1. Pertanyaan Annisa Azzahra Naibaho dari kelompok 1
Isi pertanyaan: Sebagai seorang muslim kita wajib beriman kepada para rasul dan nabi. Pertanyaan bagaimana seorang muslim itu menumbuhkan dalam dirinya kecintaan/mengidolakan nabi Muhammad SAW lebih banyak dibandingkan mengidolakan segala sesuatu yang ada didunia? Jawaban dari Aida Maharani Isi jawaban: Bukti cinta kepada Nabi, di antaranya, pertama, berkeinginan kuat untuk bertemu dan berkumpul bersama Nabi. Bagi Muslim generasi setelah sahabat termasuk generasi sekarang yang tidak memiliki kesempatan bertemu dengan sang Nabi mesti berharap agar dikumpulkan bersama Nabi di Jannah Firdaus yang Allah SWT janjikan kepada orang-orang saleh dan muttaqin. Yakni, dengan cara melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi setiap larangan-Nya. Kedua, menaati beliau dengan menjalankan sunahnya dan mengikuti setiap ajarannya. Allah SWT menegaskan, dengan menaati Nabi, berarti telah menaati Allah. Melaksanakan sunah Nabi memiliki keistimewaan dan memberi kebahagiaan tersendiri. Selain merasa dekat dengan Nabi, secara saintis sunah-sunah Nabi memiliki efek menyehatkan. Shalat Tahajud misalnya, sebuah penelitian membuktikan bahwa aktivitas selepas bangun tidur pada waktu sepertiga malam (kira-kira pukul 02.00 sampai pukul 04.00) dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi kesehatan. Shalat Tahajud menjadi terapi pengobatan terbaik dari berbagai macam penyakit. Karena itu, orang-orang yang membiasakan diri untuk Tahajud akan memiliki daya tahan tubuh sehingga tak mudah terserang penyakit. Nabi SAW bersabda, “Dirikanlah shalat malam karena itu adalah tradisi orang-orang saleh sebelum kalian, sarana mendekatkan diri kepada Allah, pencegah dari perbuatan dosa, penghapus kesalahan, dan pencegah segala macam penyakit dari tubuh.” (HR Tirmidzi). Ketiga, memperbanyak shalawat kepadanya. Nabi bersabda, “Barang siapa bershalawat atasku sekali, niscaya Allah bershalawat atasnya sepuluh kali.” (HR Muslim). Allah SWT senantiasa melindungi dan merahmati mereka yang bershalawat kepada Nabi. Bahkan dengan memperbanyak shalawat, mempermudah setiap urusan duniawi. Keempat, mencintai orang-orang yang dicintai Nabi. Jika Nabi mencintai para sahabatnya, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dll, serta para istri dan keturunannya, sudah sepatutnya seorang Muslim mencintai mereka pula. Kelima, mengikuti akhlaknya. Tidak dimungkiri bahwa Nabi SAW memiliki akhlak yang mulia. Firman Allah SWT dalam QS al-Qalam ayat 4, “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) berakhlak yang agung.” Salah satu tugas Nabi diutus, yakni untuk menyempurnakan akhlak. Nabi bersabda, “Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR Bukhari) Bukti-bukti cinta ini perlu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari setiap Muslim. Keluhuran akhlak beliau dapat menjadi standar dasar akhlak yang harus dimiliki.
2. Pertanyaan Rozi Mahmuda dari kelompok 5
Isi pertanyaan: Apa saja sebab yang menjadi perusak akidah Islam seorang hamba dalam kehidupan? Jawaban dari Putri Amanda Nasution Isi jawaban: Akidah bisa membuat orang selamat di dunia dan akhirat. Di dunia, seseorang yang memiliki akidah yang ‘salah’, akan membuat umat maupun pemerintah menjadi marah. Jika di dunia saja dusah begitu, apalagi nanti di akhirat. Banyak hal yang bisa merusak akidah. Pertama karena faktor pendidikan. Dengan pendidikan yang lemah, maka akidah orang juga akan mudah goyah. Karena itu, pendidikan akidah harus diajarkan sedini mungkin. Bahkan, dalam Islam, agar memiliki anak-anak shaleh dan shaleha, maka pendidikan akidah sudah dimulai sebelum menikah. Setelah itu, pendidikan akidah juga ditanamkan pada anak saat masih dalam kandungan, saat dilahirkan dan sesudah dilahirkan, maupun selama masa pertumbuhannya. Faktor kedua yang bisa merusak akidah adalah ekonomi. Lemahnya ekonomi bisa membuat akidah seseorang menjadi goyah. Kemiskinan bisa membuat orang berpindah keyakinan. Faktor ketiga adalah politik. Hal itu seperti yang pernah terjadi pada bangsa Indonesia saat dijajah Belanda yang merupakan nonmuslim. Selain merampas kekayaan alam, para penjajah juga datang dengan misi menyebarkan agama mereka pada penduduk lokal. Faktor lain yang bisa merusak akidah adalah sosial. Ketika di masyarakat terjadi bentrokan hingga menimbulkan teror, maka orang akan mencari perlindungan pada orang atau kelompok yang dianggap bisa memberikan keamanan dan kenyamanan. Namun yang berbahaya, jika orang/kelompok yang dimintai perlindungan itu berasal dari kelompok nonmuslim. Dalam kondisi seperti itu, akidah seseorang bisa terpengaruh. Dari semua faktor itu, yang paling penting adalah faktor orang tua. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW menyatakan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Lalu kedua orang tuanyalah yg menjadikannya sebagai yahudi, nasrani dan majusi. Hal itu menunjukkan betapa besar peran orang tua dalam menentukan akidah setiap anak. Karena itu, kami tak hanya fokus memberikan pendidikan agama pada anak-anak, tapi juga aktif mengembangkan berbagai majelis taklim untuk para orang tua. Tujuannya, agar orang tua memiliki akidah dan pemahaman agama yang baik, yang akan diajarkannya kepada anak-anaknya. 3. Pertanyaan Aulia Wardani dari kelompok 4 Isi pertanyaan: Sebutkan aturan-aturan Islam yang disebut syari’ah dan moralitas islam yang disebut dengan akhlak? Jawaban dari Aida Maharani Isi jawaban: yang dimaksud dengan ilmu akhlak ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, antara yang terpuji dan yang tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin. Al-Quran menetapkan bahwa akhlak itu tidak terlepas dari aqidah dan syariah, ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Islam mengatur tolok ukur berakhlak adalah berdasarkan ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, apa yang dipandang baik oleh Allah dan Rasul-Nya, pasti baik dalam esensinya. Begitu pula sebaliknya, tidak mungkin Dia menilai kepalsuan sebagai kelakuan baik, karena kepalsuan esensinya pasti buruk. Selain itu Allah selalu memperagakan kebaikan, bahkan Dia memiliki sifat yang terpuji, seperti al-Quran surat Thaha (20): 8 menjelaskan: ّ ْ للَاه ّ ال ا ِٰلهّ ا َِل ه ّهو ۗ لّـهه ال ْس ّما ٓ هء ْال هح ْس ٰنى ٰ ّ “(Dialah) Allah, tiada Tuhan selain Dia, Dia mempunyai sifat-sifat yang terpuji (al-Asmȃˋ al-Husnȃ).” Demikian juga Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad meriwayatkan Aisyah ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah Saw., beliau menjawab: “Akhlak Nabi Saw. adalah al-Quran.” Semua sifat Allah Swt. disebutkan dalam al-Quran yang jumlahnya disebutkan di dalam hadits. Sifat-sifat Allah ini merupakan satu kesatuan. Dia Esa di dalam zat, sifat, dan perbuatan-Nya. Oleh karena itu, tidak wajar jika sifat-sifat itu dinilai saling bertentangan. Maksudnya semua sifat memiliki tempatnya masing-masing. Ada tempat untuk keperkasaan dan keangkuhan Allah, ada tempat untuk kasih sayang dan kelemahlembutan- Nya. Ketika seorang muslim meneladani sifat al-Kibriyâ (Keangkuhan Allah), ia harus ingat bahwa sifat itu tidak akan disandang oleh Allah Swt., kecuali dalam konteks ancaman terhadap para pembangkang atau terhadap orang yang merasa dirinya superior. Ketika Rasulullah Saw. melihat seseorang yang berjalan dengan angkuh di medan perang, beliau bersabda: “itu adalah cara berjalan yang dibenci Allah, kecuali dalam kondisi semacam ini.” Seseorang yang berusaha meneladani sifat al-Kibriyâ tidak akan meneladaninya kecuali terhadap manusia-manusia yang angkuh. Berkaitan dengan hal ini ada riwayat yang menyebutkan: “Bersikap angkuh terhadap orang-orang yang angkuh adalah sedekah.” Ketika seorang Muslim berusaha meneladani kekuatan dan kebesaran Ilahi, harus diingat bahwa sebagai makhluk ia terdiri dari jasad dan ruh, sehingga keduanya harus sama-sama kuat. Kekuatan dan kebesaran ini harus diarahkan untuk membantu yang lemah, dan tidak boleh digunakan untuk mendukung kejahatan atau kesewenang- wenangan. Karena ketika al-Quran mengulang-ngulang kebesaran Allah, al-Quran juga menegaskan bahwa: للَا ّل يهحِ ب هك َل هم ْختّا ل فّ هخ ْور ِ صع ِْر ّخدَكّ لِلنَا ِس ّو ّل ت ّْم ِش فِى ْالّ ْر ّ ٰ ض ّم ّر ًحا ۗ ا َِن ّ ّو ّل ت ه “Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang angkuh lagi membanggakan diri” (QS Luqman [31]: 18). Syariah adalah segala peraturan agama yang telah ditetapkan Allah SWT untuk umat islam, baik dari Al-Qur‟an maupun dari sunnah Rasulullah SAW, yang diberikan kepada manusia melalui para nabi agar manusia hidup selamat di dunia maupun di akhirat. Syari‟ah (Hukum Islam) meliputi hubungan vertikal dengan Allah (ibadah) dan hubungan horizontal dengan sesama manusia (mu‟amalat). Hubungan manusia dengan Allah SWT secara vertikal, melalui ibadah, seperti: • Thaharah (Bersuci diri dari kotoran dan najis), tujuan : membiasakan manusia hidup bersih agar manusia lain merasa nyaman di tengah-tengah kehadirannya; • Shalat, tujuan: menanamkan kesadaran diri manusia tentang identitas asal usulnya dari tanah serta pengualangan janji akan tunduk dan patuh secara sukarela kepada Allah dalam kurun waktu 24 jam kehidupannya yang dibuktikan dengan tidak melakukan perbuatan merugikan orang banyak (fahisah) dan lisannya tidak melukai perasaan orang lain (munkar); • Zakat, tujuan: membiasakan manusia untuk berbagi dengan manusia lain yang tidak bekerja produktif (petani, pedagang musiman, tukang becak, dll) yang ada di lingkungan sekitar tempat tinggalnya; • Puasa, tujuan: membiasakan manusia untuk jujur pada diri sendiri dan berempati atas penderitaan orang lain dengan cara meniru sifat-sifat Allah SWT, seperti sifat Allah SWT yang tidak pernah makan, minum, dan berkeluarga. • Haji, tujuan: mempersiapkan manusia untuk sanggup datang kepada Allah SWT sendiri-sendiri dengan menanggalkan seluruh kekayaan, ikatan kekerabatan, jabatan kekuasaan, kecuali amal perbuatan yang telah dilakukannya. Hubungan manusia dengan manusia secara horizontal, seperti: • Ikatan pertukaran barang dan jasa, tujuan: agar kehidupan dasar manusia yang satu dengan yang lain dapat tercukupi dengan sportif; • Ikatan pernikahan; tujuan: melestarikan generasi manusia berdasarkan aturan yang berlaku; • Ikatan pewarisan, tujuan: menjamin kebutuhan dasar hidup bagi anggota keluarga sebagai tanggungan orang yang meninggal dunia; • Ikatan kemasyarakatan, tujuan: agar terjadi pembagian peran dan fungsi sosial yang seadil-adilnya atas dasar musyawarah di bawah hukum kemasyarakatan yang dibuat bersama; • Ikatan kemanusiaan, tujuan: agar terjadi saling tenggang rasa, karya, dan cipta di antara manusia yang berkaitan.
4. Pertanyaan Siti Nurhaliza Lubis dari kelompok 7
Isi pertanyaan: Dijelaskan oleh penyaji bahwa Kuat atau lemahnya pengamalan agama seseorang tergantung pada kuat atau lemahnya akidah. Pengamalan agama seoarang muslim dapat dipantau dari beberapa indikator antara lain dengan Allah (habluminAllah) dan pelaksanaan pelaksanaan hubungannya dengan sesama manusia(habluminannas). Nah pertanyaannya jika seseorang hamba hanya melaksanakan habluminAllah apakah hamba tersebut dikatakan lemah imannya? Jawaban dari Putri Amanda Nasution Isi jawaban: Keseimbangan hubungan vertikal dan hubungan horizontal ditandai dengan seimbangnya hubungan vertikal yang berkaitan langsung dengan Allah yaitu Habluminallah dan Habluminannas yang berhubungan dengan sesama manusia. Sebagai contoh ketika manusia berzakat, zakat merupakan simbol hubungan vertikal dan horizontal. Bahkan selain zakat, kita dapat mengambil contoh ibadah solat, solat bisa kita gambarkan sebagai mi’raj kita. Solat yang habluminnallah adalah salat yang menjauhkan kita dari tindakan yang munkar, yang mana hal tersebut juga menggambarkan keseimbangan hubungan vertikal dan horizontal. Manusia yang bangkrut adalah manusia yang ketika hari kiamat datang, ia membawa pahala solat, zakat,dan ibadah wajib lainnya, akan tetapi semasa hidup di dunia manusia ini mengatakan perkataan yang jelek, fitnah, mencela tetangga, sehingga pahala manusia ini sedikit demi sedikit berkurang karena protes dari manusia lain yang didzolimi. Pahala tersebut terambil dan ditambah dosa dari manusia yg didzolimi. Ini menunjukkan manusia ini tidak menjaga keseimbangan hubungan antara dengan Allah dan dengan manusia lainnya. Menyakiti tetangga, menganiaya orang lain, atupun perbuatan dzolim lainnya menyebabkan ibadahnya sia-sia dan dilemparkan ke neraka. Kita bisa mengambil ibarah berbelaskasih pada makhluk sekecil apapun, yang jika kita lakukan, atas rahmat Allah dapat mengantarkan kita ke surgaNya. Apalagi jika kita berbelaskasih pada manusia yang membutuhkan, apalagi ketika kondisi seperti saat pandemik seperti ini, maka alangkah baiknya jika kita berempati dan bersimpati untuk menolong dan mengangkat saudara kita yang membutuhkan yang terdampak oleh kondisi saat ini.
5. Pertanyaan M. Alfi Shafa Sudharma dari kelompok 6
Isi pertanyaan: kita percaya kepada mahluk gaib tapi ketika kita percaya kepada mahluk gaibb tersbut kita mulai cemmas akan gangguan yang akan dialami ketika menjalan kan ibadah seperti ibadah malam mohon nggapan dan solusinya? Jawaban dari Putri Amanda Nasution Isi jawaban: islam boleh mempercayai kekuatan gaib karena Allah adalah dzat gaib, selain itu kekuatan gaib itu juga ada dalam surga dan neraka Allah. Orang yang mempercayai adanya hal yang nyata dan gaib. telah dijelaskan di alquran Surat Al-Baqarah ayat 3: ِ الَ ِذيْنّ يهؤْ مِ نه ْونّ بِا ْلغّ ْي ب “Mereka yang beriman kepada yang gaib”, kata “yang gaib” dapat diartikan dengan yang tidak dapat disaksikan oleh panca indera, tidak tampak oleh mata, tidak dapat didengar oleh telinga, namun keberadaannya dapat dirasakan. jadi, takut itu sebenarnya normal nah disini kita boleh mempercayai adanya makhluk gaiib, tetapi tidak dengan mmbayangkannya pada saat kita lagi menjalankan ibadah.
6. Pertanyaan Irvan Syahputra dari kelompok 1
Isi pertanyaan: Apa yg terjadi jika manusia hidup tanpa akidah? Jawaban dari Aida Maharani Isi jawaban: Aqidah secara bahasa artinya ikatan. Sedangkan secara istilah aqidah artinya keyakinan hati dan pembenarannya terhadap sesuatu. Aqidah yang benar merupakan landasan tegaknya agama dan kunci diterimanya amalan. Hal ini sebagaimana ditetapkan oleh Allah Ta’ala di dalam firman-Nya: صا ِل ًحا ّول يه ْش ِر ْك بِ ِعبّادّةِ ّربِ ِه أ ّ ّحدًا ّ فّ ّم ْن ّكانّ يّ ْر هجو ِلقّا ّء ّربِ ِه فّ ْليّ ْع ّم ْل ّ ع ّمال “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya hendaklah dia beramal shalih dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya dalam beribadah kepada-Nya.” (QS. Al Kahfi: 110) Allah ta’ala juga berfirman, ّع ّملهكّ ّولّت ّ هكون َّن مِ نّ ْالخّاس ِِرين ّ ّي إِلّيْكّ ّوإِلّى الَذِينّ مِ ْن قّ ْبلِكّ لّئ ِْن أ ّ ْش ّر ْكتّ لّيّ ْحب ه ّ ط َن ّ ِّولّقّدْ أوح “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu: Sungguh, apabila kamu berbuat syirik pasti akan terhapus seluruh amalmu dan kamu benar-benar akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Az Zumar: 65) Ayat-ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa amalan tidak akan diterima apabila tercampuri dengan kesyirikan. Oleh sebab itulah para Rasul sangat memperhatikan perbaikan aqidah sebagai prioritas pertama dakwah mereka. Inilah dakwah pertama yang diserukan oleh para Rasul kepada kaum mereka; menyembah kepada Allah saja dan meninggalkan penyembahan kepada selain-Nya. Penyimpangan dari aqidah yang benar adalah sumber petaka dan bencana. Seseorang yang tidak mempunyai aqidah yang benar maka sangat rawan termakan oleh berbagai macam keraguan dan kerancuan pemikiran, sampai-sampai apabila mereka telah berputus asa maka mereka pun mengakhiri hidupnya dengan cara yang sangat mengenaskan yaitu dengan bunuh diri. Sebagaimana pernah kita dengar ada remaja atau pemuda yang gantung diri gara-gara diputus pacarnya. Begitu pula sebuah masyarakat yang tidak dibangun di atas fondasi aqidah yang benar akan sangat rawan terbius berbagai kotoran pemikiran materialisme (segala-galanya diukur dengan materi), sehingga apabila mereka diajak untuk menghadiri pengajian- pengajian yang membahas ilmu agama mereka pun malas karena menurut mereka hal itu tidak bisa menghasilkan keuntungan materi. Jadilah mereka budak-budak dunia, shalat pun mereka tinggalkan, masjid-masjid pun sepi seolah-olah kampung di mana masjid itu berada bukan kampungnya umat Islam. Oleh karena peranannya yang sangat penting ini maka kita juga harus mengetahui sebab-sebab penyimpangan dari aqidah yang benar. Di antara penyebab itu adalah: 1) Bodoh terhadap prinsip-prinsip aqidah yang benar. 2) Ta’ashshub (fanatik) kepada nenek moyang dan tetap mempertahankannya meskipun hal itu termasuk kebatilan, dan meninggalkan semua ajaran yang bertentangan dengan ajaran nenek moyang walaupun hal itu termasuk kebenaran. 3) Taklid buta (mengikuti tanpa landasan dalil). 4) Berlebih-lebihan dalam menghormati para wali dan orang-orang saleh. 5) Lalai dari merenungkan ayat-ayat Allah, baik ayat kauniyah maupun qur’aniyah. 6) Kebanyakan rumah tangga telah kehilangan bimbingan agama yang benar. 7) Kebanyakan media informasi dan penyiaran melalaikan tugas penting yang mereka emban.