Anda di halaman 1dari 13

Hakikat Akhlak

17:25 , Diposkan oleh MWC NU Kota Sumenep



OIeh: Ust. SIamet Riadi, S.HI.

Ketika berbicara tentang akhlak, banyak orang hanya menerangkan buah dari
akhlak. Mereka tidak menjelaskan batasan-batasan akhlak serta hakikat akhlak yang
menjadi sumber munculnya bermacam-macam akhlak mulia atau tercela. Seperti
pendapat Al-Hasan bahwa akhlak mulia adalah wajah selalu ceria, suka mengulurkan
tangan (membantu) dan tahan terhadap segala gangguan. Ali r.a mengatakan bahwa
akhlak mulia ada tiga yaitu menjauhi yang haram, mencari yang halal dan dermawan
kepada keluarga. Abu Sa'id al-Kharraz juga berkata bahwa akhlak mulia adalah kita
tidak mempunyai tujuan kecuali hanya kepada Allah. Pendapat semacam ini sering kita
jumpai, tetapi -sekali lagi- mereka tidak menjelaskan hakikat akhlak itu sendiri.
Sedangkan menyingkap hijab hakikat akhlak lebih utama dari pada hanya mengutip
pendapat yang berbeda-beda tentang definisi akhlak.
Akhlak dan makhluk, dua kata yang sering digunakan bersamaan.
Dikatakan,Fulaan hasan al khalq wa al khuluq" artinya "si fulan indah/bagus dohir dan
batinnya. Maksud kata khalq adalah bentuk dohir/jasad dan kata khuluq adalah bentuk
batin/ruhani. Manusia tersusun dari jasad yang dapat ditangkap mata kepala serta ruh
yang hanya dicapai oleh mata hati. Nafsu atau ruh lebih besar kadarnya dari pada
jasad, dengan alasan disandarkannya kata basyar (jasad manusia) pada tanah dan
kata ruh kepada Allah swt dalam firman-Nya, ".Sesungguhnya Aku akan menciptakan
basyar (jasad manusia) dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya
dan Kutiupkan kepadanya ruh-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud
kepadanya." (QS.38:71-72)
Akhlak merupakan ungkapan suatu 'bentuk' di dalam jiwa, yang tertancap kuat
dalam jiwa dan mampu melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa
pemikiran dan pertimbangan. Orang yang memaksakan diri menafkahkan hartanya atas
dasar riya' atau karena ada maksud tertentu (misalnya agar dipilih menjadi bupati
dalam PLBUB) serta orang yang bersusah payah berusaha diam saat marah, tidak
dikatakan orang yang dermawan dan sabar, karena sifat kedermawanan dan kesabaran
belum tertanam kokoh dalam jiwa orang tersebut. Jika 'bentuk' dalam jiwa itu
melahirkan perbuatan terpuji -menurut akal dan syariat- maka dikatakan akhlak terpuji.
Apabila melahirkan perbuatan-perbuatan hina, disebut dengan akhlak tercela.
Keindahan batin (akhlak) ditentukan oleh kesempurnaan empat dasar akhlak, di
antaranya adalah:
Pertama: Kesempurnaan ilmu. lmu dianggap sempurna jika dengan mudah
mampu membedakan antara ucapan jujur atau dusta, antara keyakinan lurus atau
menyimpang, antara perbuatan baik atau buruk. lmu yang sempurna melahirkan
perencanaan dan pemikiran yang baik, pendapat yang bijak, positif thinking,
pemahaman terhadap segala perbuatan walaupun kecil- serta pengenalan pada
semua penyakit nafsu yang samar. Pengamalan ilmu dengan tepat disebut hikmah
sebagai dasar dari semua akhlak terpuji. Allah swt berfirman :".dan barangsiapa
dianugerahi hikmah, maka dia benar-benar telah danugerahi karunia yang
banyak..."(QS.2:269) lmu yang digunakan pada tujuan-tujuan salah akan menimbulkan
pengrusakan, penipuan dan pembodohan terhadap orang lain, inilah yang disebut
dengan kejelekan atau kejahatan. Bila ilmu disia-siakan dinamai kebodohan atau lemah
akal. lmu yang rendah menyebabkan sedikit pengalaman, kebodohan dan bahkan
kegilaan.
Kedua: Kesempurnaan amarah. Kekuatan amarah menjadi sempurna bila
berada dalam kendali hikmah. Amarah yang sempurna disebut syaja'ah atau berani.
Syaja'ah (keberanian) mewujudkan sifat satria, mampu meredam nafsu, tahan, sabar,
kokoh, mampu menahan amarah,. tenang penuh wibawa, penyayang dan lain-lain.
Amarah berlebihan disebut tahawwur atau 'tanpa perhitungan'. Tahawwur
memunculkan sifat angkuh, suka membual, sombong, pemarah, takabbur dan ujub.
Amarah atau keberanian yang kurang menyebabkan diri hina, gelisah, cemas, risau,
rendah diri, minder, berdiam diri dari perbuatan benar yang seharusnya dilakukan.
nilah yang disebut penakut.
Ketiga: Kesempurnaan syahwat atau keinginan. Sama dengan amarah, syahwat
akan sempurna saat ia berada di bawah petunjuk hikmah (akal dan syariat). Syahwat
(keinginan) yang sempurna dinamai 'iffah. Sifat ini melahirkan sifat-sifat baik lainnya
seperti dermawan, malu, sabar, murah hati, toleran, qana'ah, wara', lemah lembut, suka
membantu dan tidak tamak. Bila syahwat berlebih disebut thama' yang akan
menimbulkan sifat rakus, tebal muka, keji, boros dan lain-lain. Syahwat atau keinginan
yang kurang disebut jumud, diam atau statis. Sifat ini penyebab timbulnya sifat lalai,
riya', suka membuka rahasia, mengambil muka, hasud, gembira di atas penderitaan
orang, menghina orang kaya, menyepelekan orang fakir dan lain-lain.
Keempat: 'Adl atau keadilan sebagai pengendali terhadap tiga dasar akhlak di
atas. Dalam sifat adil, tidak ada istilah terlalu adil dan kurang adil. Sifat adil hanya
mempunyai sifat paradoknya yaitu juur yang berarti kelaliman.
Hikmah seperti penasehat pemberi petunjuk, sedangkan pelaksananya adalah
daya keadilan. Amarah berfungsi sebagai senjata, semisal anjing pemburu terdidik yang
bisa dikendalikan. Sedangkan syahwat laksana kuda tunggangan untuk berburu,
terkadang jinak dan terkadang liar.
Seluruh macam akhlak terpuji muncul dari kesempurnaan empat dasar akhlak
ini. Apabila semuanya sempurna pada diri seseorang maka dia mutlak menjadi manusia
berakhlak mulia. Namun jika hanya sempurna sebagian, maka dia baik dalam bagian itu
saja. Tiada seorang pun mampu mencapai kesempurnaan dasar-dasar akhlak ini selain
Rasulullah s.a.w., dan generasi sesudah beliau berbeda-beda kualitas
kesempurnaannya. Semakin dekat pada kesempurnaan maka semakin dekat kepada
Allah dan Rasul-Nya.
Bila dasar-dasar akhlak ini sempurna dalam diri seseorang, dia berhak menjadi
pemimpin yang ditaati, menjadi public figur dalam semua tindakan. Sedangkan orang
yang terlepas dari akhlak ini -bahkan menyandang sifat lawanannya- maka ia berhak
keluar dari negerinya dan menjauh dari kalangan manusia karena dia dekat pada setan
terkutuk. Orang sepertinya pantas dijauhi sebagaimana orang berakhlak mulia patut
didekati dan diikuti. Rasulullah saw. tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan
akhlak-akhlak mulia.
Al-Qur'an telah mengisyaratkan tentang dasar-dasar akhlak tersebut di dalam
sifat-sifat orang mukmin. Allah berfirman,"Sesungguhnya orang-orang yang beriman
hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka
tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah,
mereka itulah orang-orang yang benar."(QS.49:15) man kepada Allah dan Rasul-Nya
tanpa ragu merupakan kesempurnaan keyakinan, kesempurnaan ilmu dan puncak
hikmah. Berjuang dengan harta adalah sifat kedermawanan dan berjuang dengan jiwa
adalah keberanian atau syaja'ah.
Allah juga menyifati para sahabat dengan firman-Nya,".(para sahabat) keras
terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka..."(QS.48:29) Ayat
ini memberikan isyarat bahwa sifat keras dan kasih sayang masing-masing ada
tempatnya. Bukanlah kesempurnaan bila selalu bersikap keras atau selalu menyayangi
terhadap setiap orang dan dalam setiap keadaan.
Agama dan Ahlak
:adimah
Masalah hubungan agama dan akhlak, telah lama menyibukkan para filosof, teolog
dan ilmuan-ilmuan akhlak. Dengan melihat sepintas lalu terhadap tradisi-tradisi sejarah
kehidupan manusia, dapat disaksikan keselarasan, kesesuaian, kesatuan ukuran-
ukuran, keharusan-keharusan, dan norma-norma akhlak dengan perintah-perintah
agama dalam berbagai masyarakat dan bangsa. stilah-istilah akhlak slam, Yahudi,
Masehi, Hindu, dan Budha, merupakan bukti atas apa yang kami ungkapkan di atas.
Oleh sebab itu, terkadang hubungan yang dalam di antara dua fenomena ini (agama
dan akhlak) bisa melalaikan para peneliti dalam memisahkan pemikiran akhlak dari
dimensi-dimensi lain kehidupan agama.
Pembahasan-pembahasan pemikir dan filosof seperti Sokrates dan Plato yang
berdasarkan atas kemandirian dua fenomena agama dan akhlak, teori pemisahan Karl
Marx dan Sigmund Freud, klaim ketidaksesuaian di antara keduanya, dan wacana
antara pengikut mazhab 'adliyyah dan asy'ariyyah tentang kebaikan dan keburukan
akal dan syar'i perbuatan-perbuatan manusia, semuanya mengisahkan bahwa masalah
agama dan akhlak ini mempunyai usia dan sejarah yang amat panjang. Mungkin hal ini
disebabkan karena agama dan akhlak senantiasa menyertai manusia sejak awal
keberadaannya serta dua fenomena ini timbul dari tabiat dan fitrah manusia.
Jika kita meninjau dengan tinjauan eksternal terhadap perbedaan dan pertikaian di
antara pemikir-pemikir dalam masalah hubungan agama dan akhlak, kita akan
mendapatkan bahwa seluruh perbedaan itu berdasarkan pemikiran-pemikiran apriori
secara psikologi, sosiologi, antropologi dan filosofi yang dilakukan oleh mereka dalam
mengafirmasikan atau menegasikan hubungan ini. Problem utama juga yang bisa kita
lihat dalam tulisan-tulisan para pemikir Barat dalam masalah ini, kelompok pemikir ini
terkadang mengabstraksikan agama dan akhlak dengan definisi eksternal dan
mengutarakan kebagaimanaan hubungan di antara dua fenomena tersebut yang pada
akhirnya, dengan penilaian dan penghukumannya melakukan perbandingan antara
akhlak dan agama-agama. Di samping itu, terkadang kata agama yang mereka maksud
adalah agama Masehi, tapi pada posisi pengambilan konklusi mereka
menggeneralisasikan pembahasannya pada seluruh agama-agama.
Dengan memperhatikan uraian di atas, dalam tulisan ini akan diteliti dan
diobservasi pertanyaan-pertanyaan seperti berikut ini: Apa bentuk kesesuaian yang
dapat kita temukan di antara dua fenomena ini? Apakah akhlak mempunyai tujuan yang
sama dengan tujuan agama? Apakah agama yang butuh pada akhlak atau akhlak yang
butuh pada agama? Apakah perintah-perintah akhlak harus didapatkan dari teks-teks
agama dan kitab suci ataukah akal dan nurani secara mandiri dapat menentukan
hakikat-hakikat akhlak? Apakah mungkin akhlak tanpa Tuhan (akhlak sekuler)?
efinisi serta Inti H:-:ngan Agama dan AhIa
Pertama kita harus mendefinisikan agama dan akhlak serta hubungan keduanya,
dan dari hubungan dua realitas tersebut kita akan mengungkapkan bahasan yang lebih
mendalam dan lebih detail tentang masalah ini:
a. Definisi-definisi yang beragam tentang agama telah banyak dipaparkan
dalam berbagai tulisan-tulisan yang ada, dan sudah jelas yang dimakud
agama dalam hal ini adalah hakikat-hakikat yang disampaikan kepada
manusia dari jalan wahyu. Di samping itu untuk memperjelas ruang
lingkup bahasan maka agama yang dimaksud dalam masalah teologi kita
ini adalah agama slam. Oleh karena itu, dalam pembahasan kali ini yang
harus dibandingkan, adalah teks-teks agama slam dengan akhlak
sehingga secara lebih jelas dihasilkan pandangan tentang batasan agama
dalam masalah-masalah akhlak.
b. Apa yang dimaksud dengan akhlak? Kata akhlak, yang bentuk jamaknya
adalah Khulq", dalam bahasa Arab bermakna sifat dan malakah nafsni
(sifat dan malakah jiwa), dimana karena efek kondisi jiwa ini manusia
melakukan pekerjaan tanpa melalui proses berfikir. Makna leksikal ini
meliputi sifat dan perbuatan baik dan juga sifat serta perbuatan buruk.
Oleh karena itu akhlak dibagi atas akhlak baik dan akhlak buruk.
Meskipun dalam peristilahan, akhlak mempunyai makna yang bermacam-
macam, tetapi kita tidak mengarah pada bentuk pembahasan seperti
demikian, karena itu malah akan menjadikan pembahasan kita ini dalam
bentuk pembahasan yang lain.
Akhlak (ethics) merupakan suatu ilmu yang membicarakan sisi-sisi
kehidupan manusia yang paling penting. Semua kita manusia
menghadapi pertanyaan-pertanyaan seperti ini: Apa yang harus kita
kerjakan dan apa yang tidak boleh kita lakukan? Apakah kezaliman
adalah buruk dan Keadilan adalah baik? Apakah orang tidak boleh
berdusta? Pertanyaan-pertanyaan ini yang mempunyai hubungan dengan
prilaku dan perbuatan manusia, pada akhirnya juga menjadi sumber
munculnya pertanyaan-pertanyaan yang baru antara lain: Apa yang
menjadi ukuran baik dan buruk? Apakah proposisi-proposisi akhlak
mempunyai nilai kebenaran? Apakah akhlak mempunyai hubungan
dengan ilmu-ilmu lain seperti seni, tarbiyah, agama dan sebagainya?
Apakah dapat diambil natijah "harus dari wujud-wujud?
Untuk lebih dalamnya pembicaraan yang kita lakukan maka perlu
diungkapakan juga poin-poin yang berhubungan dengan akhlak yang
merupakan fokus dan inti dari permasalahan akhlak:
. esripsi eyainan-eyainan ahIa
Kelompok qadiyah-qadiyah ini yang terhitung bentuk penelitian eksperimen,
deskripsi, sejarah, atau ilmu, telah menjadi bahan aktivitas penelitian yang dilakukan
oleh antropolog, sejarawan, psikolog, dan sosiolog. Tujuan yang ada dalam masalah ini
menjelaskan dan mendeskripsikan fenomena akhlak, proposisi-proposisi akhlak, dan
sistem-sistem akhlak individu atau masyarakat sehingga dapat ditemukan suatu teori
dalam basis tabiat dan fitrah akhlak manusia.[1]
. Proposisi-proposisi ahIa ata: iIm: ahIa
Proposisi-proposisi ini membicarakan tentang permasalahan baik dan buruk akal,
harus dan tidak harus, sifat baik dan buruk, dan sifat mulia serta hina manusia.
Kelompok dari masalah-masalah akhlak yang disebut di atas dikenal dengan akhlak
normatif (Normative Ethics) dan akhlak derajat pertama (First Order Ethics).
Perlu kami sebutkan bahwa terdapat dua bentuk hakikat-hakikat akhlak: pertama,
proposisi-proposisi yang predikatnya terbentuk dari komprehensi-komprehensi seperti
baik dan buruk; dan kedua, proposisi-proposisi yang predikatnya terbangun dari
komprehensi-komprehensi seperti harus dan tidak boleh.
. Tinja:an fiIsafat terhadap proposisi-proposisi ahIa
Pembenaran kaidah-kaidah dan hukum-hukum akhlak serta penjelasan
kegunaan universal nilai-nilai akhlak, atau dengan kata lain keharusan dan kemestian
manusia mengikuti aturan-aturan akhlak, merupakan pusat perhatian seluruh filosof
akhlak sejak dahulu.
Sebagian filosof mengamati kerugian-kerugian kejiwaan dan kemasyarakatan
dari efek perbuatan-perbuatan tidak berkhlak dan prilaku-prilaku yang hipokrit.
Segolongan lain dari filosof mengklaim bahwa untuk menjadikan manusia
berakhlak, tidak boleh sama sekali diungkapkan bentuk dalil yang berdasarkan atas
manfaat perorangan. Keputusan manusia untuk berakhlak, harus berpijak pada
penghargaan terhadap pemikiran akhlak; tanpa membutuhkan pembenaran yang lebih
tinggi dari itu. Menurut pandangan para pemikir ini, seruan tugas dan kewajiban
merupakan sesuatu yang niscaya dan mutlak.
Kelompok ketiga dari filosof mengutarakan pandangan bahwa teori-teori
metafisika dan agama yag beragam, memiliki pengaruh yang sesuai dengan analisa,
penjelasan, dan pembenaran atas keterikatan-keterikatan terhadap kehidupan
berakhlak. Para pemikir ini berargumen bahwa tanpa sebagian dari landasan matafisika
atau agama secara minimal maka usaha berakhlak, adalah tidak bermakna.[2]
Menunjukkan ukuran penilaian universal, dari sisi baik dan buruknya perbuatan
serta pembenaran dan pembelaan filsafat dari ungkapan-ungkapan akhlak manusia,
merupakan inti dan asas lain dari akhlak. Ketika dikatakan ukuran baik dan buruk,
kelezatan, kebahagiaan, dan hati nurani selaras dengan kesempurnaan manusia dan
dimensi kemuliaan manusia, pada dasarnya ukuran yang dibicarakan adalah ukuran
harus dan tidak boleh; dan model pembahasan ini menjadi bahasan ilmu akhlak dan
juga dijelaskan dalam bahasan filsafat akhlak sebagai landasan penegasan ilmu akhlak.
Teori dan pandangan yang berhubungan dengan parameter akhlak normatif, secara
umum dibagi atas dua bagian: teori teleological (Teleological Theories) dan teori
deontologikal (Deontological Theories).
Para pemikir teori teleologikal berpandangan bahwa hukum-hukum akhlak
secara keseluruhan dihasilkan dari efek dan natijah perbuatan. Berasaskan ini mereka
menghukumi baik dan buruk atau harus dan tidak bolehnya amal perbuatan. Natijah-
natijah perbuatan itu, apakah ia keuntungan perbuatan akhlak bagi seorang pelaku,
ataukah kelezatan dan perkara-perkara lainnya. Yang termasuk wakil dan tokoh dari
aliran teori teleologikal ini di antaranya, David Hume dan John Stuart Mill.
Adapun kaum deontologikal berpandangan bahwa benar dan tidak benar atau
harus dan tidak bolehnya amal tidak mengandung natijah, tujuan, dan efek dari pada
perbuatan; akan tetapi mereka berkeyakinan bahwa amal itu sendiri mempunyai
kekhususan-kekhususan yang menunjukkan baik dan buruk atau harus dan tidak
bolehnya amal. Kant dan P. Richard terhitung sebagai tokoh utama dari aliran ini.
. Kenyataan Proposisi-proposisi ahIa
Apakah ungkapan-ungkapan akhlak adalah insyi (perintah) atau ikhbri
(pemberitaan)? Apakah ia menceritakan realitas dan nafsul amr (fact-itself) ataukah
tidak? Dan secara asas, apa nafsul amr dan mahk (yang diberitakan) proposisi-
proposisi akhlak? Kelompok masalah-masalah ini mempunyai tempat bahasan dalam
epistemologi akhlak.
. Pem-ahasan -erh:-:ngan dengan onI:si
Apakah ungkapan-ungkapan akhlak, dihasilkan dari proposisi-proposisi bukan
akhlak dan sebaliknya? Dan masalah apakah qadiyah-qadiyah bukan akhlak dapat
melahirkan ungkapan-ungkapan akhlak, pembahasan ini berhubungan dengan
penetapan "harus dan "tidak boleh dari "ada dan "tidak ada, atau dengan kata lain
dengan proposisi yang berhubungan "ada dan "tidak ada ditetapkan "harus dan "tidak
boleh. Kelompok masalah-masalah ini, berhubungan dengan pembahasan
kemantiqian akhlak.
. H:-:ngan ahIa dengan iIm: dan marifat Iainnya
Kelompok akhir dari masalah-masalah akhlak, pembahasan yang berkenaan
dengan hubungan akhlak dengan hakikat-hakikat lain seperti seni, tarbiyah, hak asasi,
agama, dan lain-lain. Yakni masalah: apakah akhlak individu atau masyarakat
berpengaruh dalam membangun kebudayaan dan peradaban? Apakah "harus dan
"tidak boleh akhlak berhubungan dengan "harus dan "tidak boleh (wajib dan haram)
agama? Apakah agama menambah akhlak atau akhlak dihasilkan dari agama? Dan
masalah-masalah lainnya seperti ini.
Dari masalah-masalah akhlak yang disebutkan di atas, masalah keempat sampai
masalah keenam dikenal dengan akhlak analitik, akhlak intiqdi (akhlak kritik), meta
akhlak, dan akhlak derajat kedua (Second Order Ethics); akhlak analitik ini tidak
memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan akhlak dan hukum-hukum
normatif; akan tetapi seluruh upaya dia dalam medan pertanyaan-pertanyaan logikal,
epistemologi, dan linguistik akhlak.
Komprehensi H:-:ngan AhIa dan Agama
Komprehensi hubungan akhlak dan agama dapat ditafsirkan dalam dua bentuk:
pertama, hubungan kandungan dan proposisi; dengan pengertian bahwa aturan-aturan
akhlak, diistinbatkan dan dihasilkan dengan merujuk pada teks-teks agama, kitab, dan
sunnah. Oleh karena itu, dengan murni tinjauan agama, akhlak tidak akan menjadi
sebagai keseluruhan ungkapan-ungkapan yang mengandung "harus dan "tidak boleh
serta baik dan buruk. Tafsiran kedua adalah hubungan sebagai dasar dan landasan;
yakni aturan-aturan akhlak tidak lahir dari agama, tetapi diperoleh dari sisi fitrah, hati
nurani, akal amali, atau wasilah lain yang bukan teks agama. Kendatipun demikian,
akan tetapi pengaruh agama, secara khusus akidah agama seperti keyakinan terhadap
Tuhan dan hari akhirat, adalah sangat urgen dalam menjamin realisasi aturan-aturan
akhlak. Berdasarkan tafsiran pertama, akhlak adalah bagian atau identik agama,
sedangan tafsiran kedua, akhlak dan agama satu sama lain adalah mandiri, tetapi
agama atau keyakinan agama dianggap sebagai suatu landasan pembenaran
proposisi-proposisi akhlak.
PeneIitian Tentang asaIah H:-:ngan Har:s dan Ada
Orang-orang yang menerima hubungan antara proposisi-proposisi agama dan
akhlak serta juga deduksi akhlak dari agama atau agama dari akhlak, pada hakikatnya
mereka juga menerima deduksi logikal "harus dan "ada atau pengambilan konklusi
"ada dari "harus.
Bartly, menyebutkan enam asumsi bagi hubungan logikal antara agama dan
akhlak serta kemungkinan deduksi dan ketidakmungkinan pengambilan natijah dua
hakikat tersebut:
1. Akhlak menerima deduksi dari agama dan sebaliknya; dalam bentuk ini akhlak dan
agama adalah identik.
2. Akhlak dapat menerima deduksi dari agama, tapi tidak sebaliknya; dalam bentuk ini
akhlak merupakan bagian dari agama, tetapi tidak seluruhnya.
3. Agama dapat menerima pengambilan konklusi dari akhlak, tapi tidak sebaliknya; di
sini agama merupakan bagian dari akhlak. (Dalam tiga asumsi ini, terjadi kesesuaian
agama dan akhlak serta tidak terdapat pertentangan di antara keduanya).
4. Akhlak tidak menerima deduksi dari agama; demikian juga agama tidak menerima
deduksi dari akhlak; akan tetapi keduanya ini satu sama lain sesuai dan saling mandiri;
keduanya tidak identik serta tidak ada yang menjadi bagian dari yang lainnya.
5. Akhlak tidak menerima pengambilan natijah dari agama atau sebaliknya; dan dalam
ukuran tertentu terjadi kesesuaian, tapi tidak secara keseluruhan.
6. Akhlak dan agama secara keseluruhan tidak sesuai dan satu sama lain saling
menolak.[3]
Secara keseluruhan akhlak dan agama, adalah saling mandiri secara sempurna
dan tidak terjadi sama sekali hubungan deduksi, bagian, dan keseluruhan di antara
keduanya atau akhlak dan agama adalah identik keduanya atau akhlak merupakan
bagian agama atau agama adalah bagian akhlak. Dalam bentuk pertama, apakah
agama dan akhlak secara nisbah keduanya memiliki keselarasan ataukah keduanya
secara global mempunyai pertentangan? Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu
kita uraikan terlebih dahulu landasan konsepsi dari pembahasan.
Penerimaan deduksi akhlak dari agama, meniscayakan istinbat "harus dari "ada.
Ketika dikatakan: "Tuhan memandang baik keadilan, maka dari itu keadilan adalah
baik, pada dasarnya telah terjadi pergerakan dari suatu proposisi agama yang
meninjau terhadap realitas dan menjelaskan iradah Tuhan kepada suatu proposisi nilai
dan akhlak; dan ketika dikatakan: "Keadilan adalah baik maka Tuhan menginginkan
keadilan, dalam bentuk ini terjadi perjalanan dari proposisi nilai kepada proposisi
agama yang tinjauannya terhadap realitas. Sekarang jika orang seperti Hume tidak
menerima pergerakan dari "ada kepada "harus dan perjalanan dari "harus kepada
"ada, memestikan terjadinya pertentangan terhadap seluruh deduksi dan pengambilan
natijah ini. Tapi dalam bentuk pandangan dan ungkapan Hume tidak diterima, atau
minimal dipandang bisa terjadi pengambilan natijah proposisi-proposisi nilai dari dua
premis yang tersusun dari proposisi deskripsi dan proposisi nilai maka tidak ada isykal
sama sekali atas deduksi dan pengambilan konklusi tersebut.
Sekarang setelah jelas dua bentuk komprehensi ini, yaitu komprehensi agama dan
akhlak serta hubungan keduanya, perhatian harus diarahkan pada jawaban terhadap
masalah hubungan agama dan akhlak, dimana dalam hal ini penentuan ukuran dan
parameter akhlak akan menjadi sumber jawaban yang berbeda-beda. Dengan makna
bahwa jika akhlak berdasarkan prinsip kelezatan atau prinsip manfaat atau nurani dan
akal amali atau berdasarkan prinsip sosial masyarakat, mungkin akhlak dengan agama
diasumsikan tidak mempunyai hubungan sama sekali atau hubungan keduanya hanya
dalam bentuk landasan; dan jika ukuran proposisi-proposisi akhlak adalah kedekatan
dengan Tuhan, dengan memperhatikan ketiadaan pengetahuan sempurna manusia
terhadap kedekatan dan kedudukan Tuhan maka hubungan antara akhlak dan agama
merupakan hubungan kandungan dan qadiyah.
Teori dan Pandangan Pemiir Barat
Komprehensi dan proposisi akhlak, sebelum renesains di Eropa, menerima
deduksi dari agama; dan ia juga mendapatkan warna dari filsafat Plato dan Aristo. Abad
18, dengan terbitnya zaman pencerahan, pemikiran deisty, makrifat Tuhan tabii serta
ateisme mendapatkan penyebaran, dan akal yang menjadi sumber rujukan dinisbahkan
pada dimensi yang bermacam-macam dalam kemasyarakatan dan akhlak, membuat
medan sempit untuk agama yang pada akhirnya memisahkan akhlak dari agama.
Berikut ini paparan singkat kami terhadap sebagian pandangan pemikir Barat dalam hal
ini:
. Teori ded:si agama dari ahIa
Sokrates dalam suatu dialog memperbincangkan tentang hubungan agama dan
keadilan dan mengungkapkan pandangan deduksi agama dari akhlak dan keberadaan
agama yang partikuler dinisbahkan terhadap akhlak. Sokrates meyakini bahwa keadilan
mempunyai wilayah yang lebih luas dari religius dan religius adalah bagian dari
keadilan.[4] Teori ini menjadi kurang dan tidak sempurna dinisbahkan dengan slam
yang meliputi wilayah luas dari pemikiran akidah, akhlak, dan amal.
. Teori perintah T:han (Divine Command Theory)
Sebagian dari filosof ketuhanan Barat seperti Robert Adams memiliki kesamaan
dengan aliran asy'ariyyah dalam slam, berpandangan bahwa sumber dari proposisi-
proposisi akhlak adalah Tuhan dan wusul pada hakikat-hakikat akhlak dari sisi akal dan
syuhud adalah tidak sempurna. Robert Adams, dalam berhadapan dengan isykal yang
menyatakan bahwa hanya dengan menegasikan kezaliman dari Tuhan kita telah
mengakui prinsip dan kaidah mandiri akhlak dari Tuhan, menjawab bahwa kemestian
seperti ini tidak dharuri; sebab kita tidak hanya beriman pada Tuhan murni; akan tetapi
kita juga meyakini Tuhan yang kasih dan cinta terhadap spesies manusia. Berasaskan
ini maka mustahil keluar kazaliman dari Tuhan.[5] Menurut pandangan kami. Kritik-kritik
yang berkenaan dengan kebaikan dan keburukan yang ditujukan atas Asy'ariyyah, juga
masuk atas teori perintah Tuhan ini.
. Teori emandirian agama dan ahIa
Kant, filosof Jerman abad ke 18, memperkenalkan agama dan akhlak sebagai dua
fenomena yang terpisah dan mandiri. a dengan
pandangannya tentang pengetahuan rasional bagi parameter dan ukuran akhlak,
menegaskan kemandirian tanggung jawab akhlak serta menguatkannya berdasarkan
perintah-perintah akal dan nurani. Namun untuk memberi makna terhadap usaha-usaha
akhlak manusia, ia juga menekankan tentang tuntutan keyakinann kepada Tuhan. Oleh
karena itu, menurut keyakinan Kant, manusia dalam mengetahui tanggung jawab
akhlak tidak butuh kepada agama dan Tuhan, serta untuk mendapatkan motivasi
pengamalan tanggung jawab tidak butuh terhadap agama; bahkan menurut ia akhlak
dengan anugerah akal murni amali, sudah cukup mengetahui tanggung jawabnya dan
tidak butuh pada yang lain sebagai motivasi pengamalan. Manurut pandangan Kant,
akhlak tidak memestikan agama dan manusia untuk mengetahui tanggung jawab
dirinya, tidak butuh kepada konsepsi Tuhan. Penggerak akhir perbuatan akhlak, adalah
tanggung jawab itu sendiri secara dzat, bukan ketaatan pada hukum-hukum Tuhan;
namun pada saat yang sama, akhlak merealisasikan agama. a, sesudah menetapkan
akhlak lewat akal amali, mau tidak mau harus menerima keberadaan ikhtiyar manusia,
keabadian jiwa, dan wujud Tuhan sebagai postulat-postulat akal amali.[6]
Penerimaan kebaikan dan keburukan dzati serta pendekatan filosof slam
berhubungan dengan akhlak, menerima pandangan Kant dalam maqam afirmatif; akan
tetapi tidak menerima pandangan Kant dalam maqam pembuktian, kasyf, wijdni
(nurani), dan aqlni (rasional) manusia berhubungan dengan kebaikan dan keburukan.
. AhIa tanpa Agama
Akhlak sekuler dan akhlak tanpa agama, merupakan motif lain dari pandangan
filosof akhlak Barat yang muncul diakibatkan pertentangan ilmu dan agama Masehi
atau ketidaksesuaian doktrin-doktrin Masehi dengan akhlak. Motif ini bercabang
menjadi dua kelompok: Kelompok yang kendatipun menafikan agama, tetap berusaha
menjaga secara relativ akhlak. Kelompok kedua menerima agama dan akhlak, tetapi
menghukumi kebebasan dan keterpisahan wilayah keduanya. Dalam kitab "Tars wa
Larz, di samping dijelaskan tentang kisah Nabi brahim As dan penyembelihan Nabi
shak As (menurut keyakinan Yahudi), juga kisah ini diperkenalkan sebagai misdak dari
pertentangan agama dengan undang-undang akhlak;[7] penulis lalai bahwa perintah
Tuhan kepada Nabi brahim As, dinisbahkan pada penyembelihan Nabi shak As (versi
slam nabi smail As), bukan perkara nyata, tetapi perkara ujian bagi kedua Nabi Tuhan
tersebut, oleh karena itu tidak ada pertentangan dengan akhlak.
Karl Marx yang memandang agama sebagai penopang lapisan masyarakat borjuis
dan kelompok penguasa, pada akhirnya memperkenalkan agama bertentangan dengan
akhlak dan perjanjian akhlak. Demikian juga Freud dalam kitab "yandeh-e Yek
Pendr, meyakini bahwa agama melemahkan perjanjian akhlak. Pandangan kedua
orang ini juga lahir dari pengetahuan mereka terhadap agama Masehi abad
pertengahan; suatu pandangan yang tidak selaras dengan agama slam murni.[8]
Menurut pandangan kami, di samping lemahnya dalil dan argumen pengikut
pandangan ini, akhlak sekuler juga mempunyai problem yang bermacam-macam, di
antaranya: pertama, akhlak sekuler menjatuhkan manusia pada egoisme dan
individualisme dan pribadi sekuler membenarkan prilaku tidak memandang penting
kebahagiaan orang lain; kedua, jika akhlak tidak mempunyai akar dalam agama, tidak
tersisa lagi cara untuk menyingkap nilai-nilai akhlak, sebab penyaksian dan fitrah
manusia dalam menyingkap prilaku akhlak, terperangkap dengan pertentangan; ketiga,
jaminan perealisasian akhlak dapat terwujud hanya dengan keyakinan dan iman
terhadap Tuhan dan kehidupan akhirat.
Bagian pertama dari tulisan ini kami cukupkan sampai di sini dan selanjutnya
pada bagian kedua akan kami paparkan pandangan pemikir-pemikir slam serta jalan
pemecahan hubungan agama dengan akhlak yang kami pilih.

Anda mungkin juga menyukai