A. PENGERTIAN AKHLAK
Secara etimologis (lughatan) akhlaq (Bahasa Arab) adalah bentuk jamak dari khuluq yang berarti
nudi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Berakar dari kata khalaqa yang berarti menciptakan.
Sedangkan dengan kata khaliq (Pencipta), makhluq (yang diciptakan) dan khalq (penciptaan).
Secara terminologis (ishthilahan) ada beberapa deinisi tentang akhlaq. Tiga diantaranya sebagai
berikut:
1. Imam al-Ghazali:
“akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan
gampang dan mudah, tanpa memelukan pemikiran dan pertimbangan”
2. Ibrahim anis:
“Akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan,
baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.”
3. Abdul Karim Zaidan:
“(Akhlaq) adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotan dan
timbangannya seseorang dapat menilai perbuatannya baik atau buruk, untuk kemudian memilih
melakukan atau meninggalkannya.”
Ketiga definisi yang dikutip di atas sepakat menyatakan bahwa akhlaq atau khuluq atau khuluq itu
adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga dia akan muncul secara spontan
bilamanadiperlukan, tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu, serta tidak
memerlukan dorongan dari luar. Sifat spontanitas dari akhlaq tersebut dapat diilustrasikan dalam contoh
berikut ini. Dalam menerima tamu, bila seseorang membeda-bedakan tamu yang satu dengan yang lain,
atau kadangkala ramah dan kadangkala tidak, maka orang tadi belum bisa dikatakan mempunyai sifat
memuliakan tamu. Sebab seseorang yang mempunyai akhlak memuliakan tamu, tentu akan selalu
memuliakan tamunya. Dari keterangan tesebut dijelaskan bagi kita bahwa akhlaq itu haruslah bersifat
konstan, spontan, tidak temporer dan tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan serta dorongan dari
luar.
Akhlak juga dikenal dengan istilah etika dan moral. Ketiga istilah itu sama-sama menentukan nilai baik
dan buruk sikap san perbuatan manusia. Perbedaannya terletak pada standar masing-masing. Bagi akhlaq
standarnya adalah Al-Qura’an dan Sunnah; bagi etika standarnya pertimbangan akal pikiran; dan bagi
moral standarnya ada kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat.
B. Sumber Akhlaq
Yang dimaksud dengan sumber akhlaq adalah yang menjadi ukuran baik dan buruk atau mulia
dan tecela. Sumber akhaq adalah Al-Qur’an dan Sunnah, bukan akal pikiran atau pandangan masyarakat
sebagaimana pada konsep etika moral. Dan bukan pula karena baik atau buruk dengan sendirinya
sebagaimana pandangan Mu’tazilah. Dalam konsep akhlak, segala sesuatu itu dinilai baik atau buruk,
terpuji tercela, semata-mata karena Syara’ (Al-Qur’an dan Sunnah) meniainya demikian.
C. Ruang Lingkup Akhlaq
Muhammada ‘Abdullah Draz dalam bukunya Dustur al-Akhla fi al-isam membagi ruang lingkup
akhlaq menjadinlima bagian:
1. Akhlaq Pribadi (al-akhlaq al-fardiyah). Terdiri dari:
a) Yang diperintahkan (al-awamir)
b) Yang dilarang (an-nawabi)
c) Yang dibolehkan (al-mubabat)
d) Akhlaq dalam keadaan darurat (al-mukhalafah bi al-idhthirar).
2. Akhlak Berkeluarga (al-akhlaq al-usariyah). Terdiri dari:
a) Kewajiban timbal balik orang tua dan anak (wjibat nahwa al-ushul wa al-furu)
b) Kewajiban suami istri (wajibat baina al-azwaj)
c) Kewajiban terhadap karib kerabat (wajibat nahwa al-aqarib).
3. Akhlak Bermasyarakat (akhlaq ad-daulah). Terdiri dari:
a) Yang dilarang (al-mahzhurat)
b) Yang diperintahkan (al-awamir)
c) Kaedah-kaedah adab (qawa’id al-adab)
4. Akhlaq Bernegara (akhlaq ad-daulah). Terdiri dari:
a) Hubungan antara pemimpin dan rakyat (al-alaqah baina ar-rais wa as-sya’b)
b) Hubungan luar negeri (al-alaqat a;-kharijiyyah)
5. Akhlaq Beragama (al-akhlaq ad-diniyyah). Yaitu kewajiban terhadap Allah SWT (wajibat nahwa
Allah
D. Kedudukan dan Keistimewaan Akhlak Dalam Islam
Dalam keseluruhan ajaran islam akhlaq menempati kedudukan yang istimewa dan sangat penting.
Hal itu dapat dilihat dalan beberapa nomor berikut ini:
1. Rasullulah saw menempatkan penyempurnaan akhlaq yang mulia sebagai misi pokok Risalah Islam.
Beliau bersabda:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia. “(HR. Baihaqi)
2. Akhlaq merupakan salah satu ajaran pokok agama islam , sehingga Rasulullah saw pernah
mendefinisikan agama itu dengan akhlaq yang baik (husn al-khuluq). Diriwayatkan bahwa seorang
laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw:
“Ya Rasulullah, apakah agama itu? Beliau menjawab: (Agama adalah) Akhlaq yang baik.”
3. Akhlaq yang baik akan memberatkan timbangan kebaikan seseorang nanti pada hari kiamat.
Rasulullah saw bersabda:
“Tidak ada satupun yang akan lebih memberatkan timbangan (kebaikan) seorang hamba mukmin
nanti pada hari kiamat selain dari akhlaq yang baik…” (HR. Tirmidzi)
4. Rasulullah saw menjadikan baik buruknya akhlaq seseorang sebagai ukuran kualitas imannya. Hal itu
dapat kita perhatikan dalam beberapa hadist berikut ini:
Rasulullah saw bersabda:
”Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaq nya.” (HR. Tarmidzi)
5. Islam menjadikan akhlaq yang baik sebagai bukti dan buah dari ibadah kepada Allah SWT. Misalnya
shalat, puasa, zakat, dan haji.
Firman Allah SWT:
“…dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan
mungkar.”(QS. Al-‘Ankabut 29:45)
6. Nabi Muhammad saw selalu berdoa agar Allah SWT membaikkan akhlaq beliau. Salah satu doa
beliau adalah:
“(Ya Allah) tunjukilah aku (jalan menuju) akhlaq yang baik, karena sesunggahnya tidak ada yang
dapat memberi petunjuk (menuju jalan) yang lebih baik selain Engkau. Hindarkanlah aku dari akhlaq
yang buruk, karena sesungguhnya tidak ada yang dapat menghindarkan aku dari akhlaq yang buruk
kecuali Engkau.”(HR. Muslim)
7. Di dalam Al-Quran banyak terdapat ayat-ayat yang berhubungan dengan akhlaq, baik berupa perintah
untuk berakhlaq yang baik serta pujian dan pahala yang diberikan kepada orang-orang yang mematuhi
perintah itu, maupun larangan berakhlaq yang buruk serta celaan dan dosa bagi orang-orang yang
melanggarnya.
E. Ciri-ciri Akhlaq Dalam Islam
1. Akhlaq Rabbani
Ciri rabbani juga menegaskan bahwa akhlaq dalam islam bukanlah moral yang kondisional dan
situasional, tetapi akhlaq yang benar-benar memiliki nilai yang mutlak. Akhlaq rabbani lah yang
mampu menghindari kekacauan nilai moralitas dalam hidup manusia.
Al-Quran mengajarkan:
“Inilah jalan-Ku yang lurus; hendaklah kamu mengikutinya; jangan kamu ikuti jalan-jalan lain,
sehingga kamu bercerai berai dari jalan-Nya. Demikian diperintahkan kepadamu, agar kamu
bertaqwa.” (QS. Al-An’am 6: 153)
2. Akhlaq Manusiawi
Ajaran akhlaq dalam islam diperuntukkan bagi manusia yang merindukan kebahagiaan dalam arti
hakiki, bukan kebahagiaan semu. Akhlaq islam adalah akhlaq yang benar-benar memelihara eksistensi
manusia sebagai makhluk terhormat, sesuai dengan fitrahnya.
3. Akhlaq Universal
Ajaran akhlaq dalam islam sesuai dengan kemanusiaan yang universal dan mencakup segala
aspek hidup manusia, baik yang dimensinya vertikal maupun horisontal.
4. Akhlaq Keseimbangan
Manusia menurut pandangan islam memiliki dua kekuatan dalam dirinya, kekuatan baik pada hati
nurani dan akalnya dan kekuatan buruk pada hawa nafsunya. Manusia memiliki naruliah hewani dan
juga ruhaniah malaikat. Manusia memiliki unsur ruhani dan jasmani yang memrlukan pelayanan
masing-masing secara seimbang. Akhlaq islam memenuhi tuntutan kebutuhan manusia, jasmani dan
ruhani, secara seimbang, memenuhi tuntutan hidup bahagia di dunia dan akhirat secara seimbang pula.
Bahkan memenuhi kebutuhan pribadi harus seimbang dengan memenuhi kewajiban terhadap
masyarakat. Rasulullah saw membenarkan ucapan Salman kepada Abu Darda’:
“Sesungguhnya Tuhanmu mempunyai hak yang wajib kau penuhi; dirimu mempunyai hak yang wajib
kau penuhi; isterimu mempunyai hak yang wajib kau penuhi; berikanlah orang-orang yang
mempunyai hal akan haknya.” (HK. Bukhari)
5. Akhlaq Realistik
Ajaran akhlaq dalam islam memperhatikan kenyataan hidup manusia. Meskipun manusia telah
dinyatakan sebagai makhluk yang memiliki kelebihan dibanding makhluk-makhluk yang lain, tetapi
manusia mempunyai kelemahan-kelemahan, meiliki kecenderungan manusia dan berbagai macam
kebutuhan material dan spiritual.
Allah berfirman:
“Barangsia terpaksa, bukan karena mengembangkan dan sengaja melanggar aturan, tiadalah ia
berdosa. Sungguh Allah Maha Pengampunan dan Maha Penyayang (QS. Al-Baqarah 2: 173).”
BAB II
AKHLAQ TERHADAP ALLAH SWT
A. TAQWA
Taqwa adalah ”mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan—ya(imtitsalu
awamirillah wajtinabu nawahih)". ‘Afif ‘Abd al-Fattah Thabbarah dalam bukunya Ruh ad-Din al-Islami
mendefinisikan taqwa dengan:
“Seseorang memelihara dirinya dari segala sesuatu yang mengundang kemarahan Tuhannya dan dari
segala sesuatu yang mendatangkan mudharat, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain
Hakikat Taqwa
Bila ajaran Islam dibagi menjadi Iman, Islam dan Ihsan, maka pada hakikatnya taqwa adalah
integralisasi ketiga dimensi tersebut. Dapat dilihat dalam ayat al-Baqarah 2: 177, al-Baqarah 2: 2-4 dan
ali ‘imran 3: 133-135. Berikut ini salah satu ayat yaitu Al-Baqarah 2: 177:
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, Hari Akhir, Malaikat-Malaikat, Kitab-Kitab,
Nabi-Nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, musafir (yang memerlukan petolongan) dan (memerdekakan) hamba sebaya, mendirikan shalat,
dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang
yang benar; dan meraka itulah orang-orang yang bertaqwa. “(QS. Al-Baqarah 2: 177)
Dalam surat Al-Baqarah ayat 177 di atas Allah Swt mendefinisikan al-birru dengan iman
(beriman kepada Allah, Hari Akhir, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, dan Nabi-nabi), Islam (mendirikan
shalat dan menunaikan zakat) dan Ihsan (mendermakan harta yang dicintainya, menepati janji dan sabar).
Setelah disebutkan berganti-ganti beberapa bagian dari Iman, Islam, dan Ihsan itu, lalu Allah menutupnya
dengan kalimat: “Mereka itulah orang-orang yang bertaqwa. Dengan demikian dapat kita pahami bahwa
dalam ayat tersebut taqwa dicirikan dengan Iman, Islam dan Ihsan sekaligus.
C. IKHLAS
Secara etimologi ikhlash (Bahasa Arab) berakar dari kata khalasha dengan arti bersih, jernih, murni;
tidak bercampur. Misalnya ma’u khalish artinya air bening atau putih; tidak bercampur dengan kopi, the,
sirup atau zat-zat lainnya. Setelah dibentuk menjadi ikhlash (mashdar dari fi’il muta’addi khallasha)
berarti membersihkan atau memurnikan. Secara terminologis yang dimaksud dengan ikhlas adalah
beramal semata-mata mengharapkan ridha Allah SWT. Sayyid Sabiq mendefinisikan ikhlas sebagai
berikut:
“Seseorang berkata, beramal dan berjihad mencari ridha Allah SWT, tanpa mempertimbangkan harta,
pangkat, status, popularitas, kemajuan atau kemunduran; supaya dia dapat memperbaiki kelemahan-
kelemahan amal dan kerendahan akhlaqnya serta dapat berhubungan langsung dengan Allah SWT.”
Keutamaan ikhlas
Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk beribadah kepada-Nya dengan penuh keikhlasan
dan beramal semata-mata mengharapkan ridha-Nya. Allah berfirman: “Padahal mereka tidak disuruh
kecuali beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama
dengan lurus…”(QS. Al-Bayyinah 98:5)
Hanya dengan keikhlasanlah semua amal ibadah akan diterima oleh Allah SWT. Rasulullah saw
mengucapkan selamat (thuba) kepada para mukhlishin.
Khauf
Khauf adalah kegalauan hati membayangkan sesuatu yang tidak disukai yang akan menimpanya, atau
membayangkan hilangnya sesuatu yang disukainya (faza al-qalb min makruh yanaluh au min mahbub
yafutuh). Dalam islam semua rasa takut harus bersumber dari rasa takut kepada Allah SWT. Hanya allah-
lah yang paling berhak ditakuti oleh setiap orang yang mengaku beriman kepada-Nya. Menurut Sayyid
Sabiq, ada dua sebab kenapa seseorang takut kepada Allah SWT:
1. Karena dia mengenal Allah SWT (ma’rifatullah). Takut seperti ini dinamai dengan khauf al-Arifin.
Semakin sempurna pengenalannya kepada Allah semakin bertambah takutnya. Allah SWT
menyatakan bahwa para Ulama-lah yang benar-benar takut kepada-Nya.
2. Karena dosa-dosa yang dilakukannya, dia takut akan azab Allah SWT.
Raja’
Raja’ atau harap adalah memautkan hati kepada sesuatu yang disukai pada masa yang akan
datang (ta’liq al-qalbi bi mahbub fi mustaqbal). Raja’ harus didahului oleh usaha yang sungguh-sungguh.
Harapan tanpa usaha namanya angan-angan kosong (tamanni). Allah SWT menyatakan bahwa orang-
orang yang beriman, hijrah dan berjihad fi sabilillah mengharapkan rahmat dari Allah SWT.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah,
mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah
2:218).
E.TAWAKAL
Tawakal adalah membebaskan hati dari segala ketergantungan kepada selain Allah dan
menyerahkan keputusan segala sesuatunya kepada-Nya. Seorang muslim hanya boleh bertawakal kepada
Allah semata-mata. Allah SWT berfirman:
“Dan kepunyaan Allah lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya lah dikembalikan
urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali
Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hud 11:123).
F. SYUKUR
Syukur ialah memuji si pemberi nikmat atas kebaikan yang telah dilakukannya. Syukurnya
seorang hamba berkisar atas tiga hal, yang apabila ketiganya tidak berkumpul, maka tidaklah dinamakan
bersyukur yaitu: mengakui nikmat dalam batin, membicaraknnya secara lahir, dan menjadikannya sebagai
sarana untuk taat kepada Allah. Jadi syukur itu berkaitan dengan hati, lisan dan anggota badan. Hati untyk
ma’rifah dan muhabbah, lisan untuk memuja dan menyebut nama Allah, dan anggita badan untuk
menggunakan nikmat yang diterima sebagai sarana untuk menjalankan ketaatan kepada Allah dan
menahan diri dari maksiat kepada-Nya”
Keutamaan Syukur
Allah SWT mmerintahkan kepada kaum Muslimin untuk bersyukur kepada-Nya. Firman-Nya:
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah
kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat) Ku.”(QS. Al-Baqarah 2:152)
Manusia diperintahkan bersyukur kepada Allah SWT bukanlah untuk kepentingan Allah itu sendiri
karena Allah ghariyun’anil’alamin (tidak memerlukan apa-apa dari alam semesta), tapi justru untuk
kepentingan manusia itu sendiri.
G. MURAQABAH
Muraqabah berakar dari kata raqaba yang berarti menjaga, mengawal, menanti, dan mengamati.
Semua pengertian kata raqaba tersebut bisa disimpulkan dalam satu kata yaitu pengawasan, karena
apabila seseorang mengawasi sesuatu dia akan mengamati, menantikan, menjaga dan mengawalnya.
Dengan demikian muraqabah bisa kita artikan dengan pengawasan. Sedangkan yang dimaksud dengan
muraqabah dalam pembahasan kita adalah kesadaran seorang muslim bahwa dia selalu berada dalam
pengawasan Allah SWT dengan sifat ‘ilmu, bashar dan sama’ (mengetahui, melihat, dan mendengar)
Nya mengetahui apa saja yang dia lakukan kapan dan dimana saja.
Muhasabah
Kesadaran akan pengawasan Allah SWT akan mendorong seorang Muslim untuk melakukan
muhasabah (perhitungan,evaluasi) terhadap amal perbuatan, tingkah laku dan sikap hatinya sendiri.
Dalam hal ini muraqabah berfungsi sebagai jalan menuju muhasabah (al-muraqabah thariq ila al-
muhasabah). Dijelaskan oleh Raid ‘Abd al-Hadi dalam bukunya Mamarat al-Haq bahwa muhasabah
dapat dilakukan sebelum dan sesudah amal. Sebelum melakukan seseorang harus menghitung dan
mempertimbangkan terlebih dahulu buruk baik dan manfaat perbuatannya itu, dan juga menilai kembali
motivasinya. Dalam hal ini ‘Abd al-Hadi mengutip ucapan Hasan-rahimatullah; “Allah mengasihi
seorang hamba yang berhenti sebelum melakukan sesuatu; jika memang karena Allah dia akan terus
melangkah, tapi bila bukan karena-Nya dia akan mundur.”
Muhasabah sesudah amal ada tiga macam:
1. Muhasabah hak Allah SWT. Yaitu tentang keikhlasannya beramal karena Allah, kesesuaian
amalnya dengan petunjuk Rasul, sikap ihsannya dalam beramal, dan lain-lain sebagainya.
2. Muhasabah amalan yang akan lebih baik tidak dilakukan dari pada melakukannya.
3. Muhasabah amalan mubah atau kebiasannya. Kenapa dia lakukan? Apakah ia melakukannya
karena menginginkan ridha Allah dan Akhirat. Jika memang mencari ridha Allah tentu dua
beruntung, jika tidak dia akan merugi.
H. TAUBAT
Taubat berakar dari kata taba’ yang berarti kembali. Orang yang bertaubat kepada Allah SWT
adalah orang yang kembali dari sesuatu menuju sesuatu; kembali dari sifat-sifat yang tercela menuju sifat-
sifat yang terpuji, kembali dari larangan Allah menuju perintah-Nya, kembali dari maksiat menuju taat,
kembali dari segala yang dibenci Allah menuju yang diridhai-Nya, kembali dari yang saling bertentangan
menuju yang saling menyenangkan, kembalinkepada Allah setelah meninggalkan-Nya dan kembali taat
setelah menentang-Nya.” Allah SWT berfirman:
“ Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu
beruntung.” (QS. At-Tahrim 66:8)
BAB VII
Akhlaq Bernegara
A.MUSYAWARAH
Secara etimologis,musyawarah (musyawarah) berasal dari kata syawara yang pada mulanya
bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang,sehingga
mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain termasuk pendapat.
Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada
dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik,sejalan dengan makna dasar.
1. Arti Penting Musyawarah
Musyawarah atau syura adalah sesuatu yang sangat penting guna menciptakan peraturan di
dalam masyarakat mana pun. Setiap negara maju yang menginginkan
keamanan,ketentraman ,kebahagiaan dan kesuksesan bagi rakyatnya,tetap memegang prinsip
musyawarah ini. Allah SWT berfirman (QS.Asy-Syura 42: 37-38).
Dalam ayat di atas,syura atau musyawarah sebagai sifat ketiga bagi masyarakat islam
dituturkan sesudah iman dan shalat. Abdul Karim Zaidan menyebutkan bahwa musyawarah
adalah hak ummat dan kewajiban iman atau pemimpin. Dalilnya adalah firman Allah SWT
yang memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw untuk bermusyawarah dengan para
sahabat (QS. Ali- Imran 3 :159).
1. Lapangan Musyawarah
Karena musyawarah adalah pendapat orang,maka apa-apa yang sudah ditetapkan oleh nash(Al-
Qur’an dan As-Sunnah) tidak boleh dimusyawarahkan,sebab pendapat orang tidak boleh
mengungguli wahyu(Al-Qur’an dan As-Sunnah). Jadi musyawarah hanyalah terbatas pada hal-hal
yang bersifat ijtihadiyah.
2. Tatacara Musyawarah
Tatacara musyawarah yang dilakukan oleh Rasulullah ternyata sangat bervariasi:
a. Kadang kala seseorang memberikan pertimbangan kepada beliau,lalu beliau melihat
pendapat itu benar,maka beliau mengamalkannya.
b. Kadang-kadang beliau bermusyawarah dengan dua atau tiga orang saja.
c. Kadang kala beliau juga bermusyawarah dengan seluruh massa melalui cara
perwakilan,seperti apa yang terjadi sesudah perang Huranain tentang rampasan perang
dan permohonan bantuan melalui utusan Hawazin.
Ada hal-hal yang harus dimusyawarahkan dengan seluruh umat baik langsung maupun
lewat perwakilan,dan ada hal-hal yang cakup dimusyawarahkan dengan pemimpin (ulil
amri),ulama,cendekiawan,dan pihak-pihak yang berkompeten lainnya,tetapi tetap dan
tidak boleh tidak harus dengan semangat kebenaran dan kejujuran. Yang dicari dalam
musyawarah adalah kebenaran,bukan kemenangan.
3. Beberapa Sikap Bermusyawarah
a. Lemah-lembut
Seseorang yang melakukan musywarah,apalagi sebagai pimpinan harus menghindari tutur
kata yang kasar serta sikap keras kepala,karena jika tidak mitra musyawarah akan bertebaran
pergi.
b. Pema’af
Setiap orang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu bersedia memberi maaf.
c. Mohon Ampun Allah SWT
Untuk mencapai hasil yang terbaik ketika musyawarah,hubungan dengan Tuhan pun harus
harmonis.
B. MENEGAKKAN KEADILAN
Istilah keadilan berasal dari kata’ adl(Bahasa Arab),yang mempunyai arti antara lain sama
dan seimbang. Dalam pengertian pertama keadilan dapat diartikan sebagai membagi banyak
atau memberikan hak yang sama. Dalam pengertian kedua,keadilan dapat diartikan dengan
memberikan hak seimbang dengan kewajiban atau memberi seseorang sesuai dengan
kebutuhannya. Di samping menggunakan kata ‘adl Al-Qur’an juga menggunakan kata qishth
dan mizan untuk pengertian yang sama. Misalnya dalam dua ayat berikut ini:((Qs. Al –A’raf
7:29) dan(Qs. Al –Hadid 57:25)
1. Perintah Berlaku Adil
Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang memerintahkan supaya manusia berlaku
adil dan menegakkan keadilan. Perintah itu ada yang bersifat umum dan ada yang khusus
dalam bidang-bidang tertentu. Yang bersifat umum misalnya (Qs. An-Nahl 16:90), dan
yang bersifat khusus (Qs. Al-Hujurat 49:9).
2. Keadilan Hukum
Islam mengajarkan bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama dan sederajat
dalam hukum,tidak ada diskriminasi hukum karena perbedaan kulit.status sosial,ekonomi
politik dan lain sebagainya. Allah menegaskan: (Qs. An-Nisa 4:58).
3. Keadilan Dalam Segala Hal
a. Adil terhadap diri sendiri
(Qs. An-Nisa’ 4:135)
b. Adil terhadap isteri dan anak-anak
(Qs. An-Nisa’ 4:3)
c. Adil dalam mendamaikan perselisihan
(Qs. Al-Hujurat 49:9)
d. Adil dalam berkata
(Qs. Al-An’am 6:152)
e. Adil terhadap musuh sekali pun
(Qs. Al-Maidah 5:8)
C. AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR
Secara harfiah amar ma’ruf nahi munkar(al-Amru bi l-ma’ruf wa ‘n-nahyu ‘an ‘l-
munkar) berarti menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.
Ma’ruf secara etimologis berarti yang dikenal,sebaliknya munkar adalah sesuatu
yang tidak kenal.
1. Perintah dan Kedudukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Amar ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban orang-orang yang beriman,baik
secara individual maupun kolektif. Allah SWT berfirman: (QS. Ali Imran 3 :
104).
2. Nahi Munkar
Dibandingkan dengan amar ma’ruf,nahi munkar lebih berat karena beresiko
tinggi,apalagi bila dilakukan terhadap penguasa yang zalim. Beliau bersabda:
(HR.Abu Daud,Tirmizi dan Ibn Majah)
D. HUBUNGAN PEMIMPIN DAN YANG DIPIMPIN
Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah SWT adalah pemimpin orang-orang yang
beriman: (QS. Al-Baqarah 2:257).
a. Kriteria Pemimpin
1. Beriman kepada Allah SWT
2. Mendirikan Solat
3. Membayar Zakat
4. Selalu Tunduk Patuh Kepada Allah SWT
b. Kepatuhan kepada Pemimpin
Kepemimpinan Allah SWT dan Rasul-Nya adalah kepemimpinan yang mutlak diikuti dan
dipatuhi. Kepatuhan kepadanya tergantung dengan paling kurang dua faktor:
1. Faktor kualitas dan integritas pemimpin itu sendiri.
2. Faktor arah dan corak kepemimpinannya.
Perbedaan kepatuhan itu telah diisyaratkan oleh Allah SWT dalam firmannya: (QS. An-Nisa 4:59)