Ketika berbicara tentang akhlak, banyak orang hanya menerangkan buah dari akhlak. Mereka tidak menjelaskan batasan-batasan akhlak serta hakikat akhlak yang menjadi sumber munculnya bermacam-macam akhlak mulia atau tercela. Seperti pendapat Al-Hasan bahwa akhlak mulia adalah wajah selalu ceria, suka mengulurkan tangan (membantu) dan tahan terhadap segala gangguan. Ali r.a mengatakan bahwa akhlak mulia ada tiga yaitu menjauhi yang haram, mencari yang halal dan dermawan kepada keluarga. Abu Sa'id al-Kharraz juga berkata bahwa akhlak mulia adalah kita tidak mempunyai tujuan kecuali hanya kepada Allah. Pendapat semacam ini sering kita jumpai, tetapi -sekali lagi- mereka tidak menjelaskan hakikat akhlak itu sendiri. Sedangkan menyingkap hijab hakikat akhlak lebih utama dari pada hanya mengutip pendapat yang berbeda-beda tentang definisi akhlak. Akhlak dan makhluk, dua kata yang sering digunakan bersamaan. Dikatakan,Fulaan hasan al khalq wa al khuluq" artinya "si fulan indah/bagus dohir dan batinnya. Maksud kata khalq adalah bentuk dohir/jasad dan kata khuluq adalah bentuk batin/ruhani. Manusia tersusun dari jasad yang dapat ditangkap mata kepala serta ruh yang hanya dicapai oleh mata hati. Nafsu atau ruh lebih besar kadarnya dari pada jasad, dengan alasan disandarkannya kata basyar (jasad manusia) pada tanah dan kata ruh kepada Allah swt dalam firman-Nya, ".Sesungguhnya Aku akan menciptakan basyar (jasad manusia) dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya." (QS.38:71-72) Akhlak merupakan ungkapan suatu 'bentuk' di dalam jiwa, yang tertancap kuat dalam jiwa dan mampu melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa pemikiran dan pertimbangan. Orang yang memaksakan diri menafkahkan hartanya atas dasar riya' atau karena ada maksud tertentu (misalnya agar dipilih menjadi bupati dalam PLBUB) serta orang yang bersusah payah berusaha diam saat marah, tidak dikatakan orang yang dermawan dan sabar, karena sifat kedermawanan dan kesabaran belum tertanam kokoh dalam jiwa orang tersebut. Jika 'bentuk' dalam jiwa itu melahirkan perbuatan terpuji -menurut akal dan syariat- maka dikatakan akhlak terpuji. Apabila melahirkan perbuatan-perbuatan hina, disebut dengan akhlak tercela. Keindahan batin (akhlak) ditentukan oleh kesempurnaan empat dasar akhlak, di antaranya adalah: Pertama: Kesempurnaan ilmu. lmu dianggap sempurna jika dengan mudah mampu membedakan antara ucapan jujur atau dusta, antara keyakinan lurus atau menyimpang, antara perbuatan baik atau buruk. lmu yang sempurna melahirkan perencanaan dan pemikiran yang baik, pendapat yang bijak, positif thinking, pemahaman terhadap segala perbuatan walaupun kecil- serta pengenalan pada semua penyakit nafsu yang samar. Pengamalan ilmu dengan tepat disebut hikmah sebagai dasar dari semua akhlak terpuji. Allah swt berfirman :".dan barangsiapa dianugerahi hikmah, maka dia benar-benar telah danugerahi karunia yang banyak..."(QS.2:269) lmu yang digunakan pada tujuan-tujuan salah akan menimbulkan pengrusakan, penipuan dan pembodohan terhadap orang lain, inilah yang disebut dengan kejelekan atau kejahatan. Bila ilmu disia-siakan dinamai kebodohan atau lemah akal. lmu yang rendah menyebabkan sedikit pengalaman, kebodohan dan bahkan kegilaan. Kedua: Kesempurnaan amarah. Kekuatan amarah menjadi sempurna bila berada dalam kendali hikmah. Amarah yang sempurna disebut syaja'ah atau berani. Syaja'ah (keberanian) mewujudkan sifat satria, mampu meredam nafsu, tahan, sabar, kokoh, mampu menahan amarah,. tenang penuh wibawa, penyayang dan lain-lain. Amarah berlebihan disebut tahawwur atau 'tanpa perhitungan'. Tahawwur memunculkan sifat angkuh, suka membual, sombong, pemarah, takabbur dan ujub. Amarah atau keberanian yang kurang menyebabkan diri hina, gelisah, cemas, risau, rendah diri, minder, berdiam diri dari perbuatan benar yang seharusnya dilakukan. nilah yang disebut penakut. Ketiga: Kesempurnaan syahwat atau keinginan. Sama dengan amarah, syahwat akan sempurna saat ia berada di bawah petunjuk hikmah (akal dan syariat). Syahwat (keinginan) yang sempurna dinamai 'iffah. Sifat ini melahirkan sifat-sifat baik lainnya seperti dermawan, malu, sabar, murah hati, toleran, qana'ah, wara', lemah lembut, suka membantu dan tidak tamak. Bila syahwat berlebih disebut thama' yang akan menimbulkan sifat rakus, tebal muka, keji, boros dan lain-lain. Syahwat atau keinginan yang kurang disebut jumud, diam atau statis. Sifat ini penyebab timbulnya sifat lalai, riya', suka membuka rahasia, mengambil muka, hasud, gembira di atas penderitaan orang, menghina orang kaya, menyepelekan orang fakir dan lain-lain. Keempat: 'Adl atau keadilan sebagai pengendali terhadap tiga dasar akhlak di atas. Dalam sifat adil, tidak ada istilah terlalu adil dan kurang adil. Sifat adil hanya mempunyai sifat paradoknya yaitu juur yang berarti kelaliman. Hikmah seperti penasehat pemberi petunjuk, sedangkan pelaksananya adalah daya keadilan. Amarah berfungsi sebagai senjata, semisal anjing pemburu terdidik yang bisa dikendalikan. Sedangkan syahwat laksana kuda tunggangan untuk berburu, terkadang jinak dan terkadang liar. Seluruh macam akhlak terpuji muncul dari kesempurnaan empat dasar akhlak ini. Apabila semuanya sempurna pada diri seseorang maka dia mutlak menjadi manusia berakhlak mulia. Namun jika hanya sempurna sebagian, maka dia baik dalam bagian itu saja. Tiada seorang pun mampu mencapai kesempurnaan dasar-dasar akhlak ini selain Rasulullah s.a.w., dan generasi sesudah beliau berbeda-beda kualitas kesempurnaannya. Semakin dekat pada kesempurnaan maka semakin dekat kepada Allah dan Rasul-Nya. Bila dasar-dasar akhlak ini sempurna dalam diri seseorang, dia berhak menjadi pemimpin yang ditaati, menjadi public figur dalam semua tindakan. Sedangkan orang yang terlepas dari akhlak ini -bahkan menyandang sifat lawanannya- maka ia berhak keluar dari negerinya dan menjauh dari kalangan manusia karena dia dekat pada setan terkutuk. Orang sepertinya pantas dijauhi sebagaimana orang berakhlak mulia patut didekati dan diikuti. Rasulullah saw. tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak-akhlak mulia. Al-Qur'an telah mengisyaratkan tentang dasar-dasar akhlak tersebut di dalam sifat-sifat orang mukmin. Allah berfirman,"Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar."(QS.49:15) man kepada Allah dan Rasul-Nya tanpa ragu merupakan kesempurnaan keyakinan, kesempurnaan ilmu dan puncak hikmah. Berjuang dengan harta adalah sifat kedermawanan dan berjuang dengan jiwa adalah keberanian atau syaja'ah. Allah juga menyifati para sahabat dengan firman-Nya,".(para sahabat) keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka..."(QS.48:29) Ayat ini memberikan isyarat bahwa sifat keras dan kasih sayang masing-masing ada tempatnya. Bukanlah kesempurnaan bila selalu bersikap keras atau selalu menyayangi terhadap setiap orang dan dalam setiap keadaan. Agama dan Ahlak :adimah Masalah hubungan agama dan akhlak, telah lama menyibukkan para filosof, teolog dan ilmuan-ilmuan akhlak. Dengan melihat sepintas lalu terhadap tradisi-tradisi sejarah kehidupan manusia, dapat disaksikan keselarasan, kesesuaian, kesatuan ukuran- ukuran, keharusan-keharusan, dan norma-norma akhlak dengan perintah-perintah agama dalam berbagai masyarakat dan bangsa. stilah-istilah akhlak slam, Yahudi, Masehi, Hindu, dan Budha, merupakan bukti atas apa yang kami ungkapkan di atas. Oleh sebab itu, terkadang hubungan yang dalam di antara dua fenomena ini (agama dan akhlak) bisa melalaikan para peneliti dalam memisahkan pemikiran akhlak dari dimensi-dimensi lain kehidupan agama. Pembahasan-pembahasan pemikir dan filosof seperti Sokrates dan Plato yang berdasarkan atas kemandirian dua fenomena agama dan akhlak, teori pemisahan Karl Marx dan Sigmund Freud, klaim ketidaksesuaian di antara keduanya, dan wacana antara pengikut mazhab 'adliyyah dan asy'ariyyah tentang kebaikan dan keburukan akal dan syar'i perbuatan-perbuatan manusia, semuanya mengisahkan bahwa masalah agama dan akhlak ini mempunyai usia dan sejarah yang amat panjang. Mungkin hal ini disebabkan karena agama dan akhlak senantiasa menyertai manusia sejak awal keberadaannya serta dua fenomena ini timbul dari tabiat dan fitrah manusia. Jika kita meninjau dengan tinjauan eksternal terhadap perbedaan dan pertikaian di antara pemikir-pemikir dalam masalah hubungan agama dan akhlak, kita akan mendapatkan bahwa seluruh perbedaan itu berdasarkan pemikiran-pemikiran apriori secara psikologi, sosiologi, antropologi dan filosofi yang dilakukan oleh mereka dalam mengafirmasikan atau menegasikan hubungan ini. Problem utama juga yang bisa kita lihat dalam tulisan-tulisan para pemikir Barat dalam masalah ini, kelompok pemikir ini terkadang mengabstraksikan agama dan akhlak dengan definisi eksternal dan mengutarakan kebagaimanaan hubungan di antara dua fenomena tersebut yang pada akhirnya, dengan penilaian dan penghukumannya melakukan perbandingan antara akhlak dan agama-agama. Di samping itu, terkadang kata agama yang mereka maksud adalah agama Masehi, tapi pada posisi pengambilan konklusi mereka menggeneralisasikan pembahasannya pada seluruh agama-agama. Dengan memperhatikan uraian di atas, dalam tulisan ini akan diteliti dan diobservasi pertanyaan-pertanyaan seperti berikut ini: Apa bentuk kesesuaian yang dapat kita temukan di antara dua fenomena ini? Apakah akhlak mempunyai tujuan yang sama dengan tujuan agama? Apakah agama yang butuh pada akhlak atau akhlak yang butuh pada agama? Apakah perintah-perintah akhlak harus didapatkan dari teks-teks agama dan kitab suci ataukah akal dan nurani secara mandiri dapat menentukan hakikat-hakikat akhlak? Apakah mungkin akhlak tanpa Tuhan (akhlak sekuler)? efinisi serta Inti H:-:ngan Agama dan AhIa Pertama kita harus mendefinisikan agama dan akhlak serta hubungan keduanya, dan dari hubungan dua realitas tersebut kita akan mengungkapkan bahasan yang lebih mendalam dan lebih detail tentang masalah ini: a. Definisi-definisi yang beragam tentang agama telah banyak dipaparkan dalam berbagai tulisan-tulisan yang ada, dan sudah jelas yang dimakud agama dalam hal ini adalah hakikat-hakikat yang disampaikan kepada manusia dari jalan wahyu. Di samping itu untuk memperjelas ruang lingkup bahasan maka agama yang dimaksud dalam masalah teologi kita ini adalah agama slam. Oleh karena itu, dalam pembahasan kali ini yang harus dibandingkan, adalah teks-teks agama slam dengan akhlak sehingga secara lebih jelas dihasilkan pandangan tentang batasan agama dalam masalah-masalah akhlak. b. Apa yang dimaksud dengan akhlak? Kata akhlak, yang bentuk jamaknya adalah Khulq", dalam bahasa Arab bermakna sifat dan malakah nafsni (sifat dan malakah jiwa), dimana karena efek kondisi jiwa ini manusia melakukan pekerjaan tanpa melalui proses berfikir. Makna leksikal ini meliputi sifat dan perbuatan baik dan juga sifat serta perbuatan buruk. Oleh karena itu akhlak dibagi atas akhlak baik dan akhlak buruk. Meskipun dalam peristilahan, akhlak mempunyai makna yang bermacam- macam, tetapi kita tidak mengarah pada bentuk pembahasan seperti demikian, karena itu malah akan menjadikan pembahasan kita ini dalam bentuk pembahasan yang lain. Akhlak (ethics) merupakan suatu ilmu yang membicarakan sisi-sisi kehidupan manusia yang paling penting. Semua kita manusia menghadapi pertanyaan-pertanyaan seperti ini: Apa yang harus kita kerjakan dan apa yang tidak boleh kita lakukan? Apakah kezaliman adalah buruk dan Keadilan adalah baik? Apakah orang tidak boleh berdusta? Pertanyaan-pertanyaan ini yang mempunyai hubungan dengan prilaku dan perbuatan manusia, pada akhirnya juga menjadi sumber munculnya pertanyaan-pertanyaan yang baru antara lain: Apa yang menjadi ukuran baik dan buruk? Apakah proposisi-proposisi akhlak mempunyai nilai kebenaran? Apakah akhlak mempunyai hubungan dengan ilmu-ilmu lain seperti seni, tarbiyah, agama dan sebagainya? Apakah dapat diambil natijah "harus dari wujud-wujud? Untuk lebih dalamnya pembicaraan yang kita lakukan maka perlu diungkapakan juga poin-poin yang berhubungan dengan akhlak yang merupakan fokus dan inti dari permasalahan akhlak: . esripsi eyainan-eyainan ahIa Kelompok qadiyah-qadiyah ini yang terhitung bentuk penelitian eksperimen, deskripsi, sejarah, atau ilmu, telah menjadi bahan aktivitas penelitian yang dilakukan oleh antropolog, sejarawan, psikolog, dan sosiolog. Tujuan yang ada dalam masalah ini menjelaskan dan mendeskripsikan fenomena akhlak, proposisi-proposisi akhlak, dan sistem-sistem akhlak individu atau masyarakat sehingga dapat ditemukan suatu teori dalam basis tabiat dan fitrah akhlak manusia.[1] . Proposisi-proposisi ahIa ata: iIm: ahIa Proposisi-proposisi ini membicarakan tentang permasalahan baik dan buruk akal, harus dan tidak harus, sifat baik dan buruk, dan sifat mulia serta hina manusia. Kelompok dari masalah-masalah akhlak yang disebut di atas dikenal dengan akhlak normatif (Normative Ethics) dan akhlak derajat pertama (First Order Ethics). Perlu kami sebutkan bahwa terdapat dua bentuk hakikat-hakikat akhlak: pertama, proposisi-proposisi yang predikatnya terbentuk dari komprehensi-komprehensi seperti baik dan buruk; dan kedua, proposisi-proposisi yang predikatnya terbangun dari komprehensi-komprehensi seperti harus dan tidak boleh. . Tinja:an fiIsafat terhadap proposisi-proposisi ahIa Pembenaran kaidah-kaidah dan hukum-hukum akhlak serta penjelasan kegunaan universal nilai-nilai akhlak, atau dengan kata lain keharusan dan kemestian manusia mengikuti aturan-aturan akhlak, merupakan pusat perhatian seluruh filosof akhlak sejak dahulu. Sebagian filosof mengamati kerugian-kerugian kejiwaan dan kemasyarakatan dari efek perbuatan-perbuatan tidak berkhlak dan prilaku-prilaku yang hipokrit. Segolongan lain dari filosof mengklaim bahwa untuk menjadikan manusia berakhlak, tidak boleh sama sekali diungkapkan bentuk dalil yang berdasarkan atas manfaat perorangan. Keputusan manusia untuk berakhlak, harus berpijak pada penghargaan terhadap pemikiran akhlak; tanpa membutuhkan pembenaran yang lebih tinggi dari itu. Menurut pandangan para pemikir ini, seruan tugas dan kewajiban merupakan sesuatu yang niscaya dan mutlak. Kelompok ketiga dari filosof mengutarakan pandangan bahwa teori-teori metafisika dan agama yag beragam, memiliki pengaruh yang sesuai dengan analisa, penjelasan, dan pembenaran atas keterikatan-keterikatan terhadap kehidupan berakhlak. Para pemikir ini berargumen bahwa tanpa sebagian dari landasan matafisika atau agama secara minimal maka usaha berakhlak, adalah tidak bermakna.[2] Menunjukkan ukuran penilaian universal, dari sisi baik dan buruknya perbuatan serta pembenaran dan pembelaan filsafat dari ungkapan-ungkapan akhlak manusia, merupakan inti dan asas lain dari akhlak. Ketika dikatakan ukuran baik dan buruk, kelezatan, kebahagiaan, dan hati nurani selaras dengan kesempurnaan manusia dan dimensi kemuliaan manusia, pada dasarnya ukuran yang dibicarakan adalah ukuran harus dan tidak boleh; dan model pembahasan ini menjadi bahasan ilmu akhlak dan juga dijelaskan dalam bahasan filsafat akhlak sebagai landasan penegasan ilmu akhlak. Teori dan pandangan yang berhubungan dengan parameter akhlak normatif, secara umum dibagi atas dua bagian: teori teleological (Teleological Theories) dan teori deontologikal (Deontological Theories). Para pemikir teori teleologikal berpandangan bahwa hukum-hukum akhlak secara keseluruhan dihasilkan dari efek dan natijah perbuatan. Berasaskan ini mereka menghukumi baik dan buruk atau harus dan tidak bolehnya amal perbuatan. Natijah- natijah perbuatan itu, apakah ia keuntungan perbuatan akhlak bagi seorang pelaku, ataukah kelezatan dan perkara-perkara lainnya. Yang termasuk wakil dan tokoh dari aliran teori teleologikal ini di antaranya, David Hume dan John Stuart Mill. Adapun kaum deontologikal berpandangan bahwa benar dan tidak benar atau harus dan tidak bolehnya amal tidak mengandung natijah, tujuan, dan efek dari pada perbuatan; akan tetapi mereka berkeyakinan bahwa amal itu sendiri mempunyai kekhususan-kekhususan yang menunjukkan baik dan buruk atau harus dan tidak bolehnya amal. Kant dan P. Richard terhitung sebagai tokoh utama dari aliran ini. . Kenyataan Proposisi-proposisi ahIa Apakah ungkapan-ungkapan akhlak adalah insyi (perintah) atau ikhbri (pemberitaan)? Apakah ia menceritakan realitas dan nafsul amr (fact-itself) ataukah tidak? Dan secara asas, apa nafsul amr dan mahk (yang diberitakan) proposisi- proposisi akhlak? Kelompok masalah-masalah ini mempunyai tempat bahasan dalam epistemologi akhlak. . Pem-ahasan -erh:-:ngan dengan onI:si Apakah ungkapan-ungkapan akhlak, dihasilkan dari proposisi-proposisi bukan akhlak dan sebaliknya? Dan masalah apakah qadiyah-qadiyah bukan akhlak dapat melahirkan ungkapan-ungkapan akhlak, pembahasan ini berhubungan dengan penetapan "harus dan "tidak boleh dari "ada dan "tidak ada, atau dengan kata lain dengan proposisi yang berhubungan "ada dan "tidak ada ditetapkan "harus dan "tidak boleh. Kelompok masalah-masalah ini, berhubungan dengan pembahasan kemantiqian akhlak. . H:-:ngan ahIa dengan iIm: dan marifat Iainnya Kelompok akhir dari masalah-masalah akhlak, pembahasan yang berkenaan dengan hubungan akhlak dengan hakikat-hakikat lain seperti seni, tarbiyah, hak asasi, agama, dan lain-lain. Yakni masalah: apakah akhlak individu atau masyarakat berpengaruh dalam membangun kebudayaan dan peradaban? Apakah "harus dan "tidak boleh akhlak berhubungan dengan "harus dan "tidak boleh (wajib dan haram) agama? Apakah agama menambah akhlak atau akhlak dihasilkan dari agama? Dan masalah-masalah lainnya seperti ini. Dari masalah-masalah akhlak yang disebutkan di atas, masalah keempat sampai masalah keenam dikenal dengan akhlak analitik, akhlak intiqdi (akhlak kritik), meta akhlak, dan akhlak derajat kedua (Second Order Ethics); akhlak analitik ini tidak memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan akhlak dan hukum-hukum normatif; akan tetapi seluruh upaya dia dalam medan pertanyaan-pertanyaan logikal, epistemologi, dan linguistik akhlak. Komprehensi H:-:ngan AhIa dan Agama Komprehensi hubungan akhlak dan agama dapat ditafsirkan dalam dua bentuk: pertama, hubungan kandungan dan proposisi; dengan pengertian bahwa aturan-aturan akhlak, diistinbatkan dan dihasilkan dengan merujuk pada teks-teks agama, kitab, dan sunnah. Oleh karena itu, dengan murni tinjauan agama, akhlak tidak akan menjadi sebagai keseluruhan ungkapan-ungkapan yang mengandung "harus dan "tidak boleh serta baik dan buruk. Tafsiran kedua adalah hubungan sebagai dasar dan landasan; yakni aturan-aturan akhlak tidak lahir dari agama, tetapi diperoleh dari sisi fitrah, hati nurani, akal amali, atau wasilah lain yang bukan teks agama. Kendatipun demikian, akan tetapi pengaruh agama, secara khusus akidah agama seperti keyakinan terhadap Tuhan dan hari akhirat, adalah sangat urgen dalam menjamin realisasi aturan-aturan akhlak. Berdasarkan tafsiran pertama, akhlak adalah bagian atau identik agama, sedangan tafsiran kedua, akhlak dan agama satu sama lain adalah mandiri, tetapi agama atau keyakinan agama dianggap sebagai suatu landasan pembenaran proposisi-proposisi akhlak. PeneIitian Tentang asaIah H:-:ngan Har:s dan Ada Orang-orang yang menerima hubungan antara proposisi-proposisi agama dan akhlak serta juga deduksi akhlak dari agama atau agama dari akhlak, pada hakikatnya mereka juga menerima deduksi logikal "harus dan "ada atau pengambilan konklusi "ada dari "harus. Bartly, menyebutkan enam asumsi bagi hubungan logikal antara agama dan akhlak serta kemungkinan deduksi dan ketidakmungkinan pengambilan natijah dua hakikat tersebut: 1. Akhlak menerima deduksi dari agama dan sebaliknya; dalam bentuk ini akhlak dan agama adalah identik. 2. Akhlak dapat menerima deduksi dari agama, tapi tidak sebaliknya; dalam bentuk ini akhlak merupakan bagian dari agama, tetapi tidak seluruhnya. 3. Agama dapat menerima pengambilan konklusi dari akhlak, tapi tidak sebaliknya; di sini agama merupakan bagian dari akhlak. (Dalam tiga asumsi ini, terjadi kesesuaian agama dan akhlak serta tidak terdapat pertentangan di antara keduanya). 4. Akhlak tidak menerima deduksi dari agama; demikian juga agama tidak menerima deduksi dari akhlak; akan tetapi keduanya ini satu sama lain sesuai dan saling mandiri; keduanya tidak identik serta tidak ada yang menjadi bagian dari yang lainnya. 5. Akhlak tidak menerima pengambilan natijah dari agama atau sebaliknya; dan dalam ukuran tertentu terjadi kesesuaian, tapi tidak secara keseluruhan. 6. Akhlak dan agama secara keseluruhan tidak sesuai dan satu sama lain saling menolak.[3] Secara keseluruhan akhlak dan agama, adalah saling mandiri secara sempurna dan tidak terjadi sama sekali hubungan deduksi, bagian, dan keseluruhan di antara keduanya atau akhlak dan agama adalah identik keduanya atau akhlak merupakan bagian agama atau agama adalah bagian akhlak. Dalam bentuk pertama, apakah agama dan akhlak secara nisbah keduanya memiliki keselarasan ataukah keduanya secara global mempunyai pertentangan? Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu kita uraikan terlebih dahulu landasan konsepsi dari pembahasan. Penerimaan deduksi akhlak dari agama, meniscayakan istinbat "harus dari "ada. Ketika dikatakan: "Tuhan memandang baik keadilan, maka dari itu keadilan adalah baik, pada dasarnya telah terjadi pergerakan dari suatu proposisi agama yang meninjau terhadap realitas dan menjelaskan iradah Tuhan kepada suatu proposisi nilai dan akhlak; dan ketika dikatakan: "Keadilan adalah baik maka Tuhan menginginkan keadilan, dalam bentuk ini terjadi perjalanan dari proposisi nilai kepada proposisi agama yang tinjauannya terhadap realitas. Sekarang jika orang seperti Hume tidak menerima pergerakan dari "ada kepada "harus dan perjalanan dari "harus kepada "ada, memestikan terjadinya pertentangan terhadap seluruh deduksi dan pengambilan natijah ini. Tapi dalam bentuk pandangan dan ungkapan Hume tidak diterima, atau minimal dipandang bisa terjadi pengambilan natijah proposisi-proposisi nilai dari dua premis yang tersusun dari proposisi deskripsi dan proposisi nilai maka tidak ada isykal sama sekali atas deduksi dan pengambilan konklusi tersebut. Sekarang setelah jelas dua bentuk komprehensi ini, yaitu komprehensi agama dan akhlak serta hubungan keduanya, perhatian harus diarahkan pada jawaban terhadap masalah hubungan agama dan akhlak, dimana dalam hal ini penentuan ukuran dan parameter akhlak akan menjadi sumber jawaban yang berbeda-beda. Dengan makna bahwa jika akhlak berdasarkan prinsip kelezatan atau prinsip manfaat atau nurani dan akal amali atau berdasarkan prinsip sosial masyarakat, mungkin akhlak dengan agama diasumsikan tidak mempunyai hubungan sama sekali atau hubungan keduanya hanya dalam bentuk landasan; dan jika ukuran proposisi-proposisi akhlak adalah kedekatan dengan Tuhan, dengan memperhatikan ketiadaan pengetahuan sempurna manusia terhadap kedekatan dan kedudukan Tuhan maka hubungan antara akhlak dan agama merupakan hubungan kandungan dan qadiyah. Teori dan Pandangan Pemiir Barat Komprehensi dan proposisi akhlak, sebelum renesains di Eropa, menerima deduksi dari agama; dan ia juga mendapatkan warna dari filsafat Plato dan Aristo. Abad 18, dengan terbitnya zaman pencerahan, pemikiran deisty, makrifat Tuhan tabii serta ateisme mendapatkan penyebaran, dan akal yang menjadi sumber rujukan dinisbahkan pada dimensi yang bermacam-macam dalam kemasyarakatan dan akhlak, membuat medan sempit untuk agama yang pada akhirnya memisahkan akhlak dari agama. Berikut ini paparan singkat kami terhadap sebagian pandangan pemikir Barat dalam hal ini: . Teori ded:si agama dari ahIa Sokrates dalam suatu dialog memperbincangkan tentang hubungan agama dan keadilan dan mengungkapkan pandangan deduksi agama dari akhlak dan keberadaan agama yang partikuler dinisbahkan terhadap akhlak. Sokrates meyakini bahwa keadilan mempunyai wilayah yang lebih luas dari religius dan religius adalah bagian dari keadilan.[4] Teori ini menjadi kurang dan tidak sempurna dinisbahkan dengan slam yang meliputi wilayah luas dari pemikiran akidah, akhlak, dan amal. . Teori perintah T:han (Divine Command Theory) Sebagian dari filosof ketuhanan Barat seperti Robert Adams memiliki kesamaan dengan aliran asy'ariyyah dalam slam, berpandangan bahwa sumber dari proposisi- proposisi akhlak adalah Tuhan dan wusul pada hakikat-hakikat akhlak dari sisi akal dan syuhud adalah tidak sempurna. Robert Adams, dalam berhadapan dengan isykal yang menyatakan bahwa hanya dengan menegasikan kezaliman dari Tuhan kita telah mengakui prinsip dan kaidah mandiri akhlak dari Tuhan, menjawab bahwa kemestian seperti ini tidak dharuri; sebab kita tidak hanya beriman pada Tuhan murni; akan tetapi kita juga meyakini Tuhan yang kasih dan cinta terhadap spesies manusia. Berasaskan ini maka mustahil keluar kazaliman dari Tuhan.[5] Menurut pandangan kami. Kritik-kritik yang berkenaan dengan kebaikan dan keburukan yang ditujukan atas Asy'ariyyah, juga masuk atas teori perintah Tuhan ini. . Teori emandirian agama dan ahIa Kant, filosof Jerman abad ke 18, memperkenalkan agama dan akhlak sebagai dua fenomena yang terpisah dan mandiri. a dengan pandangannya tentang pengetahuan rasional bagi parameter dan ukuran akhlak, menegaskan kemandirian tanggung jawab akhlak serta menguatkannya berdasarkan perintah-perintah akal dan nurani. Namun untuk memberi makna terhadap usaha-usaha akhlak manusia, ia juga menekankan tentang tuntutan keyakinann kepada Tuhan. Oleh karena itu, menurut keyakinan Kant, manusia dalam mengetahui tanggung jawab akhlak tidak butuh kepada agama dan Tuhan, serta untuk mendapatkan motivasi pengamalan tanggung jawab tidak butuh terhadap agama; bahkan menurut ia akhlak dengan anugerah akal murni amali, sudah cukup mengetahui tanggung jawabnya dan tidak butuh pada yang lain sebagai motivasi pengamalan. Manurut pandangan Kant, akhlak tidak memestikan agama dan manusia untuk mengetahui tanggung jawab dirinya, tidak butuh kepada konsepsi Tuhan. Penggerak akhir perbuatan akhlak, adalah tanggung jawab itu sendiri secara dzat, bukan ketaatan pada hukum-hukum Tuhan; namun pada saat yang sama, akhlak merealisasikan agama. a, sesudah menetapkan akhlak lewat akal amali, mau tidak mau harus menerima keberadaan ikhtiyar manusia, keabadian jiwa, dan wujud Tuhan sebagai postulat-postulat akal amali.[6] Penerimaan kebaikan dan keburukan dzati serta pendekatan filosof slam berhubungan dengan akhlak, menerima pandangan Kant dalam maqam afirmatif; akan tetapi tidak menerima pandangan Kant dalam maqam pembuktian, kasyf, wijdni (nurani), dan aqlni (rasional) manusia berhubungan dengan kebaikan dan keburukan. . AhIa tanpa Agama Akhlak sekuler dan akhlak tanpa agama, merupakan motif lain dari pandangan filosof akhlak Barat yang muncul diakibatkan pertentangan ilmu dan agama Masehi atau ketidaksesuaian doktrin-doktrin Masehi dengan akhlak. Motif ini bercabang menjadi dua kelompok: Kelompok yang kendatipun menafikan agama, tetap berusaha menjaga secara relativ akhlak. Kelompok kedua menerima agama dan akhlak, tetapi menghukumi kebebasan dan keterpisahan wilayah keduanya. Dalam kitab "Tars wa Larz, di samping dijelaskan tentang kisah Nabi brahim As dan penyembelihan Nabi shak As (menurut keyakinan Yahudi), juga kisah ini diperkenalkan sebagai misdak dari pertentangan agama dengan undang-undang akhlak;[7] penulis lalai bahwa perintah Tuhan kepada Nabi brahim As, dinisbahkan pada penyembelihan Nabi shak As (versi slam nabi smail As), bukan perkara nyata, tetapi perkara ujian bagi kedua Nabi Tuhan tersebut, oleh karena itu tidak ada pertentangan dengan akhlak. Karl Marx yang memandang agama sebagai penopang lapisan masyarakat borjuis dan kelompok penguasa, pada akhirnya memperkenalkan agama bertentangan dengan akhlak dan perjanjian akhlak. Demikian juga Freud dalam kitab "yandeh-e Yek Pendr, meyakini bahwa agama melemahkan perjanjian akhlak. Pandangan kedua orang ini juga lahir dari pengetahuan mereka terhadap agama Masehi abad pertengahan; suatu pandangan yang tidak selaras dengan agama slam murni.[8] Menurut pandangan kami, di samping lemahnya dalil dan argumen pengikut pandangan ini, akhlak sekuler juga mempunyai problem yang bermacam-macam, di antaranya: pertama, akhlak sekuler menjatuhkan manusia pada egoisme dan individualisme dan pribadi sekuler membenarkan prilaku tidak memandang penting kebahagiaan orang lain; kedua, jika akhlak tidak mempunyai akar dalam agama, tidak tersisa lagi cara untuk menyingkap nilai-nilai akhlak, sebab penyaksian dan fitrah manusia dalam menyingkap prilaku akhlak, terperangkap dengan pertentangan; ketiga, jaminan perealisasian akhlak dapat terwujud hanya dengan keyakinan dan iman terhadap Tuhan dan kehidupan akhirat. Bagian pertama dari tulisan ini kami cukupkan sampai di sini dan selanjutnya pada bagian kedua akan kami paparkan pandangan pemikir-pemikir slam serta jalan pemecahan hubungan agama dengan akhlak yang kami pilih.