Sedangkan menurut Ibn Al-Araby, amanah adalah segala sesuatu yang diambil
dengan izin pemiliknya atau sesuatu yang diambil dengan izin pemiliknya untuk diambil
manfaatnya.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat diambil suatu pengertian bahwa amanah
adalah menyampaikan hak apa saja kepada pemiliknya, tidak mengambil sesuatu melebihi
haknya dan tidak mengurangi hak orang lain, baik berupa harga maupun jasa.
Amanah dalam islam adalah segala sesuatu yang dibebankan Allah kepada manusia
untuk dilaksanakan (Q.S. 32 : 72) yang tercakup di dalamnya khilafah ilahiyah (khalifat allah,
ibad allah), khilafah takwiniah (al-taklif al-syar'iah) dalam kaitannya dengan hablun min allah
dan hablun min al-nas.
Dalam ajaran Al-Qur'an manusia adalah makhluk yang memikul beban (mukallaf).
Pembebanan (taklif) meliputi hak dan kewajiban. Setiap beban yang diterima manusia harus
dilaksanakan sebagai amanah.
Amanah mempunyai akar kata yang sama dengan kata iman dan aman, sehingga mu'min
berarti yang beriman, yang mendatangkan keamanan, juga yang memberi dan menerima
amanah. Orang yang beriman disebut juga al-mu'min, karena orang yang beriman menerima
rasa aman, iman dan amanah. Bila orang tidak menjalankan amanah berarti tidak beriman
dan tidak akan memberikan rasa aman baik untuk dirinya dan sesama masyarakat lingkungan
sosialnya. Dalam sebuah hadis dinyatakan "Tidak ada iman bagi orang yang tidak berlaku
amanah".
Dalam kontek hablun min allah, amanah yang dibebankan Allah kepada manusia
adalah Tauhid artinya pengakuan bahwa hanya Allah yang harus disembah, hanya Allah yang
berhak mengatur kehidupan manusia dan hanya Allah yang harus menjadi akhir tujuan hidup
manusia, sehingga pelanggaran terhadap tauhid adalah syirik dan orang musyrik adalah orang
khianat kepada Allah. Termasuk dalam kontek ini pula adalah mengimani seluruh aspek yang
termuat dalam rukun iman dan melaksanakan ubudiyah yang termaktub dalam rukun islam.
1. Amanah manusia terhadap Tuhan, yaitu semua ketentuan Tuhan yang harus dipelihara
berupa melaksankan semua perintah Tuhan dan meninggalkan semua laranganNya.
Termasuk di dalamnya menggunakan semua potensi dan anggota tubuh untuk hal-hal
yang bermanfaat serta mengakui bahwa semua itu berasal dari Tuhan. Sesungguhnya
seluruh maksiat adalah perbuatan khianat kepada Allah Azza wa Jalla.
2. Amanah manusia kepada orang lain, diantaranya mengembalikan titipan kepada yang
mempunyainya, tidak menipu dan berlaku curang, menjaga rahasia dan semisalnya
yang merupakan kewajiban terhadap keluarga, kerabat dan manusia secara
keseluruhan. Termasuk pada jenis amanah ini adalah pemimpin berlaku adil terhadap
masyarakatnya, ulama berlaku adil terhadap orang-orang awam dengan memberi
petunjuk kepada mereka untuk memiliki i'tikad yang benar, memberi motivasi untuk
beramal yang memberi manfaat kepada mereka di dunia dan akhirat, memberikan
pendidikan yang baik, menyuruh berusaha yang halal serta memberikan nasihat-
nasihat yang dapat memperkokoh keimanan agar terhindar dari segala kejelekan dan
dosa serta mencintai kebenaran dan kebaikan. Amanah dalam katagori ini juga adalah
seorang suami berlaku adil terhadap istrinya berupa salah satu pihak pasangan suami-
istri tidak menyebarkan rahasia pasangannya, terutama rahasia yang bersifat khusus
yaitu hubungan suami istri.
3. Amanah manusia terhadap dirinya sendiri, yaitu berbuat sesuatu yang terbaik dan
bermanfaat bagi dirinya baik dalam urusan agama maupun dunia, tidak pernah
melakukan yang membahayakan dirinya di dunia dan akhirat.
Pertama, amanah fitrah. Dalam fitrah ada amanah. Allah menjadikan fitrah manusia
senantiasa cenderung kepada tauhid, kebenaran, dan kebaikan. Karenanya, fitrah selaras betul
dengan aturan Allah yang berlaku di alam semesta. Allah swt. berfirman: Dan ingatlah
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini
Tuhanmu? Mereka menjawab, Betul, (Engkau Tuhan kami) kami menjadi saksi. (Kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: Sesungguhnya kami
(bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan). (Al-Araf: 172).
Akan tetapi adanya fitrah bukanlah jaminan bahwa setiap orang akan selalu berada
dalam kebenaran dan kebaikan. Sebab fitrah bisa saja terselimuti kepekatan hawa nafsu dan
penyakit-penyakit jiwa (hati). Untuk itulah manusia harus memperjuangkan amanah fitrah
tersebut agar fitrah tersebut tetap menjadi kekuatan dalam menegakkan kebenaran.
Kedua, amanah taklif syari (amanah yang diembankan oleh syariat). Allah SWT.
telah menjadikan ketaatan terhadap syariatnya sebagai batu ujian kehambaan seseorang
kepada-Nya. Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya Allah telah menetapkan fara-idh
(kewajiban-kewajiban), maka janganlah kalian mengabaikannya; menentukan batasan-
batasan (hukum), maka janganlah kalian melanggarnya; dan mendiamkan beberapa hal
karena kasih sayang kepada kalian dan bukan karena lupa. (hadits shahih)
Ketiga, amanah menjadi bukti keindahan Islam. Setiap muslim mendapat amanah
untuk menampilkan kebaikan dan kebenaran Islam dalam dirinya. Rasulullah saw. bersabda:
Barangsiapa yang menggariskan sunnah yang baik maka dia mendapatkan pahalanya dan
pahala orang-orang rang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahalanya sedikit pun.
(Hadits shahih)
Ia akan terus berusaha untuk menyebarkan hidayah Allah kepada segenap manusia.
Amanah ini tertuang dalam ayat-Nya: Serulah ke jalan Rabbmu dengan hikmah dan nasihat
0yang baik. (An-Nahl: 125)
Rasulullah saw. juga bersabda, Jika Allah memberi petunjuk kepada seseorang
dengan usaha Anda, maka hal itu pahalanya bagi Anda lebih dibandingkan deng0an dunia
dan segala isinya. (al-hadits)
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka
berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka
berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya
untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam
ketakutan menjadi aman sentosa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada
mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah
(janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (An-Nur: 55)
Jenis-jenis Amanah
Oleh karenanya maka amanah yang dibebankan ALLAH SWT atas seorang muslim
adalah mengarahkan semua sistem di atas agar sesuai dengan aturan ALLAH SWT, dan
membebaskan manusia dari penyembahan manusia atas manusia dalam seluruh aspek
kehidupan menuju penyembahan kepada ALLAH SWT saja, tiada sekutu bagi-NYA, untuk-
NYA kita beramal dan kepada-NYA kita akan kembali.
Oleh karena itu maka amanah yang diberikan kepada manusia adalah sebagai berikut:
1. Amanah Fithrah: Yaitu amanah yang diberikan oleh Sang Pencipta SWT sejak
manusia dalam rahim ibunya, bahkan jauh sejak dimasa alam azali, yaitu mengakui
bahwa ALLAH SWT sebagai RABB/Pencipta, Pemelihara dan Pembimbing (QS
7/172).
2. Amanah Syariah/Din: Yaitu untuk tunduk patuh pada aturan ALLAH SWT dan
memenuhi perintah-NYA dan menjauhi larangan-NYA, barangsiapa yang tidak
mematuhi amanah ini maka ia zhalim pada dirinya sendiri, dan bodoh terhadap
dirinya, maka jika ia bodoh terhadap dirinya maka ia akan bodoh terhadap RABB-nya
(QS 33/72).
3. Amanah Hukum/Keadilan: Amanah ini merupakan amanah untuk menegakkan
hukum ALLAH SWT secara adil baik dalam kehidupan pribadi, masyarakat maupun
bernegara (QS 4/58). Makna adil adalah jauh dari sifat ifrath (ekstrem/berlebihan)
maupun tafrith (longgar/berkurangan).
4. Amanah Ekonomi: Yaitu bermuamalah dan menegakkan sistem ekonomi yang
sesuai dengan aturan syariat Islam, dan menggantikan ekonomi yang bertentangan
dengan syariat serta memperbaiki kurang sesuai dengan syariat (QS 2/283).
5. Amanah Sosial: Yaitu bergaul dengan menegakkan sistem kemasyarakatan yang
Islami, jauh dari tradisi yang bertentangan dengan nilai Islam, menegakkan amar
maruf dan nahi munkar, menepati janji serta saling menasihati dalam kebenaran,
kesabaran dan kasih-sayang (QS 23/8).
6. Amanah Pertahanan dan Kemanan: Yaitu membina fisik dan mental, dan
mempersiapkan kekuatan yang dimiliki agar bangsa, negara dan ummat tidak dijajah
oleh imperialisme kapitalis maupun komunis dan berbagai musuh Islam lainnya (QS
8/27).
Pengertian Gadai (rahn)
Ar-Rahn merupakan perjanjian penyerahan barang untuk menjadi agunan dari fasilitas pembayaran
yang diberikan. Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama fiqh. Ulama Mazhab Maliki
mendefinisikan rahn sebagai harta yang bersifat mengikat. Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan
rahn dengan, menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin
dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya.
Sedangkan ulama Mazhab Syafii dan Mazhab Hanbali mendefinisikan rahn dalam arti akad, yaitu
menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar utang apabila
orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu.
Rahn di tangan murtahin (pemberi utang kreditur) hanya berfungsi sebagai jaminan utang dari rahin
(orang yang berutang debitur). Barang jaminan itu baru dapat dijual/dihargai apabila dalam waktu
yang disetujui oleh kedua belah pihak utang tidak dapat dilunasi oleh debitur. Oleh sebab itu, hak
kreditur terhadap barang jaminan hanya apabila debitur tidak melunasi utangnya (Sjahdeini, 1999:
76).
Perjanjian gadai dalam Islam disebut rahn, yaitu perjanjian menahan sesuatu barang sebagai
tanggungan utang. Kata rahn menurut bahasa berarti tetap, berlangsung dan menahan.
Sedangkan menurut istilah berarti menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pendangan syara
sebagai tanggungan utang; dengan adanya tanggungan utang itu seluruh atau sebagaian utang
dapat diterima (Basyir, 1983: 50).
Dalam buku lain juga didefinisikan bahwa rahn adalah menahan sesuatu dengan hak yang
memungkinkan pengambilan manfaat darinya atau menjadikan sesuatu yang bernilai ekonomis pada
pandangan syariah sebagai kepercayaan atas hutang yang memungkinkan pengambilan hutang
secara keseluruhan atau sebagian dari barang itu (Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut
Bankir Indonesia, 2001: 73).
Menurut tarif yang lain dalam bukunya Muhammad Syafii Antonio (1999: 213) dikemukakan
sebagai berikut: menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang
diterimannya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang
menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan hutang atau gadai.
Sedangkan menurut Imam Abu Zakaria Al-Anshori (Syafii dalam Chuzaimah, 1997: 60) dalam
kitabnya Fathul Wahhab mendefinisikan rahn sebagai berikut: Menjadikan barang yang bersifat
harta sebagai kepercayaan dari suatu utang yang dapat dibayarkan dari harga benda itu bila utang
tidak dibayar.
Selanjutnya Imam Taqiyyuddin Abu-Bakar Al-Husaini dalam kitabnya Kifayatul Ahyar Fii Halli Ghayati
Al-Ikhtisar berpendapat bahwa definisi rahn adalah: Akad/perjanjian utang-piutang dengan
menjadikan harta sebagai kepercayaan/penguat utang dan yang memberi pinjaman berhak menjual
barang yang digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya.
Lebih lanjut Imam Taqiyyuddin mengatakan bahwa barang-barang yang dapat dijadikan jaminan
utang adalah semua barang yang dapat dijual-belikan, artinya semua barang yang dapat dijual itu
dapat digadaikan.
Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang
diterimanya.
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa rahn merupakan suatu akad utang-piutang
dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara sebagai jaminan,
hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil uang.
Gadai untuk menanggung semua hutang. Kalau orang yang berhutang mengembalikan sebagian
hutangnya, ia tidak boleh mengambil barang yang digadaikan sebelum melunasi semua hutangnya.
Boleh menggadaian barang milik serikat untuk tanggungan hutang seseorang asal mendapat izin dari
serikat. Juga boleh menggadaikan barang pinjaman, sebab barang itu sudah menjadi hak sementara
(Rifai. 1978: 197-198).
Sungguh Muhammad ingin membawa lari hartaku. Rasulullah kemudian menjawab: bohong!
sesungguhnya aku orang yang jujur di atas bumi ini dan di langit. Jika kamu berikan amanat
kepadaku pasti aku tunaikan Pergilah kalian dengan baju besiku menemuinya. (H.R. Bukhari).
Pada dasarnya para ulama telah bersepakat bahwa gadai itu boleh. Para Ulama tidak pernah
mempertentangkan kebolehannya demikian pula landasan hukumnya. Jumhur Ulama
berpendapat bahwa gadai disyariatkan pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu bepergian.
Berdasarkan al-Quran dan Hadist diatas menunjukan bahwa transaksi atau perjanjian gadai
dibenarkan dalam Islam bahkan Nabi pernah melakukannya. Namun demikian perlu dilakukan
pengkajian yang lebih mendalam dengan melakukan Ijtihad. Bagaimanakah perbandingan konsep
pegadaian syariah dengan pegadaian konvensional ditinjau dari aspek hukumnya? (Muhammad dan
hadi, 2003: 41).
Jenis Transaksi Ekonomi Yang Dihalalkan Serta Penjelasan Tentang Riba
Dalam Islam
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka
apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam. Dan
berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan
sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. ( Quran : Al
Baqarah : 198)
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan);
dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang
itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (Quran : Al Baqarah : 275)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di
antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu. (Quran : An Nisa : 29)
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh
yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang
yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Quran : Al
Baqarah : 283)
Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku
menjamin terhadapnya."
(Quran : Yusuf : 72).
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara
kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak
mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua
oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang
kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-
saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu
menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang
demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu
perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika)
kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya
hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
(Quran : Al Baqarah : 282)
Sesungguhnya, apabila seseorang terlilit utang, maka bila berbicara ia akan dusta dan bila
berjanji ia akan pungkiri. (HR. Bukhari, Muslim)
Shighat :
Dirumuskannya suatu perjanjian antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa. Dari
mulai aturan memulai akad wakalah ini, proses akad, serta aturan yang mengatur berakhirnya
akad wakalah ini.
Isi dari perjanjian ini berupa pendelegasian dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa
Tugas penerima kuasa oleh pemberi kuasa perlu dijelaskan untuk dan atas pemberi kuasa
melakukan sesuatu tindakan tertentu.
Landasan Hukum :
Ayat Al Quran Terkait Wakalah :
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang
hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang
hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-
istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
(Quran : An Nisa : 35)
Hadist Terkait dengan transaksi Wakalah :
Bahwasanya Rasulullah mewakilkan kepada Abu Rafi dan seorang Anshar untuk
mewakilkannya mengawini Maimunah binti Al Harits. HR. Malik dalam al-Muwaththa)
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
(Quran : Al Baqarah : 276 )
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
(Quran : Al Baqarah : 278)
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia,
maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah
orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (Quran : Ar Ruum : 39)
Hadits riwayat Sahal bin Abu Hatsmah ra, Bahwa Rasulullah saw. melarang penjualan kurma
basah dengan kurma kering, beliau bersabda: Demikian itu adalah riba yang ada dalam
muzabanah, hanya saja beliau memberi keringanan dalam penjualan secara Ariah, yaitu satu
atas. dua buah pohon kurma diambil oleh suatu keluarga dengan cara ditaksir dengan kurma
kering lalu mereka makan buahnya yang masih setengah matang. (Shahih Muslim No.2842)
Transaksi-transaksi yang dilarang untuk dilakukan dalam Islam adalah transaksi yang
disebabkan oleh kedua faktor berikut :
Suatu transaksi dilarang karena objek (barang dan/atau jasa) yang ditransaksikan merupakan
objek yang dilarang (haram) dalam hukum agama Islam. Seperti memperjualbeli kan alkohol,
narkoba, organ manusia, dll.
Tadlis, yaitu sebuah situasi di mana salah satu dari pihak yang bertransaksi berusaha
untuk menyembunyikan informasi dari pihak yang lain (unknown to one party)
dengan maksud untuk menipu pihak tersebut atas ketidaktahuan akan informasi objek
yang diperjualbelikan. Hal ini bisa penipuan berbentuk kuantitas (quantity), kualitas
(quality), harga (price), ataupun waktu penyerahan (time of delivery) atas objek yang
ditransaksikan. Sebagai contoh : apabila kita menjual hp second dengan kondisi
baterai yang sudah sangat lemah, ketika kita menjual hp tersebut tanpa
memberitahukan (menutupi) kepada pihak pembeli, maka transaksi yang kita lakukan
menjadi haram hukumnya.
Ikhtikar. Ikhtikar adalah sebuah situasi di mana produsen/penjual mengambil
keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara mengurangi supply (penawaran)
agar harga produk yang dijualnya naik. Ikhtikar ini biasanya dilakukan dengan
membuat entry barrier (hambatan masuk pasar), yakni menghambat produsen/penjual
lain masuk ke pasar agar ia menjadi pemain tunggal di pasar (monopoli), kemudian
mengupayakan adanya kelangkaan barang dengan cara menimbun stock (persediaan),
sehingga terjadi kenaikan harga yang cukup tajam di pasar. Ketika harga telah naik,
produsen tersebut akan menjual barang tersebut dengan mengambil keuntungan yang
berlimpah. Sebagai contoh: ketika akan dirumorkan oleh pemerintah bahwa tarif bbm
akan dinaikan, maka marak terjadinya penimbunan bbm oleh para penjual nakal. Hal
ini mereka lakukan agar dapat menjual bbm dengan tarif yang sudah dinaikkan,
sehingga mereka mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Taghrir (Gharar), yaitu menurut mahzab Imam Safi`e seperti dalam kitab Qalyubi
wa Umairah: Al-ghararu manthawwats `annaa `aaqibatuhu awmaataroddada baina
amroini aghlabuhuma wa akhwafuhumaa. Artinya: gharar itu adalah apa-apa yang
akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling mungkin
muncul adalah yang paling kita takuti.
Wahbah al-Zuhaili memberi pengertian tentang gharar sebagai al-khatar dan altaghrir, yang
artinya penampilan yang menimbulkan kerusakan (harta) atau sesuatu yang tampaknya
menyenangkan tetapi hakekatnya menimbulkan kebencian, oleh karena itu dikatakan: al-
dunya mata`ul ghuruur artinya dunia itu adalah kesenangan yang menipu. Dengan demikian
menurut bahasa, arti gharar adalah al-khida` (penipuan), suatu tindakan yang didalamnya
diperkirakan tidak ada unsur kerelaan. Gharar dari segi fiqih berarti penipuan dan tidak
mengetahui barang yang diperjualbelikan dan tidak dapat diserahkan. Gharar terjadi apabila,
kedua belah pihak saling tidak mengetahui apa yang akan terjadi, kapan musibah akan
menimpa, apakah minggu depan, tahun depan, dan sebagainya. Ini adalah suatu kontrak yang
dibuat berasaskan andaian (ihtimal) semata. Inilah yang disebut gharar (ketidak jelasan) yang
dilarang dalam Islam, kehebatan sistem Islam dalam bisnis sangat menekankan hal ini, agar
kedua belah pihak tidak didzalimi atau terdzalimi. Karena itu Islam mensyaratkan beberapa
syarat sahnya jual beli, yang tanpanya jual beli dan kontrak menjadi rusak, diantara syarat-
syarat tersebut adalah:
1. Timbangan yang jelas (diketahui dengan jelas berat jenis yang ditimbang)
2. Barang dan harga yang jelas dan dimaklumi (tidak boleh harga yang majhul (tidak
diketahui ketika beli).
3. Mempunyai tempo tangguh yang dimaklumi
4. Ridha kedua belah pihak terhadap bisnis yang dijalankan.
Misalnya seorang petani tembakau sudah membuat kesepakatan jual beli dengan pabrik rokok
atas tembakau yang bahkan belum panen. Pada kasus ini, pada kedua belah pihak baik petani
tembakau maupun pabrik rokok mengalami ketidakpastian mengenai berapa pastinya jumlah
tembakau yang akan panen. Sehingga terdapat gharar atas barang yang ditransaksikan.
Misalnya seorang pembeli sudah membuat kesepakatan untuk membeli anak kambing yang
masih berada di dalam kandungan. Pada kasus ini, baik penjual maupun pembeli tidak
mengetahui dengan pasti apakah nantinya anak kambing ini akan lahir dengan sehat, cacat,
atau bahkan mati. Sehingga terdapat ketidakpastian akan barang yang diperjualbelikan.
Misalnya Tn. A menjual motornya kepada Tn. B dengan harga Rp 8.000.000 jika dibayar
lunas dan Rp 10.000.000 jika dicicil selama 10 bulan. Pada kasus ini, tidak ada kejelasan
mengenai harga mana yang dipakai. Bagaimana jika Tn. B dapat melunasi motornya dalam
waktu kurang dari 10 bulan? Harga mana yang akan dipakai? Hal inilah yang menjadi suatu
ketidakpastian dalam transaksi.
Misalnya Basti sudah lama menginginkan handphone milik Miro. Handphone tersebut
bernilai Rp 4.000.000 di pasaran. Suatu saat, handphone tersebut hilang. Miro menawarkan
Basti untuk membeli handphone tersebut seharga Rp 1.500.000 dan barang akan segera
diserahkan begitu ditemukan. Dalam kasus ini, tidak ada kepastian mengenai kapan
handphone tersebut akan ditemukan, dan bahkan mungkin tidak akan ditemukan. Hal ini
menimbulkan gharar dalam waktu penyerahan barang transaksi.
Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam tarnsaksi bisnis tanpa adanya
pengganti (iwad) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut (Imam Sarakhzi).
Al-Quran dan Sunnah dengan sharih telah menjelaskan keharaman riba dalam berbagai
bentuknya; dan seberapun banyak ia dipungut. Allah swt berfirman;
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual
beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba),
maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. [TQS Al
Baqarah (2): 275]
Satu dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia mengetahui (bahwa itu adalah riba),
maka itu lebih berat daripada enam puluh kali zina. (HR Ahmad dari Abdullah bin
Hanzhalah).
Jenis-jenis Riba :
a) Riba Nasii`ah.
Riba Nasii`ah adalah tambahan yang diambil karena penundaan pembayaran utang untuk
dibayarkan pada tempo yang baru, sama saja apakah tambahan itu merupakan sanksi atas
keterlambatan pembayaran hutang, atau sebagai tambahan hutang baru. Misalnya, si A
meminjamkan uang sebanyak 200 juta kepada si B; dengan perjanjian si B harus
mengembalikan hutang tersebut pada tanggal 1 Januari 2009; dan jika si B menunda
pembayaran hutangnya dari waktu yang telah ditentukan (1 Januari 2009), maka si B wajib
membayar tambahan atas keterlambatannya; misalnya 10% dari total hutang. Tambahan
pembayaran di sini bisa saja sebagai bentuk sanksi atas keterlambatan si B dalam melunasi
hutangnya, atau sebagai tambahan hutang baru karena pemberian tenggat waktu baru oleh si
A kepada si B. Tambahan inilah yang disebut dengan riba nasiiah.
Adapun dalil pelarangannya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim;
b) Riba Fadlal.
Riba fadlal adalah riba yang diambil dari kelebihan pertukaran barang yang sejenis. Dalil
pelarangannya adalah hadits yang dituturkan oleh Imam Muslim.
Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair,
kurma dengan kurma, garam dengan garam, semisal, setara, dan kontan. Apabila jenisnya
berbeda, juallah sesuka hatimu jika dilakukan dengan kontan.HR Muslim dari Ubadah bin
Shamit ra).
c) Riba al-Yadd.
Riba al-Yadd yang disebabkan karena penundaan pembayaran dalam pertukaran barang-
barang. Dengan kata lain, kedua belah pihak yang melakukan pertukaran uang atau barang
telah berpisah dari tempat aqad sebelum diadakan serah terima. Larangan riba yadd
ditetapkan berdasarkan hadits-hadits berikut ini;
Emas dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan, gandum dengan gandum riba
kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan
kontan; kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan (HR al-Bukhari dari
Umar bin al-Khaththab)
d) Riba Qardl.
Riba qaradl adalah meminjam uang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan atau
keuntungan yang harus diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman.
Maisir
Menurut bahasa maisir berarti gampang/mudah. Menurut istilah maisir berarti memperoleh
keuntungan tanpa harus bekerja keras. Maisir sering dikenal dengan perjudian karena dalam
praktik perjudian seseorang dapat memperoleh keuntungan dengan cara mudah. Dalam
perjudian, seseorang dalam kondisi bisa untung atau bisa rugi.
Judi dilarang dalam praktik keuangan Islam, sebagaimana yang disebutkan dalam firman
Allah sebagai berikut:
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah, Pada keduanya itu
terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar
dari manfaatnya (QS. Al Baqarah : 219)
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib
dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan (QS Al-Maaidah : 90)
Pelarangan maisir oleh Allah SWT dikarenakan efek negative maisir. Ketika melakukan
perjudian seseorang dihadapkan kondisi dapat untung maupun rugi secara abnormal. Suatu
saat ketika seseorang beruntung ia mendapatkan keuntungan yang lebih besar ketimbang
usaha yang dilakukannya. Sedangkan ketika tidak beruntung seseorang dapat mengalami
kerugian yang sangat besar. Perjudian tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan keseimbangan
sehingga diharamkan dalam sistem keuangan Islam.
Yang dimaksud dengan jalab adalah barang yang diimpor dari tempat lain. Sedangkan rukban
yang dimaksud adalah pedagang dengan menaiki tunggangan. Adapun yang dimaksud
talaqqil jalab atau talaqqi rukban adalah sebagian pedagang menyongsong kedatangan
barang dari tempat lain dari orang yang ingin berjualan di negerinya, lalu ia menawarkan
harga yang lebih rendah atau jauh dari harga di pasar sehingga barang para pedagang luar itu
dibeli sebelum masuk ke pasar dan sebelum mereka mengetahui harga sebenarnya.
Jual beli seperti ini diharamkan menurut jumhur (mayoritas ulama) karena adanya
pengelabuan.
. - -
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang dari talaqqil jalab (HR. Muslim no.
1519).
Dulu kami pernah menyambut para pedagang dari luar, lalu kami membeli makanan milik
mereka. Nabi shallallahu alaihi wa sallam lantas melarang kami untuk melakukan jual beli
semacam itu dan membiarkan mereka sampai di pasar makanan dan berjualan di sana (HR.
Bukhari no. 2166).
Jika orang luar yang diberi barangnya sebelum masuk pasar dan ia ketahui bahwasanya ia
menderita kerugian besar karena harga yang ditawarkan jauh dengan harga normal jika ia
berjualan di pasar itu sendiri, maka ia punya hak khiyar untuk membatalkan jual beli (Lihat
Syarh Umdatul Fiqh, 2: 805). Dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
Janganlah menyambut para pedagang luar. Barangsiapa yang menyambutnya lalu membeli
barang darinya lantas pedagang luar tersebut masuk pasar (dan tahu ia tertipu dengan
penawaran harga yang terlalu rendah), maka ia punya hak khiyar (pilihan untuk
membatalkan jual beli) (HR. Muslim no. 1519).
Jika jual beli semacam ini tidak mengandung dhoror (bahaya) atau tidak ada tindak penipuan
atau pengelabuan, maka jual beli tersebut sah-sah saja. Karena hukum itu berkisar antara ada
atau tidak adanya illah (sebab pelarangan).
Jual beli hadir lil baad, menjadi calo untuk orang desa (pedalaman)
Yang dimaksud bai hadir lil baad adalah orang kota yang menjadi calo untuk orang
pedalaman atau bisa jadi bagi sesama orang kota. Calo ini mengatakan, Engkau tidak perlu
menjual barang-barangmu sendiri. Biarkan saya saja yang jualkan barang-barangmu, nanti
engkau akan mendapatkan harga yang lebih tinggi.
Janganlah menyambut para pedagang dari luar (talaqqi rukban) dan jangan pula menjadi
calo untuk menjualkan barang orang desa. Ayah Thowus lantas berkata pada Ibnu Abbas,
Apa maksudnya dengan larangan jual beli hadir li baad? Ia berkata, Yaitu ia tidak boleh
menjadi calo. (HR. Bukhari nol. 2158).
Menurut jumhur, jual beli ini haram, namun tetap sah (Lihat Al Mawsuah Al Fiqhiyyah, 9:
84).
Namun ada beberapa syarat yang ditetapkan oleh para ulama yang menyebabkan jual beli ini
menjadi terlarang, yaitu:
1. Barang yang ia tawarkan untuk dijual adalah barang yang umumnya dibutuhkan oleh
orang banyak, baik berupa makanan atau yang lainnya. Jika barang yang dijual jarang
dibutuhkan, maka tidak termasuk dalam larangan.
2. Jual beli yang dimaksud adalah untuk harga saat itu. Sedangkan jika harganya dibayar
secara diangsur, maka tidaklah masalah.
3. Orang desa tidak mengetahui harga barang yang dijual ketika sampai di kota. Jika ia
tahu, maka tidaklah masalah. (Al Mawsuah Al Fiqhiyyah, 9: 83)
Risywah (Suap)
Risywah menurut bahasa berarti: pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau
lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk
mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan kehendaknya. (al-Misbah al-Munir/al Fayumi, al-
Muhalla/Ibnu Hazm). Atau pemberian yang diberikan kepada seseorang agar mendapatkan
kepentingan tertentu (lisanul Arab, dan mujam wasith).
Sedangkan menurut istilah risywah berarti: pemberian yang bertujuan membatalkan yang
benar atau untuk menguatkan dan memenangkan yang salah. (At-Tarifat/aljurjani 148).
Dari definisi di atas ada dua sisi yang saling terkait dalam masalah risywah; Ar-Rasyi
(penyuap) dan Al-Murtasyi (penerima suap), yang dua-duanya sama-sama diharamkan dalam
Islam menurut kesepakatan para ulama, bahkan perbuatan tersebut dikategorikan dalam
kelompok dosa besar. Sebagaimana yang telah diisyaratkan beberapa nash Al-Quran dan
Sunnah Nabawiyah berikut ini:
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui (QS Al Baqarah 188)
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan
yang haram (QS Al Maidah 42).
Imam al-Hasan dan Said bin Jubair menginterpretasikan akkaaluna lissuhti dengan risywah.
Jadi risywah (suap) identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah SWT
Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap (HR Khamsah kecuali an-Nasai
dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi).
d. Nabi Muhammad SAW bersabda:
: :
Setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram (as-suht) nerakalah yang paling layak
untuknya. Mereka bertanya: Ya Rasulullah, apa barang haram (as-suht) yang dimaksud?,
Suap dalam perkara hukum (Al-Qurthubi 1/ 1708)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan secara tegas tentang diharamkannya mencari suap,
menyuap dan menerima suap. Begitu juga menjadi mediator antara penyuap dan yang disuap.