Anda di halaman 1dari 4

Urgensi Akhlak Bagi Seorang Muslim

Akhlak merupakan norma yang sejati untuk membangkitkan umat manusia, ia merupakan ukuran untuk
kemajuan umat, dan ia sebagai tanda dari sebuah peradaban. Sejak berdirinya daulah Islam bahkan
sejak munculnya dakwah Islam untuk kali pertama di kota Makkah, umat Islam mampu memimpin
revolusi untuk membereskan rusaknya moralitas yang berkembang pada saat itu, dan mereka mampu
menjadi terdepan di atas moralitas para pemeluk agama lain, yang kemudian mempengaruhi aspek-
aspek sosial mereka.

Sejarah telah membuktikan kepada kita bahwa bangkitnya suatu umat dan majunya suatu peradaban
adalah implikasi dari generasi-generasi yang memiliki jiwa yang kuat, jujur, akhlak yang mulia, dan
moralitas yang utama. Dan ini semua jelas ada dalam ajaran Islam, di mana para peneliti memandang
bahwa Islam merupakan pembendaharan yang kaya dengan ajaran-ajaran moralitas yang kemudian
telah diterima oleh para filusuf Yunani dan Romawi. Tatkala seorang ilmuan muslim ditanya, “Apakah
kamu telah membaca buku moralitas karya Aristoteles?” dia akan menjawab, “Justru aku sudah
membaca tentang moralitas dari Nabi Muhammad -shallaLlahu ‘alaihi wa sallam-.”2 Maka dari itu,
disamping tujuan Nabi Muhammad –shallaLlahu ‘alaihi wa sallam- diutus ke muka bumi ini untuk
meluruskan aqidah dan mengajarkan syariah, Nabi pun diutus untuk menyempurkan akhlak umat
manusia.

Dari Abu Hurairah -radhiyaLlahu „anhu- ia berkata, “Rasulullah -shallaLlahu „alaihi wa sallam- bersabda,
“Aku diutus (ke bumi) hanya untuk menyempurnakan akhlak manusia.”3 Kata “menyempurnakan” pada
hadits di atas mengisyaratkan bahwa akhlak manusia pada asalnya adalah baik. Lingkungan keluarga,
tetangga, dan lingkungan sosial-lah yang sedikit banyak mempengaruhi tabiat baik manusia. Di samping,
faktor godaan setan yang kemudian menyebabkan manusia menyeleweng dari jalan yang lurus.

Dalam konteks Arab, tempat dimana Nabi diutus, dalam penilian Shafiyyurrahman al- Mubarakfuri
bahwa masyarakat Arab adalah masyarakat yang mempunyai nilai-nilai kebaikan di dalam kehidupan
sosio-kulturalnya.

“Kita tidak dapat memungkiri bahwa pada sisi masyarakat Jahiliyyah terdapat kehidupan nista,
pelacuran dan hal-hal lain yang tidak dapat diterima oleh akal sehat dan ditolak oleh hati nurani. Namun
demikian, mereka juga mempunyai akhlak mulia dan terpuji yang amat menawan siapa saja, juga
membuatnya terkesima dan takjub.”4 Demikian kata al- Mubarakfuri.
Al-Mubarakfuri mencatat ada beberapa akhlak mulia yang dimiliki masyarakat jahiliyyah, diantaranya:
kemurahan hati, menempati janji, harga diri yang tinggi dan sifat pantang menerima pelecehan dan
kedzaliman, tekad yang pantang surut, meredam kemarahan, sabar, hati-hati, dan gaya hidup lugu dan
polos ala badui dan belum terkontaminasi oleh paradaban dan pengaruhnya.5

Oleh karena itu, Dr. Mushthafa ar-Rifa‟i mengatakan bawah masyarakat arab badui secara tabiat lebih
dekat kepada moral yang baik. Hal itu dikarenakan bahwa masyarakat arab hanya terpropokasi ketika
terjadi persaingan yang sengit. Sedangkan munculnya persaingan sengit di antara mereka disebabkan
komoditas yang diperlukan sangat sedikat sedangkan kebutuhan begitu banyak.6 Bahkan menurut al-
Buthi, dibandingkan dengan peradaban Persia dan Romawi, moralitas bangsa Arab lebih baik
dibandingkan moralitas mereka. Dimana bangsa Arab pada saat itu bagaikan bahan baku yang belum
diolah dan diubah bentuk. Di tengah masnyarakat yang murni inilah, fitrah kemanusiaan masih tetap
terjaga. Nilai-nilai luhur, seperti kejujuran, kehormatan, suka menolong, dan menjaga harga diri
mewarnai kehidupan masyarakatnya. Namun sayang, mereka belum mendapatkan pelita yang dapat
menerangi jalan untuk mencapai keluhuran. Mereka hidup di tengah gelapnya kejahiliahan. Karena
ketidaktahuan itulah, akhirnya mereka banyak yang tersesat. Mereka tega membunuh anak-anak
perempuan dengan dalih menjaga kehormatan. Mereka rela mengeluarkan harta secara berlebihan
demi mengejar kemuliaan. Mereka juga tak segan untuk saling membunuh satu sama lain demi menjaga
harga diri.

Definisi Akhlaq

Lafadz akhlāk merupakan bentuk jamak dari kata al-khulūk yang bermakna assajiyyah, yaitu sesuatu
yang tercipta atas suatu tabi‟at. Seperti dalam hadits kāna khuluquhu al-qur’āna; yaitu Nabi berpegang
teguh dengan al-Qur‟an, beradab dengannya, komitmen terhadap perintah dan larangan-Nya, dan hal-
hal yang mencakup kemuliaan, kebaikan, dan kelemah- lembutan.

Menurut az-Zubaidi, pada hakikatnya akhlak merupakan gambaran batin seseorang. Dengan kata lain,
akhlak merupakan jiwa, sifat, dan nilai-nilai khusus yang ada pada manusia untuk menggambarkan sifat
dan nilai-nilai yang nampak.

Dr. Iman Abdul Mu‟min mengatakan bahwa secara bahasa (lughatan), makna akhlak mengacu kepada
tiga makna:

Tabi’at; ialah sifat yang kokoh yang membentuk manusia tanpa maksud, disengaja, dan terencana dalam
meraihnya.
‘Adat; ialah sifat yang kokoh yang diusahakan oleh manusia dengan cara usaha dan berlatih, atau
dengan disengaja dan terencana.

As-Sajiyyah; ialah cakupannya lebih luas daripada tabi‟at dan usaha yang menjadi adat.

Sedangkan Miskawaih dalam kitab Tahdzībul Akhlāk dan imam al-Ghazali dalam kitab Ihyā- nya sama-
sama mendefinikan akhlak sebagai berikut:

Akhlak ialah kondisi jiwa yang dengannya dapat mendorong seseorang untuk melakukan suatu aktifitas
tanpa berfikir dan terencana.

Khuluk (baca: Akhlak) ialah sebuah ungkapan tentang kondisi jiwa yang kokoh yang darinya
menimbulkan sebuah aktifitas yang dilakukan dengan mudah dan gampang tanpa perlu pemikiran dan
perencanaan.

Akhlak Nabi Sebagai Figur

Akhlak baik merupakan akhlak para rasul dan juga amalan utama bagi orang-orang yang jujur. Ia juga
sebagai implementasi dari setengah ilmu agama, sebagai hasil dari kesungguhan orang-orang yang
bertakwa, serta merupakan pelatihan bagi para ahli ibadah.

Rasulullah -shallaLlahu ‘alaihi wa sallam- sebagai makhluk yang memiliki kesempurnaan akhlak, layak
dijadikan sebagai figur dalam kehidupan manusia. Kesempurnaan akhlak Nabi – shallaLlahu ‘alaihi wa
sallam- diakui bukan hanya oleh masyarakat arab, keluarga, dan sahabatnya saja, bahkan Allah -azza wa
jalla- pun mengakuinya dengan mengabadikan keluhuran akhlak Nabi -shallaLlahu ‘alaihi wa sallam- di
dalam beberapa ayat, di antaranya:

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (Q.S: Al-Ahzab:
21)

Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (Q.S: Al-Qalam: 4)

Dari Sa’ad bin Hisyam bin Amir ia berkata, “Aku pernah menemui Aisyah lalu aku bertanya, “Wahai
Ummul Mukminin! Kabarkanlah kepadaku tentang akhlak Rasulullah -shallaLlahu ‘alaihi wa sallam-.”
Aisyah menjawab, “Akhlak beliau adalah al-Qur’an.”12 Dalil-dalil di atas membuktikan bahwa Nabi
Muhammad -shallaLlahu ‘alaihi wa sallam- adalah figur yang dapat ditiru oleh siapapun. Dari mulai tidur
sampai bangun, dari mulai di rumah sampai di pasar, baik saat berperang maupun berumah tangga,
semuanya dapat dijadikan figur. Oleh sebab itu, kita menemukan ribuan bahkan jutaan hadits yang
menjelaskan ucapan dan perbuatan Nabi yang kemudian dipelajari dan dipraktekan oleh seluruh umat
muslim di dunia.

Urgensi Akhlaq

Banyak hadits yang menjelaskan mengenai urgensinya akhlak baik yang mesti dimiliki oleh seorang
muslim. Karena akhlak baik bukan hanya berkepentingan dengan dirinya, namun sangat berkepentingan
dengan keluarganya, sahabatnya, tetangganya, bahkan untuk kepentingan alam semesta ini. Di
antaranya adalah:

Dari Abu Darda dari Nabi -shallaLlahu ‘alaihi wa sallam ia bersabda, “Tidak ada sesuatu apapun yang
lebih berat timbangannya daripada akhlak baik.”14

Secara garis besar, akhlak itu ada yang bāthiniyyah (esoterik), seperti akhlas, sabar, syukur, ridha, dan
lain sebagainya; ada pula yang dzāhiriyyah (eksoterik), seperti berkata jujur, bersikap sopan, lemah-
lembut, suka menolong, dan lain sebagainya; ada yang bersifat individual, ada juga yang bersifat sosial.
Kedua hadits di atas cukup sebagai bukti bahwa materi-materi dan kajian-kajian tentang akhlak mesti
dianggap penting. Karena tanpa akhlak, karakteristik seseorang tidak akan terlihat elok. Maka sangat
dipahami jika Ibnu Hajar al-Asqalani mengakhiri pembahasan kitab fikih, yaitu Bulughul Maram, dengan
bab akhlak. Hal ini dikarenakan, seorang faqih tidak memiliki nilai apapun jika tidak dibarengi dengan
akhlak mulia. WaLlahu A’lam

Anda mungkin juga menyukai