Anda di halaman 1dari 6

NIM Mahasiswa : 20180306144 Nama Mahasiswa : Farras Sani

Mata Kuliah : ESA116 Agama Islam Dosen : H.Rohmat Romdoni Soleh,Lc,MA


Hari : Jum’at Pukul : 00.00-23.59
Tanggal : 24 April 2020 Seksi : KJ101

Jawaban
1. Muktazilah, yang merupakan kaum rasionalitas di kalangan umat Islam, serta menekankan pemakaian
akal pikiran dalam memahami semua ajaran dan keimanan dalam Islam. Dalam menganalisis Ketuhanan,
mereka memakai bantuan ilmu logika Yunani, atau sistem teologi untuk mempertahankan keimanan.
Qodariah yang berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat.
Manusia sendiri yang menghendaki apakah ia akan kafir atau mukmin. Hal inilah yang menyebabkan
manusia harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
Jabariah yang merupakan pecahan dari Murji’ah berteori, bahwa manusia tidak mempunyai
kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat. Semua tingkah laku manusia ditentukan dan dipaksakan
oleh Tuhan
Asya’ariah dan Maturidiah yang pendapatnya berada di antara Qodariah dan Jabariah
Kemaha Esaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, terdapat di dalam al-qur’an surah al-ikhlas ayat ketiga
Allah berfirman (yang artinya), “Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan”. Ayat ini menjelaskan
bahwa tidak ada anak yang dilahirkan dari-Nya. Demikian pula Allah tidak-lah lahir dari sesuatu apa pun.
Kemudian surah ini diakhiri dengan firman-Nya (yang artinya), “Dan tidak ada seorang pun yang setara
dengan Dia” untuk memperkuat karena Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa tentu menuntut penafian
(peniadaan) keberadaan sesuatu yang setara dengan-Nya.
Cara menyikapi golongan-golongan diatas,
Prinsipnya, aliran-aliran tersebut di atas tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam. Oleh karena itu,
umat Islam yang memilih aliran mana saja di antara aliran-aliran tersebut sebagai paham teologi yang
dianutnya, tidak menyebabkan ia keluar dari Islam. Menghadapi situasi dan perkembangan ilmu
pengetahuan, umat Islam perlu koreksi ilmu berdasarkan al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW tanpa
dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu.
2. Ada tiga alasan yang melatarbelakangi perlunya manusia terhadap agama:

 Latar Belakang Fitrah Manusia


Kenyataan manusia memiliki fitrah keagamaan pertama kali ditegaskan dalam ajaran Islam, yakni
bahwa agama adalah kebutuhan fitri manusia. Ketika datang wahyu Tuhan yang menyeru
manusia agar beragama, maka seruan tersebut memang amat sejalan dengan fitrahnya itu. Dalam
konteks ini kita dapat melihat ayat al-qur’an surat Ar-Ruum ayat 30 yang artinya: “Hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; tetaplaj atas fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia sesuai dengan fitrah itu”.

 Kelemahan dan Kekurangan Manusia


Manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki kekurangan. Hal ini antara lain
diungkapkan oleh kata an-nafs. Menurut Quraish Shihab, bahwa dalam pandangan al-qur’an, nafs
diciptakan Allah dalam keadaan sempurna yang berfungsi menampung serta mendorong manusia
berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam manusia inilah yang oleh al-qur’an
dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar. Seperti yang tertera dalam al-qur’an surat Al-
NIM Mahasiswa : 20180306144 Nama Mahasiswa : Farras Sani
Mata Kuliah : ESA116 Agama Islam Dosen : H.Rohmat Romdoni Soleh,Lc,MA
Hari : Jum’at Pukul : 00.00-23.59
Tanggal : 24 April 2020 Seksi : KJ101

Syams ayat 7-8 yang artinya: “Demi nafs serta penyempurnaan ciptaan, Allah mengilhamkan
kepadanya kefasikan dan ketakwaan.”
 Tantangan Manusia
Manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik yang datang dari
dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan
setan, sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan upaya-upaya yang dilakukan
manusia yang secara sengaja berupaya ingin memalingkan manusia dari Tuhan.
Seperti yang tertera dalam al-qur’an surat Al-anfal ayat 36 yang artinya: “Sesungguhnya orang-
orang yang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah.”

3. Tiga kata yang digunakan dalam Al Qur’an untuk menunjukkan arti manusia:

 Lafadz al-insan
Kesempurnaan manusia itu dapat dilihat pada asal kata “Ins” berarti seorang manusia. Sedangkan
“Insani” berarti dua orang manusia. Dari kata “Insan” itu tersirat bahwa manusia mempunyai dua
unsur kemanusiaannya, yaitu aspek lahiriyah dan aspek bathiniyah. Seperti yang tertera dalam al-
qur’an surah Az-zariyat ayat 56 yang artinya: Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
agar mereka beribadah kepada-Ku.

 Lafadz al-basyar
Kata ini berasal dari makna kulit luar yang dapat dilihat dengan mata kasar, bersifat indah dan
cantik. Dan dapat menimbulkan rasa senang, bahagia dan gembira bagi siapa saja yang
melihatnya. Sebagaimana Firman Allah yang terdapat dalam surat Al Imran ayat 79 yang artinya:
Tidak mungkin bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al kitab, hikmah dan
kenabian, lalu dia Berkata kepada manusia, “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku
bukan penyembah Allah”. Tetapi (Dia berkata): Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani,
Karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya!”

 Lafadz bani adam


Bani Adam merupakan istilah yang digunakan al-Quran untuk menyebut manusia yang dianalisis
dari asal keturunannya. Selain itu kata bani adam dan dzuriyat Adam menunjukkan bahwa
manusia yang terlahir sesudah ada pada dasarnya merupakan keturunan adam sebagai manusia
pertama dan menjadi keluarga adam. Seperti yang tertera dalam al-qur’an surah al-a’raf ayat 172
yang artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi
saksi”

Mengembangkan fitrah (potensi) manusia, baik potensi jasmani maupun rohani, secara efektif
dapat dilakukan melalui pendidikan. Dengan proses pendidikan, manusia mampu membentuk
kepribadiannya, mentransfer kebudayaannya dari suatu komunitas kepada komunitas lainnya,
mengetahui nilai baik dan buruk, dan lain sebagainya.
Untuk menciptakan suasana kondusif bagi terlaksananya proses tersebut, diperlukan bentuk
interaksi proses belajar mengajar yang mampu menyentuh dan mengembangkan seluruh aspek
NIM Mahasiswa : 20180306144 Nama Mahasiswa : Farras Sani
Mata Kuliah : ESA116 Agama Islam Dosen : H.Rohmat Romdoni Soleh,Lc,MA
Hari : Jum’at Pukul : 00.00-23.59
Tanggal : 24 April 2020 Seksi : KJ101

manusia. Ketersentuhan seluruh aspek diri manusia akan mempermudah terangsangnya reaksi
dan perhatian, serta keinginan peserta didik melaksanakan proses belajar mengajar secara efektif.

4. Fungsi Hadist terhadap al qur’an:

 Menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh AlQur’an. maka dalam
hal ini kedua-duanya sama-sama menjadi sumber hukum, misalnya dalam Al-Qur’an disebutkan
mengharamkan bersaksi palsu. Sebagaimana tercantum dalam al-qur’an surah al-hajj ayat 30
yang artinya: Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-
perkataan dusta.

 Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal/Global (Bayan Al
mujmal), memberikan batasan terhadap hal-hal yang masih belum terbatas di dalam Al-Qur’an
(taqyiq Al-mutlaq) memberikan keputusan (takhshish)ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum
(takhshish al’amm), dan memberikan penjelasan terhadap hal-hal yang masih rumit di dalam Al-
Qur’an (tawdih al-musykil).
Contoh Bayan Al-mujmal:
Di dalam Al-Qur’an hanya disebutkan secara global tentang perintah shalat dan zakat,
sebagaimana firman Allah dalam al-qur’an surah al-baqarah ayat 43 yang menyatakan agar
mendirikan shalat dan tunaikan zakat
 Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al-Qur’an. Hal ini berarti
bahwa ketetapan hadits itu merupakan ketetapan yang bersifat tambahan hal-hal yang tidak
disinggung oleh Al-Qur’an dan hukum-hukum atau aturan-aturan itu hanya berdasarkan al-hadits
semata-mata. misalnya larangan berpoligami bagi seseorang terhadap orang wanita dengan
bibinya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang artinya: Tidak boleh
dikawini bersama (berpoligami) antara seorang wanita dengan ‘ammah (saudari bapaknya) dan
seorang wanita dengan khalah (saudari ibunya). (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Wilayah Ijtihad dalam pandangan ulama salaf terbatas dengan masalah-masalah fiqhiyah, namun
pada akhirnya wilayah tersebut mengembang pada aspek keislaman yang mencakup akidah,
filsafat, tasawuf, dan fikih itu sendiri. Karena itu, Ibnu Qayyim al-Jawziyyah dalam "I’lam al-
Muwaqi’in" menerangkan bahwa haram hukumnya memberikan fatwa yang menyalahi nash,
bahkan ijtihad menjadi gugur jika ditemukan nash. Lebih lanjut Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa
ketentuan nash Wajib diikuti dan menolak adanya pertentangan atau istidhlal melalui ijtihad. Iika
kasus tersebut terjadi di zaman sahabat Nabi dan mereka telah menyelesaikan
dengan ra’yu-nya melalui panggilan dalil nash, maka seseorang wajib mengikuti ketentuan
sahabat tersebut atau membatalkan semua hasil ijtihad ulama. Sebagaimana yang dinyatakan oleh
Imam Syafi’i "Idza shahha Hadits fadhribu bi qawli al-haithi wa shahha anhu” (jika ada Hadis
sahih, maka buanglah pendapatku yang mengikat dan benarkanlah Hadis itu). Imam Ahmad
berkata yang artinya: Menurutku, perkara yang paling baik bagi al-Syafi’i adalah, jika ia
mendengarkan Hadits yang belum diterima, maka ia merujuk Hadis itu dan meninggalkan
pendapatnya.
NIM Mahasiswa : 20180306144 Nama Mahasiswa : Farras Sani
Mata Kuliah : ESA116 Agama Islam Dosen : H.Rohmat Romdoni Soleh,Lc,MA
Hari : Jum’at Pukul : 00.00-23.59
Tanggal : 24 April 2020 Seksi : KJ101

Dalam kaitan wilayah ijtihad, Ustadz Muhammad Al Madani dalam bukunya “Mawathin al-
Ijtihad fi al-Syari’ah al -Islamiyyah” menyatakan bahwa dalam masalah hukum terbagi dua
kemungkinan yang perlu diantisipasi, yaitu: Masalah qath’iyah dan masalah zhanniyah.

5. a. Ungkapan tersebut memiliki makna yang kuat agar kehadiran agama dalam suatu budaya setempat
dapat beriringan tanpa menghilangkan identitas pada masing-masing nilai yang terkandung didalamnya.
Namun, dalam realitanya, ada kalanya tradisi dan budaya setempat bertentangan dengan niai-nilai ajaran
agama sendiri. Sehingga cukup sulit jika suatu budaya telah mengakar kuat dalam tradisi masyarakat
sedangkan disisi lain budaya tersebut bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri. Sisi buruknya jika
dipaksakan maka akan menghasilkan Akulturasi, asimilas iatau sintesis yang dalam ajaran islam tentu
saja dapat merusak aqidah yang seharusnya terjaga kemurniannya.
b. Kebudayaan merupakan wadah, tempat, di mana hakikat manusia memperkembangkan diri. Antara
hakikat manusia dengan pengembangan diri (kebudayaan) tersebut terjalin hubungan, korealsi yang tidak
dapat dipisahkan
Peradaban adalah kebudayaan yang mencerminkan nilai-nilai kehidupan, yang dipengaruhi oleh
nilai-nilai ajaran Islam disebut kebuadayaan ayau peradaban Islam
c. Masjid menjadi ciri kehidupan masyarakat Islam. Masjid tidak hanya sebagai sarana fisik dan
kelembagaan, akan tetapi masjid juga sebagai tempat pembinaan ummat untuk membangun ummat yang
bertakwa
6. Konsep Wasathiyah Islam lebih luas dari sekadar moderat. Di dalamnya terdapat nilai-nilai toleran,
jalan tengah, menyelesaikan masalah dengan musyawarah, mengakui kemajemukan, pluralisme,
penengah dan perantara penyelesaian masalah.
Wasathiyah Islam memiliki tujuh nilai utama. Terdapat nilai tawassut yaitu posisi di jalan tengah dan
lurus, i’tidal atau berperilaku proporsional dan adil dengan tanggung jawab, dan tasamuh yaitu mengenali
dan menghormati perbedaan dalam semua aspek kehidupan
Terdapat pula nilai syura, yaitu mengedepankan konsultasi dan menyelesaikan masalah melalui
musyawarah untuk mencapai konsensus, Islah, terlibat dalam tindakan yang reformatif dan konstruktif
untuk kebaikan bersama, dan qudwah, merintis inisiatif mulia dan memimpin umat untuk kesejahteraan
manusia. Terakhir, muwatonah atau mengakui negara bangsa dan menghormati kewarganegaraan.
7. Hukum Pernikahan dalam perspektif hukum Negara
Negara telah menjamin kehidupan beragama dan telah ikut serta mengamankannya melalui peraturan
perundang-undangan. Salah satu bentuk produk hukum yang mengacu pada materi hukum islam normatif
diantaranya tertuang dalam ketentuan undang-undang no.1 tahun 1974 tentang pernikahan yang
mencerminkan penghargaan dan kepedulian pemerintah terhadap sendi-sendi ajaran agama, khususnya
agama islam. Dengan adanya undang-undang tersebut, akan memberikan kepastian hukum bagi warganya
khususnya yang beragama islam. undang undang ini dibuat untuk mengatur seputar masalah pernikahan
dan akibat hukumnya bagi mereka yang beragama islam serta memiliki daya paksa yang kuat dan
mengikat untuk dilaksanakna oleh warganya.
NIM Mahasiswa : 20180306144 Nama Mahasiswa : Farras Sani
Mata Kuliah : ESA116 Agama Islam Dosen : H.Rohmat Romdoni Soleh,Lc,MA
Hari : Jum’at Pukul : 00.00-23.59
Tanggal : 24 April 2020 Seksi : KJ101

Keabsahan pernikahan merupakan suatu hal yang prinsipal, karena pernikahan erat kaitannya dengan
segala hal akibat pernikahan, baik menyangkut dengan anak maupun yang berkaitan dengan harta.
Undang-undang no.1 tahun 1974 telah merumuskan kriteria keabsahaan suatu pernikahan, yang
dituangkan dalam dalam Pasal 2, sebagai berikut:
a. Pernikahan adalah sah apaila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu;
b. Tiap-tiap pernikahan di catat menurut aturan perundang-undangan yang berlaku.
Hukum Pernikahan dalam perspektif hukum Agama
Pernikahan merupakan suatu akad yang membuat seorang laki-laki dan perempuan menjadi halal dalam
melakukan hubungan kontak fisik serta adanya hak dan kewajiban diantara keduanya. Pernikahan
merupakan ibadah yang paling utama dan salah satu jalan untuk membangn rumah tangga dan
melanjutkan keturunan.
Pernikahan yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan larangan-larangan Allah SWT yang
tercantum dalam Surat Al Baqarah ayat 221, yaitu larangan perkawinan karena perbedaan agama dengan
pengecualiannya di dalam Surat Al Maidah ayat 5, yaitu khusus laki-laki Islam boleh mengawini
perempuan-perempuan ahli kitab, seperti Yahudi dan Nasrani, kemudian tidak bertentangan dengan
larangan-larangan yang terdapat dalam Al Quranul Karim. Serta dalam surat Annissa ayat 22,23 dan 24.
Dalam pelaksanaannya pernikahan dalam agama islam setidaknya harus terpenuhi syarat syarat yang
telah ditentukan dalam rukun nikah. yaitu:
Adanya calon suami dengan syarat-syaratnya,yaitu:
1. Islam.
2. Tidak di paksa
3. Bukan mahram calon isteri.
4. Tidak sedang melaksanakn ibadah haji atau umrah.

Calon Isteri Syarat-syaratnya, yaitu:


1. Islam.
2. Bukan mahram calon suami.
3. Tidak sedang melakan ibadah haji atau umrah.

Nabi SAW. telah memberikan petunjuk sifat-sifat perempuan yang baik, antara lain:
1. Wanita yang beragama dan menjalankannya.
2. Wanita yang keturunannya orang yang mempunyai keturunan yang baik.
3. Wanita yang masih perawan

Syarat-syarat wali, yaitu:


1. Islam;
2. Baligh (dewasa);
3. Berakal sehat;
4. Adil (tidak fasik)
5. Laki-laki; dan
6. Mempunyai hak untuk menjadi wali.
NIM Mahasiswa : 20180306144 Nama Mahasiswa : Farras Sani
Mata Kuliah : ESA116 Agama Islam Dosen : H.Rohmat Romdoni Soleh,Lc,MA
Hari : Jum’at Pukul : 00.00-23.59
Tanggal : 24 April 2020 Seksi : KJ101

Ijab adalah perkataan dari wali pihak wali perempuan. Sedangkan qabul adalah jawaban laki-
laki dalam menerima ucapan wali perempuan. Syarat-syarat ijab danqabul adalah:
1. Dengan kata nikah atau tazwij atau terjemahan.
2. Ada persesuaian antara ijab dan qabul.
3. Berturut-turut, artinya ijab dan qabul itu tidak terselang waktu yang lama.
4. Tidak memakai syarat yang dapat mengahalangi kelangsungan pernikahan.

Mahar
Mahar ialah pemberian dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan baik berupa uang atau benda-
benda yang berharga yang di sebabkan karena pernikahan diantara keduanya. Pemberian mahar
merupakan kewajiban bagi laki-laki yang menikahi perempuan. Mahar ini tidak termasuk rukun nikah,
sehingga jika pada waktu akan nikah tidak di sebutkan mahar itu, maka akad nikah itu tetap sah.
Banyaknya mahar itu tidak dibatasi oleh syariat Islam, hanya menurut kekuatan suami serta keridhaan
isteri.

Contoh penyimpangan yang terjadi dalam praktek pernikahan di masyarakat yang menyalahi hukum
Islam, diantaranya:
1. Menikahkan pasangan laki-laki dan perempuan yang telah melakukan perbuatan zina.
2. Menikah dengan orang yang berbeda agama (orang musrik/kafir) sebagaimana dalam surat Al-
Baqoroh ayat 221.

Anda mungkin juga menyukai