Anda di halaman 1dari 30

Di antara budi pekerti juru dakwah

Oleh

Salman Fahd Al `Audah

Penerbit: Daarul Wathan

Cetakan Pertama
Rabi`ul Awwal 1411 H
‫بسم اهلل الرمحن الرحيم‬

Shahwah/kesadaran ini adalah dari kami, kami adalah bagian daripadanya, kemuliaannya
adalah kemuliaan kami, kemenangannya adalah kemenangan kami, dan kami adalah
manusia yang paling bahagia dengannya!
Tak boleh bagi orang yang mampu, partisipasinya cuma sebatas "senang" saja, tapi
yang kami kehendaki darinya adalah "Senang" dalam arti positip, yakni rasa senang yang
berubah menjadi kata-kata konstruktip, atau nasehat yang terarah, atau gerakan yang
tepat.
Menuntun shahwah bukanlah perkara yang dapat dikerjakan oleh individu-individu
ummat, tapi ia merupakan tanggung jawab semuanya.
Maka mari kita ikut serta berperan positip dan serius dalam rangkaian yang penuh
berkah ini, sebelum kita ketinggalan kereta, dan sebelum kawanan burung terbang
membawa rezkinya!
Penulis

Baridatul qashim
As Su`uudiyah

PO BOX 2782.

1__ Tanpa pendahuluan:

Di antara do`a Rasulullah Saw. yang shahih ialah:

،‫ واصرف عني سيئها ال يصرف عني سيئها إال أنت‬،‫اللهم اهدني ألحسن األخالق ال يهدي ألحسنها إال أنت‬
"‫ تباركت و تعاليت‬، ‫ أنا بك وإليك‬، ‫لبيك و سعديك والخير كله في يديك والشر ليس إليك‬

"Ya Allah tunjukkanlah aku pada budi pekerti yang terbaik, tak ada yang dapat
menunjukkan kepada budi pekerti yang terbaik kecuali Engkau. Dan palingkanlah
aku dari keburukannya, tak ada yang dapat memalingkanku dari keburukannya
kecuali Engkau. Labbaik wa Sa`daik (kupenuhi panggilan-Mu dan kugembirakan-Mu),
dan kebaikan itu semuanya ada pada kedua tangan-Mu, dan keburukan itu tidak
akan menyentuh-Mu. Aku ada dengan kehendak dan inayah-Mu, dan akan kembali
kepada-Mu. Maha Suci dan Maha Luhur Engkau " Muslim I/535.

" ‫" اللهم إني أعوذ بك من منكرات األخالق و األعمال و األهواء‬


"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kemunkaran/kebejatan
akhlak, amal perbuatan dan hawa nafsu" At Tirmidzi V/536

" ‫خْلقي فحسن خُُلقي‬


َ ‫" اللهم حسنت‬

"Ya Allah, telah Engkau perbagus penciptaanku, maka perbagus pulalah budi
pekertiku" Ahmad I/403; VI/68. 155.

Do`a Nabi Saw. yang lain:

"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung diri kepada-Mu dari sifat lemah dan malas,
dan dari sifat pengecut dan kikir, dan dari kepikunan dan kekerasan (hati), dan dari
kelalaian dan kefakiran, dan dari kehinaan dan kepapaan. Dan aku berlindung diri
kepada-Mu dari kemiskinan dan kekafiran, dan dari kefasikan, perselisihan dan
kemunafikan, dan sum`ah serta riya`. Dan aku berlindung diri kepada-Mu dari bisu
dan tuli, gila dan kusta, dari lepra dan penyakit yang buruk" Al Mustadrak
I/530,531.

2__ Untuk menyempurnakan akhlak/budi pekerti yang mulia:

ِ khlak menempati satu kedudukan yang amat agung di dalam Islam, bahkan
A
ada riwayat shahih yang datang dari Nabi Saw., bahwa beliau bersabda:

"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan budi pekerti yang bagus"


sedang dalam riwayat lain disebutkan: "Budi pekerti yang mulia" 1
Seakan-akan Rasul Saw. membatasi missi yang mana dia diutus untuk
menyampaikannya adalah untuk perkara yang satu ini .. dan itu tidaklah aneh!
Sesungguhnya kita telah memahami bahwa "Akhlak" adalah hubungan seorang
hamba dengan Allah dan hubungannya dengan manusia. Persoalan tersebut sudah
jelas. Dan agama ini seluruhnya adalah menjelaskan, bagaimana kamu berhubungan
dengan Khalik? Bagaimana kamu beribadah kepada-Nya dan mentauhidkan-Nya serta
menjauhi apa yang dimurkai-Nya? Dan bagaimana kamu berhubungan dengan
makhluk? Termasuk di dalamnya hubungan dengan para malaikat, para Nabi, orang-
orang shaleh, dan karib kerabat yang mempunyai hak-hak untuk dicintai dan
disayangi; sebagaimana masuk pula di dalamnya hubungan dengan makhluk lain
seperti syetan, orang-orang kafir, orang-orang fasik dan orang-orang munafik. Yakni
orang-orang yang dibenci manusia dalam hubungannya dengan hak Allah seperti
orang-orang kafir, atau dibenci manusia dari satu aspek seperti orang-orang fasik
yang masih terdapat pada diri mereka pokok keimanan kepada Allah dan Rasul-rasul-
Nya.
Adapun pemahaman kita tentang "Akhlak" dengan makna pengertian yang lebih
khusus, bahwa ia adalah interaksi hubungan antara manusia dengan manusia saja,
jika memang demikian maksudnya, maka pembicaraan tadi haruslah dibawa kepada
makna pengertian besarnya keutamaan akhlak dan tingginya kedudukan akhlak di
dalam agama, sebagaimana dalam hadits ‫" الحج عرف=ة‬Haji adalah Arafah"2 dan hadits
‫" الدين النصيحة‬Agama itu adalah nasehat"3
Karena yang dimaksud hadits di atas bukanlah membatasi ibadah haji hanya
dengan wuquf di Arafah, atau membatasi seluruh ajaran agama hanya dalam soal
nasehat saja. Tapi yang dimaksudkan adalah bahwa wuquf di Arafah merupakan
rukun haji yang terbesar, dan bahwa nasehat itu merupakan satu tingkatan tinggi
dalam agama.
Jadi tidak ada kesamaran dalam hadits tersebut, menurut dua makna
pengertian di atas. Keduanya mempunyai indikasi kuat yang menunjukkan besarnya
kedudukan akhlak dalam Islam.

3__ Muslim .. dan da`i:

Mengacu kepada pemahaman ini, maka wajib bagi setiap muslim untuk
menghias dan mempercantik dirinya dengan budi pekerti yang bagus, baik dia
seorang da`i ataupun bukan da`i. Sebab akhlak itu termasuk di antara maksud tujuan
diutusnya Nabi Muhammad, yang mana Allah memuliakan anak manusia di dunia
dengannya, dan memberikan ciri sifat khusus pada diri orang-orang beriman, yang
mana ciri sifat tersebut tidak terdapat pada diri manusia selain mereka. Allah
memberi petunjuk mereka dengannya ke jalan yang lurus, mensucikan jiwa mereka
dan mengajarkan kepada mereka apa-apa yang tidak mereka ketahui sebelumnya.

‫هو الذي بعث في األميين رسوال منهم يتلو عليهم آياته ويزكيهم ويعلمهم الكتاب والحكمة وإن كانوا من قبل لفي ضالل مبين‬

1
HR. Ahmad (II/381), Malik (II/904), Al Bazzar, sebagaimana disebut dalam kitab Al Majma` (IX/15). Al Haitsami berkata:
"Para perawinya adalah perawi-perawi shahih. Ibnu `Abdul Barri berkata: "Hadits ini adalah hadits madani, shahih dan
muttashil (bersambung sanadnya) dari beberapa jalan periwayatan yang shahih, dari Abu Hurairah dan sahabat yang lain.
2
HR. At Tirmidzi 899, Abu Dawud 1949, An Nasa`i 3044, Ibnu Majah 3015, Ad Darami, dan yang lain. Semuanya, dari
`Abdurrahman bin Ya`mar Ad Dili.
3
HR. Muslim 55, Abu Dawud 4944, An Nasa`i 4197-4198 dari hadits Tamim ad Darami.
"Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang ummi (tak kenal baca tulis), seorang
Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,
mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah (As
Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang
nyata" (Qs Al Jumu`ah 2)
Tazkiyah/penyucian yang disebut dalam ayat di atas, mencakup pula
tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) dan penggemblengannya dengan akhlak-akhlak yang
luhur serta pembersihannya dari sifat-sifat yang buruk .. dalam ayat ini, sebagaimana
juga dalam hadits di muka, nampak bahwa budi pekerti yang baik merupakan
maksud tujuan di antara maksud-maksud tujuan diutusnya Muhammad sebagai
Nabi, bahkan ia termasuk maksud tujuannya yang paling utama.
Apabila berhias dengan akhlak mulia adalah wajib bagi setiap individu
muslim .. lantas bagaimana gerangan dengan da`i yang dalam hal ini mengusung
bendera dakwah dan syi`arnya .. serta mendakwahkannya di tengah-tengah manusia?
Sesungguhnya pandangan mata manusia lebih cepat tertuju padanya,
kesalahan darinya lebih cepat terjadi, dan kritikan terhadapnya jauh lebih keras dan
pedas.. Jadi dakwahnya harus dengan perbuatannya lebih dahulu sebelum
perkataannya. Maka dari itu menghias diri dengan akhlak yang mulia bagi seorang
da`i adalah lebih wajib dan lebih perlu, untuk bisa menjalankan kewajiban besar yang
telah Allah bebankan di atas pundaknya.. sebagaimana ucapan seorang penyair:

Trimakasih atas karunia-Mu, karena Kau tlah bebani pundak kami


dengan suatu penugasan yang telah Kau percayakan atas kami//

Dan untuk melindungi dakwah serta pengikut dakwah dari lidah tajam para
penentang, dari pena-pena musuh yang menikam, dan dari ilusi-ilusi/hayalan orang-
orang yang lalai dan terburu nafsu!

4__ Inilah sebagian dari akhlak tersebut:


Sekiranya saya mau membicarakan akhlak yang harus melekat pada diri
seorang da`i secara lengkap dan tuntas, tentu pembicaraannya sangat lama dan
panjang, sehingga saya tak bisa berbuat apapun. Mengingat di hadapan saya
terpampang sejumlah besar buku-buku tulisan yang membahas tentang akhlak. Di
antaranya kitab "Akhlaaq An Nabi" tulisan Syeikh Ashbahani, "Makaarimul Akhlaaq"
tulisan Ath Thabrani dan tulisan Al Kharaithi, "Al Akhlaaq was Siyar" tulisan Ibnu
Hazm, "Dustuur Al Akhlaaq fil Qur`an" tulisan Muhammad `Abdullah Diraz .. dan
seabrek kitab lainnya yang membahas tentang akhlak.
Risalah ini --wahai saudaraku yang mulia-- bukan membahas tentang akhlak
dan falsafahnya, akan tetapi ia memaparkan sejumlah keutamaan-keutamaan akhlak
yang dirasakan amat besar urgensinya bagi seorang da`i, dengan banyaknya nash-
nash yang ada di dalamnya. Dalam risalah ini, saya hanya akan membicarakan sisi-
sisi pentingnya dan meninggalkan sisi-sisi lain yang terdapat pada sumber-sumber
rujukan ilmu bagi orang yang hendak mendalaminya.

Pertama: Shidiq (benar)

} ‫{ يا أيها الذين آمنوا اتقوا هللا وكونوا مع الصادقين‬

"Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah kalian
bersama orang-orang yang benar" (Qs At Taubah 119)
Banyak yang memahami kata shidiq bahwa ia adalah kejujuran lesan dalam
berkata saja, padahal sebenarnya shidiq adalah manhaj umum, dan merupakan salah
satu ciri dari ciri-ciri kepribadian seorang muslim, luar dan dalamnya, perkataan dan
perbuatannya. Di antaranya ialah:

i-- Shidiq dalam mengemban agama:


Yakni hendaklah seseorang beragama dengan benar, keagamaan yang dibangun
di atas landasan kejujuran/kebenaran terhadap Allah `Azza wa Jalla, bukan di atas
landasan nifak, kebohongan dan menjilat. Oleh karena itu kata shidiq dipakai di
dalam Al Qur`an sebagai lawan dari kata nifak:

} ‫{ ليجزي هللا الصادقين بصدقهم ويعذب المنافقين إن شاء أو يتوب عليهم‬


"Supaya Allah memberi balasan kepada orang-orang yang benar dengan sebab
kebenarannya, dan menyiksa orang-orang munafik jika Dia menghendakinya, atau
menerima taubat mereka" (Qs At Taubah 24) ]
Jadi keislaman secara zhahir itu haruslah disertai dengan keimanan secara
bathin, harus baik keyakinannya kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, para Nabi
dan kepada hari akhir.
Jadi tingkah laku zhahir itu haruslah sesuai dan seiring dengan tingkah laku
batin.

Di sini ada bisikan jahat di antara bisikan-bisikan jahat syetan, yang


menginspirasikan kepada seorang da`i supaya meninggalkan sebagian amal-amal
shaleh yang zhahir, dengan hujjah bahwa bathinnya tidaklah demikian .. Jangan
kamu lakukan, supaya manusia tidak terpedaya olehmu!
Ini adalah satu kesalahan besar. Karena amal shaleh yang selalu kamu
kerjakan dengan anggota badanmu termasuk di antara sebab-sebab yang menjadikan
hatimu jadi baik dan shidiq, selama kamu tidak mengerjakan amal shaleh itu dengan
maksud riya` dan sum`ah, dan bukan pula untuk memperdaya orang-orang beriman.

ii. Shidiq dalam perkataan:


Benar dalam perkataan adalah ekspresi yang mengungkapkan kuatnya
kepribadian, martabat, keluhuran budi dan kemuliaan seseorang. Dan tiada
menggunakan kebohongan sebagai tameng pelindung, kecuali orang yang rendah
akhlaknya, buruk perangainya dan lemah kepribadiannya. Fitrah yang sehat akan
menganggap kebohongan sebagai aib dan keburukan. Karena itu agama-agama
samawi sepakat dalam mengharamkan kebohongan dan menganggapnya sebagai
suatu kejahatan.
Maka bagaimana pendapatmu dengan seorang da`i .. apakah terbayang dalam
benakmu akan timbul kebohongan daripadanya?!
Saya yakin --insya Allah-- bahwa jawabannya adalah "Tidak".

Akan tetapi:
Ada di antara para da`i yang terlalu longgar dalam melakukan "Tauriyah", yakni
seorang da`i mengucapkan satu perkataan yang dipahami orang tapi bertentangan
dengan apa yang dia maksud. Kadang tersingkap setelahnya, bahwa kenyataan yang
ada ternyata berlainan dengan apa yang mereka pahami darinya, akhirnya merekapun
menuduhnya sebagai pembohong .. kemudian terlalu longgar dalam melakukan
tauriyah, bisa membawa kepada sikap toleran terhadap sebagian "kebohongan-
kebohongan" dengan dalih alasan bahwa kebohongan itu adalah untuk maslahat!!
Hati-hati, dan waspadalah!!
Wahai para da`i: Ketika sikon memaksa dirimu berbohong, maka janganlah
kamu berani melakukannya, ingatlah ucapan Abu Sufyan di hadapan Kaisar
Heraklius ketika Kaesar menanyakan padanya tentang pribadi Rasulullah Saw. Maka
Abu Sufyan menjawab: "Demi Allah, sekiranya bukan karena khawatir mereka akan
mencapku sebagai pembohong, pasti aku akan berbohong"! 4
Lelaki ini --ketika dia masih jahil-- menghindari berkata dusta, karena khawatir
mereka menyampaikan kebohongan itu darinya, atau mereka menjelek-jelekannya
lantaran kebohongan itu pada suatu masa kelak, padahal dia sangat membutuhkan
kebohongan itu. Kami tahu bahwa kehormatan para da`i saat ini telah menjadi objek
sasaran bagi banyak anak panah. Maka dari itu wajib bagi seorang da`i untuk
menutup pintu masuk cacat dan cela, supaya dia bebas dan selamat dari tuduhan.
iii. Shidiq dalam perbuatan:

4
HR. Al Bukhari.
Maksudnya ialah, hendaknya amal perbuatan manusia tulus murni untuk
mencari keridhaan Allah Ta`ala bersih dari unsur riya` dan sum`ah. Allah Ta`ala
berfirman:

} ً‫{ فمن كان يرجو لقا َء ربّه فليعمل عمالً صالحا ً وال يشرك بعبادة ربه أحدا‬

"Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia


beramal shaleh dan jangan mempersekutukan seorangpun di dalam beribadah kepada
Tuhan-Nya" (Qs Al Kahfi 110)
Allah Ta`ala berfirman:
} ً‫{ ليبلوكم أيكم أحسن عمال‬

"Untuk menguji kalian, siapa di antara kalian yang paling baik amalnya" (Qs Al Mulk
2)
Fudhail bin `Iyadh berkata, menafsirkan makna ayat "Siapa di antara kalian
yang paling baik amalnya": Yakni, : ‫ أخلصه و أصوبه‬yang paling ikhlas dan paling benar.
Lantas beliau ditanya: "Wahai Abu `Ali, apa yang kau maksud dengan yang paling
ikhlas dan paling benar" Beliau menjawab: "Sesungguhnya amal itu, jika ia
(dikerjakan dengan) ikhlas tapi belum benar, maka ia tidak diterima; dan jika ia
(dikerjakan dengan) benar, tapi belum ikhlas, maka ia juga tidak diterima. Tidak
diterima amal, sampai ia (dikerjakan dengan) ikhlas lagi benar!"
Dan di antara bentuk shidiq dalam perbuatan ialah: Jelas, menghindari yang
samar dan kabur.
Abu Dawud dan An Nasa`i meriwayatkan hadits dari `Utsman bin `Affan ra,
bahwasanya dia datang membawa `Abdullah bin Sa`ad bin Abus Sarh yang telah
divonis mati oleh Rasulullah Saw.. `Utsman bin `Affan membawanya ke hadapan
Rasulullah Saw. dan kemudian berkata: "Wahai Nabi Allah, bai`atlah `Abdullah!"
Rasulullah Saw. mengangkat kepalanya dan memandangnya hingga dua atau
tiga kali. Dua kali yang pertama, beliau enggan membai`atnya. Baru kemudian setelah
yang ketiga kalinya, beliau mau membai`atnya. Kemudian beliau menemui para
sahabat dan mengatakan pada mereka: "Tidakkah di antara kalian ada lelaki berakal,
yang bangkit ke arah lelaki itu untuk membunuhnya ketika dia melihat kedua
tanganku tergenggam tak mau membai`atnya?" "Kami tak tahu, wahai Rasulullah, apa
yang ada dalam hatimu. Kenapa engkau tidak memberi isyarat dengan matamu
kepada kami?" Rasulullah Saw. menjawab: "Sesungguhnya tidak sepantasnya bagi
seorang Nabi memiliki mata khianat!!"5
Sampai sejauh itu, tingkat keshidiqan Nabi Saw. dalam tindak perbuatannya.
Beliau tidak senang membunuh musuh besarnya yang telah dia black list mati dengan
cara samar, yakni dengan cara mengerdipkan mata! Inilah yang menjadi adat
kebiasaan beliau sepanjang hidupnya. Karena itu kaum musyrikin pada masa awal
permulaaan dakwah tak bisa menuduhnya sebagai pembohong, tapi menuduhnya
sebagai "Penyair .. tukang sihir .. orang gila" namun demikian orang-orang tidak
mempercayai tuduhan mereka. Ketika mereka sudah kehilangan kebenaran mereka
dan telah lemah tipu muslihat mereka, maka mereka berteriak: "Dia pendusta" .. akan
tetapi mana mungkin orang-orang mau mempercayai mereka.
At Tirmidzi meriwayatkan dari `Abdullah bin Sallam ra, dia berkata: Tatkala
Nabi Saw. tiba di kota Madinah, maka orang-orang lari berhampuran ke arahnya. Di
sana sini terdengar ucapan: Rasulullah Saw. telah datang! Rasululullah Saw. telah
datang! Rasulullah Saw. telah datang. Lalu aku mendatangi kerumunan orang ramai
untuk menyaksikannya. Takala aku mengamati wajah Rasulullah Saw dengan
seksama, maka tahulah aku bahwa wajahnya bukanlah wajah seorang pendusta. Hal
pertama yang ia sampaikan kepada orang-orang ialah: "Wahai manusia, sebarkanlah
salam, berikanlah makanan, dan shalatlah (di malam hari) saat manusia tidur lelap,
niscaya kalian masuk surga dengan selamat" 6

5
HR. Abu Dawud 2683, An Nasa`i 4068, Al Hakim III/45, dan hadits ini mempunyai syahid/penguat pada Abu Dawud 3094
dan Ahmad III/151 dari hadits Anas . Adapun lafazhnya ialah "Sesungguhnya tidak patut bagi seorang Nabi untuk mengerling."
Lihat As Silsilah Al Ahaadiits Ash Shahiihah 1723.
6
Ditakhrij oleh Ahmad V/451 dan At Tirmidzi 2485 serta Ibnu Majah 3251.
Sungguh kejujuran Rasulullah Saw. telah mengalir dari lubuk hati ke lesan dan
ke seluruh anggota badan, dan kejujuran tersebut nampak pada roman mukanya
yang mulia .. setiap orang yang melihat penampilannya, sinar wajahnya dan
kebersihannya, maka dia akan menemukan kejujuran di dalamnya dan akan
mengetahui bahwa wajahnya bukanlah wajah seorang pendusta!
Kita membutuhkan type da`i yang mengutamakan kejujuran dalam perkataan
dan perbuatan mereka sehingga kejujuran itu menjadi ciri watak yang mengalir dalam
urat nadi mereka, dan menghias roman wajah mereka. Apabila orang-orang melihat
mereka, maka sontak orang-orang berkata: "Itu bukanlah wajah-wajah para
pendusta!"
Sebagaimana kita membutuhkan da`i-da`i yang menghias diri mereka dengan
budi pekerti mulia, tidak emosional dan provokatif. Mereka tetap menjaga ketenangan
mereka dan keseimbangan tutur kata mereka dalam segala keadaan, sehingga apabila
orang-orang melihat mereka, maka tercetus ucapan dari mulut mereka: "Itu adalah
akhlak para Nabi!"
Sesungguhnya kejujuran kita dalam mengemban dakwah kita, adalah yang
menjadikan manusia mau menerima agama kita. Tak pantas bagi kita menampilkan
diri seperti aktor di atas panggung, yang nampak oleh manusia dengan rupa
penampilan yang berbeda dengan keadaan aslinya. Orang macam ini akan cepat
tersingkap jati dirinya, dan manusia akan berpaling darinya.
Ada dinukil riwayat dari salah seorang salaf, bahwa apabila dia menasehati
orang, maka dia membuat orang menangis sehingga suasana menjadi hiruk dan
meledak ratapan tangis. Boleh jadi ada orang yang lebih banyak ilmunya berbicara di
dalam majlis dan lebih bagus retorika katanya, namun kata-katanya tidak menggugah
hati dan tidak membuat orang menangis!
Ketika suatu hari putranya menanyakan hal ini padanya, maka dia menjawab:
"Wahai putraku, tidak sama wanita yang meratapi kematian putranya dengan wanita
yang meratap karena diupah!"
Jadi, wasilah pertama yang membuat suksesnya seorang da`i adalah:
Kejujurannya dalam mengemban dakwah dan keseriusannya di dalam mengemban
amanat dakwah, dan bahwa kejujuran kata dan perbuatan menjadi manhaj dan
syi`arnya. Yang penting bukanlah kata-kata indah semanis madu --meskipun itu juga
dituntut--, namun yang lebih penting daripada itu adalah kejujuran, dan kejujuran itu
menjelma dalam sikap dan perilakunya, dan pembicaraannya keluar dari relung
hatinya. Pepatah dahulu mengatakan:

Pabila ucapan itu keluar dari hati, maka iapun masuk ke dalam hati
dan pabila ia keluar dari mulut, maka ke ketelingapun tak sampai melewati//

Kedua: Sabar

Sabar adalah kawannya yakin, sebagaimana firman Allah Ta`ala:

‫و جعلنا منهم أئمة يهدون بأمرنا لما صبروا وكانوا بآياتنا يوقنون‬
"Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk
dengan perintah Kami, tatkala mereka sabar, dan adalah mereka meyakini ayat-ayat
Kami." (Qs As Sajdah 24)
Berdasarkan ayat ini, maka Sufyan Ats Tsuri mengatakan: "Dengan sabar dan
yakin, kepemimpinan dalam agama dapat diperoleh"
Siapa yang tidak bersabar, maka dia gampang melepaskan diri dari agamanya
hanya karena sedikit hal yang merintangi jalannya, dan dia gampang meninggalkan
manhaj dan hikmahnya hanya karena suatu provokasi. Karena itu Allah Ta`ala
memerintahkan kepada Nabi-Nya Saw:
"Bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali sampai
orang-orang yang tidak yakin (terhadap kebenaran ayat-ayat Allah) itu
menggelisahkan kamu" (Qs Ar Ruum 60)

Allah Ta`ala berfirman:


"Dan bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan, dan jauhilah mereka
dengan cara yang baik." (Qs Al Muzammil 10)
Sering terjadi orang-orang sesat menentang para da`i yang menyeru kepada
Allah `Azza wa Jalla, dengan ucapan mereka: "Sesungguhnya apa yang kalian serukan
hanyalah lamunan belaka, tak mungkin terjadi dalam kenyataan. Kalian menyeru
kepada perkara-perkara yang telah dilalaikan oleh zaman, telah lalu atau hampir-
hampir dilupakan oleh manusia. Maka seharusnyalah kalian rela menerima selainnya,
dan mengkaji kembali pendapat-pendapat serta ijtihad-ijtihad kalian!!
Menghadapi berbagai tekanan yang muncul, menghadapi berbagai rintangan
yang nyata maupun yang masih berupa bayangan dalam mewujudkan Islam, dan
menghadapi panjangnya perjalanan .. terkadang menjadikan sebagian da`i merespon
dan terpengaruh oleh kata-kata tersebut. Maka iapun mengkaji kembali
pemahamannya terhadap Islam dan mengkaji apa yang dikatakan oleh musuh!
Duhai kiranya, ketika dia melakukannya, maka dia melakukannya dengan spirit
peneliti, objektif, pemberani dan memandang kepada kebenaran di manapun adanya ..
maka persoalanpun jadi mudah!
Akan tetapi dia melakukannya dengan spirit "Pecundang" yang merasa bahwa
dia keluar dari medan pertempuran sebagai tawanan atau takhlukkan .. dia mencari
"solusi" dalam "penawaran-penawaran" musuh yang menjauhkannya dari peperangan
melawan kebatilan .. melawan realitas yang menyimpang dari kebenaran..
Inilah misalnya: Sistem riba yang telah tersebar, mengakar dan membentang
luas, di mana perekonomian dunia seluruhnya tegak di atas sistem ribawi --termasuk
pula dunia Islam--. Hampir-hampir uang riba masuk kantong setiap orang, sehingga
menjadi kenyataan di dalamnya nubu`ah/prediksi Nabi Saw., ketika beliau bersabda:

‫يأتي على الناس زمان من لم يأكل الربا أصابه من غباره‬

"Kelak akan datang pada manusia suatu zaman, siapa yang tidak makan riba, maka
dia terkena debunya"7

Hadits ini, meskipun di dalamnya ada yang lemah, tapi ia menguatkan sabda
Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh Al Bukhari, lantaran keshahihan maknanya:

‫ أمن الحالل أم من الحرام‬، ‫يأتي على الناس زمان ال يبالي المرء ما أكل‬

"Kelak akan datang pada manusia suatu zaman, di mana manusia tidak perduli
terhadap apa yang dia makan, apakah ia dari yang halal ataukah ia dari yang
haram."8

Apa yang haram ini betul-betul telah bercokol di dalam hati banyak orang,
kantong-kantong mereka, lembaga-lembaga mereka dan harta-harta mereka. Alih-alih
seorang da`i gigih berusaha melarang manusia dari riba dan mencari alternatif-
alternatif syar`i yang benar untuk mengembangkan harta manusia dan
mengivestasikannya, dan untuk membangun sistem ekonomi Islam yang sehat ..
justru datang kepadanya orang-orang yang tidak mempunyai keyakinan, lalu mereka
berusaha meremehkan prinsipnya, supaya dia mengkaji ulang pendapatnya terhadap
bentuk-bentuk riba yang jelas lagi gamblang .. bahwa ia punya sandaran fiqh,
meskipun lemah ataupun ganjil. Demikianlah "Realitas kehidupan manusia" yang
terbatas di suatu periode masa, menjadi rujukan untuk meluruskan sebagian hukum-
hukum syar`i yang telah baku selama berabad-abad lamanya!
Sesungguhnya ini adalah akibat hilangnya kesabaran dalam diri sebagian da`i,
dan dengan hilangnya kesabaran tersebut maka hilang pulalah harapan!

Duhai kiranya para da`i mau mendengarkan dengan seksama perkataan pemberi
nasehat yang mengatakan pada teman karibnya:

7
Ditakhrij oleh Ahmad II/494, Abu Dawud 333i, An Nasa`i 4455, Ibnu Majah 2278. Al Mundziri dalam kitabnya Mukhtashar
As Sunan telah menyatakan keterputusan sanad antara Al Hasan dengan Abu Hurairah.
8
HR. Al Bukhari 2059 dan An Nasa`i 4454.
‫إذا لم تستطع شيئا فدعه *** وجاوزه إلى ما تستطيع‬

Pabila kau tak mampu kerjakan sesuatu, maka tinggalkanlah ia


dan lewatkan ia pada sesuatu yang kamu bisa
Kamu tidak dituntut untuk mewujudkan kemenangan yang nyata bagi Islam.
Masalah ini terserah kepada Allah, kapan Dia menghendaki jadi, maka jadilah ia.
Akan tetapi yang dituntut darimu adalah engkau mengerahkan seluruh upaya
dayamu di jalan ini saja! Para Rasul dan Para Nabi dahulupun diberi perintah untuk
hal yang satu ini:
‫إن عليك إال البالغ‬
"Kewajibanmu tiada lain adalah menyampaikan (risalah)" (Qs Asy Syuura 48)

Dan adalah mereka mengatakan pada ummatnya:

"Dan kewajiban kami tiada lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan
jelas" (Qs Yaasiin 17)
Boleh jadi salah seorang di antara mereka mendatangi seorang da`i dan
mengatakan padanya: "Kamu melakukan pekerjaan yang sia-sia, letih siang dan
malam, tapi hasil akhirnya sedikit, di samping itu orang-orangpun meninggalkanmu,
sementara kamu melihat berbagai media perusak dan penghancur telah digunakan
untuk merusak sebagian besar dari mereka .. dan iapun merusak dalam waktu sesaat
apa yang dibangun seorang da`i dalam waktu setahun! Dan:
kapan bangunan itu kan sempurna kelak
jika kau membangunnya sedangkan yang lain merusaknya"
Perkataan ini bisa jadi mempengaruhi banyak orang yang tidak biasa
menghadapi berbagai rintangan dakwah.

Di sini datang peranan "Sabar", kesabaran yang baik.


Dari Khabbab bin Al Aratti ra., dia menuturkan: aku datang menemui Nabi
Saw., waktu itu beliau sedang berbaring bersandarkan sorbannya di bawah naungan
Ka`bah. Kami menerima perlakuan kejam dari kaum musyrikin, maka aku mengadu
kepadanya: "Wahai Rasulullah tidakkah engkau sudi mendo`akan kami? Tidakkah
engkau sudi memintakan pertolongan untuk kami?
Nabi Saw. langsung duduk dan mukanya merah padam, lalu beliau berakata:
"Sungguh dahulu ada orang sebelum kalian, disisir dengan sisir besi daging dan
sarafnya hingga menembus tulang, tapi yang demikian itu tidak memalingkan dia dari
agamanya; dan diletakkan gergaji di atas belahan kepalanya, lalu digergajilah dia
hingga terbelah menjadi dua, tapi yang demikian itu tidak memalingkan dia dari
agamanya. Sungguh Allah pasti akan menyempurnakan agama ini hingga merata
keamanan, seorang pengendara bisa berjalan dari Shan`a ke Hadramaut dalam
keadaan tidak takut kepada apapun selain Allah, dan serigala terhadap dombanya ..
akan tetapi kalian ini tergesa-gesa."9
Tergesa-gesa dalam memetik buah dakwah dan hasilnya, tidaklah cocok dengan
sifat sabar yang mana seorang da`i harus berhias diri dengannya.
Boleh jadi seorang da`i berada di suatu tempat (negeri, madrasah, institusi dll)
berjihad dalam menolak kemunkaran dan menyebarkan dakwah, dan timbul banyak
kebaikan (hal-hal yang positip) melalui perantaraan kedua tangannya. Akan tetapi dia
tidak menyadarinya, oleh karena kebaikan itu datang secara bertahap dan berangsur-
angsur .. sebagaimana seorang bapak tidak menyadari pertumbuhan anaknya yang
dia lihat pagi dan petang, oleh karena anak tersebut tumbuh besar, sedikit demi
sedikit!
Berapa banyak da`i yang meninggalkan suatu tempat karena mengira bahwa dia
tidak punya pengaruh di lingkungan tersebut, akan tapi ketika dia meninggalkannya,
maka kehilangannya jadi terasa dan kedudukannya jadi nampak. Keadaannya adalah
seperti pepatah:

9
HR. Al Bukhari 3852, Abu Dawud 2649, dan diriwayatkan pula oleh An Nasa`i secara singkat 532.
Akan mengingatku kaumku, saat gawat urusan mereka
dan dalam kegelapan malam, dicari-cari bulan purnama //
Peri keadaannya adalah seperti Kas`i10 yang membikin anak panah, lalu dia
membidikkannya pada malam hari. Dia mengira kalau anak tersebut tak mengenai
sasaran yang dia inginkan .. maka diapun mematahkan busurnya. Esoknya dia
melihat, bahwa anak panah tersebut tepat mengenai sasaran. Maka diapun menyesal
karena telah mematahkan busurnya .. maka kelakuannya tadi dibuat sebagai pepatah
dalam soal penyesalan. Sampai-sampai Al Firzadaq berkata sewaktu dia menceraikan
istrinya:

Aku menyesal seperti penyesalan Kas`i tatkala


istri yang tlah kucerai pergi meninggalkanku11
Maka seorang da`i tidak boleh tergesa-gesa memetik hasil dan buah dakwah,
tapi dia senantiasa berusaha dan bersandar kepada Allah Ta`ala, dan mengetahui
melalui pengalaman empirik yang pasti dari sisi historis dan dari sisi realitas bahwa
apapun upaya yang benar, yang dicurahkan di tengah-tengah ummat, maka pasti dia
akan mendatangkan buah. Sebab belum pernah terjadi di tengah ummat ini, ada
seorang yang menyeru tapi tak seorangpun yang menjawab seruannya, atau dia
memberi nasehat, tapi tak seorangpun yang mau mengambil nasehat atas perintahnya
dan larangannya, atau seorang alim duduk untuk memberikan ta`lim, tapi tak
seorangpun yang mau duduk mendengarkannya. Tapi setiap penyeru akan mendapat
orang yang mau menerima dakwahnya, sebab keadaan ummat belumlah sampai pada
keadaan seperti yang dikhabarkan Nabi Saw., di mana "Kekikiran dipatuhi, hawa
nafsu diperturut, dunia diutamakan, dan setiap orang yang punya pendapat bangga
dengan pendapatnya sendiri". Keadaan ini sama sekali belum sampai terjadi dalam
skala ummat secara keseluruhan. Bisa jadi terjadi pada skala individu atau beberapa
individu atau kelompok. Akan tetapi pada diri ummat sekarang masih terdapat
banyak kebaikan, masih ada di kalangan mereka orang-orang yang mau merespon
dan menerima dakwah, menaruh perhatian dengan seksama suara pemberi nasehat
apabila dia berbicara dengan ilmu dan hikmah.
Justru kita dapati di kalangan ummat-ummat kafir sekarang ini, yakni di
Amerika, di Eropa dan negeri-negeri yang lain, orang yang mengusung bendera
dakwah ilallaah memperoleh respon dan penerimaan dari orang-orang kafir atas
dakwah mereka. Di banyak pusat-pusat dakwah Islam, mereka menyampaikan
kepada kami data statistik orang-orang yang masuk Islam dalam seminggu. Jumlah
mereka puluhan, dari kalangan lelaki dan wanita.
Hakekat sejarah dan fakta yang membuktikan bahwa setiap jerih upaya pasti
mendatangkan buah ini, juga merupakan hakekat syar`i:
Allah Ta`ala berfirman:
‫فمن يعمل من الصالحات و هو مؤمن فال كفران لسعيه وإنا له كاتبون‬
"Maka barangsiapa mengerjakan amal shaleh, sedang ia beriman, maka tidak ada
pengingkaran atas usahanya itu, dan sesungguhnya Kami menulis usahanya itu
untuknya" (Qs Al Anbiyaa` 94)

Dan berfirman:

‫ليجزي اهلل الصادقين بصدقهم‬


"Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu dengan sebab
kebenarannya" (Qs Al Ahzab 24)

Nabi Saw. bersabda:

‫ من غير أن ينقص من أجورهم شيء‬، ‫من دعا إلى هدى كان له من األجر مثل أجور من تبعه‬
"Barangsiapa menyeru kepada petunjuk, maka dia akan memperoleh pahala seperti
pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala mereka" 12

10
Dia adalah Muharib bin Hafshah bin Qais `Ailan dari `Adnan moyang jahiliyah. Lihat Al A`laam tulisan Az Zarkali V/281.
11
Lihat kisah tersebut dalam kitab Al Fakhir hal 90-91, Az Zaahir II/195-196 dan Al Lisaan, maadah Kas`u
12
HR. Muslim 2674, At Tirmidzi 2676, Abu Dawud 4609. Semuanya dari hadits Abu Hurairah.
Dan bersabda:

‫من سن في اإلسالم سنة حسنة فله أجرها و أجر من عمل بها من بعده إلى يوم القيامة‬
"Barangsiapa membuat contoh yang baik di dalam Islam, maka kelak dia akan
mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengerjakan amalan baik itu
sesudahnya sampai hari kiamat"13
Jadi setiap amalan akan memperoleh balasan, dan setiap penyeru akan
memperoleh pengikut.

Ketiga: Tawadhu`

Tawadhu` adalah seorang yang mengerti kedudukan dirinya dan menjauhi sifat
takabur. Takabur adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia,
sebagaimana sabda Nabi Saw dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim serta yang
lain.14
Tawadhu` pada asalnya adalah untuk orang besar yang dikhawatirkan merasa
besar dalam pandangan matanya sendiri, maka saat itu dikatakan padanya:

merendahlah, niscaya kau jadi seperti bintang yang nampak

di atas permukaan air oleh si pemandang, padahal ia tinggi//

Adapun orang biasa, maka tidak dikatakan padanya: "Tawadhu`lah", tapi


dikatakan padanya "Kenalilah kedudukan dirimu, dan jangan letakkan ia pada selain
tempatnya!"
Al Khaththabi meriwayatkan kisah dalam kitabnya "Al `Uzlah", bahwa Imam
yang tiada dua `Abdullah bin Mubarak pernah datang ke negeri Khurasan. Lalu dia
menuju rumah seorang lelaki yang masyhur kezuhudan dan kewara`annya. Ketika
Ibnu Mubarak sampai ke tempatnya, lelaki tadi tidak memalingkan muka kepadanya
dan tidak memperdulikannya. Maka Ibnu Mubarakpun keluar meninggalkan
tempatnya. Lantas salah seorang yang ada di dekatnya mengatakan padanya:
"Tahukah kamu, siapakah orang tadi?" "Tidak" Jawabnya. Orang itu mengatakan:
"Itu adalah Amirul Mu`minin dalam hadits .. itu adalah .. itu adalah .. itu adalah
`Abdullah bin Mubarak." Lelaki tadi terhenyak mendengar perkataan tersebut, segera
dia keluar menyusul Ibnu Mubarak untuk minta maaf padanya dan minta supaya dia
tidak mengambil hati atas apa yang baru saja terjadi. Dia berkata pada Ibnu Mubarak:
"Wahai Abu `Abdurrahman, ma`afkan kekhilafanku dan beri aku nasehat!"
`Abdullah bin Mubarak menjawab:"Ya .. jika kamu keluar dari rumahmu, maka
jangan sampai pandangan matamu menatap seseorang kecuali kamu menganggap
bahwa dia lebih baik daripadamu"
Yang demikian itu karena dia melihat orang tadi bangga dengan dirinya sendiri.
Maka diapun menanyakan tentangnya, ternyata dia adalah orang yang melagak cara
jalannya (sikap sombong).15
Imam dan murabbi besar ini melihat bahwa di dalam diri lelaki zuhud itu ada
sifat sombong, congkak dan merasa lebih tinggi daripada orang lain .. dan ia adalah
penyakit yang kadang cepat menjalar pada orang-orang yang zuhud .. maka dari itu
beliau memberikan bekal nasehat yang sesuai dengan keadaannya.
Sering kita jumpai pada diri sebagian orang-orang shaleh, kadang para da`i,
bahkan pada diri para pelajar kecil, seseorang yang kurang adabnya/sopan terhadap
Syeikh-syeikh mereka, ulama-ulama mereka dan ustadz-ustadz mereka .. sungguh
tindakan tersebut betul-betul mengusik hati dan menyakitinya!
Tak mengapa kamu berbeda pendapat atau ijtihad dengan seorang alim atau
seorang da`i kapan kamu memang ahli dalam perkara itu .. tapi salah dan tak bisa
diterima kalau perbedaan tersebut menjadi cangkul penghancur terhadap kedudukan
13
HR. Muslim 1017, An Nasa`i 2554, keduanya dari hadits Jarir bin `Abdullah Al Bajali.
14
HR. Muslim 91, At Tirmidzi 1999 dan Abu Dawud 4092.
15
Kitab Al `Uzlah 220.
orang alim tadi, menjatuhkan martabatnya, meremehkannya dan bertindak tidak
sopan terhadapnya.
Jika sikap ini boleh terjadi pada orang-orang awam, atau pada ahli bid`ah dan
orang-orang yang sesat, maka ia tidak boleh terjadi sama sekali pada diri Ahlus
Sunnah dan para penuntut ilmu syar`i:

Mereka telah mendidikmu untuk satu perkara sekiranya kau memahaminya


maka jagalah dirimu jangan sampai kau gembala bersama binatang liar//
Sesungguhnya para ulama Ahlus Sunnah wal Jama`ah khususnya, dituntut
untuk beramar ma`ruf dan nahi munkar, dan bersabar dengan niat karena Allah
dalam meluruskan kebengkokan para pemuka kaum .. jika orang yang paling dekat
dengan mereka tidak mau menolong mereka, maka tak usah menunggu pertolongan
dari mereka. Karena setiap ulama Ahlus Sunnah wal Jama`ah adalah bak ksatria
pemberani, tidak ada yang tertinggal di belakang mereka kecuali kaum wanita!

Seandainya kaumku, panah-panah mereka bisa membuatku bicara


pasti aku bicara, akan tetapi anak panah itu telah ditelantarkan//
Sekiranya golongan Ahlus Sunnah mau melindungi kehormatan ulama-ulama
mereka, mengetahui kedudukan mereka dan berhimpun di sekeliling mereka, pasti
dukungan tersebut membuat mereka mampu menjalankan kewajiban amar ma`ruf
dan nahi munkar menurut cara yang benar. Akan tetapi karena orang alim tadi
ditelantarkan oleh orang-orang yang ada di belakangnya, maka dia tak mampu bicara
apapun.
Sungguh sangat ironis sekali melihat kenyataan bahwa keadaan sebagian
golongan ahli bid`ah justru bertolak belakang dengan realita kenyataan di atas.
Bahkan keadaan mereka sampai pada tingkat mengkultuskan syeikh-syeikh dan
pemimpin-pemimpin mereka. Mereka berjalan di belakang para pemimpinnya dengan
bentuk pengikutan yang tertolak (menurut pandangan syar`i) .. yang mana ia pada
hakekatnya adalah bentuk peribadatan, dan larutnya taabi` /pengikut pada matbuu`/
yang diikut.
Inilah adat kebiasaan firqah-firqah bathiniyah (aliran-aliran kebatinan) di
sepanjang era masa, di mana mereka mendoktrin para pengikutnya untuk
memberikan derajat `ishmah (suci dari kesalahan) pada pemuka-pemuka dan
pemimpin-pemimpinnya.
Bahkan golongan Mu`tazilah yang menggunakan "akal" --untuk memahami
agama --, yang unsur perasaan hampir-hampir tidak memiliki tempat dalam logika
pemikiran mereka sekalipun .. ada di antara para penyairnya yang mengatakan
tentang guru mereka Washil bin `Atha`16
Dia punya pengganti di setiap negeri, di daratan China
hingga Susatul Aqsha dan negeri Barbar

para juru dakwah yang tak kenal kendur tekad mereka


oleh kemarahan si lalim..ataupun tipu daya si kancil

bila dia berkata "Jalanlah" di musim dingin, segera mereka bergegas-gegas


dan jika datang musim panas, maka dia tak takut bulan kemarau

mereka adalah pengikut agama Allah di setiap negeri


dan para pemilik fatwa dan ilmu perselisihan.

Golongan Ahlus Sunnah lebih patut untuk menghargai dan memuliakan ulama-
ulama mereka daripada mereka, tak ada kebaikan pada ummat yang orang-orang
kecilnya tidak memuliakan orang-orang besarnya, dan orang-orang besarnya tidak
menyayangi orang-orang kecilnya.
16
Adz Dzahabi mengatakan dalam kitabnya Al Miizan IV/329: Washil bin `Atha Al Bashri Al Ghazzali, seorang ulama ahli
kalam, fasih bahasanya dan seorang orator ulung, yang rusak pemikirannya. Saya katakan --yakni Adz Dzahabi--: Dia
termasuk biang pentolan Mu`tazilah. Dia mengambil sikap tawaqquf (diam tidak menentukan sikap) terhadap keadilan Ahlul
Jamal (para sahabat yang ikut terlibat dalam perang Jamal). Dia mengatakan bahwa salah satu kelompok telah fasik karena
pembangkangannya terhadap pemimpin yang sah. Sekiranya `A'isyah, `Ali dan Thalhah bersaksi bersama-sama, maka aku tidak
akan memutuskan hukum dengan kesaksian mereka."
Di antara sikap tawadhu`, bahkan termasuk bagian daripada mengetahui
kapasitas diri, adalah seorang pemuda pemula tidak menganggap dirinya sebagai
tandingan bagi orang alim ini atau itu, dan mengatakan: Mereka lelaki .. dan kamipun
lelaki!!
Kenyataannya adalah bahwa rujulah (kelelakian) itu berbeda.. sesungguhnya
sifat rujulah dalam Al Qur`an disebut dalam konteks pujian, di beberapa tempat:
} ‫{ فيه رجال يحبون أن يتطهروا‬

"Di dalamnya ada lelaki-lelaki yang suka membersihkan diri" (Qs At Taubah 108)

‫افون‬OO‫اة يخ‬OO‫اء الزك‬OO‫{ في بيوت أذن اهلل أن ترفع ويذكر فيها اسمه يسبح له فيها بالغدو واآلصال رجال ال تلهيهم تجارة وال بيع عن ذكر اهلل وإقام الصالة وإيت‬
} ‫يوما تتقلب فيه القلوب واألبصار‬
"Di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk diluhurkan dan disebut nama-Nya
di dalamnya; bertasbih di dalamnya pada waktu pagi dan petang
lelaki-lelaki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari
mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) menunaikan zakat. Mereka
takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang." (Qs
An Nuur 36-37)

Rujulah kadang digunakan untuk menunjukkan sifat kelamin dan gender saja,
sebagaimana disebutkan di beberapa tempat dalam Al Qur`an, antara lain:

"Dan sesungguhnya ada beberapa lelaki di antara manusia minta perlindungan


kepada beberapa lelaki di antara jin." (Qs Al Jin 6)
Jadi lelaki itu tidaklah sama (tingkatan)nya, di mana gerangan letak bumi dari
bintang kartika?!
Barangkali anda melihat seorang pelajar kecil yang tidak hafal Al Qur`an kecuali
hanya sedikit saja, malah hampir-hampir tidak hafal satupun matan hadits Al
Bukhari atau Muslim, lebih-lebih hafal sanad atau maknanya .. kendati demikian dia
berani menentang para pakar ulama seolah-olah dia adalah Abu Hanifah atau Asy
Syafi`i! Dan dengan lancangnya mengatakan: Saya berpendapat .. saya .. saya katakan
.. menurut saya!

Berkata "Ini menurut kami" tidaklah boleh


Siapakah kalian gerangan sehingga merasa punya sesuatu?!

Dan di antara sikap tawadhu` adalah seseorang berlaku tawadhu` terhadap kawan-
kawannya. Sering terjadi, perselisihan yang timbul di antara kawan dan musuh
adalah disebabkan karena spirit munafasah/rivalitas dan tahaasud (saling dengki).
Boleh jadi karena seseorang merasa lebih tinggi daripada kawannya, boleh jadi dia
senang mencemarkan nama baiknya, menjatuhkan martabatnya, merendahkan
kedudukannya, menyebarkan aib yang sebenarnya tidak ada padanya, atau
membesar-besarkannya. Kadang spirit munafasah atau tahaasud tersebut nampak
dalam bentuk rupa "Nasehat, pelurusan dan catatan komentar". Jika perkara-perkara
ini dinamai dengan nama-nama aslinya, niscaya akan dikatakan sebagai
"Kecemburuan"
Anehnya seorang da`i dicemburui karena berkumpulnya seribu orang atau dua
ribu orang jama`ah pengajian dalam satu majlis ilmu atau pengajian akbar
diadakannya, akan tetapi orang yang mencemburui itu tidak bereaksi apapun kalau
dia mendengar ada konser musik atau pertandingan olah raga yang dihadiri lebih dari
dua puluh ribu atau tiga puluh ribu orang. Demi Allah, ini termasuk musibah,
bahkan taruhlah kata kamu tidak senang pada saudaramu dalam sesuatu hal, maka
cukuplah --bagi kamu untuk menjaga kehormatannya-- dia menyeru ke jalan Allah
dan mengajarkan agama kepada manusia, dan secara umum dia berada di jalan yang
lurus:

Siapakah orang yang kau ridha pada seluruh watak perangainya?


cukuplah seseorang disebut mulia, engkau menghitung cacat aibnya?
Boleh jadi kebenaran ada padanya pada sebagian perkara yang kamu kritik.

Di antara sikap tawadhu` adalah: Berlaku tawadhu` pada orang yang ada di
bahwa tingkatanmu. Apabila kamu menemui seseorang yang lebih muda umurnya
darimu, atau lebih rendah kedudukannya darimu, maka janganlah kamu
meremehkannya. Boleh jadi orang tadi lebih sehat hatinya daripadamu, atau lebih
sedikit dosanya daripadamu, atau lebih besar taqarrubnya kepada Allah daripadamu.
Bahkan sekiranya kamu melihat seorang fasik dan kamu kelihatan lebih shaleh
daripadanya, maka janganlah kamu berlaku sombong terhadapnya. Pujilah Allah
lantaran Dia telah menyelamatkanmu dari ujian yang Dia berikan padanya, dan
hendaknya kamu senantiasa ingat bahwa boleh jadi dalam amal-amal shalehmu
terdapat unsur riya` atau ujub yang bisa menghapuskannya, atau boleh jadi pada diri
pendosa tersebut terdapat rasa penyesalan, perasaan remuk redam dan ketakutan
terhadap dosa-dosanya, yang bisa menjadi sebab diampunkannya dosa-dosanya.
Dari Jundab ra., bahwasanya Rasulullah Saw. pernah bersabda:
O‫علي أن ال أغفر لفالن ؟ فإني غفرت لفالن وأحبطت عملك‬
َّ ‫ من ذا الذي يتألى‬: ‫ وأن اهلل تعالى قال‬، ‫ واهلل ال يغفر اهلل لفالن‬: ‫" أن رجالً قال‬
"Ada seorang lelaki yang berkata: "Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni si Fulan"
Lantas Allah Ta`ala berfirman: "Siapa gerangan yang berani bersumpah atas nama-Ku
kalau Aku tidak akan mengampuni si Fulan? Sesungguhnya aku ampuni si Fulan,
dan aku hapuskan amal-amal (baik)mu"17
Jadi kamu jangan bersikap sombong terhadap seseorang, bahkan sekiranya
kamu melihat orang fasik, maka kamu jangan merasa lebih tinggi darinya, atau kamu
mempergaulinya dengan sikap seorang penguasa yang sombong.
Sekiranya seorang juru dakwah dan juru nasehat merasa bahwa boleh jadi
orang fasik itu mempunyai amal-amal keta`atan yang tidak ada padanya, dan dia
mempunyai aib yang boleh jadi tidak ada pada diri kawannya, niscaya dia akan
mempergaulinya dengan sikap belas kasih, dan berlaku lembut padanya di dalam
dakwah, yang diharapkan bisa menjadi sebab penerimaan dan peringatan.

Dan di antara sikap tawadhu` adalah: Jangan sampai amalmu nampak besar dalam
pandangan matamu, apabila kamu berbuat kebaikan, atau kamu melakukan taqarrub
kepada Allah Ta`ala dengan satu keta`atan, sebab bisa jadi amal kebaikan tersebut
tidak diterima ‫" إنما يتقبل اهلل من المتقين‬Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal kebaikan)
dari orang-orang yang bertakwa" (Qs Al Maa-idah 27). Maka dari itu, salah seorang
salaf pernah mengatakan: "Sekiranya aku tahu, bahwa Allah menerima satu (ucapan)
tasbih saja dariku, niscaya aku mengangankan mati sekarang!"

Dan di antara sikap tawadhu` adalah, kamu mau mendengar nasehat, karena syetan
akan menghasutmu untuk menolaknya dan berprasangka buruk terhadap si pemberi
nasehat. Oleh karena makna nasehat adalah saudaramu mengatakan padamu:
"Sesungguhnya pada dirimu ada aib begini dan begitu" :
Adapun orang yang dilindungi Allah Ta`ala, maka bila ada yang menasehatinya
dan menunjukkan aib-aibnya, maka dia akan menundukkan nafsunya, menerima
nasehatnya, mendo`akannya dan berterima kasih kepadanya.
Maka dari itu, Nabi Saw pernah berkata menerangkan makna kata takabur:
‫ و غمط الناس‬O‫الكبر بطر الحق‬
"Takabur adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang"18

Yakni, menolak kebenaran dan merendahkan manusia, dalam segala persoalan


mereka.
Jadi orang sombong adalah orang yang merasa dirinya besar, hampir-hampir
tak mau memuji seseorang atau menyebut kebaikannya. Dan jika terpaksa harus
menyebut kebaikan orang, maka dia membumbuinya dengan menyampaikan sebagian
dari aib-aib kekurangannya.

17
HR. Muslim 2621.
18
Telah disebutkan pentakhrijannya di muka.
Adapun jika dia mendengar orang lain menyebut sebagian dari aibnya, maka
mana mungkin, mana mungkin dia mau kembali segera atau bersikap lunak. Sikap
yang demikian itu adalah dikarenakan perasaan rendah dirinya. Maka dari itu,
termasuk di antara kesempurnaan pribadi manusia adalah dia menerima kritik dan
komentar tanpa rasa cemas atau perasaan malu dan rendah diri. Inilah dia Amirul
Mu`minin `Umar bin Khaththab, mengusung bendera dan meninggikan syi`ar:

‫رحم اهلل امرءا أهدى إلينا عيوبنا‬

"Semoga Allah merahmati seseorang yang mau menunjukkan padaku aib


kekuranganku"

Keempat: Adil

Adil adalah sebuah kata umum yang maknanya: Bersikap tawassuth (tengah-
tengah). Dan ia adalah sifat orang-orang Islam, dan sifat golongan Ahlus Sunnah wal
Jama`ah dalam semua hal tanpa kecuali. Adil adalah memberikan kepada setiap
orang yang memiliki hak, haknya. Ruang lingkup keadilan dan bentuknya sangatlah
banyak, tak mudah membatasinya. Akan tetapi inilah sebagian dari contoh-contoh
pentingnya:

a. Adil terhadap musuh dan kawan:

Banyak orang, jika dikatakan padanya tentang diri kawannya, maka dia
memujinya, meski dia tahu bahwa kawannya tadi tidak layak menerima pujian
tersebut; sebaliknya jika dikatakan padanya tentang diri musuhnya, maka dia
mencelanya, meski dia tahu bahwa keadaan orang tadi berbeda dengan apa yang dia
katakan.
Apakah seorang da`i mampu memberitahukan aib kekurangan orang yang
paling dekat dengannya di antara orang yang se manhaj dan se thariqah dengannya?!
Atau orang yang jadi rekan bisnisnya?!
Apakah dia mampu menyampaikan pujian dengan tulus terhadap orang yang
berbeda pendapat dengannya dalam suatu masalah?
Jika dia mampu melakukannya, berarti dia telah mewujudkan keadilan pada
aspek tersebut. Akan tetapi kebanyakan orang bersikap tidak adil terhadap musuh
mereka dan mencela mereka dengan sesuatu yang tidak ada pada mereka; dan
berlaku tidak adil pula terhadap kawan-kawan mereka dengan memuji mereka dengan
sesuatu yang tak ada pada diri mereka .. sikap seperti ini, meski nampaknya
mencintai dan memuji tapi hakekatnya adalah ketidak adilan dan celaan. Siapa yang
memujimu dengan sesuatu yang tidak ada padamu, berarti dia mencelamu, oleh
karena orang akan mencari sifat tersebut pada dirimu dan mereka tidak
mendapatinya, maka yang terjadi kemudian adalah mereka mencelamu karena
ketiadaannya. Allah Ta`ala telah memerintah kita supaya berlaku adil bahkan
terhadap musuh kita sekalipun:
Allah Ta`ala berfirman:

"Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu


untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa."
(Qs Al Maa-idah 8)
Sungguh sangat menyedihkan, meski kita ini telah menerima hal ini secara
teoritis, tetapi dari sisi praktek kita cepat melupakan pelajaran tersebut. Ketika kita
menyikapi apa yang kita anggap sebagai kesalahan dari Fulan, maka kita
menggugurkannya dari hitungan, tidak menghiraukannya dan tidak
memperhatikannya. Sering kita melupakan banyak kebaikan orang hanya karena aib
kekurangannya yang sedikit, atau melupakan banyak aib kekurangan orang hanya
karena kebaikannya yang sedikit.
Tak hanya sampai di situ, persoalannya jauh lebih gawat dan lebih memilukan!
Barangkali persoalan sebenarnya adalah, kita sering melupakan banyak
kebaikan hanya lantaran sedikit aib kekurangan .. kita melupakan kaedah syar`i yang
mengatakan:
‫إذا كان الماء قلتين لم يحمل الخبث‬
"Apabila volume air mencapai dua qullah, maka ia tidak membawa najas (kotoran)" 19

b. Adil di dalam meluruskan Kitab-kitab:

Ketika sebuah kitab terbit, maka tidak adil jika kamu mengatakan bahwa kitab
tersebut berisi hadits-hadits mau`dhu` atau dha`if --sebagai contoh misal-- atau
pendapat-pendapat yang ganjil. Lalu kamu menyebut sisi gelap dari kitab itu, dan
melupakan sisi lain yang ada padanya, bahwa ia berisi juga petunjuk-petunjuk yang
berguna atau bahasan-bahasan ilmiah.

Jika kamu cuma menyebut separuh kenyataan dan mengabaikan kenyataan


yang lain darinya, maka ini bukanlah sikap amanah.

Banyak orang, hanya cuma melihat satu kesalahan dalam sebuah kitab, maka dia
mewaspadainya dan memperingatkan orang supaya berhati-hati terhadapnya, oleh
karena kitab tersebut menyitir satu hadits dha`if, atau ia membuat satu kesalahan
dalam satu masalah. Jika kita menyikapi kitab-kitab tulisan ulama dengan tolok ukur
seperti ini, maka tak ada kitab yang selamat dari kritikan kita.
Shahih Al Bukhari --ia adalah kitab yang paling shahih setelah Kitabullah
Ta`ala-- apakah dia berisi kebenaran mutlak? Sekali-kali tidak, beliau
memutihkan/mengosongkan sebagian tempat, di mana beliau tidak menempatkan
hadits-hadits di bawah pasal-pasal pembahasannya. Di dalamnya ada hadits-hadits
mu`allaq (yang tidak disebutkan sanadnya) bukan hadits maushul (bersambung
sanadnya), dan pada sebagian riwayat-riwayat shahih terdapat ikhtilaf.
Tak ada kitab di luar Kitabullah yang bebas sama sekali dari kekurangan dan
kesalahan, maka dari itu tidak seharusnyalah kita menyebut aib dan cacat suatu
kitab, kecuali kita sampaikan pula sisi-sisi baiknya, jika memang buku tersebut
terdapat hal-hal yang baik.

c. Adil di dalam memvonis dakwah-dakwah dan harakah-harakah:

Sejak runtuhnya khilafah Islam, timbul di dunia Islam banyak dakwah-dakwah


dan harakah-harakah yang bertujuan menegakkan kembali khilafah Islam dan hukum
Islam, atau bertujuan menyampaikan dakwah di kalangan orang-orang non Islam, atau
bertujuan menghidupkan as sunnah, atau tujuan-tujuan mulia lain yang serupa
dengannya.
Dakwah-dakwah ini berbeda methode, prinsip dan tujuannya, dan berbeda pula
kedekatan atau jauhnya ia dari manhaj Al Kitab dan As Sunnah.
Banyak orang berbicara mengenai dakwah-dakwah ini dan melakukan studi
pengkajian atasnya dari berbagai sisi. Masalah yang hampir hilang dalam banyak
studi-studi kajian tadi adalah "keadilan". Banyak kitab yang tidak menjelaskan afiliasi
dakwah ini dan cuma mengagumi manhaj-manhaj dan thariqah-thariqahnya. Ia
memuji habis-habisan terhadapnya. Sementara di sisi lain ada kitab yang berlaku
aniaya terhadapnya, ia hanya melihat kekurangannya saja, menerangkan ini dan itu
untuk melenyapkan hakekat yang sebenarnya.
Allah Ta`ala menyukai keadilan dan membenci ketidak adilan. Siapa yang lemah
pada satu sisi maka tidak harus lemah pada semua sisi, dan tidak boleh keburukan-
keburukan mereka yang banyak melupakanmu dari sedikit kebaikan mereka.
Terkadang kamu mendengar seseorang berbicara mengenai sekelompok da`i
yang menyeru ke jalan Allah, lalu dia merubah mereka (para da`i itu) menjadi
sekelompok syetan, sampai-sampai ia menafsirkan ucapan syahadatain mereka
dengan penafsiran yang memalingkannya dari makna zhahirnya secara langsung, dan
menakwilkan perbuatan-perbuatan mereka dengan penakwilan yang bisa dipercaya
Nash hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan para penulis Kitab Sunan. Hadits ini dishahihkan oleh Ath Thahawi, Ibnu
19

Khuzaimah, Al Hakim, Adz Dzahabi, An Nawawi dan Ibnu Hajar. Lihat Kitab Irwaa`ul Ghaliil.
pada sebagian daripadanya namun tidak bisa dipercaya pada kebanyakan di
antaranya. Mengeneralisir (memukul rata) satu persoalan adalah sebuah kesalahan,
tapi wajib bagi siapa yang hendak membicarakan tentang kelompok-kelompok
dakwah serta manhaj-manhaj mereka, untuk menerangkannya dengan detail dan
rinci, menjaga akurasi kata dan menyampaikan sisi-sisi terangnya hingga sisi-sisi
gelapnya.
Para pemimpin golongan Ahlus Sunnah wal Jama`ah dahulu juga menyebut
para ahli Bid`ah, mencela mereka dan memperingatkan orang supaya berhati-hati
terhadap mereka, kendati demikian mereka menyampaikan pula jasa-jasa mereka di
dalam menolak orang yang lebih parah bid`ahnya daripada mereka, atau jasa mereka
di dalam menyeru sebagian orang-orang kafir untuk masuk ke dalam agama Islam,
yang mana orang-orang kafir tadi berubah menjadi orang-orang Islam ahli bid`ah, dan
ini tidak diragukan lagi lebih baik daripada keberadaan mereka di atas kekafiran, atau
jasa mereka di dalam menolak sejumlah serbuan militer musuh, atau jasa mereka
dalam melakukan amal-amal kebaikan.
Maka termasuk bersikap adil, kita tidak melalaikan bid`ah mereka dengan hujjah
bahwa mereka telah berbuat banyak kebaikan dalam Islam, sebagaimana kita tidak
melalaikan kebaikan-kebaikan mereka dengan hujjah bahwa mereka adalah para ahli
bid`ah, tapi kita menghimpun dua hal di atas.

d. Adil di dalam memandang jerih upaya dan perjuangan dakwah:

Di sana ada jerih upaya di medan dakwah ilallah yang tidak ada hubungannya
dengan kelompok tertentu, dan ia adalah amal (upaya perjuangan) jihad atau amal
dakwah, di mana cita-cita dan semangat kaum muslimin atau beberapa kelompok di
antara mereka harus saling bahu membahu mewujudkannya. Dan jerih upaya
tersebut adalah jerih upaya yang manusiawi sifatnya, bisa salah dan bisa benar, tak
ada jaminan `ishmah di dalamnya. Maka dari itu termasuk maslahat nyata, kita
"meluruskan" upaya-upaya perjuangan ini dengan benar dan adil, supaya kita bisa
memanfaatkan sisi-sisi positipnya, memperluasnya dan memperdalamnya; serta
mengeliminir sisi-sisi negatipnya serta membebaskan diri daripadanya, supaya kita
tidak mengulang kesalahan yang sama, dan kaum muslimin bisa kembali dari titik
mana mereka mengawalinya
.
Akan tetapi maslahat nyata ini kadang hilang di antara dua kelompok:

Kelompok yang memandang bahwa upaya perjuangan ini telah sempurna, tidak
ada cacat kekurangan di dalamnya, lalu mereka melemparkan panah tuduhan dan
keraguan terhadap setiap orang yang menyampaikan kritik dan komentar
terhadapnya.
Dan kelompok yang hanya memandang aib kekurangannya saja, sehingga
mereka tidak melihat manfaat apapun yang bisa diambil dari upaya perjuangan
tersebut.
Ambil satu contoh misalnya: Jihad Afghan .. jihad yang berlangsung lebih dari
sepuluh tahun lamanya ini, penuh dengan cucuran keringat, darah, pengorbanan,
penjagaan, penderitaan dan kerja keras!
Kadang kamu dapati, ada orang yang menggambarkan jihad ini seakan-akan ia
bersih dari kesalahan dan bebas dari aib kekurangan, sehingga seakan-akan ia adalah
jihadnya para sahabat radhiyallaahu `anhum, yang tidak menerima kritik,
pengarahan dan komentar di dalamnya.
Sebaliknya, kadang kamu dapati, ada orang yang membicarakan tentang
mujahidin Afghan, lantas mereka menuduh mereka sebagai orang-orang bodoh dan
ahli bid`ah tanpa memberikan pertimbangan dalil ataupun detail keterangan apapun.
Cuma menyampaikan dalih alasan bahwa sebagian mereka memakai jimat! Atau ada
bid`ah-bid`ah yang mereka kerjakan di sejumlah masjid. Bahkan urusannya sudah
melewati batas ketika salah seorang di antara mereka mengatakan:
"Mereka adalah orang-orang musyrik yang memerangi orang-orang mulhid (atheis,
komunis)!"
Saya membaca tulisan salah seorang di antara mereka, sebagai ulasan
komentar yang amat gegabah terhadap salah satu jama`ah salafiyah yang ada di sana,
bahwa siapa yang tidak mengkafirkan mereka, maka dia kafir!!
Jika demikian vonis hukumnya terhadap kelompok salaf .. lantas bagaimana
halnya vonis mereka terhadap kelompok yang lain?! Allah-lah tempat kita memohon
pertolongan.

Di mana neraca keadilan yang telah dibuat Allah untuk ummat ini?

Apakah seperti ini yang dinamakan ittibaa` haqiqi (pengikutan yang sejati)
terhadap Rasulullah Saw., yang dahulu memberitahukan pada manusia kedudukan
mereka masing-masing, tanpa mengurangi sedikitpun apa yang menjadi hak mereka.
Dulu, beliau menyanjung orang dengan kebaikan yang ada padanya, jika memang hal
itu bermaslahat, kendati sahabat tadi tidak terbebas sama sekali dari kesalahan!
Bukankah beliau pernah menyanjung Raja Najasyi, dan menyebutnya sebagai
"Raja yang tak seorangpun mendapat perlakuan aniaya di sisinya"20 padahal waktu
itu, raja Najasyi masih kafir belum masuk Islam!!
Sesungguhnya ada di sana sekelompok da`i yang boleh jadi kamu pandang
dengan mata sebelah, boleh jadi dengan mata senang, sehingga kamu melupakan aib
kekurangan dan kesalahan yang kamu ketahui padanya, untuk kamu perbaiki dan
kamu luruskan; dan boleh jadi dengan mata benci, sehingga kamu tidak melihat
kecuali hanya keburukan-keburukannya saja!

Mata yang ridha, lemah melihat setiap aib kekurangan


dan mata yang benci, jelas melihat cacat keburukan

Pabila yang dicinta sedikit keberuntungan, maka tiadalah


kebaikan-kebaikannya kecuali nampak sebagai aib kekurangan//
Para da`i harus mengetahui hukum-hukum yang adil yang memegang teguh
neraca keadilan, dan melalui neraca keadilan tersebut kamu memandang dengan
pandangan yang objektif lagi berimbang, yang mana kamu tidak ingin terpengaruh
oleh sentimen negatip ataupun positip:

‫ اعدلوا هو أقرب للتقوى‬، ‫وال يَجرمنك شنآن قوم على أالّ تعدلوا‬
"Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa."
(Qs Al Maa-idah 8)

e. Adil dalam berinteraksi dengan nash-nash syar`i:

Nash-nash syar`i yang muhkamat (terang dan tegas maksudnya) ini, semuanya
merepresentasikan "Agama", wajib diterima, dita`ati dan diimani. Tak satupun di
antara nash-nash tadi yang "boleh ditinggalkan" selama kedudukannya muhkam dan
tidak mansukh (dihapuskan hukumnya).
Termasuk bersikap adil, kamu menjaga keseimbangan di dalam melihat nash-
nash ini, jangan kamu ambil sebagian dan kamu tinggalkan sebagian yang lain,
khususnya nash-nash yang datang di satu tempat, atau di dua tempat yang saling
berhadapan.

Ada sebagian orang yang mengambil nash-nash yang berisi ancaman seperti
hadits ‫" ال يدخل الجنة قاطع‬Tak akan masuk surga seorang pemutus hubungan"21 atau ‫ال يدخل‬
‫" الجن==ة قت==ات‬Tak akan masuk surga seorang tukang fitnah"22 atau "Kafirlah seseorang
yang mengingkari nasabnya, sekecil apapun" .. atau .. atau hadits yang lain, lalu dia
menjadikan hadits tadi sebagai dasar untuk mengkafirkan manusia dengan sebab

20
HR. Ibnu Ishaq dalamkitab As Siyar wal Maghaazii (213), Al Baihaqi IX/9, dan Ahmad dalam Musnad V/290. Adapun
isnadnya hasan lantaran ihwal Ibnu Ishaq.
21
HR. Al Bukhari (5984), Muslim (2556) dan Abu Dawud (1996)
22
HR. Al Bukhari (6056)m Muslim (105), Abu Dawud (4771) dan At Tirmidzi (2127)
amal-amal perbuatan tadi dan dengan sebab perbuatan-perbuatan lain yang
sekategori dengannya, bersandar pada zhahir nash-nash tersebut, dan lupa atau
sengaja melupakan nash-nash lain yang datang menyampaikan "Janji dan harapan",
seperti hadits `Utban:

‫فإن هللا حرم على النار من قال ال إله إال هللا يبتغي بذلك وجه هللا‬
"Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka atas orang yang mengucapkan "Laa
ilaaha illallaah", untuk mencari keridhaan Allah dengannya" 23

atau hadits:

‫ وأن الجن==ة‬، ‫ وكلمته ألقاه==ا إلى م==ريم وروح م==ريم‬، ‫ وأن عيسى عبد هللا ورسوله‬، ‫من شهد أن ال إله إال هللا وأن محمدا عبد هللا ورسوله‬
‫ أدخله هللا الجنة على ما كان من العمل‬، ‫ وأن النار حق‬، ‫حق‬

"Barangsiapa bersaksi bahwa tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah, dan
bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, dan bahwa `Isa adalah hamba dan
utusan-Nya, dan kalimat-Nya yang Dia tiupkan ke (rahim) Maryam dan ruh dari-Nya,
dan bahwa surga adalah benar, dan bahwa neraka adalah benar, maka Allah akan
memasukkannya ke dalam surga berdasarkan amalnya."24
Sementara di pihak lain ada sebagian orang yang justru berbuat sebaliknya.
Mereka mengambil nash-nash berisi janji dan harapan saja, dan membuat manusia
merasa aman dari makar Allah, dan dia melupakan nash-nash yang berisi ancaman:

‫وخلف من بعدهم خلف ورثوا الكتاب يأخذون عرض هذا األدنى و يقولون سيغفر لنا و إن يأتهم عرض مثله يأخذوه‬

"Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Al Kitab,
mereka mengambil harta dunia yang rendah ini dan berkata: "Kami akan diberi
ampunan." Dan jika datang pada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula)
niscaya mereka akan mengambilnya (juga)" (Qs Al A`raaf 169)
Yang adil adalah, kita mengambil nash-nash yang ini dan nash-nash yang itu,
meletakkan yang ini di satu anak timbangan, dan yang itu di anak timbangan yang
lain sehingga timbangan berimbang dan sama rata.
Termasuk bersikap adil, kita mengambil nash-nash syar`i secara keseluruhan,
baik yang bersifat kulliyah (global) maupun bersifat juz`iyah (parsial). Agama itu
seluruhnya adalah untuk Allah, tak ada di dalam agama perkara yang boleh
diremehkan, atau diabaikan atau disia-siakan. Karena itu Nabi Saw. berkata pada
saat beliau menjawab pertanyaan malaikat Jibril tentang pengertian iman, Islam dan
ihsan: "Itu Jibril, datang pada kalian untuk mengajarkan pada kalian urusan agama
kalian."25
Karena itu, jika seseorang mengingkari satu perkara yang diketahui dengan
pasti berasal dari agama, mutawatir lagi baku hukumnya, niscaya dia kafir
karenanya. Kendati yang dia ingkari adalah perkara sunnah atau fardhu kifayah,
seperti shalat dua raka`at sebelum shubuh, adzan dan yang semisalnya.
Tidak ada di dalam agama yang namanya "Kulit" atau "Perkara yang remeh",
sebagaimana istilah yang digunakan oleh sebagian orang-orang yang bicara
serampangan tanpa dasar hujjah dan pertimbangan.
Yang ada di sana adalah prioritas, seperti memulai lebih dahulu masalah-
masalah akidah, mendahulukan perkara-perkara kulliyat atas perkara-perkara
juz`iyat. Jadi jika kamu melihat beberapa kesalahan pada diri orang, maka adalah
bijaksana jika kamu meluruskan lebih dahulu kesalahannya yang terbesar sebelum
yang terkecil. Tidaklah bijaksana jika kamu mencelanya karena dia meninggalkan
sebagian dzikir-dzikir yang disunnahkan, sementara dia meninggalkan kewajiban
shalat dan rukun-rukunnya. Dan tidaklah dibenarkan kamu menyampaikan
serangkaian nasehat padanya, dengan melarang dia merokok misalnya, sementara dia
terjerumus dalam kemusyrikan.

23
HR. Al Bukhari (4623) dan Muslim (33)
24
HR. Ahmad V/314, Al Bukhari (3435), Muslim (28) dan At Tirmidzi (2640)
25
HR. AL Bukhari (50), Muslim (1009), Abu Dawud (4698) dan An Nasa`i (4990)
Tahapan dalam dakwah, adalah pasti dalilnya dalam wasiat Nabi Saw. pada
Mu`adz bin Jabal, saat beliau mengutus dia ke negeri Yaman:

"Sesungguhnya kamu akan mendatangi segolongan kaum Ahli Kitab, maka hendaklah
perkara yang pertama kali kamu serukan ialah ajakan untuk bersaksi bahwa tiada
Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah
Rasulullah. Dan jika mereka mematuhimu atas seruan itu, maka ajarkanlah pada
mereka bahwa Allah mewajibkan mereka shalat lima waktu sehari semalam. Dan jika
mereka mematuhimu atas seruan itu, maka ajarkanlah pada mereka bahwa Allah
mewajibkan mereka shadaqah, diambil dari orang-orang kaya di antara mereka, lalu
dikembalikan kepada orang-orang miskinnya .. ..hadits." 26
Jadi mendahulukan yang paling penting atas yang penting adalah syari`at
nabawi, ia menjadi bagian dari manhaj dakwah Nabi Saw., dan ia merupakan bagian
dari wasiat beliau pada para sahabatnya yang menjadi penyampai risalahnya.
Sebagian da`i-da`i yang mukhlis, kadang fokus perhatian mereka berubah dan
justru mereka mencurahkan perhatiannya pada beberapa masalah juz`iyah. Masalah-
masalah tadi juga penting, tak ada keraguan di dalamnya, akan tetapi di sana ada
masalah yang lebih penting daripadanya. Tugas seorang juru nasehat bukanlah untuk
memalingkan perhatian para da`i dari masalah-masalah juz`iyah secara keseluruhan,
atau membuat mereka meninggalkannya; sekali-kali tidak, tapi tugasnya adalah
bekerja sesuai dengan posisinya, di tempatnya yang wajar yang pantas baginya, dan
meletakkan masalah-masalah lain yang dibesar-besarkan orang pada posisi
kedudukannya semula.
Pernah suatu hari, dalam pelajaran kitab "Bulughul Maram", saya menerangkan
kepada para siswa, bahwa Abu Sa`id ra berkata:
"Jika salah seorang di antara kalian mendatangi masjid, maka hendaklah dia melihat
kedua sepatunya, maka jika dia melihat pada keduanya sesuatu najis (kotoran), maka
hendaklah dia membasuhnya dan shalat dengan (memakai) keduanya." 27
Maka saya melihat, ini adalah kesempatan yang tepat untuk menjelaskan
manhaj yang diridhai, dalam memahami hadits seperti ini:

Tahap pertama, saya sampaikan hadits-hadits yang datang dari Rasulullah Saw.,
yang menerangkan tentang shalat memakai sepatu. Hadits-hadits tersebut secara
garis besar ada lima:

Pertama: Bahwa Nabi Saw dahulu pernah dengan sengaja melepas kedua sepatunya
ketika mau shalat, sebagaimana hal itu diterangkan dalam hadits `Abdullah bin Sa`ib:

"Ketika peristiwa Futuh Mekkah, aku melihat Nabi Saw. mengerjakan shalat, beliau
meletakkan kedua sepatunya di sebelah kirinya."
Kedua: Shalat Nabi Saw. memakai kedua sepatu, sebagaimana hal itu disebutkan
dalam hadits Abu Sa`id ra.. Dan hadits lain yang senada maknanya, ada diriwayatkan
oleh Abu Maslamah Sa`id bin Yazid Al Azdi. Dia berkata: "Aku bertanya pada Anas bin
Malik ra: Apakah Nabi Saw. dulu pernah shalat memakai kedua sepatunya?" Anas
menjawab: "Ya"28

Ketiga: Bahwasanya Nabi Saw dahulu shalat dengan telanjang kaki dan memakai
sepatu, sebagaimana hal tersebut diterangkan dalam hadits `Amru bin Syu`aib, dari
ayahnya, dari kakeknya29 , yakni: Kadang telanjang kaki, dan kadang memakai
sepatu.

Keempat: Perintah untuk meletakkan sepatu di antara kedua kakinya, dan tidak
meletakkannya di kanannya atau di kirinya, kecuali jika tidak ada seorangpun di

26
HR. Al Bukhari (1458), Muslim (19), Abu Dawud (1584), At Tirmidzi (625), An Nasa`i (2435). Semuanya dari hadits
Ibnu`Abbas.
27
HR. Abu Dawud (652)
28
Ditakhrij oleh Al Bukhari (386), Muslim (555), At Tirmidzi (400) dan An Nasa`i (775).
29
HR. Abu Dawud (653)
sebelah kirinya, sebagaimana hal tadi diterangkan dalam hadits Abu Hurairah 30 serta
yang lain.

Kelima: Perintah shalat dengan memakai kasut, sebagaimana hal tersebut


diterangkan dalam hadits Syaddad bin Aus:

‫ فإنهم ال يصلون في نعالهم و ال في خفافهم‬، ‫خالفوا اليهود‬


"Selisihilah orang-orang Yahudi, sesungguhnya mereka tidak shalat memakai sepatu
mereka ataupun memakai kasut mereka"31

Kemudian tahap kedua, saya sampaikan pendapat-pendapat para fuqoha` di


dalam masalah ini, dan ia ada tiga:

1__ Pendapat yang menyatakan makruhnya shalat memakai sepatu. Pendapat


tersebut dinukil dari Ibnu `Umar dan Abu Musa Al Asy`ari.
2__ Pendapat yang menyatakan mustahabnya shalat memakai sepatu, dan ini
merupakan madzhab mayoritas sahabat dan tabi`in seperti `Umar bin Khaththab ra,
`Utsman bin `Affan ra, `Ali bin Abu Thalib ra, Anas bin Malik ra, Ibnu Mas`ud ra,
`Atha' rhm, Mujahid rhm, Thawus rhm, Syuraih rhm .. serta yang lain.
3__ Pendapat yang mengatakan bolehnya shalat memakai sepatu, jika tidak ada najis
padanya. Sebagaimana pendapat ini dianggap kuat oleh Ibnu Al Khaththabi, Ibnu
Daqiq Al `Ied, Ibnu Baththal, An Nawawi serta yang lain. Yakni: Shalat memakai
sepatu tidak mustahab (disukai) menurut mereka. Ibnu Daqiq Al `Ied menyatakan
bahwa bersentuhannya sepatu dengan tanah yang banyak najisnya, menjadikan
sepatu itu tidak mampu menjadi hiasan, maka melepaskannya di dalam shalat adalah
mustahab.

Kemudian tahap ketiga, saya sampaikan tarjih (menentukan pendapat yang lebih
kuat) menurut tuntutan dalil yang shahih dan sharih/jelas, dan ia adalah
mustahabnya shalat memakai sepatu, dengan catatan harus menjaga perkara-perkara
berikut:
i. Melihat sepatu tersebut, dan merasa yakin bahwa ia bebas dari najis atau kotoran,
sebagaimana hal tersebut diperintahkan Nabi Saw. dalam hadits Abu Sa`id.
ii. Pemakaian sepatu tersebut tidak menimbulkan gangguan atau pencemaran, oleh
karena kerasnya bunyi sepatu di dalam masjid, perbantahan yang panjang lebar,
kata-kata kotor, dan dipenuhinya dada dengan kebencian, kedongkolan dan
permusuhan, bahkan meninggalkan shalat berjama`ah sebagai wujud ekspresi
kemarahan yang berlebihan .. semua itu bisa jadi dilakukan oleh sebagian orang
masih perlu dita`lif/dijinakkan hati mereka. Dan di sejumlah kalangan masyarakat,
musuh-musuh dakwah dan musuh-musuh manhaj yang shahih akan bergembira
dengan adanya amalan seperti itu, mereka akan mengeksploitir orang-orang yang
bodoh terhadap sunnah, untuk melemparkan tuduhan-tuduhan bohong kepada para
para da`i, sehingga manusia lari dari mereka.
iii. Pentingnya melakukan suatu amalan menurut prioritas kepentingannya. Kita ingin
meluruskan akidah manusia, dan memperingatkan mereka dari berbagai macam
kemusyrikan baik yang nampak maupun yang tersembunyi. Dan kita ingin
menggiring manusia untuk mengerjakan amalan-amalan yang fardhu dan wajib,
mencegah mereka dari perkara-perkara yang haram, sebagaimana kita ingin
mendorong mereka supaya mengerjakan perkara-perkara yang sunnah dan mustahab,
dan memotivasi mereka untuk menjauhi perkara-perkara yang makruh.
Tidaklah benar dalam pandangan yang sehat, bersikukuh mengajarkan sesuatu
sunnah di antara perkara-perkara sunnah, sebesar apapun jerih payah yang harus
dikorbankan, untuk kemudian hasilnya, mereka menolak sunnah ini dengan sebab
kebodohan mereka, kemudian mereka menolak orang yang menyeru mereka kepada
sunnah tersebut, sementara mereka tiada mau menerima ganti tukar maupun
tebusan daripadanya.

30
HR. Abu Dawud (654-655)
31
HR. Abu Dawud (652) dan dishahihkan oleh Al Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabi.
Adapun tangga prioritas syar`i dimulai dengan mengajarkan prinsip-prinsip
akidah, kemudian mengerjakan hal-hal yang fardhu dan meninggalkan hal-hal yang
haram, kemudian mengerjakan hal-hal yang sunnah dan meninggalkan hal-hal yang
makruh. Dan ia seperti Dharuuriyah (kebutuhan-kebutuhan primer), kemudian
Haajiyah (kebutuhan-kebutuhan sekunder), kemudian Tahsiiniyah (kebutuhan-
kebutuhan tertier).

Ringkasnya: Kita membutuhkan "Dar`ut Ta`aarudh" (menolak pertentangan) antara


perhatian terhadap perkara yang bersifat kulliyah (umum, global) dengan perhatian
terhadap perkara yang bersifat juz`iyah (parsial, furu`), serta melenyapkan ide
pemikiran bohong yang menginspirasikan bahwa perhatian terhadap perkara-perkara
yang bersifat kulliyah mengharuskan pengabaian terhadap masalah-masalah yang
bersifat juz`iyah, atau sebaliknya. Dan hendaknya kita menghimpun perhatian para
da`i dalam satu jalinan, yang memberi setiap pemilik hak, haknya.
Bukanlah suatu aib, seorang da`i belajar atau mengajarkan sunnah-sunnah
yang tidak diketahui oleh banyak orang, seperti: Memendekkan baju hingga
pertengahan betis, atau duduk istirahat di dalam shalat, atau menggerakkan jari
telunjuk dalam tasyahhud, bahkan ia adalah perkara-perkara yang nash-nash syar`i
datang menerangkannya. Dan sudah seharusnyalah bagi seorang spesialis untuk
menyusun pendapat dan ijtihad dari nash-nash itu, dengan syarat: Jangan sampai
pekerjaan tersebut melalaikannya dari perkara-perkara yang lain. Sebagaimana dia
melatih para pemuda untuk mempraktekkannya pada diri mereka sendiri dan pada
orang yang mau menerima pengajaran mereka dan mengambil ilmu dari mereka, pada
waktu-waktu yang tepat, dan di tempat-tempat yang tepat, dan meninggalkannya --
dengan niatan mencari keridhaan Allah-- ketika mereka melihat maslahat syar`i
dalam (perkara meninggalkan)nya, bukannya takut terhadap mulut manusia atau
gunjingan mereka terhadap pribadi-pribadi kita:
Tidaklah adil jika kita menulis satu tema juz`i (masalah furu`) lebih dari 14
pasal pembahasan .. sementara di saat yang sama kita mengabaikan realitas dan
berbagai peristiwa besar berjalan di tengah-tengah ummat tanpa petunjuk, dan
mereka bertindak serampangan dengan pendapat-pendapat pribadi mereka, atau
dengan ijtihad-ijtihad yang cacat, yang tidak terpenuhi di dalamnya perangkat-
perangkat ijtihad yang benar.
Kemudian di satu pihak ada yang tergelincir dalam kesalahan sebaliknya. Dia
sibuk dengan perkara-perkara yang bersifat kulli (global) dan meremehkan perkara
yang bersifat juz`i.
Salah seorang di antara mereka berkata: "Saya adalah seorang salafi" --hanya
dalam masalah masalah furu`iyah--. Ketika saya melihat sosok kepribadian "Umar",
maka saya melihat di dalamnya sosok `Umar yang menyebarkan keadilan di tengah-
tengah manusia, sosok `Umar yang dulu mengatakan: "Sekiranya seekor baghal jatuh
tergelicir di negeri Irak, niscaya aku merasa bahwa kelak Allah akan menanyaiku
tentangnya "Mengapa engkau tidak meratakan jalan untuknya hei `Umar?"
Saya tidak melihat kepribadian `Umar yang memendekkan bajunya dan
memanjangkan jenggotnya!! Sebagaimana yang dilihat oleh sebagian "pemuda kanak-
kanak" pada diri `Umar!! Ya Subhaanallah!
Mengapa kita membelah kepribadian `Umar, lalu kita jadikan dua sosok "`Umar"
pada dirinya, yakni `Umar yang adil, mujahid dan memikul tanggung jawab atas
tergelincirnya seekor baghal di Irak dengan `Umar yang beriltizam pada sunnah dalam
penampilan, baju dan perbuatannya?
Jauh sekali `Umar ra dari dualisme di atas, sesungguhnya dia tidak meyakini
dualisme dan pembelahan ini. Inilah dalilnya:
Ketika `Uqbah bi `Amir ra datang memberikan khabar gembira padanya dengan telah
ditakhlukkannya kota Syam, setelah dia melakukan perjalanan selama satu minggu
dari Jum`at ke Jum`at hingga tiba di Madinah, maka `Umar ra bertakbir menyambut
kemenangan tersebut, dan kaum musliminpun bergembira atas kemenangan yang
gilang gemilang itu.
Kemudian `Umar melihat sepatu `Uqbah, dan menanyakan padanya: "Sejak
kapan kamu memakainya?" `Uqbah menjawab: "Sejak seminggu yang lalu, dan saya
mengusapnya" --yakni mengusapnya jika hendak berwudhu untuk shalat-- Lantas
`Umar mengatakan padanya: "Engkau telah melaksanakan sunnah dengan benar" 32
Atsar ini shahih, seperti kata Ibnu Taimiyah33 serta ulama yang lain.
Jadi kesibukan `Umar ra untuk menakhlukkan negeri-negeri dan
menundukkan dunia kepada kekuasaan Islam tidaklah mencegah dia untuk
membahas masalah furu` juz`i --dalam pandangan sebagian orang-- dan menjelaskan
sunnah di dalamnya menurut pendapat dan ijtihadnya.
Ketika Amirul Mu`minin `Umar bin Khaththab ra. tengah berbaring di atas
ranjang kematiannya, maka urusan siapa yang jadi pengganti setelahnya amat
merisaukannya, dan merisaukan pikiran para sahabat Rasul Saw., karena masalah
khilafah adalah kepentingan umum yang sangat esensial dan sangat penting. Akan
tetapi --sepenting apapun urusan tersebut-- maka ia tidak sampai melalaikan `Umar
untuk membahas dan memahami perkara-perkara yang bersifat juz`i. Adapun di
antara perkara yang dilakukan beliau --saat terluka parah akibat ditikam belati--
ialah: Seorang pemuda Anshar datang menjenguknya, dia menyanjung kebaikannya,
dan beberapa waktu kemudian dia pamit pulang. Saat pemuda tadi keluar rumah,
secara kebetulan `Umar melihat baju pemuda tadi terlalu panjang. Maka dia
memerintah: "Bawa kembali pemuda tadi kemari!" Setelah pemuda tadi kembali,
beliau mengatakan padanya: "Wahai putra saudaraku, angkatlah bajumu!
Sesungguhnya ia lebih bersih bagi bajumu dan lebih takwa kepada Tuhanmu" 34
Beberapa saat kemudian, dia menoleh ke arah para sahabat yang ada di
sekelilingnya. Lalu dia mengatakan pada mereka: "Apa pendapat kalian mengenai
masalah warisan yang diterima seorang kakek dengan adanya saudara-saudara (si
orang yang meninggal)?" Maka merekapun membicarakan hal tersebut. Lalu `Umar
berkata: "Sesungguhnya dalam saat-saat kritisku ini aku punya pendapat, jika kalian
setuju mengikutinya, maka ikutilah!" Lalu `Utsman ra berkata: "Jika kami mengikuti
pendapatmu, maka sesungguhnya ia telah mendapat petunjuk, dan jika kami
mengikuti pendapat sesepuh kita sebelummu --yakni Abu Bakar ra--, maka alangkah
bagus orang yang memiliki pendapat itu, siapapun dia!!"

Inilah `Umar ra.!


Telah bersenyawa di dalam dirinya, perkara-perkara yang bersifat kulli dan
perkara-perkara yang bersifat juz`i dalam satu komposisi yang sedap lagi serasi, tak
ada warna yang terlalu dominan atas warna yang lain, ataupun satu rasa atas rasa
yang lain; dan dalam sebuah bangunan yang saling melengkapi, satu sama lain saling
membutuhkan.
f. Adil di dalam memandang syumuliyah/kekomprehensipan Islam:

Agama ini datang untuk mengatur semua masalah kehidupan, pada skala
individu ataupun kelompok, dan pada aspek-aspek sosial, ekonomi, politik, saint serta
aspek yang lain. Allah Ta`ala mencela Bani Isra`il dan mengecam mereka dengan
firman-Nya:

‫ فأغرينا بينهم العداوة والبغضاء إلى يوم القيامة‬، ‫فنسوا حظا مما ذكروا به‬
"Tapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi
peringatan atasnya; maka Kami timbulkan permusuhan dan kebencian di antara
sesama mereka sampai kelak hari kiamat" (Qs Al Maa-idah 140)
Bergolong-golongan untuk mengamalkan sebagian aspek agama, dan
melupakan aspek-aspek yang lain, adalah termasuk di antara warisan peninggalan
ummat-ummat yang rusak, dan termasuk di antara sebab-sebab terbesar yang
menimbulkan perpecahan dan perselisihan di kalangan para da`i. Sehingga tidaklah
aneh jika kamu dapati ada sekelompok kaum muslimin yang dituduh sebagai Islam
Ta`abbudi, maksudnya ialah kelompok Islam yang fokus perhatiannya cuma
mengerjakan shalat malam dan banyak berdzikir. Terkadang ditambah pula dengan
sejumlah aturan-aturan yang tidak punya dasar dalam syari`at. Barangkali telah
menyusup ke dalamnya ajaran tasawwuf asing yang menganut paham
32
HR. Al Baihaqi I/380.
33
Al Fatawa XXI/178.
34
HR. Al Bukhari (3700) dari hadits `Amru bin Maimun.
`uzlah/isolasisme sehingga pernah salah seorang di antara pengikut kelompok ini
bicara pada saya dengan raut muka gembira karena salah seorang agen intelegen
barat duduk bersama mereka serta melakukan pembicaraan yang cukup lama,
kemudian setelah itu dia menulis tentang mereka bahwa mereka bukanlah orang-
orang yang membahayakan .. terang saja, karena mereka cuma membicarakan
perkara-perkara yang ada di bawah bumi dan perkara-perkara yang ada di atas
langit!!

Maha Suci Allah!

Yakni, cuma membicarakan tentang alam kubur, kematian, siksaan dan


kenikmatan, dan tentang Allah, malaikat dan negeri akherat.
Adapun perkara-perkara yang ada di permukaan bumi, maka mereka tidak
punya urusan dengannya!
Kamu dapati pula kelompok lain yang dituduh sebagai Islam politik. Jihad
mereka adalah di kancah-kancah pembentukan partai-partai politik, mengumpulkan
pendukung, meraih kemenangan dalam pemilihan-pemilihan, masuk dalam majlis-
majlis dewan dan parlemen-parlemen .. dan mengkader para pemudanya untuk
melakukan jihad politik.
Kamu dapati pula kelompok yang ketiga, yang dicap sebagai Islam ilmu. Mereka
mempelajari sunnah dan hadits, dan sibuk menjelaskan yang shahih dari yang lemah,
dan memperingatkan ummat dari membawakan hadits-hadits yang lemah dan palsu.
Dan kesibukan mereka di bidang ilmu ini kadang dibarengi dengan sedikit
pengisoliran diri atau lemah aspek peribadatannya atau melalaikan realitas ummat
dan makar musuh yang dirancang untuk menghancurkannya.

Sebelum timbul prasangka yang tidak menyenangkan dalam benak seseorang,


maka lebih dahulu saya katakan:

Pertama: Islam mencakup ketiga aspek ini semua, serta aspek-aspek lainnya. Ia
adalah agama yang datang untuk menghubungkan seorang hamba dengan Tuhannya
dalam bentuk ta`abbud/peribadatan, rajaa`/rasa harap dan khauf/rasa takut. Maka
dari itu datang syi`ar-syi`ar ibadah. Islam adalah agama yang datang untuk mengatur
kehidupan manusia dan mengendalikan urusan mereka, bukan kepasturan ataupun
kependetaan, ataupun pengisoliran diri dari dunia nyata. Politik adalah bagian yang
tak terpisahkan dari Islam. Maka jihad di kancah ini dengan segala sarana yang
diperbolehkan yang mengantarkan kepada tujuan yang dimaksud, harus menjadi
bagian dari cita-cita seorang da`i.
Ia adalah agama yang datang untuk mengatur peribadatan dan mengatur
segenap aktifitas dalam kehidupan nyata dengan aturan Al Kitab dan As Sunnah
sehingga kita bisa membenarkan peribadatan kita dan amalan kita.
Jika demikian halnya, maka semua aspek-aspek ini termasuk dalam ruang
cakup ajaran agama Islam, yang mana ia datang untuk menyeru manusia dan
mendorong mereka kepadanya.

Kedua: Boleh jadi satu individu atau beberapa individu ummat tidak mampu
mengcover semua aspek-aspek tersebut dalam dakwah mereka kepada Allah. Sebab
kemampuan seseorang terbatas. Jika kamu mengurus sesuatu hal, barangkali kamu
mengurangi bagian yang lain, atau membahayakannya. Lebih-lebih tabi`at manusia,
beragam pandangan dan bentuk interest yang terkumpul pada diri mereka, kadang
menjadikan manusia lebih cenderung kepada salah satu di antara aspek-aspek itu
tadi. Misalnya saja, pada diri seseorang boleh jadi ada kezuhudan, peribadatan dan
banyak kebaikan, akan tetapi ia tidak dikarunia perangkat ilmu syar`i dan bukan
tergolong ahlinya.
Di sini saya katakan: "Tiap kelompok manusia telah tahu jurusannya masing-
masing, dan masing-masing dimudahkan untuk berjalan ke arah mana dia
diciptakan. Di antara para sahabat Muhammad Saw, ada yang jadi seorang ksatria
perang pemberani seperti Khalid bin Walid, ada yang jadi seorang alim mujtahid lagi
faqih seperti Ibnu `Abbas dan Ibnu Mas`ud, ada yang jadi seorang zuhud ahli ibadah
yang senantiasa memperingatkan manusia Janganlah kalian condong kepada dunia
dengan kata-kata dan perbuatannya, seperti Abu Dzar ra.
Dan dari kumpulan karakter-karakter ini serta karakter-karakter yang lain,
terbentuklah bangunan Islam yang lengkap.
Boleh jadi ada orang yang menghimpun segenap keutamaan --dan ini sedikit
sekali--, pada lingkup sahabat rashiyallaahu `anhum kamu dapati contoh-contoh
sahabat yang memiliki banyak keutamaan, seperti Abu Bakar, `Umar, `Utsman, `Ali
serta sahabat yang lain. Mereka adalah dari golongan sahabat. Dan masih banyak lagi
yang lain, yakni pada diri orang-orang sesudah mereka.

Ketiga: Sebagian kita harus menyempurnakan sebagian yang lain, dan jangan sampai
perbedaan perhatian di antara kita mendorong kepada pertikaian, pertentangan, cela-
mencela dan tuduh menuduh antara satu pihak dengan pihak yang lain.
Yang ini menuduh "Bodoh" yang itu, yang itu menuduh yang ini "tenggelam
dalam membahas perkara-perkara furu` dan melalaikan realitas ". Dan yang ketiga
menuduh yang lain sebagai orang-orang yang "Kasar tabi`at, kering dan condong
kepada dunia" .. demikianlah satu sama lain saling menuduh .. sekali-kali jangan
begitu .. tapi hendaknya setiap orang mu`min mengatakan pada saudaranya, bahwa
dia akan mengerjakan apa yang tidak mampu dilakukan saudaranya, selama perkara
tadi tergolong fardhu kifayah, dan dia akan menutup celah yang ditinggalkannya jika
dia mampu menutupnya, dan mendo`akannya di luar pengetahuannya, serta
melindungi punggungnya dari tikaman orang-orang yang hendak menikam
(kehormatan)nya.
Jadi kita "jangan membikin kelompok-kelompok" untuk mengamalkan sebagian
aspek agama dan memerangi orang yang menekuni aspek lain, akan tetapi jika
memang kita tidak mampu mengerjakan suatu kewajiban, maka hendaknya kita
berterima kasih pada orang yang mengerjakan kewajiban tersebut, karena dia telah
meringankan beban kita. Sungguh beda sekali antara mereka yang saling bertikai dan
saling menuduh dengan mereka yang saling bersepaham dan saling tolong menolong.

Keempat: Supaya apa yang telah kita nadzarkan untuk diri kita --berupa ilmu, atau
ibadah, atau jihad politik atau hal yang lain-- tidak sampai memalingkan perhatian
kita dari aspek-aspek agama yang lain, kita harus turut ambil bagian di dalamnya.
Tidak boleh bagi seorang da`i --siapapun dia-- untuk tidak mengetahui sesuatu yang
hukumnya fardhu a`in bagi setiap orang muslim untuk mempelajarinya; seperti
mengetahui akidah yang benar, mengetahui hukum-hukum wudhu, shalat, puasa dan
ibadah-ibadah yang lain; dan mengetahui apa yang dibutuhkan dalam kehidupan
sehari-harinya, seperti adab pergaulan bagi orang yang telah berumah tangga,
hukum-hukum zakat dan perniagaan bagi para pemilik harta; dan hukum-hukum
yang berhubungan dengan pekerjaan atau profesi seperti kedokteran atau teknik atau
bidang yang lain.
Dan ini --dengan idzin Allah-- akan mencegah perhatian kita terhadap sesuatu
hal, menjadi sebab perantara yang membawa kepada sikap ghuluw (berlebih-lebihan)
di dalamnya dan menyebabkan kita meninggalkan perkara selainnya. Karena
kesibukan beribadah, jika tidak disertai dengan ilmu syar`i yang benar dan dilandasi
dengan dalil dari Al Kitab dan As Sunnah, bisa mengakibatkan seseorang terjerumus
ke dalam jurang-jurang tasawwuf.
Kesibukan berdakwah, jika tidak didasari pemahaman yang benar, pengkajian
nash-nash dan pencapaian ilmu, bisa jadi mengakibatkan kepada penghimpunan
manusia di atas bid`ah atau penggalangan mereka di atas sesuatu yang nihil.

g. Adil terhadap waaqi` (realitas kehidupan/dunia nyata):

Sebagian di antara para da`i hidup di abad ini, seolah-olah dia hidup pada abad
ke 5 Hijriyah! Tidak tahu zamannya, tidak tahu apa yang terjadi di sekelilingnya, dan
selalu dikejutkan oleh berbagai peristiwa kejadian, sebagaimana seorang pejalan kaki
dikejutkan oleh bunyi klakson kendaraan yang lalu lalang!
Seorang khathib naik mimbar di sebuah kota, sementara di tangannya
tergenggam buku berisi materi khotbah yang dia bacakan pada hadirin sidang Jum`at.
Di antara kalimat yang dia ucapkan di akhir khotbahnya adalah mendo`akan Amirul
Mu`minin Sulthan `Utsmani Fulan, supaya Allah mengekalkan kerajaannya dan
mendukung kekuasaannya!!

Dia tidak tahu bahwa jasad Khalifah tersebut telah jadi makanan ulat di dalam
kuburnya, dan bahwa kerajaannya telah menjadi barang jarahan bagi Timur dan
Barat!

Potret nyata "ketidak sadaran" ini bisa jadi tidak sering terulang, akan tetapi di
sana ada potret-potret yang lebih halus daripada itu, yang secara permanen terulang.
Pernah suatu ketika seorang pemuda menanyakan pada saya: "Apa itu Partai
Ba`ats? Apa idiologi-idiologi mereka yang lain, selain mereka kafir dengan hari
Bi`tsah/kebangkitan?"
Dia mengira bahwa penamaannya dengan Partai Ba`ats adalah karena mereka
kafir terhadap hari kebangkitan, sebagaimana golongan Qadariyah dahulu dinamai
dengan sebutan demikian karena mereka mengingkari takdir!!
Sesungguhnya seorang muslim harus hidup di zamannya dan senantiasa
perduli dengannya, dia harus senantiasa aktif mencermati apa yang menjadi idealisme
masyarakat, mengetahui aliran-aliran pemikiran dan kecenderungan-kecenderungan
politik mereka, dan antusias dalam menemukan solusi-solusi yang benar terhadap
berbagai peristiwa baru, dan melakukan penentangan terhadap penyimpangan-
penyimpangan yang muncul setelah dia mengetahuinya dan memahami akar
persoalannya. Dan tak mungkin bisa meruntuhkan konsepsi-konsepsi pemikiran
Barat, seseorang yang tidak memahami akar dan asal muasal timbulnya pemikiran
tersebut, kondisi-kondisinya dan back ground-back groundnya
Bukan jadi suatu keharusan bagi setiap da`i untuk memahami persoalan ini,
akan tetapi dia harus memberangkatkan sekelompok orang-orang beriman untuk
memikul kewajiban tersebut, dan pada skala umum, seorang da`i harus memiliki
jendela masuk ke dunia nyata, melalui jendela tersebut dia bisa memahami berbagai
peristiwa yang mengitarinya, dan dia mampu menjadi penuntun manusia ke jalan
yang benar.
Dan sebaliknya dengan mereka yang mengasingkan diri dari dunia nyata, ada
orang yang merubah persinggahan ke dunia nyata menjadi semacam bentuk
kekalahan dan pencarian apologi-apologi serta justifikasi-justifikasi agar dia bisa
mengatakan bahwa prinsip dan keyakinannya itu sesuai dengan Islam, atau ia
berusaha melepaskan diri dari sebagian perkara-perkara syar`i karena bersikap
toleran terhadap dunia nyata, atau tunduk pada dorongan nafsunya.
Yang adil adalah mengenal waaqi` dan menimbangnya dengan hukum Islam,
dan meluruskan penyelewengan-penyelewengannya menurut kemampuan.

h. Adil dalam mensikapi khilaf:


Khilaf (perbedaan) merupakan bagian dari tabi`at manusia, sebagaimana firman
Allah Ta`ala:

‫وال يزالون مختلفين إال من رحم ربك‬


"Akan tetapi mereka tiada henti-henti berselisih. Kecuali orang-orang yang diberi
rahmat oleh Tuhanmu" (Qs Huud 118-119)
Tak ada keraguan lagi bahwa akan terjadi perselisihan dan perbedaan di antara
manusia lantaran perbedaan niat dan tujuan, perbedaan akal dan penalaran, dan
perbedaan ilmu pengetahuan mereka; mensikapi khilaf menuntut suatu sikap syar`i.
Sebagian da`i menyeru manusia kepada kesatuan dan persatuan namun melupakan
perbedaan tanpa memberikan batasan dan kaidah yang tepat, siapa yang mungkin
diajak bersatu, siapa yang harus ditinggalkan karena bid`ah, kesesatan dan
penyelewengannya.
Di pihak lain, di sana ada orang yang berlebih-lebihan dalam membuat
persyaratan, sehingga hampir-hampir tidak ada orang yang sepakat dengannya dalam
segala hal, bahkan dalam ijtihad-ijtihad pribadinya, atau pendapat-pendapat
khususnya. Jika ada seseorang yang menyelisihinya dalam sebagian ijtihad atau
pendapat, maka dia berpaling darinya, dan memposisikannya sebagai lawan, dan
jadilah orang tadi sebagai orang yang tidak berarti dan tidak berharga sama sekali
dalam timbangannya!
Keadilan menghendaki pembolehan khilaf dalam perkara yang dibolehkan khilaf
di dalamnya, seperti wasilah-wasilah dakwah, perkara-perkara furu`, dan hukum-
hukum yang para pendahulu kita dahulu berbeda pendapat di dalamnya .. dan
perbedaan-perbedaan lain, yang ditegakkan di atas landasan ijtihad syar`i di dalam
memahami nash-nash, bukan sekedar karena cocok dengan kecenderungan dan
selera .. khilaf yang seperti ini sangat dimungkinkan, dan sangat luas ruang
lingkupnya.
Adapun bersikap toleran terhadap ahli bid`ah akidah yang berat dan terhadap
penyelewengan-penyelewengan akidah yang sangat mendasar dengan hujjah demi
menyatukan barisan, maka itu adalah cara yang dihias dengan kebohongan, yang
tidak ada hubungan sama sekali dengan akal ataupun syari`at.
Adapun menuntut orang untuk sepakat dalam segala hal, dan tidak berselisih
sama sekali dalam perkara apapun, maka ini sangat mustahil dan hanya sebuah
hayalan, tak bisa dibayangkan kecuali hanya dalam benak pikiran seorang penghayal.

Kelima: Perasaan yang hidup.

Kita membutuhkan seorang da`i, pemilik hati yang tergerak oleh keadaan waaqi`
Islam dan kaum muslimin, dan terhadap berbagai kondisi ummat di berbagai penjuru
dunia, Timur dan Baratnya. Kasih sayang terhadap saudara-saudaranya, dan
menjadikan nyata firman Allah Ta`ala:

‫أشدا ُء على الكفار رحما ُء بينهم‬


"Bersikap keras terhadap orang-orang kafir dan berkasih sayang antara sesama
mereka" (Qs Al Fath 29)

Keadaannya bukanlah keadaan kaum Khawarij pada masa awal Islam, yang
membunuh orang-orang beriman dan membiarkan para penyembah berhala.
Sesungguhnya seorang mu`min harus keras terhadap orang-orang kafir, dan
kasih sayang kepada orang-orang mu`min, dan mengaktualisasikan di dalam dirinya
sabda Nabi Saw.:

‫" مثل المؤمنين في توادهم و تراحمهم و تعاطفهم مثل الجسد الواحد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى‬
"Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal kecintaan, belas kasih dan kasih
sayang di antara sesama mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila salah satu
anggota badan mengeluh sakit, maka menjalarlah rasa sakit itu ke seluruh tubuh
hingga tidak bisa tidur dan panas."

Dan sabda Nabi Saw:

‫المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعض‬


"Orang mu`min bagi orang mu`min yang lain adalah seperti sebuah bangunan, yang
saling menguatkan satu sama lain."
Kita membutuhkan seseorang yang bisa merasakan penderitaan saudara-
saudaranya muslim. Jika dia mendengar sesuatu musibah menimpa saudara-
saudaranya, maka hatinya merasa pilu karenanya, meskipun pada diri mereka yang
tertimpa musibah itu ada kelalaian dan bid`ah.
Adalah Syeikh Muhammad Rasyid Ridha, merasa pilu terhadap kondisi waqii`
kaum muslimin, dan nampak kesedihan pada raut mukanya ketika musibah atau
bencana menimpa salah seorang muslim; serta bergembira apabila melihat keadaan
yang sebaliknya. Sampai-sampai ibunya mengetahui dengan persis sifat ini. Jika sang
ibu melihatnya bersedih dan berduka, maka dia menanyakan padanya: "Ada apa
gerangan denganmu wahai anakku, apakah hari ini ada seorang muslim yang mati di
China?" Dia tahu persis bahwa kesedihan dan kegembiraan anaknya berhubungan
dengan ihwal kaum muslimin. Dia bergembira karena kegembiraan mereka, dan
bersedih karena kesedihan mereka. Ini adalah kecintaan dan kesetia kawanan sejati
bagi kaum muslimin.
Di antara perasaan yang hidup ini ialah, seseorang mempunyai hati yang peka
terhadap kesalahan kaum muslimin dan penyelewengan mereka dari ajaran
agamanya. Dia akan bersedih melihat tersebar luasnya kefasikan dan kemaksiatan di
tengah-tengah mereka dengan suatu kesedihan yang tidak mendorongnya untuk
menjauhi mereka, tapi mendorongnya untuk berusaha menyelamatkan mereka seperti
seorang dokter terhadap pasiennya. Jika dia tidak bisa menjangkau semua itu, paling
tidak dia bisa mengurangi kesesatan tersebut menurut kadar kemampuannya.
Hendaknya perasaan ini, mengajaknya untuk memiliki ghirah terhadap dirinya,
istrinya dan anaknya; lalu dia memerintah mereka berbuat yang ma`ruf dan melarang
mereka dari perbuatan munkar serta mencegah mereka dari mengerjakan perbuatan
yang dimurkai Allah `Azza wa Jalla.
Banyak para da`i yang bicara tentang Islam, akan tetapi dia tidak memiliki
perasaan sejati yang hidup. Sedikit sekali di antara mereka yang memilikinya. Apabila
perasaan telah bergerak di dalam hati seorang da`i, maka ia akan membuahkan
dakwah, nasehat dan simpati terhadap penderitaan yang dialami kaum muslimin di
setiap tempat. Adapun jika perasaan ini hilang pada diri seseorang, maka jadilah
kehidupannya hanya untuk (mencari kesenangan bagi) dirinya sendiri, untuk anaknya
dan untuk istrinya; dia hidup untuk bersenang-senang dan mereguk kenikmatan
dengan apa-apa yang ada di sekelilingnya dan melupakan penderitaan kaum
muslimin. Maka saat itu, dia telah terlepas dari kecintaan dan kesetia kawanan sejati
terhadap orang-orang beriman. Meskipun dalam pembicaraannya mengenai dakwah,
juru dakwah dan musibah-musibah yang menimpa kaum muslimin dia nampak
menunjukkan rasa simpatinya .. hanyasaja keadaannya adalah seperti wanita yang
meratap karena diupah.
Alangkah banyak orang-orang yang biasa mengucapkan perkataan yang
senantiasa mereka ulang-ulang dalam berbagai kesempatan .. dan menghafal
ungkapan-ungkapan kata yang mereka perdengarkan dan mereka baca tanpa
sedikitpun tergugah semangat dan ghirahnya untuk membela agama dan pengikutnya
.. lalu berkata-kata kepada ummat .. alangkah besarnya hajat ummat terhadap hati
para da`i yang peka dan tergugah melihat nasib dan penderitaan mereka!

Keenam: Ambisius

Yang dimaksudkan dengan sifat ini adalah hendaknya seorang da`i tidak hidup
untuk diri dan dunianya sendiri, tapi dia hidup untuk ummatnya, sebagaimana peri
kehidupan Nabi Saw. dahulu seperti yang dituturkan `A'isyah tatkala ia ditanya
`Abdullah bin Syaqiq ra: "Pernahkah Nabi Saw. shalat dalam posisi duduk?" Maka
`A'isyah ra menjawab: "Ya, setelah orang-orang merusak (fisik)nya!"35 Adalah Nabi
Saw. dahulu selalu menerima kedatangan orang, menyambut mereka, mengantarkan
kepulangan mereka, memerintahkan mereka berbuat ma`ruf dan melarang mereka
berbuat munkar, bercampur dengan mereka dan memikul beban kesalahan-
kesalahan mereka, maka dari itu orang-orang merusaknya dan melemahkan fisiknya,
sehingga beliau harus shalat dengan duduk dan cepat beruban rambutnya.
Agama itu ada tingkatan-tingkatannya. Islam, kemudian iman kemudian ihsan.
Dan ada pula pembagian yang serupa dengan ketiga pengkategorian di atas.
Pembagian itu terdapat pada surat Faathir:

‫ثم أورثنا الكتاب الذين اصطفينا من عبادنا فمنهم ظالم لنفسه ومنهم مقتصد ومنهم سابق بالخيرات ب==إذن هللا ذل==ك ه==و‬
‫الفضل الكبير‬

"Kemudian Kami wariskan Kitab itu pada orang-orang yang Kami pilih di antara
hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri,
di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada (pula) yang lebih
dahulu berbuat kebaikan dengan idzin Allah. Itu adalah karunia yang sangat besar."
(Qs Faathir 32)
Dan pembagian ini sama pula dengan ketiga pengkategorian seperti yang
disebutkan Nabi Saw. dalam hadits Firqah Najiyah, di mana beliau menyebut Islam

35
HR. Ahmad (VI/171. 218) dan Muslim (732) dan Abu Dawud (956)
pada urutan pertama, sebab Islam adalah jaminan satu-satunya yang membuat
seseorang masuk ke dalam surga, tidak akan masuk surga kecuali seorang muslim.
Dan masuk dalam lingkaran besar ini, yakni lingkaran Islam, satu lingkaran yang
lebih sempit, yakni lingkaran firqah Najiyah, yang mencakup siapa saja yang menetapi
jalan yang lurus dan aqidah yang shahih dan tidak berpaling kepada selainnya. Dan
di sana ada lagi lingkaran yang lebih sempit dari lingkaran firqah Najiyah, dan ia lebih
utama, lebih mulia dan lebih agung, yakni lingkaran Tha`ifah Manshurah, mereka
yang membela agama, memperjuangkannya dan menanggung beban kesusahan,
penderitaan dan pembelaan di jalannya, maka Allah `Azza wa Jalla-pun menolong
mereka.
Seorang muslim haruslah ambisius dan senantiasa berusaha meningkatkan
derajatnya, dan senantiasa melihat orang yang berada di atasnya dalam masalah
agama, dan melihat orang yang berada di bawahnya dalam masalah dunia .. maka
berupayalah untuk menyerupakan dirimu dengan orang-orang mulia, para juru
perbaikan dan para pembaharu sehingga sebagian kebaikan itu menjadi kenyataan
bagimu di dunia ini.. jadilah engkau sebagai pemilik jiwa, yang ambisinya tidak rela
berhenti pada satu batas tertentu, dan tak pernah sama sekali merasa kenyang dengan
kebaikan hingga ujung akhir perjalananmu adalah surga.

Penutup

Hendaknya seorang da`i menjadi teladan bagi yang lain, yakni menjauhi perkara-
perkara yang makruh, tidak berlapang-lapang dalam perkara-perkara yang mubah dan
sesuatu yang tidak dibutuhkannya. Memandang rendah dunia dan tidak bersaing di
dalamnya sehingga ia mendapatkan kepercayaan manusia, karena dunia itu tak lebih
dari apa yang dikatakan oleh Imam Asy Syafi`i:

‫و من يذق الدنيا فإني طعمتها *** و سيق إلينا عذبها و عذابها‬


‫فما هي إال ضيعة مستحيلة *** عليها كالب همهن اجتذابها‬
‫فإن تجتنبها كنت سلما ألهلها *** و إن تجتذبها نازعتك كالبها‬

Siapa yang mau mencicipi dunia, maka sesungguhnya aku telah mengecapnya
telah digiring kepada kami nikmatnya dan siksanya

Tiadalah dunia kecuali ‫?ضيعة مستحيلة‬


ditunggui anjing-anjing yang bernafsu menariknya

jika kau menjauhinya, maka kau selamat dari pemiliknya


dan jika kau menariknya, kau kan diserang anjing-anjingnya.

Yang penting bagi seorang da`i adalah membuat dunia tunduk berada di bawah
kedua telapak kakinya, ia jadikan dunia sebagai pelayan, bukan dia yang jadi
pelayannya, sehingga manusia tahu bahwa dia bukanlah ahli dunia dan bukan pula
pengejar kedudukan.
Dan di antara aspek-aspek keteladanan tadi adalah seorang da`i menjauhi
perkataan yang menyelisihi perbuatan, sebagaimana ucapan Nabi Syu`aib As:

‫وما أريد أن أخالفكم إلى ما أنهاكم عنه إن أريد إال اإلصالح ما استعطت و ما توفيقي إال باهلل عليه توكلت و إليه أنيب‬
"Dan aku tidak berkehendak menyalahi kalian (dengan mengerjakan) apa yang aku
larang. Aku tidak berkehendak kecuali (melakukan) perbaikan semampuku, dan tidak
ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku
bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali." (Qs Huud 88)
Karena itu, para ulama jahat mengajak manusia kepada Islam dengan
perkataan mereka, tapi mereka menyelisihi ajaran Islam dengan perbuatan mereka.
Maka dari itu tamak haraplah kamu wahai saudaraku da`i, untuk menjadi contoh
teladan dalam perkataan dan perbuatanmu.
Ada persoalan yang perlu diingatkan di sini, bahwa banyak orang mengira
bahwa seorang da`i tidak boleh memerintah kecuali kebaikan yang dikerjakannya dan
tidak melarang kecuali kemunkaran yang dijauhinya. Ini adalah pandangan yang
keliru, tapi yang benar, yang ditunjukkan oleh nash-nash Al Kitab dan As Sunnah
adalah bahwa seseorang harus memerintah yang ma`ruf meski dia tidak mampu
mengerjakannya, dan melarang dari yang munkar meskipun dia terjerumus ke
dalamnya, sampai-sampai salah seorang pakar ahli ilmu mengatakan: "Wajib bagi
orang yang mengambil gelas-gelas (minuman keras) untuk melarang sebagian mereka
atas sebagian yang lain."
Terjerumus dalam kemunkaran tidak boleh menjadi justifikasi bagiku untuk
terjerumus ke dalam kesalahan yang lain, yakni aku tidak melarang yang munkar.
Syarat satu-satunya bagiku untuk memerintah yang ma`ruf dan melarang yang
munkar adalah, hal itu kukerjakan dengan niatan yang benar, bukan untuk
memperdaya, mengecoh, menyesatkan dan memperlihatkan kepada orang bahwa aku
adalah seorang da`i, sementara aku tidaklah demikian. Sekiranya seorang bapak
misalnya, diuji Allah menjadi seorang perokok, lalu dia melihat anaknya merokok,
lantas apakah boleh baginya mendiamkannya dengan hujjah bahwa dia terjerumus
dalam kemunkaran tersebut? Sekali-kali tidak, tapi dia wajib melarang anaknya dan
mengatakan: "Sesungguhnya aku telah menempuh jalan yang salah dan sulit bagiku
melepaskannya. Sementara kamu ini masih dalam tarap permulaan .. maka
hentikanlah!" .. demikianlah seharusnya dalam perkara-perkara maksiat yang lain.
Dan katakan seperti itu, terhadap seorang pemimpin yang melihat sang
bawahan terjerumus ke dalam perbuatan maksiat sementara dia terjerumus juga ke
dalamnya.
Sekiranya orang yang berdosa tak boleh memberi nasehat di tengah-tengah manusia
maka siapa yang memberi nasehat pada pelaku maksiat setelah Muhammad
Keteladanan itu menghendaki, seorang da`i tidak membalas kejahatan dengan
kejahatan yang sama, tapi dia memberi maaf dan mengampuni serta membalas
kejahatan dengan kebaikan seperti yang dahulu dilakukan oleh Nabi Saw. Beliau
memberi maaf pada orang yang menzhaliminya, memberi orang yang tidak
memberinya dan menyambangi orang yang memutuskan hubungan dengannya.
Inilah akhlak para Nabi.
Semoga Allah menjadikan kami dan kalian sebagai orang-orang yang memberi
petunjuk dan mendapat petunjuk, bukan orang-orang yang sesat dan menyesatkan,
dan memperlakukan kita dengan anugerah dan rahmat-Nya, dan Dia adalah Tuhan
Yang pantas ditakuti oleh hamba-hamba-Nya, dan Yang berhak memberikan
ampunan.

. ‫والسالم عليكم و رحمة هللا و بركاته‬

. ‫ أستغفرك و أتوب إليك‬، ‫سبحانك اللهم و بحمدك أشهد أن ال إله إال أنت‬

Anda mungkin juga menyukai