Anda di halaman 1dari 37

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS FINAL TES MATA KULIAH

AKHLAK TASAWUF

DOSEN PENGAMPU:BAPAK DRS.H.TAUFIKURRAHMAN

DISUSUN OLEH

REFKI(21.04.07159)

SEKOLAH TINGGI AGAMA

RASYIDIYAH KHALDIYAH (RAKHA)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

AMUNTAI

2021-2022
Soal final test Akhlak Tasawuf

1.jelaskan pengertian, ruang lingkup serta tujuan dan manfaaat ilmu akhlak

2.jelaskan pengertian dan asal usul kata tasawuf

3.jelaskan sejarah pertumbuhan dan perkembangan tasawuf dalam islam

4.jelaskan perbedaan tasawuf suni dengan tasawuf falsafi

5.jelaskan pengertian maqamat beserta tahapan tahapannya dan ahwal


beserta pencapaian-pencapaiannya

6.sebutkan beberapa orang tokoh taasawuf akhlaki

Dan tasawuf faalsafi.

7.uraikan konsep hulul,ittihad dan wahdatul wujud

8.terangkan konsep wahdatussyuhud dalam kajian tasawuf


1.jelaskan pengertian, ruang lingkup serta tujuan dan manfaaat ilmu akhlak

Kata akhlak berasal dari bahasa Arab “khuluq”, jamaknya “akhlâq” yang
berarti tabiat atau budi pekerti. Prof. Ahmad Amin, dikutif Hamzah Yaqub,
mendefinisikan akhlak adalah “suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk,
menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada
lainnya menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan
mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.”
Sedangkan yang dimaksud dengan ilmu akhlak ilmu yang menentukan batas antara
baik dan buruk, antara yang terpuji dan yang tercela, tentang perkataan atau
perbuatan manusia lahir dan batin. Senada dengan pengertian ini ulama lain
menjelaskan bahwa ilmu akhlak adalah “ilmu pengetahuan yang memberikan
pengertian tentang baik dan buruk, ilmu yang mengajarkan pegaulan manusia dan
menyatakan tujuan mereka yang terakhir dari seluruh usaha dan pekerjaan
mereka.” Kata akhlak di dalam al-Quran disebutkan pada surat al-Qalam (68): 4,
sedangkan di dalam haditsdijelaskan pada sebuah hadits yang diriwayatkan dari
imam Ahmad. Al-Quran menetapkan bahwa akhlak itu tidak terlepas dari aqidah dan
syariah, ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini dapat
dilihat dari surat al-Baqarah (2): 177, yang berarti: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke
arah timur dan barat itu suatu kebajikan akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah
beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta;
dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-
orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar
(imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.

Ayat al-Quran tersebut menjelaskan bahwa iman kepada Allah Swt. adalah
merupakan dasar dari kebajikan. Kenyataan ini tidak akan pernah terbukti,
kecuali jika iman tersebut telah meresap di dalam jiwa dan ke seluruh pembuluh
nadi yang disertai dengan sikap khusyuʾ, tenang, taat, patuh, dan hatinya tidak
akan meledak-ledak lantaran mendapatkan kenikmatan, dan tidak putus asa
ketika ditimpa musibah. Orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah
Swt. hanya mau tunduk dan taat kepada Allah Swt. dan syariat-syariat-Nya.

Selanjutnya iman kepada hari akhir mengingatkan manusia bahwa ternyata


terdapat alam lain yang gaib, kelak di akhirat yang akan dihuni. Oleh sebab itu,
hendaklah usahanya itu jangan hanya dipusatkan untuk memenuhi kepentingan
jasmani atau cita-cita meraih kelezatan duniawi saja atau memuaskan hawa
nafsu. Demikian juga iman kepada para Malaikat adalah titik tolak iman kepada
wahyu, kenabian, dan hari akhir. Siapapun yang menolak keimanan terhadap
Malaikat, berarti mengingkari seluruhnya.

Ayat al-Quran tersebut, kemudian menentukan tentang syariah, yakni


memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-
orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta; dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan salat, dan
menunaikan zakat. Kemudian ayat ini mengatur tentang akhlak, yatu orang-orang
yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan.

Para ahli membagi akhlak ini menjadi dua macam:

1. Akhlak Mahmudah atau akhlak yang terpuji. Ini termasuk budi pekerti yang
baik. Menurut Hasan rahimahullah bahwa budi pekerti yang baik adalah
menunjukkan wajah yang berseri-seri, memberikan bantuan sebagai tanda
kedermawanan dan menahan diri dari perbuatanyang menyakiti. Selanjutnya
Hasan menambahkan budi pekerti yang baik ialah membuat kerelaan seluruh
makhluk, baik dalam kesukaan (karena murah rezeki) atau dalam kedukaan
(keadaan kekurangan). Jadi budi pekerti ini hakikatnya adalah suatu bentuk dari
sesuatu jiwa yang benar-benar telah meresap dan dari situlah timbulnya
berbagai perbuatan dengan cara spontan dan mudah, tanpa dibuat-buat dan
tanpa membutuhkan pemikiran atau angan-angan. Contoh akhlak terpuji di dalam
al-Quran surat Ali-imran (3): 159, yang artinya: “Maka disebabkan rahmat Allah-
lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras
lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Contoh akhlak mulia di dalam hadits riwayat Muslim yang diterima dari Abu
Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: “Hak seorang Muslim atas
seorang Muslim ada enam perkara: apabila engkau bertemu dia hendaklah engkau
beri salam kepadanya, apabila ia mengundangmu, hendaklah engkau memenuhinya,
apabila ia meminta nasihat, hendaklah engkau menasihatinya, apabila ia bersin
kemudian ia berkata “alhamdulillah” hendaklah engkau doakan dia, jika ia sakit
hendaklah engkau mengunjunginya, dan apabila ia meninggal dunia hendaklah
engkau mengikuti janazahnya.”

2. Akhlak Madzmumah atau akhlak yang tercela. Al-Quran menjelaskan akhlak


tercela ini di dalam surat al-Hujurȃt (49): 12, Yang artinya: Hai orang-orang
yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian
dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan
janganlah menggunjingkan satu sama lain.Contoh akhlak tercela ini di dalam
hadits Bukhari dan Muslim, Rasulullah Saw. telah bersabda: “Ada empat perkara,
barangsiapa yang memiliki semuanya itu dalam dirinya, maka ia adalah seorang
munafik, sedang barangsiapa yang memiliki salah satu dari sifat-sifat itu di
dalam dirinya, maka ia memiliki salah satu sifat kemunafikan, sehingga ia
meninggalkan sifat tadi.

Empat perkara itu adalah jika berbicara dusta, jika berjanji menyalahi,
apabila menjanjikan sesuatu cidera, dan jika bermusuhan berlaku curang.”
Termasuk juga akhlak yang tercela adalah ghibah, yang didalam hadits Muslim,
Rasulullah Saw. menjelaskan bahwa ghibah adalah jika engkau menyebutkan
perihal saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukai olehnya. Hal-hal yang
menyebabkan ghibah di antaranya: ingin melenyapkan kemarahan, dorongan
kemegahan diri, kedengkian, penghinaan, dan lain-lain.

Contoh akhlak tercela di dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari
sahabat Ibn Masud r.a. bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: “apabila kamu
bertiga, maka janganlah dua orang berbisik-bisik dengan meninggalkan yang lain,
tetapi hendaklah kamu bercampur dengan sesama manusia, karena sikap yang
demikian akan menjadikan dia kecewa.” Rasulullah Saw. sendiri mengajarkan doa
agar dihindarkan dari hal-hal yang jelek, termasuk salah satunya dari akhlak yang
tercela. Doa Rasulullah tersebut berbunyi: “Ya Allah jauhkanlah aku dari akhlak,
amal, kemauan, dan penyakit yang jelek.”

Akhlak mempunyai makna yang luas, yang dapat mencakup sifat lahiriyah maupun
batiniah. Akhlak menurut pandangan Islam mencakup berbagai aspek, dapat
mencakup akhlak terhadap Allah dan terhadap sesama makhluk seperti manusia
dan lingkungan.
. Akhlak terhadap Allah Swt.

Landasan umum berakhlak terhadap Allah Swt. adalah pengakuan bahwa tiada
Tuhan selain Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji; demikian agung sifat itu yang
semua makhluk tidak dapat mengetahui dengan baik dan benar betapa
kesempurnaan dan keterpujian Allah swt. Oleh karena itu, mereka sebelum
memuji-Nya, bertasbih terlebih dahulu dalam arti menyucikan-Nya. Jadi jangan
sampai pujian yang mereka ucapkan tidak sesuai dengan kebesaran-Nya,
sebagaimana al-Quran surat ash-Shaffat (37): 159-160, yang artinya: “Mahasuci
Allah dari segala sifat yang mereka sifatkan kepada-Nya, kecuali (dari) hamba-
hamba Allah yang terpilih.” Demikian juga al-Quran surat asy-Syura (42): 5
menetapkan: “Dan para malaikat menyucikan sambil memuji Tuhan mereka.”
Begitu juga al-Quran surat ar-Raʻad (13): 13 menjelaskan: “Guntur menyucikan
(Tuhan) sambil memuji-Nya.” Selanjutnya al-Quran surat al-Isra (17): 44,
menetapkan: “Dan tidak ada sesuatupun kecuali bertasbih (menyucikan Allah)
sambil memuji-Nya.”

Bertitik tolak dari uraian tentang kesempurnaan Allah Swt. tersebut, maka al-
Quran memerintahkan manusia untuk berserah diri kepada-Nya, karena segala
yang bersumber dari Allah adalah baik, benar, indah, dan sempurna. Berkaitan
dengan hal ini, sebagian ayat al-Quran memerintahkan manusia untuk menjadikan
Allah sebagai “wakil”, seperti al-Quran surat al-Muzzammil (73): 9, menerangkan:
“(Dialah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan melainkan Dia, maka jadikanlah
Allah sebagai wakil (pelindung).” Kata “wakil”dapat diterjemahkan sebagai
pelindung. Jika seseorang mewakilkan kepada orang lain (untuk suatu persoalan),
maka ia telah menjadikan orang yang mewakili sebagai dirinya sendiri dalam
menangani persoalan tersebut, sehingga sang wakil melaksanakan apa yang
dikehendaki oleh orang yang menyerahkan perwakilan kepadanya. Allah Swt.,
yang kepada-Nya diwakilkan segala persoalan adalah Yang Maha Kuasa, Maha
Mengetahui, Maha Bijaksana, dan semua Maha yang mengandung pujian. Manusia
sebaliknya, memiliki keterbatasan pada segala hal. Oleh karena itu, maka
perwakilan-Nya pun berbeda dengan perwakilan manusia. Jadi jika seseorang
menjadikan Allah sebagai wakil, sejak semula ia menyadari keterbatasan dirinya
dan menyadari Kemahamutlakan Allah Swt. Dan ia akan menerimanya dengan
sepenuh hati, baik mengetahui maupun tidak hikmah suatu perbuatan Tuhan.
Sebagaimana firman Allah Swt.: “Allah mengetahui dan kamu sekalian tidak
mengetahui. (QS al-Baqarah [2]: 216), dan lihat (QS al-Ahzab [33]: 36).
2. Akhlak terhadap sesama manusia.

Al-Quran menjelaskan perlakuan sesama manusia, baik berupa larangan, seperti


membunuh, menyakiti badan atau harta tanpa alasan yang benar, juga termasuk
larangan menyakiti hati, walaupun disertai dengan memberi. Lihat (QS al-Baqarah
[2]: 263). Selain itu, al-Quran menekankan bahwa setiap orang hendaknya
didudukkan secara wajar, termasuk Nabi Muhammad Saw. dinyatakan pula
sebagai manusia biasa, namun dinyatakan pula beliau adalah Rasul yang
memperoleh wahyu dari Allah. Atas dasar ini beliau berhak memperoleh
penghormatan melebihi manusia lain, seperti dalam al-Quran (QS al-Hujurat
[49]: 2; QS an-Nur [24]: 63). Al-Quran juga menekankan perlunya privasi
(kekuasaan atau kebebasan pribadi), (QS an-Nur [24]: 27 dan 58); salam yang
diucapkan wajib dijawab dengan salam yang serupa, dan dianjurkan agar dijawab
dengan salam yang lebih baik (QS an-Nisa [4]: 86); Setiap ucapan harus ucapan
yang baik (QS al-Baqarah [2]: 83 dan QS al-Ahzab [33]: 70) Seseorang tidak
boleh mengolok-olokkan orang lain atau kelompok lain dan tidak boleh memanggil
dengan gelar-gelar yang buruk. Demikian juga seseorang tidak boleh
berprasangka buruk, mencari kesalahan orang lain, dan menggunjing orang lain.
Al-Quran menjelaskan juga di antara ciri-ciri orang yang bertakwa (QS Ali
Imran [3]: 134-135). Selain itu, al-Quran menetapkan harus mendahulukan
kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri (QS al-Hasyr [59]: 9).

3. Akhlak terhadap lingkungan.

Yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang berada di
sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak
bernyawa. Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan al-Quran terhadap lingkungan
bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan ini menuntut
adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam.
Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, dan pembimbingan
agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya. Dalam pandangan akhlak
Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau
memetik bunga sebelum matang, karena hal ini berarti tidak memberi
kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya. Ini berarti
manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang berjalan,
dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Hal ini mengantarkan manusia
bertanggung jawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan terhadap lingkungan
di sekitarnya. Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa semuanya
diciptakan oleh Allah Swt. dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki
ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini meyakinkan setiap muslim untuk
menyadari bahwa semuanya adalah “umat” Tuhan yang harus diperlakukan secara
wajar dan baik.

Berkaitan dengan hal ini, al-Quran surat al-Anʻam (6): 38 menegaskan


bahwa binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang
dengan kedua sayapnya merupakan umat-umat juga seperti manusia, sehingga
semuanya tidak boleh diperlakuka secara aniaya, baik dalam masa damai maupun
ketika terjadi peperangan. Termasuk mencabut atau menebang pepohonan pun
terlarang, kecuali jika terpaksa, tetapi inipun harus seizin Allah, dalam arti harus
sejalan dengan tujuan penciptaan dan demi kemaslahatan (QS al-Hasyr [59]: 5).
Dengan pengakuan semua milik Allah, mengantarkan manusia kepada kesadaran
bahwa apapun yang berada dalam genggaman-Nya, tidak lain kecuali amanat yang
harus dipertanggungjawabkan (QS at-Takatsur (102): 8. Manusia dituntut untuk
memperhatikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Allah Swt. menyangkut apa
yang berada di sekitar manusia.

Pernyataan Allah dalam al-Quran surat al-Ahqaf (46): 3, mengundang


seluruh manusia untuk tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri,
kelompok, atau bangsa, dan jenisnya saja, tetapi juga harus berpikir dan bersikap
demi kemaslahatan semua pihak. Manusia tidak boleh bersikap sebagai penakluk
alam. Yang menundukkan alam menurut al-Quran adalah Allah. Mereka tidak
sedikitpun mempunyai kemampuan, kecuali berkat kemampuan yang dianugrahkan
Tuhan kepadanya (QS az-Zukhruf [43]: 13). Oleh karena itu manusia harus
mengusahakan keselarasan dengan alam. Keduanya tunduk kepada Allah, sehingga
mereka harus bersahabat. Al-Quran mengharuskan setiap orang mukmin untuk
meneladani Nabi Muhammad Saw. yang diutus membawa rahmat bagi seluruh
alam. Selain itu, Rasulullah Saw. diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia,
sebagaimana hadits riwayat at-Timidzi dari Abu Dardaˋ yang menjelaskan bahwa
beliau bersabda: “Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (amal)
seorang mukmin pada hari kiamat, melebihi akhlak yang luhur.”

Ruang lingkup akhlak

meliputi akhlak kepada Allah, akhlak kepada manusia, serta akhlak kepada alam
semesta. Dari sisi penyerapan makna Akhlak juga dapat menimbulkan
perkembangan makna yakni etika dan moral. Walaupun perbedaan ketiganya
dapat dilihat dari dasar penentuan atau standar ukuran baik dan buruk yang
digunakannya. Sedangkan standar baik dan buruk akhlak berdasarkan Al-Qur‟an
dan Sunnah Rasul, sedangkan moral dan etika berdasarkan adat istiadat atau
kesepakatan yang dibuat oleh suatu masyarakat jika masyarakat menganggap
suatu perbuatan itu baik maka baik pulalah nilai perbuatan itu. Dengan demikian
standar nilai moral dan etika bersifat lokal dan temporal, sedangkan standar
akhlak bersifat universal dan abadi. Islam merupakan ajaran yang datang
langsung dari wahyu Allah SWT. yang diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada
Nabi Muhammad, yang telah membawa aturan-aturan yang komprehensif untuk
seluruh umat manusia. Dan yang menjadi dasar manusia untuk meningkatnya
kualitas iman harus dibuktikan dengan akhlak yang baik terhadap siapa pun tidak
terkecuali kepada sang Kholik.

Tujuan dan Manfaat Mempelajari Ilmu Akhlaq

Sebagai makhluk sosial manusia yang dalam kehidupan kesehariannya selalu


berinteraksi dengan sesamanya sudah barang tentu membutuhkan sebuah
tatacara atau cara berkomunikasi dengan baik supaya hubungan yang terjalin
menjadi hubungan yang harmonis, tidak merugikan orang lain dan diri sendiri dan
inilah tujuan dari keberadaan akhlaq.

Seperti sempat disinggung diatas, bahwa manusia merupakan makhluk


terbaik ciptaan Allah SWT terdapat dalam surah At-Tin, tentunya ia memiliki
ciri khas tertentu yang kemudian akan membedakannya dengan makhluk lain yang
Allah ciptakan. Manusia sangat khas dengan akal yang dimilikinya sampai
rosulullah pernah bersabda ”sesungguhya seluruh kebaikan itu dapat dikenali
dengan akal”, karena kemudian akal ini akan digunakan oleh manusia sebagai alat
timbangan/ penimbang untuk melakukan sebuah perbuatan. Tujuan inti dari
akhlak adalah untuk membentuk kehidupan yang harmonis antar sesama manusia.

tujuan dan manfaat lain dari mempelajari ilmu akhlak akan dipaparkan lebih
detail di bawah ini :

1. Ilmu akhlak akan meningkatkan derajat kehidupan manusia

Orang yang beriman dan berilmu (termasuk di dalamnya adalah ilmu akhlaq),
akan lebih utama daripada orang yang tidak beriman dan berilmu. Sebab dengan
pengetahuan ilmu akhlaq, seseorang akan lebih sadar mana yang baik dan mana
yang tidak baik, mana yang mengantarkan kepada kebahagiaan dan mana yang
menjerumuskan kepada kesesatan dan kesengsaraan untuk dirinya. Dengan
demikian seseorang akan selalu berusaha untuk bisa memilih dan melakukan
kebaikan atas petunjuk Allah dan memperoleh keridloan Allah swt. sehingga bisa
menjauhkan diri dari hal-hal yang tersela dan dimurkai oleh Allah swt.

2. Ilmu Akhlaq menuntun kepada kebaikan

Ilmu akhlaq merupakan pendorong dan pemicu yang dapat mempengaruhi diri
seseorang untuk membentuk hati yang suci baik lahir dan batin yang akan
berguna bagi sesama manusia ataupun makhluk yang lain. Dengan ilmu akhlaq
manusia akan ditunjukkan dan diajarkan cara-cara membentuk pribadi yang mulia,
menuntun kepada akhlak yang baik dan terpuji sebagaimana firman Allah swt
dalam al-Qur‟an:

Ayat dan dalil hadits tersebut di atas menjelaskan bahwa Nabi Muhammad
saw telah memperoleh pengetahuan tentang akhlaq dari al Qur'an, kemudian
beliau melaksanakannya sehingga beliau menjadi manusia yang berakhlak mulia.

3. Ilmu Akhlaq akan menyempurnakan Iman

Akhlak mulia adalah meripakan manifestasi dari kesempurnaan iman


seseorang. Sebagaimana dalil hadits Nabi Muhammad SAW yang artinya :

“Orang yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaqnya. (HR.
Tirmidzi). Dalam keterangan hadits diatas menjelaskan bahwa orang yang
sempurna imannya adalah orang yang baik akhlaqny

4. Memperoleh keutamaan dihari kemudian

Manfaat dan tujuan yang lain dari mempelajari ilmu akhlak adalah akan
mendapatkan akhlak mulia. Dengan mendapatkan akhlak yang mulia, maka akan
memperoleh derajat yang terhormat di akhir nanti.. Sebagaimana sabda
Rasulullah Nabi Muhammad saw. :
5. Memenuhi hajat pokok keluarga

Akhlak juga merupakan kebutuhan pokok dalam kehidupan spiritual


sebagaimana kebutuhan pokok yang lain, seperti kebutuhan makanan, minuman,
tempat tinggal dan kebutuhan pokok yang lain. Maka akhlak merupakan faktor
yang penting dalam membina dan menegakkan kehidupan keluarga yang sejahtera
lahir dan batin.

Sebuah keluarga yang tidak terbina dengan baik akhlaknya dengan akhlak
yang baik, maka tidak akan merasakan kehidupan yang bahagia, karena akan
dijauhkan dari pengaruh atau pergaulan orang banyak. Akhlak yang mulia dan baik
itulah yang akan menjamin keharmonisan hidup dalam rumah tangga, menjalin
cinta kasih semua pihak. Dan dengan akhlak yang mulia dapat dijadikan sebagai
benteng apabila datang malapetaka yang melanda kehidupan dalam rumah tangga.

6. Membina kerukunan hidup bertetangga.

Dengan mempelajari ilmu akhlak mempunyai tujuan dan manfaat dapat


membina kerukunan hidup bertetangga. Dalam kehidupan bertetangga.,
diperlukan budi pekerti atau akhlak yang baik, mulia dan luhur. Sebab kerukunan
hidup antara tetangga itu hanya akan terjadi apabila setiap orang saling hormat-
menghormati, tolong-menolong, dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan
yang merugikan tetangga.

7. Membina remaja

Dari dulu hingga sekarang banyak sekali masalah kenakalan-kenakalan remaja


seperti penyalahgunaan obat narkotika, minuman keras, narkotika, perkelahian,
dan lain sebagainya. Hal ini adalah disebabkan karena kurangnya atau tidak
terbinanya akhlak di kalangan remaja Pada umumnya remaja-remaja yang terlibat
berbagai kenakalan-kenakalan remaja adalah remaja yang tidak mengenal akhlak
yang baik, mulia dan luhur.

8. Membina pergaulan umum

Tujuan dan manfaat ilmu akhlak adalah untuk membina pergaulan umum.
Akhlak menempati posisi dan peranan yang penting dalam kehidupan dan tata
pergaulan umum. Salah satu contoh dapat dikemukakan : setiap orang yang dapat
diterima sebagai karyawan atau pekerja baik dalam perusahaan swasta ataupun
pemerintah adalah mereka yang dapat menunjukkan surat keterangan yang
menyatakan bahwa mereka berkelakuan baik atau dalam istilah sekarang adalah
SKCK (Surat keterangan cakap kelakuan). Pada orang yang berakhlak rendah
akan selalu dijauhkan dari pergaulan umum. Dimanapun ia berada akan banyak
orang yang tidak menyukainya.
9. Mensukseskan pembangunan negara

Tujuan dan manfaat selanjutnya mempelajari ahklak adalah dapat


mensukseskan pemabangunan negara. Akhlak merupakan salah satu faktor yang
wajib ada atau mutlak dalam pembanguan bangsa dan karakter bangsa secara
utuh. Oleh sebab itu hendaknya pembangunan akan lebih baik apabila pemimpin
dan warganya berakhlak mulia sehingga pembangunan negara akan sukses dan
tercapai dengan baik. Sebaliknya, apabila akhlak para pemimpin dan warganya
rusak (misalnya korupsi, kolusi, nepotisme, keadilan tidak merata, dll), maka
niscaya pembangunan di suatu yang diharapkan sukses dan berhasil baik tidak
akan tercapai. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Syauqi Bey, dalam gubahan
syairnya :

Artinya : suatu bangsa dikenal (jaya) karena akhlaknya. Bila akhlaknya rusak,
maka rusaklah bangsa itu."

Dapat dikatakan bahwa kejayaan atau kehancuran suatu bangsa terletak


pada akhlaknya. Apabila suatu bangsa berakhlak mulia, maka tersohorlah bangsa
itu. Namun apabila bangsa itu rusak akhlaknya maka rendahlah (hancurlah) nama
suatu bangsa.

10. Menciptakan keakraban hidup antar bangsa dan negara

Tujuan mempelajari ilmu akhlak dan manfaatnya adalah dapat menciptakan


keakraban hidup antar bangsa dan negara di dunia. Apabila para pemimpin dunia
berakhlaq baik, mulia dan bijaksana, niscaya masyarakat dunia akan merasakan
kebahagiaan dan perdamaian. Namun sebaliknya, apabila pemimpin dunia itu rusak
akhlaqnya, maka akan besar sekali kemungkinannya dimana-mana akan terjadi
peperangan yang tentunya akan membawa banyak korban baik harta maupun jiwa.

Apabila akhlaq mulia ini tidak dimiliki oleh para pemimpin dunia dan juga
warga masyarakat dunia seluruhnya maka akan membawa kehancuran dunia baik
di darat. laut maupun udara. Hal yang demikian ini adalah akibat dari perbuatan-
perbuatan manusia yang tidak bertanggung jawab akibat pengaruh dari hawa
nafsu jahat yang tidak terkendalikan.

Sebagaimana dijelaskan dan diterangkan dalam Al-Qur'an yang artinya :


Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar-Rum : 41)

Dengan demikian jelaslah bahwa kehidupan di dunia ini tidak dapat dilepaskan
dari akhlak para pemimpinnya. Apabila dunia ini dipimpin oleh orang yang
berakhlak mulia, maka roda perjalanan kehidupan dunia ini akan aman, sejahtera
dan sentosa.

2.jelaskan pengertian dan asal usul kata tasawuf ?

Tasawuf secara etimologis berasal dari kata bahasa arab, yaitu tashawwafa,
Yatashawwafu, selain dari kata tersebut ada yang menjelaskan bahwa tasawuf
berasal dari kata Shuf yang artinya bulu domba, maksudnya adalah bahwa
penganuttasawuf ini hidupnya sederhana, tetapi berhati mulia serta menjauhi
pakaian sutra dan memaki kain dari buku domba yang berbulu kasar atau yang
disebut dengan kain wol kasar. Yang mana pada waktu itu memaki kain wol kasar
adalah symbol kesederhanaan..1Kata shuf tesebut tersebut juga diartikan
dengan selembar bulu yang maksudnya para Sufi dihadapan Allah merasa dirinya
hanya bagaikan selembar bulu yang terpisah dari kesatuannya yang tidak memiliki
arti apa-apa.

Kata tasauwf juga berasal dari kata Shaff yang berarti barisan, makna kata
shaff ini diartikan kepada para jamaah yang selalu berada pada barisan terdepan
ketika shalat, sebagaimana shalat yang berada pada barisan terdepan maka akan
mendapa kemuliaan dan pahala. Maka dari itu, orang yang ketika shalat berada di
barisan terdepan akan mendapatkan kemuliaan serta pahala dari Allah SWT.

Tasawuf juga berasal dari kata shafa yangberarti jernih, bersih, atau suci,
makna tersebut sebagai nama dari mereka yang memiliki hati yang bersih atau

suci, maksudnya adalah bahwa mereka menyucikan dirinya dihadapan Allah SWT
melalui latihan kerohanian yang amat dalam yaitu dengan melatih dirinya untuk
menjauhi segala sifat yang kotor sehingga mencapai kebersihan dan kesucian
pada hatinya.

Adapun yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Shuffah yaitu
serambi masjid nabawi yang ditempati sebagian sahabat Rasulullah. Maknanya
tersebut dilatarbelakangi oleh sekelompok sahabat yang hidup zuhud dan
konsentrasi beribadah hanya kepada Allah SWT serta menimba ilmu bersama
Rasulullah yang menghuni masjid Nabawi. Sekelompok sahabat tersebut adalah
mereka yang ikut berpindah bersama Rasulullah dari Mekah ke Madinah dengan
keadaan mereka kehilangan harta dan dalam keadaan miskin.

beberapa pendapat dari pendapat pendapat para ahli tasawuf yang ada, yaitu
sebagai berikut:

1) Syekh Abdul Qadir al-Jailani berpendapat tasawuf adalah mensucikan hati dan
melepaskan nafsu dari pangkalnya denngan khalawt, riya-dloh, taubah dan ikhlas.

2) Al-Junaidi berpendapat bahwa tasawuf adalah kegiatan membersihkan hati


dari yang mengganggu perasaan manusia , memadamkan kelemahan, menjauhi
keinginan hawa nafsu, mendekati hal hal yang di ridhai Allah, bergantung pada
ilmu-ilmu hakikat, memberikan nasihat kepada semua orang, memegang dengan
erat janji dengan Allah dalam hal hakikat serta mengikuti contoh Rasulullah
dalam hal syari'at.

3) Syaikh Ibnu Ajibah menjelaskan tasawuf sebagai ilmu yang membawa


seseorang agar bisa dekat bersama dengan Tuhan Yang Maha Esa melalui
penyucian rohani dan mempermanisnya dengan amal-amal shaleh dan jalan
tasawuf yang pertama dengan ilmu, yang kedua amal dan yang terakhirnya adalah
karunia Ilahi.

4) H. M. Amin Syukur berpendapat bahwa tasawuf adalah latihan dengan


kesungguhan (riya-dloh, mujahadah) untuk membersihkan hati , mempertinggi
iman dan memeperdalam aspek kerohanian dalam rangka mendekatkan diri
manusia kepada Allah sehingga segala perhatiannya hanya tertuju kepada Allah.6

Banyaknya pendapat tentang definisi tasawuf yang telah dirumuskan oleh para
ahli menyebabkan sulitnya mendefinisikan tasawuf secara lengkap.

3.jelaskan sejarah pertumbuhan dan perkembangan tasawuf dalam islam

Sejarah Singkat Tasawuf ?

Menurut sejarah, orang yang pertama kali memakai kata “sufi” adalah Abu
Hasyim al Kufi (zahid Irak, w. 150). Sedangkan menurut Abdul Qosim Abdul
Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Talha bin Muhammad al Qusyairi (tokoh
sufi dari Iran 376-465 H), istilah ”tasawuf” telah dikenal sebelum tahun 200 H.
Tetapi ajaran pokok yang selanjutnya merupakan inti tasawuf itu baru muncul
secara lengkap pada abad ke 3 Hijriyah. Pada abad ke 2 Hijriyah itu itu belum
diketahui adanya orang-orang yang disebut sufi; yang terlihat adalah aliran
Zuhud (penganutnya disebut zahid).

Seperti diketahui dalam sejarah, para zahid besar dalam abad ke 2 H. (seperti al
Hasan al Basri, abu Hasyim al Kufi, Sufyan as Sauri, Fudail bin Iyad, Rabi‟ah al
Adawiyah dan Makruf al Karkhi) dan lebih-lebih lagi mereka yang hidup pada
abad2-abad berikutnya (eperti al Bistaami, al Halaj, Junaid al Bagdadi, al Harawi,
al Gazali, Ibn Sab‟in, Ibni Arabi, abu al Farid, Jalaluddin ar Rumi) telah mengolah
atau mengembangkan sikap atau emosi agamadalam hati mereka dengan
kesungguhan yang luar biasa. Sebelum munculnya Ar Rabbi‟ah al Adawiyah (w.185
H) tujuan tasawuf yang diupayakan oleh para zahid menurut penilaian para ahli,
tidak lain dari terciptanya kehidupan yang diridhai oleh Tuhan didunia ini,
sehingga di akhirat terlepas dari azab Tuhan (neraka) dan memperoleh surga-
Nya.

Untuk tiba pada identifikasi akhir tasawuf denga thariqah, yang kita ketahui
terjadi pada abad ke 3 H, kita harus meneliti apa yang sebenarnya terjadi dalam
tradisi Islam yang mengakibatkan timbulnya tasawuf. Ada sejumlah peristiwa
yang berlangsung pada masa itu, yang kesemuanya membuat tasawuf mengemuka
: 1) kecenderungan mencampuradukan asketisme dengan jalan itu; 2) semakin
mantapnya aliran-aliran yurisprudensi eksetorik; 3) pernyataan-pernyataan kaum
syi‟ah mengenai para imam; 4) munculnya filsafat Islam; 5) meningkatnya
formalism ahli-ahli hokum; dan 6) tuntutan untuk memastikan bahwa pesan
integral dari wahyu, sejak saat itu dikaitkan dengan tasawuf. Jika diperhatikan
keenam hal tersebut, kelihatan kaitan erat dengan kemunculan tasawuf.

Tasawuf yang sering kita temui dalam khazanah dunia islam, dari segi sumber
perkembangannya, ternyata muncullah pro dan kontra, baik dikalangan muslim
maupun dikalangan non muslim. Mereka yang kontra menganggap bahwa tasawuf
islam merupakan sebuah faham yang bersumber dari agama-agama lain.
Pandangan ini kebanyakan diwakili oleh para orientalis dan orang-orang yang
banyak terpengaruh oleh kalangan orientalis ini.

1. Unsur Nasrani (Kristen)


Bagi mereka yang berbbanggpan bahwa tasawuf berasal dari unsur Nasrani,
mendasarkan argumennya pada dua hal. Pertama, adanya interaksi antara orang
Arabdan kaum Nasrani pada masa jahiliyah maupun zaman islam. Kedua adanya
segi-segi kesamaan antara kehidupan para asketis atau sufi dalam hal
ajaran cara mereka melatih jiwa dan mengasingkan diri dengan kehidupan Al-
masih dan ajaran-ajarannya, serta dengan para rahib ketika sembahyang dan
berpakaian.

2. Unsur Hindu Budha

Tasawuf dan system kepercayaan agama Hindu memiliki persamaan, seperti sikap
fakir. Darwis Al-Birawi mencatat adanya persamaan cara ibadah dan mujahadah
pada tasawuf dan ajaran hindu. Demikian juga pada paham reinkarnasi, cara
pelepasan dari dunia versi Hindu-Budha dengan persatuan diri dengan jalan
mengingat Allah.

3. Unsur Yunani

Kebudayaan Yunani seperti Filsafat, telah masuk ke dunia islam pada akhir
Daulah Amawiyah dan puncaknya pada masa Daulah Abbasiyah ketika berlangsung
zaman penerjemahan filsafat Yunani.

4. Unsur Persia dan Arab

Sebenarnya Arab dan Persia memiliki hubungan sejak lama, yaitu pada bidang
politik, pemikiran, kemasyarakatan dan sastra. Namun belum ditemukan
argumentasi kuat yang menyatakan bahwa kehidupan kerohanian Arab masuk ke
Persia hingga orang-orang Persia itu terkenal sebagai ahli-ahli tasawuf.
Barangkali ada persamaan antara istilah zuhud di Arab dengan zuhud menurut
agama manu dan mazdaq; antara istilah hakikat Muhammad dan paham Hormuz
dalam agama zarathustra.

Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Tasawuf Dalam Islam ?

1. Pertumbuhan Tasawuf

Jauh sebelum lahirnya agama islam, memang sudah ada ahli Mistik yang
menghabiskan masa hidupnya dengan mendekatkan diri kepada Tuhan-Nya;
antara lain terdapat pada India Kuno yang beragam Hindu maupun Budha. Orang-
orang mistik tersebut dinamakan Gymnosophists oleh penulis barat dan disebut
al-hukama‟ul uroh oleh penulis Arab. Yang dapay diartikan sebagai orang-orang
bijaksana yang berpakaian terbuka. Hal tersebut dimaksudkan, karena ahli-ahli
mistik orang-orang India selalu berpakaian dengan menutup separuh badannya.

Selanjutnya dapat dikemukakan beberapa nash yang mengandung ajaran tasawuf


yaitu:

a. Nash-nash al-qur‟an, antara lain QS; Al-Ahzab ayat 41-42 yang artinya: :
Hai orang-orang yang beriman berdzikirlah dengan menyebut nama Allah, dzikir
yang sebanyak-banyaknya di waktu pagi dan petang”.

b. Nash-nash hadits yang antara lain artinya berbunyi;” Bersabda Rosulullah


saw: takutilah firasat orang-orang mu‟min, karena ia dapat memandang dengan
nur (petunjuk Allah). H.R.Bukhary yang bersumber dari Abi Sa‟id Al-Khudriyyi.

Kehidupan Rosulullah saw yang menggambarkan kehidupan sebagai sufi yang


sangat sederhana, karena beliau menjauhkan dirinya dari kehidupan mewah, yang
sebenarnya merupakan amalan zuhud dalam ajaran Tasawuf.

2. Perkembangan Tasawuf

a) Pada abad pertama dan kedua Hijriyah

1) Perkembangan tasawuf pada masa sahabat

Para sahabat juga mencontohi kehidupan rosulullah yang serba sederhana,


dimana hidupnya hanya semata-mata diabdikan kepada tuhannya.

Beberapa sahabat yang tergolong sufi di abad pertama, dan berfungsi sebagai
maha guru bagi pendatang dari luar kota Madinah, yang tertarik kepada
kehidupan shufi, para sahabat-sahabat tersebut antara lain, Khulafaurrasyidin,
Salman Al-Farisiy, Abu Dzarr Al-Ghifary, dll.

2) Perkembangan tasawuf pada masa tabi‟in

Ulama-ulama sufi dari kalangan tabi‟in adalah murid dari ulama-ulama sufi dari
kalangan shahabat. Kalau berbicara tasawuf dan perkembangannya pada abad
pertama, dengan mengemukakan tokoh-tokohnya dari kalangan shahabat, maka
pembicaraan perkembangan tasawuf pada abad kedua dengan tokoh-tokohnya
pula. Tokoh-tokoh ulama sufi Tabi‟in antara lain, Al-Hasan Al-Bashry,Rabi‟ah Al-
Adawiyah, Sufyaan bin sa‟id Ats-Tsaury, Daud Ath-Thaaiy, dll.
b) Pada abad ketiga dan keempat hijriyyah.

1) Perkembangan tasawuf pada abad ketiga hijriyyah

Pada abad ini perkembangan tasawuf pesat, hal ini ditandai dengan adanya
segolongan ahli tasawuf yang mencoba menyelidiki inti ajaran tasawuf yang
berkembang pada masa itu, sehingga mereka membaginya ke dalam tiga macam,
yakni; Tasawuf yang berintikan ilmu jiwa, ilmu akhlaq dan Metafisika. Tokoh-
tokoh sufi pada masa ini diantaranya; Abu Sulaiman Ad-Daaraany, Ahmad bin Al-
Hawaary Ad-Damasqiy, Abul Faidh Dzuun Nun bin Ibrahim Al-Mishry, dll.

2) Perkembangan tasawuf pada abad ke empat hijriyyah

Pada abad ini ditamdai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat
dibandingkan dengan kemajuannya di abad ketiga hijriyyah, karena usaha
maksimal para ulama tasawuf untuk mengembangkan ajaran tasawufnya masing-
masing. Tokoh-tokoh sufinya antara lain Musa Al-Anshaary, Abu Hamid bin
Muhammad, Abu Zaid Al-Adamy, Abu Ali Muhammad bin Abdil Wahhab, dll.

c) Pada abad kelima hijriyyah

Disamping adanya pertentangan yang turun temurun antara Ulama sufi dengan
ulama Fiqih, maka pada abad kelima ini, keadaan semakin rawan ketika
berkembangnya mahzab Syi‟ah ismaa‟iliyah; yaitu suatu mahzab yang hendak
mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada keturunan Ali bin Abi Thalib.
Karena menganggapnya bahwa dunia ini harus diatur oleh imam, karena dialah
yang langsung menerima petunjuk dari Rosulullah saw.

Menurut mereka ada 12 imam yang berhak mengatur dunia ini yang disebut
sebagai imam mahdi, yang akan mmenjelma ke dunia dengan membawa keadilan
dan memurnikan agama islam. Kedua belas imam itu adalah:

· Ali bin Abi Thalib

· Hasan bin Ali

· Husein bin Ali

· Ali bin Husein

· Muhammad Al-Baakir bin Ali bin Husein


· Ja‟far shadiq bin Muhammad Al Baakir

· Musa Al-Kazhim bin Ja‟far Shadiq

· Ali Ridhaa bin Kazhim

· Muhammad Jawwad bin Ali Ridha

· Ali Al-Haadi bin Jawwaad

· Hasan Askary bin Al-Haadi

· Muhammad bin Hasan Al-Mahdi

d) Pada abad keenam, ketujuh dan kedelapan Hijriyyah

1) Perkembangan tasawuf pada abad keenam Hijriyyah; abad ini suasana


kemelut antar ulama syariat dengan ulama Tasawuf memburuk, karena
dihidupkannya lagi pemikiran-pemikiran al-Huluul, Widatul wujud dan Widatul
Adyan oleh kebanyakan ulama Tasawuf. para ulama yang sangat berpengaruh pada
zaman ini adalah Syihabuddin Abul Futu As-Suhrawardy, Al-Ghaznawy,

2) Perkembangan tasawuf pada abad ketujuh Hijriyyah; pada abad ini


tercatat dalam sejarah bahwa masa menurunnya gaerah masyarakat Islam untuk
mempelajari Tasawuf karena :

(a) Semakin gencarnya serangan ulama syariat memerangi ahli Tasawuf, yang
diiringi dengan serangan golongan Syiah yang menekuni ilmu kalam dan fiqih

(b) Adanya tekat penguasa pada masa itu untuk melenyapkan ajaran Tasawuf di
dunia Islam karena dianggap kegiatan itu menjadi sumber perpecahan umat
Islam. ada beberapa ahli tasawuf yang berpengaruh di abad ini diantaranya;
Umar Abdul Faridh, Ibnu Sabi‟iin, Jalaluddin Ar-Ruumy, dll.

3) Perkembangan Tasawuf pada abad kedelapan Hijriyyah; Perkembangan


Tasawuf abad ini tidak terdengar perkembangannya dan pemikiran baru dalam
Tasawuf, meskipun banyak pengarang kaum shufi yang mengemukakan pemikiran
tentang ilmu Tasawuf, namun kurang mendapat perhatian sungguh-sungguh dari
umat Islam. Sehingga nasib ajaran Tasawuf hampir sama dengan abad ketujuh.

e) Pada abad kesembilan, kesepuluh Hijriyyah dan sesudahnya.


Dalam beberapa abad ini, betul-betul ajaran tasawuf sangat sunyi di dunia islam,
artinya nasibnya lebih buruk lagi dari keadaannya pada abad keenam, ketujuh dan
kedelapan Hijriyyah. Factor yang menyebabkan runtuhnya ajaran tasawuf ini
antara lain; ahli tasawuf sudah kehilangan kepercayaan di kalangan masyarakat
islam. Serta adanya penjajah bangsa eropa yang beragama Nasrani ynag
menguasai seluruh negeri islam.

E. Tahap-tahap Pertumbuhan dan Perkembangan Tasawuf

Praktik - praktik tasawuf dimulai dari pusat kelahiran dan penyiaran agama Islam
yaitu Makkah dan Madinah, jika kita lihat dari domisili tokoh-tokoh perintis yang
disebutkan di atas. Pertumbuhan dan perkembangan tasawuf di dunia Islam
dapat dikelompokan ke dalam beberapa tahap :

1. Tahap Zuhud

Zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului
tasawuf. Menurut Harun Nasution, station yang terpenting bagi seorang calon
sufi ialah zuhd yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sebelum
menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sesudah
menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah
zahid, tetapi sebaliknya tidak setiap zahid merupakan sufi

2. Tahap Tasawuf Falsafi (Abad ke 6 H)

Pada tahap ini, tasawuf falsafi merupakan perpaduan antara pencapaian


pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis. Ibn Arabi
merupakan tokoh utama aliran ini, disamping juga Al Qunawi, muridnya. Sebagian
ahli juga memasukan Al Hallaj dan Abu (Ba) Yazid Al Busthami dalam aliran ini.
Aliran ini kadang disebut juga dengan Irfan (Gnostisisme) karena orientasinya
pada pengetahuan (ma'rifah atau gnosis) tentang Tuhan dan hakikat segala
sesuatu.

3. Tahap Tarekat (Abad ke 7 dan seterusnya)

Meskipun tarekat telah dikenal sejak jauh sebelumnya, seperti tarekat


Junaidiyyah yang didirikan oleh Abu Al Qasim Al Juanid Al Baghdadi (w. 297 H)
atau Nuriyyah yang didirikan oleh Abu Hasan Ibn Muhammad Nuri (w. 295 H),
baru pada masa-masa ini tarekat berkembang dengan pesat.
Seperti tarekat Qadiriyyah yang didirikan oleh Abdul Qadir Al Jilani (w. 561 H)
dari Jilan (Wilayah Iran sekarang); Tarekat Rifa'iyyah didirikan oleh Ahmad
Rifai (w. 578 H) dan tarekat Suhrawardiyyah yang didirikan oleh Abu Najib Al
Suhrawardi (w. 563 H). Tarekat Naqsabandiyah yang memiliki pengikut paling
luas, tarekat ini sekarang telah memiliki banyak variasi , pada mulanya didirikan
di Bukhara oleh Muhammad Bahauddin Al Uwaisi Al Bukhari Naqsyabandi.

F. Perkembangan Tasawuf Di Indonesia

Tersebarnya ajaran tasawuf di Indonesia tercatat sejak masuknya agama islam


di Negara ini. Ketika pedagang-pedagang muslim mengislamkan orang-orang
Indonesia, tidak hanya menggunakan pendekatan bisnis, tetapi juga
mengguanakan pendekatan tasawuf.

1. Perkembangan Tasawuf di pulau Jawa

Penyebaran ajaran Islam dipulau Jawa adalah Wali songo dengan menggunakan
pendekatan mistik, yang didalamnya diisi dengan ajaran Tasawuf. Mereka dalam
menentukan taktik dan srategi, mula-mula dalam menyebarkan dakwahnya melalui
pendekatan mistik atau Tasawuf unr\tuk mengislamkan masyarakat di pulau Jawa
karena dilatar belakangi oleh kepercayaan agama Hindu Budha yang berinti
ajarannya adalah mistik Pendekatan tahap ini tidak memperketat kemurnian
ajaran Islam.

2. Perkembangan Tasawuf di sumatera

Ulama-ulama yang berpengaruh di sunatera yaitu

a) Syeh Hamzah Pansuri, beliau salah satu penyebab ajaran Tasawuf dapat
dikenal oleh orang banyak, karena kemampuannya membuat karya tulis yang
bermutu tinggi; baik prosaya merupakan buku yang menguasai syair-syair maupun
prosa yang berintikan ajaran Tasawuf.

b) Syeh Syamsudin bin Abdillah as-Sumatrany, beliau belajar ilmu Tasawuf


pada syeh hamzah pansuri di Sunan Bonang. Dia lebih giat menulis buku Tasawuf
dari pada gurunya dan keberhasilannya karena ditunjang oleh dana yang memadai.

3. Perkembangan Tasawuf dikalimantan

Salah seorang shufi‟ yang terkemuka di Kalimantan barat adalah syeh Ahmad
Khatib as-Syambasih, beliau banyak berguru kepada Ulama shufi yang berkainan
aliran dengannya. Sehingga segala macam tarekat memasukinya dan sempat
menguasai seluk beluk tarekat tersebut karena ketekunannya berlajar dan cita-
citanya untuk menguasai berbagai aliran ilmu Tasawuf maka banyak ulama
Tasawuf yang menimba ilmu kepadanya.

4. Perkembangan Tasawuf di pulau sulawesi

Ajaran Tasawuf dipulau ini bercorak sunni dam falsafati Karena kebanyakan
penganut Tasawuf falsafati mencampur baurkan ajaran Tasawuf dengan ilmu
hitam. Sehingga semakin membingungkan masyarakat awam, hal ini yang membuat
masyarakat kurang minat belajar Tasawuf. Namun berkat kemampuan karomah
yang dimiliki oleh ulama yang bernama Syeh Yusuf Tajul Khalwati al-Makassary
yang ajaran Tasawufnya beraliran sunni dapat mengajarkan ilmunya kepada
masyarakat meskipun ia sendiri masih merasakan kekurangan ilmu.

4,jelaskan perbedaan tasawuf suni dan tasawuf falsafi ?

pengertian Tasawuf Sunni

Tasawuf sunni adalah aliran tasawuf yang berusaha memadukan aspek


hakekat dan syari'at, yang senantiasa memelihara sifat kezuhudan dan
mengkonsentrasikan pendekatan diri kepada Allah SWT, dengan berusaha
sungguh-sugguh berpegang teguh terhadap ajaran al-Qur'an, sunnah dan shirah
para sahabat.

Tasawuf sunni ialah bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan al quran
dan al hadis secara ketat, serta mengaitkan ahwal atau keadaan dan makomat
(tingkatan ruhaniah) mereka kepada kedua sumber tersebut.

Tasawuf sunni disebut juga tasawuf akhlaki,keduanya identik karena ajaran


tasawuf akhlaki menekankan akhlak dalam kehidupan kaum muslimin.Namun, titik
tekan penyebutan tasawuf sunni dilihat pada upaya yang dilakukan oleh sufi-sufi
yang memagari tasawufnya dengan Al-Quran dan As-Sunnah secara ketat.

Pengertian Tasawuf Falsafi

Secara garis besar tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-


ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Tasawuf ini
menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya,yang berasal dari
berbagai macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya , namun
orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Walaupun demikian tasawuf
filosofis tidak bisa dipandang sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya
didasarkan pada rasa (dzauq), dan tidak pula bisa dikategorikan pada tasawuf
(yang murni) karena sering diungkapkan dengan bahasa filsafat.

perbedaan antara tasawuf Sunni dan tasawuf Falsafi

Di dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan


tasawuf sunni atau tasawuf salafi. kalau tasawuf sunni dan salafi lebih menonjol
kepada segi praktis (‫) العملي‬, sedangkan tasawuf falsafi menonjol kepada segi
teoritis (‫ ) النطري‬sehingga dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih
mengedepankan asas rasio dengan pendektan-pendekatan filosofis yang ini sulit
diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam, bahkan
bisa dikatakan mustahil.Kaum sufi falsafi menganggap bahwasanya tiada
sesuatupun yang wujudkecuali Allah, sehingga manusia dan alam semesta,
semuanya adalahAllah. Mereketidak menganggap bahwasanya Allah itu zat yang
Esa, yangbersemayam diatas Arsy.Dalam tasawuf falsafi, tentang bersatunya
Tuhan dengan makhluknya,setidaknya terdapat beberapa term yang telah
masyhur beserta para tokohnya yaitu ; hulul,wadah al~wujud, insan kamil, Wujud
Mutlak.

1. Hulul

Hulul merupakan salah satu konsep didalam tasawuf falsafi yangmeyakini


terjadinya kesatuan antara kholiq dengan makhluk. Paham hululini disusun oleh
Al-hallaj. Kata hulul berimplikasi kepada bersemayamnya sifat-sifat ke-
Tuhanankedalam diri manusia atau masuk suatu dzat kedalam dzat yang
lainnya.Hulul adalah doktrin yang sangat menyimpang. Hulul ini telah
disalahartikan oleh manusia yang telah mengaku bersatu dengan Tuhan.
Sehanggadikatakan bahwa seorang budak tetaplah seorang budak dan seorang
rajatetaplah seorang raja

2. Wahdah Al-Wujud

Istilah wahdah Al-wujud sangat dekat dengan pribadi Ibnu Arabi,sehingga


ketika menyebut pemikiran Ibnu Arabi seakan-akan terlintas tentang doktrin
wahdah Al-wujud sebenarnya wihdatul wujud bukan penyebutan aari ibnu arbai
sendiri melainkan sebutan yang dilontarkan oleh musuh bebuyutannya yaitu Ibnu
taimiyah.

3. Ittihad
pengertian ittihad sebagaimana disebutkan dalam sufi terminologi
adalah penggabungan antara dua hal yang menjadi satu.Ittihad merupakan
doktrin yang menyimpang dimana didalamnya terjadiproses pemaksaan antara dua
ekssistensi. Kata ini berasal dari katawahd atau wahdah yang berarti satu atau
tunggal. Jadi ittihad artinyabersatunya manusia dengan Tuhan.

Tokoh pembawa faham ittihad adalah Abu Yazid Al-busthami. Menurutnya


manusia adalah pancaran Nur Ilahi,oleh karena itu manusia hilang kesadaranya
[sebagai manusia] maka padadasarnya ia telah menemukan asal mula yang
sebenarnya, yaitu nur ilahiatau dengan kata lain ia menyatu dengan Tuhan

4. Insan kamil.

Al-jilli adalah seorang yang sangat terkenal di Baqhdat, riwayat hidupnya


tidak banyak diketahui oleh sejrah tapi yang jelas ajran yang al-jilli ini ialah
Insan kamil. Insan kamil menurut aljilli ialah manusia

5. Ibnu Sab‟in

Disamping para sufi ia juga seorang filosof yang sangat terkenal dari
Andalusia, ia adalah seorang penggagas paham tasawuf yang lebih dikenal dengan
kesatuan Mutlak.

5.jelaskan pengertian maqamat beserta tahapan-tahapannya daan ahwal


beserta pencapaian-pencapaiannya

A. Pengertian Maqamat

Secara harfiah, maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang berarti tempat
berpijak atau pangkat mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai
jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan
Allah. Dalam bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang bearti
tangga. . Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba
dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakannya, baik melalui
riyadha, ibadah, maupun mujahadah. Disamping itu, maqamat berarti jalan
panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada
sedekat mungkin dengan Allah .Amalan itu kemudian dijadikan sufi sebagai
maqam dalam tazkiyyah al-nafs. Maqam yang terdapat dalam tasawuf tersebut
merupakan satu peringkat perjalanan kerohanian yang mempunyai peraturan-
peraturan tertentu yng mesti ditaati agar selalu dekat dengan tuhan. Mendapat
kecintaan dan keredaan-Nya. Para sufi memiliki pendapat yang berbeda-beda
tentang berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuholeh seorang
sufi untuk sampai menuju Tuhan. Menurut al-Ghazali yang diuraikan dalam
kitabnya, Ihya‟ Ulum ad-Din, maqamat terdiri dari delapan tingkat, yaitu taubat,
sabar, zuhud tawakal, mahabbah, ridha dan ma‟rifat. Menurut as-Sarraj ath-
thusi, maqamat terdiri dari tujuh tingkatan yaitu taubat, wara‟, zuhud, faqr.
Sabar, ridha, dan tawakal. Sedangkan menurut al-Kalabazy maqamat terdiri dari
sepuluh tingkatan yaitu taubat, zuhud, sabar, faqr, tawadhu, taqwa, tawakal,
ridha, mahabbah, dan ma‟rifat. Dalam uraian ini maqamat yang akan dijelaskan
lebih lanjut adalah taubah, zuhud, wara‟, faqr, sabar, tawakal, dan ridha.

B.Tahapan-tahapan Maqamat dalam Tasawuf

1.Taubat

Taubat berasal dari bahasa Arab taba-yatubu-taubatan yang berarti “kembali”


dan penyesalan. Sedangkan taubat bagi kalangan sufi adalah memohon ampun atas
segala dosa yang disertai dengan penyesalan dan berjanji dengan sungguh-
sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut dan dibarengi dengan
melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh Allah. Bagi orang awam, taubat
dilakukan dengan membaca astaghfirullah wa atubu ilahisedangkan bagi orang
khawash taubat dilakukan dengan riyadhah dan mujahadah dalam rangka
membuka hijab yang membatasi dirinya dengan Allah. Taubat ini dilakukan oleh
para sufi hingga mampu menggapai maqam yang lebih tinggi.

2. Zuhud

Zuhud secara harfiah berarti meniggalkan kesenangan dunia, atau tidak ingin
sesuatu yang bersifat keduniawian. Menurut pandangan para sufi, zuhud
diartikan suatu sikap melepaskan diri rasa ketergantungan terhadap kehidupan
duniawi dengan mengutamakan kehidupan ukhrawi. Zuhud terbagi menjadi tiga
tingkatan , pertama (terendah) menjauhkan ini agar terlihat dari hukuman
akhirat. Kedua, menjauhi dunia dengan menimbang imbalan diakhirat. Ketiga
(tertinggi), mengucilkan dunia bukan karena takut atau berharap, tetapi karena
cinta kepada Allah semata.

3.Wara‟

Wara‟ secara harfiah, berarti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau
maksiat. Sedangkan dalam pandangan sufi adalah meninggalkan segala sesuatu
yang tidak jelas hukumnya. Baik yang menyangkut makanan, pakaian, maupun
persoalan lainnya. Orang-orang wara‟ dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama,
orang yang mejauhkan diri dari syubhat. Kedua, orang yang menjauhkan diri dari
sesuatu yang menjadi keraguan hati dan keganjalan di dada. Kitiga, orang arif
yang sanggup menghayati dengan hati nurani.

4.Faqr

Faqr diartikan sebagai orang yang membutuhkan dan memerlukan. Dalam al-
Qur‟an, istilah ini digunakan dengan mengacu pada dua makna. Pertama, digunakan
dalam konteks social ekonomi. Kedua, dalam konteks eksistensi manusia. Dalam
pandangan sufi, faqr diartikan tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah
dimiliki dan merasa puas dengan apa yng dimiliki sehingga tidak meminta sesuatu
yang lain.

5.Sabar

Sabar secara harfiah, berarti tabah hati, menjalankan perintah dan menjauhi
larangan Allah, serta sabar dalam menerima segala cobaan yang ditimpahkan
tuhan kepadanya. Sabar, jika dipandang sebagai pengekangan tuntunan nafsu dan
amarah, dinamakan al-Ghazali sebagai kesabaran jiwa, sedangkan menahan
terhadap penyakit fisik disebut sabar badani. Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan
dalam berbagai aspek, misalnya untuk menahan nafsu makan dan seks yang
berlebihan.

6.Tawakal

Tawakal secara harfiah, berarti menyerahkan diri. Pengertian umumnya adalah


pasrah dan menyerahkan segalanya kepada Allah setelah melakukan rencana atau
usaha. Sikap ini erat kaitannya dengan amal dan keikhlasan hati, yaitu ikhlas
semata-mata karena Allah. Tanda-tanda tawakal ada tiga: pertama,
menyingkirkan sikap ketergantungan. Kedua, menghilangkan bujukan yang
berkaitan dengan tabiat dan ketiga, berpedoman dalam kebenaran dalam
mengikiti tabiat.

7.Ridha

Ridha berarti rela, senang, dan suka. Sedangkan pengertian umumnya tidak
menentang qadha dan qadhar Allah, menerimanya dengan hati senang. Ridha
dibagi menjadi dua macam: pertama, ridha dengan Allah, berarti bahwa seorang
hamba rela terhadap Allah sebagai pengatur jagad raya seisinya kedua, ridha
terhadap apa yang datang dari Allah berarti, rela terhadap apa saja yang telah
menjadi ketetapan Allah.

Pengertian Ahwal

Hal adalah bentuk jama‟ dari kata ahwal yang berarti suasana atau keadaan jiwa.
Secara terminologi ahwal berarti keadaan atau kondisi spiritual yang menguasai
hati. Menurut Harun Nasution, hal adalah keadaan mental seperti perasaan
senang, sedih, takut, dan sebagainya.1 Hal juga dapat diartikan suatu kondisi
mental atau situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia dari
Allah .Hanya saja hal tidak datang tanpa kesadaran namun kedatangan hal bahkan
harus menjadi kepribadian seseorang. Berkenaan dengan hal, Abu Nashr at-Thusi
menyebutkan 9 macam Hal, yaitu: al-Muraqabah, al-Mahabbah, al-Khauf, al-Raja‟,
al-Syauq, al-Uns, al-Thuma‟nina, al-Musyahadah, al-Yakin.

Tahapan-tahapan Ahwal dalam Tasawuf

1. al-Muraqabah

Muraqabah adalah suatu kondisi dimana orang memosisikan dirinya pada


keadaan waspada dan konsentrasi penuh. Selain itu, muraqabah dapat diartikan
sebagai rasa penyatuan diri dengan Tuhan, dengan alam, dan dengan diri sendiri.
Dalam kondisi ini, seseorang selalu sadar bahwa dirinya tidak pernah terlepas
dari pengawasan Allah, yang selalu mengawasi semua niat, gerak, tindakan, serta
perilaku yng ia lakukan pada setiap situasi. Sikap Rinilah yang membawa
seseorang pada suasana ketenangan, kedamaian, serta rasa syukur kepaada Allah.

2.al-Mahabbah
Mahabbah atau cinta, adalah suatu kondisi atau perasaan yang agung dimana
orang yang mencinta itu memberikan seluruh jiwanya kepada yang dicinta. Dalam
mahabbah mengandung makna kemntapan sikap untuk selalu konsisten kepada apa
yang ia cintai, memikirkan yang ia cintai, serta rela berkorban apapun demi yang
ia cintai.

Al-Junaid menyatakan bahwa seorang yang dilanda rasa cinta akan dipenuhi oleh
ingatan pada sang kekasih, bahakan sampai melupakan dirinya sendiri.

3.al-Khauf

Khauf atau takut adalah suatu kondisi dimana seseorang tidak mengharapkan
sesuatu yang ia tidak harapkan. Banyak ungkapan yang dikemukakan oleh banyak
ahli tentang khauf ini, akan tetapi pada dasarnya, khauf atau tahut ini yang
dimaksudkan adalah suatu perasaan takut yang timbul dari perbuatan yang
dilakukan. Seseorang yang dianda rasa takut akan berbuat yang lebih baik dari
sebelumnya agar kelak akan mendapatkan kebaikan dari apa yang ia usahakan
dimasa mendatang.

4.al-Raja‟

Raja‟ dapat dibilang kebalikan dari al-Khauf. Kalau al-Khauf merupakan perasaan
takut sesuatu akan terjadi, sedangkan Raja‟ ini justru berharap sesuatu agar
terjadi. Penerapan dalam al-khauf dan al-raja‟ ini pun berbeda, jika al-khauf
diperlukan bagi orng yang telah melakukan kesalahan agar tidak diulangi nya lagi,
sedangkan al-raja‟ diperlukan untuk memupuk rasa optimisme, agar apa yang
diharapkan terlaksana dengan baik.

5.al-Syauq ( perasaan rindu )

Syauq atau rindu adalah suatu kondisi dimana seorang selaluingin bertemu dengan
yang dirindukan atau dicintai. Dalam hal ini, seorang hamba yang dilanda
kerinduan kepada Allah adalah seorang hamba yang ingin selalu berdekatan
dengan Nya.

6.al-Uns

Al-Uns atau suka cita adalah kondisi dimana sesorang merasa selalu berteman,
tidak pernah merasa sepi. Dalam hal ini, al-uns dapat diartikan dengan keakraban
dengan Tuhan. Ras kebahagiaan, kegembiraan, kesenangan, serta rasa suka cita
yang membara karena merasakan kedekatan dengan Allah yang sangat ia cintai,
semua itu akan menjadikan kepekaan dalam bathinnya.

7.al-Thuma‟ninah

Thuma‟ninah atau rasa tenang adalah suatu kondisi dimana seseorang merasakan
ketentraman hati karena terpengaruh oleh sesuatu yang lain.

8.al-Musyahadah

Musyahadah adalah suatu perasaan melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa
adanya keraguan sedikitpun bagaikan melihat dengan mata kepala.

9 al-.Yaqin

Al-Yaqin mengandung 3 unsur, yakni „ilm al-yaqin, „ain al-yaqin, serta haqq al-
yaqin. „Ilm al-yaqin adalah sesuatu yang dianggap ada setelah adanya pembuktian,
„ain al-yaqin adalah sesuatu yang ada setelah dijelaskan, haqq al-yaqin adalah
sesuatu yang ada dengan sifat-sifat yang sudah sesuai dengan kenyataannya.
Namun secara umum al-yaqin dapat dijelaskan sebagai keyakinan yang kuat
terhadap sesuatu kebenaran, dengan berdasarkankesaksian dari kenyataan.

6.sebutkan beberapa orang tokoh tasawuf akhlaki dan tasawuf falsafi

tasawuf akhlaki adalah tasawuf yang sangat menekankan nilai-nilai etis


(moral) atau tasawuf yang berkonsentrasi pada perbaikan akhlak.

Tasawuf akhlaki dikembangkan oleh para sufi menjadi tiga tingkatan.


Tingkatan pertama adalah Takhalli, di mana bertujuan untuk membersihkan
diri dari perilaku buruk. Tingkatan kedua adalah Tahalli, di mana bertujuan
untuk membiasakan diri dengan perilaku terpuji. Tingkatan terakhir adalah
Tajalli, di mana bertujuan agar perilaku baik tetap dilanjutkan dengan cara
menanamkan cinta di dalam hati kepada Allah SWT.

Lalu, siapa sajakah tokoh-tokoh dalam ajaran ini? Tokoh-tokoh yang


berpengaruh dalam ajaran tasawuf akhlaki adalah Al-Muhasibi (165 H –
243 H), Al-Ghazali (450 H – 505 H), Hasan Al-Basri (21 H – 110 H), dan Al-
Qusyairi (376 H – 465 H). Keempat tokoh tersebut merupakan sufi yang
berjasa dalam mengembangkan ajaran tasawuf akhlaki hingga seperti
sekarang ini.

Tokoh-Tokoh Tasawuf Falsafi

1. Abu Yazid al-Bustami

2. Al-Hallaj

3. Ibn Arabi

4. Suhrawardi al-Maqtul

7.uraikan konsep hulul,ittihad dan wahdatul wujud

Pengertian Hulul

Kata al-hulul adalah bentuk masdar dari kata kerja halla yang berarti tinggal
atau berdiam diri. Secara terminologis kata al-hulul diartikan dengan paham
bahwa Tuhan dapat menitis ke dalam makhluk atau benda. Di samping itu, al-hulul
berasal dari kata halla yang berarti menempati suatu tempat (halla bi al-makani).
Jadi pengertian hulul secara bahasa adalah menempati suatu tempat.

Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia
tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat
kemanusiaannya melalui fana‟. Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-
Luma‟ sebagaimana dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan
bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di
dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.

Hulul atau juga sering disebut “peleburan antara Tuhan dan manusia”
adalah paham yang dipopulerkan Mansur al-Hallaj. Paham ini menyatakan bahwa
seorang sufi dalam keadaan tertentu, dapat melebur dengan Allah. Dalam hal ini,
aspek an-nasut Allah bersatu dengan aspek al-lahut manusia. Al-Lahut merupakan
aspek Ketuhanan sedangkan An-Nasut adalah aspek kemanusiaan. Sehingga dalam
paham ini, manusia maupun Tuhan memiliki dua aspek tersebut dalam diri masing-
masing.

Pengertian Ittihad
Kata Ittihad berasal dari kata ijtahada yajttahidu ijtihadan yang berarti
kebersatuan. Ittihad menurut Abu Yazid Al Bustami, secara komperhensif
maupun etimologis, berarti integrasi, menyatu atau persatuan (unity). Ittihad
memiliki arti “bergabung menjadi satu”. Paham ini berarti seorang sufi dapat
bersatu dengan Allah setelah terlebih dahulu melebur dalam sandaran rohani dan
jasmani (fana) untuk kemudian dalam keadaan baqa‟, bersatu dengan Allah.
Ittihād dalam ajaran tasawuf kata Ibrahim Madkur adalah tingkat tertinggi yang
dapat dicapai dalam perjalanan jiwa manusia. Menurut Harun Nasution, ittihad
adalah satu tingkatan seorang sufi yang telah merasa dirinya bersatu dengan
tuhan, satu tingkatan ketika yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu,
sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-
kata, “Hai aku”.

Dalam pemahaman ini, seseorang untuk mencapai Ittihad harus melalui beberapa
tingkatan yaitu fana dan baqa‟. Fana merupakan peleburan sifat-sifat
buruk manusia agar menjadi baik. Pada saat ini, manusia mampu menghilangkan
semua kesenangan dunia sehingga yang ada dalam hatinya hanya Allah (baqa‟).
Inilah inti ittihad, “diam pada kesadaran ilahi”.

Tokoh pembawa paham ittihad adalah Abu Yazid Al-Bustami. Menurutnya


manusia adalah pancaran Nur Ilahi, oleh karena itu manusia hilang kesadarannya
(sebagai manusia) maka pada dasarnya ia telah menemukan asal mula yang
sebenarnya, yaitu nur ilahi atau dengan kata lain ia menyatu dengan Tuhan

Konsep Hulul dan Ittihad Dalam Perspektif Islam

Hulul dan ittihad erat terkait dengan tauhid yang merupakan inti ajaran Islam.
Al-Ghazali membagi tauhid menjadi empat tingkatan. Pertama, tauhid yang hanya
diucapkan oleh lidah tapi diingkari oleh hati, ucapan orang munafik. Kedua, tauhid
yang diucapkan lidah sekaligus diyakini hati, tauhid muslim awam. Ketiga, tauhid
yang dibarengi dengan penyaksian melalui penyingkapan (kasyf) bahwa yang
beragam dan banyak berasal dari Yang Esa, tauhid orang yang didekatkan
(muqarrabin). Keempat, tauhid shiddiqin yang melihat dalam wujud hanya satu,
yang oleh para Sufi disebut sirna dalam tauhid (fana‟ fi al-tauhid), yang rahasia
ilmu ini tidak seharusnya ditulis dalam buku.

Kondisi ini disebut keterpisahan pertama (al-farq al-awwal) yang merujuk


pada dunia yang dipahami sebagai sesuatu yang beragam dan terpisah.
Penyebutan keterpisahan ini sebagai ‟yang pertama‟ mengisyaratkan kemungkinan
terjadinya keterpisahan kedua (al-farq al-tsani) yang dialami setelah seseorang
mengalami transformasi dimana seseorang melampaui keragaman dan dia mampu
melihat hakikat dunia. Transformasi tersebut bisa dicapai melalui serangkaian
disiplin yang memungkinkan seseorang untuk melampaui dunia keragaman dan
mencapai keadaan fana‟ dan baqa‟ dimana dia memperoleh visi tentang kesatuan
segala sesuatu dalam Asal transendennya.

Keterpisahan disini memiliki dua konotasi. Yang pertama merujuk pada


keterpisahan antara yang Mutlak dari ciptaan dengan cerapan manusia. Istilah
keterpisahan pertama (al-farq al-awwal) juga menyiratkan bahwa sebelumnya
tidak ada keterpisahan, yang merujuk pada ‟manusia‟ sebelum dia menjadi
manusia. Kondisi ini diisyaratkan dalam al-Quran : “Dan (ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah Aku
ini Tuhanmu?” Mereka menjawab : “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi
saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan : “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)”

Tentang penjelasan ayat ini, al-Junaid mengatakan ”Dalam ayat ini Allah
memberitahumu bahwa Dia berfirman pada mereka pada saat mereka belum
ada, kecuali sejauh mereka ada untuk-Nya. Eksistensi ini tidaklah sama dengan
yang biasa dilekatkan pada makhluk dan hanya diketahui oleh-Nya.” Dalam ayat
ini Allah swt. Mempersaksikan (asyhada) terhadap manusia sifat Ketuhanan-Nya
(rububiyah) dalam pengertian bahwa mereka tahu, dengan pengalaman langsung
dan persaksian, Realitas dan Kebenaran yang disingkapkan pada mereka. Makna
kedua dari konotasi terkait dengan kesadaran dan pengalaman akan keterpisahan
dalam segala hal di dunia. Dalam melihat dunia yang terbentuk dari keragaman,
orang awam melihatnya sebagai kenyataan yang saling terpisah, beragam, dan
berdiri sendiri dan meyakini bahwa tidak ada sesuatu dibalik keragaman itu.
Tingkatan yang lebih tinggi adalah mereka, yang sekalipun pandangannya
terhadap realitas tidak dapat menjangkau diluar keragaman, mengakui bahwa apa
yang dapat mereka jangkau dengan nalar dan pengalaman mereka, yakni inderawi-
rasional, bukanlah satu-satunya realitas. Mereka mengakui Realitas diluar yang
dapat mereka jangkau yang sama sekali berbeda dengan jangkauan nalar dan
pengalaman mereka dan secara teologis disebut Tuhan. Pandangan dunia yang
bersifat dualistik ini kemudian berkembang dalam tataran saintifik, filosofis,
dan teologis menjadi apa yang kemudian dikenal sebagai pembedaan antara
esensi dan eksistensi. Menurut pandangan ini, sesuatu memiliki esensi yakni
kuiditas (quiddity), yang secara ontologis merupakan substansinya dan eksistensi
yang dipandang sebagai aksiden dari esensi. Pandangan semacam ini didasarkan
pada perkembangan saintifik dan filosofis yang didasarkan hanya pada nalar dan
pengalaman awam.

Wahdatul wujud

Wahdatul wujud adalah konsep atau ajaran yang mengajarkan tentang


bersatunya wujud Tuhan dan manusia. Dalam ajaran Hamzah Fansuri dikenal
paham wujudiyyah, yaitu ajaran yang mengajarkan tentang keberadaan wujud
Tuhan. Perdebatan-perdebatan yang terjadi dikalangan para cendikiawan muslim
tentang wahdatul wujud, menuai polemik yang berkepanjangan ditengah
masyarakat, sehingga memunculkan para tokoh sufistik yang mendukung bahkan
menentang keras wahdatul wujud. Dari pemikiran para tokoh tersebut, terdapat
perbedaan dan persamaan antara tokoh tersebut tentang wahdatul wujud,
terutama wahdatul wujud Hamzah Fansuri yang menuai pro dan kontra yang
berkepanjangan. Banyak yang menolak pemikiran wahdatul wujud Hamzah
Fansuri, sehingga banyak para ulama semasa Hamzah Fansuri saling
memperdebatkan wahdatul wujud Hamzah Fansuri. Sehingga menimbulkan
pengaruh yang sangat besar terhadap para murid dan pengikutnya. Sehingga
memunculkan permasalahan, bagaimanakah konsep wahdatul wujud dalam
pemikiran Hamzah Fansuri?, dan bagaimana pengaruh konsep wahdatul wujud
Hamzah Fansuri terhadap muridnya?. Penelitian ini merupakan jenis penelitian
kepustakaan (Library Research), sedangkan sifat penelitian ini termasuk
penelitian Hitoris Faktual Tokoh. Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan
data primer dan skunder. Setelah datadata diperoleh, konsep wahdatul wujud
dalam pemikiran Hamzah Fansuri dianalisis menggunakan metode Interpretasi,
komparasi, Kesinambungan historis. Kemudian diadakan perumusan kesimpulan
dengan menggunakan metode deduksi. Dari penelitian ini, ditemukan beberapa
hal. Bahwa, yang pertama tentang konsep wahdatul wujud Hamzah Fansuri yaitu
Hakekat Wujud, bahwa wujud hanya satu yaitu Allah SWT. Kemudian, tentang
Eka dalam Keanekaannya, bahwa wujud bukan hanya mencakup kesatuannya
melainkan keanekaannya. Meskipun wujud (Tuhan) adalah satu, Ia menampakkan
diri (tajalli) dalam banyak bentuk yang tidak terbatas pada alam, yang tak lain
dari manifestasi sifat-sifat atau butir-butir ide dalam pengetahuan Tuhan,
semacam ekspresi lahiriah sifat-sifat Tuhan, dan yang terahir tentang
Penciptaan Alam, bahwa alam tercipta dari yang tidak ada menjadi ada. Alam
bersifat qadim yang diciptakan melalui proses tajalli, yaitu manifestasi diri yang
abadi dan tampak akhir.Kedua tentang pengaruh konsep wahdatul wujud terhadap
muridnya, yang mengakibatkan terjadinya sebuah tragedi di Aceh, yakni
pembakaran karya-karya mistis Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Pasai yang
memuat ajaran wahdatul wujud, oleh Nuruddin al-Raniry dan para pengikutnya,
diadakan pengejaran dan pembunuhan terhadap murid Hamzah Fansuri yang tidak
mau meninggalkan wahdatul wujud. Kaum Muslimin sepakat menganggap murid
Hamzah Fansuri kafir dan mesti diperangi, sehingga Ar-Raniri berinisiatif untuk
mengumpulkan 40 orang ulama besar pada waktu itu untuk membahas ajaran
Hamzah Fansuri tentang wahdatul wujud.

8.terangkan konsep wahdatussyuhud dalam kajian tasawuf ?

Pengertian Waḥdat al-Syuhūd

Kata Syuhūd berasal dari akar kata syahida-yasyhadu- Syuhūdan yang pada
asalnya berarti kesaksian, kehadiran, pengetahuan, dan pemberitahuan. Di dalam
tasawuf, istilah ini digunakan untuk menyebut keadaan seorang sufi yang
menyaksikan kehadiran Ilahi Secara bahasa Waḥdat al-Syuhūd dapat diartikan
sebagai kesatuan penyaksian. Pandangan ini menyatakan, satu-satunya yang
benar-benar adahanyalah Wujud yang satu, yakni Allah. Sedangkan kesan kita
mengenai ragam wujud hanyalah artifak dari cara pandang kita terhadap realitas
Yang Satu. Sekilas kita lihat Waḥdat al-Syuhūd hampir sama dengan Wahdat

al-Wujud, tetapi jika pelajari lebih dalam lagi maka akan ditemui perbedaan yang
signifikan. Di mana dalam pandangan Waḥdat al-Syuhūd dinyatakan bahwa ciptaan
tidak identik dengan Tuhan atau pencipta-Nya. Ciptaan baik itu manusia maupun
alam semesta ini dan segala isinya hanya pantulan dari Sang Maha Pencipta
sehingga tidak identik dengan-Nya.Yang Ilahi bersifat abadi, sedangkan alam
semesta dan segala isinya bersifat sementara.

Ajaran tentang konsep Waḥdat al-Syuhūd yang terdapat dalam al-Qur,an Allah
itu adalah hal yang gaib. Seseorang yang berharap bisa menyaksikan Allah
tentulah harus beriman kepada yang gaib dan mendirikan shalat. Maka dengan
kondisi itu dia akan selalu terjaga dalam seluruh rangkaian hukum yang
dibebankan padanya dalam shalat. Pada kondisi itu dia berada dalam puncak titik
fokus di mana jiwa mereka menghadap kiblat, sementara hatinya tenggelam
bersatu dalam hakikat wusul- sampai kepada Allah. Allah itu bersifat Esa, tidak
ada satupun Tuhan selain Dia.Dialah yang menciptakan apa yang di alam semesta
ini dan Dia juga yang memeliharanya. .Konsepsi Wahdat al-Syuhud
Wahdat al-syuhud merupakan salah satu konsep dalam tasawuf falsafi,
sebagaimana konsep ittihad-nya Abu Yazid al-Busthami, konsep hulul-nya Al-
Hallaj, atau juga wahdat al-wujud-nya Ibn „Arabi. Kajian tentang wahdat al-
syuhud oleh para ilmuwan menunjukkan bahwa konsep ini mirip dengan dan
mendapat pengaruh besar dari paham wahdat al-wujud, ajaran yang dicetuskan
oleh Ibn „Arabi.
Konsep ini bermula dari rasa cinta Ibn al-Faridh yang sangat mendalam kepada
Tuhan hingga mencapai syauq (rindu-dendam), dan kemudian meningkat menjadi
pengalaman uns (), yakni kegilaan dalam asyik-masyuk (intim) dengan Tuhannya.
Dalam Risalah al-Qusyairiyah dinukil ungkapan para sufi sebagai berikut :

Pecinta itu syaratnya sampai mabuk (gila) cinta, bila belum sampai seperti itu,
cintanya belum benar-benar (belum sempurna).
Jelasnya, mendalamnya cinta rindu terhadap Tuhan menurut ajaran tasawuf para
sufi sampai mabuk cinta, sehingga meningkat menjadi wahdat al-syuhud, yakni
segala yang mereka pandang tampak wajah Tuhan.
Kesatuan dalam terminology Ibn al-Faridh bukan penyatuan dua wujud, tetapi
penyatuan dalam arti yang disaksikan hanya satu, yaitu Wujud Yang Maha Esa.
Pluralitas yang tadinya nampak menjadi lenyap sehingga segala sesuatu
nampaknya satu kesatuan karena ia telah mampu “menghadirkan” Tuhan dalam
dirinya melalui tajalliyat Ilahi.
Menurut pemahaman Musthafa Helmi, tajalli dalam konsep Ibn al-Faridh ada dua
segi, yaitu : pertama, tajalli secara zhahir, yakni melihat Yang Esa pada yang
aneka; yang kedua, tajalli secara batin, yakni melihat yang aneka pada Yang Esa.
Dengan kata lain, barangkali dapat dianalogikan dengan makro dan mikro. Dengan
memperhatikan makro kosmos dapat “melihat” mikro kosmos dan sebaliknya.
Pengalaman yang demikian dimungkinkan karena fananya yang asyik mencinta ke
dalam yang dicinta sehingga ia tenggelam dalam kemanunggalan dan tidak
merasakan serta tidak melihat (syuhud) sesuatu selain Allah Yang Maha Tunggal.
Dengan demikian semakin jelas terlihat, bahwa konsep wahdat al-syuhud ini
berbeda dari doktrin al-hulul. Sebab, dalam konsep ini penyatuan itu bukan pada
substansi manusia yang melebur ke dalam dzat Tuhan, tetapi fananya seluruh
yang ada dari kesadaran dan penglihatan sehingga yang nampak ada hanyalah
Dzat Yang Esa dan karenanya disebut wahdat al-syuhud bukan wahdat al-wujud.
Dari sini nampak bahwa dalam pemahaman Ibn al-Faridh antara bukan wahdat al-
wujud. Dari sini nampak bahwa dalam pemahaman Ibn al-Faridh antara wahdat al-
syuhud dan wahdat al-wujud itu berbeda. Sementara dalam pemahaman
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) wahdat al-syuhud merupakan bagian dari wahdat
al-wujud. Menurut Ibn al-Faridh, bagi mereka yang sudah menemukan cinta Ilahi
yang sejati, wahdat al-syuhud ini dapat dialami dalam keadaan sadar (al-mahwu)
dan atau dalam situasi sakr.
Wahdat al-syuhud merupakan salah satu dari konsep-konsep yang ada dalam
tasawuf falsafi. Konsepsi yang dibangun atas dasar rasa cinta yang mendalam
kepada Allah ini dicetuskan pertma kali oleh Ibn al-Faridh. Berbeda dengan
konsep wahdat al-wujud-nya Ibn „Arabi, konsep wahdat al-syuhud berpendapat
bahwa kesatuan bukanlah meleburnya manusia dengan Tuhan secara jasmani,
melainkan tersingkapnya rahasia wajah Tuhan setelah fananya kesadaran dan
kemauan manusia, serta fananya segala penglihatan di sekitarnya, yang nampak
hanyalah wajah Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai