengikut Musailamah dan para pengikut nabi-nabi palsu yang lainnya adalah orang-orang murtad. Padahal kita mengetahui bahwa kebanyakan para pengikut Muslilamah adalah tertipu oleh seorang dai yang diutus oleh Rasulullah ke Yamamah tapi kemudian dia malah membelot kepada Musailamah dengan membenarkan apa yang diucapkan Musailamah dan bahkan bersaksi di hadapan masyarakat Banu Hanifah (di Yamamah) bahwa benar Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam telah menyertakan Musailamah dalam kenabian, masyarakatnya pun mempercayainya dan akhirnya mereka ikut mendukung Musailamah. Akan tetapi para shahabat ijma bahwa mereka yang mengikuti Musailamah itu divonis murtad. Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah juga mengatakan bahwa : Para ulama ijma (setelah menyebutkan bahwa mereka itu tertipu oleh saksi tadi) bahwa mereka itu murtaddun walaupun mereka itu bodoh akan hal itu karena tertipu oleh saksi palsu itu. Shahabat ijma atas kafirnya mereka, bahkan para shahabat memerangi mereka sampai akhirnya mereka terdesak dalam peperangan, kemudian datang utusan Buzakhakh kelompok Tulaihah Al Asadiy kepada Khalifah Abu Bakar radliyallahu 'anhu untuk meminta damai. Abu Bakar radliyallahu 'anhu tidak menerima permintaan damai mereka kecuali dengan syarat-syarat tertentu, dan di antara syarat yang diutarakan oleh Abu Bakar radliyallahu 'anhu dan disepakati oleh para shahabat yang harus mereka terima adalah mereka harus bersaksi bahwa orang yang mati di barisan mereka (para pengikut Musailamah) itu adalah masuk neraka, ini adalah di antara syarat yang harus mereka terima. Ini merupakan ijma dari para shahabat atas kekafiran atau kemurtaddan anshar thaghut Musailamah Al Kadzdzab dan yang lainnya. Dan dalam kisah ini ada sekelompok kaum muslimin dalam barisan anshar Musailamah, tapi mereka tidak cepat bergabung dengan barisan kaum muslimin padahal ada kemampuan untuk bergabung karena kekuatan pasukan kaum muslimin yang mendominasi, di antara kelompok itu adalah Mujaah Ibnu Murarah. Dia tidak mengingkari Musailamah dan tidak cepat bergabung dengan pasukan kaum muslimin, dia ada di antara tawanan pasukan Khalid ibnul Walid, Mujaah mengatakan : Saya ini muslim dan saya tidak pernah merubah keyakinan saya, maka Khalid berkata : Kamu ini sudah berubah dari sebelumnya, Mujaah mengatakan : Jika seandainya musailamah itu nabi palsu maka itu urusan dia, karena seseorang tidak memikul dosa orang lain, kemudian kata Khalid : Kenapa kamu tidak mengingkari seperti Tsumamah dan Al Yasykuriy?, jika kamu tidak mampu, lalu kenapa kamu tidak cepat bergabung dengan kami ketika mendengar pasukan kami datang?. Di sini Khalid ibnu Walid memperlakukan Mujaah yang ada di barisan Musailamah sebagai orang kafir dengan menjadikannya tawanan, padahal Mujaah tidak mendukungnya dan hanya berada di barisan Musailamah. Yang menjadi inti di sini adalah sikap atau ijma shahabat atas kekafiran Musailamah dan ansharnya, dan ketika mengambil perjanjian damai dengan mereka, maka disyaratkan bahwa mereka harus bersaksi bahwa orang-orang yang mati di antara mereka adalah calon penghuni neraka. Ini adalah vonis kafir di dunia dan di akhirat. Ini adalah ijma para shahabat yang berlandaskan kepada nash tentunya

Berarti dapat disebutkan bahwa status seseorang itu tergantung kepada kelompok dan pemimpinnya?
Ya. Allah Yang Maha Tinggi berfirman; Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal). Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu (penguasa thaghut) berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya (rakyatnya), dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: "Seandainya kami (rakyat) dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka (dari thaghut), sebagaimana mereka berlepas diri dari kami." Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka. (Al Baqarah : 165-167) Dan masih banyak ayat yang serupa dengannya. Dalam kaidah fiqih ini dikatakan bahwa Thaifah Mumtaniah Bisy Syaukah (kelompok yang memiliki kekuatan dan melindungi diri dengannya), maka status individu dalam kelompok ini adalah sama seperti status kepala atau pimpinannya. Ini berlaku dalam segala hal, jika pimpinannya adalah muslim bughat (pemberontak) maka bawahannya juga bughat. Seperti kelompok Muawiyyah ibnu Abu Sufyan radliyallahu'anhum, beliau waktu itu membangkang dan tidak mau berbaiat terhadap Ali radliyallahu 'anhu, maka setiap individu dalam kelompok yang membangkang ini disebut bughat, bukan hanya Muawiyyah (sebagai pemimpinnya) yang disebut bughat. Oleh karena itu Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam mengatakan tentang kabar kematian Amar radliyallahu'anhu : Kamu akan dibunuh oleh kelompok yang membangkang (baghiy) dan Amar waktu perang Shiffin ini berada di pihak Ali radliyallahu'anhu dan terbunuh oleh pasukan Muawiyyah

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


34 -

radliyallahu. Jika ada sebuah kelompok Khawarij di Darul Islam dan mereka melindungi diri dengan kekuatan pasukannya, maka pimpinan dan seluruh bawahannya adalah Khawarij. Juga seperti kelompok Musailamah Al Kadzdzab, dia murtad di wilayah Darul Islam dan dia melindungi diri dengan pasukannya, maka setiap individu yang ada di dalam kelompoknya adalah murtad sama seperti pimpinannya. Jika thaifah mumtaniah ini ada di luar Darul Islam seperti thaghut (pemerintah) sekarang, dimana mereka yang memegang kekuasaan, pimpinannya adalah thaghut maka setiap individu atau personperson dari ansharnya seperti polisi atau tentara atau intelejennya adalah sama kafirnya seperti thaghut pimpinannya. Begitupula dengan ulama-ulama, ormas-ormas dan jamaah-jamaah Islam yang tawali (loyal) kepadanya maka dihukumi sama, karena sebagian mereka beranggapan dan meyakini bahwa penguasa itu ulil amri, bahkan mereka adalah anjing piaraan (binaan/kaki tangan) penguasa thaghut tersebut. Karena tidak mungkin Jamaah Islam akan terdaftar di pemerintahan musyrikin, justru musyrikin membenci bahkan memerangi Jamaah Islam itu, dan ini adalah sunatullah. Jamaah Islam yang dipimpin oleh Rasulallah shalallahu 'alaihi wasallam pun tidak terdaftar di pemerintahan thaghut Quraisy. Empat dalil ini menunjukan bahwa anshar thaghut itu statusnya adalah mereka kafir secara tayin (perorangan) pada hukum dzahirnya, sama dengan thaghut pimpinannya itu sendiri.

Bagaimana hukum berwala (loyalitas) terhadap pemerintahan thaghut (kaum musyrikin)?


Hukumnya haram. Sebelum ke inti pembahasan, kita kenali dahulu pengertiannya, loyalitas dalam bahasa Arabnya adalah al Wala atau muwaalah yang bermakna al mahabbah (cinta), an nushrah (pemberian bantuan), al mutabaah (mengikuti), dan al muwaafaqah (sikap setuju) sebagaimana yang dijelaskan Ibnu Atsir dalam An Nihayah. Allah melarang orang muslim berwala dengan orang kafir, Engkau tidak mungkin mendapatkan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, meskipun mereka itu ayah-ayah mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka atau karib kerabatnya (Al Mujaadilah : 22) Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin, sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Dan siapa yang tawalliy kepada mereka di antara kalian maka sesungguhnya ia termasuk golongan mereka, maka sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zhalim (Al Maaidah : 51) Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang kafir sebagai auliya dengan meninggalkan kaum mukminin (An Nisaa : 144) Jadi loyalitas hanya boleh diberikan kepada orang-orang yang beriman, sedangkan hanyalah diberi sikap bara (berlepas diri). Adapun hukum berloyalitas kepada orang-orang kafir adalah haram berdasarkan ijma yang berlandaskan Al Qur'an dan As Sunnah. Perlu diperhatikan bahwa bentuk loyalitas ini ada yang mengeluarkan dari Islam disebut muwaalah kubra (tawalliy), dan ada pula yang hanya berupa dosa besar mengeluarkan dari Islam dan lebih sering disebut muwaalah shughra. I. Muwaalah Kubra Muwaalah kubra adalah loyalitas yang mengeluarkan pelakunya dari Islam, dan ini ada empat macam : a) Mencintai orang musyrik atau kafir karena alasan keyakinan kafirnya. Seperti orang yang mencintai presiden karena dia seorang negarawan atau mencintai si fulan karena dia seorang demokrat sejati, atau mencintai symbol-simbol kaum kuffar atau mencintai si fulan karena dia anggota DPR/MPR/tentara/polisi, atau mencintai si fulan karena dia seorang Pancasilais, atau mencintai si fulan karena dia seorang Nasionalis, dan lain sebagainya. Dan sebagai dalilnya adalah sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam : Siapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan dia kufur kepada segala yang diibadati selain Allah, maka haram darah dan hartanya, sedangkan perhitungannya atas Allah [HR. Muslim] Dalam hadits ini orang dianggap muslim bila kufur kepada segala yang diibadati selain Allah, termasuk di antaranya yaitu ajaran syirik dan kekafiran. Derajat minimal bentuk kufur kepada ajaran syirik adalah membencinya, sedangkan orang-orang di atas tadi justeru mencintai ajaran syirik tersebut, sehingga batallah keIslaman macam orang ini. (Komunisme, Nasionalisme, demokrasi dan isme-isme sejenisnya yang merupakan paham-paham syirik dan kekufuran). orang kafir para ulama dan sering yang tidak

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


35 -

b) Membantu orang-orang musyrik untuk menghancurkan kaum muslimin. Orang yang bergabung (secara aktif di lapangan ataupun berperan di belakang layar) dengan orangorang musyrik dalam rangka menindas dan membungkam kaum muslimin dari dakwah yang mereka serukan kepada manusia, maka telah batal keIslamannya, seperti orang-orang Afghanistan yang bergabung dengan pasukan Salibis pimpinan Amerika Serikat untuk menghancurkan Negara Islam Thaliban, atau Pemerintah Saudi yang telah membantu Amerika Serikat saat menggempur Negara Islam Thaliban, atau Pemerintah Iraq memerangi Daulah Islam Iraq, atau ketika dahulu Pemerintah Indonesia memerangi Negara Islam Indonesia. Allah Subhanahu Wa Taala berfirman : Barangsiapa yang tawalliy kepada mereka di antara kalian, maka sesungguhnya dia adalah bagian dari mereka (Al Maidah : 51) Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata saat menyebutkan di antara pembatal keIslaman : Membantu kaum musyrikin untuk menghancurkan kaum muslimin. c) Mengikuti kaum musyrikin dalam kemusyrikannya. Meyakini bahwa suatu perbuatan itu syirik atau kufur belumlah cukup, akan tetapi harus meninggalkannya. Orang yang mengetahui bahwa demokrasi itu syirik, akan tetapi karena alasan takut atau yang lainnya (kecuali dipaksa) mengikuti sistem demokrasi dan ia ikut dalam pesta demokrasi, maka dia telah keluar dari Islam. Kebencian terhadap sistem syirik dan para pelakunya serta kecintaannya terhadap Tauhid dan kaum muwahhidin tidaklah berarti bila dia mengikuti ajaran syirik tersebut. Pancasila adalah falsafah syirik, maka orang-orang yang sekedar ikut menyanyikan lagu Garuda Pancasila adalah telah keluar (murtad) dari Islam, baik karena alasan basa-basi atau karena takut (kecuali dipaksa), meskipun dia itu benci dengan Pancasila dan para pendukungnya serta cinta kepada Tauhid dan kaum muwahhidin, karena dia mengikuti orang-orang musyrik dalam kemusyrikannya. Allah Subhanahu Wa Taala berfirman : Sesungguhnya orang yang kembali ke belakang setelah jelasnya petunjuk bagi mereka, maka syaitan mempermudah mereka (untuk berbuat dosa) dan memperpanjang angan-angan mereka. Yang demikian itu disebabkan sesungguhnya mereka mengatakan kepada orang-orang yang benci terhadap apa yang telah Allah turunkan: Kami akan mematuhi kalian dalam sebagian urusan ini, sedangkan Allah mengetahui rahasia mereka. Maka bagaimana keadaanya bila mereka itu diwafatkan oleh malaikat seraya malaikat itu memukuli wajah dan punggung mereka ? Yang demikian itu dikarenakan mereka itu telah mengikuti apa yang membuat Allah murka dan mereka membenci apa yang mendatangkan ridha-Nya, maka Allah hapuskan amalan-amalan mereka (Muhammad : 25-28) Bila saja orang yang mengikuti apa yang membuat murka Allah telah divonis murtad oleh-Nya, maka apa gerangan dengan banyaknya orang yang berposisi sebagai bawahan mengatakan kepada masyarakat Kami hanya menjalankan tugas setelah sang pejabat atasan membuat undang-undang kafir kemudian si bawahan itu melaksanakannya Bila orang yang taat dalam sebagian kekafiran Allah Subhanahu Wa Taala memvonisnya sebagai orang murtad, maka apa gerangan dengan

RT/RW yang menyatakan kepada thaghut atasannya Kami akan laksanakan semua aturan. Saat menghancurkan dan membekuk para mujahidin ada di antara jajaran aparat keamanan yang beralasan Kami hanya mengikuti aturan yang ada. Mereka yang menjadi pelindung sistem thaghut ini beralasan Kami hanya mengikuti prosedur yang ada. Anak-anak sekolah mengikuti pelajaran falsafah syirik dengan alasan mengikuti proses pembelajaran dan berkata : Karena jika tidak (ikut), maka kami tidak akan lulus.

d) Menampakkan sikap setuju dengan kekufuran atau kemusyrikan Orang yang di hadapan thaghut menampakkan sikap setuju terhadap kekafiran dengan alasan basabasi atau takut atau ingin dunia, maka dia kafir (kecuali bila dipaksa), meskipun meyakini bathilnya hal itu, membencinya, dan membenci para pelakunya serta cinta dengan Tauhid dan para muwahhid.

Seperti saat ujian siswa memuji dan mengikuti Pancasila, demokrasi, Undang Undang Dasar 1945, dan lain-lain. Atau kagum dengannya atau bangga dengannya demi mendapatkan nilai ujian, maka dia itu kafir meskipun benci akan hal-hal itu dan para pendukungnya serta cinta kepada Tauhid dan kaum muwahhidin. Seperti itu pula orang yang ingin membuat lembaga yang diakui thaghut, sedangkan thaghut mensyaratkan adanya mata pelajaran falsafah syirik (mis. PKN) lalu mereka menerima syarat itu, maka hukumnya sama saja. Dalilnya sama dengan dalil di atas (Muhammad : 25-28).

Bahkan bila dia berjanji dusta untuk memenuhi syarat itu terhadap thaghut, tetap hukumnya sama saja. Allah Subhanahu Wa Taala berfirman : Apakah engkau tidak melihat orang-orang munafiq, dimana mereka mengatakan kepada saudarasaudara mereka yang kafir dari kalangan Ahlul Kitab : Bila kalian diusir, sungguh kami akan keluar

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


36 -

bersama kalian dan kami tidak mentaati seorangpun selama-lamanya dalam hal yang merugikan kalian, dan bila kalian diperangi, maka sungguh kami akan membantu kalian, sedangkan Allah bersaksi sesungguhnya mereka benar-benar dusta. (Al Hasyr : 11) Orang-orang munafiq di dalam Islam dihukumi muslim secara dhahir. Dalam ayat ini mereka berjanji untuk membantu orang-orang Yahudi dalam memerangi Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, dan Allah memvonis mereka kafir padahal janji mereka itu dusta, maka apa gerangan dengan janji yang jujur ? Begitu pula dengan orang yang menampakkan sikap setuju dengan demokrasi dan yang lainnya II. Muwaalah Shughra Ini adalah sikap loyalitas yang tidak mengeluarkan dari Islam. Definisinya adalah : Setiap perbuatan yang menyebabkan penghormatan dan penghargaan terhadap orang-orang kafir dengan syarat (tetap) membenci mereka, memusuhi mereka, dan mengkafirkan mereka, serta tidak tawalliy kepada mereka. Adapun contoh-contohnya adalah sebagai berikut : Mengucapkan salam kepada mereka. Melapangkan jalan bagi mereka.

Mengucapkan selamat atas hari-hari bahagia mereka selain hari raya keagamaannya. Bercengkrama dengan mereka. Mengulurkan tangan untuk menjabat tangan mereka (maksudnya memulai jabat tangan). Mempersilahkan mereka duduk di depan majelis. Mengangkat mereka untuk membawahi sebagian kaum muslimin, dan lain sebagainya.

Berkunjung untuk mendakwahi mereka bukan termasuk muwaalah shughra, akan tetapi dianjurkan. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menziarahi Abu Thalib untuk mendakwahinya, dan beliau juga menjenguk anak seorang Yahudi yang sakit untuk beliau dakwahi. Bila orang kafir mengucapkan salam, maka cukup dijawab waalaikum. Mengucapkan Assalamuala manit tabail huda kepada orang kafir dibolehkan. Menyambut uluran tangan orang kafir boleh saja, sedangkan amanah, utang, janji, dan jual beli harus ditunaikan meskipun terhadap orang kafir harbiy sekalipun.

Bagaimana kita membantah sebagian ulama jahil dan ulama jahat yang menganggap penguasa di Indonesia ini sebagai mukmin (bahkan ulil amri) sehingga rakyat (umat Islam) harus mengikuti dan mentaatinya?
Katakan saja kepada mereka bahwa pemerintah Negara Kafir Republik Indonesia (NKRI); A. Mereka ini Thaghut Kenapa demikian? Karena mereka dengan dewan legislatifnya dan sebagian eksekutifnya mengklaim sebagai pembuat hukum, mengklaim yang berhak membuat hukum dan perundang-undangan, bahkan mereka telah membuat dan memutuskan, maka mereka adalah thaghut itu sendiri. Mereka menjadi pembuat hukum yang hukumnya diikuti (baca: diibadati) oleh ansharnya.

1.

Allah Subhanahu Wa Taala berfirman :

Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan mengingkari thaghut itu. (An Nisa : 60) Masyarakat atau anshar thaghut atau siapa saja di antara mereka, ketika memiliki kasus di negeri ini, apakah mereka mengajukan kasusnya kepada hukum Allah ataukan kepada hukum selaim hukum Allah? Tentu mereka mengajukannya kepada hukum selain hukum Allah, yang mana hukum itu dibuat oleh para thaghut tadi di gedung Palemen, baik yang ada di lembaga legislatif atau lembaga eksekutif maupun para pemutusnya di dewan yudikatif. Mereka adalah thaghut, sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah dalam Risalah Fie Mana Thaghut, bahwa pentolan thaghut yang ke dua adalah Penguasa Zhalim Yang Merubah Ketentuan (Hukum) Allah. Sedangkan di negeri ini, semua hukum Allah dirubah mulai dari hukum pidana, perdata, ekonomi, dan lain-lain. Semua dicampakkan dan mereka sepakat tidak memakai hukum yang Allah turunkan. Sedangkan sesesorang tidak bisa dikatakan sebagai orang muslim kecuali bila kafir kepada thaghut. Dan dalam hal ini mereka sendiri adalah thaghutnya.

2.
37 -

Allah Subhanahu Wa Taala berfirman :


-

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka diperintahkan kecuali mereka hanya menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada ilah (Tuhan yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (At Taubah : 31) Dalam ayat ini Allah memvonis orang Nashrani dengan lima vonis : 1. Mereka telah mempertuhankan para alim ulama dan para rahib 2. Mereka telah beribadah kepada selain Allah, yaitu kepada alim ulama dan para rahib 3. Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah 4. Mereka telah musyrik 5. Para alim ulama dan para rahib itu telah memposisikan dirinya sebagi rab/arbaab. Imam At Tirmidzi meriwayatkan, bahwa ketika ayat ini dibacakan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam di hadapan Adiy ibnu Hatim (seorang hahabat yang asalnya Nashrani kemudian masuk Islam), Adiy ibnu Hatim mendengar ayat-ayat ini dengan vonis-vonis tadi, maka Adiy mengatakan : Kami (orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat atau sujud kepada alim ulama dan rahib (pendeta) kami, Jadi maksudnya dalam benak orang-orang Nashrani adalah; kenapa Allah memvonis bahwa kami telah mempertuhankan mereka atau kami telah beribadah kepada mereka padahal kami tidak pernah shalat atau sujud atau memohon-mohon kepada mereka. Maka Rasul mengatakan : Bukankah mereka (alim ulama dan para rahib) menghalalkan apa yang Allah haramkan terus kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka telah mengharamkan apa yang Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?. Lalu Adiy menjawab : Ya, Rasul berkata lagi : Itulah bentuk peribadatan mereka (orang Nashrani) kepada mereka (alim ulama dan para rahib) Ketika mereka menyandarkan hak hukum dan pembuatan hukum (tasyri) kepada selain Allah, maka yang mengaku memiliki hak membuat hukum ini disebut arbaab, yaitu yang memposisikan dirinya sebagai tuhan pengatur selain Allah. Saat hukum itu digulirkan dan diikuti, maka itu adalah arbab yang disembah. Orang yang sepakat di atas hukum ini atau yang mengacu atau yang merujuk pada hukum yang mereka gulirkan itu adalah orang yang Allah vonis sebagai orang musyrik yang menyembah atau mengibadati atau mempertuhankan mereka serta telah melanggar Laa ilaaha illallaah.

3.

Allah Subhanahu Wa Taala berfirman :

Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan (mewahyukan) kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Maka sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik. (Al Anam : 121) Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Taala menjelaskan tentang keharaman bangkai, dan Allah juga menjelaskan tentang tipu daya syaitan. Kita mengetahui bahwa bangkai adalah haram, namun dalam ajaran orang musyrik Quraisy mereka menyebutnya sebagai sembelihan Allah. Dalam hadits dengan sanad yang shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al Hakim dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu : Orang musyrikin datang kepada Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam dan berkata : Hai Muhammad, kambing mati siapa yang membunuhnya ?, Rasulullah mengatakan : Allah yang membunuhnya (mematikannya), kemudian orang-orang musyrik itu mengatakan : Kambing yang kalian sembelih dengan tangan kalian, maka kalian katakan halal, sedangakan kambing yang disembelih Allah dengan Tangan-Nya yang Mulia dengan pisau dari emas kalian katakan haram, berarti sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah. Ini adalah ucapan kaum musyrikin kepada kaum muslimin, dan Allah katakan bahwa itu adalah bisikan syaitan terhadap mereka (Dan sesungguhnya syaitan itu membisikkan (mewahyukan) kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu) untuk mendebat kaum muslimin agar setuju atas penghalalan bangkai, lalu setelah itu Allah peringatkan kepada kaum muslimin jika menyetujui dan mentaati mereka, menyandarkan kewenangan hukum kepada selain Allah meski hanya dalam satu hukum atau kasus saja (yaitu penghalalan bangkai) dengan firman-Nya Maka sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik. Dalam ayat di atas Allah Subhanahu Wa Taala menyatakan bahwa : Hukum yang bukan dari-Nya adalah wahyu syaithan. Para penggulirnya (yang mengklaim dirinya berhak membuat hukum) dari kalangan manusia disebut wali-wali syaithan. Yang menyetujuinya atau yang taat atau yang merujuk kepadanya disebut musyrikun. Bila satu hukum saja dipalingkan dalam hak pembuatannya kepada selain Allah, maka berdasarkan ayat tadi, bahwa orang yang membuat hukum itu disebut wali-wali syaithan (thaghut) yang telah mendapat wahyu atau wangsit dari syaithan, sedangkan orang yang mentaatinya atau setuju dengan hukum buatan tersebut divonis sebagai orang musyrik. Sedangkan yang ada di NKRI dan negara-negara lainnya adalah bukan satu, dua, tiga, sepuluh, atau seratus hukum saja, akan tetapi seluruh hukum yang ada di sini adalah bukan dari Allah, tapi dari wali-wali syaitan yang mendapat wahyu dari syaitan jin, baik wali-wali syaitan itu dahulunya orang Belanda (yang mewariskan KUHP) ataupun wali-wali syaitan zaman sekarang yang duduk di kursi parlemen, yang membuat, yang merancang, yang menggodok, atau apapun

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


38 -

namanya dan siapapun yang membuat hukum, maka pada hakikatnya mereka adalah wali-wali syaitan dan hukum yang mereka gulirkan hakikatnya adalah hukum syaithan. Perhatikanlah jika saja orang-orang yang SEKEDAR mentaati mereka, maka Allah memvonisnya sebagai orang musyrik, maka apa gerangan dengan pembuatnya atau orang yang memutuskan dengannya atau orang yang memaksa masyarakat untuk tunduk kepadanya dengan menggunakan besi dan api (kekuatan dan senjata)?!!

4.

Allah Subhanahu Wa Taala berfirman :

Apakah mereka mempunyai syurakaa (sekutu-sekutu) selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka dalam dien (aturan/ajaran/hukum) ini apa yang tidak diizinkan Allah ?. (Asy Syuura : 21) Dalam ayat tersebut, siapa saja yang membuat syariat atau hukum atau undang-undang atau ajaran yang tidak diizinkan oleh Allah dinamakan syurakaa (sekutu-sekutu), karena mereka memposisikan dirinya untuk diibadati dengan cara menggulirkan hukum agar diikuti. Mereka merampas hak pembuatan hukum dari Allah, mereka merancang, menggodok, dan menggulirkan di tengah masyarakat. Sedangkan orang-orang yang mentaati atau mengikuti hukum itu disebut orang yang menyembah syuraka tersebut. B. Mereka berhukum dengan selain hukum Allah atau memutuskan dengan hukum thaghut Mereka berhukum dengan hukum thaghut, karena selain hukum Allah yang ada hanyalah hukum jahiliyyah atau hukum thaghut, ini berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Taala dalam surat Al Maaidah ayat 44 : Barangsiapa yang tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang kafir. Dan firman-Nya Subhanahu Wa Taala : Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? (Al Maaidah : 50) Dalam ayat-ayat di atas, orang yang memutuskan dengan selain apa yang Allah turunkan adalah orang-orang kafir, sedangkan pemerintah di negeri ini tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan, akan tetapi memutuskan dengan hukum thaghut. Maka merekapun divonis kafir berdasarkan ayat-ayat seperti ini, bahkan Allah mevonis orang-orang yang seperti ini sebagai orang-orang zhalim dan fasiq dalam surat Al Maaidah : 45 & 47. Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah menjelaskan dalam Risalah Fie Makna Thaghut, tentang Ru-usuth Thawaghit (tokoh-tokoh para thaghut) yang ke tiga yaitu : Yang Memutuskan Dengan Selain Apa Yang Allah Turunkan. Jadi pemutus hukum dengan selain apa yang diturunkan Allah adalah bukan sekedar thaghut, akan tetapi termasuk pentolan thaghut. Sedangkan iman kepada Allah tidak sah kecuali dengan kafir terhadap thaghut, lalu bagaimana mungkin Pemerintah NKRI ini dikatakan sebagai pemerintah muslim mumin, sedangkan mereka bukan sekedar thaghut, akan tetapi salah satu tokohnya thaghut maka mereka bukan hanya sekedar kafir, tapi amat sangat kafir!. C. Mereka merujuk kepada hukum thaghut, baik thaghut lokal, regional maupun internasional Saat menghadapi masalah, masalah apa saja, maka pemerintah ini tidak merujuknya kepada hukum Allah, tapi kepada hukum thaghut yang bersifat lokal (seperti Undang Undang Dasar atau undangundang atau yang lainnya), atau hukum-hukum regional, atau hukum-hukum yang ditetapkan oleh mahkamah Internasional PBB. Sungguh mereka tidak merujuk kepada Al Quran atau As Sunnah, akan tetapi merujuk kepada selainnya. Sedangkan dalam surat An Nisa : 60 tadi; Allah merasa heran atas klaim orang-orang yang mengaku telah beriman kepada Al Quran dan kitab-kitab Allah sebelumnya, orang-orang yang ketika punya masalah justeru ingin berhakim (mengadukan urusan) kepada thaghut. Perhatikanlah, dalam ayat tersebut sekedar ingin berhukum kepada thaghut sudah Allah nafikan keimanannya, imannya dianggap sekedar klaim dan kebohongan belaka, maka apa gerangan dengan orang-orang yang benar-benar bersumpah untuk merujuk kepada hukum thaghut?! Pemerintah ini, ketika masuk PBB diwajibkan untuk berikrar setuju atas segala peraturan yang digariskannya, begitu juga ketika jajaran pemerintahan dewan legislatif, eksekutif, yudikatif terbentuk, setiap orang diwajibkan bersumpah setia untuk menjalankan hukum negara, inilah syahadat mereka! inilah baiat mereka. Apakah di Negara ini ada baiat untuk taat setia kepada Al Quran dan As Sunnah? tentu jawabannya tidak ada! Maka dari itu setelah baiat kepada Undang Undang Dasar selesai, mereka selalu mengacu kepadanya, jika seorang Presiden misalnya menyimpang, maka DPR/MPR akan memprotesnya dan mengatakan : Presiden telah melanggar Undang Undang Dasar atau undang-undang atau atau dan tidak akan mengatakan Presiden telah melanggar Al Quran ayat sekian Andaikata seluruh isi Al Quran dilanggarpun, maka mereka tidak akan mempermasalahkannya, asal tidak melanggar hukum suci mereka, yaitu Undang Undang Dasar 1945 dan undang-undang turunannya.

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


39 -

Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa orang yang berhakim dengan hukum Allah yang telah dihapus adalah kafir, beliau menyatakan : Barangsiapa meninggalkan hukum yang muhkam (baku) yang diturunkan kepada Muhammad ibnu Abdillah penutup para nabi, dan dia malah merujuk hukum kepada hukum-hukum (Allah) yang sudah dihapus, maka dia kafir. Maka apa gerangan dengan orang yang mengacu kepada Ilyasa (Yasiq) dan dia mendahulukannya daripada ajaran Allah, maka dia kafir dengan ijma kaum muslimin (Al Bidayah Wan Nihayah : 13/119) Ilyasa adalah kitab hukum yang dibuat oleh Jengis Khan Raja Tartar. Kitab ini merupakan kumpulan hukum yang sebagiannya diambil dari Taurat orang Yahudi, Injil orang Nashrani, Al Quran dan ajaran ahli bidah ditambah dengan hasil buah fikirannya lalu dikodifikasikan menjadi sebuah kitab yang disebut Ilyasa atau Yasiq. Para ulama muslimin sepakat mengatakan bahwa siapa saja yang merujuk kepada kitab hukum ini, maka dia kafir dengan ijma kaum muslimin. Maka demikian pula dengan Yasiq Ashri (Yasiq Modern), yaitu Undang Undang Dasar, KUHP, dan lain-lain, dimana hukum itu diambil dari orang-orang Nashrani (seperti orang Belanda dengan KUHP-nya), dan ada juga dari Islam seperti dalam masalah pernikahan. Jadi ternyata serupa, maka siapa saja yang merujuk pada Yasiq Modern ini, maka iapun kafir dengan ijma kaum muslimin, sedangkan perujukan-perujukan ini telah dilakukan oleh pemerintah ini!! D. Mereka menganut sistem Demokrasi Demokrasi berasal dari kata demos (rakyat) dan kratos (kedaulatan/kekuasaan). Sistem ini merupakan penyerahan hak hukum atau kedaulatan kepada rakyat. Sistem perwakilan yang ada di dalamnya memberikan hak ketuhanan kepada wakil rakyat yang duduk di parlemen untuk membuat, menetapkan dan memutuskan hukum. Demokrasi merupakan salah satu bentuk perampasan hak khusus Allah dalam At Tasyri (pembuatan, penetapan dan pemutusan hukum atau undang-undang). Hak ini adalah hak khusus Allah Subhanahu Wa Taala, hak khusus rububiyyah dan uluhiyyah Allah, hak khusus yang seharusnya disandarkan oleh makhluk hanya kepada Allah. Akan tetapi demokrasi merampasnya dan justeru hak itu diberikan kepada makhluk. Allah Subhanahu Wa Taala berfirman : Hak memutuskan hukum itu hanyalah khusus kepunyaan Allah. Dia memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah dian yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Yusuf : 40) Firman-Nya Dia memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia, bermakna : Kalian diperintahkan untuk tidak menyandarkan hukum kecuali kepada Allah, karena Allah-lah yang berhak untuk membuatnya, untuk menentukannya. Dan dalam ayat ini penyandaran hukum kepada Allah disebut ibadah. Sedangkan dalam demokrasi; hukum disandarkan kepada rakyat melalui wakil-wakilnya, maka demokrasi adalah sistem syirik, karena memalingkan ibadah penyandaran hukum kepada selain Allah. Demokrasi adalah sistem syirik yang membangun pilar-pilarnya di atas sekulerisme, di atas kebebasan; bebas meyakini apa saja walaupun pendapat syirik atau kekafiran sekalipun. Demokrasi tidak mewajibkan menusia untuk taat kepada ajaran Allah, tapi harus taat kepada kesepakatan rakyat, tatanan perundang-undangan yang berlaku, yang mana notabene adalah hukum buatan manusia. E. Mereka memiliki ideologi/falsafah/asas/pedoman/petunjuk hidup, yaitu Pancasila. Pancasila adalah dien, karena dien adalah jalan hidup, agama, aturan dan pedoman hidup, falsafah atau silahkan orang menyebutnya apa saja tapi yang jelas Pancasila adalah dien. Singkat saja kita tinjau. Dalam Pancasila dikatakan Ketuhanan Yang Maha Esa, akan tetapi kita tidak tahu siapa Tuhan Maha Esa yang dimaksud, karena Pancasila mengakui berbagai agama dengan tuhan-tuhannya masingmasing yang beraneka ragam. Cukuplah falsafah ini menjadi sesuatu yang rancu bagi orang yang berakal. Kita heran, bukankah orang-orang Kristen memiliki Tuhan, orang-orang Budha juga memiliki banyak Tuhan, orang-orang Hindu juga memiliki banyak Tuhan, sedang kaum muslim Tuhan mereka hanyalah Allah Subhanahu Wa Ta'ala. dan agama serta kepercayaan lainnya yang memiliki banyak Tuhan. Apakah satu Tuhan yang diibadati para pemeluk agama-agama dan kepercayaan di Indonesia ini atau banyak tuhan yang berbeda-beda? maka jawabannya adalah banyak Tuhan, akan tetapi kenapa sila kesatu dalam Pancasila dikatakan Ketuhanan Yang Maha Esa, bagaimana hubungannya? mudah sekali jawabannya, semua agama diakui oleh Pancasila serta Tuhan-tuhan yang banyak itu dilindungi dan disatukan oleh Tuhan Yang Maha Esa (dalam Pancasila) yaitu Burung Garuda!!! Ini berhalanya! Perlu diketahui, bahwa Pancasila memberikan kebebasan kepada orang untuk memeluk dan menganut agama serta keyakinan sesuai dengan kepercayaannya masing-masing, dalam ajaran Pancasila bila ada orang muslim keluar dari Islam, maka orang tersebut tetap dilindungi dan diakui, orang yang meminta-minta kekuburan juga dilindungi, dan pokoknya semua bentuk kemurtaddan terbuka lebar dalam naungan Berhala Burung Garuda. Padahal dalam ajaran Islam sesungguhnya orang murtad itu harus dibunuh, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda : Siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah (HR. Muttafaq Alaih)

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


40 -

Seandainya ada seorang muwahhid membunuh orang murtad tentulah hukum atau Agama Pancasila menindaknya. Itu hanya satu contoh saja dari ribuan contoh Burung Garuda itu adalah berhala! Buktinya ia selalu berada diatas gambar Presiden dan Wakil Presiden disetiap ruangan, bahkan ia dipajang diatas, dihadapan kursi-kursi para pengaku tuhan pengatur (arbab) di sarang paganisme (MPR/DPR). Setiap orang yang mencela, merusak atau membakar berhala tersebut maka pasti akan dikenakan sanksi oleh tentara dan hamba-hambanya. F. Tawalliy (loyalitas penuh) kepada kaum musyrikin Mereka loyal kepada Perserikatan Bangsa Bangsa, tunduk kepada undang-undang internasional dan peraturan lainnya yang ada dalam tubuh PBB. Apapun yang ditetapkannya maka otomatis diikuti. Allah Subhanahu Wa Taala melarang kaum muslimin untuk loyal kepada orang-orang kafir, Allah menyatakan dalam surat Al Maaidah : 51 : Siapa saja yang tawalliy di antara kalian terhadap mereka maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka G. Mereka memperolok-olok ajaran Allah Allah Subhanahu Wa Taala melarang segala bentuk kemungkaran, sedangkan pemerintahan Negara ini justeru memberikan izin bagi beroperasinya tempat-tempat kemungkaran dengan dalih tempat hiburan, membiarkan berkembangnya media-media penebar kesyirikan, kekufuran, kerusakan dan kebejatan (dengan dalih kebebasan pers dan kebebasan berekspresi) dan lain-lain. Itu adalah beberapa perolok-olokan terhadap ajaran Allah, sedangkan memperolok-olok ajaran Allah adalah kekafiran. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja. Katakanlah: Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. (At Taubah : 65-66) Intinya, jelaslah bahwa Negara dan pemerintahan ini kekafirannya berlipat-lipat. Setiap negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah dan tidak tunduk pada aturan Allah, maka negara tersebut adalah negara kafir, negara zhalim, negara fasiq dan negara jahiliyyah berdasarkan firman Allah tersebut. Begitu juga pemerintahnya, karena tidak akan berdiri suatu negara tanpa ada pemerintah pelaksananya. Setelah memahami hal ini, maka kita bisa menyimpulkan bahwa TIDAK BENAR memerintahkan kaum muslimin untuk loyal kepada pemerintah semacam ini dengan menggunakan dalil surat An Nisa: 59, karena ulil amri dalam ayat tersebut adalah dari kalangan kalian yang berarti dari kalangan orang-orang yang beriman, sedangkan pemerintahan NKRI ini sudah kita ketahui bahwa mereka BUKAN orang-orang yang beriman, akan tetapi justeru mereka adalah thaghut, orang musyrik, orang-orang kafir, orang-orang murtad. Jadi, jelaslah isi ayat itu tidak sesuai dengan pemerintah ini. Akan tetapi yang tepat bagi pemerintah semacam ini adalah : 1. Allah Subhanahu Wa Taala berfirman : Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti. (At Taubah : 12) Jadi yang tepat bukan harus ditaati, bukan pula diberi loyalitas, akan tetapi yang semestinya ada adalah sikap qital (perang). 2. Allah Subhanahu Wa Taala berfirman : Maka bunuhilah orang-orang musyrik itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah ditempat-tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan (At Taubah : 5) Jika mereka bertaubat, maksudnya bertaubat dari kemusyrikannya, dari kethaghutannya, dari kekafirannya, mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah mereka jalan dan jangan diganggu. Sedangkan jika pemerintahan ini tidak bertaubat dari kethaghutannya, dari Pancasilanya, dari demokrasinya dan dari kekufuran lainnya, maka mereka masih masuk ke dalam cakupan ayat ini. 3. Allah Subhanahu Wa Taala berfirman : Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan (wali-wali) syaitan itu (An Nisa : 76) Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah dalam rangka mengokohkan hukum Allah, menjunjung tinggi ajaran-Nya, sedangkan orang-orang kafir yang di antaranya adalah pemerintahan NKRI ini dan ansharnya mereka berjuang, berperang, berkiprah dengan segala cara dalam rangka mengokohkan

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


41 -

sistem thaghut. Jadi, mereka berperang di jalan thaghut, maka bagaimana seharusnya sikap kaum muslimin? Allah menyatakan sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu. Perhatikanlah mereka bukan ulil amri, akan tetapi mereka adalah wali-wali syaitan yang Allah perintahkan untuk memeranginya. 4. Allah Subhanahu Wa Taala berfirman : Dan perangilah mereka itu, sampai tidak ada fitnah, dan dien (ketundukan) hanya bagi Allah semata (Al Baqarah : 193) Dan perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah, tidak ada lagi ideologi syirik, tidak ada lagi kekafiran, tidak ada lagi penghalang kepada jalan Allah, tidak ada lagi penindasan terhadap kaum muslimin yang taat kepada Allah bukan taat kepada Pancasila atau Undang Undang Dasar atau demokrasi, tapi hanya taat kepada Allah Subhanahu Wa Taala. Selama Ad Dien (ketundukan) belum sepenuhnya kepada Allah, maka al qital (perang) belum berhenti, selama fitnah (bencana) terhadap kaum muslimin yang taat dan berkomitmen dengan ajaran Allah masih dikejar-kejar atau dipersempit hidupnya, masih ditangkapi, dipenjarakan dan masih dibunuhi maka berarti masih ada fitnah !! Selama kemusyrikan didoktrinkan maka fitnah masih ada. Selama fitnah masih ada maka al qital tidak akan berhenti. 5. Allah Subhanahu Wa Taala berfirman : Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi, sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu (dibinasakan). Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya dien itu semata-mata untuk Allah. (Al Anfal : 38-39) Jadi, al qital tidak akan berhenti terhadap para penguasa yang menentang aturan Allah, yang menyebar fitnah (bencana) kemusyrikan dan penindasan terhadap kaum muslimin, merampas dan memeras harta kaum muslimin, baik dengan cara kasar maupun halus, maka qital tidak akan berhenti terhadap pemerintah yang seperti ini. Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka merasakan sikap tegas dari kamu (At Taubah : 123) Perangilah orang-orang yang ada disekitar kamu, yang ada di dekat kamu dan dalam realitanya bukan hanya dekat, akan tapi mereka telah menguasai harta, diri, dan tanah air kita. Merekalah thaghut penguasa negeri ini, merekalah orang-orang kafir itu. Mereka telah sekian lama memerangi, menindas diri dan merampas harta kaum muslimin. Mereka mewajibkan ini dan itu yang bertentangan dengan ajaran Allah Subhanahu Wa Taala. Merekalah orang-rang kafir yang dekat, maka tidak usah jauh-jauh pergi berperang untuk mencari orang kafir, ini yang dekat justeru sudah memusuhi dan memerangi semenjak dahulu. Bahkan para ulama sepakat bahwa memerangi penguasa murtad adalah lebih harus didahulukan memeranginya daripada orang-orang kafir asli, apalagi orang-orang kafir yang jauh 6. Hadits Ubadah ibnu Shamit (HR. Bukhari dam Muslim) Nabi shalallahu alaihi wa sallam mengajak kami, maka kami membaiatnya, maka di antara yang beliau ambil janjinya atas kami adalah kami membaiat(nya) untuk senantiasa mendengar dan taat, saat senang dan saat benci, di waktu sulit dan waktu mudah kami, serta saat kami diperlakukan tidak adil dan agar kami tidak merampas urusan dari yang berhak (penguasa) kecuali kalian melihat kekafiran yang nyata dengan bukti dari Allah yang ada pada kalian Sedangkan kita sudah banyak melihat bentuk-bentuk kekafiran yang dianut dan masih senantiasa dilakukan penguasa negeri ini, sehingga tidak layak berdalil dengan surat An Nisa : 59 untuk menggelari pemerintah ini sebagai ulil amri, akan tetapi yang tepat adalah ayat-ayat yang baru saja dibahas dan ditambah dengan hadits ini. Para ulama sepakat bahwa orang kafir tidak sah untuk menjadi pemimpin bagi kaum muslimin. Bila pemimpin tersebut asalnya muslim kemudian muncul kekafiran darinya, maka wajib untuk mencopotnya dan menggantinya dengan pemimpin yang muslim. Bila tidak mampu mencopotnya karena mereka menggunakan kekuasaan untuk mempertahankannya, maka wajib diperangi. Namun dalam relaita zaman ini, kekafirannya bukanlah kekafiran yang bersifat personal, akan tetapi kekafiran yang kolektif dan sistematis, sehingga jika penguasa yang satu mati, maka sistemnya belum mati dan orang-orang setelahnya akan menggantikan dia, karena sistem kafirnya tidak mati dan tetap mengakar. Tugas kita adalah wajib menggalang kekuatan dengan langkah awalnya adalah mengerahkan segala kemampuan dalam menggencarkan dakwah Tauhid yang berkesinambungan untuk mencabut akar-akar loyalitas terhadap thaghut di tengah masyarakat, sehingga thaghut tidak mempunyai tempat lagi di tengah-tengah masyarakat ini.

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


42 -

Jihad terhadap thaghut ini haruslah menjadi opini kaum muslimin, kaum muslimin harus merasa memiliki tanggung jawab terhadap masalah ini, sehingga tidak hanya dipikul oleh kelompok-kelompok tertentu saja. Bukan berarti seluruh kaum muslimin harus terjun dengan menenteng senjata, tapi yang paling penting bagi mereka adalah harus memahami betul bahwa penguasa negeri yang mana mereka hidup di dalamnya adalah penguasa murtad kafir yang tidak boleh diberikan loyalitas, sehingga dengan kesadaran itu lunturlah dukungan kepada para thaghut dan tumbuhlah loyalitas kepada orang-orang yang berkomitmen dengan ajaran Allah Subhanahu Wa Taala. Bila ini terwujud, maka kondisi akan berubah, dukungan kepada thaghut akan berganti dengan penentangan, sehingga mudahlah untuk menjatuhkan para thaghut itu. BERSABARLAH!!! Proses ini tidak mudah dan tidak akan terjadi begitu saja, tahap awal yang patut dilakukan adalah memberikan bayan (penjelasan) atau penyampaian risalah tauhid, karena perlu penyadaran terhadap masyarakat tentang kenapa penguasa negeri ini dikatakan sebagai penguasa kafir. Dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Al Baqarah : 191) Allah Subhanahu Wa Taala memerintahkan untuk mengusir orang-orang kafir sebagaimana mereka pernah mengusir kaum muslimin. Rasulullah diperintahkan untuk mengusir orang-orang kafir sebagaimana mereka telah mengusir Rasul shalallahu alaihi wa sallam. Perhatikan para thaghut itu telah mengeluarkan orang-orang yang komitmen dengan ajaran Islam dari jajaran masyarakat dengan cara menanamkan image negatif tentang mereka, memprovokasi, memfitnah dan membodoh-bodohi masyarakat dengan menuduh orang-orang yang bertauhid sebagai orang-orang bodoh, tidak memahami Islam secara utuh, orang yang dangkal pikiran atau orang yang haus dunia dan kekuasaan, maka menjadi wajiblah pula bagi kaum muslimin untuk mencopot para thaghut ini dari benak masyarakat dengan cara menyebarkan ilmu syariy, khususnya tentang tauhid dan kewajiban memerangi penguasa semacam itu. Begitu pula dalam masalah harta, sebagaimana para thaghut itu telah menjauhkan orang-orang berkomitmen dengan ajaran Allah Subhanahu Wa Taala dari harta mereka, bahkan thaghut selalu berupaya mempersulit hidup mereka, maka wajib pula bagi orang-orang yang bertauhid yang komit terhadap ajaran-Nya untuk menjauhkan thaghut dari harta yang mereka miliki, karena sebagian besar harta yang jatuh ke tangan thaghut digunakan untuk mempersenjatai tentara mereka untuk memerangi Allah dan Rasul-Nya, oleh sebab itu Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam pernah mendoakan orangorang Quraiys agar dilanda paceklik, dengan tujuan agar mereka mendapatkan kesusahan sehingga tidak lagi menindas kaum muslimin dan dana yang mereka keluarkan tidak digunakan untuk mendukung hal itu. Maka haramlah atas setiap muslim untuk membayar atau menyerahkan harta kepada penguasa kafir dalam bentuk apapun, kecuali dalam kondisi terdesak atau dipaksa, karena Allah Subhanahu Wa Taala berfirman : Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (Al Maaidah : 2) Janganlah kalian menyerahkan harta-harta kalian kepada orang-orang bodoh itu (An Nisa : 5) Perhatikanlah jika Allah Subhanahu Wa Taala melarang menyerahkan harta kaum muslimin kepada orang-orang yang tidak bisa menggunakan dengan benar, sedangkan bentuk kebodohan yang paling dasyat adalah orang-orang yang tidak suka dengan ajaran tauhid, salah satunya yaitu para thaghut. Allah menyatakan : Dan tidak ada yang benci kepada Millah Ibrahim, kecuali orang yang memperbodoh dirinya sendiri (Al Baqarah : 130) Jadi, seharusnya harta yang diambil dari kaum muslimin, mereka pergunakan di jalan Allah, bukan di jalan thaghut yang digunakan untuk memerangi Allah dan kaum muslimin. Hendaklah diketahui bahwa pemerintahan thaghut ini adalah pemerintahan yang tidak sah, tidak syariy, tidak diakui secara Islam. Mereka adalah pemerintah yang memaksakan diri, begitu pula hukum dan undang-undangnya tidak sah, oleh sebab itu kaum muslimin tidak memiliki kewajiban untuk taat pada aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah thaghut ini, bahkan bebas untuk melanggarnya selama memenuhi dua syarat, yaitu : selama tidak melakukan sesuatu yang dilarang syariat dan selama tidak menzhalimi orang muslim lainnya. Demikianlah sikap kita kaum muslim terhadap para thaghut penguasa negeri ini, bukan loyal dan taat kepada mereka, tapi ingatlah bahwa kita adalah orang-orang yang ditindas, diperangi dengan berbagai cara : kasar dan halus, terang-terangan dan sembunyi-sembunyi, tapi sungguh banyak kaum muslimin tidak menyadarinya. Ini karena kebanyakan kaum muslimin belum memahami hakikat Laa ilaaha illallaah. Mereka mengira penguasa negeri ini adalah muslim, karena para thaghutnya itu shalat, shaum, zakat, bahkan haji berkali-kali, padahal penguasa negeri ini telah melanggar hal yang paling penting dan fundamental, yaitu syahadat Laa ilaaha illallaah

Apa saja pembatal pembatal keislaman?

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


43 -

Sesungguhnya banyak sekali hal-hal yang dikategorikan sebagai pembatal ke-Islam-an, namun para ulama banyak menyebutkan sepuluh pembatal yang paling berbahaya dan paling banyak dikerjakan ummat. Pembatal-pembatal ke-Islam-an tersebut adalah:

1.

Syirik atau mengadakan sekutu dalam beribadah kepada Allah Taala. 2. Menjadikan sesuatu atau seseorang sebagai waslah (perantara) dalam doa, syafaat dan tawakkal. 3. Tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, menyangsikan kekafiran mereka atau malahan membenarkan keyakinan mereka.

4.

Meyakini bahwa petunjuk selain petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa Sallam adalah lebih sempurna dan lebih baik.

Mengganggap suatu hukum atau undang-undang selainnya lebih baik daripada syariat Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam dan lebih mengutamakan hukum thaghut daripada hukum Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam. Apabila ada seseorang meyakini bahwa un-dang-undang yang dibuat manusia lebih utama dan lebih baik dari-pada syariat Islam, maka ia telah kafir. Demikian pula apabila ia menganggap bahwa syariat Islam sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, atau bahkan beranggapan bahwa agama Islam hanya menyangkut hubungan ritual antara hamba dengan Rabb-nya dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan masalah duniawi. Demikian pula apabila seseorang memandang bahwa pelaksanaan syariat Islam, misalnya masalah rajam dan qishash, sudah tidak sesuai lagi dengan peradaban modern (atau Hak Asasi Manusia). Begitu pula mereka yang beranggapan bahwa seseorang diperbolehkan untuk tidak berhukum dengan hukum atau syariat Allah Taala dalam hal sosial kemasyarakatan dan hukum-hukum lainnya, maka ia telah kafir, meskipun belum sampai pada keyakinan bahwa hukum yang dianutnya lebih utama dari hu-kum Islam. yang berasal dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam, walaupun

5. 6.

Membenci hal-hal mengamalkannya.

Mengolok-olok sebagian ajaran yang dibawa Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam, seperti pahala atau balasan yang akan diterima. 7. Melakukan sihir, pelakunya dihukumi kafir. 8. Loyal terhadap orang kafir serta memberikan bantuan dan pertolongan kepada orang musyrik untuk memerangi kaum muslimin.

9.

10.

Beranggapan bahwa manusia boleh keluar dari syariat atau ajaran Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa Sallam. Berpaling dari dien Allah Taala, baik karena tidak mau mempelajarinya atau karena tidak mau mengamalkannya.

Biasanya kelompok yang mengungkap kajian seperti ini disemati sebagai khawarij, bagaimana penjelasannya?
Beberapa tahun terakhhir ini mulai nampak semarak dengan muculnya kelompok yang mengklaim diri mereka dengan para pejuang tauhid dan sunnah, pemberantas syirik dan bidah. Dengan modal semangat yang menggebu-gebu dan ilmu seadanya mereka mengaku sebagai kelompok ahlussunnah wal jamaah, merekalah orang-orang yang tegak memperjuangkan pemahaman-pemahaman salaful ummah. Sungguh betapa mulia dan bernilainya kelompok tersebut seandainya mereka konsekuen dengan sloganslogan yang mereka gembar-gemborkan di berbagai tempat dan kesempatan itu. Mereka tampil di tengahtengah umat Islam ini dengan membawa gebrakan-gebrakan yang memukau menyerang berbagai harokah Islamiyah yang tegak memperjuangkan Islam dengan jihad dan istisyhadiyah. Dengan bermodal taqlid dan taassub mereka meneriakkan bahwasanya mereka yang memperjuangkan Islam dengan jihad dan istisyhadiyah ini sebagai kelompok ahlul bidah dan khowarij yang harus diperangi, lalu dengan tanpa malu-malu mereka mengatakan bahwasanya kami-lah salafi, kamilah ahlussunnah, semua yang tidak sesuai dengan kami maka mereka adalah ahlul bidah. Sungguh memprihatinkan keadaan ini bagi mereka yang mempunyai sedikit pemahaman yang benar tentang Islam. Kalau kita menengok dalam tuliasan-tulisan mereka akan kita dapati bahwasanya kebanyakan mengatakan yang dimaksud dengan khowarij adalah orang-orang yang keluar memberontak kepada imam yang syah. Dan sungguh pengertian ini tidaklah mengandung kebenaran sedikitpun. Sesungguhnya orang yang memberontak kepada pemerintah yang syah karena takwil adalah ahlul baghyi. Memang bisa jadi mereka itu Khowarij, tapi mereka dikatakan Khowarij bukan karena mereka memberontak kepada pemerintahan yang syah, akan tetapi mereka dikatakan Khowarij karena aqidah mereka. Takfir (mengkafirkan) para pelaku syirik adalah bagian Tauhid dan pondasi dien ini, bukan fitnah sebagaimana yang diklaim oleh musuh-musuh Allah dari kalangan ulama suu (ulama jahat) kaki tangan thaghut dan kalangan neo murjiah. Orang mengkafirkan pelaku syirik bukanlah Khawarij, justeru mereka itu adalah penerus dakwah rasul-rasul. Orang yang menuduh mereka sebagai Khawarij adalah orang yang tidak paham akan dakwah para rasul.

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


44 -

Sebelumnya kita harus mengetahui terlebih dahulu tentang pengertian murtad. An-Nawawi berkata: Riddah secara bahasa adalah kembali dari sesuatu menuju yang lainnya. Dan secara syarI: qothul Islam (melepaskan, membatalkan Islam). Dinukil secara ringkas dari Al-Majmu XX/369. Mengenai hukum bagi murtadin. Dari Ikrimah beliau berkata: Dihadapkan kepada amirul mukminin Ali radhiyallahuanhu; orang-orang zindiq lalu beliau membakar mereka. Lalu berita itu sampai kepada Ibnu Abbas maka beliau berkata: Kalau aku, maka aku tidak akan membakar mereka karena Rasululloh melarang hal itu. Namun aku pasti membunuh mereka karena Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda: Barangsiapa berganti dien, maka bunuhlah ia! (HR. Jamaah kecuali Muslim sedangkan dalam riwayat Ibnu Majah hanya tersebut; Barang siapa berganti dien, maka bunuhlah ia!) Dan dalam hadits dari Abu Musa, bahwasanya Rasululloh Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda kepadanya: Pergilah ke Yaman! Kemudian diikuti oleh Muadz bin Jabal. Ketika berjumpa dengannya ia diberi bantal dan berkata:Turunlah! Dan ternyata disampingnya ada seseorang yang terikat. Ia bertanya: Siapa ini? ia menjawab:orang ini dahulu Yahudi lalu masuk Islam kemudian ia masuk Yahudi. Aku tidak akan duduk sampai ia dibunuh sebagai keputusan Allah dan Rasul-Nya. (Muttafaq alaih) Ar-RofiI dan An-Nawawi berkata: Murtad adalah bentuk kekafiran yang paling keji dan yang paling keras hukumnya. (Al-Aziz XI/97 dan Al-Majmu XX/369). Orang yang murtad tidak lepas dari tiga keadaan; Pertama mereka berada dibawah kekuasaan Islam dan tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankan diri. An-Nawawi berkata: Apabila seseorang Murtad, maka wajib untuk dibunuh, baik ia berpindah ke agama ahlul kitab atau tidak, baik ia orang merdeka atau budak, atau perempuan berdasarkan hadits Utsman radhiyallahuanhu dia atas dan hadits Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwasanya Rasululloh Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda: Barang siapa berganti agama, maka bunuhlah ia! dan ini adalah hadits shohih. Dan sama juga apakah kemurtadannya kepada kekafiran, sama asja apakah ia lahir dalam keadaan Islam atau dia dulunya kafir lalu masuk Islam atau ia menjadi Islam karena keislaman kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya.(Al-Majmu XX/380) Kedua mereka mempunyai kekuatan untuk mempertahankan diri. Mereka ini wajib untuk diperangi, yang melarikan diri diburu dan yang terluka dibunuh. Jika mereka ada yang tertawan, maka ia disuruh bertaubat kalau tidak mau maka ia dibunuh, karena tidak boleh membiarkannya tetap berada dalam kekafiran. Asy-Syarozi berkata: Dan jika sebuah kelompok murtad dan mempertahankan diri dengan kekuatan, maka imam wajib untuk memeranginya karena Abu Bakar ra telah memerangi kelompok ynag murtad. Yang kabur diburu, dan yang terluka dihabisi. Karena memerangi ahlul harbi saja wajib maka terlebih lagi memerangi kelompok yang telah murtad sedangkan kekafiran mereka lebih besar. Jika mereka ada yang tertawan, maka ia disuruh bertaubat kalau tidak mau maka ia dibunuh, karena tidak boleh membiarkannya tetap berada dalam kekafiran. (Al majmu, An-Nawawi XX/391). Al-Mawardi berkata: Kondisi kedua mereka memiliki daerah sendiri yang terpisah dari wilayah kaum muslimin sehingga mereka bisa mempertahankan diri di sana. Jika kondisi mereka seperti itu maka mereka wajib diperangi kerena kemurtadan mereka setelah sebelumnya mereka diberi penjelasan tentang Islam dan dalil-dalil dipaparka kepada mereka. (Al-Ahkam As-Sulthoniyah, Almawardi) Ishom Darbalah dan Ashim Abdul Majid berkata: Para ulama telah berijma atas wajibnya memerangi kelompok apapun yang mempunyai kekuatan yang tidak mau melaksanakan sebuah syariat dari syariat-syariat Islam yang sudah jelas dan mutawatir, meskipun kelompok tersebut adalah kelompok Islam, meskipun mereka mengucapkan dua kalimat syahadat, dan sama saja apakah yang mereka tinggalkan itu sedikit maupun banyak. Jika mereka tetap mengakui atas wajibnya syariat yang mereka tinggalkan, maka mereka diperangi sampai mereka mau melaksanakan apa yang mereka tinggalkan. Adapun menolak syariat yang mereka tinggalkan, maka mereka telah murtad, dan mereka diperangi sampai kembali kepada syariat Islam. Dan memerangi dua macam kelompok ini hukumnya wajib atas dasar ijma. (Al-Qulul Qoti fiiman imtanaa anisy syroi, Ishom Darbalah dan Ashim Abdul Majid hal. 23) Ketiga adalah penguasa yang murtad. Mereka harus digulingkan dari kekuasaan dengan pedang, bagi yang mampu melaksanakannya ia mendapat pahala dan bagi yang memberikan toleransi, mereka mendapat dosa dan bagi yang tidak mempunyai kemampuan ia harus hijrah. Abdullah bin Umar bin Sulaiman Ad-Dumaiji berkata tentang memberontak kepada pemerintah kafir dan murtad: Hal ini juga merupakan suatu kesepakatan para ulama, yaitu memberontak dan menggulingkannya dengan pedang bagi siapa saja yang mampu melakukannya, adapun jika tidak mempunyai kemampuan untuk menggulingkannya dengan pedang, maka harus mencari jalan yang paling tercepat untuk menggulingkannya, dan membebaskan kaum muslimin dari kekuasaan pemerintah tersebut walaupun harus bersusah payah, hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Ubadah radhiyallahuanhu yang telah disebutkan tadi yaitu:

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


45 -

.. dan agar kami tidak memberontak kecuali jika melihat kekafiran nyata yang menjadi alasan di sisi Allah. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: Jika pemerintah melakukan kekafiran yang nyata, maka tidak boleh mentaatinya dalam hal itu, bahkan wajib berjihad melawannya, sebagaimana yang tersebut dalam hadits ini. (Yaitu hadits Ubadah yang tersebut di atas). (Fathul Bari XIII/7) Dan beliau berkata pada halaman yang lain: Sesungguhnya seorang pemerintah kafir itu harus dipecat menurut ijma. Kaum muslimin harus melakukan hal itu, barang siapa yang mampu mengerjakannya ia mendapat pahala dan bagi yang memberikan toleransi mendapatkan dosa dan bagi yang tidak mempunyai kekuatan wajib hijroh dari negeri tersebut. (Fathul Bari XIII/123) An-Nawawi berkata: Dan murtad itu bisa dihasilkan karena niat untuk kafir atau karena perkataan atau perbuatan. Adapun jika hal itu disebabkan oleh perkataan maka sama saja apakah orang yang mengatakan itu karena mengejek, atau menentang atau katas dasar keyakinan. Muhammad bin Said Al-Qohthoni berkata: Adapun riddah adalah kafir setelah beriman, maka barang siapa perkataan yang mengandung kekafiran, atau melakukannya atau rela dengannya dengan atas kehendaknya (bukan karena terpaksa) maka ia telah kafir, meskipun ia membenci dalam hatinya. Dan inilah yang dikatakan oleh para ulama sunnah dan hadits, dan mereka mengatakan dalam kitab-kitab; sesungguhmya orang murtad adalah orang kafir setelah masuk Islam baik dengan perkataan atau perbuatan atau keyakinan. Dan mereka telah menetapkan barangsiapa mengucapkan perkataan yang mengandung kekafiran maka ia telah kafir meskipun ia tidak meyakininya dan tidak mengerjakannya, jika ia ketika mengucapkannya bukan karena terpaksa. Dan begitu pula jika seseorang melakukan perbuatan kufur maka ia telah kafir ia tidak meyakininya dan tidak pula mengucapkannya, dan begitu pula jika ia lapang dada dengan kekafiran meskipun ia tidak mengucapkannya dan tidak pula melakukannya. Dan hal ini sudah maklum adanya secara jela dalam kitab-kitab mereka dan barang siapa yang biasa bergaul dengan ilmu pasti ia telah mendengar sebagiannya. (Ad-Difa, Syaikh Hamd bin Atiq hal. 28 dan lihat At-Tasyri Al-JinaI II/708 dan kitab Ar-Ridah bainal amsi wal yaum hal. 33) Beliau juga mengatakan setelah memaparkan pembatal-pembatal Islam: Dan tidak ada bedanya pada seluruh pembatal-pembatal ini antara orang yang bermain-main, yang serius dan yang takut dan yang terkecuali adalah orang yang terpaksa. (Al majmu, An-Nawawi XX/369-370). Diantara bentukbentuk kekafiran itu adalah Berhukum dengan selain hukum Allah. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman pada apa yang di turunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelummu mereka hendak berhakim kepada thogut padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thogut itu dan syetan bermaksud untuk menyesatkan mereka dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya. (An-Nisa: 60) Maka demi Robbmu, mereka pada hakekatnya tidak beriman sehingga mereka menjadikanmu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (An-Nisa: 65) Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang telah diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang kafir. (Al-Maidah: 44) Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang telah diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang dholim. (Al-Maidah: 45) Dan barangsiapa yang tidal berhukum dengan hukum yang telah diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang fasik. (Al-Maidah: 47) Ali bin Abil Izz berkata tentang berhukum dengan selain syariat Islam: Disini ada masalah yang harus direnungkan, yaitu bahwasanya berhukum dengan selain apa yang diturunkan oleh Allah bisa berupa kekafiran yang mengeluarkan pelakunya dari Islam dan kadang hanya berupa maksiyat, baik dosa besar maupun dosa kecil. Dengan demikian ia berarti kufur majazi atau kufur ashghor. Hal itu disesuaikan dengan kondisi pelakunya. Apabila ia berkeyakinan bahwa berhukum dengan hukum Allah itu tidak wajib, atau ia bebas memilih, atau ia meremehkannya padahal ia yakin bahwa itu adalah hukum Allah, maka yang demikian ini adalah kufur akbar. Namun jika ia yakin akan keharusan berhukum dengan hukum Allah, dan ia menyadari hal itu pada peristiwa yang terjadi, lalu ia menyeleweng sedangkan ia tahu bahwa dengan demikian ia berhak mendapatkan siksa, maka orang tersebut bermaksiat. Tapi kalau ia tidak tahu hukum Allah sementara ia sudah berusaha dan mengerahkan segala potensi untuk mengetahui hukum Allah, namun ia keliru maka ia dianggap bersalah, ia tetap mendapatkan satu pahala karena ijtihadnya sedangkan kesalahannya diampuni. (Tahdzib Syarhul Aqidah Ath-Thohawiyah, Abdul Akhir Hammad hal.176) Abdul Akhir Hammad dalam mengomentari perkataan diatas berkata: Yang pelu diperhatikan juga bahwasanya pembagian seperti ini bermuara pada berhukum yang berarti al-qodlo (memutuskan) bukan dalam arti at-tasyri (membuat undang-undang). Karena kata hukum dalam Al-Quran kadang berarti al-qodlo sebagaimana firman Allah: Dan barangsiapa yang tiadk berhukum dengan hukum yang telah diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang kafir. (Al-Maidah:44)

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


46 -

pengertian inilah yang dimaksud oleh Ali bin Abil Izz ketika menjadikan berhukum kepada hukum kepada selain hukum yang telah Allah turunkan berkisar antara kufur akbar dan kufur ashghor sesuai dengan keadaan pelakunya. Hal itu dapat kita pahami dari perkataan beliau pada peristiwa yang terjadi itu artinya beliau tengah membicarakan suatu kejadian yang diselewengkan oleh hakim sehingga ia tidak memutuskannya sesuai dengan hukum Allah. Adapun arti yang kedua yaitu at-tasyri sebagaimana firman Allah: Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik dari pada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin. (Al-Maidah: 50) Ayat ini berbicara tentang hukum Allah yang berarti syariat dan manhaj-Nya dibandingkan dengan hukum jahiliyah yang berarti syariat dan manhaj jahiliyah. Oleh karena itu anda dapatkan seorang mufassir seperti Ibnu Katsir ketika berbicara tentang ayat: Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang telah diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang kafir. (Al-Maidah:44) Beliau membahas panjang lebar tentang perselisihan para ulama salaf seputar ayat ini, ditujukan kepada siapa dan apa yang dimaksud dengan kufur di sini, dan yang lain-lain. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir II/57-62). Adapun ketika mentafsirkan ayat: Maka kita dapatkan beliau sangat mempertegas masalah ini. Beliau menetapkan bahwa menyeleweng dari syariat Allah kepada syariat lain yang dibikin oleh manusia sendiri merupakan kekufuran yang pelakunya harus diperangi sampai kembali kepada ajaran Allah.Beliau mengatakan:Allah mengingkari orang-orang yang menyeleweng dari hukum Allah yang muhkam dan mencakup segala kebaikan dan larangan segala keburukan, lalu berpaling kepada kepada hukum yang lain berupa pemikiran, hawa nafsu dan segala atribut hukum buatan manusia, yang tidak berlandaskan dengan syariat Allah, sebagai mana hukum yang diterapkan oleh bangsa Tartar, yang diadopsi dari raja mereka, Jengkis Khan, yang membuat Ilyasa sebagai buku yang berisi kumpulan hukum yang diambil dari berbagai hukum; dari Yahudi, Nasrani, Islam dan yang lainnya, dan didalamnya juga banyak hukum yang hanya berlandaskan pemikiran dan hawa nafsu belaka, lalu jadilah ia sebagai sebuah syriat yang diikuti dan lebih diutamakan dari pada hukum AlQuran dan As-Sunnah. Maka siapa saja mereka yang melakukan seperti ini, ia adalah kafir yang wajib diperangi sampai kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya. Sehingga tidak ada keputusan hukum baik sedikit maupun banyak kecuali dengan menggunakan hukum Allah. (Tafsir Ibnu Katsir II/68) Bahkan beliau telah menyatakan ijma tentang kafirnya orang menjadikan silain syariat Allah sebagai syariat yang dijadikan landasan hukum. Sebagaimana yang beliau nyatakan dalam kitab AlBidayah wan Nihayah sebagai sanggahan terhadap kitab Ilyasa. Beliau mengatakan: Barangsiapa yang meninggalkan syariat yang telah baku yang diturunkan kepada Muhammad bin Abdulloh sebagai penutup para nabi lalu berhukum dengan syariat-syariat lain yang telah mansukh, maka ia telah kafir, lalu bagaimana halnya dengan orang yang berhukum dengan Ilyasa dan lebih mengutamakannya daripada hukum Allah? Orang yang melakukannya telah kafir berdasarkan ijma kaum muslimin. (Lihat Al-Bidayah wan Nihayah XIII/119) Dari sini jelas bagi kita keputusan yang tegas berkenaan dengan undang-undang buatan yang menyelisihi syariat Allah yang merasuki negeri Islam sehingga menjadi undang-undang yang mengikat mereka, bahwa hal itu adalah kekufuran yang tidak perlu bantahan lagi. Para muhaqqiq dari kalangan ulama pada masa ini menyadari hal itu sehingga mereka sehingga mereka menjelaskan hukum undangundang tersebut dalam Islam. Diantara mereka adalah syaikh Ahmad Syakir dalam komentar beliau mengomentari perkataan Ibnu Katsir diatas: Sesungguhnya hukum undang-undang buatan manusia itu telah jelas bagaikan matahari di siang bolong, hal itu adalah kekafiran yang nyata dan tidak ada kesamaran lagi. Tidak ada alasan lagi bagi orang yang mengaku Islam untuk mengamalkannya, tunduk kepadanya atau mengakuinya. (Lihat Umdatut Tafsir anil Hafidz Ibu Katsir IV/172) Syaikh Muhammad bin Ibrohim, mufti Arab Saudi dulu, berkata: Dan tidak mungkin Allah menamakan orang yang berhukum dengan selain hukum Allah sebagai orang kafir lalu orang yang melakukan hal tersebut tidak kafir. Akan tetapi sebenarnya ia tetap kafir secara mutlak baik kufur amali maupun kufur Itiqodi Beliau berkata: Adapun yang pertama yaitu kufur Itiqodi, ini bermacammacam: Pertama: Orang yang berhukum dengan selain hukum Allah itu mengingkari keabsahan hukum Allah dan Rasul-Nya. Dan inilah yang dimaksud dari riwayat Ibnu Abbas dan yang dipilih Ibnu Jarir, yaitu mengingkari hukum syari yang diturunkan Allah, dan dalam hal ini tidak ada perselisihan antara para ulama.

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


47 -

Kedua:

Orang yang berhukum dengan selain hukum Allah itu tidak mengingkari keabsahan hukum Allah akan tetapi ia berkeyakinan bahwa selain hukum Rasululloh lebih baik, lebih sempurna dan lebih memenuhi kebutuhan manusia sebagai pemutus perkara antara mereka ketika terjadi pereslisihan, baik secara mutlak maupun hanya terbatas pada masalah-masalah baru yang muncul sesuai dengan perkembangan zaman dan perubahan kondisi. Seperti ini juga tidak diragukan lagi atas kekafirannya karena ia lebih mengutamakan hukum buatan makhluk yang hanya merupakan sampah-sampah otak dan kekerdilan hukum dibanding dengan hukum Allah yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui. Orang tersebut tidak berkeyakinan bahwa hukum tersebut lebih baik dari pada hukum Allah dan Rasul-Nya, akan tetapi ia berkeyakinan bahwasanya keduanya sama saja, maka seperti ini sama saja dengan dua kelompok sebelunya, ia kafir keluar dari Islam karena dengan demikian ia menyamakan antara makhluq dengan Kholiq.

Ketiga:

Keempat: Orang tersebut tidak sampai berkeyakinan bahwa selain hukum Allah itu sama dengan hukum Allah dan Rasul-Nya apalagi berkeyakinan bahwasanya hukum tersebut lebih baik, akan tetapi ia berkeyakinan boleh berhukum dengan hukum yang menyelisihi hukum Allah dan RasulNya. Orang semacam ini sama saja dengan orang-orang sebelunya karena ia berkeyakinan bolehnya mengkuti hukum yang secara jelas bertentangan dengan nash. Kelima: Yaitu yang paling besar dan paling luas cakupan penentangannya terhadap syariat dan paling berani menentang hukum-hukumnya. Serta permusuhannya terhadap Allah dan Rasul-Nya juga membuat tandingan terhadap mahkamah syariyah baik secara persiapan, dukungan, pengawasan, penyebaran pemahaman, sekaligus menyebarkan keraguan-keraguan, pengembangan, bahkan juga pemutusan dan pemaksaan paham dengan berbagai rujukan dan referensi yang dimiliki. Sebagaimana mahkamah syariyah itu mempunyai rujukan dan sandaran yaitu yang semuanya berdasar kitab Allah dan sunnah Rasulullah, mahkamah mereka pun juga memiliki referensi yaitu undang-undang yang diadopsi dari berbagai ajaran, berbagai perundang-undangan seperti undang-undang Perancis, Amerika, Inggris dan undang-undang yang lain serta dari berbagai aliran bidah yang mengaku berpegang terhadap syareat dan lainlainnya. Mahkamah-mahkamah seperti ini sekarang banyak terdapat di negeri-negeri Islam yang disempurnakan, disiapkan dan terbuka bagi seluruh manusia dan banyak orang yang memanfaatkannya yang pada dasarnya adalah fatamorgana. Para hakimnya memutuskan perkara dengan hukum yang bertentangan dengan al Quran dan As Sunnah bahkan megesahkannya dan mengharuskan orang untuk mengikutinya. Dengan demkian kekufuran apalagi yang lebih besar dari pada itu, penentangan mana yang lebih dahsyat dari penentangan perbuatan merka itu terhadap persaksian bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.

Keenam: Hukum-hukum yang digunakan oleh para pemimpin suku dan kabilah yang berupa cerita dari nenek moyang mereka yang mereka namakan Sulumuhum yang mereka warisi secara turun menurun, mereka jadikan sebagai hukum lalu mereka menjadikannya sebagai hukum ketika ada perselisihan. Mereka tetap di atas hukum jahiliyah dan menolak serta benci terhadap hukum Allah dan Rasul-Nya.

Bagaimana jika ada yang mengatakan bahwa para penguasa itu hanya melakukan kufrun duna kufrin merujuk pada tafsir Ibnu Abbas ? Mereka juga mengatakan bahwa yang merongrong pemerintah adalah khawarij.
Ini adalah FENOMENA PENGKABURAN YANG HAQ DENGAN KEBATHILAN. Setelah menjelaskan sebab-sebab yang bisa menghantarkan pada pengkaburan kebenaran dengan kebathilan, yang di mana pada akhirnya menjerumuskan kepada kesesatan dan penyesatan setelah menjelaskan makna labs (samar/tidak jelas) dan talbis (mengaburkan permasalahan, menurut Ibnul Jauzi menampakan kebathilan dalam bentuk kebenaran), yaitu memoles kebatilan dan syahwat dengan polesan syari dengan mentahrif dalil-dalil atau menyembunyikannya. Sekarang saya akan menyebutkan beberapa fenomena pengkaburan dan penyesatan itu dengan tujuan agar kita hati-hati supaya tidak jatuh kedalamnya, dan menghati-hatikan kaum muslimin agar mereka tidak terjerat dan terpedaya dengannya. Saya tidak begitu mementingkan susunan materi-materinya, tapi susunannya sesuai apa yang ingin saya sampaikan. Saya meminta kepada Allah taufiq dan kelurusan dalam ucapan dan amalan. Di antara fenomena-fenomena adalah: Berdalih Atas Keabsahan undang-undang yang mengganti syariat Allah dan atas penghalalan apa yang diharamkan Allah dengan atsar dari salaf kufrun duna kufrin. Demi Allah, ini adalah pentahrifan/pengkaburan dalil dari keadaan yang selayaknya, dan menempatkan hukum bukan pada tempatnya serta berdusta (mengada-ada) dan aniaya terhadap Habrul Ummah Turjumanul Quran (Ibnu Abbas radhiallahuanhu) dan terhadap generasi terbaik umat ini. Mereka (salaf ini) tidak berbicara tentang masa kita ini dan mereka sama sekali tidak memaksudkan undangundang pengganti syariat Allah (sekarang ini). Hanya kepada Allah-lah tempat meminta pertolongan dan hanya kepada-Nyalah tempat mengadu. Di antara bantahan yang paling baik yang pernah saya lihat akan

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


48 -

talbis ini adalah apa yang ditulis Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah taala, saya akan nukilkan seluruhnya karena sangat penting sekali: Syaikh Ahmad Syakir berkata dalam Umdatut Tafsir: Dan atsar-atsar ini -dari Ibnu Abbas dan yang lainnya adalah di antara sekian atsar yang sering dipermainkan oleh mudlalliluun (orang-orang yang menyesatkan) pada zaman kita sekarang ini dari kalangan yang menisbatkan diri kepada ilmu dan dari kalangan yang lainnya yang sangat berani terhadap agama ini, mereka menjadikan atsar-atsar ini sebagai alasan atau pembolehan bagi qawaniin watsaniyyah maudluuah (undang-undang buatan yang syirik) yang telah merambah negeri-negeri Islam. Ada juga atsar dari Abu Mijlaz saat orang-orang Khawarij Ibadllyyah mendebatnya, tentang perlakuan dlalim yang dilakukan oleh sebagian para penguasa, mereka (para penguasa itu) dalam sebagian keputusannya menyalahi syariat karena mengikuti hawa nafsunya atau karena jahil akan hukum. Sedangkan dalam madzhab Khawarij bahwa pelaku dosa besar itu adalah kafir, maka mereka mendebat seraya menginginkan agar Abu Mijlaz itu merestui pendapat mereka akan kafirnya para penguasa tersebut, ini supaya menjadi alasan bagi mereka untuk memberontak para penguasa itu. Dua atsar ini telah diriwayatkan oleh Ath Thabariy: 12025, 12026. Saudara saya As Sayyid Mahmud Muhammad Syakir telah memberikan atas kedua atsar itu taliq yang sangat berbobot sekali, kuat dan tegas. Dan saya merasa perlu untuk menyebutkan teks riwayat pertama Ath Thabariy ini berikut taliq saudara saya atas kedua riwayat itu. Ath Thabary meriwayatkan (12025) dari Imran Ibnu Hudair, berkata: Beberapa orang dari Bani Amr Ibnu Saduus mendatangi Abu Mijlaz, mereka berkata: Wahai Abu Mijlaz beritahu kami tentang firman Allah: Apakah itu benar? Abu Mijlaz berkata: Ya, benar. Mereka berkata: Apakah itu benar? Abu Mijlaz berkata Ya, benar. Mereka berkata: Apakah itu benar? Beliau berkata: Ya, benar. Berkata (perawi): Mereka berkata Wahai Abu Mijlaz, apakah mereka (penguasa saat itu) memutuskan dengan apa yang Allah turunkan? Beliau berkata: Dia (Islam) adalah agama yang mereka yakini, dan dengannya mereka memegang, dan kepada Islam-lah mereka itu mengajak, bila mereka meninggalkan sesuatu darinya mereka mengetahui bahwa mereka itu melakukan dosa Maka mereka berkata: Tidak, demi Allah, namun engkau merasa takut...!!! Beliau berkata: Kalian lebih layak akan hal ini daripada saya...! Saya tidak melihatnya dan kalian melihat hal ini sedang kalian tidak merasa berdosa...! Namun ayat itu berkenaan dengan orang-orang Yahudi, Nashrani dan orang-orang musyrik, atau yang sejalan dengannya Kemudian Ath Thabari meriwayatkan (12026) hampir sama maknanya dengan yang tadi, dan kedua sanadnya adalah shahih. Saudara saya As Sayyid Mahmud telah menulis hal yang berkenaan dengan dua atsar ini, dan ini teksnya: Ya, Allah saya berlepas diri kepada Engkau dari kesesatan. Wabadu, sesungguhnya para penebar keraguan dan fitnah dari kalangan yang berbicara dalam masalah ini pada masa sekarang ini telah mencarikan alasan (udzur) bagi para penguasa dalam meninggalkan berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, dan dalam memutuskan hukum yang berkenaan dengan darah, kehormatan dan harta dengan selain syariat Allah yang telah Dia turunkan dalam kitab-Nya, serta (mencarikan alasan) dalam keberanian mereka mengambil undang-undang orang-orang kafir yang mereka terapkan di negeri-negeri Islam. Tatkala dia mendapatkan kedua atsar ini, langsung mereka jadikan sebagai pendapat (pegangan) yang dengannya dia menganggap benar memutuskan hukum dalam masalah harta, kehormatan, dan darah dengan selain apa yang telah Allah turunkan, dan bahwa menyalahi syariat Allah dalam masalah qadlaa aam (ketentuan/hukum umum atau tasyri aam) tidak membuat kafir orang yang ridla dengannya dan yang melaksanakannya. Orang yang mengamati dua khabar (atsar) ini pasti ingin mengetahui siapa orang yang bertanya dan siapa yang ditanya, Abu Mijlaz (Lahiq Ibnu Hurnald Asy Syaibaniy As Sadusiy) adalah tabiin tsiqah, dan beliau itu sangat mencintai Ali sedangkan kaum Abu Miljaz yaitu Banu Syaiban dahulunya adalah pendukung Ali pada kasus perang Jamal dan Shiffin, dan tatkala terjadi tahkim pada perang Shiffin dan Khawarij memisahkan diri, maka termasuk yang menentang Ali adalah sekelompok orang dari Banu Syaiban dan dari Bani Saduus Ibnu Syaiban Ibnu Dzuhl. Orang-orang yang bertanya kepada Abu Mijlaz adalah kelompok orang dari Bani Amr Ibnu Saduus (sebagaimana dalam AI Atsar 12025), dan mereka itu adalah golongan dari firqah Ibadliyyah (sebagaimana dalam atsar 12026), sedangkan lbadliyyah adalah bagian dari jamaah Khawarij Haruriyyah pengikut Abdullah Ibnu lbadl At Tamimiy. Mereka itu sepaham dengan kelompok Khawarij lain dalam masalah tahkim, dalam pengkafiran Ali karena beliau melakukan tahkim kepada dua orang (sahabat), dan, bahwa Ali itu tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah dalam masalah tahkim. Kemudian Abdullah Ibnu Ibadl ini berpendapat bahwa orang yang bersebrangan dengan Khawarij adalah kafir bukan musyrik, namun para pengikutnya tidak sependapat dengannya. Dan Khawarij menetapkan bahwa hukum-hukum (yang diberlakukan kepada) orang-orang musyrik berlaku pula bagi orang-orang yang bersebrangan dengan mereka. Kemudian setelah sepeninggal Abdullah Ibnu Ibadl orang-orang Ibadliyyah ini pecah banyak (sekali), kami tidak mengetahui dari kelompok mana orang-orang yang ada dalam dua atsar ini, namun yang jelas bahwa orang-orang Ibadliyyah seluruhnya mengatakan: Sesungguhnya negeri orang-orang yang berseberangan dengan mereka adalah negeri Tauhid kecuali kelompok penguasa, sesungguhnya itu adalah darul kufur menurut mereka. Kemudian mereka mengatakan juga: Sesungguhnya semua yang

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


49 -

Allah wajibkan atas makhluknya adalah iman dan sesungguhnya setiap dosa besar itu adalah kufur nikmat, bukan kufur syirik dan bahwa pelaku dosa besat itu adalah kekal di neraka selama-lamanya. Jadi jelaslah bahwa orang-orang yang bertanya kepada Abu Mijlaz itu adalah orang-orang Ibadliyyah, mereka bertanya hanya karena ingin memaksakan hujjah mereka kepada beliau dalam masalah pengkafiran para pejabat pemerintah (saat itu), karena mereka berada dilingkungan penguasa (sutlhan), dikarenakan mereka itu mungkin saja maksiat dan melakukan apa yang telah diharamkan Allah. Dan oleh sebab itu beliau berkata kepada mereka dalam khabar yang pertama (no: 12025): Bila mereka meninggalkan sesuatu darinya mereka mengetahui bahwa mereka telah melakukan dosa dan berkata dalam khabar yang kedua: Sesungguhnya mereka itu mengamalkan apa yang mereka amalkan dan mereka mengetahui bahwa itu dosa. Jadi, pertanyaan mereka itu bukan tentang apa yang dijadikan hujjah oleh para ahli bidah zaman kita ini, berupa memutuskan hukum dalam masalah harta, kehormatan, dan darah dengan undangundang yang bertentangan dengan syariat Islam, dan bukan tentang menggulirkan undang-undang (peraturan-peraturan) yang mengharuskan umat Islam berhukum kepada hukum selain hukum Allah dalam Kitab-Nya dan lewat lisan Nabi-Nya. Maka perbuatan ini adalah (bentuk) berpaling dari hukum Allah, enggan akan aturanNya, dan lebih mengutamakan hukum-hukum orang-orang kafir daripada hukum-hukum Allah, ini merupakan kekafiran yang tidak diragukan oleh seorangpun, dari kalangan Ahli kiblat dengan berbagai macam golongannya akan pengkafiran orang yang menyatakannya dan orang yang mendakwahkannya. Dan yang sedang kita hadapi sekarang adalah bentuk menjauhkan atau meninggalkan akan hukum-hukum Allah seluruhnya tanpa kecuali, mengutamakan hukum-hukum yang lain atas hukumhukum-Nya yang terdapat dalam Kitab-Nya dan sunnah-sunnah Nabi-Nya, dan menelantarkan semua syariat-syariat Allah, bahkan masalahnya sudah melebihi itu semua sampai-sampai mereka itu lebih mengunggulkan hukum-hukum undang-undang buatan atas hukum-hukum yang diturunkan Allah, dan klaim orang yang berhujah akan hal itu bahwa hukum-hukum syariat hanyalah turun untuk zaman yang bukan zaman kita ini, dan turun untuk alasan-alasan dan hikmah-hikmah tertentu yang telah tiada sehingga hukum-hukum itu pun otomatis gugur karena telah tiadanya hal itu. Apakah ini bisa dibandingkan dengan apa yang telah kami jelaskan dalam perbincangan Abu Mijlaz bersama segolongan orang-orang Ibadliyyah dari kaum Bani Amr Ibnu Suddus???!!! Seandainya masalah ini sesuai dengan apa yang mereka (para mubthilun) duga dalam khabar Abu Mijlaz bahwa mereka maksudkan penyimpangan penguasa pada hukum-hukum dari hukum syariat maka sesungguhnya belum pernah terjadi dalam sejarah Islam bahwa ada hakim yang membuat hukum dan menjadikannya sebagai ketentuan (undang-undang) yang harus dipatuhi dalam penentuan keputusan, ini satu. Dan yang lain lagi adalah bahwa si hakim yang memutuskan hukum dalam qodliyyah muayyanah (kasus tertentu) dengan selain hukum Allah, maka sesungguhnyaa dia melakukan itu bisa karena ketidaktahuan, dan ini statusnya sama dengan orang yang jahil akan syariat. Dan bisa juga dia memutuskan itu karena hawa nafsu dan maksiat, maka ini adalah dosa yang ditaubati dan mendapatkan ampunan karenanya. Bisa juga memutuskan hukum itu karena tawil yang menyalahi ulama lainnya, maka ini statusnya sama dengan status orang yang melakukan tawil yang menyadarkan tawilnya dari pengakuan dia akan nash Al Kitab dan Sunnah Rasullah. Adapun pada zaman Abu Mijlaz atau sebelumnya atau sesudahnya ada hakim yang memutuskan hukum dalam sesuatu hal seraya mengingkari hukum dari hukum-hukum syariat atau lebih mengutamakan hukum-hukum orang kafir atas hukum-hukum Islam, maka ini tidak pernah terjadi, sehingga tidak mungkin memalingkan perkataan Abu Mijlaz dan orang-orang Ibadliyyah kepadanya. Maka barangsiapa berhujjaah dengan dua atsar ini dan yang lainnya dalam bukan tempatnya, dan memalingkannya kepada selain maknanya dalam rangka membela penguasa atau sebagai hillaah (caricari alasan) untuk memperbolehkan memutuskan hukum dengan selain apa yang diturunkan Allah dalam memaksanya kepada hamba-hambaNya, maka status dia dalam syariat ini adalah sebagai orang yang mengingkari hukum dari hukum-hukum Allah: Disuruh bertaubat, bila dia bersikeras, keras kepala dan mengingkari hukum Allah, serta rela dengan penggantian hukum-hukum itu, maka dia itu berstatus sebagai orang kafir yang bersikeras diatas kekufurannya (yang dimana) hukumannya sudah maruf di kalangan para ulama agama ini. (Ini ditulis oleh Mahmud Muhammad Syakir. Umdatur Tafsir 4/156-158 dalam Tafsir Ath Thabariy 10/348 349) Setelah penukilan ini yang tidak memerlukan tambahan lagi, apakah masih boleh orang mengatakan: Sesungguhnya Ibnu Abbas atau Abu Mijlaz dengan perkataan mereka berdua, dimaksudkan kepada orang-orang pada masa kita ini yang mengganti syariat Allah dan berpaling dari memutuskan dengannya dan dari berhukum kepadanya dengan alasan tidak selaras dengan zaman mereka ini -begitu mereka mengklaim-?! Ya Allah sesungguhnya kami berlepas diri dari pengkaburan ini, dan kami membebaskan sahabatsahabat Rasulullah, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan dari talbis dan mughalathah ini, dan sesungguhnya tidak seorangpun yang menempatkan perkataan Ibnu Abbas radhiallahuanhu atau perkataan Abu Mijlaz terhadap orang-orang yang membabat syariat Allah pada masa sekarang ini kecuali orang yang bodoh akan kenyataan, sehingga dia tidak mengetahui apa yang terjadi di sekelilingnya, atau orang munafiq yang sengaja menyesatkan yang di mana dia itu tahu akan kenyataan disekelilingnya dan (tahu bahwa kenyataan itu) tidak sama dengan kenyataan yang dibicarakan oleh salaf radliyallahuanhum, namun dia sengaja mengkaburkan masalah dan mencampurkan yang haq dengan kebathilan dalam rangka mengikuti hawa nafsu atau karena dunia yang dia harapkan. Adapun bagian yang kedua adalah kekafiran berhukum dengan selain hukum yang Allah turunkan yang

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


50 -

tidak menyebabkan pelakunya keluar dari radhiallahuanhu terhadap firman Allah,

Islam.

Diatas

telah disebutkan

tafsiran

Ibnu Abbas

Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang telah diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang kafir. (Al-Maidah:44) Ayat ini mencakup pengertian bagian ini. Yaitu perkaaan beliau: Kufrun Duna Kufrin. Dan juga perkataan beliau: Kekafiran di sini bukanlah kekafiran yang kalian maksudkan. Hal itu adalah ketika ia terdorong oleh hawa nafsunya untuk memutuskan perkara dengan selain hukum yang telah Allah turunkan, sedangkan ia tetap berkeyakinan bahwasanya hukum Allah dan Rasul-Nya adalah benar, dan ia mengakui kesalahannya dan ia telah mengikuti hawa nafsu. Syaikh Sulaiman Bin Nashir Al Ulwan Al Qosim dalam kitab Alla Inna Nashrallahi Qoriib. Apabila disebutkan kufur dan ditulis dalam bentuk marifah dengan huruf alif dan lam, maka maksudnya adalah kufur akbar. Adapun yang dia katakan dari Ibnu Abbas radhiallahuanhu bahwa ia mengatakan kufrun duna kufrin adalah TIDAK PASTI DARINYA. Al Maruzy telah meriwayatkan dalam Tazhim Qadris Shalah (2/521) dan Al Hakim dalam Mustadraknya (2/313) dari jalan Hisyam bin Hujair dari Thawus dari Ibnu Abbas. Hisyam dianggap lemah oleh Imam Ahmad, Yahya bin Muin Al Aqily dan Al Jamah. (Lihat: Adh-Dhufa karya Al Aqily (4/337-3380, Al Kamil (7/2569) karya Ibnu Ady, Tahdzibul kamal (30/179-180) dan Hadyus Sary (447-448)) Abdullah Thawus menyebutkan dari bapaknya yang mengatakan: Ibnu Abbas radhiallahuanhu ditanya tentang firman Allah Taala: Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang telah diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang kafir. (Al-Maidah:44) Ibnu Abbas mengatakan, itu adalah kufur. Dalam riwayat lain disebutkan, Perbuatan itu menyebabkan kufur. Disebutkan pula, Cukuplah perbuatan tersebut menyebabkan kekufurannya. Diriwayatkan oleh Abdur Razak dalam tafsirnya (1/191), Ibnu Jarir (6/256), Waki dalam Akhbarul Qudhah (1/4) dan lainnya dengan sanad shahih. Inilah yang pasti dari Ibnu Abbas ra. Ia menunjukkan keumuman lafaz tersebut dan tidak membatasinya. Jalan Hisyam bin Hujair ini munkar dari dua sisi: Pertama Kedua : Hisyam meriwayatkan sendirian : Hisyam menyelisihi perawi yang lebih tsiqoh darinya

Perkataan Ibnu Abbas radhiallahuanhu; Itu adalah kufur dan dalam lafazh lain Perbuatan itu menyebabkan kufur, maksudnya ayat tersebut menunjukkan keumumannya. Pada prinsipnya, kata kufur jika ditulis marifah dengan huruf lam maksudnya adalah kufur akbar sebagaimana dinyatakan Syaikhul Islam rahimahullah dalam kitab Al Iqtidha (1/208) kecuali jika dikaitkan dengan qorinah (korelasi) yang mengubah maknanya. Perkataan istri Tsabit bin Qois, Akan tetapi, aku membenci kekufuran dalam Islam, yang diriwayatkan oleh Bukhary (5273) dari Ibnu Abbas radhiallahuanhu tidak menyelisihi kaidah ini dan tidak membatalkan prinsip yang dinyatakan dalam risalah ini. Ia mengatakan dalam Islam. ini adalah qarinah yang jelas yang menunjukkan bahwa kufur di sini adalah selain kufur akbar. Perkara ini demikian jelas bagi orang yang memperhatikan. Dari uraian tadi dapat kita simpulkan bahwasanya al-hukmu bighoiri maa anzalAllah mengandung dua pengertian: Pertama: Al-Qodlo (memutuskan perkara) Pada pengertian ini para pelakunya berbeda-beda hukumnya, berkisar antara kufur akbar dan kufur ashgor (kufrun duna kufrin) sesuai dengan keadaan pelakunya. Ia akan termasuk kufur akbar yang menyebabkan dirinya keluar dari Islam jika: 1. Ia mengingkari atas kebenaran hukum Allah dan Rasul-Nya. 2. Ia berkeyakinan bahwa hukumnya lebih baik dan lebih sempurna dari pada hukum Allah dan Rasul-Nya. 3. Ia berkeyakinan bahwa hukumnya sama dengan hukum Allah dan Rasul-Nya. 4. Ia berkeyakinan boleh berhukum kepada hukum yang menyelisihi hukum Allah dan RasulNya, meskipun ia yakin bahwasanya hukum Allah dan Rasul-Nya itu lebih baik dan lebih sempurna dari pada hukum yang lain. Dan perbuatan itu akan hanya sebagai maksiyat atau kufur ashghor atau kufrun duna kufrin jika ia yakin akan keharusan berhukum dengan hukum Allah, dan ia menyadari hal itu pada peristiwa yang terjadi (yang ia putuskan), lalu ia menyeleweng sedangkan ia tahu bahwa dengan demikian ia berhak mendapatkan siksa. Hal itu adalah ketika ia terdorong oleh hawa nafsunya untuk memutuskan perkara dengan selain hukum yang telah Allah turunkan, sedangkan ia tetap berkeyakinan bahwasanya hukum Allah dan Rasul-Nya adalah benar, dan ia mengakui atas kesalahannya dan ia juga mengakui bahwa ia telah mengikuti hawa nafsu. At-Tasyri (membuat undang-undang). Pada pengertian yang kedua ini para ulama telah berijma atas kekafiran mereka dan mereka wajib diperangi sampai mereka mau kembali kepada syariat Islam.

Kedua:

Bagaimana hukumnya jika muslim membuat ktp, surat nikah, sim dan suratsurat lainnya dari thaghut, apakah ia sudah musyrik?

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


51 -

Surat-surat tersebut tidak termasuk tahakum (berhukum) kepada thaghut dan tidak termasuk setuju atau tawali terhadap hukum thaghut, dan itu termasuk kepada hukum idari (hukum penertiban) yang di Islam sendiri dilakukan dan tidak diingkari, tidak termasuk kepada hukum syari. Misal KTP di Republik Indonesia adalah jaminan perlindungan dari pemerintahan kafir RI kepada seluruh rakyatnya, dari segala suku bangsa, agama, termasuk bagi muslim. Rasulallah shalallahualaihi wassalam pun memanfaatkan Undang-Undang Jahiliyah seperti pada hukum perlindungan dan keamanan, beliau menerima perlindungan dari Abu Thalib. Tetapi bukan berarti Rasulallah shalallahualaihi wassalam setuju, taat dan berwala kepada hukum dan pemerintahan bangsa Quraisy, tapi ini hanyalah pemanfaatan saja untuk menjauhi mudharat. Bukan hanya di surat-surat, bahkan di mata uang pun tertera simbol atau gambar thaghut, sama seperti pada mata uang yang digunakan oleh bangsa Quraisy pada zaman Nabi shalallahualaihi wassalam (ada gambar Kaisar Romawi). Misal, jika seseorang tidak memiliki KTP, Surat Nikah, SIM, dsb. maka orang tersebut akan mendapat sanksi hukum dari thaghut. Jadi, daripada seorang Muslim mendapat mudharat semacam itu, lebih baik ia memanfaatkan hukum tersebut untuk kemaslahatannya. Misal, dalam hal perpajakan yang seorang muslim sulit mengelak dari kedzaliman thaghut ini, jika tidak ditunaikan maka bisa jadi hartanya disita atau terancam, maka daripada memperoleh kedzaliman yang lebih besar dari thaghut, lebih baik dibayarkan dengan niat bahwa ia terpaksa karena didzalimi. Semua ini tergantung dari niat dalam perbuatan yang sifatnya mubah dan disunnahkan Nabi shalallahualaihi wassalam. Tidak berlaku bagi hal-hal yang makruh, haram, kemaksiatan, apalagi kemusyrikan dan kekafiran, seperti orang-orang sesat yang masuk parlemen dengan niat maslahat dakwah, karena ia telah mengikuti, menyetujui dan ikut serta di dalam kemusyrikan dan kekafiran seperti yang telah dijelaskan secara jelas di bagian terdahulu. Allah Taala berfirman; Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sungguh, Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam. (an Nissa :140)

Bagaimana sikap kita terhadap para pelaku syirik akbar?


Banyak sekali konsekuensi-konsekuensi yang diberlakukan terhadap musyrikin, kafirin, orang yang sudah murtad atau sudah kafir atau sudah keluar dari Islam (baik karena melakukan syirik akbar, kufur akbar ataupun berikrar untuk pindah agama). Ada konsekuensi-konsekuensi atau sikap mukmin terhadap mereka, yang sifatnya duniawi dan ada konsekuensi-konsekuensi yang bersifat ukhrawi (akhirat). Konsekuensi-konsekuensi yang diberlakukan di dunia ini, di antaranya : 1. Gugur hak perwalian atau penguasaannya terhadap kaum muslimin a. Orang murtad tidak memilki wilayah (saitharah), tidak boleh diberikan kesempatan untuk menguasai orang muslim, Dan Allah tidak akan menjadikan bagi orang kafir jalan untuk menguasai kaum muslimin. (An Nisa : 141) Ayat ini sifatnya penafian, akan tetapi ini bermakna larangan bagi orang muslim untuk memberikan peluang atau kesempatan bagi orang kafir untu menguasai kaum muslimin. Kaum muslimin tidak boleh memberikan kesempatan atau peluang bagi orang murtad, musyrikin atau bagi orang kafir untuk menguasai diri mereka, maka dari itu orang kafir atau orang murtad tidak boleh menjadi pemimpin bagi kaum muslimin. Begitu juga apabila si orang kafir atau murtad ini asalnya muslim dan menjadi pemimpin (amir) bagi kaum muslimin, lalu dalam perjalanannya dia murtad dari Islam, maka wajib atas kaum muslimin untuk melengserkannya, karena dengan sebab kemurtaddannya maka kepemimpinannya itu lepas dengan sendirinya. Jika dia tidak mau menanggalkan kepemimpinannya atau tidak mau turun dari jabatannya sebagai pemimpin atau amir maka wajib atas kaum muslimin untuk mencopot jabatannya. Karena seorang imam atau amir atau pemimpin itu diangkat untuk ditaati sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Taala : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri (pemimpin) di antara kalian (An Nisa : 59) Di sini Allah Subhanahu Wa Taala memerintahkan untuk mentaati pemimpinnya, juga Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Aku memerintahkan kalian dengan lima hal sebagaimana Allah memerintahkan saya dengannya : berjamaah, mendengar dan taat (HR. Ahmad dan At Tirmidziy, shahih) Jadi keberadaan pemimpin adalah untuk ditaati, akan tetapi Allah Subhanahu Wa Taala telah mengancam kepada orang-orang yang mentaati orang kafir :

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


52 -

Hai orang-orang yang beriman jika kalian mentaati orang-orang kafir tentu mereka mengembalikan kalian ke belakang (murtad) (Ali Imran : 149) Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Taala mengancam atau menghati-hatikan kepada orang muslim dari mentaati orang kafir; bahwa jika kalian mentaati orang-orang kafir, maka orang kafir ini akan mengembalikan kalian ke dalam kekafiran atau ke dalam kemurtaddan. Allah Subhanahu Wa Taala melarang untuk mentaati orang kafir, maka berarti kepemimpinan orang murtad atau orang kafir atas kaum muslimin itu dilarang. Orang murtad tidak boleh diangkat untuk menjadi pemimpin atau amir atau presiden atau hal-hal yang seperti itu, dia tidak boleh dibiarkan menjadi pemimpin ketika dia sudah murtad dari Islam. Oleh sebab itu orang muslim tidak boleh ikut serta mengangkat orang kafir sebagai pemimpin, seperti ikut berpartisipasi dalam Pilpres, Pilkada dll, karena hal ini adalah sebuah bentuk pengangkatan orang kafir untuk menjadi pemimpin, mengangkat orang yang akan menerapkan atau memberlakukan hukum thaghut terhadap manusia. Dan Allah Taala juga menghati-hatikan dalam firman-Nya : Maka janganlah kamu mentaati orang-orang kafir, dan jihadilah mereka itu dengan Al Quran dengan jihad yang besar. (Al Furqan : 52) Jadi, dikarenakan tidak boleh ditaati, berarti tidak boleh diangkat untuk menjadi pemimpin, dan ketika dia sudah menjabat sebagai pemimpin kaum muslimin kemudian dia murtad, maka kepemimpinannya lepas dengan sendirinya, dan bila dia tidak mau turun, maka wajib diturunkan oleh kaum muslimin, bila dia melindungi diri dengan kekuatannya maka wajib atas kaum muslimin untuk memerangi kelompok yang melindunginya dengan segenap kemampuan. Gugur hak perwalian dalam masalah pernikahan. Bila ada seorang muslimah memiliki ayah, kemudian ayahnya ini murtad karena melakukan kemusyrikan atau hal-hal apa saja yang membatalkan keislaman, misalnya menjadi Anggota Dewan di DPR/MPR atau dia menjadi anshar thaghut (tentara/polisi), ketika muslimah tersebut mau menikah, maka si ayah ini dalam Islam tidak memiliki perwalian dalam nikahnya karena dia sudah murtad dari Islam. Keberhakkan dalam perwaliannya sudah gugur, dan karena Allah Subhanahu Wa Taala melarang bagi orang muslim untuk memberikan kekuasaan kepada orang kafir. Gugur hak pengasuhannya (pengurusan terhadap anak) Bila salah seorang dari orang tua, baik ayah atau ibu murtad dari Islam, maka tidak diberikan hak dalam pengasuhan anaknya. Ini dikarenakan kepengurusan anak memberikan jalan bagi dia untuk menguasai anaknya yang masih muslim ini. Sedangkan setiap orang yang mengurusi anak, maka dia akan berupaya untuk mendidik anak tersebut di atas keyakinan yang dia anut. 2. Tidak boleh shalat (bermakmum) di belakangnya Kita tidak boleh shalat di belakang orang kafir atau orang murtad, umpamanya shalat dibelakang anggota MPR/DPR atau polisi atau tentara atau anshar tahghut yang lainnya, yang mana dia menjadi imam shalat, karena orang kafir atau orang murtad segala amal-amalnya tidak sah karena syarat sah seluruh ibadah adalah Al Islam atau orangnya bertauhid, sedangkan orang murtad walaupun dia mengaku Islam atau melakukan amalan-amalan shalih, tapi kalau dia murtad dari Islam maka amal-amal yang dilakukannya; baik itu shalat, zakat, shaum atau yang lainnya adalah tidak sah. Bagi orang yang mengetahui bahwa imamnya itu orang kafir atau pelaku syirik akbar, maka tidak boleh shalat di belakang dia, karena dia sudah mengetahui bahwa shalatnya si imam tersebut tidak sah, ini berbeda dengan orang yang tidak mengetahui bahwa imamnya ini orang kafir, baik tidak mengetahuinya karena tidak melihat hal-hal yang membatalkan keislaman dari imam tersebut (Masturul Hal) walaupun hakikat sebenarnya si imam itu orang kafir, akan tetapi karena si imam itu tetap menampakkan keislaman, maka orang yang shalat di belakangnya adalah sah. Kita tidak diwajibkan umtuk mengorek-ngorek keyakinan si imam, Misalnya si imam tersebut adalah sebenarnya anggota DPR/MPR atau aktifis sebuah partai, namun kita tidak mengetahuhi bahwa si imam itu anggota DPR/MPR atau aktifis sebuah partai maka shalat kita bermakmum kepadanya tetap sah, sedang kekafiran dia yang sebenarnya dihisab di sisi Allah, karena kita tidak diwajibkan untuk menanyananyai apa dan bagaimana tentang si imam tersebut. 3. Tidak boleh menikahinya dan tidak boleh menikahkan seorang muslim dengannya. Orang muslim tidak dibolehkan menikah atau menikahkan dengan orang yang sudah murtad atau keluar dari Islam dengan bentuk kemurtaddan apa saja, baik itu murtad karena mendukung syirik hukum atau pun melakukan syirik tumbal dan sesajian atau yang lainnya. Seorang ayah dilarang menikahkan puterinya yang muslimah atau laki-laki menikahkan saudarinya kepada laki-laki yang murtad atau yang kafir, karena Allah Subhanahu Wa Taala menyatakan : Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman, sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman, sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Al Baqarah : 221)

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


53 -

Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Taala melarang wali menikahkan wanita yang dalam perwaliannya kepada orang-orang kafir atau musyrik atau orang murtad. Allah Subhanahu Wa Taala juga mengatakan : Dan janganlah kalian memegang ikatan (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir (Al Mumtahanah : 10) Bila asal keduanya atau pada awal penikahannya adalah muslim, lalu kemudian di tengah perjalanan si perempuannya murtad atau si laki-lakinya murtad, maka pernikahan tersebut lepas dengan sendirinya. Apabila dalam masa iddah si perempuan kembali kepada Islam, maka si laki-laki boleh kembali kepadanya tanpa perlu akad nikah kembali. Begitu juga apabila yang murtadnya itu si laki-laki, jika masih dalam masa iddah lalu si laki-laki tersebut kembali kepada Islam maka si perempuan boleh menerima kembali si laki-laki tanpa akad yang baru. Jika setelah beberapa waktu masa iddah berlalu dan salah satunya baru kembali kepada Islam, maka di sini ada dua pendapat para ulama, ada yang mengharuskan kembali akad dengan mahar yang baru dengan wali dan saksi, dan ada yang berpendapat tidak perlu dilakukan akad nikah kembali, dan yang rajih (kuat) wallahu alam adalah pendapat yang mengatakan tidak perlu akad kembali jika si wanita tidak menikah dengan laki-laki yang lain sehabis masa iddahnya, ini berdasarkan apa yang terjadi saat Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam mengembalikan puterinya Zainab kepada Abul Ash ibnu Ar Rabi setelah enam tahun. Dia (Abul Ash) masuk Islamnya enam tahun setelah masa iddah Zainab berakhir sebagaimana atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu : Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam mengembalikan puterinya Zainab kepada Abul Ash ibnu Ar Rabi dengan nikah yang terdahulu dan tidak mengadakan akad nikah lagi. (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majjah dan di shahihkan oleh Imam Ahmad dan Al Hakim) Jika tadi di awal Allah melarang menikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman, dan begitu juga si ayah atau saudara atau laki-laki yang memiliki perwalian kepada perempuan tidak boleh menikahkan perempuan tersebut kepada laki-laki musyrik. 4. Haram sembelihannya Orang murtad haram sembelihannya, sedang yang Allah halalkan sembelihannya hanyalah sembelihan orang muslim atau sembelihan orang yang terlahir dari Ahli Kitab, bukan orang yang asalnya muslim kemudian murtad dan masuk Nashrani atau Yahudi atau murtadnya karena melakukan pembatalpembatal keislaman lainnya seperti orang yang melakukan tumbal atau sesajian atau mendukung demokrasi dan hukum-hukum buatan lainnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika menjelaskan tentang orang yang membuat sembelihan untuk tumbal : Hewan ini haramnya dari dua sisi : Pertama, sembelihan orang murtad, dan kedua karena hewan itu sembelihan yang diperuntukan untuk selain Allah. Ada kaidah fiqh yang mengatakan bahwa hukum asal sembelihan itu adalah haram kecuali yang dibolehkan oleh syariat, yaitu sembelihan orang muslim atau sembelihan ahli kitab. Allah Subhanahu Wa Taala berfirman : Pada hari ini telah dihalalkan bagi kalian yang baik-baik, dan sembelihan ahli kitab halal bagi kalian dan sembelihan kalian halal bagi mereka (Al Maaidah : 5) 5. Tidak boleh mengucapkan salam terhadap mereka Ini karena Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam mengatakan dalam hadits Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu : Janganlah kalian mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nashrani dalam satu riwayat dikatakan : Jika kalian menjumpai orang-orang musyrik, maka jangan kalian mengucapkan salam terhadap mereka . Jadi, orang muslim tidak boleh mengucapkan salam kepada orang-orang kafir, apalagi dengan orang murtad. Adapun jika mereka mengucapkan salam terhadap kita maka boleh dijawab dengan Wa alaikum. Dan sebagian ulama membolehkan menjawab dengan jelas jika mereka mengucapkannya dengan jelas pula, tapi yang disepekati adalah jawaban wa alaikum. 6. Tidak boleh memuliakannya atau mengagungkannya Karena orang-orang murtad itu adalah orang-orang yang sudah dihinakan oleh Allah, sedangkan orang yang sudah dihinakan oleh Allah, maka tidak boleh kita muliakan. Allah Subhanahu Wa Taala mengatakan : Dan barangsiapa yang telah dihinakan oleh Allah, maka tidak seorangpun yang memuliakannya Hajj : 18) (Al

Jadi, orang kafir sudah Allah hinakan, dan Allah menyiapkan bagi mereka adzab yang menghinakan, maka tidak boleh orang muslim memuliakan orang kafir, memuliakan orang kafir adalah haram 7. Wajib bara (berlepas diri) dari mereka Bara di sini adalah membenci dan memusuhinya, Allah Subhanahu Wa Taala menyatakan :

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


54 -

Telah ada pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya suri tauladan yang baik bagi kalian saat mereka mengatakan kepada kaumnya : Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nampak antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja (Al Mumtahanah : 4) Allah mendahulukan berlepas diri dari orangnya, karena pentingnya berlepas diri dari orang atau pelakunya, karena bisa jadi orang berlepas diri dari perbuatannya, tapi tidak berlepas diri dari orangnya. Kita harus berlepas diri dari musyrikin, orang-orang murtad, dari orangnya dan dari perbuatannya. Ini adalah yang dinamakan bara, memusuhi dan membenci kepada orang dan perbuatannya. Jadi kita harus berlepas diri dari mereka karena mereka adalah orang yang sudah Allah vonis kafir, makanya Allah meniadakan keimanan dari orang yang menjalin kasih sayang dengan orang-orang murtad atau orang kafir, Allah Subhanahu Wa Taala berfirman : Kamu tidak akan menemukan orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menjalin kasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan rasul-Nya walaupun mereka adalah ayah mereka, anak mereka, saudara mereka atau kerabat mereka (Al Mujaadilah: 22) Jadi Allah mengatakan bahwa orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak mungkin menjalin kasih sayang dengan orang yang murtad atau dengan orang yang menentang Allah dan RasulNya. Disini ada perbedaan, ketika kita berlepas diri dari orang musyrik dengan sikap kita terhadap orang muslim yang melakukan maksiat; jika orang muslim yang melakukan maksiat maka kita berlepas diri hanya dari perbuatannya dan bukan dari orangnya. Dalam Al Quran Allah Subhanahu Wa Taala mengatakan : Bila mereka maksiat kepada kamu (Muhammad), maka katakanlah sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian lakukan (QS. Asy Syuaraa : 216 ) Bila dengan orang kafir dikatakan : Kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain Allah, sedangkan jika dengan muslim yang maksiat maka kita berlepas diri dari perbuatannya atau dari maksiatnya, dan bukan dari orangnya. Ketika Khalid ibnul Walid melakukan kesalahan dalam peperangan, beliau membunuh orang yang tidak layak untuk dibunuh, maka Rasul mengatakan : Ya Allah, saya berlepas diri dari apa yang dilakukan oleh Khalid. 8. Tidak boleh saling mewarisi dengan orang muslim Misalkan dalam sebuah keluarga muslim ada anaknya yang murtad, lalu ayahnya meninggal dunia, maka si anak yang murtad ini tidak berhak mendapatkan warisan dari si ayah tersebut, dan begitu juga sebaliknya. Jika orang murtad di Negara Islam maka di samping dibunuh orangnya, hartanya juga diambil untuk Baitul Mal, karena Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam mengatakan : Orang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim (Muttafaq alaih dari Usamah bin Zaid ra ). Akan tetapi dalam kondisi zaman ini (di saat tidak adanya Baitul Mal), jika ada seorang muslim sedangkan ayahnya murtad lalu si ayah tersebut meninggal dunia, maka apabila ada harta yang diberikan kepadanya, maka itu adalah bukan sebagai bentuk warisan, akan tetapi diterima saja karena dikhawatirkan diambil oleh orang lain, dan atas kerelaan dia, maka harta yang jatuh ke tangannya bisa digunakan untuk kepentingan dirinya atau kepentingan kaum muslimin. 9. Orang murtad tidak diakui hidupnya Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam mengatakan : Barangsiapa yang murtad dari Islam, maka bunuhlah (HR. Bukhari Muslim). Jika orang murtad secara individu di darul Islam (Negara Islam) maka akan dipanggil dan dinasehati supaya taubat dan diberi tenggang waktu, jika dia bertaubat maka dilepaskan lagi dan jika tidak bertaubat, maka dibunuh. Akan tetapi jika yang murtad itu sifatnya berkelompok dan memiliki kekuatan untuk melindungi diri dari hukum Islam meskipun di wilayah Negara Islam, maka ini tidak dinasehati atau disuruh taubat terlebih dahulu, akan tetapi langsung diperangi oleh Pemerintahan Islam. Ini sebagaimana yang terjadi di zaman Abu Bakar Ash Shiddiq radliyallahu 'anhu tatkala memerangi kelompok Musailamah Al Kadzdzab kaum Banu Hanifah di Yamamah, mereka murtad dan mengikuti pemimpinnya dan mereka juga mempunyai pasukan dan kekuatan, maka oleh Abu Bakar mereka langsung diperangi. Begitu juga bagi orang murtad yang bersifat thaghutiyyah, karena mereka memiliki kekuatan (tentara dan senjata) maka ini juga langsung diperangi saat kaum muslimin memiliki kekuatan, dan karena Allah mewajibkan untuk memerangi mereka dengan sebab mereka (para thaghut) itu adalah musuh yang telah masuk dan bahkan telah mengakar di negeri-negeri kaum muslimin. Allah Subhanahu Wa Taala mengatakan :

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


55 -

Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka merasakan sikap tegas dari kamu (At Taubah : 123) Para thaghut hukum dan ansharnya adalah orang-orang kafir yang paling dekat dengan kita, maka itulah yang diperangi terlebih dahulu. Ini adalah bila yang sifatnya kelompok, bukan dinasehati agar bertaubat, akan tetapi diperangi Orang murtad kenapa dibunuh ? karena halal darah dan hartanya, Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam mengatakan : Tidak halal darahnya orang muslim yang bersaksi tiada tuhan yang berhak diibadati selain Allah dan aku adalah rasul Allah kecuali dengan salah satu dari tiga hal; zina muhshan, qishash, keluar dari Islam. (HR. Al Bukhari dan Muslim). Orang murtad dibunuh karena dia tidak kafir kepada thaghut, Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan dia kafir terhadap segala yang diibadati selain Allah maka haram darah dan hartanya, sedangkan perhitungannya atas Allah (HR. Muslim dari Abu Malik Al Asyjaiy). Makna dia kafir terhadap segala yang diibadati selain Allah adalah kafir terhadap thaghut, sedangkan orang murtad tidak kafir kepada thaghut, Allah Subhanahu Wa Taala berfirman : Maka bunuhilah orang-orang musyrikin itu di mana saja kalian dapatkan mereka, tangkaplah mereka, kepunglah mereka, dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan (At Taubah : 5) Jika mereka taubat adalah taubat dari kemusyrikannya atau dari kethaghutannya, dan orang yang tidak mau taubat atau dia bersikukuh di dalam kemusyrikan dan kethaghutannya maka berarti dibunuh Demikianlah konsekuensi-konsekuensi yang dikenakan bagi orang murtad di dunia. Konsekuensi-Konsekuensi di Akhirat : 1. Dipastikan sebagai calon ahli neraka Jika orang murtad mati di atas kemurtaddannya; umpamanya ada polisi atau tentara atau anggota dewan mati sewaktu dalam dinasnya, maka kita boleh memastikan bahwa dia calon penghuni neraka, karena orang kafir atau orang murtad sudah Allah pastikan masuk neraka. Ketika Khalifah Abu Bakar radhiyallahuanhu memerangi kelompok murtad para pengikut Musilamah Al Kadzdzab, ketika mereka terdesak hingga akhirnya menyerah dan minta damai dengan mengirim utusan Buzakhakh, akan tetapi oleh Khalifah Abu Bakkar tidak diterima kecuali jika mereka mau menerima syarat-syarat yang di ajukan oleh Abu Bakar dan disepakati oleh para shahabat, dan di antara syarat-syarat itu adalah mereka harus mau bersaksi bahwa orang yang mati di antara mereka adalah masuk neraka. Sedangkan dalam Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah, apabila orang muslim yang bertauhid meninggal dunia dan jika semasa hidupnya dia adalah seorang yang taat, maka kita tidak boleh mengatakan bahwa si fulan ini calon penghuni surga, tapi boleh mengatakan Mudah-mudahan dimasukkan ke surga. Dan jika orang muslim itu semasa hidupnya sering melakukan maksiat, maka kita tidak boleh mengatakan si fulan calon penghuni neraka, tapi boleh mengatakan dikhawatirkan dia di adzab di akhirat. Jadi kalau orang muslim yang baik dan taat tidak boleh dipastikan masuk surga kecuali jika ada dalil yang khusus, muslim yang fasiq juga tidak boleh dipastikan masuk neraka, akan tetapi jika orang kafir atau orang murtad, maka boleh dipastikan masuk neraka 2. Tidak boleh dimandikan dan tidak boleh dikafankan. Orang murtad jika mati tidak boleh dimandikan dan tidak boleh dikafankan, seadanya saja dengan pakaian yang menempel sewaktu mati, karena orang murtad tidak ada harganya lagi sebab dia sudah menghinakan dirinya sendiri dengan kekafiran atau kemurtaddannya. Ketika di perang Badar, Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam tidak mengubur orang-orang musyrik yang mati dalam perang sebanyak 70 orang. Beliau langsung memasukkan mereka ke dalam sumur Badar. Tidak dimandikan dan dikafani terlebih dahulu, tapi langsung apa adanya dimasukkan ke dalam sumur. 3. Tidak boleh dishalatkan Bila ada anshar (kaki tangan) thaghut seperti polisi atau tentara mati sewaktu dinas, atau anggota MPR/DPR atau Hakim/Jaksa mati di atas kemusyrikan dan kethaghutannya, maka kita tidak boleh ikut menshalatkannya, ini adalah haram karena dia orang kafir, Allah Subhanahu Wa Taala mengatakan : Dan janganlah kamu sekali-kali menshalatkan seorang yang mati di antara mereka selamanya (At Taubah : 84) Bukannya dapat pahala tapi justru mendapatkan dosa jika kita menshalatkannya. Begitu juga bagi orang yang suka membuat tumbal atau sesajian, bila dia belum taubat lalu mati di atas kemusyikannya maka dia tidak boleh dishalatkan. 4. Tidak boleh didoakan Orang yang mati di atas kemurtaddannya atau kemusyrikannya atau kekafirannya haram didoakan atau memintakan ampunan dari Allah baginya di akhirat. Allah Subhanahu Wa Taala berfirman : Tidak layak bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampunan (kepada Allah) bagi orang-

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


56 -

orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahannam. (At Taubah : 113) Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam pernah meminta izin kepada Allah untuk memintakan ampunan buat ibundanya yang meninggal dalam keadaan musyrik, tapi Allah melarang dan tidak memberikan izin. Dan ketika Abu Thalib yang terkenal suka membela Rasulullah itu meninggal, beliau shalallahu 'alaihi wa sallam berkata : Saya akan memintakan ampunan kepada Allah untuk engkau selama saya tidak dilarang, maka turunlah ayat tadi di atas. Dan yang lebih haram lagi adalah mengatakan kepada orang murtad almarhum atau almarhumah yang artinya orang yang dirahmati, jika saja kepada orang muslim yang baik kita tidak dibolehkan mengucapkannya, maka terlebih lagi terhadap orang murtad. Akan tetapi kita hanya dibolehkan mengucapkan rahimahullah (semoga Allah merahmati) kepada orang muslim yang baik. 5. Tidak boleh dikubur di pekuburan kaum muslimin Orang murtad jika dia mati, maka dia tidak boleh dikuburkan di pekuburan kaum muslimin, karena mereka sudah hina dan tidak berharga lagi. 6. Haram masuk surga Orang murtad tidak mungkin masuk surga bila dia mati di atas kekafirannya, Allah Subhanahu Wa Taala menyatakan : Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami dan menyombongkan diri, tidak dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit, dan mereka tidak akan masuk surga sampai unta masuk ke lobang jarum, demikianlah Kami memberi balasan bagi orang-orang yang berbuat kejahatan (Al Araaf : 40) Dan firman-Nya Subhanahu Wa Taala tentang keharaman musyrikin masuk ke dalam surga. Sesungguhnya siapa yang menyekutukan Allah, maka sungguh Allah telah mengharamkan surga atasnya dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tidak ada seorang pun penolong bagi orang-orang yang zhalim. (Al Maaidah : 72) Bahkan Dia Taala mencela musyrikin kafirin sebagai seburuk-buruk makhluk. Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. (Al Bayyinah : 6) 7. Mereka kekal di dalam neraka Allah Subhanahu Wa Taala berfirman : Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (Al Baqarah : 217) 8. Amal ibadahnya hapus Segala amal ibadah yang pernah dilakukan oleh orang murtad seperti; zakat, shaum, haji, infaq, dan yang lainnya itu hapus sia-sia : Barangsiapa yang kafir setelah dia beriman maka hapuslah amalannya, dan dia di akhirat termasuk orang yang merugi. (Al Maaidah : 5) Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.(Al Baqarah : 217) Dan bahkan para rasul diancam Allah bila mereka melakukan kemusyrikan : Seandainya mereka melakukan kemusyrikan tentu lenyaplah amalan yang mereka lakukan (Al Anaam : 88) Ini adalah ancaman kepada para rasul, maka apa gerangan dengan kita?! Dan bahkan kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam sendiri Allah mengatakan : Andaikata kamu (Muhammad) melakukan syirik maka lenyaplah amalan kamu (Az Zumar : 65) Yang demikian itu disebabkan karena mereka membenci apa yang Allah turunkan, maka Allah hapuskan amalan mereka (Muhammad : 9)

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


57 -

Jika orang membenci ajaran Allah, atau bahkan sedikit saja membenci ajaran Allah, maka itu adalah suatu bentuk kemurtaddan, keluar dari Islam dan hapus segala amalannya. 9. Tidak mendapatkan syafaat Orang murtad tidak mungkin mendapatkan syafaat di akhirat dari para nabi dan malaikat yang diizinkan Allah akan memberikan syafaatnya, juga orang-orang shalih, orang-orang yang mati syahid dan anak kecil yang meninggal, semua akan memberikan syafaat dengan izin Allah, akan tetapi ini tidak berlaku bagi orang yang mati di atas kekafiran. Ini karena syafaat itu memiliki syarat; Pertama, izin dari Allah terhadap orang yang akan memberikan syafaat, dan kedua; Allah ridla terhadap orang yang akan diberikan syafaat, sedangkan Allah tidak meridlai kekafiran, dan syarat ridla ini adalah sebagaimana yang Allah Taala firmankan : Dan mereka (malaikat) tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah Anbiya : 28) Dan Dia tidak meridlai kekafiran bagi hamba-Nya (Az Zumar : 7) Allah tidak ridla dengan kekafiran, sedangkan syarat untuk mendapatkan syafaat adalah Allah ridla kepada orang yang akan diberikan syafaat. Dan di hari kiamat ketika orang-orang kafir sudah masuk ke dalam neraka, mereka berkata dengan penuh penyesalan : tidak ada yang memberikan syafaat bagi kami (Asy Syuaraa : 100) Tidak bermanfaat bagi mereka syafa'at dari orang-orang yang memberikan syafa'at. (Al Mudatstsir : 48) Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Setiap nabi mempunyai doa yang mustajab dan setiap nabi sudah menyegerakan untuk memakainya di dunia ini, dan saya simpan doa mustajab saya ini sebagai syafaat bagi umat saya di hari kiamat. Itu pasti didapatkan Insya Allah oleh orang yang mati di antara umatku sedang dia tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun. (HR. Muslim) Satu-satunya orang kafir yang mendapatkan syafaat hanyalah Abu Thalib, itupun bukan dalam bentuk dikeluarkan dari api neraka, tapi hanya diringankan adzabnya saja, dari yang asalnya neraka yang paling dasar diganti dengan sandal dari api neraka yang mana bila dipakai, maka otak yang ada di kepalanya mendidih. Sedangkan orang yang paling ringan adzabnya di akhirat mengira bahwa dirinya adalah orang yang paling berat adzabnya. (Al

Referensi Kitab 1. 2.
3. 4. 6. Al Quran terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fathul Bari Ibnu Katsir, kitab Al Bidayah Wan Nihayah. Ibnul Qayyim, kitab Thariqul Hijratain. Syaikh Abdul Lathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan, kitab Mishbahuzh Zhalam. Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz, Melacak Jejak Thaghut. Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad, kitab Syarah Ashli Dienil Islam. Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad, kitab Majmuah tauhid. Syaikh Hamd Ibnu Athiq, kitab Ibthal At Tandid. Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab, kitab Ad Durar Assaniyyah. Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab, kitab Minhajut Ta'siis. Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab, kitab Risalah Fie Mana Thaghut Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab, kitab Risalah Nawaqidlul Islam. Syaikh Muhammad, Syarh Sittati Mawadli Minas Sirah, Majmu At Tauhid. Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Ibnu Abdil Wahhab, kitab Tafsiir Al 'Aziz Al Hamid. Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Ibnu Muhammad, Kitab Taisir. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, kitab An Nubuwwat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, kitab Ash Shorimul Maslul. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, kitab Majmu Al Fatawa.

5. 7. 8. 9.
10. 11.

12. 13. 14.


15.

16.
17. 19.

18.

Situs Islam
1. 2. 3. http:\\millahibrahim@wordpress.com http:\\abuqital1@wordpress.com www.arrahmah.com

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


58 -

PASAL KAJIAN AQIDAH ISLAMIYAH Visi Kajian :

1. 2.

Tabligh : Menjelaskan mengenai Aqidah Islamiyah (Ikatan Islam), Jamaah Islam, Kepemimpinan Islam dan Baiat untuk masuk Islam secara benar menurut kitabullah dan sunnah. Dakwah : Menyeru kepada setiap pembaca atau pendengar kepada Tauhid, Islam dan Jamaah Islam serta baroah (berlepas diri ) dari seluruh kemusyrikan dan kekafiran.

Misi Kajian :

Mengemas setiap permasalahan dalam bentuk tanya-jawab. Adapun pertanyaan dalam Pasal Aqidah Islamiyah ini adalah sebagai berikut. 1. Apakah wajib berada dalam satu jamaah yang benar? 2. Bagaimanakah ciri-ciri jamaah yang benar karena umat Islam pecah menjadi 73 golongan sedang yang benar hanya satu jamaah/golongan saja? 3. Bagaimana dengan status hukum bagi kelompok jamaah binaan thaghut? 4. Apakah wajib memiliki pemimpin? 5. Apakah pemimpin itu harus selalu diangkat oleh Khalifah? 6. Bagaimana bila ada yang mengatakan bahwa urusan kepemimpinan itu nanti saja belakangan, nanti juga pemimpin itu akan datang dengan sendirinya ? 7. Bagaimana terhadap perkataan "Jangan dulu memikirkan mana pemimpin, jaga saja diri sendiri dan keluarga? 8. Bagaimana jawaban kita terhadap perkataan bahwa untuk kepemimpinan tunggu saja Imam Mahdi yang akan membereskan semua persoalan ? 9. Apakah benar mengenai perkataan, bila belum bisa menjalankan hukum jinayah Qishos, Jinayah dan Hudud, maka tidak perlu adanya Imam yang didhohirkan, artinya bila sudah ada Imam, maka segala hukum seperti jinayah, qishos dan had mesti diberlakukan ? 10. Dalam Kitab Ad Da'wah IlAllah, Ali bin Hasan Al Atsari hal 89-96, dimana diantaranya Imam Ahmad pernah berkata bahwa yang dikatakan Imam ialah yang seluruh kaum muslimin berkumpul dibawah kepemimpinannya. Dimana masing masing mereka berkata : "Inilah dia Imam". Maksudnya, tidak ada artinya mengangkat Imam bila seluruh muslimin tidak mengakui dia sebagai "Imam". Bagaimana dengan Imam dalam sebuah jamaah yang diangkat oleh jamaah tersebut? 11. Apakah wajib komitmen (berbaiat) kepada pemimpin yang haq meskipun hal itu berada di wilayah yang dikuasai musuh? 12. Apakah Etika Timbal-balik Antara Pemimpin & Bawahan Menurut Al-Quran & As-Sunnah yang Shahih? 13. Ada yang mengatakan bahwa sebagian ulama salaf (terdahulu) tidak berusaha menggantikan pemerintahan yang dipimpin oleh raja-raja yang zalim. Bila itu benar, maka apa sebabnya? 14. Bagaimana cara memasuki Jamaah Islamiyah, Jamaah Muslimun, Jamaah Tauhid, Jamaah Mujahidin Darr al Islam ? 15. Mengapa syahadatain harus diikrarkan dihadapan seorang saksi dari petugas institusi Islam ? 16. Bagaimana jika Syariat Syahadatain tidak dilakukan ?

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


59 -

17. Mengapa hari ini memperjuangkan Islam masih bersembunyi dengan merahasiakan eksistensi jamaah
dan pimpinan Islam, apakah metode ini bagian dari tauhid dan manhaj haraki Nabi shalallahualaihi wassalam? Atau takut kepada musuh ?

Tata Tertib Membaca Risalah Ini :


1. 3. 4. 5.

2.

Berlindung kepada Allah dari segala bisikan syaitan dan mengawalinya dengan basmallah. Memohon kepada Allah agar diberi petunjuk ke jalan yang lurus. Melapangkan hati untuk menerima kebenaran dan berniat lurus karena Allah. Mentabayyuni (membaca, menelaah dan mengkaji) risalah ini dari materi awal hingga materi terakhir karena materi ini saling berkaitan agar tidak terjadi kesalah-pahaman. Dilarang keras membuka halaman berikutnya sebelum mengkaji dan memahami halaman sebelumnya. Risalah ini dilindungi langsung oleh Allah Yang Maha Kuat. Barangsiapa yang berniat jahat, merubah dengan al bathil dan/atau mendustakannya, Maka akan disiksa dengan siksa yang pedih dan kekal di akhirat.

PASAL KAJIAN AQIDAH ISLAMIYAH


Apakah wajib berada dalam satu jamaah yang benar?
Wajib, apalagi setelah kita memahami kajian tauhid pada pasal pertama pembahasan ini bahwa jamaah & kepemimpinan Islam adalah bentuk kemulkiyahan Allah di muka bumi. Allah taala berfirman; Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (At Taubah : 119) Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (dien) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai (Ali Imran : 103) Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An Nisa : 59) Rasulallah shalallahu alaihi wassalam bersabda, Sesungguhnya Allah ridha jika kalian berpegang teguh dengan tali-Nya dan tidak berpecah belah. (HR Muslim) Hendaknya kalian mengikuti al jamaah dan jauhilah perpecahan, karena sesungguhnya setan itu bersama satu orang, dan dia lebih jauh dari dua orang. Barang siapa yang menginginkan intinya surga hendaknya mengikuti al Jamaah. Tangan Allah Taala bersama jamaah. (Hadist shahih sunan at Tirmizi no. 1758) Jamaah adalah rahmat dan berpecah belah adalah adzab. (HR. Ibnu Abi Ashim dishahihkan oleh Syaikh al Albani) Dari Harits bin Harits al Asyari bahwasanya Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda, Sesungguhnya Allah telah memerintahkan lima hal kepada nabi Yahya bin Zakariya salam baginyauntuk dikerjakan dan aku memerintahkan kalian dengan lima hal yang Allah perintahkan kepadaku yaitu; berjamaah, mendengar, taat, hijrah dan berjihad di jalan Allah Taala. (HR, Ahmad, Tirmidzi, Nasa-I, Ibnu Hibban, Al Hakim dan Bukari dalam at tarikh. Dishahihkan syaikh Al Albani dalam Shahih jami Shaghir no. 1721, Shahih Targhib wa Tarhib no. 5530 dan Takhriju Misykatul Mashabih no. 3694 dari Ath Thayalisi dan Ibnu Khuzaimah)

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


60 -

Rasulallah shalallahu alaihi wassalam bersabda, "Barangsiapa yang melepaskan 'tangannya' dari ketaatan, dia akan berjumpa dengan Allah dengan tanpa hujjah (alasan membela diri). Barangsiapa yang mati, sedang di 'lehernya' belum ada bai'at (kepada pemimpin), maka dia mati dalam keadaan jahiliyah." (HR. Muslim) Barangsiapa yang keluar dari ketaatan kepada imam dan meninggalkan jamaah kemudian ia mati, maka matinya seperti matinya orang jahiliyah. Barangsiapa yang berperang dibawah bendera ashabiyyah atau marah karena ashabiyyah, atau berdakwah untuk ashabiyyah, kemudian dia mati, maka matinya seperti matinya orang jahiliyah. Barangsiapa dari umatku yang keluar dari jamaah kemudian memerangi orang baik-baik dan yang fajir, dan tidak memperhatikan urusan mukminin serta tidak menepati janjinya, maka dia bukan dari golonganku dan aku tidak termasuk golongan mereka. (HR. Muslim) Barangsiapa yang keluar dari jamaah walaupun sejengkal saja, maka ia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya walaupun ia shalat, zakat, shaum dan mengaku muslim. (HR. Muslim) Umar bin khatab radhiallahuanhu berkata, Tiada Islam tanpa jamaah, tiada jamaah tanpa kepemimpinan, tiada kepemimpinan tanpa ada ketaatan, dan tidak ada ketaatan kecuali dengan baiat.

Bagaimanakah ciri-ciri jamaah yang benar karena umat Islam pecah menjadi 73 golongan sedang yang benar hanya satu jamaah/golongan saja?
Setelah dijelaskan dan memahami pasal kajian tauhid, untuk memahami garis furqan, kita perhatikan empat hadits Nabi shalallahu alaihi wassalam di bawah ini: "Akan berpecah belah Yahudi dan Nashara menjadi 72 golongan dan akan berpecah umatku menjadi 73 golongan. Semuanya di neraka kecuali satu. Shahabat bertanya: Siapakah mereka ya Rasulullah? Beliau menjawab: mereka itu adalah orang-orang yang mengikuti aku dan para shahabat lakukan hari ini." (HR. Tirmidzi dan Thabrani) Dari 'Auf bin Malik ia berkata: Telah bersabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam: "Sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, satu golongan masuk surga dan tujuh puluh dua golongan masuk neraka". Beliau ditanya: "Ya Rasulullah, siapakah satu golongan itu?". Beliau menjawab: "Al-Jama'ah". (HR Ibnu Majah) Senantiasa akan ada sekelompok dari umatku yang menegakan kebenaran, orang-orang yang membencinya tidak membuat mereka gentar sampai datang ketentuan Allah (HR. Muslim) Dien ini akan senantiasa tegak, sekelompok umat Islam berperang di atas dien ini sampai tegaknya hari kiamat. (HR. Muslim) Dari hadits Nabi shalallahu alaihi wassalam di atas itu diambil tiga kesimpulan : Pertama, dalam hadits itu disebutkan yang masuk syurga (selamat) hanya satu, artinya bahwa yang kelompok yang lurus dalam tauhid akan selalu "tetap ada". Dengan demikian pada akhirnya golongan yang mengikuti jejak Nabi shalallahu alaihi wassalam dan para shahabatnya itu akan tetap eksis dan akan memperoleh kemenangan. Kedua, dinyatakan bahwa yang selamat itu ialah jama'ah, dan yang disebut jama'ah itu ialah golongan yang mengikuti jejak Nabi shalallahu alaihi wassalam dan para shahabatnya radhiallahuanhum. Untuk menilai golongan manakah yang pada waktu ini bisa disebut sebagai jamaah yang mengikuti jejak Nabi shalallahu alaihi wassalam dan para shahabatnya, tentu harus mengetahui apa yang dilakukan oleh Nabi shalallahu alaihi wassalam beserta para shahabatnya, seperti diantaranya yaitu: 1. Sudah baro'ah/berlepas diri dari struktur pemerintahan thaghut yang bertolak-belakang dengan hukum-hukum Allah Taala. 2. Hanya mengikuti kitabullah (wahyu) yang diimplementasikan oleh Nabi shalallahu alaihi wassalam. 3. Jamaah Islam yang didirikan Nabi shalallahu alaihi wassalam di Mekkah tidak terdaftar di pemerintahan thaghut. 4. Memiliki institusi & kepemimpinan yang independent (tidak bekerjasama dengan thaghut). 5. Jamaah Islam pasti dibenci dan diperangi oleh penguasa thaghut. 6. Melaksanakan perintah-perintah Allah Taala. 7. Sudah bantu membantu menyusun kekuatan (Q.S.8:73) militer dalam struktur kepemimpinan tersendiri sehingga jelas, tidak samar dalam menentukan mana kawan dan mana lawan. 8. Membuat undang-undang pemerintahan (Piagam Madinah) serta mempertahankannya dengan kekuatan senjata, sehingga terjadi "yaqtuluuna wa yuqtaluun" (membunuh atau terbunuh). 9. Jumlah anggotanya (umat) sedikit dan tertindas. Dan mayoritas manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya. (Yusuf : 103)

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


61 -

kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini." (Shaad : 24) Nabi shalallahu alaihi wassalam bersabda. Islam itu berawal dalam keadaan asing dan akan kembali asing seperti awal kehadirannya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing. Para shahabat bertanya, Siapakah mereka wahai Rasulullah. Beliau menjawab, Orang-orang yang tetap baik ketika masyarakat sudah rusak. (Dalam riwayat lain) Orang-orang sholih yang jumlahnya sedikit di tengah masyarakat yang rusak. Orang yang bermaksiat di antara mereka lebih banyak dari orang-orang yang taat. (Silsilah Ahadits Shahihah no. 1273, 1619)

10. Bersikap keras serta menjengkelkan thaghut (musyrikin, kafirin)


Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (Al Fath : 29) Sebab, bahwa yang disebut mengikuti jejak Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya itu, bukan hanya bicara dalil tanpa perbuatan (Q.S.61:2), bukan hanya menyampaikan dalildalil kepada orang lain sedang diri tidak melakukannya, bukan juga mengamalkan syariat dengan dipilih yang enaknya saja. Melainkan, bahwa yang disebut mengikuti jejak (sunnah) Nabi shalallahu alaihi wassalam itu ialah yang dalam praktek, sehingga nyata dirasakan oleh diri, dirasakan pula oleh musuhmusuh Islam sehingga 'setan-setan' pun merasa adanya "Asyid daa-u 'alal kuf-fari (Q.S.48:29). Semua sudah tahu bagaimana hukumnya bagi yang sudah tahu adanya perintah-perintah dari Allah, tetapi tidak menjalankannya. Sebab itu bahwa yang disebut "Sunnah" Nabi shalallahu alaihi wassalam itu, bukan cuma mengemukakan dalil, tetapi mempraktekkan apa yang diperbuat beliau. Dalam hadits itu bahwa golongan yang selamat hanya satu, yakni yang mengikuti jejak Nabi shalallahu alaihi wassalam dan para shahabatnya, hanya satu golongan. Dengan itu sungguh tidak berdasar, jika untuk mempraktekkan Sunnah Nabi shalallahu alaihi wassalam itu harus menunggu semua golongan bersatu. Umat Islam pada zaman Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassallam adalah golongan minoritas, artinya dalam memproklamasikan kedaulatan Islam tidak menunggu yang golongan banyak yang mana masih dalam kegelapan. Hal demikian telah menggentarkan dunia yang bukan Islam pada waktu itu. Sebab itu umat Islam Indonesia pun tidak menunggu seluruh umat manusia di mana pun yang tidak bercita-cita untuk Islam, artinya kita tidak bisa menunggu mereka yang ngaku beragama Islam, tetapi ideologinya bukan Islam. Ketiga, dalam Al-Qur'an surat 2 Al-Baqarah ayat 214 dinyatakan yang bunyinya: "Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk ke dalam syurga, padahal belum pernah datang kepadamu malapetaka yang pernah diderita oleh orang-orang yang terdahulu dari kamu? Mereka menderita kesengsaraan, kemelaratan, goncang-goncangan dahsyat, sampai rasul dan orang-orang yang beriman besertanya menanyakan; "Kapankah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah! Sesungguhnya pertolongan Allah selalu dekat." (Al Baqarah : 214) Dalam hadits yang dikemukakan tadi di atas bahwa yang masuk syurga itu hanya satu, yakni mereka yang mengikuti jejak Nabi Saw dan para shahabat yang hidup bersamanya. Adapun dalam ayat di atas itu mengingatkan kita, "Jangan menyangka akan masuk syurga sebelum mengalami penderitaan seperti orang-orang yang terdahulu." "Karena dipraktekkan oleh Nabi Saw dan para shahabat yang hidup bersama beliau, yakni memproklamirkan Negara Islam yang didalamnya menyatakan berlakunya hukum Islam sehingga resikonya memperoleh gempuran dari pihak yang anti penerapan hukum Islam secara keseluruhan, dan terjadilah penderitaan sebagaimana dalam Qur-an Surat 2 Al-Baqarah ayat 214!".

Bagaimana dengan status hukum bagi kelompok jamaah binaan thaghut?


Mengenai harokah atau jamaah yang terdaftar di pemerintahan thaghut maka hal ini sudah diketahui status hukumnya secara dzahir yaitu organisasi (tanzhim) dan anggotanya sama dengan mereka (anshorut thaghut) dan bergelar musyrikin, walaupun mereka berniat demi mashlahat dakwah, walaupun mereka shalat, zakat, shaum, jihad dan mengaku muslim. Karena mereka sudah melakukan syirik akbar, tidak kafir kepada thaghut, menyelisihi millah Ibrahim yang baroah (berlepas diri) terhadap musyrikin (QS.60:4), bahkan jamaah Rasulallah shalallahualaihi wassalam pun tidak terdaftar di Pemerintahan Kafir Quraisy. Ini jelas menyelisihi kitabullah dan sunnah Nabi shalallahualaihi wassalam. Hal ini telah dijelaskan dengan panjang lebar, jelas dan terang pada kajian tauhid terdahulu. Oleh karena itu, pahami dulu tauhid niscaya akan terlihat penyimpangan mareka. Adapun tentang keberpihakan umat ini kepada thaghut, telah diisyaratkan oleh Nabi dalam hadist shahih,

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


62 -

Hari kiamat tidak akan tiba sehingga setiap kabilah dari umatku ini kembali menyembah berhala (Pancasila -penj) dan setiap kabilah (kelompok, ormas, jamaah) dari umatku ini, mereka bergabung dengan pemimpin kaum musyrikin (pimpinan thaghut/pengusung dien demokrasi -penj). (HR. Muslim) Hadist tersebut dapat kita saksikan sekarang; setiap jamaah, ormas, kelompok atau harakah yang mengklaim mujahid Islam, yang terdaftar di Institusi Thaghut (pemerintahan musyrikin) hakikatnya mereka telah menerima, mengikuti, menyetujui dan berperan aktif untuk melaksanakan undang-undang kafir mereka, rela berada dalam naungan berhala mereka (Pancasila), siap membela nusa dan bangsa kaum musyrikin, dan bergabung dengan kemusyrikan, bahkan mereka seperti anjing piaraan menjadi objek berbagai partai politik dalam kancah pesta pemilihan pengaku tuhan-tuhan (arbab) atau Pemilu. Adapun bagi mereka yang mengklaim kami telah kafir kepada thaghut dan berhala Pancasila, kami tidak setuju dengan hukum kafir, atau kami mengkafirkan para penguasanya; tetapi karena kami berniat demi maslahat dakwah, kemudian mereka terjun kepada parlemen thaghut dan pesta demokrasi; hakikatnya mereka tetap masih belum kafir kepada thaghut, karena mereka terikat dan mengikatkan diri dengan pemerintahan thaghut. Dan ijtihad mereka ini batal karena mengikatkan diri dengan kekafiran adalah kekafiran. Ini telah dibahas secara terang menurut kitabullah, sunnah, ijma sahabat dan tabiin, dan fatwa ulama-ulama yang mengikuti salafus shalih dalam pasal Kajian Tauhid. Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Al Ahzab : 36) Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. (Al Mukminun : 71) Apakah kamu tidak perhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (An Nisaa : 60)

Apakah wajib memiliki pemimpin?


Wajib. Allah Maha Raja Diraja Yang Maha Suci berfirman, Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. (An Nisa :59) Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang- orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). (An Nisa :83) Allah Taala memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati para pemegang urusan mereka, baik ulama (urusan syari) maupun umara (urusan dunia, perang). Perintah ini berarti juga perintah untuk mengangkat pemimpin dan mentaati mereka. Dalam disiplin ilmu ushul fiqih, hal ini disebut dengan isyaratu nash. Maka urusan jihad sebagai sebuah urusan penting dalam dien juga harus dikerjakan lewat kepemimpinan seorang imam (khalifah saat khilafah masih tegak) atau amir (pimpinan) organisasi jihad ketika khilafah tidak ada. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : Setiap orang yang diikuti adalah ulil amri. Maka hendaklah setiap ulil amri memerintahkan dengan apa yang diperintahkan Allah Taala dan melarang dari apa yang dilarang Allah Taala. Hendaknya setiap orang yang wajib taat kepada ulil amri tersebut untuk mentaatinya selama dalam ketaatan kepada Allah dan tidak mentaatinya selama dalam kemaksiatan kepada Allah. (Majmu Fatawa 28/180) Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda, Dari Abdullah bin Amru bahwasanya Tidak halal bagi tiga orang berada di suatu daerah yang kosong (padang pasir) kecuali mereka harus mengangkat salah satu sebagai amir (pemimpin) mereka. (HR. Al Bazzar dan Al Haitsami dalam Majmau Zawaid 5/255. Dishahihkan syaikh Al Albani dalam Irwaul Ghalil 8/106 no. 2454, Juga dari Abu Hurairah ; HR. Baihaqi, dishahihkan syaikh Al Albani dalam Shahih Jami Shaghir no. 763) Dari Abu Said Al Khudri bahwasanya Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda, Jika tiga orang keluar dalam safar hendaklah mereka mengangkat salah satu sebagai pemimpin. (HR. Abu Daud no. 2608 dan Abu Iwanah, juga dari Abu Hurairah) Imam Syaukani menerangkan makna hadits ini: Hadits-hadits ini menyebutkan disyariatkannya bagi setiap kelompok yang terdiri dari tiga orang atau lebih untuk mengangkat salah seorang mereka sebagai pemimpin karena hal itu membawa keselamatan bagi mereka dari perselisihan yang

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


63 -

menyebabkan kehancuran. Dengan tidak adanya kepemimpinan, setiap orang akan memaksakan pendapatnya dan berbuat sesuai hawa nafsunya sendiri sehingga mereka akan binasa. Dengan adanya kepemimpinan; perselisihan akan sedikit dan tercapailah kesepakatan (persatuan). Jika kepemimpinan ini diperintahkan atas tiga orang yang berada didaerah kosong (padang pasir) atau sedang melakukan safar; maka perintah untuk mengangkat pemimpin atas kelompok yang terdiri dari lebih dari tiga orang yang tinggal di desa-desa dan kota-kota dan dituntut untuk menunaikan hak-hak dan mencegah kedzaliman di antara sesama mereka; hukumnya lebih wajib lagi. (Nailul Authar 8/257) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : Harus diketahui bahwa mengendalikan urusan manusia termasuk kewajiban dien yang paling agung, bahkan dien dan dunia tidak akan tegak tanpa adanya kepemimpinan. Kemaslahatan manusia tidak akan sempurna kecuali dengan berkumpul (berorganisasi) di antara mereka, karena satu sama lain saling membutuhkan, dan setiap perkumpulan harus ada pemimpinnya sebagaimana sabda Rasulullah shalallahualaihi wassalam (beliau menyebutkan hadits-hadits diatas). Rasulullah shalallahu alaihi wassalam mewajibkan mengangkat seorang pemimpin dalam sebuah perkumpulan paling kecil (3 orang) dan paling sebentar dalam perjalanan, untuk mengingatkan wajibnya mengangkat pemimpin untuk seluruh perkumpulan lainnya. Allah taala juga telah mewajibkan amar maruf nahi munkar, dan hal itu tidak mungkin sempurna kecuali dengan imarah (kepemimpinan) dan kekuatan. Demikian juga halnya dengan seluruh perintah lain yang Allah wajibkan seperti jihad, menegakkan keadilan, haji, menegakkan sholat Jumat, menegakkan sholat ied dan menolong orang-orang yang terdzalimi. Maka yang wajib adalah menjadikan kepemimpinan sebagai sebuah dien (ajaran dien), qurbah (sarana mendekatkan diri kepada Allah), karena mendekatkan diri kepada Allah dalam kepemimpinan dengan mentaati Allah dan Rasul-Nya merupakan bentuk mendekarkan diri yang paling utama. (Majmu Fatawa 28/390-392).

Apakah pemimpin itu harus selalu diangkat oleh Khalifah?


Memang harus diangkat oleh Khalifah. Tetapi jika Khalifah tidak ada dan/atau suasana sudah genting dan darurat maka boleh mengangkat pemimpin. Ini sama persis dengan peristiwa perang Mutah. Ketika ketiga komandan yang ditunjuk Rasulullah shalallahu alaihi wassalam (Zaid bin Haritsah - Jafar bin abi Thalib - Abdulllah bin Rawahah radhiallahuanhum) terbunuh, para shahabat sepakat mengangkat Khalid bin Walid radhiallahuanhu sebagai komandan perang, padahal ia tidak ditunjuk oleh Rasulullah shalallahu alaihi wassalam. Ketika pulang ke Madinah, Rasulullah shalallahu alaihi wassalam merestui mereka dan menggelari shahabat Khalid sebagai saifullah. Imam Ibnu hajar berkata : Hadits ini menunjukkan bolehnya mengangkat komandan perang meski tidak diangkat (ditunjuk) oleh khalifah. Imam Ath Thahawi mengatakan, Hadits ini menjadi dasar bahwa kaum muslimin harus mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai komandan yang menggantikan posisi khalifah sampai khalifah datang. (Fathul Baari Syarhu Shahih Bukhari 7/653, HR. Bukhari no. 4262) Bila menganggkat komandan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada khalifah dengan alasan kondisi genting dan jauhnya khalifah dari pasukan; diperbolehkan, maka tentunya mengangkat komandan jihad di saat tidak ada khalifah lebih boleh lagi. Dari Uqbah bin Malik bahwasanya Rasululah shalallahu alaihi wassalam mengutus sebuah pasukan perang kemudian pasukan ini mempersenjatai salah seorang di antara mereka dengan pedang. Ketika pulang, Uqbah berkata, Seandainya anda melihat ketika Rasulullah mencela habis-habisan kami. Beliau bersabda, Apakah kalian tidak bisa mengangkat salah seorang di antara kalian sebagai pemimpin ketika pemimpin yang kutunjuk tidak menjalankan perintahku? (Shahih Sunan Abu Daud no. 2387) Hadits ini menunjukkan, ketika seorang komandan pasukan yang ditunjuk oleh imam tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya, pasukan berhak mengangkat seorang di antara mereka yang mempunyai kemampuan memimpin tugas sebagai komandan baru, tanpa mesti harus menunggu pengangkatan komandan baru dari imam. Jika demikian halnya dengan pasukan jihad yang diberangkatkan oleh imam, bukankah dengan pasukan jihad di zaman tidak ada imam lebih berhak lagi? Imamul Haramain Al Juwaini mengatakan. Sebagian ulama telah mengatakan, Jika suatu masa vacum dari seorang imam, maka menjadi kewajiban penduduk setiap daerah untuk mengangkat seorang imam dari kalangan orang yang berkemampuan ; mereka melaksanakan arahan dan perintahnya serta menjauhi larangannya. Jika mereka tidak melakukan hal itu, mereka akan ragu-ragu dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban penting dan kebingungan dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang terjadi. (Ghiyatsul Umam Fi At Tiyatsi Adh Dhulam hal. 387)

Bagaimana bila ada yang mengatakan bahwa urusan kepemimpinan itu nanti saja belakangan, nanti juga pemimpin itu akan datang dengan sendirinya ?
Perkataan semacam itu biasanya muncul dari satu di antara empat keadaan seseorang: Pertama, perkataan terkesan/bernada yang putus asa, yakni tidak mau susah banyak mikir. Padahal susah atau tidak susah, mikir atau tidak mikir, pada Hari Kiamat tiap diri akan didatangkan pimpinannya. Perhatikan Firman Allah yang bunyi-Nya: "(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya (Al Isra:71)

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


64 -

Berdasarkan ayat di atas itu, sadar atau tidak bahwa di bumi ada dua kepemimpinan. Yakni, jika diri tidak berada dalam kepemimpinan yang haq, berarti berada dalam kepemimpinan batil. Dengan itu sekalipun bagi yang tidak merasakan dalam suatu kepemimpinan maka kepadanya tetap akan didatangkan saksinya yaitu pemimpin, terlepas dari apakah itu yang bathal atau yang haq. Dalam AlQur'an surat 90 ayat 10 dinyatakan yang bunyinya : "Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan". Dengan itu jelas bila tidak dalam yang haq, berarti dalam bathil. Jika tidak dalam kepemimpinan Islam, pasti berada di bawah kepemimpinan thaghut. Allah Pemimpin orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pemimpinnya ialah thaghut, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.(Al Baqarah : 257) Kemudian, sehubungan dengan saksi di Akhirat, kita perhatikan lagi ayat yang bunyinya: "Dan bagaimanakah (jadinya) nanti jika diri tiap-tiap umat kami datangkan seorang saksi, dan kami datangkan engkau sebagai saksi terhadap mereka ?" (An Nisa : 41). Sebuah riwayat menerangkan bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam pernah berkata kepada Abdullah bin Mas'ud radhiyallahuanhu: "Bacakanlah al Qur'an untukku!" Abdullah bin Mas'ud radhiyallahuanhu menjawab: Yaa Rasulullah, bagaimana aku membacanya untuk engkau, sedangkan AlQur'an itu turun kepada engkau?" Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam menerangkan: "Aku ingin mendengarnya dari yang lain". Kemudian Abdullah bin Mas'ud membacakan surat An-Nisa. Sesaat sampai pada ayat di atas tadi (An Nisa:41), Nabi shalallahu alaihi wassalam berkata: "Cukuplah sekarang!" Ketika Abdullah bin Mas'ud menolehnya, tampak air mata beliau berlinang-linang. Ada lagi riwayat yang menyebutkan bahwa ketika itu Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam menambahkan perkataannya : "Sebagai saksi selama aku berada di tengah-tengah mereka...". Dari keterangan tersebut itu dimengerti Bahwa Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam akan menjadi saksi nanti di akhirat terhadap perbuatan umatnya sewaktu masih dipimpin olehnya, tetapi sesudah mereka ditinggalkan wafat oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, maka persaksian itu bukan haknya lagi. Pada hari kiamat kelak Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam akan dikejutkan oleh orang-orang yang sewaktu hayat beliau dipandang sebagai orang-orang yang tetap ta'at pada Hukum-Hukum Allah, tetapi sesudah Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam itu wafat, dan mereka itu menghadapi macam-macam cobaan, ternyata dari perbuatan mereka itu diantaranya banyak didorong oleh nafsu duniawi, sehingga melanggar aturan-aturan Islam. Mengenai mereka itu kelak Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam akan berkata kepada Allah SWT sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi Isa alayhissalam: "...aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada diantara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu". (Al Maaidah:117) Lebih lanjut kita perhatikan ayat yang bunyinya: "Allah berfirman:"Turunlah kamu sekalian, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain ....".(Al Araf:24) Dari ayat di atas itu dimengerti, disadari atau tidak bahwa di dunia ini terjadi permusuhan. Yaitu antara Hizbullah (Q.S.5:56) dengan Hizbusyaithan (Q.S.58:19), antara yang taat sepenuhnya terhadap hukum Allah dengan manusia-manusia yang mendurhakai-Nya. Pengertian mengenai "syaitan" yaitu suatu sifat bagi makhluk yang melanggar peraturan/hukum dari Allah, yakni yang terdiri dari jin dan manusia. Perhatikan Firman Allah Taala yang bunyi-Nya: "Dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (menyesatkan). Jikalau Robbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka kerjakan" (Al Anam : 112) Dari ayat itu dipaham bahwa setiap manusia yang menentang berlakunya seluruh hukum Allah, maka adalah "syaitan" dan jelas berada pada jalan thaghut, terlepas dari apapun namanya, dan terus mengadakan kegiatan dengan saling membantu antara mereka. Dengan demikian jelas ada pemimpinnya. Dari ayat itu juga dipaham bahwa golongan syaitan dari jenis manusia itu adalah umum, artinya tidak mesti dengan nama yang khusus, tetapi bisa saja dengan sebutan yang sesuai dengan kondisi dan situasi zamannya. Dengan demikian dalam versi apapun namanya, baik itu mengatas-namakan Islam atau bukan, tetapi jika keberadaannya tidak memiliki ketegasan memihak kepada yang sepenuhnya ta'at terhadap Allah, maka tetap dalam kepemimpinan "syetan" alias thaghut! Dalam arti tidak memiliki "Furqoon". Sebab, bagaimana akan bisa menjalankan hukum-hukum Allah, jika tidak ada pemimpinnya?

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


65 -

Satu contoh saja, yaitu dalam Qur'an surat 5 ayat 89 tertera mengenai "Kaffarat" bagi yang melanggar sumpah yang uraiannya ialah: 1. Memberi makan sepuluh orang miskin yaitu dari makanan yang biasa diberikan kepada keluarga si pelanggar sumpah. 2. Atau memberi pakaian kepada mereka (untuk sepuluh orang). 3. Atau juga memerdekakan seorang budak (sekarang ini bisa disetarakan kpd yang senilai dengan itu). 4. Jika tidak sanggup melakukan yang sedemikian, maka hukuman/kaffaratnya puasa selama tiga hari. Dalam memutuskan hukum yang harus dipilih dari yang 4 di atas itu haruslah ada hakim untuk mengadili dan menilai kemampuan yang sebenarnya dimiliki oleh si pelanggarnya. Tentu, bagi yang tidak punya pemimpin, maka memilihnya ditentukan oleh yang sesuai dengan keinginan dirinya. Sehingga: Lapornya juga kepada dirinya sendiri. 1. Dihakimi oleh diri sendiri. 2. Divonisnya pun oleh diri sendiri, sehingga bisa dicari-cari mana yang enak atau ringan, walau dia mampu. Disitu pula setan menyelinap pada dirinya. Memang ringan tidak diketahui oleh orang lain, tetapi dimanakah letaknya nilai taubat serta keikhlasan diri untuk menjalankan hukum secara dhohir? Pribadi mu'min tidak lepas dari kewajiban memiliki pemimpin. Apalagi untuk menjalankan hukumhukum seperti "Hudud (Q.S.5:38), Qishas (Q.S.5:45), Jinayah (Q.S.24:2)". Bisa tegaknya hukum-hukum itu jika tegak kedaulatan Islam. Bisanya tegak kedaulatan Islam jika didahului oleh adanya kepemimpinan yang "Furqan", Sebab itu bila tidak butuh dengan kepemimpinan sedemikian, bukanlah seorang Islam, sebab tidak menjalankan Qur'an surat An-Nisa ayat 59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya Kedua, jelas, keluar dari yang belum paham tata-cara jihad dalam Islam. Mengapa? Karena, perkataan ini muncul biasanya dari yang kelelahan mencari pemimpin. Apalagi jika yang diikuti selama ini adalah orang yang tidak tahu atau tidak mau tahu dengan aturan Islam, berangan-angan melamunkan seorang pemimpin ideal. Akhirnya bergonta-ganti pimpinan, maka ujung ceritanya adalah kenyataan di atas: "Sudahlah tidak usah meributkan pimpinan, yang penting kerja saja!" Padahal jihad itu harus dibawah komando Imam. Para sahabat saja sampai terpaksa menunda pengurusan jenazah Rasul shalallahu 'alaihi wa sallam. terlambat dua hari setengah, karena menunggu wujudnya kepemimpinan guna melakukan jihad fisabilillah. Ketiga, bisa juga perkataan di atas tadi itu timbul dari perasaan bahwa ibadahnya sudah sempurna atau tidak lagi mempunyai dosa, karena anggapan cukup dengan menjalankan ibadah puasa Bulan Ramadhan. Sehingga merasa tidak perlu adanya pemimpin. Hampir banyak yang hapal akan sabda Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam yang bunyinya: "Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan atas dasar keimanan dan tepat perhitungan waktunya, diampunilah baginya apa-apa yang terdahulu daripada dosanya." (H.R.Bukhori-Muslim) Pengertian dari hadist di atas, yaitu dia berpuasa sesuai dengan aturannya, juga posisi dirinya berada dalam kepemimpinan yang terpisah dari kepemimpinan yang memusuhi hukum Islam. Umpama saja seorang guru kelas 2 S.D. 6 berkata kepada muridnya: "Barangsiapa yang bisa menggambar mobil seperti gambar mobil ini maka akan memperoleh hadiah buku tebal ini". Jelas, hadiah cuma diberikan kepada yang berhasil mengerjakannya dari murid kelas 2 S.D. 6. Jadi, tidak masuk akal kalau ada murid dari kelas atau sekolah lain menggambar mobil memperoleh hadiah buku tebal yang dijanjikan oleh guru kelas 2, S.D. 6 tadi. Nabi shalallahu alaihi wassalam tidak mengemukakan adanya kewajiban berpuasa kepada para pengikut Abu Jahal cs. Karena itu, apa yang disabdakannya juga tidak ditujukan kepada yang masih mengabdikan dirinya bagi "Kebangsaan Quraiys Makkah" sehingga anti pemerintahan Islam di Madinah. Tidak ditujukan kepada yang anti terhadap negara yang didasari Qur'an dan Sunnah Nabi shalallahu alaihi wassalam. Tidak ditujukan kepada yang beriman akan sebagian ayat serta ingkar kepada sebagiannya. Tidak pula ditujukan kepada mereka yang menjadi alat pemerintahan yang anti terhadap hukum-hukum Al-Qur'an sehingga ikut terlibat menjegal tegaknya hukum Islam secara keseluruhan. Sungguh tidak ditujukan kepada mereka, sebab terhadap mereka yang sedemikian itu telah dinyatakan dalam Al-Qur'an diantaranya yaitu: Mereka adalah dzalim (Q.S.5:45), mereka adalah kafir (Q.S.5:44), mereka adalah fasik (Q.S.5:47), mereka adalah kafir yang sebenarnya (Q.S.4:150-151), mereka adalah yang mendzalimi diri mereka sendiri, dan tempat mereka adalah Jahannam (Q.S.4:97), dan mereka adalah yang terputus segala amalannya karena membenci hukum-hukum Allah (Q.S.47:9). Dalam hadist di atas tadi disebutkan "didasari keimanan", maka apakah bisa disebut beriman, jika terlibat membela tegaknya hukum-hukum jahiliyah (Q.S.5:50)? Sedangkan banyak ayat yang menunjukkan bahwa tidak dinyatakan beriman sehingga menegakkan semua peraturan Allah (Q.S.5:68, S. 15:90-93).

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


66 -

Selama belum kiamat, selama itu pula semua hukum-hukum Al-Qur'an menjadi kewajiban kita menegakkannya. Sebab itu, para "shoimiin (pelaku shoum)" harus dapat menempatkan dirinya pada wadah (jamaah) yang benar-benar tepat, sesuai dengan yang dipraktekkan oleh Nabi saw, sehingga amalan Ramadhan-nya tidak terhapus, serta sesuai dengan yang dimaksud dalam "Tauhid". Ke-empat, perkataan di atas tadi muncul dari orang yang tidak mengerti tentang pentingnya nilai kepemimpinan dalam Islam. Bila menyusun Shaf tanpa harus mempertimbangkan dasar kepemimpinan, maka atas dasar apa penyusunan itu dilakukan? Atas dasar inisiatip pribadi? Ya, kalau pribadi bisa-bisa seribu pribadi jadi pemimpin, bahkan lebih dari seribu.... Bila dasarnya inisiatip maka ini jelas bukan logika Umat Islam yang mendasarkan dirinya pada keta'atan yang lengkap pada Allah, Rasul dan Ulil Amri (S.4:59). Bagaimana bisa tertib kepemimpinan, kalau awalnya saja sudah tidak teratur. Syarat berdirinya negara, salah satunya adalah adanya pemimpin. Jika syarat utama ini diabaikan/dianggap tidak mendesak, maka secara langsung orang yang berpendapat begitu, meruntuhkan negara itu sendiri. Jadi, perjuangan apa yang sedang disusun itu? Sepanjang sejarah sunnah, gerakan ummat itu muncul dari adanya pemimpin. Sebelum adanya kesatuan muslimin, baik itu di Makkah ataupun di Madinah, didahului adanya pemimpin. Menjawab pertanyaan di atas tadi, perhatikan lebih dahulu ayat-ayat di bawah ini: "Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka untuk mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orangorang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik." (Al Hadid : 16) "Kemudian Musa kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih hati. Berkata Musa : "Hai kaumku, bukankah Robbmu telah menjanjikan kepadamu suatu janji yang baik? Maka apakah terasa lama masa yang berlalu itu bagimu atau kamu menghendaki agar kemurkaan dari Robbmu menimpamu, lalu kamu melanggar perjanjianmu dengan aku?". (Thaahaa : 86) Dari kedua ayat di atas itu diambil arti, sebagai mukmin harus bisa bertahan dalam berpegang pada ketetapan Allah, meski waktu telah begitu lama melampauinya. Jika dikaitkan dengan lamanya diri mencari kejelasan pimpinan, sementara belum juga mendapatinya maka dalam hal itu tidak boleh berkata yang menyalahi dari ketetapan Allah, seperti halnya sudah tidak perlu adanya pemimpin. Mestinya, jika diri sudah berusaha mencari pemimpin yang sebenarnya sedangkan belum juga didapati, maka berkatanya pun harus mengandung unsur perlu adanya pemimpin sehingga padanya didapat "nilai kesabaran". Perhatikan ayat yang bunyinya : "Dan di antara mereka kami jadikan pemimpin untuk memberi petunjuk dengan perintah kami pada waktu mereka sabar. Dan mereka yakin kepada ayat-ayat Kami." (As Sajdah : 24) Meskipun ayat di atas itu terkait dengan kisah Bani Israil, namun sejarah tadi termaktub dalam AlQur'an, maka sudah seharusnya segenap Ahlul Qur'an mengambil hikmah. Ayat di atas memberikan gambaran pada kita bahwa munculnya pemimpin sebagai kekuatan de fakto adalah hasil proses kesabaran yang panjang. Untuk jelasnya kita ulangi lagi ayat yang bunyinya: "Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang fasik." (Al Hadid :16) Ayat di atas itu mengingatkan kita (khususnya pembaca) bahwa setiap mukmin hendaknya bersegera menerima kebenaran tatkala kebenaran itu datang kepada mereka. Jangan seperti Yahudi/Nasrani, dimana ketika datang kebenaran pada mereka, hati mereka bukan terbuka, malah menutup dan mengeras saking lamanya mereka berketerusan dalam kegamangan tanpa informasi. Ujung ayat dijelaskan bahwa menolak kebenaran yang baru datang , dan tetap berpegang pada informasi lama yang gamang tadi akan menjadikan keliru dalam melangkah dan mengambil keputusan, jadilah orang fasik dalam pandangan-Nya. Naudzubillaahi min dzalik.

Bagaimana terhadap perkataan "Jangan dulu memikirkan mana pemimpin, jaga saja diri sendiri dan keluarga?
Terlebih dulu saya kemukakan ayat yang bunyinya: "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, tidak mendurhakai (Perintah) Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (At Tahrim : 6)

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


67 -

Dari ayat itu diambil arti bahwa menjaga diri sendiri itu kewajiban yang pokok. Di akhirat pun diri bertanggung jawab hanya oleh dirinya sendiri. Perhatikan ayat-ayat yang bunyinya: "Dan apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangsakala yang kedua), pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari isteri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya." ('Abasa : 33-37) Dengan ayat itu juga dipaham bahwa kewajiban menjaga keluarga itu soal kedua. Yang pertama adalah diri sendiri, artinya jika sudah diri sendiri baru keluarga. Untuk yang kedua ini bagi kita hanya sekedar usaha memelihara sebisa mungkin sesuai dengan batas kemampuan, adapun berhasil atau tidak hal itu bukan urusan kita. Perhatikan ayat-ayat yang bunyinya : "Dan Nuh berseru kepada Rabbnya seraya berkata : "Ya, Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkaulah yang benar. Dan Engkau Hakim yang seadil-adilnya." (Huud : 45) "Allah berfirman:"Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohan kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekatnya). Sesungguhnya aku memperingatkan kapadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang jahil". (Huud : 46) Dengan ayat itu dimengerti bahwa soal keluarga artinya kalau mereka sudah tidak mau untuk berada dalam kepemimpinan Islam, kita tetap harus menjaga diri sediri, jangan sampai keluarga yang sudah tidak mau, lalu kita hanyut terbawa oleh keluarga. Tiap diri mu'min yang sudah baligh wajib menegakkan hukum-hukum Allah secara keseluruhan, sama wajibnya dengan menjalankan Sholat yang lima waktu. Hanya menegakkan hulum-hukum Allah itu harus dengan bersama-sama. Lihat petikan ayat di bawah ini yang bunyinya: "...maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang datang kepadamu...." (Al Maaidah : 48) Menjalankan hukum-hukum Allah tidak bisa dengan cara bersendirian, melainkan harus dengan secara bersama-sama. Perintahnya juga "Kum", yakni "kamu sekalian". Dengan itu wajib ada pemimpinnya, yakni wajib memiliki pemimpin. Apabila seseorang tidak berada dalam kepemimpinan yang haq, berarti dalam yang bathil, jika masih dalam yang bathil berarti tidak menjaga diri dari neraka. Keluarga juga diajak supaya menjadi sama dengan kita, namun tentu harus melalui pertimbangan sesuai dengan situasi dan kondisinya. Dan seandainya diantara mereka ada yang tidak mau, ya, kita tetap menjaga diri dengan kata lain, terus berlaju tanpa mesti menunggu anggauta keluarga yang tidak mau, sebagaimana Nabi Nuh salam baginya- Demikianlah makna menjaga diri sendiri.

Bagaimana jawaban kita terhadap perkataan bahwa untuk kepemimpinan tunggu saja Imam Mahdi yang akan membereskan semua persoalan ?
Dalam menjawab pertanyaan di atas itu, penulis akan mengemukakan tiga hadits di bawah ini: "Dari Imran bin Hushain Radiyallahu 'anhu, dia berkata: telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam: "Akan terus menerus ada sekelompok dari ummatku yang berperang atas kebenaran, mereka mengalahkan orang-orang yang memusuhi mereka, sehingga orang-orang terakhir dari mereka ini memerangi al-Masih Dajjal". (H R. Abu Daud, No. 2484, bab Fi Dawamil Jihad. Imam Ahmad dalam Musnad) "Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma, dia berkata: "Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallama bersabda: 'Terus menerus dari umatku ada sekelompok orang yang berpegang di atas dasar kebenaran, mereka itu selalu tampil dengan kebenaran sampai hari kiamat." Kemudian beliau bersabda: "Maka Nabiullah Isa 'alaihis salam turun, maka berkatalah pimpinan mereka (yakni pimpinan kelompok pejuang kebenaran itu) kepada Isa: "Kemarilah, pimpinlah kami menunaikan shalat". Maka Isa menjawab: "Tidak, sesungguhnya sebagian kalian atas sebagian yang lainnya sebagai pimpinan sebagai pemulyaan Allah terhadap umat ini." (H.R Muslim) Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Abani hafizullah menerangkan: "Perkataan 'pimpinan mereka' di hadits ini yang dimaksud adalah Imam Mahdi Muhammad bin Abdullah 'alaihis salam sebagaimana yang bisa dilihat dalam hadits-hadits lain. "Dari 'Abdillah bin Mughoffal, radhiyallahu'anhu berkata: "Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Akan tinggal Dajjal di bumi sampai waktu yang dikehendaki Allah, kemudian turunlah Isa bin Maryam yang membenarkan Nabi Muhammad dan berada di atas millah (syari'at)nya dan sebagai hakim yang adil, maka beliau membunuh Dajjal." (At-Tabrani dalam Al-Kabir & Al-Baihaqi dalam Al Ba'ts)

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


68 -

Dari tiga hadits itu dipaham bahwa yang disebut "Imam Mahdi" yaitu yang datangnya pada akhir zaman sewaktu sudah mendekati hari kiamat, yaitu menjelang turunnya Nabi Isa salam baginya- yang kemudian datang pula Dajjal. Sehingga bala tentara Imam Mahdi memerangi bala tentara Dajjal. Dan sezaman dengan turunnya Nabi Isa a.s. Sehingga akhirnya Nabi Isa as itu membunuh Dajjal itu. Kesimpulan dari tiga hadits di atas tadi bahwa akan datang Imam Mahdi pada akhir zaman, yakni sudah mendekati hari kiamat. Jadi, bahwa musuh Islam yang dihadapi oleh Imam Mahdi bukan lagi musuh yang seperti kita lihat sekarang. Musuh yang dihadapinya merupakan musuh yang berat yang tidak bisa dihadapi oleh kita sekarang. Kemudian Allah Taala menurunkan Nabi Isa salam baginya-, maka tentu pemimpin muslimin yang menerimanya juga "bukanlah yang tidak ma'shum" seperti pemimpin kita sekarang. Begitu juga yang dijadikan musuhnya, sebagai alat penguji keimanan umat muslimin ditakdirkan oleh Allah dengan membawa keluar-biasaannya, yaitu Dajjal dan bala tentaranya, sesuai dengan kadar serta keseimbangannya. Allah Maha Bijaksana bahwa akan menguji umat muslimin dengan musuh (Dajjal) yang diberikan keluarbiasaan, maka akan mendatangkan pimpinan umat yang diberikan keluarbiasaan pula, yaitu Imam Mahdi dan kemudian diturunkan Nabi Isa salam baginya. Kita tidak tahu kapan datangnya hari kiamat, atau kapan datangnya Dajjal yang disebutkan dalam hadits tadi. Imam Mahdi hanya akan mempertanggungjawabkan umatnya yang pada zaman menjelang kedatangan Dajjal mendekat hari kiamat, artinya Imam Mahdi tidak bertanggung jawab kepada kehidupan kita sekarang. Dengan itu seandainya anda tidak mau punya pimpinan Islam, karena anda mengandalkan datangnya Imam Mahdi, sedangkan kewajiban bagi Imam Mahdi itu nanti sezaman dengan datangnya Dajjal, juga datangnya Nabi Isa salam baginya-, maka hal itu berarti anda sekarang tidak merasa diperintah Allah untuk memerangi musuh-musuh Islam pada zaman sekarang. Ataukah memang anda bersikeras ingin menunggu berperang melawan bala tentara Dajjal? Mestinya anda bersyukur ditakdirkan oleh Allah, hidup pada zaman sekarang, belum datang Imam Mahdi, musuh anda belum begitu berat seperti nanti pada zaman Imam Mahdi. Kita hidup sekarang, akan diminta pertanggung-jawaban oleh Allah dari hal kehidupan sekarang. Jadi, soal akan datangnya Imam Mahdi, hal itu urusan nanti, artinya anda tidak akan diminta pertanggungjawaban soal Imam yang akan datang. Tegasnya, bahwa dengan adanya berita akan datangnya Imam Mahdi, maka kita tidak bisa lepas dari kewajiban kita untuk memiliki Imam/pemimpin pada waktu sekarang.

Apakah benar mengenai perkataan, bila belum bisa menjalankan hukum jinayah Qishos, Jinayah dan Hudud, maka tidak perlu adanya Imam yang didhohirkan, artinya bila sudah ada Imam, maka segala hukum seperti jinayah, qishos dan had mesti diberlakukan ?
Tidak benar! Melainkan, yang benar yaitu bilamana kondisi dalam berperang atau sedang berada dalam wilayah yang sedang dikuasai musuh, maka tidak diperbolehkan melaksanakan hukum had (potong tangan). Artinya, bahwa dalam kondisi demikian, maka pelaksanaan hukum potong tangan itu harus ditunda. Jadi, bahwa tidak boleh dilaksanakannya hukum had itu bukan disebabkan belum didhohirkannya Iman, melainkan karena kondisi ketidakmampuan kaum muslimin untuk menguasai keadaan orang yang dikenai hukum potong tangan itu, bilamana dirinya membelot kepada musuh. Dengan demikian untuk melaksanakan hukum had itu, bila sudah di dalam wilayah yang sudah dikuasai dengan sepenuhnya (de facto). Abul Qosim Al-Khroqi dalam risalahnya meriwayatkan bahwa Bisyr bin Arthaah menangkap seorang tentara (mujahid) yang mencuri barang miliknya. Dia berkata: "Sekiranya aku tak mendengar sabda Rasulullah shalallahualaihi wassalam, diwaktu perang, tangan-tangan tak boleh dipotong, pasti akan kupotong tanganmu". (HR. Abu Daud). Imam Ahmad, Ishak bin Ranaiwah, Azauza'i juga yang lainnya menentukan, bahwa hukum tidak boleh dilaksanakan di daerah yang dikuasai musuh. Khalifah Umar bin Khathab mengumumkan pelarangan terhadap pelaksanaan hukum dera di waktu perang. Dalam Perang Qodisiah, Abu Maljam ditemui sedang minum Khamar oleh Sa'ad bin Abi Waqqos, olehnya tidak dihukum dera, tapi diperingatkan kepada anak buahnya supaya mengikat kedua kaki Abu Maljam. Sewaktu Abu Maljam melihat kuda-kuda dihalau untuk dipersiapkan menyerbu musuh, dan dirinya dikerumuni orang, Abu Maljam meminta kepada Ibna Hafsah supaya dilepaskan kakinya dengan janji, bilamana selesai berperang ia masih hidup, dirinya akan kembali untuk diikat kakinya. Apabila aku mati, kalian (yang melepaskan) terbebas dari pertanggungan jawaban mengenai diriku!" Begitulah ketegasan Abu Maljam. Setelah dilepaskan kainnya, kemudian maju menyerbu musuh. Ketika itu Sa'ad bin Abi Waqqos sedang luka-luka tidak memimpin perang, namun dinaikkan ke atas sebatang pohon, sambil mengawasi situasi berperang. Melihat hal itu, maka Abu Maljam melompat ke atas kuda Sa'ad, dengan bersenjatakan tombak, ia menerjang musuh dengan gesitnya, puluhan musuh terbunuh olehnya. Ada Malaikat! teriak seorang shahabat. Sesudah tentara Islam mengalahkan musuh, Abu Maljam kembali mengikat sendiri kedua kakinya. Ibnu Hafsah menanyakan mengenai Abu Muljam kepada suaminya. Sa'ad bin Abi Waqqos berkata: "Demi Allah, aku akan mendera orang yang memberi kemenangan kepada muslimin". Abu Maljam dihukum lalu dibebaskan.

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


69 -

Dari riwayat itu diketahui bahwa Daulah Islamiyah beserta Imamnya sudah ada yakni dhohir, meski hukum-hukum yang menyangkut pidananya itu tidak dijalankan, karena didaerah musuh, artinya masih dalam bahaya. Jadi, sebelum Ummat Islam berkuasa penuh, atau sebelum berlakunya hukum hukum pidana, maka yang pertama kali ialah dhohirnya Imam. Dan jelas sekali bahwa sebelum diturunkan hukum-hukum pidana, qishos, dan had itu, Imam yakni kepemimpinan Rasulullah shalallahualaihi wassalam, juga negara Madinah sudah ada, artinya sebelum adanya kewajiban menjalankan hukum hukum pidana itu didahului dengan adanya Daulah Islamiyyah dengan imamnya. Secara akal pun dimengerti bagaimana bisa berkuasa penuh, yakni memiliki wilayah yang sepenuhnya dikuasai, jika untuk mengadakan imamnya saja belum bisa. Yang dimaksud dengan Imam ialah pemimpin tertingginya. Bila pada zaman nabi shalallahualaihi wassalam di Madinah ialah beliau sendiri. Dengan itu sebelum adanya perintah shalat juga hukum-hukum pidana, maka kewajiban memiliki Imam sudah ada, meski sedang berada di wilayah yang dikuasai musuh. Dengan demikian, sungguh terbalik alias salah, bagi orang yang mengatakan bahwa shalat itu baru wajib kalau sudah diperintah oleh Imam, begitu juga sungguh salah alias terbalik, bagi yang mengatakan tidak perlu adanya imam karena belum bisa menjalankan hukum jinayah, Qishos, had.

Dalam Kitab Ad Da'wah IlAllah, Ali bin Hasan Al Atsari hal 89-96, dimana diantaranya Imam Ahmad pernah berkata bahwa yang dikatakan Imam ialah yang seluruh kaum muslimin berkumpul dibawah kepemimpinannya. Dimana masing masing mereka berkata : "Inilah dia Imam". Maksudnya, tidak ada artinya mengangkat Imam bila seluruh muslimin tidak mengakui dia sebagai "Imam". Bagaimana dengan Imam dalam sebuah jamaah yang diangkat oleh jamaah tersebut?
Orang terkadang lalai dalam mencermati sejarah. Hanya berpijak pada kata tanpa melihat konteks peristiwa, "Di zaman apa perkataan tersebut diucapkan?" Ucapan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah disampaikan di dalam wilayah Daulah Islamiyyah yang berjaya. Di tempat dimana Pemerintahan Islam eksis dengan segala persyaratannya. Dalam keadaan demikian, maka wajar saja apabila di saat kekuasaan Islam tengah berlangsung, Ahlul Halli wal Aqdhi lengkap, begitu juga jajaran panglima militer yang mengawal negara Islam, tiba tiba ada orang yang mengangkat diri jadi Imam, tanpa prosedur dan hukum yang berlaku. Ini kudeta namanya, dan bila dia punya pengikut yang mendukungnya dengan jalan sangka sangka. maka kelompok tadi dinamakan Ahlul Baghiyyah, wajar bila mereka dipaksa dengan kekuatan untuk kembali pada kebenaran, kembali mentha'ati kekuasaan yang tengah berlangsung dan diakui seluruh muslimin tadi. Bila kelompok ini malah menentang dan mengangkat senjata, maka menjadi kewajiban tentara Islam untuk memeranginya hingga mereka bertekuk lutut. Adapun ketika jutaan muslimin, rela diatur kekuasaan Darul Kuffar, keadaan dimana muslimin malah menjadi rakyat Negara Kafir, maka haruskah sebuah Daulah Islamiyah membiarkan posisi tertinggi negaranya kosong hanya karena menanti seluruh muslimin yang menjadi rakyat Darul Kuffar itu mengakuinya? Bagi kita yang hanya berwali pada Allah, beribadah kepada Allah dalam pangakuan negara yang menyatakan berlakunya hukum-hukum, mengambil Al Quran dan Hadits shahih sebagai hukum tertinggi serta menerima semua perundang-undangan dan keputusan Imamah. Pandangan Imam Ahmad juga menjadi pijakan kita. Adapun muslimin yang berwali kepada NKRI, hal itu tidak merisaukan kami, wajar saja mereka tidak mengakui kebenaran, sebab mereka tinggal di negara kafir, berimam pada kepala negaranya, hidup di atas dasar negara selain Islam dan bersepakat menerima hukum non Islam sebagai tata nilai mereka. Lain halnya bila yang terangkat adalah seorang khalifah untuk memimpin seluruh dunia, maka wajar bila untuk eksistensinya menuntut pengakuan seluruh muslimin yang ada di dunia ini. Dan untuk saat ini seorang khalifah untuk seluruh dunia belum ada, siapa yang sudah menyatakannya? Saudi Arabia saja yang jelas jelas memiliki legalitas Quraisy, dan sudah berjaya sebagai sebuah daulah belum berani menyatakan dirinya sebagai khalifah dunia. Karena mengaku khalifah dunia, berakibat berhadapan dengan seluruh front kekafiran dunia. Dan mengaku sebagai khalifah secara otomatis memikul kewajiban mengurus seluruh nasib muslimin di muka bumi. Adakah kekuatan yang sanggup memikul beban ini sekarang? Dari itu garis besar haluan yang haq amatlah jelas dan berpijak pada kenyataan. Tanggung jawab pertama kita adalah memberlakukan syari'at Islam dengan seluas luasnya dan sempurna di wilayah negeri kita dulu, baru setelah itu kita akan berpartisipasi aktif dalam perjuangan Islam di dunia internasional menuju terciptanya khilafah Islamiyyah bagi seluruh alam. Bukan langkah khayal seperti yang diyakini beberapa kelompok sempalan, diri mereka sendiri masih bertekuk lutut menjadi warga negara Darul Kuffar, sudah dengan lantangnya mengaku diri sebagai khalifah bagi dunia Islam. Mengenai ucapan Imam Ahmad itu adalah benar, bila diterapkan dalam kondisi umat Islam pada zaman Imam Ahmad, yakni ditujukan kepada kaum muslimin yang bernaung dalam Daulah Islamiyyah. Hal demikian tidak ditujukan kepada yang namanya muslimin, tetapi berideologi bukan Islam, sehingga mempertahankan hukum-hukum kafir.

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


70 -

Apakah wajib komitmen (berbaiat) kepada pemimpin yang haq meskipun hal itu berada di wilayah yang dikuasai musuh?
Komitmen (baiat) kepada kepemimpinan yang haq itu wajib, meski berada di wilayah yang dikuasai pemerintahan musyrik. Contohnya, Nabi Ibrahim, Nabi Zakaria, dan Nabi Musa kesejahteraan bagi mereka-, mereka dikejar-kejar oleh penguasa musyrik karena berada di wilayah pengusa musyrik. Kita mesti berada pada posisi yang haq dan syarat untuk itu harus berjihad menegakkannya. Sedangkan syarat berjihad guna menegakkannya itu ialah didahului dengan komitmen atau berbaiat (berjanji) untuk taat kepada kepemimpinannya. Ingat! kalau untuk berbaiat itu menunggu dulu kepemimpinan yang haq itu berkuasa sehingga memiliki wilayah de facto (futuh), maka hal itu bukanlah berjihad, melainkan "cuma menunggu hasil". Dan menunggu hasil tidak didapat dalam Qur'an dan Sunnah. Bahkan sangat hina! Sewaktu Nabi shalallahualaihi wassalam masih di Makkah semua ummatnya berada di wilayah yang dikuasai Abu Jahal, mereka tidak berbaiat kepada Abu Jahal. Begitu juga yang berada di negeri Habsyi, tidak berbaiat kepada penguasa Habsyi. Ikatan berbaiatnya tetap berlanjut walau Nabi tidak di negeri Habsyi. Kewajiban berbaiat kepada kepemimpinan yang haq tidak mesti berada di wilayah de facto yang Haq. Buktinya, setelah ditanda-tangani Perjanjian Damai Hudaibiyah, pada akhir tahun kelima hijriyah, ada sekumpulan muslimin yang berada di wilayah kekuasaan pemerintah musyrik. Pada waktu itu Abu Abbas yang ditugaskan oleh Rasulullah shalallahualaihi wassalam mengawasi kota Makah. Dari hari ke hari secara diam-diam jumlah mereka semakin bertambah. Bisanya hal itu diketahui, karena secara rahasia datang berbaiat masuk Islam diorganisir secara rahasia oleh yang ditugaskan di kota Makkah, karena mereka tidak boleh menuju Madinah. Abu Abbas sendiri tidak diketahui oleh penguasa Makah telah mengorganisir gerakan muslimin secara tersembunyi di wilayah Makah. Mereka secara tersembunyi menyusun kekuatan, maka yang takut ketahuan oleh penguasa, lalu melarikan diri. Bagi yang bisa lolos tidak tertangkap, mereka berdiam diri di sebuah dusun yang bernama 'ies, suatu daerah di tepi laut terletak antara Makah dan Madinah. Menurut perjanjian Hudaibiyah orangorang Quraisy yang masuk Islam tidak boleh ke Madinah, sehingga menjelang Fathu Makah, jumlah mereka yang lari dari Makkah sebanyak 300 orang. Belum lagi yang tinggal di Makah bersama Abu Abbas. Hal demikian terjadi pada zaman Rasulullah shalallahualaihi wassalam, berarti merupakan Sunnah Nabi shalallahualaihi wassalam yang dijadikan dasar perjuangan bagi umat Islam dewasa ini. Banyak ayat yang melarang kita mengangkat pemimpin dari golongan yang anti hukum-hukum Allah. Dengan itu berarti kita dituntut komitmen kepada pemimpin yang haq. Bila tidak demikian berarti dalam posisi "Dholaalah (sesat)". Nabi shalallahualaihi wassalam bersabda; "Barangsiapa yang melepaskan 'tangannya' dari ketaatan, dia akan berjumpa dengan Allah dengan tanpa hujjoh (alasan membela diri). Barangsiapa yang mati, sedang di 'lehernya' belum ada bai'at, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah." (HR. Muslim) Barangsiapa yang keluar dari ketaatan kepada imam dan meninggalkan jamaah kemudian ia mati, maka matinya seperti matinya orang jahiliyah. Barangsiapa yang berperang dibawah bendera atau marah karena ashabiyyah, atau berdakwah untuk ashabiyyah, kemudian dia mati, maka matinya seperti matinya orang jahiliyah. Barangsiapa dari umatku yang keluar dari jamaah kemudian memerangi orang baik-baik dan yang fajir, dan tidak memperhatikan urusan mukminin serta tidak menepati janjinya, maka dia bukan dari golonganku dan aku tidak termasuk golongan mereka. (HR. Muslim) Barangsiapa yang keluar dari jamaah walaupun sejengkal saja, maka ia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya walaupun ia shalat, zakat, shaum dan mengaku muslim. (HR. Muslim)

Apakah Etika Timbal-balik Antara Pemimpin & Bawahan Menurut Al-Quran & As-Sunnah yang Shahih ?
Nabi shalallahualaihi wassalam bersabda, Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas orang-orang yang dipimpinnya di Hari Kiamat kelak. (HR Bukhari, XXII/43 no. 6605; Muslim, IX/352 no. 3408) A. KEPEMIMPINAN DALAM AL-QURAN: a. Memiliki Loyalitas yang Mutlak Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi Pemimpinnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang. (Al-Maidah : 55-56) b. Kuat & Amanah Berkata salah seorang diantara anaknya (Syuaib) : Wahai ayahanda, jadikanlah ia sebagai pegawai, karena sebaik-baik pegawai adalah yang kuat lagi bisa dipercaya. (Al-Qashshash : 26)

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


71 -

c. Sehat & Berilmu Sesungguhnya Allah telah memilihnya (Thalut) sebagai rajamu, karena ia memiliki kekuatan fisik dan berilmu. Sesungguhnya Allah memberikan kekuasaan-NYA kepada siapa yang dikehendaki-NYA, sesungguhnya IA Maha Luas (ilmu-NYA) lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah : 247) d. Merupakan Ujian Allah taala Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: Sesungguhnya AKU akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata: (Dan saya mohon juga) dari keturunanku. Allah berfirman: Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zhalim. (Al-Baqarah : 124) e. Merupakan Tanda Ketaqwaan Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Furqan : 74) B. KEPEMIMPINAN DALAM AS-SUNNAH: Jujur dan Tidak Menipu: Nabi shalallahualaihi wassalam melaknat pemimpin yang dipercaya untuk mengurus urusan ummat lalu ia malah menipu atau menyengsarakan mereka, sebagaimana dalam sabdanya shalallahualaihi wassalam : Ya Allah, siapa saja yang diberikan kekuasaan untuk mengurusi ummatku lalu ia menyengsarakan mereka, maka persulitlah ia. Dan siapa saja yang diberi kekuasaan lalu ia mempermudah mereka, maka mudahkanlah ia. (HR Muslim no. 1828) Dan Islam menyatakan bahwa pemimpin yang tidak memperhatikan kebutuhan, kedukaan dan kemiskinan ummat maka Allah taala tidak akan memperhatikan kebutuhan, kedukaan dan kemiskinannya pada Hari Kiamat kelak (HR Abu Daud no. 2948; Tirmidzi no. 1332; al-Hakim IV/93-94; menurut Imam al-Mundziri sanad-nya shahih karena ada syahid dari hadits Muadz ra yang diriwayatkan oleh Ahmad V/238-239.) Adil & Amanah: Islam menempatkan pemimpin yang adil dan amanah dalam derajat manusia yang tertinggi, yang memperoleh berbagai penghargaan dan kehormatan. Diantaranya ia termasuk kelompok pertama yang dinaungi oleh Allah taala diantara 7 kelompok utama yang dinaungi-NYA pada Hari Kiamat kelak (HR Bukhari II/119 dan 124; Muslim no. 1031); Iapun akan berada di atas mimbar dari cahaya nanti di Hari Kiamat (HR Muslim no. 1827; Nasai VIII/221; Ahmad II/160); Dan pemimpin yang demikianlah yang akan senantiasa dicintai dan didoakan oleh rakyatnya karena kebijaksanaannya memimpin rakyatnya (HR Muslim no. 1855); Sehingga dalam salah satu haditsnya, nabi shalallahualaihi wassalam sampai menyatakan bahwa pemimpin yang demikian termasuk 3- golongan manusia yang paling utama dan paling berhak masuk Jannah, disamping orang yang lembut dan penyayang pada keluarganya dan orang miskin yang menjaga dirinya dari meminta-minta (HR Muslim no. 2865). Tidak Wajib Taat pada Pemimpin yang Memerintahkan Maksiat: Oleh karena itu di dalam Islam pemimpin yang memiliki sifat-sifat sebagaimana disebutkan diataslah yang berhak dan wajib untuk ditaati (Tafsir QS An-Nisaa, 4:59) Syarat taat pada pemimpin dalam ayat tersebut adalah muallaq/tergantung pada apakah ia taat pada Allah taala dan Rasul shalallahualaihi wassalam atau tidak, dimana cirinya adalah ia senantiasa kembali kepada Allah taala dan rasul-NYA shalallahualaihi wassalam jika terjadi perbedaan pendapat ataupun perselisihan) dan bukan pemimpin yang memiliki sifat sebaliknya, jika ia memiliki sifat sebaliknya maka tidak wajib sama sekali untuk didengar dan ditaati (Bukhari XIII/109; Muslim no. 1839; Abu Daud no. 2626; Tirmidzi no. 1707; Nasai VII/160). Tidak ada Batasan Ras/Kebangsaan: Tentang siapa pemimpin itu Islam tidak membatasi ia dari ras dan kelompok apapun, asal mengikuti dan menegakkan syariat maka wajib ditaati, sekalipun ia adalah seorang yang berkulit sangat hitam yang kepalanya bagaikan kismis (saking hitamnya) (HR Bukhari XIII/108). Kendatipun demikian, afdhal memilih pemimpin disesuaikan dengan suku/kebangsaan rakyat yg dipimpinnya (HR Bukhari, XXII/44, bab Al-Umarau min Quraisy; Muslim, IX/333-338). Pemimpin Wajib Memilih Bawahan yang Jujur: Seorang pemimpin yang adil tentunya akan memilih pembantu-pembantu, wakil-wakil dan menteri-menteri yang adil pula. Tidak mungkin seorang yang baik (tanpa keterpaksaan) akan mengangkat atau memilih wakil dan menteri yang merupakan para musuh Allah taala, seperti para koruptor, kaum oportunis apalagi para kolaborator asing (Al-Mumtahanah, 60:1).

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


72 -

Benarlah pernyataan pemimpin abadi kita nabi Muhammad shalallahualaihi wassalam : Jika Allah taala menghendaki kebaikan kepada seorang penguasa, maka Ia akan memberikan untuknya menteri-menteri yang jujur, (yaitu) yang jika ia khilaf maka selalu mengingatkan dan jika ia ingat maka selalu dibantu/didorong. Dan jika Allah taala menghendaki keburukan kepada seorang penguasa, maka Ia akan memberikan untuknya para menteri yang jahat. Jika penguasa itu lupa, maka tidak diingatkan dan jika ia ingat maka tidak didorong/dibantu.(HR Abu Daud no. 2932, dengan sanad yang baik menurut syarat Muslim; juga Nasai VII/159 dengan sanad yang shahih) C. KEWAJIBAN TAAT PADA PEMIMPIN ISLAM: a. Wajib Taat pada Pemimpin Islam Bersabda Nabi shalallahualaihi wassalam : Barangsiapa yang taat kepadaku maka ia telah taat kepada Allah, dan barangsiapa yang tidak taat kepadaku maka berarti tidak taat kepada Allah. Barangsiapa yang taat kepada Pimpinan Islam maka berarti ia telah taat kepadaku, dan barangsiapa yang tidak taat kepada pimpinan Islam maka berarti ia telah tidak taat kepadaku. (HR Bukhari, kitab al-Jihad, bab Yuqatilu min Warail Imam, juz-IV, hal.61) b. Ketaatan tersebut tetap Berlaku Walaupun Di Satu Sisi Seolah Mengorbankan Kepentingan sebagian Rakyatnya Dari Abu Hunaidah, Wail bin Hajar ra berkata : Bertanya Salmah bin Yazid al-Jufiy pd Rasulullah SAW : Wahai Nabi Allah bagaimana pendapatmu jika ada seorang pemimpin yg selalu meminta ketaatan dari kami tapi tidak memberikan hak kami, apa yg anda perintahkan pada kami? Maka Rasulullah SAW memalingkan wajahnya, mk Salmah bertanya lagi yg kedua kali, maka jawab Rasulullah SAW : Dengarlah oleh kalian semua dan taatilah ia, karena bagi kalian pahala ketaatan kalian dan baginya dosa ketidakadilannya.(HR Muslim, bab Fi Thaatil Umara wa in Manau, IX/384) c. Dosanya Memisahkan Diri dari Ketaatan pada Pimpinan Islam: Bersabda Nabi SAW : Barangsiapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan, maka ia kelak akan bertemu dengan Allah tanpa dapat mengemukakan argumentasi apapun. (HR Muslim, IX/393) Dalam hadits lainnya: Barangsiapa meninggalkan ketaatan lalu memisahkan dirinya dari Jamaah lalu ia meninggal maka ia mati Jahiliyyah.(HR Muslim, kitab al-Imarah, bab Wujub Mulazamatin Jamaatil Muslimin Inda Zhuhuril Fitan, juz-III hal.1476) D. BENTUK-BENTUK KETAATAN:

1. Mendengarkan dan memahami perintah dengan sebaik-baiknya, memohon penjelasan sampai jelas

2. 3.

4.
5.

kemudian melaksanakannya dengan tidak menunda-nunda dan dengan sebaik-sebaiknya. Lihat kisah Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu dalam perang Khaibar dalam Shahih Bukhari (Fathul Bari, Ibnu Hajar, IV/57,58; V/22,23,171). Melipatgandakan kesabaran saat melaksanakan perintah tersebut, ikhlas dan tidak menguranginya atau menambahinya sedikitpun. Lihat kisah Jundub bin Makits al-Juhni saat dalam Sariyah (Al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibnu Katsir, IV/222,223). Melaksanakan dengan segera perintah tersebut, walaupun tidak sesuai dengan pendapatnya atau berbeda dengan keinginannya, lihat kisah Hudzaifah bin Yaman saat perang Ahzab (Shahih Muslim, III/1414, 1415; Musnad Ahmad, V/392,393). Saling memberi dan menerima nasihat. Lihat kisah Umar bin Khattab ra saat perjanjian Hudhaibiyyah dengan Nabi Bersabda Nabi shalallahualaihi wassalam & Abu Bakar ra (Sirah Nabawiyyah, Ibnu Katsir, III/218, 319). Meminta izin dalam setiap urusan pentingnya atau sebelum mengambil keputusannya (An-Nur : 62).

Ada yang mengatakan bahwa sebagian ulama salaf (terdahulu) tidak berusaha menggantikan pemerintahan yang dipimpin oleh raja-raja yang zalim. Bila itu benar, maka apa sebabnya?
Sebab, bahwa pemerintah kerajaan pada masa dahulu itu adalah memberlakukan hukum-hukum Islam di masyarakat Islam. Para penguasa pada zaman ulama salaf itu membela Islam, dalam arti memberlakukan hukum Islam. Tidak didapat dalam sejarah pada masa-masa itu raja-raja yang berani melarang berlakunya hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sebab itu para ulama salaf juga tidak ada yang menyerukan perlawanan terhadap raja-raja. Banyak terjadi konflik antara -pihak raja-raja dengan para ulama salaf, tetapi hal itu merupakan tindakan pribadi-pribadi raja, dalam arti tidak karena penggantian hukum-hukum Islam dengan hukum-hukum kafir. Berbeda dengan zaman 'Ahdu 'l-muluka 'l-jabbar seperti sekarang ini, hukum yang berlaku di negara dan di negeri Islam bukan hukum-hukum Islam lagi. Dengan itu tuntutan umat Islam sekarang di setiap negeri adalah terwujudnya kembali khilafah (kekuasaan) berdasarkan Manhaj Nubuwwah.

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


73 -

Bagaimana cara memasuki Jamaah Islamiyah, Jamaah Muslimun, Jamaah Tauhid, Jamaah Mujahidin Darul Islam ?
Pahami dulu Tauhid dan hakikat syahadatain beserta konsekuensinya. Jika seseorang menerima tauhid sebagai dien maka ia wajib mengikrarkan syahadah di depan petugas (syahid/saksi) dari Institusi Islam (Jamaah Islam), bukan dari Institusi Thaghut seperti KUA atau Depag dsb. walaupun mereka bergelar kiyai haji atau ustadz karena sebenarnya mereka adalah ulama jahil atau ulama suu (jahat), status mereka musyrikin karena tawalli kepada Institusi Thaghut. Pengikraran syahadatain ini dilakukan karena sebelumnya ia telah melakukan syirik akbar, seperti mengikuti syirik akbar sistem agama demokrasi dan/atau syirik akbar lainnya, baik karena kebodohan ataupun karena pengingkaran, hal ini telah dibahas panjang lebar pada Kajian Tauhid. Bahwa syirik akbar merupakan salah satu pembatal keislaman. Demokrasi adalah syirik akbar, jika seseorang pernah ikut serta didalamnya walaupun karena kebodohan dan/atau karena niat maslahat dakwah maka sebenarnya ia telah mengikuti sistem syirik tersebut sehingga ia menjadi musyrik dan murtad (keluar) dari tauhid (Islam), dan ia masuk kepada Agama Demokrasi, penjelasan lengkapnya telah dibahas di Pasal Kajian Tauhid. Kita melihat Sirah Nabawiyah, bangsa Quraisy pada zaman nabi Muhammad shalallahualaihi wassalam mereka mengklaim mengikuti millah Ibrahim (tauhid atau Islam), tetapi Allah memvonisnya sebagai musyrikin karena mereka menyekutukan Allah sebagai Rabb Pengatur, sebagai Ilah yang ditaati dan sebagai Malik yang Memerintah. Mereka mengikuti aturan berdasarkan hawa nafsu dan berpaling dari hukum Allah. Mereka mengikuti pemimpin yang menyeru kepada kemusyrikan dan kekafiran. Mereka menyembah berhala untuk menjadi penghubung antara mereka dengan Allah sebagaimana firman-Nya, Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah ajaran yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka (berhala) melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya." Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orangorang yang pendusta dan sangat ingkar. (Az Zumar : 3) Ketika mereka (kaum musyrikin Quraisy) meyakini dan menerima Islam sebagai dien maka ia wajib bersyahadah di depan Rasulallah shalallahualaihi wassalam. Bahkan ada beberapa orang yang hanif yang tidak menyembah berhala dan membenci perbuatan tersebut, tetapi ketika ia mau mengikuti Islam, ia tetap harus bersyahadah di depan Rasulallah shalallahualaihi wassalam. Hari ini pun banyak yang mengklaim mereka mengikuti millah Ibrahim dan dien yang dibawa oleh Nabi Muhammad shalallahualaihi wassalam (Islam), tetapi jika kita perhatikan mereka, ternyata mereka berpaling dari tauhid dan mengikuti kemusyrikan; misalnya mereka melakukan syirik akbar demokrasi, syirik akbar kubur, syirik akbar dustur (undang-undang/aturan/hukum) dll. -baik karena kebodohannya maupun karena pembangkangannya terhadap Islam- Karena seperti yang telah dibahas di Kajian Tauhid, orang tua Rasulallah pun berada di neraka karena mati ketika berbuat syirik karena kebodohannya, karena saat itu belum ada dakwah tauhid dan belum ada hujjah risaliyyah, mereka meninggal di atas ajaran syirik kaumnya. Hari ini, risalah Islam telah menggema dimana-mana, al Quran dibaca, dihafalkan. Maka ketika mereka mendengar seruan dakwah yang menyeru kepada tauhid; lalu mereka menerima Islam, maka wajib baginya untuk bertaslim didepan aparatur/petugas dari Institusi Islam, dan menjadi mukmin.

Mengapa syahadatain harus diikrarkan di hadapan seorang saksi dari petugas institusi Islam ?
Karena bagian dari rukun dan tata cara pelaksanaan syariat syahadatain. Dan amaliah ini erat kaitannya dengan kepemimpinan Islam dan kemusliman seseorang. Untuk memperjelas pembahasan ini dan untuk menjawab pertanyaan, mengapa dalam kitab fiqih rukun syahadatain tidak dibahas; silakan kaji buku yang berjudul Syahadatain Syarat Utama Tegaknya Syariat Islam karya Muhammad Umar Jiau al-Haq terbitan Biladi Press. Rukun adalah perwujudan atau rangkaian tindakan yang wajib dilakukan pada pelaksanaan syariat. Misalnya, rukun shalat, rukun wudhu, rukun zakat, rukun shaum, rukun haji, rukun nikah dsb. Rukun-rukun tersebut dirumuskan oleh para ulama dalam kitab-kitab fiqih. Syariat syahadatain sebagai rukun Islam pertama; perlu rukun-rukunnya pula, karena ia termasuk Rukun Islam bukan Rukun Iman. Dalam merumuskan rukun syahadatain berbeda dengan rukun Islam lainnya. Rukun Islam yang kedua sampai yang kelima dilaksanakan setelah seseorang menjadi Muslim. Sedangkan syariat syahadatain dilaksanakan oleh seseorang yang akan menjadi Muslim. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. (At Taubah : 20) Ada tiga fase dalam Islam yaitu amanu, hajaru dan jahadu. Tahap amanu adalah seseorang mendengar dan mengkaji penjelasan tentang dinul Islam (ilmu) sehingga jika atas kehendak Allah ia menerima kebenaran Islam, meyakini dan siap melaksanakan segala konsekuensi menjadi muslim maka ia wajib mengikrarkan syahadatain sebagai suatu janji kepada Allah untuk taat, sebagai langkah awal

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


74 -

berhijrah dari kemusyrikan kepada tauhid (Islam), sedang hijrah kepada Islam adalah berpindah dari kebathilan kepada kebenaran. Hijrah dibagi menjadi tiga yaitu, Hijrah aqidah : Hijrah keterikatan loyalitas kepemimpinan atau pemerintahan dengan thaghut; hijrah kepada Islam, sehingga setelah ia masuk Islam maka tidak ada lagi loyalitas terhadap thaghut dan ia berada dibawah kepemimpinan Islam. Hijrah syariah : Hijrah peraturan atau pedoman hidup dari din at thaghut kepada din al Islam sehingga setelah ia masuk Islam maka ia tidak boleh mentaati aturan thaghut, akan tetapi jika belum ada darul Islam, dan ia dipaksa mengikuti aturan thaghut maka ia dapat melakukannya dengan niat bahwa ia menghindar dari mudharat yang lebih besar dan sebagai bentuk kedzaliman thaghut terhadap dirinya, dan ia tetap mengkafirkan, membenci dan memusuhi thaghut (musyrikin). Hijrah makani : Hijrah tempat seperti hijrah dari Mekkah ke Madinah untuk mendirikan Negara Islam, agar syariat Islam dapat tegak dengan sempurna. Kemudian ia berjihad untuk memperjuangkan, membentuk dan mempertahankan Negara Islam, memerangi kaum musyrikin yang memerangi Islam serta untuk membebaskan wilayah lain supaya Islam menjadi hukum diwilayah tersebut.

Bagaimana jika Syariat Syahadatain tidak dilakukan ?


Ia belum menjadi seorang mukmin, muslim dan muwahhid. Karena; Tidak jelas al wala dan al bara, serta tidak kafir kepada thaghut; contoh, hari ini manusia yang mengklaim dirinya mukmin; mereka masih mengikuti, berwala dan bahkan membela musuh-musuh Allah (thaghut), mereka tidak mengenal siapa kawan dan lawan, bahkan mengikuti syirik akbar demokrasi dan kemusyrikan lainnya. Jika ia menerima Islam dan bersyahadah maka ia memiliki pemimpin yang memerintah dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, mengaturnya dengan kitabullah dan sunnah serta berjuang bersama-sama untuk menegakan Daulah Islamiyah. Padahal dalam Islam, kepemimpinan itu adalah wajib dan menentukan identitas kita dunia-akhirat sebagaimana firman-Nya, Ingatlah suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya (Al Isra : 71) (Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari kalangan mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (An Nahl : 89) Menolak kepemimpinan Islam dan syariat Islam; Jika ia tidak berada di dalam Kepemimpinan Islam dan di dalam Jamaah Islam, maka dapat dipastikan ia berada dalam Kepemimpinan Thaghut. Allah Pemimpin orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang kafir, pemimpin-pemimpinnya ialah thaghut Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (Al Baqarah : 257) Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut. (An Nisaa : 76) janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka (meninggalkan tauhid dan mengikuti thaghut) dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka (Ar Rum : 31-32)

Masih berat meninggalkan ajaran syirik nenek moyang; Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (Al Baqarah : 170)

Mengapa hari ini memperjuangkan Islam masih bersembunyi dengan merahasiakan eksistensi jamaah dan pimpinan Islam, apakah metode ini bagian dari tauhid dan manhaj haraki Nabi shalallahualaihi wassalam? Atau takut kepada musuh?
Sesungguhnya merahasiakan struktur organisasi (sirriyah at tanzhim) merupakan salah satu sunnah Nabi shalallahualaihi wassalam pada periode makiyyah yaitu pada saat wilayah masih dikuasai thaghut Quraisy dan umat Islam masih dalam keadaan lemah dan tertindas. Hal ini dapat dikaji pada kitab berjudul Manhaj Haraki Sistem Politik Pergerakan Nabi shalallahualaihi wassalam Dalam Sirah

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


75 -

Nabawiyah karya Syaikh Munir. Hari ini thaghut dan sekutunya sedang memburu kami dan beberapa ikhwan muwahhidin lainnya karena kami merealisasikan tauhid. Oleh karena itu, akan saya jelaskan landasan dalilnya mengapa kami masih bersembunyi dan lari dari kejaran musuh... wallahi, bukan karena kami takut kepada mereka tetapi kami sedang menyusun strategi dan kekuatan untuk menghadapi mereka, sebagaimana yang telah diajarkan Allah dan Rasul-Nya. Al Bukhari meriwayatkan di dalam Shahih nya pada Kitabul Iman; Babu Minad Dini Al Firaru Minal Fitan [Bab: Termasuk ajaran agama adalah melarikan diri dari bencana], dari Abu Sa'id Al Khudri, berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallahu'alaihi wassallam: Hampir tiba saatnya dimana harta terbaik bagi seorang muslim adalah kambing yang ia bawa ke puncak-puncak gunung dan lembah-lembah. Ia lari menyelamatkan imannya dari bencana. Al Bukhari juga meriwayatkan di dalam Kitabul Fitan; Babu An Takuna Fitnatul Qa'idi Fiha Khoirun Minal Qo-im [Bab: Terjadi bencana, di mana pada saat itu orang yang duduk lebih baik daripada orang yang berdiri], dari Abu Hurairah radliyallahu'anhu, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallahu'alaihi wassallam: Akan terjadi fitnah (bencana, kekacauan) di mana ketika itu orang yang duduk lebih baik daripada orang yang berdiri, orang yang berdiri lebih baik daripada orang yang berjalan, dan orang yang berjalan lebih baik daripada orang yang berjalan cepat. Barangsiapa melongok kepadanya akan tercebur kedalamnya. Maka barangsiapa mendapatkan tempat berlindung atau tempat bernaung hendaknya ia berlindung dengannya. Dalam hadits-hadits tersebut ada pelajaran yang mulia dan agung, yaitu disyariatkannya lari dari fitnah (bencana), dan jangan sampai kita berjalan atau berlari kesana Di dalam hadits-hadits tersebut juga diterangkan bahwasanya lari dari fitnah itu termasuk dari ajaran agama dan dari iman dan hal itu bukanlah termasuk pengecut atau penakut sebagaimana anggapan banyak orang. Bagaimana lari bersembunyi dari fitnah (bencana, cobaan) itu bisa dikategorikan dalam sifat pengecut atau penakut, sementara itu adalah tindakan yang dicontohkan oleh para Nabi dan orang-orang shalih ketika dalam kondisi lemah dan tertindas!!! Lihatlah sang penutup para Nabi dan Rasul (Muhammad Rasulullah shallallahu'alaihi wassallam ), setelah beliau menyatakan dan menyampaikan dakwahnya secara terang-terangan, dan menunjukkan penentangan dan bara'nya terhadap orang-orang kafir dan sesembahan-sesembahan mereka yang bathil terkadang beliau beserta beberapa sahabatnya menyembunyikan diri setelah orang-orang kafir menguasai mereka dan menyakiti mereka. Di dalam Shahih Al Bukhari disebutkan kisah masuk Islamnya Abu Dzar, dan kisah pertemuannya dengan Ali yang mengantarkannya kepada Nabi shollAllahu 'alaihi wa sallam, yang merupakan dalil untuk persoalan ini. Yang lain lagi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya III/322, 339, dll dari Jabir, tentang bai'atul 'aqobah. Di sana Jabir mengatakan: " sehingga tidak ada sebuah rumah anshor pun kecuali di dalamnya ada beberapa orang Islam yang menampakkan Islamnya. Kemudian mereka semua mengadakan pertemuan. Kami berkata: Sampai kapan kita biarkan Rasulullah shollAllahu 'alaihi wa sallam terusir dan ketakutan di pegunungan Mekah? Maka 70 orang di antara kami datang kepada beliau pada musim haji. Lalu kami bersepakat untuk bertemu dengan beliau di lembah Al 'Aqabah. Maka kami menemui beliau satu-satu dan dua-dua sampai kami semua berkumpul sampai akhir hadits." Dan di dalam Shahih Al Bukhari disebutkan riwayat dari 'Abdullah bin Mas'ud, ia berkata: "Tatkala kami bersama Rasulullah shallallahu'alaihi wassallam di dalam gua, tiba-tiba turun surat Al Mursalat kepada beliau. Sungguh beliau membacanya dan aku menerimanya dari mulut beliau langsung, dan sungguh bibir beliau basah karenanya, lalu tiba-tiba ada ular melompat kepada kami. Maka Nabi shollAllahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Bunuh dia!" Kamipun langsung mengejarnya hingga ia pergi. Lalu Nabi shollAllahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Ia terjaga dari kejahatan kalian dan kalian terjaga dari kejahatannya." Dan hadits-hadits semacam ini banyak Dan Allah ta'ala berfirman: Jikalau kalian tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: "Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah beserta kita." Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kalian tidak melihatnya, dan Allah menjadikan kalimat orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (At Taubah: 40) Dan dalam kisah hijrah juga terdapat pelajaran tentang masalah ini Dan lihatlah Nabi Musa 'alaihis salam, Allah ta'ala berfirman tentang beliau: Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota bergegas-gegas seraya berkata: "Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini) sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasehat kepadamu". Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berdoa: "Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu". (Al Qoshosh: 20-21)

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


76 -

Jika ada yang mengatakan: Itukan terjadi sebelum beliau diangkat sebagai Nabi Kami jawab: Namun Nabi Musa 'alaihis salam setelah menjadi Nabi pun tidak menyalahkan perbuatannya tersebut, bahkan beliau membenarkannya sebagaimana yang Allah ta'ala beritakan dalam firman-Nya: Lalu aku melarikan diri dari kalian tatkala aku ketakutan, kemudian Robbku memberikan kepadaku ilmu dan menjadikanku salah seorang diantara para Rosul. (Asy Syu'aro': 26) Dan Allah ta'ala juga berfirman tentang beliau setelah itu: Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya: "Ambillah olehmu berdua beberapa buah rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat shalat dan dirikanlah sholat serta gembirakanlah orang-orang yang beriman". (Yunus: 87) Ketika itu mereka bersembunyi dan sholat di rumah-rumah mereka dalam hal ini ada kata-kata Sayyid Quthub yang bagus yang bisa dirujuk kepada Fi Dhilalil Qur-an, hal. 1816. Demikian pula para pemuda ash-habul kahfi, setelah mereka menyampaikan tauhid mereka secara terang-terangan dan mereka diancam oleh kaum mereka, mereka berlindung ke gua sebagaimana yang Allah ta'ala ceritakan: Dan apabila kalian meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhan kalian akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepada kalian dan menyediakan sesuatu yang berguna bagi kalian dalam urusan kalian. (Al Kahfi:16) Dan Allah ta'ala berfirman tentang mereka: Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempat kalian, niscaya mereka akan melempari kalian dengan batu, atau memaksa kalian kembali kepada ajaran/dien mereka, dan jika demikian niscaya kalian tidak akan beruntung selama lamanya". (Al Kahfi : 20) Demikianlah keadaan orang-orang sholih tatkala mereka dalam keadaan tertindas dan lemah jika engkau mau meneliti kisah-kisah tabi'in, pendahulu umat ini, tentu engkau akan mendapatkan banyak contoh dalam hal ini Di sini saya cukup memberikan tiga contoh yang dikatakan oleh Ibnul Jauzi di dalam kata pengantar kitabnya yang berjudul Manaqibul Imam Ahmad bin Hanbal: " namun aku mencari orangorang yang telah berhasil mecapai tingkat kesempurnaan dalam dua hal -- yakni ilmu dan amal -- dari kalangan tabi'in dan generasi setelah mereka. Tapi aku tidak mendapatkan orang yang sempurna dalam dua hal tersebut, yang kesempurnaannya tidak ternodai dengan kekurangan, kecuali tiga orang: Al Hasan Al Bashri, Sufyan Ats Tsauri dan Ahmad bin Hanbal." Halaman 5. Adapun Al Hasan Al Bashri, ia memberontak, dan ada yang mengatakan dia diajak memberontak, bersama orang-orang yang memberontak Al Hajjaj pada peristiwa pemberontakan 'Abdur Rohman bin Al Asy'ats, di mana pada saat itu Ibnu Al Asy'ats bersama sekelompok qurro' (ahli Al Qur'an) dan fuqoha' memberontak atas kedholiman dan kelaliman Al Hajjaj lalu setelah Ibnu Al Asy'ats kalah, Al Hasan Al Bashri menyembunyikan diri dari Al Hajjaj, sampai-sampai ketika anak perempuannya meninggal ia tidak dapat keluar menemuinya, sehingga ia mewakilkannya kepada Ibnu Sirin Adapun Sufyan Ats Tsauri, ia melarikan diri ke Bashroh ketika Kholifah Al Mahdi menawarkan jabatan kepadanya beliaulah orang yang mengatakan: "Aku tidak takut mereka akan menghinakan aku. Akan tetapi yang aku takutkan hanyalah jika mereka memuliakanku sehingga aku tidak lagi memandang kejelekan mereka sebagai kejelekan. Aku tidak mendapatkan permisalan untuk kekuasaan itu selain seperti lidah musang." Ia melanjutkan: "Aku mengetahu anjing itu memiliki 70 lebih dustan (makar), dan tidak ada dustan yang lebih baik selain aku tidak melihatnya dan ia tidak melihatku." Adapun Imam Imam Ahmad, beliau telah bersembunyi selama kekhilafahan Al Watsiq. Hal itu ia lakukan setelah ia menyatakan keyakinannya tentang Al Qur'an (yakni bahwa Al Qur'an itu kalam Allah dan bukan makhluq -pen.) secara terang-terangan, dan ia mendapatkan ujian yang sangat berat karenannya maka iapun menyembunyikan diri selama sisa umur Al Watsiq, dimana beliau senantiasa berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, kemudian ia baru kembali ke rumahnya setelah beberapa bulan, beliau bersembunyi di sana sampai Al Watsiq meninggal dunia Ibrahim bin Hani berkata: Ahmad bin Hanbal bersembunyi di tempatku selama tiga hari kemudian Ahmad mengatakan: Carikan tempat untukku supaya aku pindah ke tempat tersebut. Aku jawab: Aku tidak merasa aman atas dirimu wahai Abu 'Abdillah. Ahmad berkata: Lakukanlah! Jika aku melakukannya, aku berarti akan membinasakanmu. Akupun mencarikan tempat untuknya. Lalu tatkala ia keluar dari tempatku ia berkata kepadaku: Rasulullah shallallahu'alaihi wassallam dahulu bersembunyi di dalam gua selama tiga hari kemudian berpindah. Tidak sepantasnya Rasulullah shallallahu'alaihi wassallam itu diikuti ketika dalam keadaan lapang saja sementara ketika dalam keadaan susah tidak diikuti." Maka apabila seseorang itu menyampaikan dakwahnya secara terang-terangan sesuai dengan petunjuk para Nabi, ia bersikap baro' kepada kemusyrikan dan orang-orang musyrik, kemudian mereka memburunya ketika ia dalam keadaan lemah, tidak memiliki kemampuan apa-apa dan sedikit

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


77 -

pendukungnya, maka ia tidak tercela; jika ia lari dan bersembunyi dari mereka karena ini adalah jejak langkah para Nabi dan orang-orang sholih ketika mereka tertindas, sebagaimana yang antum lihat.

Referensi Kitab
1. 2. 3. 5. Al Quran terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia. Imam Ibnu Hajar, kitab Fathul Baari Syarhu Shahih Bukhari Imam Syaukani, kitab Nailul Authar Muhammad Umar Jiau al-Haq, kitab Syahadatain Syarat Utama Tegaknya Syariat Islam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, kitab Majmu Fatawa 6. Syaikh Munir. Kitab Manhaj Haraki Sistem Politik Pergerakan Nabi shalallahualaihi wassalam Dalam Sirah Nabawiyah.

4.

Situs Islam
1. 2. http:\\millahibrahim@wordpress.com http:\\abuqital1@wordpress.com Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gemgira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi. (Al Ahzab : 46) Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu. (An Nisaa : 41) (Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari kalangan mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (An Nahl : 89) BELUM SELESAI

SERUAN KEPADA ISLAM


Bismillahirrahmannirrahiim Dari Kepada : Hamba Allah yang bertauhid dan beriman kepada-Nya : a. Para Pembaca yang sedang mencari kebenaran dan pernah berbuat syirik akbar seperti pernah ikut serta dalam pesta Demokrasi (Pemilu) dan/atau pernah dan sedang melakukan kemusyrikan lainnya karena kebodohannya terhadap tauhid. b. Para Pembaca yang telah memahami Islam dan kitabullah tetapi belum menemukan jamaah yang benar menurut nash Al Quran dan As Sunnah. c. Para Pembaca yang sudah menerima seruan Islam tetapi masih ragu dan/atau kafir.

Kesalamatan bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Saya bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah dan Muhammad utusan Allah. Shalawat dan Salam bagi Muhammad dan Muwahhidin. Allah taala berfirman, Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (An-Nisa : 48) segala

Inilah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (Al Anam : 153)

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


78 -

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah (sistem) syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (Al Baqarah : 208) Tidak ada paksaan untuk (memasuki) dinul (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al Baqarah : 256) Saya menyeru Anda untuk masuk Islam dan mengikuti Tauhid, meninggalkan thaghut dan berbagai macam syirik, seperti syirik akbar demokrasi, syirik akbar kubur, syirik akbar dustur (Undang-Undang), syirik akbar loyalitas terhadap thaghut dan syirik akbar lainnya. Saya akan berkata kepadamu seperti yang pernah diserukan Rasulallah shalallahualaihi wassalam kepada manusia, dan perkataan tersebut diabadikan di dalam kitabullah; Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (Anda) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik. (Yusuf : 108) Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir. (Ali Imran : 31-32) Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepadaNya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih. Dan orang yang tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah maka dia tidak akan melepaskan diri dari azab Allah di muka bumi dan tidak ada baginya pelindung selain Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata." (Al Ahqaaf : 32-33) Kini Anda sedang berhadapan dengan seruan Islam. Jika Anda mau beriman maka berimanlah dan bertaslim-lah, jika Anda mau kafir, maka itulah pilihan hidupmu. Kelak kamu akan ingat kepada apa yang kukatakan kepada kamu. Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (Al Mukmin : 44) Semoga Allah Memberimu hidayah dan Melapangkan hatimu untuk menerima kebenaran ini. Dan shalawat dan salam bagi Muhammad dan Muwahhidun. Dan segala puji bagi Allah yang kepadaNya kita pasti akan kembali. Dan keselamatan bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk.

singa_tauhid@rocketmail.com Jamaah Mujahidin Darul Islam

DILARANG MEMBACA HALAMAN BERIKUTNYA SEBELUM MEMAHAMI HALAMAN INI


79 -

Anda mungkin juga menyukai