Sebagai dasar umum dari pendidikan akhlak adalah QS. At-Tahrim ayat 6 :
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang
bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras,
dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan”. (Q.S. At-Tahrim/66 : 6).
Sumber akhlak adalah yang menjadi ukuran baik dan buruk atau mulia dan tercela.
Sebagaimana keseluruhan ajaran Islam, sumber akhlak adalah al-Qur’an dan sunnah, bukan
akal pikiran atau pandangan masyarakat sebagaimana pada konsep etika dan moral.
“Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beriibadah kepada-Ku (Qs
Al-Dzariyat [51]: 56)”
Dalam Al-Qur'an, manusia dipandang sebagai berikut: pertama, Tuhan memilih manusia
sebagai wakil-Nya (khalifah) di bumi, yang berarti bahwa Dia memberi manusia kekuatan
untuk menguasai bumi, tetapi dengan syarat bahwa mereka tetap taat pada Tuhan, menjadi
hamba Tuhan (‘abd Allah).
Kedua, sebagai hamba dan khalifah-Nya, manusia menjadi pasif, tunduk pada kehendak
Tuhan, di satu sisi, dan aktif sebagai agen Tuhan serta melakukan kehendak Tuhan di dunia,
di sisi lain.
Manusia dipilih Tuhan sebagai wakil-Nya (khalifah Allah) sekaligus hamba-Nya (‘abd
Allah). Sebagai seorang hamba, manusia harus tunduk total pada Tuhan dan menerima secara
sempurna semua yang dikehendaki-Nya. Sebagai wakil-Nya, manusia harus aktif di dunia
untuk menjalankan kehendak Tuhan di muka bumi. Menjadi manusia seutuhnya adalah
menerima dengan kepasrahan total pada apa yang berasal dari Tuhan dan memperlakukan
makhluk ciptaan-Nya sebagai media perantara utama berupa karunia untuk terciptanya
keteraturan.
Konsekuensi konsep hamba dan wakil Tuhan adalah bahwa derajat laki-laki dan perempuan
bukan terletak pada diri mereka sendiri, tetapi dilihat dari segi kepasrahan dan kepatuhan
mereka kepada Tuhan. Derajat manusia dinilai dari segi derajat pengabdiannya terhadap
Tuhan. Kekuasaan yang diberikan kepada manusia untuk dapat mengetahui dan menguasai
alam adalah sah dengan syarat: mereka mengenali sifat teomorfis mereka dan konsisten
dalam kepatuhan dan kepasrahan kepada Tuhan.
Konsep Islam tentang manusia (insan) sebagai anthropos yang mencakup laki-laki dan
perempuan dapat diringkaskan sebagai perkawinan kedua kualitas tersebut dalam diri
manusia. Manusia diberikan kehendak bebas. Akibatnya, manusia dapat memberontak
terhadap kodrat primordialnya dan menjadi aktif melawan surga serta pasif pada kodrat
rendahnya sendiri dan dunia indrawi. Dengan begitu, tak semua manusia menjadi hamba dan
wakil Tuhan. Kesempurnaan mode pasif dan aktif tersebut dimiliki para nabi dan orang-orang
suci. Walaupun demikian, semua manusia memiliki martabat (dignity) dan hidup mereka
adalah sakral karena kodrat primordial mereka, yang mana seluruh anak turunan Adam dan
Hawa mempunyainya pada kedalaman diri mereka.Hubungan manusia dengan Allah adalah
hubungan makhluk dan khaliknya. Dalam masalah ketergantungan hidup manusia selalu
mempunyai keberadaan kepada yang lain. dan tumpuan an-nasr takok ketergantungan antara
ketergantungan kepada yang maha kuasa, Yang maha perkasa, yang Maha bijaksana, Yang
Maha Sempurna ialah Allah robbul alamin
ketergantungan manusia kepada Allah difirmankan dalam surat al-ikhlas ayat 2 .Mengapa
manusia harus tunduk pasrah dan patuh pada kehendak-Nya? Seluruh pandangan filosofis,
teologis, dan sufistis dalam sejarah Islam bersepakat bahwa Tuhan adalah pencipta manusia.
Tuhan sebagai penyebab ontologis eksistensi manusia. Karena itu, manusia memiliki utang
kepada Tuhan dan hak-hak kita diturunkan sebagai pemenuhan tanggung jawab manusia
terhadap-Nya dan kepatuhan pada kehendak-Nya.
Relasi manusia dengan Tuhan dimulai dari pertanyaan: apa yang Tuhan inginkan dari
manusia? Berdasarkan Al-Qur'an, kita dapat menyimpulkan jawaban dari pertanyaan di atas
adalah ‘ibadah (worship). ‘Ibadah berarti melayani (service). Menyembah Tuhan berarti juga
melayani-Nya. Banyak tafsir dari istilah ‘ibadah, mulai dari tindakan ibadah biasa sampai
mencintai dan mengetahui Tuhan.
Dalam Islam, tujuan eksistensi manusia adalah menyembah dan melayani Tuhan. Hanya
dengan melaksanakan maksud dan tujuan penciptaan tersebutlah manusia menjadi manusia
sepenuhnya. Sebaliknya, walaupun kita adalah “manusia” dalam diri kita, tetapi kita bukan
manusia dan hidup bukan sebagai manusia yang utuh. Oleh karena itu, raison d’etre (alasan
keberadaan) manusia adalah untuk menyembah Allah dan dengan demikian mewujudkan
keadaan penghambaan yang sempurna, yang berarti menyadari apa arti menjadi manusia
sepenuhnya.