Anda di halaman 1dari 4

MACAM - MACAM AKHLAK

Para ahli membagi akhlak ini menjadi dua macam:

1. Akhlak Mahmudah atau akhlak yang terpuji. Ini termasuk budi pekerti yang baik.
Menurut Hasan rahimahullah bahwa budi pekerti yang baik adalah menunjukkan wajah
yang berseri-seri, memberikan bantuan sebagai tanda kedermawanan dan menahan diri
dari perbuatanyang menyakiti. Selanjutnya Hasan menambahkan budi pekerti yang baik
ialah membuat kerelaan seluruh makhluk, baik dalam kesukaan (karena murah rezeki)
atau dalam kedukaan (keadaan kekurangan). Jadi budi pekerti ini hakikatnya adalah
suatu bentuk dari sesuatu jiwa yang benar-benar telah meresap dan dari situlah
timbulnya berbagai perbuatan dengan cara spontan dan mudah, tanpa dibuat-buat dan
tanpa membutuhkan pemikiran atau angan-angan. Contoh akhlak terpuji di dalam al-
Quran surat Ali-imran (3): 159, yang artinya: “Maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu
berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati
kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka
dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-
Nya.

Contoh akhlak mulia di dalam hadits riwayat Muslim yang diterima dari Abu Hurairah r.a.
bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: “Hak seorang Muslim atas seorang Muslim ada
enam perkara: apabila engkau bertemu dia hendaklah engkau beri salam kepadanya,
apabila ia mengundangmu, hendaklah engkau memenuhinya, apabila ia meminta
nasihat, hendaklah engkau menasihatinya, apabila ia bersin kemudian ia berkata
“alhamdulillah” hendaklah engkau doakan dia, jika ia sakit hendaklah engkau
mengunjunginya, dan apabila ia meninggal dunia hendaklah engkau mengikuti
janazahnya.”

2. Akhlak Madzmumah atau akhlak yang tercela. Al-Quran menjelaskan akhlak tercela
ini di dalam surat al-Hujurȃt (49): 12, Yang artinya:  Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu
dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu
sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya
yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

Contoh akhlak tercela ini di dalam hadits Bukhari dan Muslim, Rasulullah Saw. telah
bersabda: “Ada empat perkara, barangsiapa yang memiliki semuanya itu dalam dirinya,
maka ia adalah seorang munafik, sedang barangsiapa yang memiliki salah satu dari
sifat-sifat itu di dalam dirinya, maka ia memiliki salah satu sifat kemunafikan, sehingga ia
meninggalkan sifat tadi. Empat perkara itu adalah jika berbicara dusta, jika berjanji
menyalahi, apabila menjanjikan sesuatu cidera, dan jika bermusuhan berlaku curang.”
Termasuk juga akhlak yang tercela adalah ghibah, yang didalam hadits Muslim,
Rasulullah Saw. menjelaskan bahwa ghibah adalah jika engkau menyebutkan perihal
saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukai olehnya. Hal-hal yang menyebabkan
ghibah di antaranya: ingin melenyapkan kemarahan, dorongan kemegahan diri,
kedengkian, penghinaan, dan lain-lain.
Contoh akhlak tercela di dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari sahabat Ibn
Masud r.a. bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: “apabila kamu bertiga, maka
janganlah dua orang berbisik-bisik dengan meninggalkan yang lain, tetapi hendaklah
kamu bercampur dengan sesama manusia, karena sikap yang demikian akan
menjadikan dia kecewa.” Rasulullah Saw. sendiri mengajarkan doa agar dihindarkan
dari hal-hal yang jelek, termasuk salah satunya dari akhlak yang tercela. Doa Rasulullah
tersebut berbunyi: “Ya Allah jauhkanlah aku dari akhlak, amal, kemauan, dan penyakit
yang jelek.”

SASARAN AKHLAK

Akhlak mempunyai makna yang luas, yang dapat mencakup sifat lahiriyah maupun
batiniah. Akhlak menurut pandangan Islam mencakup berbagai aspek, dapat mencakup
akhlak terhadap Allah dan terhadap sesama makhluk seperti manusia dan lingkungan.

1. Akhlak terhadap Allah Swt.

Landasan umum berakhlak terhadap Allah Swt. adalah pengakuan bahwa tiada Tuhan
selain Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji; demikian agung sifat itu yang semua makhluk
tidak dapat mengetahui dengan baik dan benar betapa kesempurnaan dan keterpujian
Allah swt. Oleh karena itu, mereka sebelum memuji-Nya, bertasbih terlebih dahulu
dalam arti menyucikan-Nya. Jadi jangan sampai pujian yang mereka ucapkan tidak
sesuai dengan kebesaran-Nya, sebagaimana al-Quran surat ash-Shaffat (37): 159-160,
yang artinya: “Mahasuci Allah dari segala sifat yang mereka sifatkan kepada-Nya,
kecuali (dari) hamba-hamba Allah yang terpilih.” Demikian juga al-Quran surat asy-
Syura (42): 5 menetapkan: “Dan para malaikat menyucikan sambil memuji Tuhan
mereka.” Begitu juga al-Quran surat ar-Raʻad (13): 13 menjelaskan: “Guntur menyucikan
(Tuhan) sambil memuji-Nya.” Selanjutnya al-Quran surat al-Isra (17): 44, menetapkan:
“Dan tidak ada sesuatupun kecuali bertasbih (menyucikan Allah) sambil memuji-Nya.”

Bertitik tolak dari uraian tentang kesempurnaan Allah Swt. tersebut, maka al-Quran
memerintahkan manusia untuk berserah diri kepada-Nya, karena segala yang
bersumber dari Allah adalah baik, benar, indah, dan sempurna. Berkaitan dengan hal ini,
sebagian ayat al-Quran memerintahkan manusia untuk menjadikan Allah sebagai
“wakil”, seperti al-Quran surat al-Muzzammil (73): 9, menerangkan: “(Dialah) Tuhan
masyrik dan maghrib, tiada Tuhan melainkan Dia, maka jadikanlah Allah sebagai wakil
(pelindung).” Kata “wakil”dapat diterjemahkan sebagai pelindung. Jika seseorang
mewakilkan kepada orang lain (untuk suatu persoalan), maka ia telah menjadikan orang
yang mewakili sebagai dirinya sendiri dalam menangani persoalan tersebut, sehingga
sang wakil melaksanakan apa yang dikehendaki oleh orang yang menyerahkan
perwakilan kepadanya. Allah Swt., yang kepada-Nya diwakilkan segala persoalan
adalah Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, dan semua Maha yang
mengandung pujian. Manusia sebaliknya, memiliki keterbatasan pada segala hal. Oleh
karena itu, maka perwakilan-Nya pun berbeda dengan perwakilan manusia. Jadi jika
seseorang menjadikan Allah sebagai wakil, sejak semula ia menyadari keterbatasan
dirinya dan menyadari Kemahamutlakan Allah Swt. Dan ia akan menerimanya dengan
sepenuh hati, baik mengetahui maupun tidak hikmah suatu perbuatan Tuhan.
Sebagaimana firman Allah Swt.: “Allah mengetahui dan kamu sekalian tidak
mengetahui. (QS al-Baqarah [2]: 216), dan lihat (QS al-Ahzab [33]: 36).
2. Akhlak terhadap sesama manusia.

Al-Quran menjelaskan perlakuan sesama manusia, baik berupa larangan, seperti


membunuh, menyakiti badan atau harta tanpa alasan yang benar, juga termasuk
larangan menyakiti hati, walaupun disertai dengan memberi. Lihat (QS al-Baqarah [2]:
263). Selain itu, al-Quran menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukkan
secara wajar, termasuk Nabi Muhammad Saw. dinyatakan pula sebagai manusia biasa,
namun dinyatakan pula beliau adalah Rasul yang memperoleh wahyu dari Allah. Atas
dasar ini beliau berhak memperoleh penghormatan melebihi manusia lain, seperti dalam
al-Quran (QS al-Hujurat [49]: 2; QS an-Nur [24]: 63). Al-Quran juga menekankan
perlunya privasi (kekuasaan atau kebebasan pribadi), (QS an-Nur [24]: 27 dan  58);
salam yang diucapkan wajib dijawab dengan salam yang serupa, dan dianjurkan agar
dijawab dengan salam yang lebih baik (QS an-Nisa [4]: 86); Setiap ucapan harus
ucapan yang baik (QS al-Baqarah [2]: 83 dan QS al-Ahzab [33]: 70) Seseorang tidak
boleh mengolok-olokkan orang lain atau kelompok lain dan tidak boleh memanggil
dengan gelar-gelar yang buruk. Demikian juga seseorang tidak boleh berprasangka
buruk, mencari kesalahan orang lain, dan menggunjing orang lain. Al-Quran
menjelaskan juga di antara ciri-ciri orang yang bertakwa (QS Ali Imran [3]: 134-135).
Selain itu, al-Quran menetapkan harus mendahulukan kepentingan orang lain daripada
kepentingan diri sendiri (QS al-Hasyr [59]: 9).

3. Akhlak terhadap lingkungan.

Yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang berada di sekitar
manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Pada
dasarnya, akhlak yang diajarkan al-Quran terhadap lingkungan bersumber dari fungsi
manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan ini menuntut adanya interaksi antara manusia
dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti
pengayoman, pemeliharaan, dan pembimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan
penciptaannya. Dalam pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil
buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum matang, karena hal ini berarti tidak
memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya. Ini berarti
manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan
terhadap semua proses yang sedang terjadi. Hal ini mengantarkan manusia
bertanggung jawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan terhadap lingkungan di
sekitarnya. Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan
oleh Allah Swt. dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki ketergantungan kepada-
Nya. Keyakinan ini meyakinkan setiap muslim untuk menyadari bahwa semuanya
adalah “umat” Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan baik.

Berkaitan dengan hal ini, al-Quran surat al-Anʻam (6): 38 menegaskan bahwa binatang-
binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya
merupakan umat-umat juga seperti manusia, sehingga semuanya tidak boleh
diperlakuka secara aniaya, baik dalam masa damai maupun ketika terjadi peperangan.
Termasuk mencabut atau menebang pepohonan pun terlarang, kecuali jika terpaksa,
tetapi inipun harus seizin Allah, dalam arti harus sejalan dengan tujuan penciptaan dan
demi kemaslahatan (QS al-Hasyr [59]: 5). Dengan pengakuan semua milik Allah,
mengantarkan manusia kepada kesadaran bahwa apapun yang berada dalam
genggaman-Nya, tidak lain kecuali amanat yang harus dipertanggungjawabkan (QS at-
Takatsur (102): 8. Manusia dituntut untuk memperhatikan apa yang sebenarnya
dikehendaki oleh Allah Swt. menyangkut apa yang berada di sekitar manusia.
Pernyataan Allah dalam al-Quran surat al-Ahqaf (46): 3, mengundang seluruh manusia
untuk tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, kelompok, atau bangsa, dan
jenisnya saja, tetapi juga harus berpikir dan bersikap demi kemaslahatan semua pihak.
Manusia tidak boleh bersikap sebagai penakluk alam. Yang menundukkan alam
menurut al-Quran adalah Allah. Mereka tidak sedikitpun mempunyai kemampuan,
kecuali berkat kemampuan yang dianugrahkan Tuhan kepadanya (QS az-Zukhruf [43]:
13). Oleh karena itu manusia harus mengusahakan keselarasan dengan alam.
Keduanya tunduk kepada Allah, sehingga mereka harus bersahabat. Al-Quran
mengharuskan setiap orang mukmin untuk meneladani Nabi Muhammad Saw. yang
diutus membawa rahmat bagi seluruh alam. Selain itu, Rasulullah Saw. diutus untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia, sebagaimana hadits riwayat at-Timidzi dari Abu
Dardaˋ yang menjelaskan bahwa beliau bersabda: “Tidak ada sesuatu yang lebih berat
dalam timbangan (amal) seorang mukmin pada hari kiamat, melebihi akhlak yang luhur.”

https://www.unisba.ac.id/index.php/id/illustrations/item/88-peranan-akhlak-dalam-kehidupan-
seorang-muslim

Anda mungkin juga menyukai