AKHLAK TASAWUF
DISUSUN OLEH
REFKI(21.04.07159)
AMUNTAI
2021-2022
Soal final test Akhlak Tasawuf
1.jelaskan pengertian, ruang lingkup serta tujuan dan manfaaat ilmu akhlak
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab “khuluq”, jamaknya “akhlâq” yang
berarti tabiat atau budi pekerti. Prof. Ahmad Amin, dikutif Hamzah Yaqub,
mendefinisikan akhlak adalah “suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk,
menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada
lainnya menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan
mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.”
Sedangkan yang dimaksud dengan ilmu akhlak ilmu yang menentukan batas antara
baik dan buruk, antara yang terpuji dan yang tercela, tentang perkataan atau
perbuatan manusia lahir dan batin. Senada dengan pengertian ini ulama lain
menjelaskan bahwa ilmu akhlak adalah “ilmu pengetahuan yang memberikan
pengertian tentang baik dan buruk, ilmu yang mengajarkan pegaulan manusia dan
menyatakan tujuan mereka yang terakhir dari seluruh usaha dan pekerjaan
mereka.” Kata akhlak di dalam al-Quran disebutkan pada surat al-Qalam (68): 4,
sedangkan di dalam haditsdijelaskan pada sebuah hadits yang diriwayatkan dari
imam Ahmad. Al-Quran menetapkan bahwa akhlak itu tidak terlepas dari aqidah dan
syariah, ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini dapat
dilihat dari surat al-Baqarah (2): 177, yang berarti: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke
arah timur dan barat itu suatu kebajikan akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah
beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta;
dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-
orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar
(imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
Ayat al-Quran tersebut menjelaskan bahwa iman kepada Allah Swt. adalah
merupakan dasar dari kebajikan. Kenyataan ini tidak akan pernah terbukti,
kecuali jika iman tersebut telah meresap di dalam jiwa dan ke seluruh pembuluh
nadi yang disertai dengan sikap khusyuʾ, tenang, taat, patuh, dan hatinya tidak
akan meledak-ledak lantaran mendapatkan kenikmatan, dan tidak putus asa
ketika ditimpa musibah. Orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah
Swt. hanya mau tunduk dan taat kepada Allah Swt. dan syariat-syariat-Nya.
1. Akhlak Mahmudah atau akhlak yang terpuji. Ini termasuk budi pekerti yang
baik. Menurut Hasan rahimahullah bahwa budi pekerti yang baik adalah
menunjukkan wajah yang berseri-seri, memberikan bantuan sebagai tanda
kedermawanan dan menahan diri dari perbuatanyang menyakiti. Selanjutnya
Hasan menambahkan budi pekerti yang baik ialah membuat kerelaan seluruh
makhluk, baik dalam kesukaan (karena murah rezeki) atau dalam kedukaan
(keadaan kekurangan). Jadi budi pekerti ini hakikatnya adalah suatu bentuk dari
sesuatu jiwa yang benar-benar telah meresap dan dari situlah timbulnya
berbagai perbuatan dengan cara spontan dan mudah, tanpa dibuat-buat dan
tanpa membutuhkan pemikiran atau angan-angan. Contoh akhlak terpuji di dalam
al-Quran surat Ali-imran (3): 159, yang artinya: “Maka disebabkan rahmat Allah-
lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras
lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Contoh akhlak mulia di dalam hadits riwayat Muslim yang diterima dari Abu
Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: “Hak seorang Muslim atas
seorang Muslim ada enam perkara: apabila engkau bertemu dia hendaklah engkau
beri salam kepadanya, apabila ia mengundangmu, hendaklah engkau memenuhinya,
apabila ia meminta nasihat, hendaklah engkau menasihatinya, apabila ia bersin
kemudian ia berkata “alhamdulillah” hendaklah engkau doakan dia, jika ia sakit
hendaklah engkau mengunjunginya, dan apabila ia meninggal dunia hendaklah
engkau mengikuti janazahnya.”
Empat perkara itu adalah jika berbicara dusta, jika berjanji menyalahi,
apabila menjanjikan sesuatu cidera, dan jika bermusuhan berlaku curang.”
Termasuk juga akhlak yang tercela adalah ghibah, yang didalam hadits Muslim,
Rasulullah Saw. menjelaskan bahwa ghibah adalah jika engkau menyebutkan
perihal saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukai olehnya. Hal-hal yang
menyebabkan ghibah di antaranya: ingin melenyapkan kemarahan, dorongan
kemegahan diri, kedengkian, penghinaan, dan lain-lain.
Contoh akhlak tercela di dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari
sahabat Ibn Masud r.a. bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: “apabila kamu
bertiga, maka janganlah dua orang berbisik-bisik dengan meninggalkan yang lain,
tetapi hendaklah kamu bercampur dengan sesama manusia, karena sikap yang
demikian akan menjadikan dia kecewa.” Rasulullah Saw. sendiri mengajarkan doa
agar dihindarkan dari hal-hal yang jelek, termasuk salah satunya dari akhlak yang
tercela. Doa Rasulullah tersebut berbunyi: “Ya Allah jauhkanlah aku dari akhlak,
amal, kemauan, dan penyakit yang jelek.”
Akhlak mempunyai makna yang luas, yang dapat mencakup sifat lahiriyah maupun
batiniah. Akhlak menurut pandangan Islam mencakup berbagai aspek, dapat
mencakup akhlak terhadap Allah dan terhadap sesama makhluk seperti manusia
dan lingkungan.
. Akhlak terhadap Allah Swt.
Landasan umum berakhlak terhadap Allah Swt. adalah pengakuan bahwa tiada
Tuhan selain Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji; demikian agung sifat itu yang
semua makhluk tidak dapat mengetahui dengan baik dan benar betapa
kesempurnaan dan keterpujian Allah swt. Oleh karena itu, mereka sebelum
memuji-Nya, bertasbih terlebih dahulu dalam arti menyucikan-Nya. Jadi jangan
sampai pujian yang mereka ucapkan tidak sesuai dengan kebesaran-Nya,
sebagaimana al-Quran surat ash-Shaffat (37): 159-160, yang artinya: “Mahasuci
Allah dari segala sifat yang mereka sifatkan kepada-Nya, kecuali (dari) hamba-
hamba Allah yang terpilih.” Demikian juga al-Quran surat asy-Syura (42): 5
menetapkan: “Dan para malaikat menyucikan sambil memuji Tuhan mereka.”
Begitu juga al-Quran surat ar-Raʻad (13): 13 menjelaskan: “Guntur menyucikan
(Tuhan) sambil memuji-Nya.” Selanjutnya al-Quran surat al-Isra (17): 44,
menetapkan: “Dan tidak ada sesuatupun kecuali bertasbih (menyucikan Allah)
sambil memuji-Nya.”
Bertitik tolak dari uraian tentang kesempurnaan Allah Swt. tersebut, maka al-
Quran memerintahkan manusia untuk berserah diri kepada-Nya, karena segala
yang bersumber dari Allah adalah baik, benar, indah, dan sempurna. Berkaitan
dengan hal ini, sebagian ayat al-Quran memerintahkan manusia untuk menjadikan
Allah sebagai “wakil”, seperti al-Quran surat al-Muzzammil (73): 9, menerangkan:
“(Dialah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan melainkan Dia, maka jadikanlah
Allah sebagai wakil (pelindung).” Kata “wakil”dapat diterjemahkan sebagai
pelindung. Jika seseorang mewakilkan kepada orang lain (untuk suatu persoalan),
maka ia telah menjadikan orang yang mewakili sebagai dirinya sendiri dalam
menangani persoalan tersebut, sehingga sang wakil melaksanakan apa yang
dikehendaki oleh orang yang menyerahkan perwakilan kepadanya. Allah Swt.,
yang kepada-Nya diwakilkan segala persoalan adalah Yang Maha Kuasa, Maha
Mengetahui, Maha Bijaksana, dan semua Maha yang mengandung pujian. Manusia
sebaliknya, memiliki keterbatasan pada segala hal. Oleh karena itu, maka
perwakilan-Nya pun berbeda dengan perwakilan manusia. Jadi jika seseorang
menjadikan Allah sebagai wakil, sejak semula ia menyadari keterbatasan dirinya
dan menyadari Kemahamutlakan Allah Swt. Dan ia akan menerimanya dengan
sepenuh hati, baik mengetahui maupun tidak hikmah suatu perbuatan Tuhan.
Sebagaimana firman Allah Swt.: “Allah mengetahui dan kamu sekalian tidak
mengetahui. (QS al-Baqarah [2]: 216), dan lihat (QS al-Ahzab [33]: 36).
2. Akhlak terhadap sesama manusia.
Yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang berada di
sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak
bernyawa. Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan al-Quran terhadap lingkungan
bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan ini menuntut
adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam.
Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, dan pembimbingan
agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya. Dalam pandangan akhlak
Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau
memetik bunga sebelum matang, karena hal ini berarti tidak memberi
kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya. Ini berarti
manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang berjalan,
dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Hal ini mengantarkan manusia
bertanggung jawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan terhadap lingkungan
di sekitarnya. Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa semuanya
diciptakan oleh Allah Swt. dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki
ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini meyakinkan setiap muslim untuk
menyadari bahwa semuanya adalah “umat” Tuhan yang harus diperlakukan secara
wajar dan baik.
meliputi akhlak kepada Allah, akhlak kepada manusia, serta akhlak kepada alam
semesta. Dari sisi penyerapan makna Akhlak juga dapat menimbulkan
perkembangan makna yakni etika dan moral. Walaupun perbedaan ketiganya
dapat dilihat dari dasar penentuan atau standar ukuran baik dan buruk yang
digunakannya. Sedangkan standar baik dan buruk akhlak berdasarkan Al-Qur‟an
dan Sunnah Rasul, sedangkan moral dan etika berdasarkan adat istiadat atau
kesepakatan yang dibuat oleh suatu masyarakat jika masyarakat menganggap
suatu perbuatan itu baik maka baik pulalah nilai perbuatan itu. Dengan demikian
standar nilai moral dan etika bersifat lokal dan temporal, sedangkan standar
akhlak bersifat universal dan abadi. Islam merupakan ajaran yang datang
langsung dari wahyu Allah SWT. yang diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada
Nabi Muhammad, yang telah membawa aturan-aturan yang komprehensif untuk
seluruh umat manusia. Dan yang menjadi dasar manusia untuk meningkatnya
kualitas iman harus dibuktikan dengan akhlak yang baik terhadap siapa pun tidak
terkecuali kepada sang Kholik.
tujuan dan manfaat lain dari mempelajari ilmu akhlak akan dipaparkan lebih
detail di bawah ini :
Orang yang beriman dan berilmu (termasuk di dalamnya adalah ilmu akhlaq),
akan lebih utama daripada orang yang tidak beriman dan berilmu. Sebab dengan
pengetahuan ilmu akhlaq, seseorang akan lebih sadar mana yang baik dan mana
yang tidak baik, mana yang mengantarkan kepada kebahagiaan dan mana yang
menjerumuskan kepada kesesatan dan kesengsaraan untuk dirinya. Dengan
demikian seseorang akan selalu berusaha untuk bisa memilih dan melakukan
kebaikan atas petunjuk Allah dan memperoleh keridloan Allah swt. sehingga bisa
menjauhkan diri dari hal-hal yang tersela dan dimurkai oleh Allah swt.
Ilmu akhlaq merupakan pendorong dan pemicu yang dapat mempengaruhi diri
seseorang untuk membentuk hati yang suci baik lahir dan batin yang akan
berguna bagi sesama manusia ataupun makhluk yang lain. Dengan ilmu akhlaq
manusia akan ditunjukkan dan diajarkan cara-cara membentuk pribadi yang mulia,
menuntun kepada akhlak yang baik dan terpuji sebagaimana firman Allah swt
dalam al-Qur‟an:
Ayat dan dalil hadits tersebut di atas menjelaskan bahwa Nabi Muhammad
saw telah memperoleh pengetahuan tentang akhlaq dari al Qur'an, kemudian
beliau melaksanakannya sehingga beliau menjadi manusia yang berakhlak mulia.
“Orang yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaqnya. (HR.
Tirmidzi). Dalam keterangan hadits diatas menjelaskan bahwa orang yang
sempurna imannya adalah orang yang baik akhlaqny
Manfaat dan tujuan yang lain dari mempelajari ilmu akhlak adalah akan
mendapatkan akhlak mulia. Dengan mendapatkan akhlak yang mulia, maka akan
memperoleh derajat yang terhormat di akhir nanti.. Sebagaimana sabda
Rasulullah Nabi Muhammad saw. :
5. Memenuhi hajat pokok keluarga
Sebuah keluarga yang tidak terbina dengan baik akhlaknya dengan akhlak
yang baik, maka tidak akan merasakan kehidupan yang bahagia, karena akan
dijauhkan dari pengaruh atau pergaulan orang banyak. Akhlak yang mulia dan baik
itulah yang akan menjamin keharmonisan hidup dalam rumah tangga, menjalin
cinta kasih semua pihak. Dan dengan akhlak yang mulia dapat dijadikan sebagai
benteng apabila datang malapetaka yang melanda kehidupan dalam rumah tangga.
7. Membina remaja
Tujuan dan manfaat ilmu akhlak adalah untuk membina pergaulan umum.
Akhlak menempati posisi dan peranan yang penting dalam kehidupan dan tata
pergaulan umum. Salah satu contoh dapat dikemukakan : setiap orang yang dapat
diterima sebagai karyawan atau pekerja baik dalam perusahaan swasta ataupun
pemerintah adalah mereka yang dapat menunjukkan surat keterangan yang
menyatakan bahwa mereka berkelakuan baik atau dalam istilah sekarang adalah
SKCK (Surat keterangan cakap kelakuan). Pada orang yang berakhlak rendah
akan selalu dijauhkan dari pergaulan umum. Dimanapun ia berada akan banyak
orang yang tidak menyukainya.
9. Mensukseskan pembangunan negara
Artinya : suatu bangsa dikenal (jaya) karena akhlaknya. Bila akhlaknya rusak,
maka rusaklah bangsa itu."
Apabila akhlaq mulia ini tidak dimiliki oleh para pemimpin dunia dan juga
warga masyarakat dunia seluruhnya maka akan membawa kehancuran dunia baik
di darat. laut maupun udara. Hal yang demikian ini adalah akibat dari perbuatan-
perbuatan manusia yang tidak bertanggung jawab akibat pengaruh dari hawa
nafsu jahat yang tidak terkendalikan.
Dengan demikian jelaslah bahwa kehidupan di dunia ini tidak dapat dilepaskan
dari akhlak para pemimpinnya. Apabila dunia ini dipimpin oleh orang yang
berakhlak mulia, maka roda perjalanan kehidupan dunia ini akan aman, sejahtera
dan sentosa.
Tasawuf secara etimologis berasal dari kata bahasa arab, yaitu tashawwafa,
Yatashawwafu, selain dari kata tersebut ada yang menjelaskan bahwa tasawuf
berasal dari kata Shuf yang artinya bulu domba, maksudnya adalah bahwa
penganuttasawuf ini hidupnya sederhana, tetapi berhati mulia serta menjauhi
pakaian sutra dan memaki kain dari buku domba yang berbulu kasar atau yang
disebut dengan kain wol kasar. Yang mana pada waktu itu memaki kain wol kasar
adalah symbol kesederhanaan..1Kata shuf tesebut tersebut juga diartikan
dengan selembar bulu yang maksudnya para Sufi dihadapan Allah merasa dirinya
hanya bagaikan selembar bulu yang terpisah dari kesatuannya yang tidak memiliki
arti apa-apa.
Kata tasauwf juga berasal dari kata Shaff yang berarti barisan, makna kata
shaff ini diartikan kepada para jamaah yang selalu berada pada barisan terdepan
ketika shalat, sebagaimana shalat yang berada pada barisan terdepan maka akan
mendapa kemuliaan dan pahala. Maka dari itu, orang yang ketika shalat berada di
barisan terdepan akan mendapatkan kemuliaan serta pahala dari Allah SWT.
Tasawuf juga berasal dari kata shafa yangberarti jernih, bersih, atau suci,
makna tersebut sebagai nama dari mereka yang memiliki hati yang bersih atau
suci, maksudnya adalah bahwa mereka menyucikan dirinya dihadapan Allah SWT
melalui latihan kerohanian yang amat dalam yaitu dengan melatih dirinya untuk
menjauhi segala sifat yang kotor sehingga mencapai kebersihan dan kesucian
pada hatinya.
Adapun yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Shuffah yaitu
serambi masjid nabawi yang ditempati sebagian sahabat Rasulullah. Maknanya
tersebut dilatarbelakangi oleh sekelompok sahabat yang hidup zuhud dan
konsentrasi beribadah hanya kepada Allah SWT serta menimba ilmu bersama
Rasulullah yang menghuni masjid Nabawi. Sekelompok sahabat tersebut adalah
mereka yang ikut berpindah bersama Rasulullah dari Mekah ke Madinah dengan
keadaan mereka kehilangan harta dan dalam keadaan miskin.
beberapa pendapat dari pendapat pendapat para ahli tasawuf yang ada, yaitu
sebagai berikut:
1) Syekh Abdul Qadir al-Jailani berpendapat tasawuf adalah mensucikan hati dan
melepaskan nafsu dari pangkalnya denngan khalawt, riya-dloh, taubah dan ikhlas.
Banyaknya pendapat tentang definisi tasawuf yang telah dirumuskan oleh para
ahli menyebabkan sulitnya mendefinisikan tasawuf secara lengkap.
Menurut sejarah, orang yang pertama kali memakai kata “sufi” adalah Abu
Hasyim al Kufi (zahid Irak, w. 150). Sedangkan menurut Abdul Qosim Abdul
Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Talha bin Muhammad al Qusyairi (tokoh
sufi dari Iran 376-465 H), istilah ”tasawuf” telah dikenal sebelum tahun 200 H.
Tetapi ajaran pokok yang selanjutnya merupakan inti tasawuf itu baru muncul
secara lengkap pada abad ke 3 Hijriyah. Pada abad ke 2 Hijriyah itu itu belum
diketahui adanya orang-orang yang disebut sufi; yang terlihat adalah aliran
Zuhud (penganutnya disebut zahid).
Seperti diketahui dalam sejarah, para zahid besar dalam abad ke 2 H. (seperti al
Hasan al Basri, abu Hasyim al Kufi, Sufyan as Sauri, Fudail bin Iyad, Rabi‟ah al
Adawiyah dan Makruf al Karkhi) dan lebih-lebih lagi mereka yang hidup pada
abad2-abad berikutnya (eperti al Bistaami, al Halaj, Junaid al Bagdadi, al Harawi,
al Gazali, Ibn Sab‟in, Ibni Arabi, abu al Farid, Jalaluddin ar Rumi) telah mengolah
atau mengembangkan sikap atau emosi agamadalam hati mereka dengan
kesungguhan yang luar biasa. Sebelum munculnya Ar Rabbi‟ah al Adawiyah (w.185
H) tujuan tasawuf yang diupayakan oleh para zahid menurut penilaian para ahli,
tidak lain dari terciptanya kehidupan yang diridhai oleh Tuhan didunia ini,
sehingga di akhirat terlepas dari azab Tuhan (neraka) dan memperoleh surga-
Nya.
Untuk tiba pada identifikasi akhir tasawuf denga thariqah, yang kita ketahui
terjadi pada abad ke 3 H, kita harus meneliti apa yang sebenarnya terjadi dalam
tradisi Islam yang mengakibatkan timbulnya tasawuf. Ada sejumlah peristiwa
yang berlangsung pada masa itu, yang kesemuanya membuat tasawuf mengemuka
: 1) kecenderungan mencampuradukan asketisme dengan jalan itu; 2) semakin
mantapnya aliran-aliran yurisprudensi eksetorik; 3) pernyataan-pernyataan kaum
syi‟ah mengenai para imam; 4) munculnya filsafat Islam; 5) meningkatnya
formalism ahli-ahli hokum; dan 6) tuntutan untuk memastikan bahwa pesan
integral dari wahyu, sejak saat itu dikaitkan dengan tasawuf. Jika diperhatikan
keenam hal tersebut, kelihatan kaitan erat dengan kemunculan tasawuf.
Tasawuf yang sering kita temui dalam khazanah dunia islam, dari segi sumber
perkembangannya, ternyata muncullah pro dan kontra, baik dikalangan muslim
maupun dikalangan non muslim. Mereka yang kontra menganggap bahwa tasawuf
islam merupakan sebuah faham yang bersumber dari agama-agama lain.
Pandangan ini kebanyakan diwakili oleh para orientalis dan orang-orang yang
banyak terpengaruh oleh kalangan orientalis ini.
Tasawuf dan system kepercayaan agama Hindu memiliki persamaan, seperti sikap
fakir. Darwis Al-Birawi mencatat adanya persamaan cara ibadah dan mujahadah
pada tasawuf dan ajaran hindu. Demikian juga pada paham reinkarnasi, cara
pelepasan dari dunia versi Hindu-Budha dengan persatuan diri dengan jalan
mengingat Allah.
3. Unsur Yunani
Kebudayaan Yunani seperti Filsafat, telah masuk ke dunia islam pada akhir
Daulah Amawiyah dan puncaknya pada masa Daulah Abbasiyah ketika berlangsung
zaman penerjemahan filsafat Yunani.
Sebenarnya Arab dan Persia memiliki hubungan sejak lama, yaitu pada bidang
politik, pemikiran, kemasyarakatan dan sastra. Namun belum ditemukan
argumentasi kuat yang menyatakan bahwa kehidupan kerohanian Arab masuk ke
Persia hingga orang-orang Persia itu terkenal sebagai ahli-ahli tasawuf.
Barangkali ada persamaan antara istilah zuhud di Arab dengan zuhud menurut
agama manu dan mazdaq; antara istilah hakikat Muhammad dan paham Hormuz
dalam agama zarathustra.
1. Pertumbuhan Tasawuf
Jauh sebelum lahirnya agama islam, memang sudah ada ahli Mistik yang
menghabiskan masa hidupnya dengan mendekatkan diri kepada Tuhan-Nya;
antara lain terdapat pada India Kuno yang beragam Hindu maupun Budha. Orang-
orang mistik tersebut dinamakan Gymnosophists oleh penulis barat dan disebut
al-hukama‟ul uroh oleh penulis Arab. Yang dapay diartikan sebagai orang-orang
bijaksana yang berpakaian terbuka. Hal tersebut dimaksudkan, karena ahli-ahli
mistik orang-orang India selalu berpakaian dengan menutup separuh badannya.
a. Nash-nash al-qur‟an, antara lain QS; Al-Ahzab ayat 41-42 yang artinya: :
Hai orang-orang yang beriman berdzikirlah dengan menyebut nama Allah, dzikir
yang sebanyak-banyaknya di waktu pagi dan petang”.
2. Perkembangan Tasawuf
Beberapa sahabat yang tergolong sufi di abad pertama, dan berfungsi sebagai
maha guru bagi pendatang dari luar kota Madinah, yang tertarik kepada
kehidupan shufi, para sahabat-sahabat tersebut antara lain, Khulafaurrasyidin,
Salman Al-Farisiy, Abu Dzarr Al-Ghifary, dll.
Ulama-ulama sufi dari kalangan tabi‟in adalah murid dari ulama-ulama sufi dari
kalangan shahabat. Kalau berbicara tasawuf dan perkembangannya pada abad
pertama, dengan mengemukakan tokoh-tokohnya dari kalangan shahabat, maka
pembicaraan perkembangan tasawuf pada abad kedua dengan tokoh-tokohnya
pula. Tokoh-tokoh ulama sufi Tabi‟in antara lain, Al-Hasan Al-Bashry,Rabi‟ah Al-
Adawiyah, Sufyaan bin sa‟id Ats-Tsaury, Daud Ath-Thaaiy, dll.
b) Pada abad ketiga dan keempat hijriyyah.
Pada abad ini perkembangan tasawuf pesat, hal ini ditandai dengan adanya
segolongan ahli tasawuf yang mencoba menyelidiki inti ajaran tasawuf yang
berkembang pada masa itu, sehingga mereka membaginya ke dalam tiga macam,
yakni; Tasawuf yang berintikan ilmu jiwa, ilmu akhlaq dan Metafisika. Tokoh-
tokoh sufi pada masa ini diantaranya; Abu Sulaiman Ad-Daaraany, Ahmad bin Al-
Hawaary Ad-Damasqiy, Abul Faidh Dzuun Nun bin Ibrahim Al-Mishry, dll.
Pada abad ini ditamdai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat
dibandingkan dengan kemajuannya di abad ketiga hijriyyah, karena usaha
maksimal para ulama tasawuf untuk mengembangkan ajaran tasawufnya masing-
masing. Tokoh-tokoh sufinya antara lain Musa Al-Anshaary, Abu Hamid bin
Muhammad, Abu Zaid Al-Adamy, Abu Ali Muhammad bin Abdil Wahhab, dll.
Disamping adanya pertentangan yang turun temurun antara Ulama sufi dengan
ulama Fiqih, maka pada abad kelima ini, keadaan semakin rawan ketika
berkembangnya mahzab Syi‟ah ismaa‟iliyah; yaitu suatu mahzab yang hendak
mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada keturunan Ali bin Abi Thalib.
Karena menganggapnya bahwa dunia ini harus diatur oleh imam, karena dialah
yang langsung menerima petunjuk dari Rosulullah saw.
Menurut mereka ada 12 imam yang berhak mengatur dunia ini yang disebut
sebagai imam mahdi, yang akan mmenjelma ke dunia dengan membawa keadilan
dan memurnikan agama islam. Kedua belas imam itu adalah:
(a) Semakin gencarnya serangan ulama syariat memerangi ahli Tasawuf, yang
diiringi dengan serangan golongan Syiah yang menekuni ilmu kalam dan fiqih
(b) Adanya tekat penguasa pada masa itu untuk melenyapkan ajaran Tasawuf di
dunia Islam karena dianggap kegiatan itu menjadi sumber perpecahan umat
Islam. ada beberapa ahli tasawuf yang berpengaruh di abad ini diantaranya;
Umar Abdul Faridh, Ibnu Sabi‟iin, Jalaluddin Ar-Ruumy, dll.
Praktik - praktik tasawuf dimulai dari pusat kelahiran dan penyiaran agama Islam
yaitu Makkah dan Madinah, jika kita lihat dari domisili tokoh-tokoh perintis yang
disebutkan di atas. Pertumbuhan dan perkembangan tasawuf di dunia Islam
dapat dikelompokan ke dalam beberapa tahap :
1. Tahap Zuhud
Zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului
tasawuf. Menurut Harun Nasution, station yang terpenting bagi seorang calon
sufi ialah zuhd yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sebelum
menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sesudah
menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah
zahid, tetapi sebaliknya tidak setiap zahid merupakan sufi
Penyebaran ajaran Islam dipulau Jawa adalah Wali songo dengan menggunakan
pendekatan mistik, yang didalamnya diisi dengan ajaran Tasawuf. Mereka dalam
menentukan taktik dan srategi, mula-mula dalam menyebarkan dakwahnya melalui
pendekatan mistik atau Tasawuf unr\tuk mengislamkan masyarakat di pulau Jawa
karena dilatar belakangi oleh kepercayaan agama Hindu Budha yang berinti
ajarannya adalah mistik Pendekatan tahap ini tidak memperketat kemurnian
ajaran Islam.
a) Syeh Hamzah Pansuri, beliau salah satu penyebab ajaran Tasawuf dapat
dikenal oleh orang banyak, karena kemampuannya membuat karya tulis yang
bermutu tinggi; baik prosaya merupakan buku yang menguasai syair-syair maupun
prosa yang berintikan ajaran Tasawuf.
Salah seorang shufi‟ yang terkemuka di Kalimantan barat adalah syeh Ahmad
Khatib as-Syambasih, beliau banyak berguru kepada Ulama shufi yang berkainan
aliran dengannya. Sehingga segala macam tarekat memasukinya dan sempat
menguasai seluk beluk tarekat tersebut karena ketekunannya berlajar dan cita-
citanya untuk menguasai berbagai aliran ilmu Tasawuf maka banyak ulama
Tasawuf yang menimba ilmu kepadanya.
Ajaran Tasawuf dipulau ini bercorak sunni dam falsafati Karena kebanyakan
penganut Tasawuf falsafati mencampur baurkan ajaran Tasawuf dengan ilmu
hitam. Sehingga semakin membingungkan masyarakat awam, hal ini yang membuat
masyarakat kurang minat belajar Tasawuf. Namun berkat kemampuan karomah
yang dimiliki oleh ulama yang bernama Syeh Yusuf Tajul Khalwati al-Makassary
yang ajaran Tasawufnya beraliran sunni dapat mengajarkan ilmunya kepada
masyarakat meskipun ia sendiri masih merasakan kekurangan ilmu.
Tasawuf sunni ialah bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan al quran
dan al hadis secara ketat, serta mengaitkan ahwal atau keadaan dan makomat
(tingkatan ruhaniah) mereka kepada kedua sumber tersebut.
1. Hulul
2. Wahdah Al-Wujud
3. Ittihad
pengertian ittihad sebagaimana disebutkan dalam sufi terminologi
adalah penggabungan antara dua hal yang menjadi satu.Ittihad merupakan
doktrin yang menyimpang dimana didalamnya terjadiproses pemaksaan antara dua
ekssistensi. Kata ini berasal dari katawahd atau wahdah yang berarti satu atau
tunggal. Jadi ittihad artinyabersatunya manusia dengan Tuhan.
4. Insan kamil.
5. Ibnu Sab‟in
Disamping para sufi ia juga seorang filosof yang sangat terkenal dari
Andalusia, ia adalah seorang penggagas paham tasawuf yang lebih dikenal dengan
kesatuan Mutlak.
A. Pengertian Maqamat
Secara harfiah, maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang berarti tempat
berpijak atau pangkat mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai
jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan
Allah. Dalam bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang bearti
tangga. . Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba
dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakannya, baik melalui
riyadha, ibadah, maupun mujahadah. Disamping itu, maqamat berarti jalan
panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada
sedekat mungkin dengan Allah .Amalan itu kemudian dijadikan sufi sebagai
maqam dalam tazkiyyah al-nafs. Maqam yang terdapat dalam tasawuf tersebut
merupakan satu peringkat perjalanan kerohanian yang mempunyai peraturan-
peraturan tertentu yng mesti ditaati agar selalu dekat dengan tuhan. Mendapat
kecintaan dan keredaan-Nya. Para sufi memiliki pendapat yang berbeda-beda
tentang berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuholeh seorang
sufi untuk sampai menuju Tuhan. Menurut al-Ghazali yang diuraikan dalam
kitabnya, Ihya‟ Ulum ad-Din, maqamat terdiri dari delapan tingkat, yaitu taubat,
sabar, zuhud tawakal, mahabbah, ridha dan ma‟rifat. Menurut as-Sarraj ath-
thusi, maqamat terdiri dari tujuh tingkatan yaitu taubat, wara‟, zuhud, faqr.
Sabar, ridha, dan tawakal. Sedangkan menurut al-Kalabazy maqamat terdiri dari
sepuluh tingkatan yaitu taubat, zuhud, sabar, faqr, tawadhu, taqwa, tawakal,
ridha, mahabbah, dan ma‟rifat. Dalam uraian ini maqamat yang akan dijelaskan
lebih lanjut adalah taubah, zuhud, wara‟, faqr, sabar, tawakal, dan ridha.
1.Taubat
2. Zuhud
Zuhud secara harfiah berarti meniggalkan kesenangan dunia, atau tidak ingin
sesuatu yang bersifat keduniawian. Menurut pandangan para sufi, zuhud
diartikan suatu sikap melepaskan diri rasa ketergantungan terhadap kehidupan
duniawi dengan mengutamakan kehidupan ukhrawi. Zuhud terbagi menjadi tiga
tingkatan , pertama (terendah) menjauhkan ini agar terlihat dari hukuman
akhirat. Kedua, menjauhi dunia dengan menimbang imbalan diakhirat. Ketiga
(tertinggi), mengucilkan dunia bukan karena takut atau berharap, tetapi karena
cinta kepada Allah semata.
3.Wara‟
Wara‟ secara harfiah, berarti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau
maksiat. Sedangkan dalam pandangan sufi adalah meninggalkan segala sesuatu
yang tidak jelas hukumnya. Baik yang menyangkut makanan, pakaian, maupun
persoalan lainnya. Orang-orang wara‟ dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama,
orang yang mejauhkan diri dari syubhat. Kedua, orang yang menjauhkan diri dari
sesuatu yang menjadi keraguan hati dan keganjalan di dada. Kitiga, orang arif
yang sanggup menghayati dengan hati nurani.
4.Faqr
Faqr diartikan sebagai orang yang membutuhkan dan memerlukan. Dalam al-
Qur‟an, istilah ini digunakan dengan mengacu pada dua makna. Pertama, digunakan
dalam konteks social ekonomi. Kedua, dalam konteks eksistensi manusia. Dalam
pandangan sufi, faqr diartikan tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah
dimiliki dan merasa puas dengan apa yng dimiliki sehingga tidak meminta sesuatu
yang lain.
5.Sabar
Sabar secara harfiah, berarti tabah hati, menjalankan perintah dan menjauhi
larangan Allah, serta sabar dalam menerima segala cobaan yang ditimpahkan
tuhan kepadanya. Sabar, jika dipandang sebagai pengekangan tuntunan nafsu dan
amarah, dinamakan al-Ghazali sebagai kesabaran jiwa, sedangkan menahan
terhadap penyakit fisik disebut sabar badani. Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan
dalam berbagai aspek, misalnya untuk menahan nafsu makan dan seks yang
berlebihan.
6.Tawakal
7.Ridha
Ridha berarti rela, senang, dan suka. Sedangkan pengertian umumnya tidak
menentang qadha dan qadhar Allah, menerimanya dengan hati senang. Ridha
dibagi menjadi dua macam: pertama, ridha dengan Allah, berarti bahwa seorang
hamba rela terhadap Allah sebagai pengatur jagad raya seisinya kedua, ridha
terhadap apa yang datang dari Allah berarti, rela terhadap apa saja yang telah
menjadi ketetapan Allah.
Pengertian Ahwal
Hal adalah bentuk jama‟ dari kata ahwal yang berarti suasana atau keadaan jiwa.
Secara terminologi ahwal berarti keadaan atau kondisi spiritual yang menguasai
hati. Menurut Harun Nasution, hal adalah keadaan mental seperti perasaan
senang, sedih, takut, dan sebagainya.1 Hal juga dapat diartikan suatu kondisi
mental atau situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia dari
Allah .Hanya saja hal tidak datang tanpa kesadaran namun kedatangan hal bahkan
harus menjadi kepribadian seseorang. Berkenaan dengan hal, Abu Nashr at-Thusi
menyebutkan 9 macam Hal, yaitu: al-Muraqabah, al-Mahabbah, al-Khauf, al-Raja‟,
al-Syauq, al-Uns, al-Thuma‟nina, al-Musyahadah, al-Yakin.
1. al-Muraqabah
2.al-Mahabbah
Mahabbah atau cinta, adalah suatu kondisi atau perasaan yang agung dimana
orang yang mencinta itu memberikan seluruh jiwanya kepada yang dicinta. Dalam
mahabbah mengandung makna kemntapan sikap untuk selalu konsisten kepada apa
yang ia cintai, memikirkan yang ia cintai, serta rela berkorban apapun demi yang
ia cintai.
Al-Junaid menyatakan bahwa seorang yang dilanda rasa cinta akan dipenuhi oleh
ingatan pada sang kekasih, bahakan sampai melupakan dirinya sendiri.
3.al-Khauf
Khauf atau takut adalah suatu kondisi dimana seseorang tidak mengharapkan
sesuatu yang ia tidak harapkan. Banyak ungkapan yang dikemukakan oleh banyak
ahli tentang khauf ini, akan tetapi pada dasarnya, khauf atau tahut ini yang
dimaksudkan adalah suatu perasaan takut yang timbul dari perbuatan yang
dilakukan. Seseorang yang dianda rasa takut akan berbuat yang lebih baik dari
sebelumnya agar kelak akan mendapatkan kebaikan dari apa yang ia usahakan
dimasa mendatang.
4.al-Raja‟
Raja‟ dapat dibilang kebalikan dari al-Khauf. Kalau al-Khauf merupakan perasaan
takut sesuatu akan terjadi, sedangkan Raja‟ ini justru berharap sesuatu agar
terjadi. Penerapan dalam al-khauf dan al-raja‟ ini pun berbeda, jika al-khauf
diperlukan bagi orng yang telah melakukan kesalahan agar tidak diulangi nya lagi,
sedangkan al-raja‟ diperlukan untuk memupuk rasa optimisme, agar apa yang
diharapkan terlaksana dengan baik.
Syauq atau rindu adalah suatu kondisi dimana seorang selaluingin bertemu dengan
yang dirindukan atau dicintai. Dalam hal ini, seorang hamba yang dilanda
kerinduan kepada Allah adalah seorang hamba yang ingin selalu berdekatan
dengan Nya.
6.al-Uns
Al-Uns atau suka cita adalah kondisi dimana sesorang merasa selalu berteman,
tidak pernah merasa sepi. Dalam hal ini, al-uns dapat diartikan dengan keakraban
dengan Tuhan. Ras kebahagiaan, kegembiraan, kesenangan, serta rasa suka cita
yang membara karena merasakan kedekatan dengan Allah yang sangat ia cintai,
semua itu akan menjadikan kepekaan dalam bathinnya.
7.al-Thuma‟ninah
Thuma‟ninah atau rasa tenang adalah suatu kondisi dimana seseorang merasakan
ketentraman hati karena terpengaruh oleh sesuatu yang lain.
8.al-Musyahadah
Musyahadah adalah suatu perasaan melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa
adanya keraguan sedikitpun bagaikan melihat dengan mata kepala.
9 al-.Yaqin
Al-Yaqin mengandung 3 unsur, yakni „ilm al-yaqin, „ain al-yaqin, serta haqq al-
yaqin. „Ilm al-yaqin adalah sesuatu yang dianggap ada setelah adanya pembuktian,
„ain al-yaqin adalah sesuatu yang ada setelah dijelaskan, haqq al-yaqin adalah
sesuatu yang ada dengan sifat-sifat yang sudah sesuai dengan kenyataannya.
Namun secara umum al-yaqin dapat dijelaskan sebagai keyakinan yang kuat
terhadap sesuatu kebenaran, dengan berdasarkankesaksian dari kenyataan.
2. Al-Hallaj
3. Ibn Arabi
4. Suhrawardi al-Maqtul
Pengertian Hulul
Kata al-hulul adalah bentuk masdar dari kata kerja halla yang berarti tinggal
atau berdiam diri. Secara terminologis kata al-hulul diartikan dengan paham
bahwa Tuhan dapat menitis ke dalam makhluk atau benda. Di samping itu, al-hulul
berasal dari kata halla yang berarti menempati suatu tempat (halla bi al-makani).
Jadi pengertian hulul secara bahasa adalah menempati suatu tempat.
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia
tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat
kemanusiaannya melalui fana‟. Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-
Luma‟ sebagaimana dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan
bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di
dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Hulul atau juga sering disebut “peleburan antara Tuhan dan manusia”
adalah paham yang dipopulerkan Mansur al-Hallaj. Paham ini menyatakan bahwa
seorang sufi dalam keadaan tertentu, dapat melebur dengan Allah. Dalam hal ini,
aspek an-nasut Allah bersatu dengan aspek al-lahut manusia. Al-Lahut merupakan
aspek Ketuhanan sedangkan An-Nasut adalah aspek kemanusiaan. Sehingga dalam
paham ini, manusia maupun Tuhan memiliki dua aspek tersebut dalam diri masing-
masing.
Pengertian Ittihad
Kata Ittihad berasal dari kata ijtahada yajttahidu ijtihadan yang berarti
kebersatuan. Ittihad menurut Abu Yazid Al Bustami, secara komperhensif
maupun etimologis, berarti integrasi, menyatu atau persatuan (unity). Ittihad
memiliki arti “bergabung menjadi satu”. Paham ini berarti seorang sufi dapat
bersatu dengan Allah setelah terlebih dahulu melebur dalam sandaran rohani dan
jasmani (fana) untuk kemudian dalam keadaan baqa‟, bersatu dengan Allah.
Ittihād dalam ajaran tasawuf kata Ibrahim Madkur adalah tingkat tertinggi yang
dapat dicapai dalam perjalanan jiwa manusia. Menurut Harun Nasution, ittihad
adalah satu tingkatan seorang sufi yang telah merasa dirinya bersatu dengan
tuhan, satu tingkatan ketika yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu,
sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-
kata, “Hai aku”.
Dalam pemahaman ini, seseorang untuk mencapai Ittihad harus melalui beberapa
tingkatan yaitu fana dan baqa‟. Fana merupakan peleburan sifat-sifat
buruk manusia agar menjadi baik. Pada saat ini, manusia mampu menghilangkan
semua kesenangan dunia sehingga yang ada dalam hatinya hanya Allah (baqa‟).
Inilah inti ittihad, “diam pada kesadaran ilahi”.
Hulul dan ittihad erat terkait dengan tauhid yang merupakan inti ajaran Islam.
Al-Ghazali membagi tauhid menjadi empat tingkatan. Pertama, tauhid yang hanya
diucapkan oleh lidah tapi diingkari oleh hati, ucapan orang munafik. Kedua, tauhid
yang diucapkan lidah sekaligus diyakini hati, tauhid muslim awam. Ketiga, tauhid
yang dibarengi dengan penyaksian melalui penyingkapan (kasyf) bahwa yang
beragam dan banyak berasal dari Yang Esa, tauhid orang yang didekatkan
(muqarrabin). Keempat, tauhid shiddiqin yang melihat dalam wujud hanya satu,
yang oleh para Sufi disebut sirna dalam tauhid (fana‟ fi al-tauhid), yang rahasia
ilmu ini tidak seharusnya ditulis dalam buku.
Tentang penjelasan ayat ini, al-Junaid mengatakan ”Dalam ayat ini Allah
memberitahumu bahwa Dia berfirman pada mereka pada saat mereka belum
ada, kecuali sejauh mereka ada untuk-Nya. Eksistensi ini tidaklah sama dengan
yang biasa dilekatkan pada makhluk dan hanya diketahui oleh-Nya.” Dalam ayat
ini Allah swt. Mempersaksikan (asyhada) terhadap manusia sifat Ketuhanan-Nya
(rububiyah) dalam pengertian bahwa mereka tahu, dengan pengalaman langsung
dan persaksian, Realitas dan Kebenaran yang disingkapkan pada mereka. Makna
kedua dari konotasi terkait dengan kesadaran dan pengalaman akan keterpisahan
dalam segala hal di dunia. Dalam melihat dunia yang terbentuk dari keragaman,
orang awam melihatnya sebagai kenyataan yang saling terpisah, beragam, dan
berdiri sendiri dan meyakini bahwa tidak ada sesuatu dibalik keragaman itu.
Tingkatan yang lebih tinggi adalah mereka, yang sekalipun pandangannya
terhadap realitas tidak dapat menjangkau diluar keragaman, mengakui bahwa apa
yang dapat mereka jangkau dengan nalar dan pengalaman mereka, yakni inderawi-
rasional, bukanlah satu-satunya realitas. Mereka mengakui Realitas diluar yang
dapat mereka jangkau yang sama sekali berbeda dengan jangkauan nalar dan
pengalaman mereka dan secara teologis disebut Tuhan. Pandangan dunia yang
bersifat dualistik ini kemudian berkembang dalam tataran saintifik, filosofis,
dan teologis menjadi apa yang kemudian dikenal sebagai pembedaan antara
esensi dan eksistensi. Menurut pandangan ini, sesuatu memiliki esensi yakni
kuiditas (quiddity), yang secara ontologis merupakan substansinya dan eksistensi
yang dipandang sebagai aksiden dari esensi. Pandangan semacam ini didasarkan
pada perkembangan saintifik dan filosofis yang didasarkan hanya pada nalar dan
pengalaman awam.
Wahdatul wujud
Kata Syuhūd berasal dari akar kata syahida-yasyhadu- Syuhūdan yang pada
asalnya berarti kesaksian, kehadiran, pengetahuan, dan pemberitahuan. Di dalam
tasawuf, istilah ini digunakan untuk menyebut keadaan seorang sufi yang
menyaksikan kehadiran Ilahi Secara bahasa Waḥdat al-Syuhūd dapat diartikan
sebagai kesatuan penyaksian. Pandangan ini menyatakan, satu-satunya yang
benar-benar adahanyalah Wujud yang satu, yakni Allah. Sedangkan kesan kita
mengenai ragam wujud hanyalah artifak dari cara pandang kita terhadap realitas
Yang Satu. Sekilas kita lihat Waḥdat al-Syuhūd hampir sama dengan Wahdat
al-Wujud, tetapi jika pelajari lebih dalam lagi maka akan ditemui perbedaan yang
signifikan. Di mana dalam pandangan Waḥdat al-Syuhūd dinyatakan bahwa ciptaan
tidak identik dengan Tuhan atau pencipta-Nya. Ciptaan baik itu manusia maupun
alam semesta ini dan segala isinya hanya pantulan dari Sang Maha Pencipta
sehingga tidak identik dengan-Nya.Yang Ilahi bersifat abadi, sedangkan alam
semesta dan segala isinya bersifat sementara.
Ajaran tentang konsep Waḥdat al-Syuhūd yang terdapat dalam al-Qur,an Allah
itu adalah hal yang gaib. Seseorang yang berharap bisa menyaksikan Allah
tentulah harus beriman kepada yang gaib dan mendirikan shalat. Maka dengan
kondisi itu dia akan selalu terjaga dalam seluruh rangkaian hukum yang
dibebankan padanya dalam shalat. Pada kondisi itu dia berada dalam puncak titik
fokus di mana jiwa mereka menghadap kiblat, sementara hatinya tenggelam
bersatu dalam hakikat wusul- sampai kepada Allah. Allah itu bersifat Esa, tidak
ada satupun Tuhan selain Dia.Dialah yang menciptakan apa yang di alam semesta
ini dan Dia juga yang memeliharanya. .Konsepsi Wahdat al-Syuhud
Wahdat al-syuhud merupakan salah satu konsep dalam tasawuf falsafi,
sebagaimana konsep ittihad-nya Abu Yazid al-Busthami, konsep hulul-nya Al-
Hallaj, atau juga wahdat al-wujud-nya Ibn „Arabi. Kajian tentang wahdat al-
syuhud oleh para ilmuwan menunjukkan bahwa konsep ini mirip dengan dan
mendapat pengaruh besar dari paham wahdat al-wujud, ajaran yang dicetuskan
oleh Ibn „Arabi.
Konsep ini bermula dari rasa cinta Ibn al-Faridh yang sangat mendalam kepada
Tuhan hingga mencapai syauq (rindu-dendam), dan kemudian meningkat menjadi
pengalaman uns (), yakni kegilaan dalam asyik-masyuk (intim) dengan Tuhannya.
Dalam Risalah al-Qusyairiyah dinukil ungkapan para sufi sebagai berikut :
Pecinta itu syaratnya sampai mabuk (gila) cinta, bila belum sampai seperti itu,
cintanya belum benar-benar (belum sempurna).
Jelasnya, mendalamnya cinta rindu terhadap Tuhan menurut ajaran tasawuf para
sufi sampai mabuk cinta, sehingga meningkat menjadi wahdat al-syuhud, yakni
segala yang mereka pandang tampak wajah Tuhan.
Kesatuan dalam terminology Ibn al-Faridh bukan penyatuan dua wujud, tetapi
penyatuan dalam arti yang disaksikan hanya satu, yaitu Wujud Yang Maha Esa.
Pluralitas yang tadinya nampak menjadi lenyap sehingga segala sesuatu
nampaknya satu kesatuan karena ia telah mampu “menghadirkan” Tuhan dalam
dirinya melalui tajalliyat Ilahi.
Menurut pemahaman Musthafa Helmi, tajalli dalam konsep Ibn al-Faridh ada dua
segi, yaitu : pertama, tajalli secara zhahir, yakni melihat Yang Esa pada yang
aneka; yang kedua, tajalli secara batin, yakni melihat yang aneka pada Yang Esa.
Dengan kata lain, barangkali dapat dianalogikan dengan makro dan mikro. Dengan
memperhatikan makro kosmos dapat “melihat” mikro kosmos dan sebaliknya.
Pengalaman yang demikian dimungkinkan karena fananya yang asyik mencinta ke
dalam yang dicinta sehingga ia tenggelam dalam kemanunggalan dan tidak
merasakan serta tidak melihat (syuhud) sesuatu selain Allah Yang Maha Tunggal.
Dengan demikian semakin jelas terlihat, bahwa konsep wahdat al-syuhud ini
berbeda dari doktrin al-hulul. Sebab, dalam konsep ini penyatuan itu bukan pada
substansi manusia yang melebur ke dalam dzat Tuhan, tetapi fananya seluruh
yang ada dari kesadaran dan penglihatan sehingga yang nampak ada hanyalah
Dzat Yang Esa dan karenanya disebut wahdat al-syuhud bukan wahdat al-wujud.
Dari sini nampak bahwa dalam pemahaman Ibn al-Faridh antara bukan wahdat al-
wujud. Dari sini nampak bahwa dalam pemahaman Ibn al-Faridh antara wahdat al-
syuhud dan wahdat al-wujud itu berbeda. Sementara dalam pemahaman
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) wahdat al-syuhud merupakan bagian dari wahdat
al-wujud. Menurut Ibn al-Faridh, bagi mereka yang sudah menemukan cinta Ilahi
yang sejati, wahdat al-syuhud ini dapat dialami dalam keadaan sadar (al-mahwu)
dan atau dalam situasi sakr.
Wahdat al-syuhud merupakan salah satu dari konsep-konsep yang ada dalam
tasawuf falsafi. Konsepsi yang dibangun atas dasar rasa cinta yang mendalam
kepada Allah ini dicetuskan pertma kali oleh Ibn al-Faridh. Berbeda dengan
konsep wahdat al-wujud-nya Ibn „Arabi, konsep wahdat al-syuhud berpendapat
bahwa kesatuan bukanlah meleburnya manusia dengan Tuhan secara jasmani,
melainkan tersingkapnya rahasia wajah Tuhan setelah fananya kesadaran dan
kemauan manusia, serta fananya segala penglihatan di sekitarnya, yang nampak
hanyalah wajah Tuhan.