Anda di halaman 1dari 66

Kata-kata berharga yang mengingatkan kita dari tipu daya Iblis

(Maslahat Dakwah)

Oleh Abu Muhammad `Ashim Al Maqdisi

Muqaddimah
Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, meminta pertolongan-Nya
dan memohon ampunan kepada-Nya; dan kami berlindung diri kepada Allah dari kejahatan diri
kami dan dari keburukan amal-amal kami; barangsiapa yang diberi petunjuk Allah, maka tidak
ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Dia sesatkan, maka tidak ada yang
dapat menunjukinya. Dan aku bersaksi bahwa tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali
Allah saja, tak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan
utusan-Nya

Amma ba`du..

Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah Kitabullah Ta`ala, dan sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw., dan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara
yang baru, dan setiap perkara baru itu adalah bid`ah, dan setiap bid`ah itu adalah dhalalah, dan
setiap dhalalah itu di neraka.

Allah Ta`ala berfirman:

"Hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian" (Qs Al Maa'idah 3)

Allah `Azza wa Jalla berfirman:

"Kami tidak melalaikan sesuatu apapun di dalam Al Kitab" (Qs Al An`aam 38)

Allah Swt. berfirman:

"Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia; dan
janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan
kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian
bertakwa." (Qs Al An`aam 153)
Allah Jalla Jalaaluhu berfirman:

"Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian, dan janganlah kalian mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya." (Qs Al A`raaf 3)

Ayat-ayat di atas sangat jelas dan tegas di dalam membatalkan bid`ah dan inovasi di
dalam agama, dan dalam menghapuskan ra`yu (pendapat), istihsaan (hal menganggap baik
sesuatu) dan istishlaah (hal menganggap maslahat sesuatu) syahwani yang tegak di atas selain
dalil syar`i.

Banyak kaum hina dina belakangan ini yang tidak mengangkat dalil-dalilnya secara
langsung, dan bermaksud menghancurkan pegangan iman dan sendi-sendi agama, lalu
mereka memanipulasi ajaran agama, sendi dan pangkalnya…mereka membanggakan
bangunan mereka yang rapuh, yang tidak didirikan di atas dasar takwa kepada Allah dan
keridhaan-Nya. Maka merekapun berbicara dalam perkara agama Allah dengan sesuatu yang
tidak mereka ketahui, dan bicara sembarangan dengan sesuatu yang tidak mereka mengerti.
Mereka mendaulat diri mereka sebagai musyarri` (pembuat peraturan/hukum/undang-undang),
yang menganggap baik dan menganggap pantas sesuatu dalam agama Allah dan dakwahnya
sesuai dengan keinginan dan selera mereka.

Seakan-akan peri keadaan mereka mengira bahwa Allah meninggalkan demikian saja
agama ini kepada mereka tanpa norma-norma ataupun batasan-batasan, sehingga mereka
bebas berbuat di dalamnya sekehendak mereka dengan hawa nafsu mereka dan istihsaan-
istihsaan mereka yang rusak lagi batil.

Kendati Allah Ta`ala telah berfirman mengingkari anggapan mereka:

"Apakah kalian mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kalian secara main-main
(saja)?"

Dan telah berfirman pula:

"Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan demikian saja (tanpa diperintah dan
dilarang)?" (Qs Al Qiyaamah 36)

Allah menerangkan bahwa orang yang berkata dan berbicara panjang lebar dalam
perkara agama Allah tanpa dasar ilmu, maka dia akan senantiasa berada dalam golongan para
pendusta hingga dia datang membawa bukti yang benar atas pengakuannya. Allah Ta`ala
berfirman:

"Katakanlah : "Unjukkanlah bukti kebenaran kalian, jika kalian memang orang-orang yang
benar!" (Qs An Naml 64)
Inilah lembar-lembar catatan yang saya tulis dua tahun lewat. Di dalamnya, saya
mengkaji topik Istihsaan dan Istishlaah, dan saya terangkan tentang rusaknya thariqah yang
diambil oleh Ahlul Hawa (orang-orang yang mengikuti hawa nafsu). Lantaran meratanya bala`
musibah dalam perkara tersebut di zaman kita, dan lantaran banyaknya kelompok-kelompok
manusia (ummat Islam) yang mengikuti kaum musyrikin dan masuk ke jalan mereka dari pintu-
pintu ini.

Dan pada bagian akhir, saya mengutip fatwa yang amat elok dari Syeikhul Islam Ibnu
Taimiyah rhm, yang berkaitan dengan topik pembahasan ini. Saya mengeluarkannya dari
Majmu` Fatawa, kemudian saya ringkas, saya edit dan saya beri ulasan.

"Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan petunjuk kepadanya, niscaya Dia
melapangkan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barangsiapa yang Allah menghendaki
akan menyesatkannya, niscaya Dia jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang
mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman."
(Qs Al An`aam 125)

Abu
Muhammad `Ashim Al Maqdisi

Para Propagandis Macchiavellis


Niccola Macchiavelli, orang Itali kafir, dilahirkan tahun 1469 M. Ia berkecimpung dalam
kancah politik selama 14 tahun, sampai akhirnya dicopot dari jabatan politiknya setelah itu.
Kemudian ia mengasingkan diri di rumahnya di sebuah desa kecil, dan tekun melakukan kajian
sejarah. Kemudian ia menulis ringkasan pengalaman-pengalaman politiknya dan hasil-hasil
penelitiannya yang beragam di dalam sebuah buku yang berjudul "Prince" (pemimpin atau
penguasa suatu wilayah). Macchiaveli mati pada tahun 1527 M, dan meninggalkan buku, yang
dianggap para politikus modern sebagai buku panduan politik terbesar bagi mereka. Para
kritikus dan para peneliti memandang bahwa buku karya Macchiavelli ini dianggap sebagai
sebuah universitas, yang mana sebagian besar pemimpin-pemimpin di abad modern menjadi
lulusannya dan komit dengan konsepnya. Padahal kenyataannya, buku tersebut tidaklah
membawa sesuatu yang baru di dalamnya, yang ia lakukan hanyalah mengumpulkan apa yang
tercerai-berai dari perilaku-perilaku para penguasa di negeri-negeri barat dan para pemimpin-
pemimpinnya di abad pertengahan. Ia menulis dan menampakkan apa yang dahulu mereka
tutup-tutupi, dan kemudian menyajikannya ke hadapan para politisi. Macchiavelli mengupas di
dalam bukunya sesuatu yang ia anggap sebagai prinsip-prinsip utama yang memberikan andil
terhadap kesuksesan seorang penguasa dalam pemerintahannya, dan mengokohkan pilar-pilar
kekuasaannya tanpa terikat oleh pertimbangan apapun, moralitas ataupun agama, oleh karena
masalah politik telah dipisahkan secara total dari etika moral.

( Lihat buku kecil "Amiirunaa wa amiiruhum", buku ini mengkomparasikan antara Umar Al Faruq
dengan Niccola Macchiavelli, tulisan Muhammad Rawwas Qal`ahaji ).

Di antara prinsip-prinsip dan dasar-dasarnya ialah:

1- Berpraduga buruk terhadap rakyat.

2- Meninggalkan etika moral dan perilaku yang lurus.

3-Tak usah menghiraukan aib dan cacat, baik kezhaliman, atau persekongkolan jahat atau
perilaku khianat atau menumpahkan darah atau membelenggu kebebasan.

4- Memiliki sifat hipokrit, karena sifat itu dapat menjamin kelangsungan kekuasaannya.

5- Khianat; seorang pemimpin tidak perlu memelihara janji jika janji tersebut bertentangan
dengan kepentingannya.

6- Jahat.

7- Kikir.

8- Menjadikan sejumlah orang sebagai bamper untuk melindunginya dari kemarahan rakyat,
dengan mempercayakan kepada mereka pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang dibenci dan
tidak disukai oleh rakyat. Apa-apa yang baik, maka pujiannya harus ditujukan kepadanya, dan
apa-apa yang buruk, maka kesalahannya harus dilemparkan kepada mereka. Ia harus
membikin mereka senang melaksanakan kewajiban itu dengan cara bersikap murah hati
terhadap mereka dan memudahkan jalan kepada mereka untuk mencapai kemakmuran hidup
dan menjadi kaya. Tidak ada halangan pada saat-saat genting dan darurat, ia sendiri yang
memainkan peran sebagai penyelamat bangsanya, yakni dengan mengganti mereka atau
menyingkirkan mereka apabila keadaan memang memaksa harus bertindak demikian. Itu
adalah puncak kecerdikan.

( Renungkanlah ini, kemudian lihatlah dalam realitas kehidupan para penguasa tiran saat ini,
kamu akan melihat keajaiban yang sangat mengagumkan ).

9- Dan yang terpenting dari itu semua ialah tak perlu memperhatikan atau melihat: apakah
tujuan dan wasilah yang dipakai itu mulia atau tidak ? Karena selama pemimpin itu sendiri yang
mengerjakannya, maka sesungguhnya tujuan dan wasilah itu akan menjadi terhormat. Seburuk
apapun ia, maka rakyat tetap akan bertepuk tangan untuknya, sepanjang pemimpin yang
mengerjakannya tetap duduk di atas singgasana kekuasaannya.

Cara-cara apapun yang ditempuh oleh pemimpin untuk mencapai tujuan, maka ia
absah, kendati hakekatnya cara tersebut amat rendah lagi hina.

Prinsip inilah yang populer dengan sebutan "Al Ghaayah tubarrirul wasiilah" (Tujuan
menghalalkan segala cara)

Macchiavelli mati meninggalkan bukunya, yang berisikan prinsip-prinsip busuk dan


cara-cara sesat yang lepas dari nilai-nilai moral dan telanjang dari ajaran-ajaran agama. Lalu
prinsip-prinsip itu menjadi kiblat bagi para pemimpin dan para politikus busuk. Realitas
kehidupan kita saat ini menjadi bukti paling besar yang menunjukkan hal tersebut. Ini tidaklah
aneh bagi orang yang tidak mempunyai agama, yang membatasi mereka dengan batasan-
batasannya, atau budi pekerti yang mengendalikan mereka dengan norma-normanya. Yang
aneh lagi ganjil, Macchiavelli yang kafir itu, menjadi teladan dan panutan bagi banyak penganut
agama Islam, bahkan mendakwahkan ajaran Macchiavelli dan berjihad di jalannya, baik mereka
merasa, ataupun tidak merasa.

Maka jadilah kita mendengar kelompok manusia yang tak segan-segan menempuh
jalan apapun, meski jalan itu adalah jalannya orang-orang jahat, yang Allah telah
memperingatkan kita daripadanya dan memerintahkan kita supaya menjauhinya.

Dan mereka tidak keberatan untuk mengambil cara apapun meski cara itu kotor dan
bengkok, dengan dalih maslahat/kepentingan. Maslahat dakwah atau maslahat jama`ah atau
maslahat agama…menurut anggapan mereka!!

Tidak berbahaya menurut mereka jika mereka menjadi tentara atau antek-antek atau
pembela-pembela thaghut, yang Allah telah memerintahkan mereka untuk menjauhinya bahkan
memeranginya. Itu boleh menurut mereka demi kepentingan dakwah.

Tidak berbahaya menurut mereka, jika mereka bersumpah setia untuk menghormati
undang-undang bumi dan hukum-hukum wadh`i (positip), dan rela menjadi pembuat aturan dan
hukum mengikuti materi-materi dan teks-teks konstitusi thaghut, padahal Allah telah
memerintahkan mereka untuk mengkafirinya dan berlepas diri daripadanya dan dari wali-
walinya. Dan itu boleh menurut mereka untuk maslahat agama!!

Tidak berbahaya menurut mereka, jika mereka menampakkan perwalian mereka


kepada thaghut dan memperlihatkan kekafiran secara terang-terangan. Itu boleh menurut
mereka, mengikuti istihsaan-istihsaan mereka yang rusak, sebab ia menurut mereka tergolong
Al Mashaalih Al Mursalah!!

Tidak berbahaya menurut mereka, jika mereka meninggalkan setiap perkara dari
perkara-perkara agama mereka, dan menjualnya dengan harga lebih murah dari seekor
kambing, selama mereka masih bisa melekatkan padanya dalih maslahat dakwah!!

Barangsiapa yang Allah berkehendak menimpakan fitnah padanya, maka sedikitpun


kamu tidak dapat menghindarkan dia dari ketetapan-Nya.

Apakah mereka lebih tahu terhadap maslahat agama Allah daripada Allah…???

Demi Allah, syetan telah mempermainkan mereka seperti anak gadis mempermainkan
boneka mainannya, hawa nafsu berlari-lari membuntuti mereka seperti anjing berlari-lari
membuntuti tuan pemiliknya. Iblis telah dapat membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap
mereka, sehingga merekapun mengikutinya, kecuali hamba-hamba Allah yang mukhlis.

Mereka melakukan itu, padahal mereka membaca ayat-ayat Allah sepanjang siang
dan malam, dan mereka mendengar firman Allah Swt.:

112 Maka tetap teguhlah kamu pada jalan yang lurus, sebagaimana diperintahkan kepadamu
dan (juga) orang yang telah bertaubat bersamamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Dia melihat apa yang kamu kerjakan.

112 Dan janganlah kalian cenderung kepada orang-orang yang zhalim yang menyebabkan
kalian disentuh api neraka, dan sekali-kali kalian tidak mempunyai seorang penolongpun
selain daripada Allah, kemudian kalian tidak akan diberi pertolongan. (Qs Huud)

Dan firman Allah Ta`ala:

"Sungguh Allah telah menurunkan kepada kalian di dalam Al Kitab, bahwa apabila kalian
mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka
janganlah kalian duduk bersama mereka hingga mereka memasuki pembicaraan yang lain.
Karena sesungguhnya (jika kalian berbuat demikian), tentulah kalian serupa dengan mereka.
Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di
dalam Jahannam." (Qs An Nisaa` 140)

Allah `Azza wa Jalla menginginkan untuk kita suri teladan yang mulia dan panutan
yang agung pada diri (Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya) atau para Nabi,
para Rasul, orang-orang shiddiq, orang-orang shaleh dan para syuhada yang mengikuti
jalannya:
"Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagi kalian pada diri Ibrahim dan orang-orang
yang bersama dengannya, ketika mereka mengatakan kepada kaum mereka: "Sesungguhnya
kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah, kami ingkari
(kekafiran) kalian dan telah nyata permusuhan dan kebencian antara kami dan kalian buat
selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja." (Qs Al Mumtahanah 4)

Dan orang-orang yang menyeleweng dari millah yang agung ini, yang memperturutkan
hawa nafsu mereka, menginginkan dan melihat kepada teladan yang hina lagi rendah. Hawa
nafsu mereka, istihsaan-istihsaan dan istishlaah-istishlaah mereka mengatakan:

"Telah ada suri teladan bagi kalian pada diri Niccola dan orang-orang yang serupa dengannya,
pada perkataan mereka "Tujuan menghalalkan segala cara"…! Sesungguhnya yang buta itu
bukanlah mata mereka, tapi hati mereka yang ada di dalam dada.

Ketahuilah bahwa banyak lafazh-lafazh yang sekarang ini digunakan dan dijadikan
dalil oleh banyak orang, seperti ra`yu, istihsaan, Istishlaah, maslahah mursalah, maslahah
dakwah dsb; meskipun dalil-dalil tersebut digunakan pada perkara yang tidak ada nash syar`i di
dalamnya, tapi pada kenyataannya maknanya tetaplah satu dan saling berdekatan, dan
semuanya kembali kepada hawa nafsu. Dan ia dengan keadaan yang demikian, menjadi sebab
kesesatan banyak orang.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan ketika beliau berbicara tentang (Al
Mashaalih al Mursalah) dalam juz: 11/343:

(Thariqah ini, ada perselisihan pendapat yang masyhur di dalamnya. Para fuqoha` menamainya
"Al Mashaalih Al Mursalah", dan sebagian mereka menamainya "Ra`yu", dan sebagian yang
lain melakukan pendekatan padanya dengan nama "Istihsaan", dan hampir berdekatan makna
dengannya "Daya rasa golongan sufi, perasaan dan inspirasi-inspirasi mereka". Wal hasil,
sesungguhnya mereka menemukan suatu maslahat pada perkataan atau amalan di dalam hati
dan kepercayaan mereka, dan mereka menikmati kelezatan buahnya.)

Hingga perkataan beliau: (Ini adalah pasal pembahasan besar, yang layak untuk
diperhatikan, karena dari sisi inilah terjadi kegoncangan besar di dalam agama. Dan banyak
Umaro`, ulama, dan ahli ibadah yang melihat adanya maslahat-maslahat, lalu mereka
menggunakannya, berdasarkan kaedah itu tadi. Dan boleh jadi ada sebagian di antaranya yang
terlarang di dalam syari`at) hingga akhir perkataannya di dalam Fatawa. Adapun keterangannya
lebih lanjut, akan disampaikan dalam bahasan mendatang.
Untuk itu, saya memandang penting, menjelaskan di dalam halaman-halaman buku ini,
makna pengertian dari lafazh-lafazh dan istilah-istilah yang dimanipulir oleh orang-orang rendah
di zaman ini dengan nama Istihsaan atau Istishlaah, atau maslahah mursalah atau maslahah
dakwah dan nama-nama lainnya yang mereka hias dari hawa nafsu dan pendapat-pendapat,
yang mereka jadikan sebagai kendaraan tunggangan untuk menentang wahyu, menghancurkan
agama dan merobohkan sendi-sendinya, baik mereka merasa ataupun tidak.

Pertama: Istihsaan.
Istihsaan secara bahasa berarti: Menganggap sesuatu itu baik.

Adapun secara istilah: Apabila disebut kata Istihsaan, maka ada tiga makna pengertian yang
dimaksud dengannya:

Pertama: Memalingkan hukum suatu masalah dari padanannya berdasarkan dalil khusus dari
Kitabullah atau As Sunnah atau menghentikan hukum dalil khusus kepada apa yang menjadi
lawannya berdasarkan dalil baru lain yang lebih kuat daripadanya.

( Ushuul al Ahkaam, oleh Al Amadi IV/213 ).

Makna pengertian Istihsaan yang seperti ini tidak ada sanggahan atasnya, meski
diperselisihkan penamaannya dengan Istihsaan. Tak ada yang perlu dipertentangkan dengan
istilah.

- Para sahabat Imam Ahmad membawa perkataan tentang Istihsaan yang mereka nisbatkan
kepadanya, dengan makna pengertian seperti di atas.

)( Lihat kitab Raudhah an Naazhir, oleh Ibnu Qudamah hal: 147, atau kitab Mudzkiratul Ushuul,
oleh Asy Syanqiti hal: 167.

- Demikian pula perkataan tentang Istihsaan yang dinisbatkan kepada Imam Malik. Al Qurthubi
menyangkalnya, sementara Asy Syaukani menukil dalam kitabnya Irsyaadul Fuhuul hal: 241
perkataan Al Baji: (Sesungguhnya Istihsaan yang menjadi pendapat sahabat Malik, adalah
memegang pendapat yang terkuat di antara dua dalil…)

Dia mengatakan: "Inilah yang namanya dalil. Dan jika mereka menamainya dengan
Istihsaan, maka tak ada yang perlu dipertentangkan dengan istilah."…selesai.

Kedua: Digunakan untuk menyebut apa yang dianggap baik oleh seorang mujtahid dengan
akalnya.

Ketiga: Dalil yang membuat cemar diri mujtahid, sehingga ia tak dapat mengungkapkannya.
Tidak absahnya dua jenis Istihsaan yang terakhir ini sangat jelas, oleh karena seorang
mujtahid tidak boleh bersandar kepada akalnya semata dalam menganggap baik sesuatu, dan
dalil yang tak dapat diungkapkan tak mungkin dihukumi "Maqbul" (diterima) hingga ia
dipresentasikan dan ditimbang lebih dulu dengan syari`at.

Jumhur ulama mengingkari1 dua jenis istihsaan yang terakhir, dan menganggap
keduanya tergolong syahwat dan hawa nafsu, bahkan Imam Asy Syafi`i mengatakan:
"Barangsiapa yang menganggap baik sesuatu, maka sungguh dia telah membuat
syari`at"

Dalam kitab Irsyaadul Fuhuul hal: 241, Asy Syaukani menukil perkataan As Sam`ani
berikut:

(Jika Istihsaan yang dimaksud adalah mengatakan sesuatu yang dianggap baik dan disukai
nafsu tanpa dalil, maka ia batil, dan tak seorangpun yang mengatakan seperti itu)

)( Yang dimaksud dengan kata "Seorangpun" di sini: biasanya adalah mereka yang tergolong
Ahlul `Ilmi wal Fahm (orang-orang berilmu dan memiliki kepahaman dalam urusan agama).
Adapun golongan Ruwaibidhah (orang-orang rendah) yang bicara serampangan dengan
sesuatu yang tidak mereka pahami, dan bicara sesuatu yang tidak mereka ketahui, di antara
orang-orang yang sekarang ini duduk di depan majlis membicarakan perkara-perkara penting
dalam agama, maka sungguh mereka telah berani lancang menyampaikan perkataan yang
lebih buruk dan lebih jahat lagi daripada itu.

Kemudian Asy Syaukani mengatakan, setelah ia menyampaikan perkataan para ulama


di dalam masalah ini: ( Anda tahu setelah menela`ah seluruh apa yang telah saya sebutkan,
bahwa membicarakan Istihsaan dalam satu pembahasan tersendiri2, pada dasarnya tidak ada
manfaatnya;oleh karena jika Istihsaan tersebut kembali kepada dalil-dalil yang telah disebutkan
di muka, maka itu hanyalah pengulangan belaka, dan apabila ia keluar darinya, maka ia bukan
bagian dari syari`at dalam hal apapun, bahkan ia termasuk membuat kebohongan terhadap
syari`at, kadang dengan sesuatu yang tidak ada di dalamnya, dan kadang dengan sesuatu
yang bertentangan dengannya.)

Inilah penjelasan mengenai Istihsaan. Sementara para penganut paham Istihsaan


yang rasionalis dan syahwani (memperturutkan nafsu) berhujjah dengan nash-nash yang
mereka jadikan dalil untuk membenarkan Istihsaan-istihsaan mereka…akan tetapi di dalam

1
Irsyaadul Fuhuul 240
2
Maksudnya adalah dalam Ushul Fiqh dan bab-bab dalil-dalil hukum.
penelitian, kesemuanya tidak mendukung Istihsaan-istihsaan mereka, dan tidak membenarkan
apa yang mereka inginkan.

Di antara nash yang mereka jadikan sebagai hujjah adalah firman Allah Ta`ala:

"Mereka yang mendengar perkataan, lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya." (Qs Az
Zumar 18)

Ayat ini pada hakekatnya adalah hujjah yang kelak melawan mereka bukan hujjah
yang membela mereka, oleh karena perkataan dan pembicaraan yang paling baik adalah apa
yang terdapat dalam Kitabullah atau Sunnah Rasul-Nya Muhammad Saw., sebagaimana firman
Allah Ta`ala:

"Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur`an yang serupa (mutu ayat-
ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhan
mereka, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di saat mengingat Allah. Itulah
petunjuk Allah, dengan Kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa
yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya." (Qs Az Zumar
23)

Dalam kitabnya Al Ahkaam II/196, Abu Muhammad bin Hazm mengatakan: (Hujjah ini
akan melawan mereka bukan membela mereka, oleh karena Allah Ta`ala tidak berfirman "
Fayattabi`uuna mastahsanuuhu --Lalu mereka mengikuti apa yang mereka anggap baik--"
tapi berfirman "Fayattabi`una ahsanahu --lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya".
Dan perkataan yang paling baik adalah apa yang sesuai dengan Al Qur`an dan sabda Rasul
Saw. Inilah ijma` seluruh orang muslim yang bertakwa.

Siapa yang mengatakan selain ini, maka dia bukanlah seorang muslim. Dan itulah
perkataan yang Allah menerangkannya dalam ayat:

"Dan jika kalian berselisih dalam suatu perkara, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan
Rasul, jika kalian memang benar orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir"

Allah Ta`ala tidak berfirman "Maka kembalikanlah ia kepada apa yang kalian anggap
baik". Dan mustahil kebenaran itu ada dalam perkara yang kita anggap baik tanpa dasar hujjah.
Oleh karena jika kebenaran adalah menurut anggapan baik seseorang, itu berarti Allah
membebani sesuatu yang tak sanggup kita pikul, dan tentu hakekat kebenaran jadi tiada guna,
dalil-dalil akan saling berlawanan, dan bukti-bukti akan saling bertentangan, dan tentu Allah
memerintahkan sesuatu yang Dia melarang kita daripadanya, yakni ikhtilaf. Tentu saja ini
mustahil, oleh karena pada dasarnya istihsaan-istihsaan para ulama tak mungkin semuanya
bersepakat dalam satu pendapat lantaran perbedaan cita-cita, karakter dan maksud tujuan
mereka. Ada segolongan yang bertabi`at keras, ada yang bertabi`at lunak, ada yang kukuh
pendirian dan ada pula yang sangat berhati-hati. Tak ada jalan untuk bersepakat pada satu
istihsaan lantaran adanya berbagai motip pendorong dan berbagai keinginan yang bergejolak
di dalam hati, dan juga lantaran perbedaan istihsaan dan perbedaan hasil-hasil serta faktor-
faktor yang mendukungnya. Kadang kita mendapati, golongan Hanafi menganggap baik
sesuatu yang dianggap buruk oleh golongan Maliki, dan kadang mendapati golongan Maliki
menganggap baik perkataan yang dianggap buruk oleh golongan Hanafi. Sehingga tidak benar
apabila kebenaran dalam agama Allah `Azza wa Jalla itu dikembalikan kepada istihsaan
sebagian orang. Itu bisa terjadi --A`uudzu billaah-- jika ajaran agama kurang. Adapun agama
Islam adalah agama yang sempurna, tak perlu ada tambahan di dalamnya, semuanya telah
dijelaskan dan telah ditentukan, atau telah disepakati atasnya, maka tak ada artinya seseorang
menganggap baik sesuatu darinya atau menganggap baik yang lainnya, dan tidak ada pula
artinya seseorang menganggap buruk sesuatu darinya atau menganggap buruk yang lainnya.

Yang benar tetaplah benar, meski dianggap buruk oleh manusia, dan yang batil
tetaplah batil, meski dianggap baik manusia. Jadi benarlah jika Istihsaan itu adalah syahwat,
mengikuti hawa nafsu dan kesesatan. Dan kepada Allah Ta`ala kita berlindung dari
keterlantaran…selesai perkataan Ibnu Hazm)

Mereka berhujjah dengan hadits:

"Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka ia baik pula dalam pandangan Allah"

Maka perkataan mereka hendaknya dijawab: "Hadits ini bukan hadits marfu`, tapi
hadits mauquf pada Ibnu Mas`ud ra.3 Sementara tidak ada ucapan seorangpun sepeninggal
Rasulullah Saw yang bisa menjadi hujjah dalam agama kita. Mengingat dalam hadits tersebut
khususnya terdapat hujjah atau indikasi petunjuk yang mengisyaratkan makna implisit, yakni
isyarat kepada ijma` kaum muslimin. Dan ijma` itu tidak akan terjadi kecuali dari dalil.4 Dan
dalam hadits itu tidak terdapat indikasi petunjuk bahwa apa yang dipandang baik oleh seorang
individu muslim atau sebagian dari jama`ah-jama`ah mereka dan kelompok-kelompok mereka,
adalah baik pula dalam pandangan Allah…

3
Abu Dawud Ath Thayalisi, Al Bazzar, Ath Thabrani dan yang lain mengeluarkan hadits
tersebut secara mauquf dari Ibnu Mas`ud ra. Dan diriwayatkan secara marfu`dari Anas ra.
dengan isnad yang tidak absah.
4
Lihat pasal pembahasan Ijma` dalam kitab Irsyaadul Fuhuul, sebagai contohnya.
)( Lihat Ushuul al Ahkaam oleh Al Amadi (IV/215), dan Al Ihkaam fie Ushuul al Ahkaam, oleh
Ibnu Hazm (II/197). Dan lihat pula Fatawa Sulthaanul Ulamaa`, oleh Al `Izzu bin `Abdussalam.

Pendapat-pendapat cemerlang para ulama dalam soal Istihsaan

1__ Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi`i (150-204 H)

As Syafi`i rhm mengatakan: "Barangsiapa yang menganggap baik sesuatu, maka sungguh dia
telah membuat syari`at" Dari kitab Al Mustashfa (I/274)

Beliau mengatakan pula: "Istihsaan itu hanyalah -mencari- kenyamanan" Kitab Ar


Risaalah hal: 507 aline: 1464.

)( Dan perkataan beliau sesudahnya (dan tidak boleh berpendapat dengan istihsaan kecuali
orang yang alim terhadap ijtihad dan sangat paham terhadap tasybih) adalah jelas, bahwa yang
beliau maksudkan dengan tasybih adalah qiyas. Karena itu beliau mengatakan sesudahnya
(Jika istihsaan itu harus dengan qiyas, maka seorang alim tidak boleh berpendapat kecuali dari
sisi ilmu, sedangkan sisi ilmu itu adalah khabar yang wajib diperoleh dengan qiyas, lewat
indikasi-indikasi petunjuk yang mengarah kepada yang benar, sehingga dia menjadi seorang
ahli ilmu selamanya, jadi ikutan dan sangat berpengalaman. Dan orang yang mencari
pengalaman adalah dengan qiyas. ..?(15)

"Tak ada hak bagi seorangpun selain Rasulullah Saw. untuk berpendapat kecuali
dengan istidlal (menyimpulkan dalil dari nash syar`i), dan dia tidak boleh berpendapat dengan
istihsaan, karena berpendapat dengan istihsaan adalah sesuatu yang baru ia adakan, tidak
mengikut contoh misal sebelumnya." Kitab Ar Risaalah hal: 25 alinea: 70.

Beliau mengatakan: "Dan ini menjelaskan bahwa haram bagi seseorang berpendapat
dengan istihsaan, jika istihsaan tersebut menyelisihi khabar, sedangkan khabar itu adalah dari
Al Kitab dan As Sunnah. Ilmu dicari-cari seorang mujtahid untuk didapatkan , sebagaimana
rumah --Ka`bah-- dicari-cari orang yang jauh darinya untuk didapatkannya". 5 Kitab Ar Risaalah
hal: 504 alinea: 1456.

Dan dalam sebuah riwayat yang konon berasal darinya, beliau mengatakan:
"Berpendapat dengan istihsaan adalah batil."

5
Sebagaimana Rumah dicari-cari orang yang berada jauh darinya untuk dia dapatkan, yang
dimaksudkan dengan Rumah adalah Ka`bah dan kiblat. Jadi di dalam menyimpulkan hukum
seorang mujtahid mencari-cari dalil-dalil dari Al Kitab dan As Sunnah untuk dia ikuti,
sebagaimana seorang mushalli yang tidak melihat Ka`bah mencari-cari arah kiblat, lalu dia
shalat menghadap ke arahnya.
(Sekiranya beristihsaan dalam agama itu boleh bagi seseorang, tentu ia boleh bagi
orang-orang berakal yang bukan tergolong ahli ilmu, dan tentu boleh baginya membuat syari`at
di dalam agama dalam setiap persoalan, dan setiap orang boleh mengeluarkan syari`at untuk
dirinya)

)( Dari kitab Irsyaadul Fuhuul hal: 240.

Imam Asy Syafi`i rhm berkata: "Apabila setiap mufti atau penguasa atau mujtahid
boleh beristihsaan dalam perkara yang tidak ada nash di dalamnya, niscaya urusan akan
menjadi kacau balau, dan niscaya hukum-hukum dalam satu kejadian peristiwa akan berbeda
menurut istihsaan setiap mufti. Maka dikatakan pada masing-masing istihsaan tersebut: Sejenis
fatwa dan hukum yang tidak memiliki kaedah, tidak memiliki tolok ukur yang bisa menjelaskan
kebenaran di dalamnya dan tidak pula ada pengetahuan yang bisa menunjukkan sisi yang
benar daripadanya. Padahal bukan seperti ini syari`at Islam dipahami dan hukum-hukum
agama ditafsirkan." ….dari kitab Al Ummu.

2__ Abu Muhammad `Ali bin Ahmad bin Sa`id bin Hazm Azh Zhahiri (384-456 H)

Ibnu Hazm rhm mengatakan: "Yang benar tetaplah benar, meski dianggap buruk oleh
manusia, dan yang batil tetaplah batil, meski dianggap baik manusia. Jadi benarlah jika
Istihsaan itu adalah syahwat, mengikuti hawa nafsu dan kesesatan. Dan kepada Allah Ta`ala
kita berlindung dari keterlantaran" II/196 dari kitab Al Ihkaam fie Ushuul al Ahkaam.

Setelah menyebutkan firman Allah Ta`ala: ( Sesungguhnya nafsu itu selalu mengajak
kepada keburukan) Yusuf 53, dan firman Allah Ta`ala: (Akan tetapi orang-orang zhalim,
mengikuti hawa nafsu mereka landasan ilmu) Ar Ruum 29, dan firman Allah Ta`ala: (Dan
siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa dasar petunjuk
dari Allah?) Al Qashash 50.

Beliau mengatakan: (Dalam ketiga ayat tersebut di atas terdapat pembatalan bagi orang yang
mengikuti sesuatu yang dia anggap baik tanpa dasar hujjah dari nash atau ijma`, dan tak
seorangpun boleh lebih bersikap hati-hati terhadap hamba-hamba yang beriman daripada
terhadap Allah, Pencipta mereka, Pemberi rezki mereka, Pengutus rasul-rasul kepada mereka.
Kehati-hatian itu, semuanya adalah dalam mengikuti apa yang Allah Ta`ala perintahkan, dan
kejelekan itu, semuanya adalah dalam menyelisihi perintah-Nya) Kitab Al Ihkaam II/198

Beliau mengatakan pula: (Kami katakan kepada orang yang berpendapat dengan
istihsaan: "Apa beda antara apa yang kamu anggap baik tapi ia dianggap buruk oleh orang lain,
dengan apa yang dianggap baik oleh orang lain tapi kamu anggap buruk? Apa yang
menjadikan salah satu dari dua jalan itu lebih berhak dianggap yang benar daripada yang lain?
Dan perebutan untuk mengakui sebagai yang benar merupakan satu persoalan yang tak akan
ada putus-putusnya. Dan hanya kepada Allah Ta`alah kita memohon petunjuk" Juz: II hal: 200

Beliau mengatakan dalam kitab yang sama pada juz: I hal: 45: (Istihsaan, adalah
sesuatu yang disenangi oleh nafsu dan disepakatinya, baik ia salah ataupun benar)

Dan beliau mengatakan pula pada juz: 1 hal: 97 ketika menafsirkan firman Allah
Ta`ala:

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya." (Qs An Nisaa' 65)

(Ini cukup bagi orang yang punya akal dan kehati-hatian serta beriman kepada Allah dan hari
akhir, serta yakin bahwa sumpah ini adalah sumpah Tuhannya kepadanya, dan wasiat Allah
`Azza wa Jalla yang tertuju padanya, maka hendaklah seseorang mengitropeksi dirinya, jika dia
mendapati bahwa dirinya tidak tunduk terhadap apa yang dibawa Rasulullah Saw. kepadanya,
dan bahwa dirinya condong kepada perkataan Fulan dan Fulan, atau kepada qiyasnya dan
istihsaannya, dan mendapati dirinya berhukum kepada seseorang selain Rasulullah Saw. dalam
perkara yang dia perselisihkan, baik orang tersebut adalah sahabat Rasul ataupun orang lain
yang tingkatannya berada di bawahnya. Hendaknya dia tahu bahwa Allah Ta`ala telah
bersumpah, dan firman-Nya adalah benar adanya, bahwa dia bukanlah seorang mu`min yang
membenarkan Allah Ta`ala, dan jika dia bukan seorang mu`min, maka dia adalah seorang kafir,
tak ada jalan untuk masuk pada kategori golongan yang ketiga.) Perkataan ini dinukil dengan
sedikit ringkasan.

3__ Imam Mufiquddin `Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al Maqdisi (541-620 H)

Dalam kitab Raudhatun Naazhir wa Jannatul Manazhir, hal: 147-148, Ibnu Qudamah
rhm mengatakan: "Sesungguhnya kita tahu benar melalui Ijma` ummat sebelum kita, bahwa
seorang alim tidak mempunyai hak untuk menentukan hukum hanya dengan hawa nafsu dan
keinginannya belaka tanpa mempertimbangkan dalil-dalil."

)( Renungkanlah, bahwa ini berlaku pada seorang alim, maka bagaimana halnya dengan orang
awam yang sama sekali belum pernah mencium bau ilmu dan tidak tahu pula apa rasanya.

Istihsaan tanpa melalui nazhar (mempertimbangkan dalil atau ijtihad) adalah hukum
dengan hawa nafsu ansich.
Dan ia sama seperti istihsaan orang awam, dan apa bedanya antara seorang awam
dengan seorang alim yang tidak mengetahui dalil-dalil syar`i dan tidak dapat membedakan yang
shahih dari yang batal/rusak?

Barangkali sandaran istihsaannya adalah ilusi dan hayalan, apabila ditimbang dengan
dalil, maka tak dapat diperoleh faedah apapun darinya…

Beliau mengatakan: "Istihsaan mereka itu sama dengan istihsaan orang awam dan
istihsaan anak-anak. Dan jika mereka mencoba membedakan dengan dalih perkataan bahwa
orang awam dan anak-anak bukanlah ahli ijtihad, maka saya katakan: "Apabila tidak
mempertimbangkan dalil, maka manfaat apa yang ada pada ahli ijtihad?!"

Kedua: Istishlaah atau Mashaalih Mursalah

Ketahuilah bahwa pada prinsipnya Allah Ta`ala telah menyempurnakan agama Islam
untuk kita, Dia berfirman:

"Dan hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan telah Aku lengkapkan
nikmat-Ku kepada kalian." (Qs Al Maa'idah 3)

Ayat ini menjelaskan, bahwa Allah tidak membiarkan kita begitu saja, untuk
menganggap maslahat, atau menganggap baik atau memilih syari`at dan agama yang kita
senangi untuk diri kita. Allah Ta`ala berfirman:

"Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan demikian saja (tanpa diperintah dan
dilarang)?" (Qs Al Qiyaamah 36

Maka dengan demikian, setiap maslahat-maslahat yang didakwakan orang, yang


Allah Ta`ala tidak membimbing kita ke sana, adalah batal, meski perkara tersebut dianggap
baik dan dianggap bermaslahat oleh akal manusia. Dan setiap perkara yang ditetapkan Allah
bahwa ia bermaslahat bagi mereka, maka ia mutlak benar adanya, meski ia dianggap buruk
oleh akal mereka.

Karena itu, berbagai pendapat para ulama di dalam topik persoalan ini bisa
disimpulkan, bahwa mereka membagi maslahat itu menjadi 3 macam:

Pertama: Syari`at menyaksikan dengan mengakui maslahat tersebut. Untuk kategori yang ini,
maka kami katakan: kami mendengar dan ta`at.

Kedua: Syari`at menghapuskan maslahat tersebut, dan tidak mempertimbangkannya.


(Mengenai batalnya maslahat ini, tidak ada perselisihan di dalamnya, karena ia bertentangan
dengan nash. Adapun membuka pintu maslahat kategori yang kedua ini akan mengakibatkan
kepada perubahan batasan-batasan syar`i)

)( Raudhatun Naazhir wa Jannatul Manaazhir hal: 149.

Ketiga: Syari`at tidak menyaksikan maslahat tersebut, tidak menghapuskannya dan tidak pula
mengakuinya. Inilah maslahat yang dimaksudkan oleh banyak orang ketika mereka berbicara
mengenai Maslahah Mursalah. Mereka menamainya demikian, karena menurut anggapan
mereka, perkara ini mengandung maslahat yang bersifat mutlak dan bebas, tidak ada ketentuan
hukumnya dalam syari`at, apakah ia diakui ataupun dibatalkan.

Dan kebenaran yang kita percayai dan dengannya kita meyakini Allah Ta`ala adalah
tidak ada maslahat seperti kategori yang akhir ini. Barangsiapa yang mendakwakan adanya,
maka dia telah menuduh bahwa syari`at kurang dan Al Kitab telah lalai. Tentu saja ini
bertentangan dengan nash firman Allah yang muhkam: "Kami tidak melalaikan sesuatu apapun
di dalam Al Kitab" (Qs Al An`aam 38), dan firman Allah Ta`ala: "Dan hari ini telah Aku
sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan telah Aku lengkapkan nikmat-Ku kepada kalian…."
(Qs Al Maa'idah 3). Allah sekali-kali tidak melalaikan di dalam Al Kitab ataupun mengurangi
penyebutan satu maslahat. Bahkan setiap maslahat telah disaksikan Al Kitab, baik dengan cara
menghapuskannya atau mengakuinya, baik dengan nash atau dengan zhahirnya atau dengan
isyarat dan tanda atau dengan bentuk-bentuk petunjuk yang lain. Barangsiapa mengatakan
selain ini, maka sungguh dia telah menganggap bahwa Allah telah membiarkan kita begitu saja,
sehingga sebagian kita menganggap pantas apa yang dianggap buruk oleh yang lain tanpa
menggunakan kaedah ataupun batasan syar`i. Allah Ta`ala berfirman menyangkal
persangkaan seperti itu:

"Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan demikian saja (tanpa diperintah dan
dilarang)?" (Qs Al Qiyaamah 36

Oleh karena itu, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan dalam kitabnya Ash
Shaarim Al Masluul: (Tidak boleh mengitsbatkan/menetapkan hukum-hukum hanya dengan
istihsaan dan istishlaah saja, karena yang demikian itu berarti membuat syari`at dalam agama
dengan ra`yu, dan itu haram berdasarkan firman Allah Ta`ala: "Apakah mereka mempunyai
sekutu-sekutu selain Allah yang mensyari`atkan untuk mereka agama yang tidak diidzinkan
Allah? Qs Asy Syuura 21)

Beliau berkata di dalam Majmu` Fatawa juz: XI hak: 344: (Berpendapat dengan
Maslahah Mursalah berarti mensyari`atkan sesuatu dalam agama, yang mana Allah tidak
mengidzinkannya (pada umumnya). Dan Maslahah Mursalah dari beberapa sisi adalah serupa
dengan masalah Istihsaan dan tahsiinul `aqli war ra`yu --hal menganggap baik sesuatu dengan
akal dan ra`yu-- dan sebagainya) Sampai dengan perkataan beliau (Pendapat yang
komprehensip menyatakan bahwa syari`at tidak melalaikan satu maslahatpun, bahkan Allah
Ta`ala telah menyempurnakan agama Islam untuk kita, dan melengkapkan nikmat-Nya atas
kita. Tak ada sesuatupun yang mendekatkan kepada surga, melainkan Nabi Saw. telah
menyampaikannya kepada kita.

Dan beliau meninggalkan kita dalam keadaan putih bersih, malamnya seperti
siangnya, tiada yang melenceng darinya sepeninggalnya kecuali dia akan binasa. Adapun apa
yang diyakini akal sebagai suatu maslahat, apabila syari`at tidak membawa keterangan yang
pasti tentangnya, maka ia berada pada dua kemungkinan yang pasti, bisa jadi syari`at telah
menunjukkan kepadanya, namun pengamat tidak mengetahuinya; atau ia bukanlah maslahat,
meski diyakini sebagai maslahat. Oleh karena maslahat adalah manfaat yang pasti terjadi, atau
besar kemungkinan terjadi. Sering orang membayangkan bahwa sesuatu itu bermanfaat bagi
agama dan dunia, namun kenyataannya manfaat yang ada padanya kalah kuat dibandingkan
madharatnya. Sebagaimana firman Allah Ta`ala dalam masalah khamer dan judi:

(Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tapi
dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.") (Qs Al Baqarah 219)

Banyak aqidah-aqidah dan amalan-amalan bid`ah yang diperbuat oleh manusia; dari
bid`ah ahli kalam, ahli tasawwuf, ahli ra`yu dan para pemilik kekuasaan; mereka
menganggapnya sebagai manfaat atau maslahat yang bermanfaat, hak dan benar; namun
kenyataannya tidaklah demikian. Bahkan banyak orang-orang yang keluar dari Islam dari
golongan Yahudi, Nashrani, musyrik, Shabi`i dan Majusi; sebagian besar di antara merek
menyangka bahwa kepercayaan-kepercayaan, mu`amalah-mu`amalah dan ibadah-ibadah yang
mereka yakini dan mereka kerjakan adalah bermaslahat bagi dunia dan akherat mereka serta
bermanfaat bagi mereka. Sungguh (telah sia-sia usaha mereka dalam kehidupan dunia, namun
mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya). Sungguh, syetan telah
menghias amal-amal mereka yang buruk hingga nampak baik di mata mereka,

Apabila manusia memandang baik apa yang sebenarnya buruk, maka istihsaan dan
istishlaahnya, boleh jadi masuk dalam kategori ini....selesai) Juz: II hal: 345.

Saya katakan: (Karena itu para pengikut madzhab-madzhab fiqh menetapkan bahwa
maslahah mursalah bukanlah hujjah dalam agama Allah, sebagaimana hal tersebut dijelaskan
oleh Al Qurafi dalam kitab At Tanqiih)

)( Lihat kitab Mudzkiratul Ushuul, oleh SAy Syanqithi hal (170)


Mereka hanya beramal dengan maslahat apabila memang ada kesaksian syari`at yang
memberikan pengakuan atasnya.

Asy Syaukani menuturkan bahwa jumhur ulama melarang berpegang pada maslahat
secara mutlak.

)( Irsyaadul Fuhuul hal: 242.

Inilah penjelasan mengenai maslahah mursalah, dan ketahuilah bahwa para ulama
membagi maslahat secara umum menjadi tiga kategori: Dharuuriyah, Haajiyah dan Tahsiiniyah
(Pokok, kebutuhan, dan pelengkap)

* Adapun yang kategorinya adalah Haajiyah dan Tahsiiniyah, maka ruang lingkupnya sangat
luas menurut pandangan ulama. Karena itu Ibnu Qudamah Al Maqdisi mengatakan: (Kami tidak
mengetahui adanya khilaf bahwa tidak boleh berpegang pada keduanya tanpa ada dasar.
Karena jika hal itu boleh, niscaya ia akan menyifati syari`at dengan ra`yu, dan niscaya kita tidak
memerlukan kedatangan para Rasul, dan niscaya orang yang awam sama dengan orang yang
alim di dalam perkara tersebut. Karena setiap orang mengetahui maslahat untuk dirinya sendiri)

)( Raudhatun Naazhir wa Jannatul Manaazhir hal: 149.

* Adapun Dharuriyah (keperluan yang pokok/urgen), maka maslahat inilah yang dinamai para
ulama dengan "Dar`ul Mafaasid anhaa" (menolak sebab-sebab kerusakan daripadanya)…dan
dharuriyah ini ada enam macam:

Agama __ Jiwa __ Nasab __ Kehormatan __ Akal __ Harta.

)( Sebagian ulama menggolongkan nasab dan kehormatan dalam satu kategori, sehingga
kesemuanya berjumlah 5. Telah saya terangkan dalam buku saya (Kasyfun Niqaab `an
Syarii`atil Ghaab) tentang bagaimana syari`at datang untuk menjaga lima kepentingan utama
ini, dan bahwasanya qanun-qanun wadh`i (hukum-hukum positip) yang disyari`atkan oleh
penguasa-penguasa thaghut, bekerja siang dan malam untuk menghancurkannya.

Syari`at tidak membiarkan wasilah untuk menjaga enam kepentingan utama ini diatur
oleh hawa nafsu dan keinginan manusia, tapi ia telah menentukan batasan-batasannya.
Syari`at telah menetapkan hukuman mati terhadap orang yang murtad untuk melindungi
agama, dan qishash untuk melindungi jiwa, dan had bagi pezina serta iddah bagi perempuan
yang ditinggal mati suami atau diceraikan adalah untuk melindungi keturunan dan nasab;
sebagaimana syari`at menetapkan had qadzaf (tuduhan palsu) untuk melindungi kehormatan,
dan had bagi peminum khamer untuk melindungi akal; sebagaimana syari`at mengharamkan
riba dan berbagai macam bentuk jual beli serta menetapkan had bagi pencuri untuk melindungi
harta. Oleh karena itu dalil-dalil syar`i saling mendukung dalam mengakui maslahat-maslahat ini
dan dalam melakukan penjagaan atasnya.

Selama syari`at telah menetapkan wasilah-wasilah tertentu untuk melindungi


maslahat-maslahat ini, maka tidak halal -bagi seseorang- membuat wasilah-wasilah baru yang
tidak dinashkan oleh syari`at atau tidak ada dasarnya. Tasyrii` (membuat aturan hukum) hanya
berdasarkan hawa nafsu dengan dalih melindungi maslahat-maslahat itu tadi adalah batil. Dan
itu bukanlah hujjah (oleh karena tidak diketahui bila Syaari` melindungi darah --misalnya--
dengan segala wasilah. Oleh karena itu Syaari` tidak mensyari`atkan hukum cincang, kendati
hukuman tersebut sangat efektif dalam mencegah dan merintangi pembunuhan, dan tidak pula
mensyari`atkan hukuman mati terhadap orang yang mencuri dan meminum khamer. Jadi
barangsiapa menetapkan suatu hukum untuk melindungi maslahat di antara maslahat-maslahat
ini, padahal tidak diketahui bahwa syari`at melindungi maslahat-maslahat tadi dengan
memberikan pengukuhan atas hukum baru itu, maka apa yang dia lakukan bisa disebut
mensifati syari`at dengan ra`yu, dan menetapkan hukum dengan akal belaka.)

)( Lihat Raudhatun Nazhir wa Jannatul Manaazhir, Ibnu Qudamah hal (150)

Jadi kesimpulan dari bab pembahasan ini ialah: Allah Ta`ala tidak membiarkan kita
demikian saja dan tidak pula menciptakan kita secara sia-sia. Tapi Dia telah menentukan untuk
kita maslahat-maslahat dan maksud-maksud tujuan syar`i. Bukan hanya itu saja, bahkah Dia
telah menentukan pula jalan dan cara yang syar`i untuk mengantarkan kepada maslahat dan
maksud tujuan tersebut. Dan membatalkan setiap cara dan wasilah yang boleh jadi diyakini
orang dapat mengantarkan kepada maslahat atau maksud tujuan tadi. Syari`at tidak
meninggalkan untuk kita kecuali satu jalan, satu wasilah dan satu cara saja, yakni cara Penutup
para Nabi. Dan cara itu punya hukum yang sama dengan maksud tujuannya, bahwa ia harus
disyari`atkan, bersih dan suci seperti maksud tujuan.

Karena itu para Fuqoha` mengatakan "Al Wasiilah tu`thii ahkaamul Maqaashid"
(Wasilah itu memberi hukum-hukum maksud tujuan). Mereka mengatakannya dalam bait sya`ir
berikut:

Wasilah perkara adalah seperti maksud tujuannya

Dan hukumilah dengan hukum tersebut bagi tambahan-tambahannya


)( Dari Manzhuumah al Qaa`idah al Fiqhiyyah, oleh `Abdurrahman bin Nasher As Sa`di, Saya
telah mengkajinya, mengoreksi syarahnya, dan memberikan tambahan terhadap naskah aslinya
dengan berbagai macam faedah pada awal permintaan.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan tentang maslahah mursalah ini dalam
Majmu` Fatawa (XI/343): (Ini adalah pasal pembahasan besar yang layak diperhatikan, karena
dari sisi inilah terjadi kegoncangan besar di dalam agama. Banyak Umaro`, ulama, dan ahli
ibadah yang melihat adanya maslahat-maslahat, lalu mereka menggunakannya berdasarkan
prinsip ini. Boleh jadi ada sebagian di antaranya yang terlarang dalam syari`at, sedang mereka
tidak mengetahuinya. Dan boleh jadi mereka mendahulukan pada maslahah-maslahah
mursalah itu, suatu perkataan yang bertentangan dengan nash-nash syar`i. Dan banyak di
antara mereka yang justru mengabaikan maslahat-maslahat yang berdasarkan syar`i wajib
diakui, mengingat bahwa syari`at tidak membawa keterangan tentangnya. Maslahat tersebut
adalah dalam perkara-perkara yang wajib dan perkara-perkara yang mustahab..)

Dari uraian penjelasan di muka nampak jelas bagi anda, batalnya pendapat yang
dikemukakan oleh Syeikh `Abdurrahman bin `Abdul Khaliq dalam kitabnya "Al Muslimuun wal
`amal as Siyaasi" --Kaum muslimin dan perjuangan politik--* ketika ia mengatakan di hal: 39:
(Ketiga: Maslahat-maslahat dan mafsadah-mafsadah merupakan prinsip dan cara untuk
menentukan hukum suatu wasilah: Tak ada kesangsian bahwa cara menghukumi suatu wasilah
apakah ia dihukumi baik atau tidak, adalah dengan melihat kadar maslahat syar`i yang bisa ia
wujudkan, atau madharat dan mafsadah yang ia timbulkan? Jadi melihat akibat, mencermati
persoalan, memperhitungkan kerugian dan keuntungan bagi agama, adalah sesuatu yang
harus diperhatikan dan dijadikan pegangan...)

)( Cetakan Ad Daar As Salafiyyah di Kuwait. Bukan ini saja pernyataan satu-satunya yang
harus dikritik. Buku tersebut ditulis sebagai dasar pedoman untuk melegimitasi keikut sertaan
orang-orang Islam dalam parlemen legeslatif serta wasilah-wasilah dakwah kontemporer
lainnya yang cocok dengan jalannya orang-orang mujrim (pendurhaka) dan bertentangan
dengan jalannya orang-orang mu`min, sebagaimana masalah itu bisa kita lihat dengan sangat
jelas dalam muqaddimah bukunya. Kemudian dia menegaskan pernyataan di atas dengan
perkataannya pada halaman 40: (Dan demikianlah, kita harus menimbang lebih dahulu setiap
langkah di antara langkah-langkah dakwah, setiap wasilah di antara wasilah-wasilahnya, setiap
methode di antara methode-methodenya...seberapa banyak ia dapat mewujudkan manfaat bagi
ummat, agama dan Islam...dan seberapa banyak dia menimbulkan mafsadah-mafsadah syar`i.
Jika manfaatnya lebih besar, sementara pengorbanan dan mafsadahnya lebih kecil, maka
amalan tersebut disyari`atkan, bahkan terkadang wajib hukumnya. Adapun jika mafsadahnya
lebih besar dan madharatnya lebih banyak dibandingkan manfaatnya, maka yang wajib
dilakukan adalah menjauhkan diri daripadanya...)

Yang benar dan tak ada keraguan lagi di dalamnya adalah bahwa dasar pedoman dan
cara yang pertama --saya tidak mengatakan satu-satunya-- akan tetapi yang pertama dan yang
paling utama di dalam menentukan hukum, apakah wasilah-wasilah itu disyari`atkan atau tidak
disyari`atkan, mu`tabar (dakui) atau tidak mu`tabar adalah syari`at, hujjah dan dalil. Seperti
telah anda ketahui sebelumnya.

Baru setelah itu menggunakan timbangan maslahat dan mafsadah mengikut dalil,
bukan sebagai wasit dan penentunya, sebagaimana ia menggambarkan keadaan sebagian
besar da`i-da`i Islam kontemporer. Dengan begitu mereka memasukkan kejahatan besar dan
kebatilan nyata pada diri penganut Islam; oleh karena timbangan maslahat dan mafsadah jika
tidak diatur dan diputuskan dengan firman Allah Ta`ala dan sabda Rasul Saw., maka pasti --tak
ada kesangsian atau keraguan lagi-- akan diputuskan dengan hawa nafsu, istihsaan-istihsaan,
dan akal-akal pikiran yang dangkal dan bermacam ragam. Karena itu ia akan menimbulkan
kontradiksi, pertentangan dan kekacau-balauan dalam Dienullah.

Karena itu, dengan menggunakan hujjah maslahat dakwah, Syeikh tersebut di muka --
semoga Allah memberi petunjuk padanya-- dan ulama-ulama lain yang sejalan dengan
pemikirannya, memperbolehkan keikut sertaan kaum muslimin dalam sistem-sistem yang
mengandung kebatilan besar dan kebohongan nyata, seperti parlemen-parlemen legeslatif
serta institusi-institusi kafir lain milik para penguasa thaghut.

Sampai-sampai dia berani membuat negeri Aljazaer sebegai contoh untuk itu, yakni
ketika tentara kolonialis Perancis hengkang dari sana. Syeikh `Abdurrahman berpendapat
bahwa sumber ekonomi terbesar di negeri Aljazair saat itu bertumpu pada produksi minuman
keras, lantas dia membodohkan orang-orang yang menuntut penutupan langsung pabrik-pabrik
minuman keras tadi, dan menyebut mereka sebagai orang-orang yang jumud dalam memahami
nash-nash serta tidak memahami ruhnya, dan menyatakan bahwa maslahat dakwah
menghendaki pemberian idzin sementara terhadap pabrik-pabrik minuman keras tadi serta
menghendaki tahapan waktu untuk penutupannya. Karena dikhawatirkan penutupan pabrik-
pabrik minuman keras tadi akan menimbulkan mafsadah, yakni jatuhnya perekonomian negara,
dan membahayakan keselamatan bangsa.* Padahal Allah Ta`ala telah menghapuskan
istishlaah seperti ini saat Dia menetapkan larangan masuk ke tanah Haram terhadap orang-
orang musyrik. Allah Swt mengetahui kekhawatiran sebagian orang-orang beriman terhadap
mafsadah, yakni kelemahan ekonomi dan kerugian perniagaan, yang mungkin timbul akibat
pelarangan yang sangat mendadak itu. Allah Swt berfirman:

"Dan jika kalian khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberi kekayaan kepada
kalian dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana" (Qs At Taubah 28)

* Syeikh `Ali Al Ju`fan Al Yamani rhm telah membantah pendapatnya dalam persoalan ini
(beliau dihukum mati di Hijaz pasca tragedi di tanah Haram tahun 1400 H) dalam risalah yang ia
beri judul "Kasyful Haqaa`iq" --Menyingkap kenyataan--.

Demikianlah, orang-orang yang menggunakan istishlaah ini sampai berani mencap


orang-orang yang berpegang pada dalil-dalil syar`i dan tidak melanggar batasan-batasan Allah
sebagai orang-orang yang jumud dalam memahami nash-nash. Kami katakan pada mereka:
"Jika yang seperti ini kalian pandang jumud, maka kami nyatakan secara terbuka bahwa kami
bangga dengan kejumudan ini dan merasa mulia dengannya. Dan kami memohon kepada Allah
Ta`ala supaya Dia menghidupkan kami dan mematikan kami di atasnya. Dan selamat atas
kalian dengan keterlepasan kalian dari nash-nash, keterbebasan kalian dari dalil-dalil, dan
pelanggaran kalian terhadap batasan-batasan Allah di bawah naungan istishlaah-istishlaah dan
istihsaan-istihsaan kalian yang tak berguna.

Maslahah Mursalah dan contoh tameng hidup.

Untuk melengkapi pembahasan kita dalam topik persoalan ini, dan agar supaya kita
tidak menyisakan celah dalam agama Allah bagi orang-orang yang suka memanipulasi, maka
ketahuilah bahwa sebagian ulama telah berbicara tentang diterimanya suatu maslahat, jika
terkumpul di dalamnya 3 syarat:

Pertama: Maslahat itu adalah maslahat yang sesungguhnya bukan maslahat yang masih
berupa persangkaan.

Kedua: Maslahat itu adalah maslahat umum bukan maslahat pribadi.

Ketiga: Maslahat itu tidak bertentangan dengan hukum atau dalil syar`i.

Datang sebuah keterangan dalam kitab Irsyaadul Fuhuul hal (242): "Jika maslahat itu
dharuriyah, qath`iyah dan kulliyah, maka ia adalah masalahat yang mu`tabar. Tapi jika salah
satu dari ketiga syarat itu hilang, maka ia tidak mu`tabar."

Yang dimaksud dengan Dharuriyah ialah: Ia termasuk di antara Dharuuriyatul Khamsu


-kepentingan utama yang lima-. Dan yang dimaksud dengan Kulliyah ialah: Mencakup semua
kaum muslimin. Tidak mu`tabar jika maslahat tersebut hanya untuk sebagian orang sedang
yang lain tidak, atau pada satu keadaan tertentu namun tidak pada keadaan yang lain.

Al Ghazali dan Al Baidhawi memilih pendapat ini, dan dia --Al Ghazali-- membuat
contoh misal bagi maslahat bersyarat ini. Yakni: Kasus tameng hidup.

Abul Hasan Al Amadi dalam kitab Al Ihkaam fie Ushuul al Ahkaam Juz: IV hal: 216
berkata, yakni setelah beliau menyebut pembagian maslahat menjadi tiga; yang Mu`tabar, yang
Mulgha (dihapuskan) dan yang syari`at tidak memberi kesaksian atasnya, tidak mengakuinya
dan tidak pula menghapuskannya, dan maslahat kategori yang ketiga inilah yang dikenal
dengan istilah maslahah mursalah.

Beliau berkata: "Para fuqoha` dari madzhab Syafi`iyah dan madzhab Hanafiyah serta
dari madzhab yang lain telah bersepakat menolak berpegang pada maslahat. Dan itu benar.
Kecuali riwayat yang dinukil dari Malik, yang menyebutkan bahwa dia berpendapat dengannya,
namun para sahabatnya mengingkarinya. Barangkali jika nukilan itu memang benar datang
darinya, maka yang paling mendekati kebenaran ialah beliau tidak berpendapat demikian dalam
setiap maslahat. Tapi dalam perkara yang tergolong maslahat dharuriyah, kulliyah dan
qath`iyah (pasti terjadi), bukan dalam maslahat yang tidak dharuri, tidak kulliyah dan tidak pasti
pula terjadinya. Contoh konkretnya adalah seperti jika orang-orang kafir menjadikan orang-
orang Islam sebagai tameng hidup (untuk melindungi mereka dari serangan kaum muslimin),
dalam posisi seperti ini, jika kita menahan tangan tidak menyerang mereka, maka orang-orang
kafir akan mengalahkan negeri Islam dan menumpas kaum muslimin. Dan jika kita menyerang
tameng tadi dan membunuh mereka (yakni orang-orang Islam yang dijadikan tameng hidup),
maka terhindarlah kaum muslimin dari ancaman bahaya secara pasti. Hanyasaja serangan
tersebut mengharuskan pembunuhan terhadap orang Islam yang tidak punya dosa kesalahan.
Pembunuhan ini, meski sesuai dalam kasus di atas, tapi maslahatnya bersifat dharuriyah,
kulliyah dan qath`iyah, hanyasaja tidak nampak pengakuan atau penghapusan maslahat ini dari
syari`at dalam suatu bentuk.

Jika ini sudah diketahui, maka maslahat menurut uraian penjelasan saya di muka
terbagi menjadi dua, yakni: Maslahat yang diakui oleh Syaari` dan maslahat yang dihapus oleh
Syaari`.

Adapun kategori maslahat di atas, berada di antara dua kategori maslahat ini, dan
penyertaannya kepada salah satu di antara kedua maslahat tadi tidaklah lebih utama
dibandingkan penyertaannya kepada yang lain, sementara berhujjah dengannya tanpa ada
saksi pengakuan dari syari`at adalah tertolak. Dengan demikian maslahat di atas didefinisikan
sebagai bagian dari kategori maslahat yang mu`tabar bukan yang Mulgha...selesai perkataan Al
Amadi)

Saya katakan: "Perhatikanlah dengan seksama perkataan beliau yang akhir, agar
kamu tahu bahwa dalam "Kasus tameng" yang begitu sangat penting dan sangat urgen
sekalipun masih ada selisih pendapat di dalamnya, dan ia bukanlah dalam kategori ijma`,
sebagaimana didakwakan oleh banyak orang-orang yang sok pandai di zaman ini."

Di samping itu, ulama-ulama yang mengatakan adanya maslahah mursalah, telah


mengikat keabsahannya dengan syarat-syarat yang berat, itu karena dalam maslahat ini
terdapat unsur menghalalkan yang haram.

Syarat-syarat tersebut antara lain:

 Tak ada jalan lain untuk membunuh orang-orang kafir dan memalingkan bahaya ancaman
mereka kecuali dengan membunuh tameng hidup itu lebih dahulu. Adapun jika ada cara
lain diluar itu, maka tidak halal sama sekali membunuh tameng tersebut.

 Hendaknya yakin betul bahwa membiarkan orang-orang kafir dan tidak membunuh mereka
demi menjaga keselamatan tameng, benar-benar menjadi ancaman yang nyata bagi
keselamatan kaum muslimin dan juga mengancam keselamatan orang-orang Islam yang
dijadikan tameng.

 Hendaknya kaum muslimin berlaku takwa kepada Allah di dalam memerangi mereka,
sedapat mungkin, dan mereka tidak boleh membunuh tameng hidup tadi kecuali memang
benar-benar dalam keadaan terpaksa.

Kendati demikian, banyak orang-orang yang terkena fitnah di zaman ini berhujjah
dengan kasus tameng tadi. Mereka menerapkan maslahat ini, dengan mudah dan gampang
tanpa memperdulikan syarat-syaratnya, pada persoalan-persoalan yang sangat krusial,
persoalan yang bisa mengeluarkan seseorang dari lingkaran Islam dan membuat dirinya
terlepas dari millah tauhid...seperti terlibat dalam perbuatan-perbuatan kafir dan pekerjaan-
pekerjaannya. Ambil sebagai contoh, bukan sebagai pembatasan, masalah keikut sertaan
orang-orang Islam dalam pemerintahan thaghut dan dewan-dewan legeslatip mereka. Banyak
para pendukungnya yang menjadikan kasus tameng ini sebagai hujjah, dan bertindak secara
serampangan di dalamnya...tanpa memperhitungkan syarat-syaratnya yang berat yang telah
ditentukan oleh orang-orang yang berpendapat dengannya.

)( Lihat sebagai contoh, kitab "Lid Du`aat faqath --Untuk para juru dakwah saja--" hal: 231,
tulisan Jasim Al Muhalhil Al Yasin, dan kitab "Hukmul Musyaarakah fil Wuzaaraat wal Majaalis
an Niyaabiyyah --Hukum ikut serta dalam lembaga-lembaga kementerian negara dan dewan-
dewan perwakilan rakyat--" hal: 91.

 Seakan-akan agama Allah Ta`ala tidak dapat ditegakkan kecuali dengan ikut serta dalam
pemerintahan kafir atau dewan-dewan legeslatip syirik!!

 Atau bahwa meninggalkan keikut-sertaan di dalamnya akan mengancam keselamatan


seluruh kaum muslimin, atau persangkaan-persangkaan lain yang serupa, yang mana
orang yang menghujatnya haruslah merujuk kepada pendapat-pendapat ahli ilmu di dalam
masalah tersebut!

Sekali-kali tidak... persangkaan itu semata-mata hanya mengikut hawa nafsu,


memanipulasi agama Allah dan membuat syari`at dengan istihsaan dan istishlaah akal
belaka...andaikata pemimpin kaum adalah petunjuk dan dalil, niscaya mereka memperoleh
petunjuk, selama mereka tidak menyimpang daripadanya dan tidak menaruh kepercayaan pada
selainnya,...akan tetapi persangkaan mereka hanyalah buah berpaling dari dalil-dalil dan
petunjuk-petunjuk...kepada hawa nafsu yang menyesatkan dan pendapat-pendapat yang rusak.
Maka hendaknya semua orang yang menempuh jalan tersebut takut terhadap sanksi hukuman
yang diancamkan kepada orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat Allah, seperti yang
difirmankan Allah Ta`ala dalam ayat Al Qur`an berikut:

"Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat
dari Tuhannya, lalu dia berpaling daripadanya dan melupakan apa yang telah diperbuat oleh
kedua tangannya? Sesungguhnya Kami telah menjadikan penutup-penutup pada hati-hati
mereka, sehingga mereka tidak memahaminya, dan (Kami jadikan pula sumbatan) pada
telinga-telinga mereka; sekalipun kamu menyeru mereka kepada petunjuk, maka mereka tetap
tiada akan mendapat petunjuk untuk selama-lamanya." (Qs Al Kahfi 57)

Allah Swt berfirman:

"Dan jika mereka melihat tiap ayat (Ku), mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka
melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, maka mereka tidak mengambilnya sebagai
jalan, dan jika mereka melihat jalan kesesatan, maka mereka mengambilnya sebagai jalan.
Yang demikian itu karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai
daripadanya"(Qs Al A`raaf 146)

* Sebuah peringatan tentang prinsip besar dan kaedah penting yang telah dilupakan
oleh banyak orang:
Maslahat paling besar di alam wujud, yang tak boleh diabaikan dan
ditentang dengan maslahat apapun selainnya

Anda telah tahu, bahwa maslahat-maslahat dharuriyah, yang diakui oleh Syaari` ada
enam, yakni: Agama__Jiwa dan Nasab __ Kehormatan __akal__ Harta.

Maslahat yang paling besar di antara keenam maslahat itu semua secara mutlak
adalah agama. Itu karena, jika maslahat-maslahat dharuriyah lain yang diakui Syaari` adalah
untuk melindungi kepentingan dunia manusia dan berbagai perkara penghidupan mereka,
maka agama melindungi kepentingan dunia dan akherat mereka, dan dengan maslahat ini
sajalah terletak keselamatan.

Makanya hukum had paling keras yang dibuat Allah Ta`ala untuk melindungi
kepentingan agama adalah hukuman mati, sebagaimana hal itu diterangkan dalam sebuah
hadits: "Siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia", dan perkataan-perkataan lain
yang senada, khususnya Allah telah menjadikan agama sebagai hak-Nya semata, tak
seorangpun yang berserikat dengan-Nya di dalamnya.

Adapun perkara paling besar di dalam agama adalah "Tauhid", sedang tauhid itu
adalah lawan dari "Syirik".

Karena tiadalah Allah menciptakan manusia kecuali supaya mereka merealisir tauhid
dan menjauhi apa yang menjadi lawan dan kebalikannya.

Allah Ta`ala berfirman:

"Dan tiadalah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka menyembah-Ku" (Qs Adz
Dzaariyaat 56)

Yakni: Supaya mereka menyembah-Ku saja.

Dan tiadalah Allah Swt. mengutus para Rasul atau menurunkan Kitab-kitab kecuali
hanya untuknya, sebagaimana firman Allah Ta`ala:

"Dan sungguh Kami telah mengutus seorang Rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyampaikan
seruan pada mereka): "Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah Thaghut" (Qs An Nakhl 36)

* Thaghut adalah Syetan dan apa saja yang disembah selain dari Allah Ta`ala.

Hadits-hadits yang datang dari Nabi Saw. juga saling menguatkan satu sama lain,
bahwa masuknya seseorang ke dalam surga dan selamatnya dia dari neraka ditentukan oleh
pewujudan tauhid dan penjauhan syirik. Sementara syari`at-syari`at lain selebihnya fungsinya
adalah melengkapi, menyempurnakan dan mengukuhkan prinsip yang pokok ini.
Oleh karena itu para ulama mengatakan bahwa (setiap ayat di dalam Al Qur`an
mengandung prinsip tauhid, mempersaksikannya dan mendakwahkan kepadanya,
sesungguhnya Al Qur`an itu bisa jadi berisi:

 Khabar tentang Allah, asma-asma-Nya, sifat-sifat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya.


Ini adalah tauhid `ilmi khabari -- yang bersifat pengetahuan dan pemberitaan--

 Atau seruan untuk menyembah Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya, serta
melepaskan apa saja yang disembah selain-Nya. Ini adalah tauhid iraadi thalabi --yang
bersifat kehendak dan tuntutan--

 Atau perintah dan larangan. Dan ia adalah hak-hak tauhid dan pelengkap-
pelengkapnya.

 Atau khabar tentang karomah yang diberikan Allah kepada ahli tauhid, dan apa yang
Dia perbuat terhadap mereka di dunia, dan kemuliaan yang Dia berikan pada mereka
di akherat, sebagai balasan atas pentauhidan mereka kepada-Nya.

 Atau khabar tentang ahli syirik, siksaan yang ditimpakan Allah kepada mereka di
dunia, serta hukuman dan siksa yang dijatuhkan kepada mereka di akherat. Itu adalah
khabar tentang orang yang keluar dari hukum tauhid.

Al Qur`an seluruhnya berkisar tentang tauhid, hak-haknya dan balasannya, dan


menerangkan tentang syirik, pengikutnya dan sanksi hukuman untuk mereka)

)( Dari perkataan Ibnul Qayyim. Ibnu Abul `Izzi mengatakannya pula dalam Syarah Aqidah
Thahawiyah.

Jadi maslahat paling besar di dunia, jika demikian adalah mentauhidkan Allah Ta`ala.

Maka demi terwujudnya tauhid ini, Allah mensyari`atkan jihad dan istisyhaad (mencari
syahadah). Maslahat ini harus didahulukan atas maslahat-maslahat yang lain seperi jiwa, atau
harta, atau kehormatan atau yang lain. Mengingat bahwa syari`at jihad hakekatnya adalah
mengorbankan semua maslahat dan dharuriyah, demi melindungi maslahat yang besar ini.
Allah menerangkannya, melalui firman-Nya:

"Fitnah (syirik) itu lebih besar (dosanya) daripada membunuh." (Qs Al Baqarah 217)

Sebagaimana mafsadah paling besar di dunia adalah syirik, yang menjadi lawan
tauhid. Oleh karena orang yang melakukan dosa selain syirik boleh jadi diampuni, yakni yang
mentauhidkan Allah, atau diberi syafaat oleh pemberi syafa`at yang dita`ati, atau disiksa
menurut kadar dosanya, kemudian akhir kesudahannya adalah bersama kaum muwahhidin.
Adapun orang yang mati dalam keadaan mempersekutukan Allah Ta`ala, maka Allah
telah berfirman tentang nasib orang itu:

"Sesungguhnya barangsiapa mempersekutukan Allah, maka Allah mengharamkan surga


atasnya" (Qs Al Baqarah 72)

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni doa selain
syirik, bagi siapa yang dikehendaki-Nya" (Qs An Nisaa` 48)

Rasulullah Saw. bersabda:

"Barangsiapa mati, sedangkan dia memohon kepada selain Allah sebagai tandingan, maka dia
masuk neraka"

Jika prinsip ini sudah baku, dan orang sudah mengetahuinya, maka dia tidak boleh
mendahulukan maslahat apapun yang ada di alam wujud atas maslahat tauhid.

Sebagaimana dia tidak boleh pula membesarkan sisi mafsadah syirik, yakni
mafsadahnya di alam wujud, oleh karena syari`at telah menetapkan bahwa tauhid adalah
maslahat paling besar, dan bahwasanya penyepadanan (sesuatu dengan Allah) merupakan
mafsadah yang paling besar. Jadi tolok ukur untuk menimbang maslahat adalah dengan
syari`at, bukan dengan akal atau hawa nafsu dan istihsaan, sebagaimana hal itu telah
ditetapkan dalam agama Allah.

Shahih dari Nabi Saw., yakni dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari, Muslim
serta yang lain, bahwasanya beliau pernah ditanya: "Dosa apa yang paling besar?" Beliau
menjawab: "Engkau menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Dia telah menciptakanmu"

Jika prinsip ini telah baku, maka orang wajib memahami semua nash atau perkataan
ulama muhaqqiq dan para Imam rabbani menurut kaedah ini dan di bawah ketentuannya. Di
antaranya ialah perkataan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah yang dijadikan dalil sandaran oleh
banyak orang, namun mereka tidak menghubungkannya dengan prinsip ini dan tanpa
memahaminya menurut kaedah ini. Beliau mengatakan: (Apabila saling bertentangan antara
maslahat dan mafsadah, antara kebaikan dan keburukan, ataupun keduanya berkumpul, maka
sesungguhnya wajib mengutamakan yang lebih kuat/berat daripadanya. Apabila maslahat dan
mafsadah berkumpul, dan keduanya saling bertentangan, maka sesungguhnya persoalan
tersebut ada di antara perintah dan larangan. Dan jika ia menjamin perolehan maslahat dan
penolakan mafsadah, maka harus dilihat dulu penentangnya, jika maslahat yang hilang atau
mafsadah yang didapat lebih banyak, maka ia tidak diperintahkan, bahkan dilarang. Akan
tetapi menimbang bobot maslahat dan mafsadah tersebut adalah dengan timbangan
syari`at)

)( Majmu`Fatawa XXVIII/129.

Apabila seorang pembicara atau seorang penulis mengerti dan memahami bahwa
maslahat yang paling besar di alam wujud adalah tauhid, nicaya dia tidak akan mengutamakan
yang lain atasnya, yakni maslahat-maslahat lain yang lebih ringan timbangannya dan masih
berupa klaim belaka.* Demikian pula jika dia mengerti bahwa mafsadah yang paling besar di
alam wujud adalah syirik kepada Allah, niscaya dia tidak akan meninggalkan penolakannya,
ataupun mau memikul mafsadah tersebut hanya demi mafsadah yang lebih rendah dan lebih
kecil daripadanya. Kendati sehebat apapun upaya yang dilakukan para penganut paham ini di
dalam menampilkan kemasannya. Seperti itulah gambaran keadaan para pembela
"Musyaarakah" (hal keikut sertaan) pada institusi-institusi kekafiran, pembuatan syari`at dan
hukum yang tidak berdasarkan apa yang diturunkan Allah, ketika mereka menimbang kebatilan
mereka dengan timbangan mafsadah dan maslahat, lalu mereka mengurangi timbangan,
karena kebodohan mereka atau karena kepura-pura tidak tahuan mereka. Allah
memperingatkan mereka, dengan firman-Nya:

1. Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang.

2. (yaitu) orang-orang yang apabila meneriman takaran dari orang lain, mereka minta
dipenuhi,

3. dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.

4. Tidakkah orang-orang itu mengira, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan?

5. pada suatu hari yang besar,

6. (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam. (Qs Al Muthaffifiin)

* Lihat hal: 88 dari kitab "Hukmul Musyaarakah fil Wuzaarat wal Parlemenaat at Tasyrii`iyyah"
tulisan `Umar Al Asyqar. Di dalamnya terdapat istidlaal -penarikan kesimpulan- dari perkataan
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam bab "Mengambil yang terbesar di antara dua maslahat
yang ada dengan meninggalkan yang lebih rendah daripadanya", namun ia melupakan
maslahat paling besar di alam wujud, yakni pewujudan tauhid dan pengkafiran thaghut.
Contoh keserampangan yang dilakukan sebagian da`i sekarang dalam bab
maslahat.
Syeikh `Abdurrahman `Abdul Khaliq menulis sebuah kitab yang ia beri judul "Fushuul
min as Siyaasah asy Syar`iyyah fid-dakwah ilallaah". Sebagian besar isi kitab tersebut
mengulas tentang maslahat dakwah. Itulah dasar pegangan, yang membuat sebagian besar
para juru dakwah merobohkan prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah yang mana ia dalam agama
kita sangat kuat sekokoh gunung. Dia menyusun di dalamnya satu pasal pembahasan dengan
topik [ 11. Apakah maslahat syar`i --terkadang-- bertentangan dengan nash syar`i?!!] Dia
memulai pembicaraan di dalamnya (hal: 128) dengan jawaban "Ya" untuk menjawab
pertanyaan topik bahasan tersebut, beristidlal dengan perkara-perkara yang diperbolehkan oleh
dharurat dan rukhshah bagi orang yang sakit, musafir, orang pincang dan orang buta; serta
membantah orang yang boleh jadi menganggap keji topik bahasan seperti itu, dengan
mencapnya sebagai orang "yang bodoh dan dangkal ilmunya". Dia lupa atau pura-pura lupa
bahwa apa yang diperbolehkan oleh dharurat-dharurat dan rukhsat tadi, sebenarnya tidak
bertentangan dengan nash-nash syar`i. Tapi ia adalah nash-nash syar`i lain yang mengikat
nash-nash yang umum, atau mengkhususkannya dalam kondisi-kondisi tertentu. Semuanya
dari sisi Allah, selama keadaannya demikian; dan kamu tidak akan mendapati pertentangan
atapun perselisihan antara nash-nash tersebut. Allah Ta`ala berfirman:

"Kalau sekiranya Al Qur`an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka menemukan pertentangan
yang banyak di dalamnya." (Qs An Nisaa` 82)

Jadi tak ada pertentangan sama sekali antara maslahat-maslahat syar`i yang telah
ditentukan Allah Ta`ala dengan seluruh perkara-perkara syar`i yang lain. Karena semuanya
berasal dari sisi Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Pertentangan, perselisihan
dan kontradiksi itu bisa terjadi apabila maslahat-maslahat tadi datang dari sisi selain Allah, dan
dari anggapan-anggapan yang Allah tidak menurunkan hujjah atasnya, sebagaimana ia
mencerminkan peri keadaan banyak orang yang berlagak pandai di zaman kita sekarang, yang
membuat istihsaan-istihsaan dan istishlaah-istishlaah secara serampangan. Maka dari itu, lebih
pas dan lebih layak mereka menamai pasal pembahasan tersebut dengan judul "Apakah
terkadang terjadi pertentangan antara maslahat syakhshiyah, syahwaniyah dan
ma`isyiyah dengan nash syar`i?" Maka dengan demikian tak mengapa atasnya
menyampaikan jawaban "ya" atas pertanyaan tersebut. Sebab inilah realitas kebanyakan da`i
sekarang ini. Kami mohon keselamatan dan kekuatan kepada Allah.
Singkat kata, penyimpangan yang timbul akibat tergelincir dalam masalah istishlaah
dan istihsaan tanpa kaedah-kaedah atau dasar-dasar syar`i ini tidak berhenti pada suatu batas,
maka dari itu Syeikh `Abdurrahman `Abdul Khaliq mengatakan dalam buku tadi, langsung
sesudah bagian muqaddimah, yakni pada hal: 129, bahwa Nabi Saw. tidak menerapkan
sebagian hukum-hukum Allah, dan tidak menghukum mati kaum munafikin yang telah
menunjukkan kekafiran mereka atau melakukan pelanggaran-pelanggaran syar`i yang berhak
mendapatkan sanksi hukuman, seperti `Abdullah bin Ubay, dan orang-orang yang memperolok-
olok para Qari`, yang dalam perkara mereka turun firman Allah Ta`ala: [ Tidak usah kalian
minta maaf, karena kalian kafir setelah kalian beriman] karena beliau mempertimbangkan
maslahat dan mendahulukannya atas hukum-hukum had yang seharusnya berlaku pada diri
para pelakunya.

Dia mengatakan: (Ini adalah meninggalkan penerapan nash, yakni sabda Nabi Saw
"Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia", karena mengambil maslahat
syar`iyah, atau mengambil yang lebih pantas, karena khawatir akan menimbulkan mafsadah
syar`iyah, yakni gunjingan orang-orang yang menuduh bahwa Muhammad membunuh para
sahabatnya sendiri. Dan jika itu dilakukan, maka ia akan membuat orang-orang lari dari agama
Islam.

(Demikian pula, Rasulullah Saw. pernah meninggalkan penerapan had qadzaf yang
telah baku di dalam Al Qur`an atas diri `Abdullah bin Ubay bin Salul, biang penyebar fitnah, dan
gembong munafikin. Itu karena kehati-hatian beliau, jangan sampai hal itu memancing
kemurtadan sebagian kaum, memecah belah kesatuan jama`ah Islam, dan memicu protes
penduduk Madinah terhadap Rasul)

Perkataan ini, pada hakekatnya, adalah perkataan yang sangat sembrono dan
lancang. Karena ia bisa membawa kepada tuduhan bahwa Nabi Saw tidak memberlakukan
sebagian hukum-hukum had, dan tidak menerapkan sebagian nash-nash syar`i.

Dan selanjutnya setiap orang yang mengikuti hawa nafsunya bisa mengabaikan
sesukanya sebagian hukum-hukum had, atau meninggalkan seenaknya nash-nash syar`i
dengan dalih maslahat dakwah. Ini pada hakekatnya adalah syubhat yang masyhur dari
golongan Murji`ah zaman ini. Mereka menyebar-luaskan syubhat tadi, terkadang untuk
menjustifikasi istishlaah-istishlaah dan istihsaan-istihsaan mereka yang bertentangan dengan
nash-nash syar`i, kemudian membolehkan (ummat) menempuh jalannya orang-orang yang
berbuat dosa, serta menyimpang dari manhaj Nabawi dan jalannya orang-orang beriman,
dengan hujjah maslahat dakwah, atau terkadang untuk menutup-nutupi kesesatan para
penguasa thaghut yang mengabaikan hukum-hukum Allah Ta`ala serta para pembuat hukum
yang menjadi tandingan di sisi Allah.

Syubhat itu, apapun halnya, adalah syubhat lama yang mereka ambil dari guru-guru
mereka sebelumnya. Syubhat yang mereka munculkan dan syubhat-syubhat lain yang
semisalnya, telah dibantah oleh para ulama Islam dari kalangan Imam-Imam yang mendalam
ilmunya, seperti Imam Ibnu Hazm dan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah --semoga Allah merahmati
mereka berdua--.

Ibnu Hazm telah menulis satu masalah di dalam kitab Mihlaat juz: II hal: 201, dengan
no: 2199, berisi bantahan terhadap orang-orang yang mendakwakan bahwa Rasulullah Saw
telah mengerti dan mengetahui bahwa orang-orang munafik itu telah murtad dan kafir secara
terang-terangan setelah melahirkan keislaman mereka, kendati demikian beliau tidak
membunuh mereka dan tidak pula menerapkan hukum riddah atas mereka, atau menjatuhkan
hukum-hukum had lain yang pantas mereka terima.

Sesudah Ibnu Hazm menerangkan bahwa orang-orang munafik, yang sebagian


penentangan mereka dijadikan hujjah dalam syubhat ini, ada dua golongan:

- Segolongan yang Rasulullah Saw sama sekali tidak mengetahui mereka.

- Dan segolongan lain, yang terbongkar identitas mereka sehingga beliau mengetahui mereka,
lalu mereka berlindung dengan taubat.

Kemudian setelah itu beliau menyebutkan dalil-dalil yang dijadikan hujjah oleh pihak
yang memunculkan syubhat, ayat demi ayat, hadits demi hadits, dan menyampaikan bantahan
terhadap semua istidlal-istidlal mereka dengan bantahan yang sangat ilmiah, bermutu dan layak
untuk dibaca dan direnungkan, untuk mengikis syubhat-syubhat yang diadopsi oleh golongan
Murji'ah zaman ini dari guru-guru mereka terdahulu dan mereka sebar luaskan.

"Apakah mereka saling berpesan dengan syubhat-syubhat itu, sebenarnya mereka adalah
kaum yang melampaui batas"

Dan di antaranya ialah, beliau menerangkan di hal: 207, bahwa orang-orang munafik
yang memperolok-olok para Qari` dalam ghazwah Tabuk, memang benar-benar telah kafir
sesudah keimanan mereka. Akan tetapi tidak ditegakkannya hukum had atas diri mereka oleh
Rasulullah Saw tidaklah --seperti yang mereka dakwakan--, yakni menghentikan pemberlakuan
hukum had atau meninggalkan pelaksanaannya dengan hujjah maslahat maz`umah (yang
masih berupa sangkaan belaka), tapi karena mereka semua berlindung dengan taubat, serta
menampakkan penyesalan mereka dan mengakui dosa-dosa mereka --sebagaimana Ahli
Hadits meriwayatkan hal itu dalam asbabun nuzul ayat --, dan sebagaimana Allah Ta`ala sendiri
menuturkannya, bahwa sebagian dari mereka diterima taubatnya, karena Allah mengetahui
kebenaran taubat di dalam batin mereka, dan sebagian yang lain tidak diberi ampunan, karena
Allah tahu akan kedustaan taubat di dalam batin mereka. Akan tetapi pada zhahirnya, mereka
semua menampakkan taubat mereka sesuai dengan nash ayat:

"Jika Kami mengampuni segolongan dari kalian (lantaran mereka bertaubat), maka Kami
mengadzab segolongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang berbuat
dosa" (Qs At Taubah 66)

Maka taubat secara lahir tersebut melindungi keselamatan nyawa mereka di dunia.

Ibnu Hazm menuturkan pula di hal: 218, bahwa setelah `Abdullah bin Ubay kafir
bersama para pendukungnya, maka mereka menampakkan taubat dan keislaman mereka
kembali, lalu Rasulullah Saw. menerima taubat mereka namun tidak mengetahui isi batin
mereka, apakah tetap kafir seperti keadaan mereka semula ataukah memang benar-benar telah
bertaubat seperti yang mereka nampakkan? Akan tetapi Allah Maha Mengetahui apa yang ada
di dalam hati mereka, dan tak ada kesangsian lagi Dia akan membalas kebohongan mereka
pada hari kiamat. Adapun di dunia, maka mereka diperlakukan seperti keadaan zhahir mereka.

Dan demikian pula pandangan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau menyampaikan
dalam kitabnya "Ash Shaarim Al Masluul", perkataan yang sangat bagus sekaitan dengan topik
pembicaraan di atas. Perkataan beliau mirip dengan perkataan Ibnu Hazm. Di halaman 346
dari bukunya, beliau mengutip ayat (Mereka bersumpah kepada kalian dengan menyebut
nama Allah, untuk mencari keridhaan kalian... - Qs At Taubah 62-) dan firman Allah Ta`ala:
(Mereka akan bersumpah kepada kalian dengan menyebut nama Allah, apabila kalian
kembali kepada mereka, supaya kalian berpaling dari mereka... -Qs At Taubah 92-) dan
firman Allah Ta`ala: (Mereka bersumpah dengan menyebut nama Allah, bahwa mereka
tidak mengatakan -sesuatu yang menyakitimu- ...Qs At Taubah 74) dan firman Allah Ta`ala:
(Mereka menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai perisai... -Qs Al Mujaadilah 16) dan
ayat-ayat lain yang serupa dengannya. Kemudian beliau mengatakan bahwa ayat-ayat tersebut
semuanya menunjukkan bahwa orang-orang munafik dahulu selalu meyakinkan orang-orang
beriman dengan sumpah-sumpah palsu, dan memungkiri kekafiran atau hal lain yang mereka
lakukan. Dan mereka bersumpah bahwa mereka tidak mengucapkan perkataan kufur. Beliau
mengatakan seperti itu pula, pada halaman 355, bahwa bukti yang ada belum bisa
membuktikan perkataan mereka, boleh jadi perkataan mereka hanya didengar oleh seorang
muslim atau seorang wanita atau seorang anak-anak, lalu ia menyampaikan perkataan tersebut
kepada Nabi Saw. Lalu mereka bersumpah bahwa mereka tidak pernah mengatakannya.
Sementara tidak ada saksi lain yang bisa melengkapi jumlah kesaksian tersebut. Dan kasus
seperti ini terjadi pula pada had qadzaf yang telah disebutkan di muka, dalam kasus berita
bohong. Tidak bisa dikatakan bahwa Al Qur`an menjadi saksi atas perbuatan mereka dalam
kasus tersebut, oleh karena Al Qur`an tidak menentukan nama-nama, dan Nabi Saw. sendiri
tidak memperlakukan orang-orang munafik tadi dengan hukum-hukum dunia, berdasar apa
yang beliau ketahui tentang mereka secara ghaib, yakni lewat jalan wahyu, tapi berdasarkan
apa yang mereka nampakkan atau bukti yang membuktikan kesalahan mereka.

Dan di antara sebagian jawabannya pula, terdapat sesuatu (kaedah) yang


menetapkan bahwa apabila berkumpul dua hak dalam satu tindak kejahatan, yakni hak Allah
dan hak Adami, maka dalam hukum dunia hak Adami dimenangkan. Jadi Nabi Saw. dahulu
berhak mema`afkan mereka. Dan apa yang beliau lakukan itu adalah seperti hukum qishash
dalam pembunuhan, dan di antaranya pula adalah tuduhan bohong yang dihembas-hembuskan
oleh orang-orang munafik. Lihat hal: 296 dan hal: 300. Dan beliau berkata pada hal 234:

(Sesungguhnya para Nabi juga punya hak Adami. Oleh karena itu Allah memberikan hak
kepada mereka untuk mema`afkan kasus (kejahatan) yang semacam ini, dan memberi
kelapangan pada mereka untuk melakukannya, yakni memenangkan hak Adami atas hak Allah,
mengingat di dalam kasus tersebut terdapat hak Adami. Sebagaimana Allah memberikan
kelapangan pada orang yang berhak atas qishash dan had qadzaf untuk mema`afkan si
pembunuh dan si penuduh bohong, maka mereka, para Nabi, lebih layak (memperoleh hak
tadi), mengingat bahwa dalam pembolehan maaf para Nabi dan orang-orang yang setingkat
kedudukannya dengan mereka terdapat maslahat besar yang berhubungan dengan Nabi Saw.,
dengan ummat dan agama.) Beliau mengatakan pula pada hal 235: (Berbeda halnya dengan
perkara yang tak ada hak baginya untuk memberikan ma`af, seperti had bagi orang yang
berzina, had bagi orang yang mencuri dan had bagi orang yang menzhalimi orang lain; maka
sesungguhnya dia wajib menegakkannya)

Jika demikian, masalah tersebut bukan sekedar istishlaah aqli syahwani yang mana
para juru dakwah boleh menetapkannya menurut hawa nafsu mereka saja, tapi semuanya
masuk dalam kategori maslahat yang mu`tabar secara syar`i, yang ditetapkan oleh nash-nash
syar`i. Apabila maslahat itu masuk dalam kategori ini, maka ia mu`tabar (diakui) dan maqbul
(diterima); adapun jika ia tidak masuk kategori ini, maka maslahat tersebut mathruh
(dicampakkan) dan mardud (ditolak).
Inilah beberapa jawaban Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengenai persoalan tadi. Di
samping itu, beliau menjawab pula banyak kasus kejadian yang timbul karena ulah orang-orang
munafik, di beberapa tempat dalam kitabnya yang telah disebut di muka, dengan banyak
jawaban lain di luar ini. Sebagian adalah pendapatnya sendiri dan sebagian yang lain adalah
jawaban yang ia nukil dari ulama-ulama lain. Silahkan anda merujuknya. Dan perhatikan
dengan seksama perkataan-perkataan mereka yang didukung oleh dalil-dalil, agar anda tahu
perbedaan antara perkataan-perkataan ahli istidlal dengan perkataan-perkataan ahli istishlaah
dan ahli istihsaan. Ahli istidlal yang berhujjah dengan Al Kitab dan As Sunnah mengetahui
kedudukan Nabi Saw., menghormati dan memuliakannya; serta membelanya dan membela
sunnahnya...adapun ahli istishlaah, maka istishlaah-istishlaah mereka, menghinakan mereka
dan menjerumuskan mereka pada perbuatan yang memburukkan Nabi Saw., dan menisbatkan
kepadanya ta`thiil syari`at (tidak memberlakukan syari`at), baik mereka menyadari ataupun
tidak menyadarinya.

Karena itu, Ibnu Hazm mengatakan pada kitab yang telah ditunjukkan tadi, yakni pada
juz: II hal: 218: (Barangsiapa yang berpendapat bahwa Rasulullah Saw. tidak membunuh orang
yang wajib dibunuh di antara sahabat-sahabatnya, maka sungguh dia telah kafir, halal darah
dan hartanya, karena dia telah menisbatkan padanya kebatilan dan perbuatan yang menyelisihi
perintah Allah Ta`ala. Demi Allah, Rasulullah Saw. telah menghukum mati para sahabatnya
yang mulia yang telah dipastikan iman dan surga bagi mereka, sebab mereka wajib dihukum
mati, seperti Ma`iz, Al Ghamidiyah dan Al Juhniyah --semoga Allah meridhai mereka semua--.
Maka termasuk kebatilan yang pasti, kesesatan yang murni, kefasikan yang tulen, bahkan
termasuk kekafiran yang nyata, jika seorang muslim meyakini atau beranggapan bahwa
Rasulullah Saw. membunuh dua orang muslim sahabatnya yang mulia, calon penghuni surga,
dengan cara pembunuhan yang paling buruk, yakni dengan lemparan batu...kemudian beliau
tidak memberlakukan hak yang wajib dilaksanakan, yakni membunuh orang murtad pada diri
seorang kafir yang tahu bahwa dirinya telah murtad. Kemudian beliau tidak merasa puas
dengan itu, sehingga beliau menshalatinya dan beristighfar untuknya, padahal beliau tahu
bahwa dia adalah orang kafir. Padahal Allah Ta`ala telah melarangnya untuk memintakan
ampunan kepada orang-orang kafir.

Kami bersaksi dengan kesaksian Allah Ta`ala bahwa siapa yang meyakini hal seperti
ini dan mempercayainya, maka sesungguhnya dia kafir, musyrik lagi murtad, halal darah dan
hartanya. Kami berlepas diri kepada Allah Ta`ala darinya dan dari perwaliannya.)
Selesai...kutipan secara ringkas.
Perkataan-perkataan dan sikap-sikap yang mengundang
kekaguman dari para ulama, para juru dakwah, para Imam
penuntun ummat, dan para raja yang shaleh dalam soal
maslahat yang telanjang dari dalil.

1__ Khalifah Ar Rasyid (`Umar bin `Abdul `Aziz rhm 101 H)

Yahya Al Ghassani menuturkan: "Ketika `Umar bin `Abdul `Aziz mengangkatku


sebagai pejabat di Mosul, maka akupun berangkat ke sana. Lalu kutemui kenyataan bahwa
negeri tersebut adalah negeri yang paling banyak pencuri dan pentolannya? (40). Lalu aku
mengirim surat kepadanya memberitahukan keadaan negeri tersebut, dan menanyakan
padanya : "Apakah aku boleh menghukum orang dengan persangkaan, dan mendera mereka
atas dasar tuduhan?* Ataukah aku harus menghukum mereka dengan bukti dan menurut
ketentuan as sunnah yang sudah berjalan?"

* Perhatikanlah: Ini adalah maslahat umum dan sangat penting!! Keadaan negeri seperti yang
telah disebutkan. Kendati demikian, Khalifah Ar Rasyid tidak menganggap baik sesuatu yang
menyelisihi sunnah dan kebenaran.

Lalu beliau membalas suratku dan memerintah supaya aku menghukum orang dengan
bukti dan menurut ketentuan as sunnah yang sudah berjalan. Dan mengatakan jika kebenaran
tidak bisa memperbaiki mereka, maka Allah tidak akan memperbaiki keadaan mereka.

Yahya menuturkan: "Lalu kulaksanakan pesannya. Belum sampai aku keluar dari
Mosul, maka Mosul telah menjadi negeri yang paling baik dan paling sedikit pencuri dan
pentolannya.

)( Dari Tarikh Al Khulafaa`, oleh As Suyuthi hal 237. Ia mengatakan sesudah itu, yakni di hal
241: "Saya sandarkan semua yang saya sampaikan pada Abu Na`im dalam kitab Al Hilyah".
Dan lihat riwayat ini dalam kitab Asy Syifaa, oleh Qadhi `Iyadh II/15.

2__ Abu `Abdullah Sufyan bin Sa`id bin Masruq Ats Tsuri (161 H)

Dia adalah Syeikhul Islam, Imamnya para hafizh Al Qur`an, penghulunya para ulama
`amilin di zamannya, dan Amirul Mu'minin dalam bidang hadits menurut kesaksian para pakar.

Imam Ahmad berkata: Ibnu `Uyainah mengatakan padaku: (Kamu tak akan pernah melihat
dengan kedua matamu orang seperti Sufyan Ats Tsuri hingga kamu mati)
 Al Murawwadzi meriwayatkan perkataan Imam Ahmad: (Tahukah kamu siapakah Imam
itu? Imam adalah Sufyan Ats Tsuri, tak ada seorangpun yang mendahuluinya di dalam
hatiku.)

 Yahya bin Ma`in mengatakan tentangnya: (Tiadalah seseorang menyelisihi Sufyan dalam
suatu perkara, kecuali pendapat yang kuat adalah pendapat Sufyan)

 Yahya bin Yaman berkata: (Aku tiada melihat orang seperti Sufyan. Dunia mendatanginya,
namun dia memalingkan wajahnya darinya)

 Qubaishah berkata: (Tiadalah aku duduk bersama Sufyan dalam suatu majlis, melainkan
pasti aku ingat mati. Dan tak pernah kulihat orang yang paling mengingat mati daripadanya)

Beliau, Sufyan Ats Tsuri rhm, adalah puncak dalam kezuhudan, rasa takut kepada
Allah, kewara`an, hafalan Al Qur`an, fiqh dan pengetahuan tentang atsar. Kendati beliau tidak
pernah memandang (bolehnya) menentang para umaro` di zamannya, oleh karena mereka
tidak menampakkan kekafiran yang terang-terangan; namun demikian beliau tidak pernah takut
celaan orang yang mencela dalam mengecam (kemaksiatan dan kezhaliman) mereka. Beliau
tidak pernah mendatangi pintu-pintu istana mereka. Apabila kebetulan bertemu dengan mereka,
maka beliau menampakkan rasa ketidak senangannya terhadap perbuatan mereka, serta
mencela kezhaliman dan kemaksiatan yang mereka nampakkan. Dan tentang gejolak
semangatnya dalam beramar ma`ruf dan nahi munkar, maka ada diriwayatkan daripadanya,
bahwa dia pernah mengatakan: (Sesungguhnya aku benar-benar melihat sesuatu yang wajib
atasku untuk berbicara di dalamnya, namun aku tidak melakukannya, maka -ini membuat- aku
kencing darah)

Salah seorang sahabatnya pernah mengatakan: "Aku tiada melihat Amir dan orang
kaya yang layak direndahkan selain dalam majlis Sufyan"

Sufyan pernah berkata: "Sesungguhnya para raja itu telah meninggalkan akherat bagi
kalian, maka tinggalkanlah dunia untuk mereka"

Lantaran sering mengecam, tidak mau berdamai atau tidak mau mendatangi para
umaro`, dan selalu menghindar bila diangkat sebagai qadhi, maka beliau dicari untuk
diserahkan kepada Sultan. Sultan memberikan tembusan perintah kepada para gubernur untuk
mencarinya. Maka Sufyan keluar ke Mekkah dan bersembunyi di sana. Beliau dicari untuk
disalib. Beliau tidak menampakkan diri kecuali kepada ahli ilmu dan orang yang ia tidak
menaruh rasa khawatir padanya. Sultan menyebarkan maklumat "Siapa yang dapat membawa
Sufyan, maka dia akan mendapatkan hadiah sekian dan sekian". Ada yang mengatakan bahwa
beliau lari ke Yaman. Tatkala beliau mengkhawatirkan upaya pencarian dirinya di Mekkah yang
semakin gencar dan intensif, maka beliau pindah ke Bashrah dan tinggal di dekat rumah Yahya
bin Sa`id. Kemudian Yahya bin Sa`id memindahkan dia ke samping rumahnya, dan membuka
sebuah pintu yang menghubungkan antara dia dengannya. Para ahli hadits penduduk Bashrah
mendatangi tempatnya. Mereka memberi salam kepadanya dan mendengarkan pengajarannya.
Kemudian ketika tempatnya telah diketahui oleh banyak orang dan telah masyhur, beliau
pindah ke rumah Haitsam bin Manshur, sampai akhirnya beliau meninggal di sana. Jenazahnya
dikeluarkan untuk diperlihatkan kepada penduduk Bashrah. Banyak sekali massa yang hadir
untuk mengantarkan pemakaman jenazahnya. `Abdurrahman bin `Abdul Malik bin Abjar Al Kufi
menshalati jenazahnya atas wasiat Sufyan karena keshalehannya. Jenazah Sufyan Ats Tsuri
dimakamkan di sana tahun 161 H, semoga Allah Ta`ala merahmatinya.

)( Lihat kitab Siyar A`laam An Nubalaa' juz: VII hal: 229, dan kitab Tadzkiratul Haafizh juz: 1 hal:
203, dan kitab Hilyatul Auliyaa' juz: VI hal: 6, dan kitab yang lainnya.

* Dan di antara perkataan Sufyan Ats Tsuri rhm di dalam masalah ini:

Adz Dzahabi berkata: Aku mendengar Al `Anbari berkata: Aku mendengar Al Busyanji
berkata: Aku mendengar Abu Shaleh Al Farra' berkata: Aku mendengar Yusuf bin Asbath
berkata: Sufyan pernah berkata padaku:

(Apabila kamu melihat seorang qari` berlindung pada Sulthan, maka ketahuilah bahwa dia
adalah seorang pencuri. Jika kamu melihat dia berlindung pada orang-orang kaya, maka
ketahuilah bahwa dia adalah seorang munafik, maka janganlah kamu terpedaya jika ada yang
mengatakan padamu: "Kamu bisa menolak ketidak adilan dan membela orang yang teraniaya",
karena sesungguhnya itu adalah tipu daya Iblis, yang dijadikan anak tangga oleh para Qari` -
untuk mencari dunia- ) Siyar A`laam An Nubalaa' XIII/586.

Sufyan bin Ats Tsuri pernah mengirim surat kepada `Ubbad bin `Ubbad...dan isi surat
tersebut berisi nasehat:

(Janganlah kamu mendekati umaro`, atau mempergauli mereka dalam sesuatu perkara. Dan
jangan sampai kamu terpedaya bila ada yang mengatakan padamu "Supaya kamu bisa
memberi bantuan pertolongan dan membela orang yang teraniaya atau menolak ketidak adilan"
karena sesungguhnya itu adalah tipu daya Iblis, yang dijadikan anak tangga oleh para Qari`
yang fajir-untuk mencari dunia-...) Al Hilyah, oleh Abu Na`im VI/376-377.

3__ Raja Mahmud Sabaktakin (421 H)


Dia adalah penguasa negeri Ghaznah. Menjadi raja menggantikan ayahandanya. Dia
memerintah rakyatnya dengan adil. Melakukan peperangan untuk membela Islam dan
melakukan banyak penakhlukan. Pengaruhnya semakin besar, dan kerajaannya bertanbah
luas. Dia berkhotbah di seluruh wilayah kekuasaannya untuk Khalifah Al Qadir Billah. Pernah
suatu saat utusan kaum `Ubaidiyah datang kepadanya dari Mesir membawa buku-buku dan
berbagai macam hadiah agar dia condong dan berpihak kepada mereka. Tapi Raja Mahmud
membakar buku-buku dan hadiah-hadiah mereka. Dia menakhlukkan negeri-negeri kafir di India
dalam penakhlukan besar-besaran, yang tak dapat disamai oleh penguasa-penguasa lain. Dia
menghancurkan banyak patung-patung dan berhala-berhala mereka. Dan di antara berhala
yang dia hancurkan, ada berhala yang bernama Somanat. Berhala ini adalah berhala paling
besar di negeri India, yang didatangi oleh banyak orang dari segenap penjuru dan
dikeramatkan, sebagaimana orang-orang datang ke Ka`bah, Baitul Haram. Mereka
mempersembahkan banyak sesajian dan harta benda kepada berhala ini, yang tak terlukiskan
dan tak terhitung jumlahnya. Harta wakaf yang ada padanya berasal dari sepuluh ribu desa dan
kota yang masyhur. Gudang-gudang simpanannya penuh berisi harta benda. Di kuil berhala itu,
ada seribu orang yang melayaninya, ada tiga ratus orang yang tugasnya mencukur rambut
kepala para peziarah, ada tiga ratus orang yang bernyanyi dan menari di pintu masuknya,
diiringi tabuhan gendang dan tiupan terompet. Ada ribuan orang yang tinggal di dekat kuil
berhala ini, dan mereka makan dari harta wakafnya. Dan orang-orang India yang tinggal jauh,
senantiasa berangan-angan sekiranya mereka bisa sampai ke kuil berhala ini untuk melakukan
pemujaan. Tapi mereka terhalang oleh panjangnya padang-padang pasir dan banyaknya
rintangan serta mara bahaya.

Tatkala mendengar berita tentang berhala itu dan para pemujanya, tentang banyaknya
orang-orang India yang datang ke sana, padang-padang pasirnya yang sangat berbahaya, dan
tanahnya yang sangat sulit dilalui oleh pasukannya dan terlampau berat bagi mereka untuk
menerjang mara bahayanya, maka Sulthan Mahmud melakukan istikharah. Adalah orang-orang
India, ketika Sultan Mahmud melakukan satu penakhlukan di sebagian negeri India dan
menghancurkan berhala-berhala mereka, maka mereka berkata: "Sesungguhnya berhala-
berhala itu telah dimurkai oleh Sonamat, sekiranya dia ridha pada mereka, niscaya akan binasa
orang yang bermaksud jahat pada mereka" Mendengar perkataan ini, maka semakin kuatlah
tekad Sulthan Mahmud untuk menghancurkan berhala Sonamat. Lalu dia menyiapkan
pasukannya untuk memerangi berhala ini. Akhirnya dia berangkat membawa 30.000 orang
prajurit pilihannya, di luar pasukan sukarelawan, untuk melakukan penyerangan ke negeri
tersebut. Dia berangkat dari Ghaznah pada tanggal 10 Sya`ban tahun 418 H dengan satu
keyakinan bahwa apabila orang-orang India itu kehilangan berhala mereka dan melihat bahwa
apa yang mereka dakwakan tentangnya selama ini tidak terbukti, maka mereka akan masuk
Islam. Ketika dia dan pasukannya sampai ke negeri di mana berhala tersebut berada, maka
mereka turun di wilayah kediaman para pemujanya. Ternyata dia berada di suatu tempat yang
luasnya seukuran dengan kota besar. Orang-orang India penyembah Sonamat menghadapi
serangan yang amat dahsyat dari pasukan Islam. Serangan yang belum pernah mereka
saksikan sepertinya. Mereka melakukan perlawanan dengan sengit di pintu gerbang kuil.
Kelompok demi kelompok pejuang mereka masuk ke tempat berhala Sonamat, lalu mereka
memeluknya dan menangis, kemudian keluar dan berperang lagi hingga tewas terbunuh. Kaum
muslimin berhasil membunuh 50. 000 orang di antara mereka. Tak lama sesudah mereka
berhasil menguasai berhala tersebut, mereka menumbangkannya dan membakarnya. Adalah
orang-orang India yang telah dikalahkan tadi menawarkan harta kekayaan yang cukup besar
kepada Sulthan Mahmud dan minta agar berhala itu dibiarkan untuk mereka. Namun Sulthan
Mahmud tidak segera memberi jawaban dan berkata pada mereka: "Beri waktu saya, sehingga
saya beristikharah dahulu kepada Allah `Azza wa Jalla." Esoknya, Sultan Mahmud berkata
pada dirinya sendiri: "Sesungguhnya aku telah memikirkan tawaran mereka. Lalu terpikir
olehku, andai saja pada hari kiamat nanti aku dipanggil dengan kata-kata "Di mana Mahmud
yang menghancurkan berhala?", maka itu lebih aku sukai daripada aku dipanggil "Orang yang
meninggalkan berhala, karena ingin memperoleh dunia." Akhirnya dia membulatkan tekadnya
dan segera menghancurkan berhala tadi. tanpa disangka, dia menemukan di dalamnya
timbunan mutiara, permata, emas dan intan berlian yang tak ternilai berharga, jauh berlipat
ganda banyaknya dari apa yang telah mereka tawarkan kepadanya sebelumnya. Kita memohon
kepada Allah Ta`ala, mudah-mudahan dia memperoleh balasan pahala yang berlimpah pada
hari kiamat. (Al Bidaayah wa An Nihaayah, oleh Ibnu Katsir juz: XII hal: 22). Dan lihat
kelengkapan kisahnya dalam Tarikh Ibnu Katsir dalam peristiwa kejadian tahun 416 H.

Saya katakan di sini: "Sekiranya orang-orang yang menentang maslahat dakwah di


zaman ini bersikap seperti itu, tentu mereka akan mendebat, beristihsaan dan beristishlaah
dengan pemikiran dan akal mereka, bahwa mengambil harta yang ditawarkan adalah lebih
tepat dan lebih bermanfaat bagi kaum muslimin dan berbagai kepentingan mereka daripada
menghancurkan berhala tadi, lebih khusus lagi karena orang-orang India tadi telah
dikalahkan...dan selanjutnya dan selanjutnya...dan oleh karena, akan tetapi...mudah-mudahan
dan semoga...dan istihsaan-istihsaan, istishlaah-istishlaah syahwani, serta alasan-alasan lain
yang memutar balik kenyataan.
"Dan barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka kamu sekali-kali tidak akan
mampu menolak sesuatupun (yang datang) daripada Allah." (Qs Al Maa'idah 41)

4__ Nuruddin Mahmud bin Zanki (569 H) penguasa negeri Syam.

Syeikh `Umar bin Al Mulla menulis surat kepadanya dari negeri Mosul. Sebelumnya
Nuruddin Zanki memerintahkan para gubernur dan pada umaro` di negeri itu agar tidak
memutuskan perkara yang penting kecuali memberitahu lebih dahulu kepada Syeikh Mulla, dan
hendaknya mereka menjalankan apa yang Syeikh Mulla perintahkan pada mereka. Syeikh
Mulla termasuk orang shaleh dan zuhud.

Kendatipun demikian, Syeikh Mulla mengirim surat kepada Nuruddin dan mengatakan
di dalamnya: (Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kerusakan telah banyak, dan itu butuh
kebijakan. Dan yang seperti ini tidak bisa diatasi kecuali dengan hukuman mati, salib dan
cambuk. Jika seorang manusia dihukum di atas daratan, maka siapa yang akan datang
memberikan kesaksian untuknya?) Raja Nuruddin memberikan balasan kepada Syeikh `Umar
Mulla. Surat balasannya ia tulis di balik lembar suratnya:

(Sesungguhnya Allah telah menciptakan makhluk dan telah membuat syari`at untuk mereka,
dan Dia lebih tahu cara apa yang bisa memperbaiki mereka. Jika Dia mengetahui bahwa
syari`at memerlukan tambahan maslahat, niscaya Dia akan mensyari`atkannya kepada kita.
Maka kita tak perlu menambah apa yang telah disyari`atkan Allah Ta`ala. Maka barangsiapa
menambah, berarti dia menganggap bahwa syari`at itu kurang, dan dialah yang
menyempurnakan kekurangan tersebut dengan tambahannya. Ini benar-benar satu
kelancangan terhadap Allah dan syari`at-Nya. Dan akal-akal yang gelap/sesat itu tidak akan
mendapat petunjuk. Semoga Allah Swt. menunjukkan kami dan kamu ke jalan yang lurus.)

Ketika surat itu sampai ke tangan Syeikh `Umar Mulla, segera dia mengumpulkan
orang-orang di Mosul. Lalu dia membacakan isi surat tersebut kepada mereka, selanjutnya dia
berkata: "Perhatikanlah dengan seksama, surat yang dikirim si zuhud kepada sang Raja, dan
balasan sang Raja kepada si zuhud."

)( Al Bidaayah wan Nihaayah juz: XII hal: 282-283.

5__ Al Hafizh Abul Faraj `Abdurrahman bin Al Jauzi.

)( Perhatian: Adz Dzahabi berkata dalam kitab Siyar A`laam an Nubalaa' juz: XXI hal: 368:
"Semoga Allah merahmati beliau dan memaafkannya, andai saja beliau tidak menceburkan diri
dalam takwil"

Beliau mengatakan dalam kitabnya Talbiis Ibliis (Tipu daya Iblis) di hal: 121:
"Dan di antara tipu daya Iblis terhadap para fuqoha` ialah: Mereka bergaul dengan para Amir
dan para Sulthan, menjilat mereka dan tidak mengingkari (kemaksiatan dan kezhaliman)
mereka, padahal mereka mampu melakukannya. Barangkali mereka memberikan rukhshat
pada mereka --yakni Amir dan Sulthan-- dalam perkara yang tidak ada rukhshat bagi mereka
demi memperoleh sebagian dari harta kekayaan dunia mereka.

Maka perbuatan ini menyebabkan kerusakan bagi tiga kelompok manusia:

Pertama: Amir, dia akan mengatakan "Sekiranya aku tidak benar pasti orang faqih itu
mengecamku, dan bagaimana aku tidak benar sedangkan dia makan dari hartaku"

Kedua: Orang awam, sesungguhnya dia akan mengatakan: "Tak ada masalah dengan Amir itu,
juga dengan harta kekayaannya ataupun dengan perbuatannya. Karena Fulan, orang faqih itu,
selalu menyertainya dan tidak meninggalkannya.

Ketiga: Orang faqih. Sesungguhnya dia merusak agamanya dengan perbuatan yang rendah
itu.

)( Ibnul Jauzi mengatakan di hal: 122: "Singkat kata, mendatangi istana Sulthan merupakan
bahaya ancaman besar bagi orang seorang faqih. Sebab bisa jadi, niatnya benar pada waktu
masuk pertama kalinya. Akan tetapi niat tersebut bisa berubah setelah mereka memuliakannya
dan memberi kenyamanan padanya, atau dengan sebab ketamakannya kepada dunia mereka,
dan dia tidak bisa menahan diri untuk tidak menjilat mereka, dan meninggalkan kewajiban untuk
menegur mereka. Sufyan Ats Tsauri rhm pernah mengatakan: "Aku tidak takut penghinaan
mereka terhadapku, tetapi yang aku takutkan adalah penghormatan mereka kepadaku,
sehingga hatiku jadi condong kepada mereka." Dahulu para ulama salaf menjauhkan diri dari
para umaro` ketika nampak perbuatan zhalim dan ketidak adilan mereka. Sedangkan para
umaro` selalu mencari mereka karena mereka membutuhkan fatwa-fatwa dan dukungan
mereka terhadap pemerintahan mereka. Kemudian tumbuh generasi manusia yang kuat
kecintaan mereka terhadap dunia, lalu mereka mempelajari ilmu-ilmu yang cocok untuk para
umaro`, dan mereka membawa ilmu-ilmu tadi kepada mereka untuk memperoleh bagian dari
dunia mereka."

Iblis telah memperdaya mereka supaya mereka mau mendatangi istana Sulthan, dia
mengatakan: "Kita mendatangi mereka hanyalah untuk memberikan bantuan pertolongan
kepada seorang muslim."...selesai perkataan Ibnul Jauzi.

Saya katakan: "Itu adalah tipu daya Iblis....itu adalah jerat dan perangkap syetan."
6__ Sayyid Quthb:

Dalam risalah tulisannya Afraah Ar ruuh*, Sayyid Quthb rhm mengatakan: "Sulit bagiku
membayangkan, bagaimana mungkin kita sampai pada tujuan yang mulia dengan
menggunakan cara-cara yang rendah?! Sesungguhnya tujuan yang mulia tidak akan hidup
kecuali dalam hati yang mulia; maka bagaimana mungkin hati yang mulia mampu
menggunakan cara yang rendah; bahkan bagaimana ia memperoleh inspirasi untuk
menggunakan cara yang rendah itu?!

Ketika kita menceburkan diri ke tepi kolam lumpur, pasti kita sampai ke tepian dalam
keadaan berlepotan lumpur. Sesungguhnya jalanan yang berlumpur akan meninggalkan bekas-
bekasnya pada kaki kita dan pada tempat-tempat yang diinjak kaki kita. Demikian pula halnya
jika kita menggunakan cara yang rendah: Kotorannya akan menggantung pada ruh-ruh kita,
dan akan meninggalkan bekas-bekasnya pada ruh-ruh tersebut, dan pada tujuan yang telah
kita capai."...selesai.

* Risalah kecil ini dikirimkan Sayyid Quthb kepada saudarinya Aminah Quthb, dan diterbitkan
pertama kali oleh majalah Al Fikr At Tunisiyah dengan judul "Cahaya dari jauh", yakni pada
edisi enam, tahun keempat, bulan Maret 1959 H. Kemudian setelah itu dicetak berulang-ulang
dalam sebuah buku kecil. Perkataan tersebut, terdapat pada alinea ke 15 hal: 26.

Dan ia mengatakan saat menafsirkan firman Allah Ta`ala dalam surat Al Hajj:

"Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasulpun dan tidak (pula) seorang Nabi,
melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, maka syetanpun memasukkan godaan-
godaan terhadap keinginan itu, lalu Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syetan
itu....al ayat" (Qs Al Hajj 52)

"Semangat, hasrat dan desakan keinginan kadang mendorong para juru dakwah sepeninggal
Rasul untuk menyebarkan dakwah dan memenangkannya. Mendorong mereka untuk condong
kepada sebagian pribadi atau sebagian golongan dengan membiarkan pada awal mulanya,
sesuatu yang menjadi tuntutan-tuntutan dakwah. Mereka menganggapnya bahwa perkara itu
bukanlah perkara yang pokok dalam dakwah. Dan mentolelir hal-hal yang sejalan dengan
kemauan mereka dalam sebagian perkara mereka, agar supaya mereka tidak lari dari dakwah
dan memusuhinya.

Dan terkadang mendorong mereka untuk mengambil cara-cara dan methode-methode


yang tidak sejalan dengan timbangan-timbangan dakwah yang benar, ataupun dengan manhaj
dakwah yang lurus. Itu karena mereka ingin cepat-cepat memenangkan dakwah dan
menyebarkannya, dan berupaya mewujudkan "maslahat dakwah". Padahal maslahat dakwah
yang sebenarnya, adalah pada keistiqomahan/kekonsistenan mereka menempuh jalan dakwah
tanpa penyimpangan sedikitpun. Adapun mengenai hasil, maka ia adalah perkara yang ghaib,
tak ada yang mengetahuinya selain Allah. Tidak boleh bagi pengemban dakwah untuk
memperhitungkan hasil-hasil dakwah mereka. Yang harus mereka lakukan adalah menempuh
jalan dakwah yang jelas, terang dan cermat, serta menyerahkan hasil-hasil keistiqomahan
menempuh jalan dakwah itu kepada Allah. Dan hasil-hasil dakwah tersebut pasti baik pada
akhir kesudahannya.

Dan inilah dia Al Qur`anul Karim, mengingatkan mereka bahwa syetan terus
menunggu-nunggu kesempatam untuk menembus jantung dakwah, melalui keinginan-
keinginan mereka. Apabila para Nabi dan para Rasul telah dilindungi Allah, sehingga tidak
mungkin bagi syetan menembus dakwah mereka melalui keinginan-keinginan mereka yang
fitri/asli. Maka orang-orang yang tidak ma`shum (dilindungi) membutuhkan kewaspadaan yang
tinggi terhadap godaan syetan ini, dan harus menjauhinya semaksimal mungkin, karena
dikhawatirkan syetan akan memasuki mereka lewat celah keinginan mereka untuk membela
dakwah dan ambisi mereka kepada apa yang mereka sebut dengan nama "maslahat dakwah".
Sesungguhnya kalimat "maslahat dakwah" harus dihapuskan dari kamus para juru dakwah,
oleh karena ia menggelincirkan dan menjadi jalan masuk bagi syetan untuk mendatangi
mereka, ketika dia kesulitan untuk mendatangi mereka dari sisi maslahat/kepentingan pribadi.

Maslahat dakwah telah berubah menjadi berhala yang disembah oleh para juru
dakwah, dan melupakan mereka dari manhaj dakwah yang asli. Sesungguhnya para juru
dakwah harus istiqomah di atas manhaj dakwah, dan senantiasa meneliti kembali manhaj
tersebut, tanpa menoleh kepada hasil-hasil yang diakibatkan oleh penelitian tersebut, yang bisa
jadi dalam pandangan mereka nampak membahayakan dakwah dan para pengikutnya! Satu-
satunya bahaya yang harus mereka takuti adalah bahaya penyimpangan dari manhaj karena
sesuatu sebab. Sama saja apakah penyimpangan itu banyak ataupun sedikit. Allah lebih tahu
daripada mereka dalam soal maslahat, dan mereka tidak dibebani dengannya. Mereka hanya
dibebani dengan satu perkara, yakni supaya mereka tidak menyimpang dari manhaj, dan
supaya tidak menyeleweng dari jalan dakwah..." Selesai Hal: 4 alinea ke: 2435.

Penutup

Fatwa Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang "Maslahat Dakwah"


Fatwa ini adalah jawaban Syeikhul Islam sewaktu beliau ditanya tentang seorang
Syeikh yang dikenal sebagai ulama yang baik dan pengikut sunnah. Syeikh ini hendak
mendakwahi sekawanan pembunuh, perampok, pencuri dan peminum khamer. Ia bermaksud
menyadarkan mereka dan mencegah perbuatan maksiat mereka, tapi ia tak dapat
melakukannya --menurut anggapan penanya--, kecuali dengan cara mengumpulkan mereka
untuk menyimak tabuhan rebana dan nyanyian yang mubah. Lalu ia melakukan hal tersebut
bersama mereka, sampai akhirnya sebagian dari mereka bertaubat. Setelah sebelumnya
mereka tidak shalat, tidak zakat, bahkan mencuri dan mengerjakan dosa-dosa besar serta
perkara-perkara merusak yang lainnya, dan akhirnya mereka jadi orang-orang yang menjauhi
syubhat, menunaikan perkara-perkara yang diwajibkan dan menjauhi perkara-perkara yang
diharamkan. Maka Syeikhul Islam ditanya, apakah Syeikh tadi dibolehkan melakukan hal
seperti itu, jika melihat maslahat-maslahat (dampak-dampak positip) yang diakibatkan
olehnya?

Adapun kesimpulan jawaban Syeikhul Islam, dapat kami terangkan sebagai berikut:

 Bahwa simaa` (hal menyimak suara atau bacaan), yang mana sekelompok orang atau
kaum sufi berkumpul untuk mendengarkannya, jika memang mereka menjadikannya
sebagai media untuk bertaqarrub kepada Allah Ta`ala, maka ia adalah simaa` bid`ah.

 Bahwasanya kaum salafush-shaleh yang hidup pada kurun masa terbaik, tak pernah
mengenalnya. Simaa` mereka yang utama adalah membaca Kitabullah Ta`ala dan
berkumpul untuk membacanya.

 Kemudian beliau menerangkan bahwa Allah `Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama
Islam untuk kita, dan tidak meninggalkan di dalamnya kekurangan atau celah apapun, yang
membutuhkan penyempurnaan dan penutupan dari seseorang.

 Dan membatalkan anggapan penanya bahwa tidak mungkin memberi petunjuk kepada
manusia atau menolong agama kecuali dengan cara-cara bid`ah seperti itu, oleh karena
Allah Ta`ala telah memberikan kepada kita cara-cara dan wasilah-wasilah yang syar`i, yang
cukup dan mencukupi. Yakni cara-cara dan wasilah-wasilah yang digunakan Nabi Saw.
dalam mendakwahi, memberi petunjuk dan menyadarkan orang-orang yang lebih jahat dan
lebih melampaui batas perbuatannya daripada orang-orang yang telah disebutkan keadaan
mereka di muka.
 Dan beliau, rhm, menerangkan bahwa tiadalah seseorang berpaling dari wasilah-wasilah
yang syar`i tadi kepada cara-cara dan wasilah-wasilah bid`ah, melainkan karena kejahilan
atau ketidak mampuan atau karena tujuan yang rusak.

 Dan selanjutnya beliau mencela apa yang dilakukan Syeikh tadi, kendati apa yang ia
lakukan mendatangkan maslahat-maslahat seperti yang disangkakan. Dan menggolongkan
cara dakwahnya sebagai cara yang mengandung unsur bid`ah, dan menyebutnya sebagai
Syiekh yang jahil (tidak tahu) terhadap cara-cara syar`i untuk mendakwahi manusia ke jalan
Allah, atau dia tidak mampu melakukannya (yakni mengikuti cara-cara syar`i itu)

 Dan beliau menegaskan tentang wajibnya mengikuti firman Allah Ta`ala dan sabda Rasul
Saw. dalam berdakwah ke jalan Allah dan memberi petunjuk kepada orang-orang yang
tersesat dan orang-orang yang berbuat maksiat, karena Allah tidak menciptakan kita secara
sia-sia dan membiarkan kita berbuat semau kita berjalan tanpa petunjuk dalam kegelapan.
Tapi Allah Swt. tidak meninggalkan suatu kebaikan apapun kecuali Dia telah
menunjukkannya kepada kita, dan telah menentukan kepada kita wasilah-wasilah syar`i
yang mengantarkan kepada apa yang dikehendaki-Nya dan diridhai-Nya.

Inilah kesimpulan fatwa Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah. Meski fatwa ini kecil ukurannya,
tapi besar nilainya, khususnya di zaman kita sekarang, di mana banyak pengikut Syeikh tadi,
yakni orang-orang yang menempuh wasilah-wasilah dan istishlahaat-istishlahaat yang Allah
tidak menurunkan hujjah atasnya, namun mereka beranggapan bahwa apa yang mereka
lakukan adalah untuk menolong agama Allah dan memberi petunjuk kepada manusia. Bahkan
ada sebagian di antara para juru dakwah di zaman kita yang jelas-jelas menyimpang dan
melenceng jauh dari apa yang telah dilakukan Syeikh tadi. Sesungguhnya Syeikh tadi
sebagaimana kita tahu, hanya mengumpulkan orang-orang untuk mendengarkan nyanyian
sya`ir yang mubah, dan ia bermaksud menjadikan nyanyian itu sebagai bentuk taqarrub kepada
Allah Ta`ala, dengan menjadikannya sebagai cara untuk mendakwahi manusia dan memberi
petunjuk (menyadarkan) orang-orang yang tersesat. Kendatipun demikian ia tercela karenanya.

Adapun di zaman sekarang, banyak para juru dakwah yang menjadikan kekufuran dan
kemusyrikan kepada Allah sebagai sistem untuk mengumpulkan dan merekrut pengikut, lalu
dengan sistem itu mereka bersama pengikutnya hendak menegakkan agama dan
menolongnya --demikianlah sangkaan mereka--. Seperti orang yang bersedia bersumpah untuk
menghormati undang-undang positip (baca: konstitusi negara), atau menunjukkan loyalitas dan
pembelaan terhadap para penyembahnya dan para pengawalnya melawan ahli tauhid, atau
seseorang yang ridha dengan agama selain agama Islam untuk ia ikuti --dan menjadikannya
sebagai sistem untuk menolong agama Allah menurut sangkaannya-- seperti demokrasi
misalnya, yang mana ia adalah undang-undang rakyat untuk rakyat, bukan undang-undang
Allah untuk rakyat. Allah Ta`ala telah berfirman:

"Dan barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidak akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk golongannya orang-orang yang
merugi" (Qs Ali `Imran 85)

Adalah merupakan kezhaliman yang nyata, menganalogikan kesesatan mereka,


dengan apa yang dilakukan Syeikh tadi --kendatipun tidak benar istishlaahnya--. Adalah tidak
adil dan sewenang-wenang mempersamakan atau menganalogkan perbuatan yang mubah
atau makruh atau bahkan haram dengan hujjah menolong agama Allah, dengan orang yang
mengira telah menolong agama Allah dengan cara syirik kepada Allah serta mencari hukum
dan agama selain agama Islam, dan mengikuti tuan-tuan pemilik yang berbeda dan sembahan-
sembahan selain Allah yang saling berselisih paham, yang mensyari`atkan untuknya agama
(idiologi dan isme) yang tidak diidzinkan Allah?

Dan kepada orang-orang seperti mereka dan para muqallidnya yang mengikuti mereka
tanpa dasar ilmu dan petunjuk, kami bawakan fatwa ini yang berisikan dalil-dalil yang pasti dan
hujjah-hujjah yang jelas. Mudah-mudahan mereka sadar dan kembali dari kebatilan yang telah
dijelaskan dengan sangat gamblang tersebut, serta mendapat petunjuk untuk mengikuti
kebenaran yang nyata, yang mana ia adalah satu-satunya methode untuk menolong agama.
Ketahuilah, bahwa methode itu adalah methode dakwah para Nabi dan para Rasul.

 Fatwa tersebut terdapat dalam Majmu` Fatawa Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah di juz: XI hal:
620

 Saya meringkas sebagian isi fatwa tersebut, oleh karena Syeikhul Islam berpanjang lebar
di dalam mengupas masalah simaa`, dan saya memberikan komentar terhadap sebagian
topik-topik bahasannya, dengan komentar-komentar yang proporsional.

Saya mohon kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Berkuasa, agar kiranya Dia
berkenan menerima amalan itu dari kami dan memberikan balasan kepada Syeikhul Islam
dengan sebaik-baik balasan atas jasa beliau kepada kami. Dan sebagai penutup do`a kami
adalah ucapan "Alhamdulillaahi rabbil `Aalamiin".

Pernah suatu ketika Syeikhul Islam,


orang yang sangat alim di zamannya, Taqiyyudin, Abul `Abbas Ahmad bin `Abdul
Halim bin `Abdus Salam bin `Abdullah bin Abul Qasim bin Taimiyah Al Harrani -radhiyallaahu
`anhu--, ditanya:

Tentang "Sekelompok orang" yang berkumpul dengan maksud melakukan dosa-dosa besar,
seperti: membunuh, merampok, mencuri, meminum khamer dan dosa besar lainnya. Kemudian
ada seorang Syeikh yang dikenal sebagai salah seorang ulama yang baik dan pengikut sunnah
hendak mencegah perbuatan orang-orang yang telah disebutkan di muka. Tapi dia tidak bisa
melakukannya kecuali dengan membuat acara untuk mereka, supaya mereka mau berkumpul
untuk niatan tersebut. Acara tersebut adalah menabuh rebana tanpa keramaian* dan nyanyian
penyanyi dengan sya`ir yang mubah tanpa tiupan seruling. Ketika dia melakukan hal tersebut,
maka bertaubatlah sekelompok orang di antara mereka. Sehingga orang yang semula tidak
shalat, tidak zakat dan mencuri, akhirnya jadi orang yang meninggalkan perkara-perkara yang
masih syubhat, menjalankan perkara-perkara yang diwajibkan dan menjauhi perkara-perkara
yang dilarang. Apakah dibolehkan bagi Syeikh itu tadi untuk memperdengarkan musik dengan
cara seperti itu, jika melihat maslahat-maslahat (dampak-dampak positip) yang diakibatkan
olehnya? Sedangkan dia tidak dapat mendakwahi mereka kecuali dengan cara ini?!

)( Dalam jawabannya, Syeikhul Islam rhm tidak menyanggah perkataan si penanya "dengan
rebana tanpa keramaian." Akan tetapi beliau mengatakan di tempat yang lain: "....sebagaimana
kaum wanita diberi rukhshat untuk menabuh rebana di pesta-pesta pernikahan dan acara-
acara gembira. Adapun kaum lelaki pada zamannya, maka tak seorangpun di antara mereka
yang menabuh rebana ataupun bertepuk tangan. Bahkan ada riwayat yang pasti berasal
darinya, dalam hadits shahih, bahwasanya beliau pernah bersabda: "Sesungguhnya tepuk
tangan itu hanya untuk kaum wanita, dan tasbih itu untuk kaum lelaki". Beliau melaknat wanita
yang menyerupakan dirinya dengan lelaki (baca: bergaya kelaki-lakian atau tomboy) dan lelaki
yang menyerupakan dirinya dengan wanita (baca: Bergaya kewanita-wanitaan atau banci).
Oleh karena bernyanyi, menabuh rebana dan bertepuk tangan merupakan pekerjaan wanita,
maka orang-orang salaf dahulu menamakan lelaki yang berbuat demikian sebagai orang banci,
dan menamai lelaki yang menyanyi sebagai orang-orang banci. Dan masalah ini masyhur
dalam perkataan mereka" Selesai. Lihat risalah ke 13 tentang musik dan menari dari Majmu`ah
Ar Rasaa'il Al Kubra (II/301)

* Apakah rela memperoleh sebutan seperti itu, orang-orang yang menyebarkan nasyid-nasyid
mereka dengan tabuhan rebana di kalangan para pemuda Islam, dengan hujjah membuat
alternatif pengganti bagi lagu-lagu cabul dan seronok (untuk maslahat dakwah)!! Sungguh Iblis
telah membenarkan persangkaannya dalam pikiran mereka, lalu dia memperdaya mereka
dengan tipuan-tipuan batil yang menyesatkan. Kalau sekiranya mereka mau menanyakan
kepada diri mereka dan berpikir; apakah mereka lebih mengerti dan lebih bijaksana daripada
Rasulullah Saw. serta lebih antusias terhadap dakwah ini? Jika itu memang baik, pasti beliau
tak akan melewatkannya, dan mereka tak akan mendahuluinya melakukan kebaikan itu.

Beliau menjawab pertanyaan di atas: Alhamdulillaahi rabbil `aalamien.

Jawaban mendasar dari masalah ini dan masalah-masalah lain yang serupa
dengannya adalah: Agar kiranya diketahui bahwa Allah Ta`ala mengutus Muhammad Saw.
dengan membawa petunjuk dan agama yang hak, untuk Dia menangkan agama itu atas
agama-agama yang lain, dan cukuplah Allah sebagai saksi.

Bahwasanya Allah telah menyempurnakan agama tersebut untuknya dan untuk


ummatnya, sebagaimana firman Allah Ta`ala:

"Hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Aku lengkapkan nikmat-
Ku atas kalian, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama kalian" (Qs Al Maa'idah 3)

Bahwasanya Allah telah memberi khabar gembira dengan kebahagiaan bagi siapa
yang ta`at pada-Nya dan kecelakaan bagi siapa yang durhaka pada-Nya. Allah Ta`ala
berfirman:

"Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan (dikumpulkan)
bersama orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu:Nabi-nabi, orang-orang yang
shiddiq, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shaleh. Dan mereka itu adalah
teman yang sebaik-baiknya." (Qs An Nisaa` 69)

Dan firman Allah Ta`ala:

"Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya baginyalah
neraka Jahannam." (Qs Al Jin 23)

Dan Dia memerintahkan manusia untuk mengembalikan apa yang mereka


perselisihkan di antara perkara agama mereka, kepada apa yang telah Dia wahyukan,
sebagaimana firman-Nya:

"Hai orang-orang beriman ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul(Nya), dan ulil Amri di antara kalian.
Kemudian jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al Qur`an) dan Rasul (As Sunnah), jika kalian memang benar-benar beriman kepada Allah dan
hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya." (Qs An Nisaa`
59)
Dan Dia memberitahukan bahwa Rasul Saw. itu menyeru manusia ke jalan Allah dan kepada
jalan-Nya yang lurus, sebagaimana firman Allah Ta`ala:

"Katakanlah: "Inilah jalanku", aku mengajak (kalian) kepada Allah dengan hujjah yang nyata,
aku dan orang-orang yang mengikutiku." (Qs Yusuf 108)

Allah Ta`ala berfirman:

52. Sesungguhnya engkau benar-benar menunjukkan ke jalan yang lurus.

53. (Yaitu) Jalan Allah, Dzat Yang memiliki seluruh apa yang ada di langit dan apa yang
ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah semua urusan bakal kembali. (Qs Asy
Syuura)

Dan Dia memberitahukan bahwa Nabi Saw. memerintahkan yang ma`ruf dan
mencegah yang munkar, menghalalkan hal-hal yang baik dan mengharamkan hal-hal yang
buruk, sebagaimana firman Allah Ta`ala:

156. ...dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka Aku akan tetapkan rahmat-Ku untuk
orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang mereka
itu beriman kepada ayat-ayat Kami.

157. (yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka
dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada sisi mereka, yang menyuruh
mereka mengerjakan yang ma`ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang
munkar, dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi
mereka segala yang buruk dan melepaskan dari mereka beban-beban dan
belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman
kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang
diturunkan kepadanya (Al Qur`an), mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Qs
Al A`raaf)

Dan Allah telah memerintah Rasul saw. untuk menyampaikan setiap perkara yang
ma`ruf dan melarang dari setiap perkara yang munkar, dan menghalalkan setiap yang baik, dan
mengharamkan setiap yang buruk. Ada riwayat yang pasti dari Nabi Saw. dalam hadits shahih,
bahwasanya beliau pernah bersabda:

"Tiadalah Allah mengutus seorang Nabi, melainkan wajib atasnya menunjukkan ummatnya
kepada kebaikan yang ia ketahui bagi mereka, dan melarang mereka dari keburukan yang ia
ketahui bagi mereka"
)( HR. Muslim (Al Imaarah 46) dari `Abdullah bin `Amru bin `Ash dengan lafazh "Sesungguhnya
tidak ada Nabi sebelumku kecuali wajib atasnya....Al Hadits". Dan kepada hadits ini, dibawa
perkataan Syeikhul Islam "Ada riwayat yang pasti dari Nabi Saw. dalam hadits Shahih", bukan
pada Shahih Al Bukhari. Dan demikian pula apa yang diriwayatkan An Nasa`i VII/153 dan Ibnu
Majah no: 3956, serta Ahmad II/191.

Ada riwayat yang pasti dari `Irbadh bin Sariyah, bahwasanya dia berkata:"Rasulullah
Saw. menasehati kami dengan nasehat yang membuat hati menjadi takut, dan membuat air
mata bercucuran. Lalu kami bertanya: "Wahai Rasulullah, sepertinya nasehat ini adalah
nasehat perpisahan, lantas apa yang kamu pesankan kepada kami." Beliau berkata: "Aku
wasiatkan kepada kalian untuk mendengar dan ta`at, karena sesungguhnya orang yang hidup
di antara kalian sepeninggalku akan melihat banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian
berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa`ur Rasyidin Mahdiyyin sesudahku, pegang
teguhlah sunnah tersebut dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Dan berhati-hatilah kalian
dari perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap bid`ah itu adalah
dhalalah/sesat."

)( Musnad Ahmad (IV/162-167);Abu Dauz (sunnah 5); At Tirmidzi (Kitaabul `Ilmi 16), dan dia
berkata: Hadits hasan shahih; Ibnu Majah ( Al Muqaddimah 6); Ad Darami (Muqaddimah 16)
serta yang lain.

Dan ada riwayat yang pasti pula berasal dari Nabi Saw., bahwasanya beliau pernah
bersabda:

"Tiadalah aku meninggalkan sesuatu yang menjauhkan kalian dari neraka kecuali aku telah
menyampaikan hal itu kepada kalian."

)( Bagian dari hadits Mursal yang diriwayatkan oleh `Abdurrazzaq dalam Mushannifah (20100)
dari `Imran, sahabat Ma`mar.

Beliau juga pernah bersabda:

"Aku telah meninggalkan kalian dalam keadaan putih bersih, malamnya seperti siangnya, dan
tidaklah seseorang menyeleweng daripadanya sesudahku, melaikan ia akan binasa."

)( Musnad Imam Ahmad IV/126 dan Ibnu Majah dalam kitab Al Muqaddimah no (43) dari hadits
`Irbadh bin Sariyah yang telah tersebut di muka. Ibnu Majah meriwayatkan pula secara marfu`
hadits dengan lafazh serupa, dari Abu Darda`. Dia menyebutnya dalam kitab Al Muqaddimah,
pada hadits no 5.
Dan saksi-saksi penguat "Pedoman besar yang lengkap dan mencakup" ini dari Al
Kitab dan As Sunnah sangatlah banyak, dan telah ditafsirkan oleh ahli ilmu dalam kitab-kitab
tulisan mereka dengan judul "Kitaabul I`tishaam bil Kitaab was Sunnah". Sebagaimana Al
Bukhari, Al Baghawi serta yang lain juga menafsirkannya. Barangsiapa yang berpegang teguh
pada Al Kitab dan As Sunnah, maka dia tergolong wali-wali Allah yang bertakwa, dan partai-
Nya yang memperoleh kemenangan, dan tentara-Nya yang menang. Adalah ulama Salaf -
seperti Malik dan yang lain- mengatakan: "As Sunnah itu seperti bahtera Nuh, siapa yang
menaikinya akan selamat, dan siapa yang tertinggal darinya akan tenggelam." Az Zuhri
mengatakan: "Adalah orang-orang yang telah lalu di antara ulama-ulama kami mengatakan:
"Berpegang teguh pada As Sunnah adalah keselamatan."

Apabila hal ini telah dimengerti, maka jelaslah bahwa perkara yang dengannya
Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang sesat, menuntun orang-orang yang
menyimpang, dan mengampuni orang-orang yang durhaka, haruslah pada risalah yang
Dia kirimkan kepada Rasul-Nya, yakni Al Kitab dan As Sunnah.* Jika tidak demikian,
yakni sekiranya apa yang Dia kirimkan kepada Rasul Saw. tidak mencukupi di dalam
memberi petunjuk manusia, berarti agama yang dibawa Rasul itu kurang memerlukan
penyempurnaan.

* Inilah kesimpulan jawaban beliau atas pertanyaan sipenanya.

Perlu diketahui bahwa amalan-amalan yang shaleh itu diperintahkan Allah dalam
bentuk perintah wajib atau mustahab (sunnah), sedangkan amalan-amalan yang batil itu
dilarang Allah Ta`ala.

Adapun suatu amalan, apabila mengandung maslahat dan juga mafsadah, maka
sesungguhnya Syaari` Maha Bijaksana, jika maslahatnya mengalahkan mafsadahnya, maka
Dia mensyari`atkannya, dan jika mafsadahnya mengalahkan maslahatnya, maka Dia tidak
mensyari`atkannya, bahkan melarangnya.* Sebagaimana firman Allah Ta`ala:

"Telah diwajibkan atas kalian berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kalian
benci. Boleh jadi kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian, dan boleh jadi
kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Dan Allah mengetahui sedangkan
kalian tidak mengetahui." (Qs Al Baqarah 216)

Dan firman-Nya:
"Mereka bertanya kepada kalian tentang khamer dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu
terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih
besar daripada manfaatnya." (Qs Al Baqarah 219)

Oleh karena itu Allah Ta`ala mengharamkan khamer dan judi setelah sebelumnya
menghalalkannya.

)( Anda telah tahu dalam uraian penjelasan di muka, bahwa tolok ukur untuk menentukan
maslahat dan mafsadah adalah syari`at, ia menjadi hak Syaari` Yang Maha Bijaksana, bukan
hawa nafsu dan Istihsaan yang berhak menentukannya.

Demikianlah amalan-amalan yang dipandang orang sebagai amalan yang


mendekatkan kepada Allah, sedangkan Allah dan Rasul-Nya tidak mensyari`atkannya;
maka dapat dipastikan bahwa bahayanya lebih besar daripada manfaatnya. Jika tidak,
yakni sekiranya manfaatnya lebih besar dan mengalahkan bahayanya, niscaya Syaari` tidak
akan mengabaikannya; sesungguhnya Rasul Saw. sangat bijaksana, tidak mengabaikan
maslahat-maslahat agama, dan tidak melewatkan sesuatu apapun yang mendekatkan orang-
orang mu`min kepada Allah, Rabbul `Aalamien.

Jika hal ini telah jelas, maka saya katakan pada si penanya: "Sesungguhnya Syeikh
yang telah disebut tadi bermaksud membuat para pelaku dosa-dosa besar bertaubat, akan
tetapi dia tidak mampu melakukannya kecuali dengan cara bid`ah yang telah ia sebutkan. Ini
menunjukkan bahwa Syeikh tadi jahil terhadap cara-cara syar`i yang membuat para
pendurhaka bertaubat; atau dia tidak mampu melakukannya. Karena sesungguhnya Rasulullah
Saw., para sahabat dan para Tabi`in dahulu mendakwahi orang-orang kafir, orang-orang fasik
dan para pendurhaka yang perbuatannya lebih jahat daripada mereka, dengan cara-cara syar`i
yang mana Allah mencukupkan mereka dengannya sehingga mereka tidak memerlukan lagi
cara-cara bid`ah.

Maka tidak boleh jika dikatakan: "Sesungguhnya tidak ada pada cara-cara syar`i, yang
Allah mengutus Nabi-Nya dengannya, suatu cara yang membuat para pendurhaka itu
bertaubat", karena sesungguhnya telah diketahui melalui nash yang pasti dan hadits-hadits
yang mutawatir bahwa banyak ummat manusia telah bertaubat dari kekafiran, kefasikan dan
kemaksiatan --tak ada yang dapat menghitung berapa banyaknya kecuali Allah Ta`ala-- dengan
cara-cara syar`i, sedangkan tidak terdapat di dalamnya sesuatu yang menyinggung tentang
ijtima` bid`ah itu tadi; bahkan as sabiqun al awwalun dari golongan Muhajirin dan Anshor, serta
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik --mereka adalah sebaik-baik wali-wali Allah
yang bertakwa di kalangan ummat ini-- bertaubat kepada Allah Ta`ala dengan cara-cara syar`i,
tidak dengan cara-cara bid`ah. Demikian pula kota-kota Islam dan kampung-kampungnya,
dahulu dan sekarang, penuh dengan manusia-manusia yang bertaubat kepada Allah, bertakwa
kepada-Nya, dan mengerjakan apa yang dicintai Allah dan diridhai-Nya dengan cara-cara
syar`i, bukan dengan cara-cara bid`ah.

Maka tidak mungkin jika dikatakan: "Sesungguhnya orang-orang yang durhaka, tidak
mungkin bisa bertaubat kecuali dengan cara-cara bid`ah ini", bahkan bisa saja dikatakan:
"Sesungguhnya di antara Syeikh-syeikh itu ada yang jahil terhadap cara-cara syar`i, tidak
mampu melakukannya, tidak mempunyai ilmu pengetahuan tentang Al Kitab dan As Sunnah,
dan sesuatu yang harus ia sampaikan kepada manusia, dan ia perdengarkan kepada mereka,
yang membuat Allah mengampuni mereka. Lalu Syeikh itu menyimpang dari cara-cara syar`i
dan memilih cara-cara bid`ah. Bisa jadi apa yang ia lakukan tetap disertai dengan niat tujuan
yang baik, jika dia punya agama; atau bisa jadi tujuannya adalah ingin menjadi pemimpin
mereka dan mengambil harta mereka dengan cara yang batil. Sebagaimana firman Allah
Ta`ala:

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya banyak di antara rabbi-rabbi Yahudi dan rahib-
rahib Nashrani, yang benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka
memalingkan (manusia) dari jalan Allah" (Qs At Taubah 24)

Jadi tiadalah seseorang menyimpang dari cara-cara syar`i dan memilih cara-cara bid`ah,
melainkan karena kejahilan, atau ketidak mampuan atau karena niatannya yang rusak.

)( Perhatikanlah perkataan bernilai emas ini. Hampir-hampir ia jadi seperti Kaedah kulliyyah
(lengkap dan menyeluruh) yang menggambarkan keadaan manusia secara umum, para da`i
khususnya. Orang yang merenungkan keadaan para da`i di zaman kita sekarang, dan
memperhatikan realitas kehidupan mereka, akan mengetahui kebenaran perkataan Syeikhul
Islam ini dan firasatnya; karena sesungguhnya berpalingnya para da`i dari manhaj Nabawi atau
kelalaian mereka dalam menerapkan millah Ibrahim secara nyata dalam realitas dakwah
mereka kepada Allah, adalah dikarenakan oleh salah satu dari tiga sebab berikut: Bisa jadi
karena jahil terhadap hakikatnya; atau bisa jadi karena ketidak mampuan memikul beban-
bebannya yang berat dan apa-apa yang mengelilinginya berupa hal-hal yang dibenci, tantangan
dan ujian; atau bisa jadi karena tujuan yang rusak, seperti ambisi terhadap kepemimpinan, atau
jabatan, atau kekuasaan atau perwakilan atau harta kekayaan. Semoga Allah merahmati
Syeikhul Islam, sesungguhnya beliau dahulu memandang dengan cahaya syari`at, furqan takwa
dan firasat mu`min.
Jika tidak demikian, maka telah diketahui dengan jelas bahwa simaa` Al Qur`an adalah
simaa`nya para Nabi, para ahli ma`rifat, dan orang-orang mu`min. Allah Ta`ala berfirman
menuturkan tentang Nabi-nabi-Nya:

"Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi dari
keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan
Ibrahim dan Israel, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih.
Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka
menyungkur sujud dan menangis." (Qs Maryam 58)

Allah Ta`ala berfirman menuturkan tentang ahli ma`rifat:

"Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu
lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan mereka mengenal kebenaran tersebut."
(Qs Al Maa'idah 83)

Allah Ta`ala berfirman menuturkan tentang ahli ilmu:

107. ...sesungguhnya orang-orang yang diberi ilmu sebelumnya, apabila Al Qur`an


dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud,

108. dan mereka berkata: "Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti
dipenuhi. (Qs Al Israa`)

Dan berfirman menuturkan tentang orang-orang beriman:

2. Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut
nama Allah, maka gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka
ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karena)nya dan kepada Tuhanlah
mereka bertawakkal.

3. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan menginfakkan sebagian rezki yang
Kami berikan kepada mereka.

4. Mereka itulah orang-orang mu`min yang sebenar-benarnya. (Qs Al Anfaal)

Allah Ta`ala berfirman:

"Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur`an yang serupa (mutu ayat-
ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhan
mereka, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di saat mengingat Allah. Itulah
petunjuk Allah, dengan Kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa
yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya." (Qs Az Zumar
23)

Dengan simaa` ini, Allah memberi petunjuk hamba-hamba-Nya, dan memperbaiki


urusan dunia dan akherat mereka. Dengan simaa` ini, Rasulullah Saw. diutus, dan dengannya
beliau memerintah kaum Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik. Dan untuk simaa` ini pula, orang-orang salaf dahulu berkumpul. Sebagaimana
para sahabat Rasulullah Saw. dahulu apabila mereka berkumpul, maka mereka menyuruh
salah seorang di antara mereka untuk membaca (Al Qur`an) dan mereka mendengarkannya
dengan khusyu`. `Umar bin Khaththab ra pernah berkata kepada Abu Musa Al Asy`ari:
"Ingatkanlah kami kepada Tuhan kami" Lalu Abu Musa membaca ayat-ayat Al Qur`an,
sementara mereka mendengarkannya. Dan dalam sebuah hadits shahih, dari Nabi Saw.,
bahwasanya beliau pernah melewati (rumah) Abu Musa Al Asy`ari yang sedang membaca Al
Qur`an. Lalu beliau berhenti dan mendengarkan bacaannya. Maka beliau berujar: "Sesungguh
lelaki ini telah diberi seruling dari seruling-seruling keluarga Dawud."* Esoknya beliau berkata
pada Abu Musa: "Semalam aku melewati (rumah)mu, ketika kamu sedang membaca, lalu aku
berhenti untuk mendengarkan bacaanmu." Mendengar perkataan Nabi Saw., maka berkatalah
Abu Musa: "Sekiranya aku tahu engkau mendengarkan bacaanku, pasti aku akan
membaguskannya untukmu."**

* Lihat Al Bukhari (Fadhaa'ilul Qur`an) IX/92 dan Muslim (Shalaatul Musaafiriin bab: 34 no:
236). Imam Ahmad dan Ash-haabus Sunan juga mengeluar hadits ini.

** Al Hakim mengeluarkannya dalam Mustadraknya (III/466)

Dalam hadits shahih disebutkan bahwasanya Nabi Saw. pernah memerintah Ibnu
Mas`ud: "Bacakanlah Al Qur`an untukku!" "Aku membacakan untukmu Al Qur`an, sedangkan
kepadamu ia diturunkan?" Tanya Ibnu Mas`ud setengah keheranan. Beliau menjawab:
"Sesungguhnya aku suka mendengarkannya dari yang lain." Ibnu Mas`ud menuturkan: "Lalu
aku membaca surat An Nisaa` hingga sampai ayat "Maka bagaimanakah halnya, apabila Kami
mendatangkan seorang saksi dari tiap-tiap ummat dan Kami mendatangkan kamu sebagai
saksi atas mereka (ummatmu)" (Qs An Nisaa` 41), maka berkatalah beliau: "Cukuplah bagimu
(membaca)" Lalu aku melihat beliau, tiba-tiba air matanya bercucuran karena menangis."* Dan
untuk mendengarkan Al Qur`an inilah, generasi ummat yang disanjung oleh Nabi Saw. dahulu
berkumpul. Beliau pernah bersabda mengenai mereka: "Sebaik-baik generasi adalah generasi
pada masa aku diutus di tengah-tengah mereka, kemudian generasi sesudah mereka,
kemudian generasi sesudah mereka."**
* Al Bukhari meriwayatkannya ( Kitaabut Tafsiir VIII/250), Muslim (Shalaatul Musaafiriin bab: 40)
serta yang lain.

** Lihat Shahih Al Bukhari, Kitaabusy Syahaadaat (9), Fadhaa'ilush Shahaabat (1), Ar Riqaaq
(7), dan Al Iimaan (10); dan Shahih Muslim Fadhaa'ilush Shahaabat (210) serta yang lain.

Belum pernah ada di zaman kehidupan para pendahulu kita yang pertama, acara yang
membuat orang-orang shaleh berkumpul untuk menyimaknya kecuali untuk simaa` yang ini.
Tidak di Hijaj, ataupun di Yaman, ataupun di Syam, ataupun di Mesir, Irak, Khurasan dan
Maghribi. Timbulnya simaa` ahli bid`ah adalah pada masa-masa waktu sesudah itu. Allah telah
menyanjung ahli simaa` ini, yakni orang-orang yang memperhatikannya, dan mencela orang-
orang yang berpaling darinya. Allah memberi tahu bahwa ia adalah sebab yang mendatangkan
rahmat. Allah Ta`ala berfirman:

"Dan apabila dibacakan Al Qur`an, maka simaklah baik-baik, dan perhatikanlah dengan
seksama agar kalian mendapat rahmat." (Qs Al A`raaf 204)

Allah Ta`ala berfirman:

"Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka
tidak menghadapinya seperti orang-orang yang tuli dan buta" (Qs Al Furqaan 73)

Allah Ta`ala berfirman:

"Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat
Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)" (Qs Al Hadiid 16)

Allah Ta`ala berfirman:

"Kalau kiranya Allah mengetahui ada kebaikan pada diri mereka, tentulah Allah akan membuat
mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya
mereka berpaling, dan mereka menghindar (dari äpa yang mereka dengar)" (Qs Al Al Anfaal
23)

Allah Ta`ala berfirman:

49. Maka mengapa mereka (orang-orang kafir) berpaling dari peringatan (Allah)?

50. seakan-akan mereka itu keledai liar yang lari terkejut

51. lari daripada singa. (Qs Al Muddatstsir)

Allah Ta`ala berfirman:


"Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat
dari Tuhannya, lalu dia berpaling daripadanya dan melupakan apa yang telah diperbuat oleh
kedua tangannya? (Qs Al Kahfi 57)

Allah Ta`ala berfirman:

123. ...maka jika datang kepada kalian petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa mengikuti
petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.

124. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya


penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam
keadaan buta."

125. Ia berkata: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpun aku dalam keadaan buta,
padahal aku dahulu bisa melihat?"

126. Allah berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, lalu kamu
melupakannya, maka demikian pulalah hari ini, kamupun dilupakan." ( Qs Thaahaa)

Ayat-ayat yang seperti ini di dalam Al Qur`an sangat banyak. Ayat-ayat tersebut
semuanya memerintahkan manusia supaya mengikuti petunjuk yang telah dikirimkan Allah
kepada Rasul-Nya, yakni Al Kitab dan Al Hikmah, dan memerintahkan mereka untuk
mendengarkannya.

Allah Ta`ala telah mensyari`atkan simaa` (menyimak/mendengarkan Al Qur`an)


kepada kaum muslimin, di waktu Maghrib, `Isya' dan Shubuh.

Allah Ta`ala berfirman:

"Sesungguhnya bacaan Al Qur`an di waktu fajar itu disaksikan (oleh para malaikat)" (Qs Al
Israa' 78)

Dan karena simaa` inilah, `Abdullah bin Rawahah memuji Nabi Saw. dengan syair
gubahannya:

Di tengah-tengah kami ada Rasulullah, yang membaca Kitab-Nya

apabila kebaikan telah menyemburat dari fajar yang terang

Bermalam, menjauhkan lambungnya dari tempat tidurnya

karena tempat-tempat tidur itu berat terasa oleh orang-orang kafir


Dia datang membawa petunjuk setelah buta, dan hati-hati kami

meyakininya bahwa apa yang ia katakan pasti terjadi.

Adapun peri keadaan orang-orang yang mendengar petunjuk itu dituturkan dalam
Kitabullah, seperti: Hati mereka takut, air mata mereka berlinangan, kulit mereka merinding.
Sesungguhnya terjadinya simaa` bait-bait sya`ir adalah setelah berlalunya masa tiga generasi
tersebut, namun para Imam mengingkarinya. Bahkan Asy Syafi`i rhm berkata: "Aku
meninggalkan di Baghdad, sesuatu yang diada-adakan oleh kaum zindiq. Mereka menyebutnya
"Taghbiir" (mengulang-ulang bacaan). Dan mereka meyakini bahwa taghbiir itu melembutkan
hati. Justru dengan itu, mereka memalingkan manusia dari Al Qur`an. Imam Ahmad pernah
ditanya mengenainya, lalu beliau menjawab: "Bid`ah" Lalu ditanyakan padanya: "Apakah kami
boleh duduk bersama mereka mendengarkannya?" Beliau menjawab: "Jangan duduk bersama
mereka."

Larangan tersebut hanyalah ditujukan pada istimaa` (mendengarkan dengan penuh


perhatian) bukan simaa` (mendengar). Oleh karena itu, jika seseorang melewati sekelompok
orang yang sedang berbicara dengan pembicaraan yang diharamkan, maka dia tidak wajib
menyumbat kedua telinganya; tapi dia tidak boleh mendengarkan dengan penuh perhatian
tanpa keperluan. Karena itu Nabi Saw. tidak memerintah Ibnu `Umar untuk menutup kedua
telinganya ketika dia mendengar bunyi seruling gembala*, oleh karena dia tidak mendengarkan
dengan penuh perhatian tapi hanya mendengar saja.

)( HR. Abu Dawud dalam Sunannya, Kitaabul Adab (Bab: Makruhnya nyanyian dan seruling)

Perkataan si penanya dan yang lainnya: "Apakah ia halal? Ataukah haram?" Simaa`
adalah lafazh yang masih umum pengertiannya, tak ada kejelasan di dalamnya, dan samar pula
hukumnya, bahkan banyak mufti yang tidak bisa memberikan jawaban dengan baik di
dalamnya. Itu karena pembicaraan mengenai simaa` dan perbuatan-perbuatan lainnya ada dua
jenis:

Jenis yang pertama: Apakah ia diharamkan? atau tidak diharamkan? Bahkan simaa`
berbuat sebagaimana yang diperbuat oleh seluruh perbuatan-perbuatan yang mana manusia
memperoleh kenikmatan dengannya, jika di dalamnya terdapat unsur hiburan dan permainan.

Seperti mendengarkan tabuhan rebana dalam pesta pernikahan, dan suara-suara


yang lain, yang diperbuat orang dengan maksud mencari kenikmatan dan hiburan, bukan
dengan maksud ibadah dan bertaqarrub kepada Allah.
Jenis yang kedua: Seseorang melakukan simaa` untuk tujuan ibadah, meluruskan hati,
memurnikan kecintaan manusia kepada Tuhan mereka, menyucikan hati mereka dan
membersihkan hati mereka.

Dan perbuatan tersebut digerakkan oleh hati yang takut, inabah, kecintaan, kepekaan
hati dan faktor-faktor lain yang masuk dalam kategori ibadah dan keta`atan, bukan dalam
kategori permainan dan hiburan.

Maka harus dipisahkan antara mendengarnya orang-orang bertaqarrub kepada Allah


dengan mendengarnya orang-orang yang mencari hiburan; antara mendengar yang diperbuat
orang dalam pesta-pesta pernikahan dan acara-acara gembira serta dalam kebiasaan-
kebiasaan lain yang semisalnya dengan mendengar yang diperbuat orang untuk meluruskan
hati dan mendekatkan diri kepada Tuhan Pencipta alam semesta. Karena sesungguhnya
simaa` itu kelak akan ditanyakan: Apakah ia adalah pendekatan dan keta`atan? Dan apakah ia
jalan menuju Allah? Dan apakah mereka harus melakukannya karena di dalamnya terdapat
unsur pengaruh yang bisa melembutkan hati, menggugah perasaan mereka terhadap siapa
yang mereka cintai, menyucikan hati mereka, dan menghilangkan kekerasan dari hati mereka,
serta tujuan-tujuan lain yang dicari melalui simaa`? Sebagaimana orang-orang Nashrani
melakukan simaa` semacam itu di gereja-gereja mereka dengan tujuan ibadah dan melakukan
keta`atan, bukan untuk hiburan dan permainan.

Jika hal ini telah diketahui, maka hakekat pertanyaan tersebut ialah: Apakah boleh
bagi syeikh tersebut menjadikan perkara-perkara yang bisa jadi ia Haram, atau Makruh atau
Mubah, sebagai qurobah (pendekatan diri kepada Allah), ibadah dan keta`atan; serta jalan
menuju Allah, yang dia menyeru manusia kepada Allah dengannya, menyadarkan para ahli
maksiat, membimbing dan memberi petunjuk kepada orang-orang yang sesat.

Telah diketahui dengan jelas bahwa agama itu mempunyai dua "kaedah dasar", tidak
ada agama kecuali apa yang disyari`atkan Allah, dan tidak ada yang haram kecuali apa yang
diharamkan Allah, sementara mereka mensyari`atkan agama yang Allah tidak
mengidzinkannya.

Jika seorang alim ditanya tentang seorang yang berlari di antara dua gunung, apakah
itu boleh baginya? Dia akan menjawab: "Boleh" Tapi jika dia ditanya: "Dia melakukan itu untuk
tujuan ibadah seperti seseorang yang melakukan sa`i antara Shafa dan Marwa" Maka dia akan
menjawab: "Jika dia melakukannya menurut tujuan tersebut, maka perbuatannya haram dan
munkar. Pelakunya diminta untuk bertaubat, jika mau bertaubat (maka dia dilepaskan) dan jika
tidak mau, maka dia dibunuh."
)( Saya katakan: Jika seperti ini perkataan Syeikhul Islam terhadap orang yang menjadikan
sebagian perkara mubah sebagai ibadah dan qurobah, maka bagaimana halnya dengan orang
yang menjadikan perkara haram atau kekafiran sebagai ibadah dan qurobah, lalu dia
bertaqarrub kepada Allah dengan kekafiran yang terang-terangan dan kemusyrikan yang nyata,
seperti orang yang bersumpah untuk menghormati konstitusi syirik dan hukum-hukum kafir, dan
menampakkan loyalitas pada wali-walinya, dan menerima jadi pembuat hukum (anggota
legeslatif) menurut konstitusi syirik tadi, beranggapan bahwa apa yang dia lakukan adalah untuk
menolong agama dan untuk kepentingan dakwah? Kami mohon kekuatan dan keselamatan
kepada Allah.

Jika dia ditanya tentang membuka (tutup) kepala, memakai sarung dan pakaian, maka
dia akan berfatwa bahwa itu boleh, tapi jika dia ditanya: Dia melakukannya untuk tujuan
berihram seperti orang haji berihram, maka dia akan menjawab: "Perbuatan itu haram dan
munkar."

Jika dia ditanya tentang seorang yang berdiri di bawah terik matahari, maka dia akan
mengatakan: Itu boleh. Tapi jika dia ditanya bahwa orang tersebut melakukannya adalah
dengan maksud ibadah, maka dia akan menjawab: "Perbuatan itu munkar." Sebagaimana Al
Bukhari meriwayatkan hadits dari Ibnu `Abbas ra: "Bahwasanya Rasulullah Saw. pernah
melihat seorang lelaki berdiri di bawah terik matahari. Lalu beliau bertanya: "Siapa orang itu?"
Para sahabat menjawab: "Itu adalah Abu Isra'il, dia hendak berdiri di bawah terik matahari, tidak
duduk, tidak bernaung dan tidak bicara." Lantas Nabi Saw. berkata: "Perintahkan dia supaya
bicara, supaya duduk, supaya bernaung dan supaya dia menyempurnakan puasanya." )*( Ini
jika dia lakukan untuk istirahat, atau untuk tujuan mubah yang tidak dilarang, akan tetapi jika dia
melakukannya dengan tujuan ibadah, maka dia dilarang melakukannya.

)( Lihat Al Bukhari, dalam Kitaabul Iimaan wan Nudzuur XI/586, hadits ini diriwayatkan pula
oleh Abu Dawud, Ibnu Majah serta yang lainnya.

Demikian pula jika seseorang masuk rumahnya lewat belakang rumah, maka itu tidak
diharamkan atasnya, akan tetapi jika dia melakukannya dengan maksud ibadah, sebagaimana
yang dahulu dilakukan orang-orang musyrik pada masa jahiliyah (maka itu diharamkan); Dulu
jika salah seorang di antara mereka hendak berihram untuk haji, maka dia tidak masuk
rumahnya lewat pintu depan. Seperti firman Allah Ta`ala:

"Dan kebajikan itu bukanlah memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan
itu ialah orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya." (Qs Al
Baqarah 189)
Allah Ta`ala menerangkan bahwa perbuatan tersebut bukanlah kebajikan, meski ia
tidak haram. Maka barangsiapa melakukannya dengan maksud melakukan kebajikan dan
bertaqarrub kepada Allah, maka dia telah bermaksiat, tercela dan melakukan bid`ah. Bid`ah itu
lebih disukai Iblis daripada maksiat, oleh karena orang yang bermaksiat tahu bahwa dia
melakukan maksiat lalu bertaubat, sedangkan pelaku bid`ah mengira bahwa apa yang
diperbuatnya adalah keta`atan sehingga dia tidak bertaubat.

Oleh karena itu siapa yang datang untuk mendengarkan permainan dan hiburan, maka
janganlah dia menghitungnya sebagai bagian dari amal shalehnya, dan jangan pula berharap
pahala dengannya. Adapun orang yang melakukannya dengan keyakinan bahwa ia adalah
jalan menuju Allah Ta`ala, maka sesungguhnya dia telah menjadikan amalan tersebut sebagai
agama, dan apabila dia dilarang melakukannya, maka dia merasa seolah-olah dilarang
menjalankan agamanya.* Dan dia menganggap bahwa dia telah terputus dari Allah dan
terhalang bagiannya dari Allah Ta`ala jika dia meninggalkannya. Mereka itu adalah orang-orang
yang sesat menurut kesepakatan kaum muslimin, dan tak seorangpun di antara para pemimpin
Islam yang mengatakan bahwa menjadikan amalan seperti ini sebagai agama dan jalan menuju
Allah Ta`ala adalah sesuatu perkara yang mubah; bahkan siapa yang menjadikan amalan itu
sebagai agama dan jalan menuju Allah Ta`ala, maka dia sesat, mengada-adakan kebohongan
dan menyelisihi ijma` kaum muslimin. Dan siapa yang melihat zhahir amal tersebut dan
berbicara atasnya, tanpa melihat perbuatan si pelaku dan niatnya, maka dia jahil, berbicara
tentang masalah agama tanpa ilmu.

(*) Sebagaimana ia adalah gambaran keadaan banyak para da`i yang menjadikan jalan-jalan
bengkok dan melenceng dari jalannya para Nabi sebagai agama. Sesungguhnya mereka
membela dan mempertahankannya seperti orang yang membela agamanya. Bahkan mereka
membid`ahkan orang yang menyelisihi jalan mereka, dan menuduhnya sebagai orang yang
keluar dari agama atau dengan sebutan Khawarij atau Ahli Bid`ah lain yang serupa mereka.
Berbeda halnya dengan orang yang menjadikan cara itu sebagai amalan keduniawiaan saja..!!

Pertanyaan seperti ini, mestinya dijawab dengan pertanyaan balik: "Apakah yang
dilakukan mereka sebagai thariqah, qurobah dan keta`atan kepada Allah Ta`ala, memang
benar disukai Allah dan Rasul-Nya atau tidak? Apakah mereka diberi pahala atas apa yang
mereka lakukan atau tidak? Dan apabila amalan itu bukanlah qurobah, keta`atan dan ibadah
kepada Allah, lalu mereka mengerjakannya atas dasar bahwa ia adalah ibadah dan jalan
menuju Allah Ta`ala, maka apakah keyakinan yang seperti ini halal bagi mereka? Dan halal
pulakah amalan menurut niatan seperti itu?
Apabila pertanyaan seperti ini, tidak ada hak bagi seorang alim pengikut Rasul Saw.
untuk menjawab: "Sesungguhnya amalan itu termasuk qurobah dan keta`atan, dan
bahwasanya ia termasuk di antara macam-macam ibadah, dan ia termasuk jalan Allah Ta`ala
dan thariqah-Nya, yang mana mereka boleh menyeru manusia kepada Allah dengannya"
Ataupun mengatakan "Ia termasuk ibadah yang diperintahkan Allah Ta`ala dengan perintah
wajib atau mustahab." Dan apa yang tidak termasuk amalan-amalan wajib ataupun amalan-
amalan sunnah, maka ia bukan amalan yang terpuji, ataupun hasanah ataupun keta`atan
ataupun ibadah menurut kesepakatan kaum muslimin.

Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan wajib ataupun sunnah, dengan
keyakinan bahwa ia termasuk amalan yang wajib atau sunnah, maka ia adalah orang yang
sesat dan seorang ahli bid`ah, dan tidak diragukan lagi bahwa perbuatannya menurut
keyakinan seperti itu adalah haram,.* Terlebih lagi, banyak orang-orang yang menjadikan
simaa` bid`ah ini sebagai thariqah, yang mereka dahulukan atas simaa` Al Qur`an dalam
penghayatan hati dan rasa. Atau boleh jadi mereka mendahulukannya dalam keyakinan. Maka
kamu dapati mereka mendengar Al Qur`an dengan hati berpaling, lesan bersendau gurau,
gerakan-gerakan tubuh yang tak jenak, dan dengan suara-suara yang mengekspresikan
ketidak senangan hati dan jiwa mereka. Akan tetapi jika mereka mendengar "Siulan" dan
"Tepuk tangan" (**), maka hati mereka mendengar dengan penuh perhatian, bertautlah pecinta
dan yang dicinta, suarapun jadi hening, gerakanpun menjadi tenang, tak ada batuk, tak ada
bersin, tak ada gaduh ribut dan tak ada pula sorak sorai teriakan. Dan jika mereka membaca
ayat-ayat Al Qur`an atau mendengarnya, maka mereka membaca atau mendengarnya dengan
lagak dibuat-buat dan dipaksa-paksa, seperti orang yang mendengar sesuatu yang tak
dibutuhkannya dan bermanfaat baginya. Tapi jika mereka mendengar seruling syetan, maka
mereka menyukainya, mendengarnya dengan penuh perhatian dan terpaut hati mereka
padanya.

(*) Lantas bagaimana halnya dengan orang yang mengerjakan perbuatan haram atau kufur,
dengan keyakinan bahwa perbuatan itu termasuk di antara kewajiban agama dan maslahat
dakwah?!

(**) Kata-kata ini diambil dari firman Allah Ta`ala yang menuturkan perikeadaan orang-orang
musyrik:

"Dan tiadalah sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, melainkan hanyalah bersiul-siul dan
bertepuk tangan belaka." Dalam ayat ini terdapat isyarat yang menunjukkan adanya kemiripan
dalam sebagian tata cara ibadah mereka antara Ahli Simaa` yang telah disebutkan dengan
kaum musyirikin dalam ayat di atas.

Mereka adalah tentara syetan dan musuh Ar Rahman sedangkan mereka mengira
bahwa mereka termasuk di antara wali-wali Allah yang bertakwa. Tapi peri keadaan mereka
lebih mirip dengan peri keadaan musuh-musuh Allah, orang-orang munafik; karena
sesungguhnya orang mu`min mencintai apa yang dicintai Allah Ta`ala, membenci apa yang
dibenci Allah Ta`ala, berwali kepada wali-wali Allah dan memusuhi musuh-musuh Allah,
perbuatan mereka justru sebaliknya, mereka mencintai apa yang dibenci Allah, membenci apa
yang dicintai Allah, berwali kepada musuh-musuh Allah dan memusuhi wali-wali-Nya*, maka
dari itu terjadilah kompromi-kompromi syaithani dalam diri mereka sesuai dengan tiupan
seruling-seruling syetan yang mereka mainkan. Semakin jauh mereka dari Allah, dari Rasul-Nya
dan dari jalannya orang-orang beriman, maka semakin dekat mereka kepada musuh-musuh
Allah, musuh-musuh Rasul-Nya dan tentara-tentara syetan.

(*) Alangkah mirip kesesuaian perkataan Syeikhul Islam ini, dengan orang-orang yang mengaku
sebagai para pendakwah dan pembela agama dari jama`ah-jama`ah yang berpaham jahmiyah
dan murji`ah di zaman ini. Sesungguhnya mereka membenci ahli tauhid yang memusuhi
thaghut-thaghut dan berlepas diri dari kebatilan mereka. Mereka membenci jalan yang ditempuh
ahli tauhid, membodoh-bodohkan mereka serta mencela dakwah mereka, sementara pada saat
yang sama mereka menunjukkan pembelaan mereka terhadap thaghut-thaghut, atau berdebat
untuk kepentingan mereka, dan mendiamkan kebatilan mereka serta menjustifikasi syubhat
yang batil --seperti pujian mereka terhadap sistem demokrasi dan pembelaan mereka terhadap
undang-undang dan hukum-hukum positip--, atau menghidupkan syubhat dengan tujuan
meremehkan kebatilan itu tadi, mereka berdalih jika memang itu adalah kebatilan, maka
sesungguhnya kebatilan tersebut tidak sampai pada tingkatan syirik dan kafir yang
mengeluarkan seseorang dari millah Islam, tapi ia hanyalah kufrun duuna kufrin (kufur ashghar).
Sesungguhnya yang buta itu bukanlah mata, tapi hati yang ada di dalam dada mereka.

Di antara mereka ada yang bisa terbang di udara, tapi syetanlah yang sebenarnya
membawanya terbang; dan dia antara mereka ada yang bisa membanting para hadirin, tapi
syetan-syetannyalah yang sebenarnya membanting mereka; dan di antara mereka ada yang
bisa mendatangkan makanan dan lauk pauk serta mengisi teko dari udara, tapi syetan-
syetanlah yang melakukan perbuatan itu. Lantas orang-orang yang jahil mengira bahwa itu
adalah karomah para wali-wali Allah yang bertakwa. Tapi sebenarnya ia hanyalah sebagian dari
ihwal keadaan para dukun, para tukang sihir dan syetan-syetan yang semisal dengan mereka.
Siapa yang bisa membedakan antara Ahwaal Rahmaniyah dengan Ahwaal Nafsaniyah dan
Ahwaal Syaithaniyah (ihwal keadaan yang diperbuat oleh Allah, manusia dan syetan) maka dia
tidak akan samar dalam melihat mana yang hak dan mana yang batil.

Billaah at-taufiiq, wallaahu a`lam. Wa shallallaahu `alaa muhammadin wa aalihi wa


shahbihi wa salamma.

Di antara kata-kata berharga

(Janganlah kamu mendekati umaro`, atau mempergauli mereka dalam sesuatu perkara. Dan
jangan sampai kamu terpedaya bila ada yang mengatakan padamu "Supaya kamu bisa
memberi bantuan pertolongan dan membela orang yang teraniaya atau menolak ketidak adilan"
karena sesungguhnya itu adalah tipu daya Iblis, yang dijadikan anak tangga -untuk mencari
dunia- oleh para Qari` yang fajir..)

(Sufyan Ats Tsuri)

(Setiap perkara yang tidak bisa dicapai kecuali dengan amalan haram, maka ia haram selama-
lamanya...masalah ini termasuk di antara bukti-bukti yang pasti, yang diketahui lewat penalaran
pertama dan secara spontan...dan siapa yang menyelisihi hal ini, maka dia adalah seorang
sophis -pandai memutar balikkan keadaan- dan seorang penyangkal fakta kenyataan. wa
billaahi at taufiiq)

(Ibnu Hazm __ Al Ihkaam fie Ushuul al Ahkaam I/328)

"Tiadalah seseorang berpaling dari cara-cara syar`i kepada cara-cara bid`ah, melainkan karena
kejahilan atau ketidak mampuan atau karena tujuan yang rusak."

(Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah)

(Tidak boleh menetapkan hukum-hukum hanya dengan istihsaan dan istishlaah saja, karena
yang demikian itu berarti membuat syari`at dalam agama dengan ra`yu, dan itu haram
berdasarkan firman Allah Ta`ala: "Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu selain Allah yang
mensyari`atkan untuk mereka agama yang tidak diidzinkan Allah")

(Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah ~Ash Shaarim Al Masluul hal 331~)

(Sesungguhnya kalimat "maslahat dakwah" harus dihapuskan dari kamus para juru dakwah,
oleh karena ia menggelincirkan dan menjadi jalan masuk syetan untuk mendatangi mereka,
ketika dia kesulitan mendatangi mereka dari sisi kepentingan pribadi. Maslahat dakwah telah
berubah menjadi berhala yang disembah oleh para juru dakwah, dan melupakan mereka dari
manhaj dakwah yang asli)

(Sayyid Quthb)

Anda mungkin juga menyukai