Anda di halaman 1dari 7

KEISTIMEWAAN AQIDAH ISLAM

(AQIDAH AHLI SUNNAH WAL JAMA’AH)

 Oleh : Fadhilatus Syaikh Muhammad Ibrahim al-Hamd

1. Membuat Hati Penuh Dengan Tawakkal kepada Allah

  Aqidah Islam memerintahkan kepada setiap manusia agar hatinya selalu


diliputi cahaya tawakkal kepada Allah.

 Tawakkal, menurut istilah syara’ berarti menghadapkan hati kepada Allah


sewaktu bekerja seraya memohon bantuan kepada-Nya dan bersandar hanya
kepada-Nya. Itulah esensi dan hakikat tawakkal.

 Tawakkal terwujud dengan melaksanakan sebab-sebab (usaha) yang


diperintahkan. Barangsiapa mengabaikannya, maka tawakkalnya tidak sah. Jadi,
tawakkal tidak mengajak kepada pengangguran atau mengurangi pekerjaan.

 Bahkan, tawakkal memiliki pengaruh yang besar dalam memacu semangat orang-
orang besar untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan besar yang semula mereka
kira kemampuan mereka dan sarana-sarana pendukung yang ada tidak mampu
menggapainya. Karena tawakkal merupakan suatu sarana yang paling kuat dalam
menggapai apa yang diinginkan dan menolak apa yang tidak diinginkan. Bahkan,
secara mutlak, tawakkal adalah sarana yang paling efektif untuk tujuan itu.
Karena, bersandarnya hati kepada kekuasaan, kemurahan, dan kelembutan Allah
akan mengikis habis kuman-kuman frustasi dan bibit-bibit kemalasan, lalu
mengencangkan punggung harapan dengan bisa menjadi bekal bagi setiap orang
untuk menerobos ombak samudera yang dalam dan menantang binatang buas yang
ganas di dalam habitatnya. Tawakkal yang paling agung adalah tawakkal kepada
Allah dalam mencari hidayah (petunjuk), memurnikan tauhid, mengikuti Rasulullah
, memerangi Ahli kebatilan, dan menggapai apa yang dicintai dan diridhai oleh
Allah, seperti iman, yakin, ilmu, dan dakwah. Ini adalah tawakkal para Rasul dan,
para pengikutnya yang utama. Tekad yang kuat dan benar yang dibarengi dengan
tawakkal kepada Allah Penguasa segala sesuatu pastilah akan berakhir dengan
kebenaran dan keberuntungan.

2. Mengantarkan kepada Kejayaan dan Kemuliaan

  Aqidah yang benar akan mengantarkan penganutnya kepada kejayaan dan


kemuliaan, serta keberanian secara lisan maupun perbuatan. Jika seseorang
merasa yakin bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Memberi Manfaat, Maha
Mendatangkan bahaya, Maha Memberi dan Maha Menahan, bahwa orang yang

Makalah Aqidah 1
merasa mulia dengan-Nya adalah orang yang mulia, sedangkan orang yang
berlindung kepada selain Dia adalah orang yang hina, dan bahwa semua makhluk
butuh kepada Allah, sedangkan mereka tidak bisa memberi manfaat ataupun
mendatangkan bahaya, maka hal itu akan memberinya kekuatan dengan izin Allah.
Membuatnya senantiasa berlindung kepada-Nya, tidak takut kepada selain-Nya,
dan tidak berharap melainkan dari kemurahan-Nya. Apabila seseorang menyadari
bahwa apa yang ditakdirkan mengenainya tidaklah akan meleset darinya, dan apa
yang meleset ditakdirkan darinya tidaklah akan mengenainya, maka jiwanya akan
tenang. Hatinya akan tenteram dan berserah diri kepada Allah dalam segala hal.
Jika seseorang berserah diri kepada Allah, maka ia akan mendapatkan keamanan,
dan rasa takut kepada makhluk akan hilang dari hatinya. Karena ia telah
meletakkan jiwanya di dalam brankas yang kuat dan menyembunyikannya di dalam
sudut yang kokoh, sehingga tidak bisa dijamah oleh tangan-tangan musuh yang
jahil dan usil. Dengan demikian, ia terbebas dari perbudakan sesama makhluk. Ia
tidak menggantungkan hatinya kepada makhluk manapun dalam upaya
mendatangkan keuntungan dan menolak bahaya, melainkan hanya Allah sajalah
yang menjadi pelindung dan penolong baginya. Ia meminta pertolongan dan
bantuan kepada-Nya, sehingga ia mendapatkan kecukupan dari Tuhan dan
kemudahan dalam segala urusan yang tidak didapatkan oleh orang yang tidak
memiliki aqidah ini. Ia juga mendapatkan kekuatan hati yang tidak bisa digapai
oleh orang yang tidak mencapai derajatnya.

3.Tidak Bertentangan dengan Ilmu Pengetahuan yang Benar

  Aqidah Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan yang benar.


Melainkan mendukung, menganjurkan, dan menyerukannya kepada manusia.
Karena ilmu pengetahuan yang bermanfaat yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan
As-Sunnah -adalah semua ilmu pengetahuan yang menngantarkan kepada tujuan-
tujuan luhur dan membuahkan buah-buah yang bermanfaat, baik dalam konteks
dunia maupun Akhirat. Jadi segala sesuatu yang bisa menyucikan perbuatan,
meningkatkan akhlak (moralitas), dan menunjukkan kepada jalan yang benar-
adalah ilmu yang bermanfaat.

Syariat Islam yang sempurna dan universal telah memerintahkan untuk


mempelajari semua ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Seperti: Ilmu Tauhid dan
Ushuluddin, Ilmu Fiqih dan Hukum, Ilmu-Ilmu Bahasa Arab, Ilmu Ekonomi, Ilmu
Politik, Ilmu Perang, Ilmu Perindustrian, Ilmu Kedokteran, dan ilmu-ilmu lainnya
yang berguna bagi individu maupun masyarakat.

  Jadi, ilmu apa saja yang bermanfaat –baik dalam bidang agama maupun
dunia- diperintahkan, dianjurkan, dan didorong oleh syariat (Islam) untuk
dipelajari. Sehingga di dalamnya tergabung ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu alam,

Makalah Aqidah 2
ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu dunia. Bahkan syariat (Islam) menjadikan ilmu
dunia yang bermanfaat sebagai bagian dari ilmu agama.

  Oleh karena itu, tidak mungkin terjadi kontradiksi antara fakta-fakta


ilmiah yang benar dengan teks-teks syar’i (Al-Qur’an dan As-Sunnah) yang benar
dan terang.

Apabila realitas menunjukkan sesuatu yang secara lahiriah terjadi


kontradiksi, maka boleh jadi realitas itu hanyalah klaim yang tidak memiliki
fakta, atau nash yang dimaksud tidak secara eksplisit menunjukkan kontradiksi.
Karena, nash yang eksplisit (sharih) dan fakta ilmiah adalah dua hal yang sama-
sama qath’iy (pasti), sehingga tidak mungkin terjadi kontradiksi antara dua hal
yang sama-sama qath’iy.

Begitulah adanya. Dalam hal ini sebagian orang dari kalangan Ahli ghuluw (orang-
orang ekstrem) dan Ahli materi (kaum materialis) telah keliru. Orang-orang
ekstrem membatasi diri dengan sebagian ilmu agama hingga sedemikian rupa.

Makalah Aqidah 3
Keterkaitan Aqidah :

Akhlak Islam Cerminan Aqidah Islam


ISLAM MENGUTAMAKAN AKHLAK

Mungkin banyak diantara kita kurang memperhatikan masalah akhlak. Di


satu sisi kita mengutamakan tauhid yang memang merupakan perkara pokok/inti
agama ini, berupaya menelaah dan mempelajarinya, namun disisi lain dalam
masalah akhlak kurang diperhatikan. Sehingga tidak dapat disalahkan bila ada
keluhan-keluhan yang terlontar dari kalangan awwam, seperti ucapan : “Wah udah
ngerti agama kok kurang ajar sama orang tua.” Atau ucapan : “Dia sih agamanya
bagus tapi sama tetangga tidak pedulian.”, dan lain-lain.

Seharusnya ucapan-ucapan seperti ini ataupun yang semisal dengan ini


menjadi cambuk bagi kita untuk mengoreksi diri dan membenahi akhlak. Islam
bukanlah agama yang mengabaikan akhlak, bahkan islam mementingkan akhlak.
Yang perlu diingat bahwa tauhid sebagai sisi pokok/inti islam yang memang
seharusnya kita utamakan, namun tidak berarti mengabaikan perkara
penyempurnaannya. Dan akhlak mempunyai hubungan yang erat. Tauhid
merupakan realisasi akhlak seorang hamba terhadap Allah dan ini merupakan
pokok inti akhlak seorang hamba. Seorang yang bertauhid dan baik akhlaknya
berarti ia adalah sebaik-baik manusia. Semakin sempurna tauhid seseorang maka
semakin baik akhlaknya, dan sebaliknya bila seorang muwahhid memiliki akhlak
yang buruk berarti lemah tauhidnya.

KEUTAMAAN AKHLAK

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa suatu saat rashulullah


pernah ditanya tentang kriteria orang yang paling banyak masuk syurga. Beliau
shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Taqwa kepada Allah dan Akhlak yang
Baik.” (Hadits Shahih Riwayat Tirmidzi, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Lihat Riyadus Sholihin no.627, tahqiq Rabbah dan Daqqaq).

Tatkala Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menasehati sahabatnya, beliau


shalallahu ‘alahi wasallam menggandengkan antara nasehat untuk bertaqwa
dengan nasehat untuk bergaul/berakhlak yang baik kepada manusia sebagaimana
hadits dari abi dzar, ia berkata bahwa rashulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda : “Bertaqwalah kepada Allah dimanapun engkau berada dan balaslah
perbuatan buruk dengan perbuatan baik niscaya kebaikan itu akan menutupi

Makalah Aqidah 4
kejelekan dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (HR Tirmidzi,
ia berkata: hadits hasan, dan dishahihkan oleh syaikh Al Salim Al Hilali).

Dalam timbangan (mizan) amal pada hari kiamat tidak ada yang lebih berat dari
pada aklak yang baik, sebagaimana sabda rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam : “
Sesuatu yang paling berat dalam mizan (timbangan seorang hamba) adalah akhlak
yang baik.” (HR. Abu Daud dan Ahmad, dishahihkan Al Bani. Lihat ash Shahihah
Juz 2 hal 535). Juga sabda beliau : “ Sesungguhnya sesuatu yang paling utama
dalam mizan (timbangan) pada hari kiamat adalah akhlak yang baik.” (HR. Ahmad,
dishahihkan al Bani. Lihat Ash Shahihah juz 2 hal.535).

Dari Jabir radhiallahu ‘anhu berkata : Rashulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda : “Sesungguhnya orang yang paling saya kasihi dan yang paling dekat
padaku majelisnya di hari kiamat ialah yang terbaik budi pekertinya.” (HR.
Tirmidzi dengan sanad hasan. Diriwayatkan juga oleh Ahmad dan dishahihkan
oleh Ibnu Hibban. Lihat Ash shahihah Juz 2 hal 418-419).

Dari hadits-hadits di atas dapat dipahami bahwa akhlak yang paling baik memiliki
keutamaan yang tinggi. Karena itu sudah sepantasnya setiap muslimah mengambil
akhlak yang baik sebagai perhiasannya. Yang perlu diingat bahwa ukuran baik
atau buruk suatu akhlak bukan ditimbang menurut selera individu, bukan pula
hitam putih akhlak itu menurut ukuran adat yang dibuat manusia. Karena boleh
jadi, yang dianggap baik oleh adat bernilai jelek menurut timbangan syari’at atau
sebaliknya.

Jelas bagi kita bahwa semuanya berpatokan pada syari’at, dalam semua masalah
termasuk akhlak. Allah sebagai Pembuat syari’at ini, Maha Tahu dengan keluasan
ilmu-Nya apa yang mendatangkan kemashlahatan/kebaikan bagi hamba-hamba-
Nya. Wallahu Ta’ala a’lam.

Ruang Lingkup Aswaja 


Karena secara substansi paham Aswaja adalah Islam itu sendiri, maka
ruang lingkup
Aswaja berarti ruang lingkup Islam itu sendiri, yakni aspek akidah, fiqh, dan
akhlaq. Seperti disebutkan oleh para ulama Aswaja, bahwa aspek yang paling
krusial diantara tiga aspek diatas adalah aspek akidah. Aspek ini krusial karena
pada saat Mu’tazilah dijadikan paham keagamaan Islam resmi pemerintah oleh
penguasa Abbasiyah, terjadilah kasus mihnah yang cukup menimbulkan keresahan
ummat Islam. Ketika Imam al-Asy’ari tampil berkhotbah menyampaikan
pemikiran-pemikiran teologi Islamnya sebagi koreksi atas pemikiran teologi
Mu’tazilah  dalam beberapa hal yang dianggap bid’ah atau menyimpang, maka

Makalah Aqidah 5
dengan serta merta masyarakat Islam menyambutnya dengan positif, dan
akhirnya banyak umat Islam menjadi pengikutnya yang kemudian disebut dengan
kelompok Asy’ariyah dan terinstitusikan dalam bentuk Madzhab Asy’ari.
Ditempat lain yakni di Samarqand Uzbekistan, juga muncul seorang Imam Abu
Manshur al-Maturidi ( W. 333 H) yang secara garis besar rumusan pemikiran
teologi Islamnya paralel dengan pemikiran teologi Asy’ariyah, sehingga dua imam
inilah yang kemudian diakui sebagai Imam penyelamat akidah keimanan,karena
karya pemikiran dua imam ini tersiar keseluruh belahan dunia dan diakui sejalan
dengan sunnah Nabi SAW serta petunjuk para sahabatnya, meskipun sebenarnya
masih ada satu orang ulama lagi yang sepaham yaitu Imam al-Thohawi (238 H –
321 H) di Mesir, akan tetapi karya beliau tidak sepopuler dua imam yang
pertama. Akhirnya para ulama  menjadikan rumusan akidah Imam Asy’ari dan
Maturidi sebagai pedoman akidah yang sah dalam Aswaja.
Secara materiil banyak produk pemikiran Mu’tazilah yang karena metodenya
lebih mengutamakan akal daripada nash (Taqdimu al-’Aql ‘ala al-Nash), dinilai
tidak sejalan dengan sunnah, sehingga sarat dengan bid’ah, maka secara
spontanitas para pengikut imam tersebut bersepakat menyebut sebagai
kelompok Aswaja, meskipun istilah ini bahkan dengan pahamnya telah ada dan
berkembang pada masa-masa sebelumnya, tetapi belum terinstitusikan dalam
bentuk madzhab. Karena itu secara historis, term aswaja baru dianggap secara
resmi muncul dari periode ini.
Setidaknya dari segi paham telah berkembang sejak masa ‘Ali bin Abi Thalib KW
tetapi dari segi fisik dalam bentuk madzhab baru terbentuk pada masa al-
Asy’ari, al-Maturidi dan al-Thahawi.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi
bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah
Asy’ariyah atau Maturidiyah, dalan fiqh adalah madzhab empat dan dalam
tasawuf adalah al-Ghozali dan ulama-ulama yang sepaham. Semuanya menjadi
diskursus Islam paham Sunni.
Ruang lingkup yang kedua adalah syari’ah atau fiqh, artinya paham
keagamaan yang berhubungan dengan ibadah dan mu’amalah. Sama pentingnya
dengan ruang lingkup yang pertama, yang menjadi dasar keyakinan dalam Islam,
ruang lingkup kedua ini menjadi simbol penting dasar keyakinan. Karena Islam
agama yang tidak hanya mengajarkan tentang keyakinan tetapi juga mengajarkan
tentang tata cara hidup sebagai seorang yang beriman yang memerlukan
komunikasi dengan Allah SWT, dan sebagai makhluk sosial juga perlu pedoman
untuk mengatur hubungan sesama manusia secara harmonis, baik dalam kehidupan
pribadi maupun sosial. Dalam konteks historis, ruang lingkup yang kedua ini
disepakati oleh jumhur ulama bersumber dari empat madzhab, yakni Hanafi,
Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Secara substantif, ruang lingkup yang kedua ini
sebenarnya tidak terbatas pada produk hukum yang dihasilkan dari empat

Makalah Aqidah 6
madzhab diatas, produk hukum yang dihasilkan oleh imam-imam mujtahid lainnya,
yang mendasarkan penggalian hukumnya melalui al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan
Qiyas, seperti, Hasan Bashri, Awza’i, dan lain-lain tercakup dalam lingkup
pemikiran Aswaja, karena mereka memegang prinsip utama Taqdimu al-Nash ‘ala
al-’Aql (mengedepankan daripada akal).
Ruang lingkup ketiga dari Aswaja adalah akhlak atau tasawuf. Wacana
ruang lingkup yang ketiga ini difokuskan pada wacana akhlaq yang dirumuskan
oleh Imam al-Ghozali, Yazid al-Busthomi dan al-Junayd al-Baghdadi, serta ulama-
ulama sufi yang sepaham. Ruang lingkup ketiga ini dalam diskursus Islam dinilai
penting karena mencerminkan faktor ihsan dalam diri seseorang. Iman
menggambarkan keyakinan, sedang Islam menggambarkan syari’ah, dan ihsan
menggambarkan kesempurnaan iman dan Islam. Iman ibarat akar, Islam ibarat
pohon. Artinya manusia sempurna, ialah manusia yang disamping bermanfaat
untuk dirinya, karena ia sendiri kuat, juga memberi manfaat kepada orang lain.
Ini yang sering disebut dengan insan kamil. Kalau manusia memiliki kepercayaan
tetapi tidak menjalankan syari’at, ibarat akar tanpa pohon, artinya tidak ada
gunanya. Tetapi pohon yang berakar dan rindang namun tidak menghasilkan buah,
juga kurang bermanfaat bagi kehidupan. Jadi ruang lingkup ini bersambung
dengan ruang lingkup yang kedua, sehingga keberadaannya sama pentingnya
dengan keberadaan ruang lingkup yang pertama dan yang kedua, dalam
membentuk insan kamil.

Makalah Aqidah 7

Anda mungkin juga menyukai