Anda di halaman 1dari 40

MODUL

SEKOLAH ISLAM GENDER II (SIG II)

KOPRI RAYON “PEJUANG” ULIL ALBAB

KOMISARIAT AL-QOLAM MALANG

MASA KHIDMAT 2022-2023

1
TIM PENYUSUN :

Nabila Nur Amarina

Dita Eva Fitriani

Lailatul Zahro

Nur Khofifah

DESAIN COVER :

Sofiatul Mukarromah

EDITOR :

Nabila Nur Amarina

Ingsun.26

@pejuang_ulil_albab @kopri_pejuangulilalbab

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat,


hidayah, serta inayah-Nya berupa kesempatan dan juga nikmat kesehatan
dan juga pengetahuan sehingga tim penyusun dapat menyelesaikan Modul
Sekolah Islam Gender II (SIG II). Tujuan dari penyusunan modul ini
adalah sebagai pedoman kaderisasi formal yaitu Sekolah Islam Gender
(SIG). Dimana SIG merupakan fase orientasi kepada anggota baik laki-
laki dan perempuan setelah mengikuti kaderisasi formal di PMII yaitu
MAPABA untuk penguatan intelektual anggota PMII terhadap Islam
ramah perempuan, isu-isu yang berkaitan dengan gender dan sensitive
gender di multisector.

Dalam modul ini terdiri dari beberapa materi wajib yaitu


diantaranya : Konsep Dasar Islam, Gender I, Citra Diri Kopri, Al-Qur’an
Hadits Perspektif Gender, dan Fiqih Perempuan.

Semoga modul ini bermanfaat bagi peserta Sekolah Islam dan


Gender (SIG) khusunya bagi KOPRI dibawah naungan Rayon “Pejuang”
Ulil Albab Komisariat Al-Qolam Malang demi mengembangkan sumber
daya manusia dan meningkatkan kualitas intelektual dan sosialnya
sehingga mereka dapat paham dan mengimplementasikan materi Sekolah
Islam dan Gender (SIG) di berbagai multisektor.

Gondanglegi, 31 Desember 2022

Tim Penyusun

3
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL…………………………………………………...1
KATA PENGANTAR ...…………………………………………………3
DAFTAR ISI…………………………………………………………….. 4
KONSEP DASAR ISLAM ……………………………………………..5
A. Sumber Ajaran Islam……………………………………………..
B. Islam Normatif dan Islam Historis ………………………………..
C. Nilai-Nilai Universal dalam Ajaran Islam………………………..
FIQIH PEREMPUAN ……………………………………………….. 15
A. Feminisme Perpektif Aswaja…………………………………..
B. Sejarah Perjuangan Kaum Perempuan …………………………
C. Fiqih Islam Perspektif Perempuan………………………………..
D. Menuju Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Indonesia yang Adil Gender ……………………………………
CITRA DIRI KOPRI ………………………………………………… 23
A. Sejarah KOPRI …………………………………………………
B. Panca Norma KOPRI …………………………………………..
C. NKK (Nilai Kader KOPRI) ……………………………………….
D. Refleksi Paradigma KOPRI ……………………………………
E. KOPRI Sebagai Gerakan Perempuan yang “Khas” ………………
KONSEP GENDER ………………………………………………….. 34
A. Sex, Gender dan Konstruk Sosial ………………………………
GENDER PERSPEKTIF ISLAM …………………………………… 36
A. Prinsip Gender dalam Tauhid……………………………………..
B. Gender Perspektif Al-Qur’an …………………………………...
C. Gender Perspektif Hadits ………………………………………….

4
KONSEP DASAR ISLAM
Secara etimologis, Islam berasal dari kata salima yang berarti
selamat, sentosa, damai, tunduk, dan berserah.
K a t a salima kemudian berubah dengan wazan a s l a m a yang berarti
kepatuhan, ketundukan, dan berserah. Jadi, seorang muslim itu
harus patuh, tunduk dan berserah diri pada Tuhan Yang Maha Esa.
Selain itu Islam juga berarti selamat dan menyelamatkan, serta damai dan
mendamaikan. Sedang secara terminologis, Islam merupakan agama yang
ajarannya diwahyukan Allah kepada manusia melalui nabi
Muhammad sebagai rasul.
Sebagai sebuah agama, Islam diyakini mengandung berbagai
petunjuk ideal bagi kesejahteraan hidup manusia
s e b a g a i m a n a terdapat dalam sumber ajarannya, al-Qur’an dan
al-Hadits. Seperti yang dikatakan oleh Narasumber, sesuai dengan al-
Qur’an bahwa Islam itu sarat dengan ajaran moral yang
menekankan pada monoteis medan kesejahteraan sosial. I s l a m
memiliki titik tekan pada aspek kepasrahan dan
penyerahan diri kepada Allah, bukan pada sekedar institusi
agama yang bernama Islam. Islam tidak cukup hanya sebatas simbol yang
bersifat legal-formal seperti KTP maupun simbol lain yang
melekat pada pribadi seseorang (pakaian, dan atribut-atribut lainnya),
namun lebih pada kepasrahan mutlak pada Yang Maha Kuasa.
Contohnya, jika ritual ibadah dipenuhi sifat riya’ (ingin tidak pasrah
kepada-Nya, ada rasa ingin dipuji oleh selain-Nya) sebab
menyekutukan Tuhan dengan orang yang diharapkan pujiannya. Islam
berarti kepasrahan, ketulusan dan keikhlasan dalam beribadah kepada-
Nya. O l e h s e b a b i t u , s e b a g a i u m a t m u s l i m k i t a h a r u s l e b i h
mengedepankan aspek Islam di atas iman bukan sekedar Islam
dibawah iman. Sehingga keislaman kita pun akan menjadi
sempurna karena dipenuhi dengan rasa kepasrahan yang mutlak kepada-
Nya. Itulah inti dari Islam yang sejati yakni; pasrah, tunduk, dan patuh.

5
I s l a m b u k a n s e b a t a s d o k t r i n a g a m a y a n g b e r i s i r i t u a l saja,
namun Islam juga mempunyai beraneka karakteristik. Seperti yang
dijelaskan oleh Imam Tabrani, Islam memiliki berbagai karakteristik ;
bidang agama, bidang ibadah, bidang akidah, bidang ilmu dan
kebudayaan,bidang pendidikan, bidang sosial, bidang ekonomi, bidang
kesehatan,bidang politik, bidang pekerjaan, dan bidang Islam
sebagai disiplin i l m u . D e n g a n d e m i k i a n I s l a m m e n c a k u p
p a d a s e l u r u h a s p e k kehidupan manusia. Semuanya harus bermuara
pada makna Islam secara hakiki, yaitu pasrah,tunduk dan patuh kepada
Allah SWT.

A. Sumber Ajaran Islam


  Al-Qur’an adalah Kalam atau Firman Allah yang diturunkan
kepada Rasulullah Muhammad SAW. yang
pembacaannya merupakan suatu ibadah. Al-Qur’an
merupakan sumber hukum dan pedoman hidup bagi umat Islam.
Ia merupakan kitab yang mengandung ajaran yang komprehensif.
Secara sederhana kitab al-Qur’an mengandung aturan terkait relasi
antara manusia dengan T u h a n n y a ( H a b l u m M i n a l a l l a h ) ,
manusia dengan sesama manusia (Hablum minannas),
serta manusia dengan alam semesta (Hablum minal
alam).Selanjutnya dari tiga relasi tersebut terdapat sub-
s u b y a n g m e n j a d i t o p i k p e m b a h a s a n , m u l a i d a r i persoalan
akidah, ibadah, akhlak, syariah, muamalah, bidang ilmu dan kebudayaan,
sejarah, pendidikan, sosial, ekonomi, kesehatan, politik dan
masih banyak yang lainnya. Demikianlah, karena al- Qur’an
merupakan sumber pokok ajaran Islam.
Sumber yang kedua adalah hadits. Secara bahasa hadits
b e r a r t i b a r u s e b a g a i l a w a n qadim ( l a m a ) . D a r i s i s i i n i ,
hadits merupakan setiap kata-kata yang diucapkan dan
d i n u k i l s e r t a disampaikan oleh manusia baik kata-kata itu

6
diperoleh melalui pendengarannya (wahyu), baik dalam keadaan
terjaga ataupun d a l a m k e a d a a n t i d u r . S e d a n g k a n
m e n u r u t i s t i l a h , h a d i t s merupakan apa saja yang
disandarkan kepada nabi Muhammad Saw. baik berupa
perkataan, perbuatan, persetujuan (Hal yang dilakukkan para
sahabat yang tidak dilarang oleh nabi) dan sifat. (Qattan, 2015:
22).
Hadits terdiri dari dua macam ; hadits Kudsi dan h a d i t s
Nabawi. Hadits Kudsi ialah hadits yang oleh nabi
Muhammad disandarkan kepada Allah. Jadi secara sederhana,
bahwa al-Qur’an dengan hadits Kudsi itu dibedakan
k a r e n a alQur’an itu bersumber dari Allah baik lafal maupun
maknanya, sedangkan hadits Kudsi maknanya saja dari Allah,
lafalnya dari Rasulullah Muhammad Saw sendiri. Hadits Nabawi terdiri
dari dua : 1) bersifat tauqifi , yaitu yang k a n d u n g a n n y a d i t e r i m a
oleh Rasulullah dari Wahyu, lalu ia menjelaskan kepada
manusia dengan kata-katanya sendiri. Meskipun
kandungannya dinisbatkan kepada Allah, tetapi dari segi pembicaraan
lebih layak dinisbatkan kepada Rasulullah, sebab kata-kata itu
dinisbatkan kepada yang mengatakannya, meskipun d i
dalamnya terdapat makna yang diterima dari pihak lain;
2 ) . B e r s i f a t taufiqi , yaitu yang disimpulkan oleh Rasulullah
menurut pemahamannya terhadap al-Qur’an, karena ia
mempunyai tugas m e n j e l a s k a n al-Qur’an atau
menyampaikannya dengan pertimbangan ijtihad.
Bagian kesimpulan yang bersifat ijtihad ini diperkuat oleh wahyu
bila ia benar. Dan bila terdapat kesalahan didalamnya, maka turunlah
wahyu yang membetulkannya. Sebagai sumber ajaran yang ke dua,
hadits juga memiliki t i n g k a t a n b e r d a s a r k a n k u a l i t a s n y a .
Berdasarkan perawinya dibedakan menjadi hadits
mutawatir (banyak jalur perawinya) sehingga lebih kuat

7
dan hadits ahad yang hanya diriwayatkan m e l a l u i s a t u
jalur saja. Selain itu hadits juga dibedakan
berdasarkan kualitasnya; ada hadits sohih, hasan, dloif bahkan
hadits palsu (maudlu). Untuk itu umat Islam harus
s e n a n t i a s a selektif dalam memilih sebah hadits, agar tidak
terjebak kepada sebuah kesesatan. Karena tidak semua hadits
dapat dijadikan sebagai pijakan dan landasan hukum.
Selain Al-Quran dan Hadits, mayoritas ulama
juga menerima Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam.
A l - Q u r ’ a n dipandang sebagai sumber global yang masih
b e r s i f a t u m u m (mujmal). Maka perlu penjelasan hadits. Hadits
berfungsi sebagai bayan, t a f s i r , d a n takhsis bagi Al-Qur’an.
Namun, jika terdapat beberapa hal baru sesuai dengan
perkembangan zaman yang tidak dijelaskan secara eksplisit (tersurat)
dalam keduanya (Qur’an dan Hadits), maka diperlukan pemikiran
yang mendalam, agar s e m u a p e r s o a l a n y a n g b e r k e m b a n g
d a p a t d i j a w a b s e c a r a komprehensif. Pada posisi inilah ijtihad
sangat diperlukan.
Ijtihad berasal dari kata jahada yang memiliki arti berusaha k e r a s
atau berusaha sekuat tenaga. Maksudnya, pencurahan
segenap kemampuan untuk mendatangkan sesuatu dari berbagai
urusan atau perbuatan. Ijtihad dapat dicapai melalui beberapa
metode; 1) metode Qias (analogi), yaitu menentukan suatu hukum
berdasar hukum yang sudah ada karena persamaan illat (motivasi
hukum). Misalnya, meskipun Rasulallah tidak pernah zakat
beras, namun zakat berupa beras tatap sah berdasar illat , yaitu makanan
p o k o k ; 2 ) Ijmak  a t a u konsensus, yaitu
m e n e t a p k a n d a n memutuskan suatu perkara dan berarti pula
sepakat atau bersatu dalam pendapat. Misalnya terkait hukum
BPJS, ada konsensus ulama terkait persoalan itu, sehingga halal dan
sah meskipun tidak a d a d a l i l y a n g s e c a r a e k s p l i s i t

8
m e m e r i n t a h k a n n y a . 3 ) Istihsan, yaitu menjelaskan keputusan
pribadi yang tidak didasarkan atas qias, melainkan
didasarkan atas kepentingan umum atau
kepentingan keadilan. Misalnya khalifah Umar bin
K h a t a b r a , pernah membebaskan hukum potong tangan kepada
pencuri pada saat paceklik; 4) Maslahat  al-Mursalat, yaitu
keputusan yang berdasarkan guna dan manfaat sesuai dengan
tujuan hukum syara’. Kepentingan umum yang menjadi
dasar p e r t i m b a n g a n maslahat al-
mursalat m e n o l a k mafsadat  atau m e n g a m b i l m a n f a a t d a r i
s u a t u p e r i s t i w a . M i s a l n y a , m e s k i p u n alkohol dan judi itu ada
maslahat (manfaatnya), namun keburukan (mafsadatnya) lebih besar,
sehingga keduanya dilarang. Menolak kerusakan lebih
diutamakan daripada meraih kemaslahatannya, d a n a p a b i l a
berlawanan antara mafsadat dan maslahat
didahulukan menolak mafsadatnya, demikianlah kaidah
u s h u l fiqihnya; 5) ‘Urf , yaitu sesuatu yang telah dikenal oleh
kebanyakan orang dan telah menjadi tradisi, baik ucapan maupun
perbuatan. Misalnya, kebiasaan atau tradisi yang sudah berjalan di
lingkungan kita tinggal bisa sebagai acuan hukum selama tidak
bertentangan dengan hukum syar’i yang lebih kuat.

B. Islam Normatif dan Islam Historis


Istilah Islam normatif dan Islam historis berkembang dalam kajian
studi Islam. Nasr Hamid Abu Zaid mengelompokkan kajian
Islam menjadi tiga wilayah (domain); Pertama, wilayah teks asli
Islam yaitu al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad yang otentik.
Pada level ini dapat dikatan bahwa Umat Islam manapun pasti
tidak akan terlepas dari kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah
y a n g sama, kecuali kelompok Syi’ah yang mempunyai kategori Sunnah
t e r s e n d i r i ; Kedua, p e m i k i r a n I s l a m y a n g m e r u p a k a n

9
r a g a m penafsiran terhadap teks asli Islam (al-Qur’an dan
sunnah nabi Muhammad saw). Pada level ini dapat pula disebut
sebagai hasil pemikiran/ijtihad terhadap teks asli Islam, seperti
tafsir dan fikih. Dalam kelompok ini dapat ditemukan dalam empat
pokok cabang:1) hukum/fiqih, 2) teologi, 3) filsafat, dan 4) tasawuf
Ketiga, praktek yang dilakukan kaum muslimin. Praktek ini
muncul dalam berbagai macam dan bentuk sesuai dengan latar
belakang sosial (konteks).
Dari uraian sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa
Islam Normatif berarti Islam yang memuat kebenaran mutlak, Islam y a n g
terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi. Seperti
persoalan keEsaan Allah, bahwa Nabi Muhammad utusan
Allah,bahwa Al-Qur’an adalah Wahyu Allah, bahwa Shalat wajib lima
waktu s e h a r i s e m a l a m , p u a s a d i b u l a n R a m a d l a n ,
membayar zakat,m e n u n a i k a n i b a d a h h a j i ( b a g i y a n g
m a m p u ) , b a h w a m i n u m - minuman yang memabukkan itu
dilarang, bahwa berbuat zina juga dilarang, serta aturan-aturan lain
yang tertuang dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi yang telah jelas dan
terang penjelasannya tanpa adanya campur tangan pemikiran
manusia (ijtihad) dalam memahaminya.
Sedangkan Islam historis, berupa pemikiran
a t a u penafsiran terhadap nilai-nilai dasar dalam al-Qur’an dan
Sunnah nabi dan praktik keberagamaan umat Islam. Pada level
penafsiran, perbedaan pendapat tidak dapat dihindarkan. Misalnya
sentuhan yang membatalkan wudlu’. Ada ulama yang berpendapat
sentuhan membatalkan wudlu’ adalah semua sentuhan antara laki-
laki dan p e r e m p u a n y a n g s u d a h d e w a s a y a n g b u k a n
mahram. Sementara ulama lain berpendapat bahwa
s e n t u h a n y a n g membatalkan wudlu’ adalah sentuhan suami istri
atau kumpul suami istri (jima’). Sementara dalam sisi praktik
keberagamaan yang dilakukan umat Islam bisa dicontohkan

10
dengan warna dan model pakaian shalat. Selain itu praktik shalat
muslim Pakistan yang tidak meletakkan tangan didada,
sementara muslim Indonesia meletakkan tangan di dada. Contoh
lain praktik duduk miring ketika tahiyat akhir bagi muslim
Indonesia, sementara muslim di Negara lain tidak melakukannya.
Di Indonesia juga telah mentradisikan peringatan maulid nabi (Tradisi
amaliyah NU), yang hal itu tidak terdapat di Negara lain. Islam historis
adalah Islam yang beraneka ragam. Sifat subjektivitas manusia
melazimkan bagi munculnya aneka ragam Islam yang
mengejawantah dalam masyarakat. Keanekaragaman Islam dalam
praktik di masyarakat muncul karena berbagai kondisi r u a n g d a n
waktu dimana dan kapan Islam dipahami dan
diamalkan oleh manusia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada
kebenaran Universal (mutlak) dalam Islam historis. Karena
dalam wilayah ini subjektifitas manusia yang dipengaruhi oleh
faktor pemikiran, geografis, historis dan yang lainnya
s a n g a t berpengaruh.

C. Nilai-Nilai Universal dalam Ajaran Islam


Dalam bingkai paradigma nasional, motto Bhineka Tunggal Ika
harus mengkristal ke semua umat beragama, sehingga menjadi pola pikir,
pola sikap, dan pola tindak dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Norma kebersamaan (shared norm) dalam realitas
keragaman menjadi landasan utama bagi terbangunnya kerukunan sosial
yang tulus dan permanen. Upaya memahami agama orang lain merupakan
hal paling mendasar yang harus ada dalam relasi kehidupan keberagamaan
di Indonesia.
Saling bekerjasama antar penganut dan kelompok agama
merupakan puncak dari sikap saling mengakui dan saling menghormati
antar pemeluk agama. Keharmonisan kehidupan umat beragama yang
sejati akan terlihat dari adanya kesamaan keprihatinan (concern) dan

11
kepentingan yang terwujud dalam tujuan serta aktivitas kolektif yang
bermanfaat bagi kehidupan bersama. Pada hakikatnya semua agama
mengajarkan perdamaian (peace), dan tidak membenarkan kekerasan.
Namun demikian, realitasnya tidak sedikit terjadi aksi-aksi kekerasan atas
nama agama. Salah satu alasan mengapa agama begitu mudah dilekatkan
dengan kekerasan, barangkali karena setiap agama memiliki klaim
kebenaran dan misi untuk menegakkan kebenaran tersebut. Sementara itu,
banyak penganut agama yang masih menyalahpahami perdamaian dan
nirkekerasan sebagai kompromi dan kepasifan yang berlawanan dengan
misi tersebut. Damai dan konflik adalah dua sisi mata uang yang saling
berkaitan. Terjadinya suasana damai hari ini belum tentu menghapuskan
secara radikal benih konflik, karena konflik dapat muncul kembali ke
permukaan yang disebabkan faktor internal maupun eksternal.
Agama memang dapat diibaratkan seperti pedang bermata dua, di
satu sisi ia dapat menjadi perekat dan pemersatu bagi umat, namun di sisi
lain ia juga dapat menjadi pemicu konflik dalam masyarakat, hal ini
tergantung cara memahaminya. Faktanya, konflik umat beragama
seringkali disebabkan oleh adanya perbedaan agama yang tidak disikapi
dengan rasa tasamuh (toleransi) dari masing-masing penganut agama.
Masing-masing merasa menjadi pemegang kebenaran yang berimplikasi
bahwa orang lain dianggap salah. Seharusnya, meyakini suatu agama
sebagai “kebenaran absolut” tidak harus dijadikan legitimasi untuk
menyalahkan orang lain.
Dilema agama-agama yang paling serius adalah tatkala
berhubungan dengan kalangan di luar komunitasnya. Hampir semua
agama memandang pihak lain lebih rendah, bahkan cenderung
mendiskreditkan ketika berbicara komunitas di luar dirinya. Tantangan
yang dihadapi umat beragama dewasa ini adalah menjalankan misi
keagamaan tanpa menimbulkan benturan dan kerusakan, melainkan
membawa kemaslahatan; menebarkan kebaikan kepada semua kalangan,
tanpa mengkompromikan keyakinan, tetapi justru memperkokohnya.

12
Agama Sebagai Pendorong Perdamaian
Agama seringkali dihubungkan dengan kekerasan, terlebih setelah
serangan terorisme di Amerika Serikat pada 2001, dan serangan teror lain
di berbagai negara termasuk Indonesia. Dalam merespons stigma media
Barat bahwa “agama adalah sumber terorisme”, para pemuka agama
cenderung mencari-cari dalil agama yang mengecam tindakan terorisme.
Padahal yang diperlukan adalah menunjukkan dimensi dari agama yang
mengandung nilai dan landasan bagi bina damai yang menunjukkan
agama tidak pasif, melainkan secara aktif turut andil dalam mendorong
perubahan di masyarakat. Alissa Wahid menyebutkan, cara lama
merespons konflik yang sering dilakukan para tokoh dan pemerintah
adalah “deklarasi”.
Selama ini, damai seringkali hanya dimaknai secara sempit sebagai
ketenangan, keselamatan, kepasrahan, dan bahkan kompromi. Perdamaian
juga umumnya dipahami sebagai gencatan senjata atau perjanjian
mengakhiri pertikaian. Padahal perdamaian yang hakiki tidak hanya
mensyaratkan tiadanya kekerasan langsung, tetapi juga sirnanya kekerasan
yang lebih luas pada tataran sistem dan budaya. Agama memiliki peran
sangat penting, karena menjadi salah satu unsur yang dapat membangun
etika sosial, sistem, dan budaya masyarakat. Dalam aspek doktrin
keagamaan, semua agama mengajarkan agar penganutnya menciptakan
dan memelihara kedamaian. Maraknya konflik dan kerusuhan yang terjadi
di beberapa daerah, disebabkan antara lain oleh kurangnya pengetahuan
dan pemahaman sebagian umat beragama terhadap ajaran agama lain, di
samping agamanya sendiri. Keadaan demikian menyebabkan umat
beragama yang bersangkutan mempunyai pandangan keagamaan yang
sempit dan eksklusif. Akibatnya mudah menyalahkan orang lain.
Prasyarat untuk menuju terwujudnya perdamaian harus didasarkan
pada adanya komunikasi yang berlangsung secara jujur dan terbuka,
sehingga diketahui kesulitan dari masing-masing pihak. Dialog adalah

13
upaya menjembatani benturan, namun dialog tidak hanya berhenti dalam
tataran perbincangan atau wacana semata. Karena itu, perlu tindakan nyata
sebagai manifestasi dari pencarian resolusi atas sebuah konflik. Konsep
bina damai (peace building) pertama kali dipopulerkan oleh Bhoutros-
Bhoutras Ghali, mantan Sekretaris Jenderal PBB pada tahun 1992, dan
diperkuat oleh paparan John Galtung dan Andi Knight. John Galtung
menyatakan bahwa peace building adalah proses pembentukan
perdamaian yang tertuju pada implementasi praktis perubahan sosial
secara damai melalui rekonstruksi dan pembangunan politik, sosial, dan
ekonomi.
Dalam pemetaan konflik, Galtung memperkenalkan konsep
segitiga konflik dan perbedaan antara kekerasan langsung, kekerasan
struktural dan kekerasan budaya, serta memperkenalkan antara
perdamaian negatif dan perdamaian positif. Peace building bagi Galtung
lebih menekankan pada proses jangka panjang, penelusuran dan
penyelesaian akar konflik, mengubah asumsi-asumsi yang kontradiktif,
serta memperkuat elemen yang dapat menghubungkan pihak-pihak yang
bertikai dalam suatu formasi baru demi mencapai perdamaian positif. Andi
Knight, ilmuwan politik Kanada dalam bukunya Building Sustainable
Peace, menyatakan peace building terkait dengan dua hal esensial, yaitu
dekonstruksi struktur kekerasan dan merekonstruksi struktur perdamaian.
Tujuan utamanya adalah mencegah atau menyelesaikan konfik serta
menciptakan situasi damai melalui transformasi kultur kekerasan menjadi
kultur damai.

14
FIQIH PEREMPUAN

A. Feminisme Perpektif Aswaja


Menyikapi berbagai ideologi feminism yang berkembang di dunia
(ketiga) ini, tak serta merta membuat KOPRI mengikuti arusnya. KOPRI
memiliki arah geraknya sendiri. Masih banyak diantara kita menganggap
feminism adalah gerakan yang berasal dari Barat sehingga lekat dengan
kultur-kultur yang tidak sesuai dengan sifat asli Indonesia, yang kemudian
menimbulkan sikap anti-kebarat baratan.
Feminisme Aswaja bertugas untuk mengidentifikasi penyesuaian-
penyesuaian antara pandangan feminism dengan pandangan keagamaan
ahlusunah wal jamaah. KOPRI memilih jalan tengah, yaitu tahu
bagaimana konsep memperjuangkan kesetaraan perempuan yang adil di
tengah sehingga tidak terlalu kolot dengan pemikiran tekstual dan tidak
terlalu liberal memahami kesetaraan perempuan sehingga menyalahi
pedoman interpretasi islam. Sesuatu yang sifatnya teologis memang

15
Mutlak, namun ketika diturunkan pada hambanya kemudian muncul suatu
pembenaran-pembenaran.
Dalam sejarah, feminism dalam islam itu telah ada. Terbukti,
dengan adanya gerakan-gerakan pembebasan islam yang dilakukan dan
diabadikan dalam al-qur’an. Tafsir ayat-ayat dalam Al-qur’an perspektif
gender dimaknai dalam tiga tahap pembebasan.
1. Pembebasan secara total
Surat Al-isra’ ayat 31 yang menyatakan bahwa pembunuhan
terhadap bayi perempuan sangat dilarang. Allah SWT juga melarang
praktik ini yang dulunya pernah dilakukan oleh kaum quraish. Menurut
Islam, kedudukan laki dan perempuan itu sama. Bisa disimpullkan bahwa
arah gerakan feminis adalah gerakan kemanusiaan.
2. Pembebasan secara bertahap
Ada beberapa contoh pembebasan bertahap yang dianggap
memberikan keuntungan terhadap perempuan. Yang pertama adalah
perbudakan. Pembebasan budak adalah wajib dilaksanakan dalam islam,
utamanya untuk budak perempuan. Dan juga dilegalkan dalam bentuk
pernikahan, dalam Al-Qur’an disebutkan lebih baik menikahi budak
perempaun daripada perempuan merdeka tapi musyrik. Yang kedua,
terkait dengan ahli waris. Dulu, masa pra islam, perempuan dijadikan
objek warisan, kemudian di masa pencerahan datang, perempuan dijadikan
subjek penerima warisan dengan proporsi 2:1.
3. Pembebasan terus menerus
Tugas terpenting KOPRI saat ini adalah bagaimana merefleksikan
berbagai masalah yang timbul sejak masa pra islam hingga saat ini dengan
tetap berpedoman pada ASWAJA. Ideologi gerakan feminis aswaja adalah
sesuai dengan tujuan tauhid yang menjamin keadilan bagi orang-orang
tertindas, perempuan dan memperjuangkan kesetaraan. Dan focus feminis
aswaja tidak hanya pada perempuan sebagai objek, tapi focus pada
perempuan sebagai subjek, sistem dan struktur.

16
B. Sejarah Perjuangan Kaum Perempuan
Gerakan perempuan Indonesia telah melalui empat fase pada
periode pemerintahan berbeda dan masih berjuang keras untuk
mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Beberapa narasi gerakan,
terutama yang terkait dengan peristiwa 1965, bahkan sengaja dihilangkan
oleh penguasa. Aktivis perempuan Nursyahbani Katjasungkana, dan salah
satu pendiri Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia
untuk Keadilan (LBH APIK), menjabarkan soal empat fase sejarah
gerakan perempuan di Indonesia. Fase-fase tersebut adalah era Kartini
hingga era kemerdekaan pada 1945; periode pasca-kemerdekaan hingga
tahun 1965; era Orde Baru hingga 1998; dan tahun 1998 hingga sekarang.
Di dalam fase awal pada tahun 1900-an, pikiran-pikiran R.A.
Kartini, terutama himbauan dari tiga bersaudara Kartini dalam koran De
Locomotief di Semarang, memberikan pengaruh besar pada lahirnya
organisasi perempuan atau gerakan perempuan di Indonesia. Tiga
bersaudara Kartini ini memberikan himbauan pada para pejuang
kemerdekaan dan organisasi-organisasi kemasyarakatan, termasuk
organisasi perempuan untuk membentuk organisasi yang modern,” ujar
Nursyahbani dalam forum bertajuk “Peta Pemikiran dan Gerakan
Perempuan Indonesia” yang diadakan lembaga Reducates, November lalu.
Sebelum kemunculan Kartini pada akhir abad 19, sudah ada para
perempuan di kalangan bangsawan yang giat berusaha memajukan
perempuan, tetapi masih terbatas pada lingkungan kecil mereka. Sukanti
Suryochondro dalam bukunya, Potret Pergerakan Wanita di Indonesia
mengungkapkan bahwa emansipasi perempuan di kalangan raja Jawa
misalnya, mula-mulanya tampak di lingkungan Keraton Pakualaman di
Yogyakarta. Pelopor-pelopor emansipasi perempuan ketika itu menyoroti
masalah pendidikan bagi kaum mereka. Para pelopor tersebut, termasuk
Kartini kemudian, menyadari bahwa pendidikan akan meningkatkan
kesadaran dan mengembangkan kemampuan perempuan yang berguna
bagi kemajuan masyarakat.

17
Kartini mencoba membuka akses pendidikan bagi perempuan
dengan membuka sekolah di rumahnya sendiri. Di tempat lain dengan
semangat yang sama, ada Dewi Sartika yang pada tahun 1904 mengepalai
sekolah di Bandung, dan Maria Walanda Maramis yang pada tahun 1918
mendirikan sekolah rumah tangga Indonesia pertama di Manado.
Sukanti dalam buku yang sama juga mengatakan bahwa walaupun
sudah banyak tokoh-tokoh penggerak perjuangan perempuan di Indonesia,
lambat laun dirasakan bahwa tidak cukup bagi perempuan untuk berjalan
sendiri-sendiri. Inisiatif untuk membentuk organisasi perempuan pun
muncul kemudian demi mewujudkan kesamaan hak perempuan dan laki-
laki.
Atas prakarsa Boedi Oetomo pada tahun 1912, didirikanlah organisasi
perempuan pertama di Jakarta bernama Poetri Mardika. Dalam upaya
pemberdayaan perempuan dan memperjuangkan hak-hak perempuan,
organisasi ini melakukan kampanye dengan menerbitkan surat kabar
Poetri Mardika pada tahun 1914. Media ini melakukan banyak kampanye
pemberdayaan perempuan melalui pendidikan dan pengajaran. Setelah itu
mulailah bermunculan organisasi-organisasi perempuan seperti Pawijitan
Wanita di Magelang (1915), Aisiyah di Yogyakarta (1917), Wanita Susilo
di Pemalang (1918), dan lain-lain. Sukanti berpendapat bahwa umumnya,
semua organisasi perempuan ini memiliki tujuan yang sama, yaitu
membentuk tali persaudaraan demi memajukan harkat martabat
perempuan, memberi kesempatan lebih banyak bagi perempuan
memperoleh pendidikan, dan mendorong penghapusan ketidakadilan bagi
perempuan dalam keluarga dan masyarakat.

C. Fiqih Islam Perspektif Perempuan


Pada 18 Maret 2005, terjadi peristiwa yang cukup menghebohkan
dunia Islam. Adalah Amina Wadud Muhsin, seorang feminis Islam dari
Amerika Utara, memimpin shalat Jum'at yang diikuti 100 orang jamaah,
baik laki-laki maupun perempuan di sebuah gereja Anglikan, Manhattan,

18
New York. Peristiwa ini mendapatkan kecaman publik, tidak hanya di
Amerika, tapi juga di seluruh dunia, bahkan sekelompok orang di Amerika
mengancam akan meledakkan bom di tempat berlangsungnya shalat
Jum'at yang sedianya akan dilakukan di Sundaram Tagore Gallery.
Namun, dengan pertimbangan keamanan, akhirnya dipindahkan di gereja.
Berbagai reaksi pun muncul di kalangan para ulama, yang
sekaligus menghadirkan kembali polemik yang selama ini terkubur dalam
peta pemikiran umat Islam. Tindakannya ini memicu kembali kontroversi
seputar boleh tidaknya perempuan menjadi imam (pemimpin), terutama
bagi laki-laki. Berbagai pendapat pun mengemuka, baik yang pro maupun
yang kontra, disertai dengan berbagai argumentasinya. Bagi yang setuju,
berargumen: 1) tidak ada satu teks pun dalam Al-Qur'an dan Hadits yang
melarang perempuan memimpin laki-laki dalam shalat serta yang menolak
hak mereka untuk memberikan khutbah, 2) Al-Qur'an menegaskan
kapasitas perempuan untuk memimpin komunitas, baik dalam bidang
politik maupun spiritual, 3) kondisi yang dibutuhkan untuk memberikan
khutbah adalah memiliki pengetahuan tentang Al-Qur'an, sunnah,
ajaranajaran islam, dan beriman kepada Allah, dan 4) Nabi saw dulu juga
pernah memberikan izin Ummu Waraqah untuk menjadi imam dalam
keluarganya yang jamaahnya tidak hanya perempuan, tapi juga laki-laki
dengen pertimbangan kelebihan ilmu agama yang dimilikinya.
Sementara kalangan yang yang kontra, seperti Syeikh Sayed
Tantawi (seorang mufti besar Saudi Arabia, Imam para ulama Makkah dan
Madinah), Yusuf Qardhawi (presiden the European Council for Fatwa and
Research), dan beberapa ulama di seluruh dunia, mengecam tindakan
Amina sebagai bid'ah. Dalam statementnya yang dipublikasikan di Islam
online, Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa yang boleh menjadi imam
hanya laki-laki. Shalat merupakan sebuah ritual dengan beberapa gerakan
yang tidak memungkinkan wanita menjadi imam karena secara natural
kondisi fisiknya dapat membangkitkan nafsu lakilaki sehingga akan
mengganggu perhatian dan konsentrasi mereka, serta menghilangkan

19
atmosfer spiritual yang dibutuhkan dalam shalat. Pendapat yang senada
juga dinyatakan oleh the Assembly of Moslem Jurist of america.
Pandangan Yususf Qardhawi di atas mewakili pendapat mainstream
pemikir Islam terkait dengan kepemimpinan perempuan dalam ibadah.
Dasar penolakannya terhadap imam perempuan tersebut dengan alasan
bahwa perempuan adalah “pembangkit birahi kaum pria”. Hal itu
menyiratkan pemikirannya bahwa eksistensi perempuan dikonsepsikan
hanya sebagai makhluk sensual, di mana tubuhnya hanya dimaknai
sebagai lokus perangsang nafsu laki-laku. Konsepsi ini kemudian
dijadikan legitimasi untuk membatasi gerak perempuan terbatas pada
ruang-ruang domestik karena kebebasan untuk mengakses dunia publik
justru akan menimbulkan fitnah. Polemik mengenai kepemimpinan
perempuan dalam ranah agama, telah lama dibicarakan dalam fiqih
ibadah. Hal ini nampak pada adanya berbagai kriteria yang ditetapkan
ulama bagi orang-orang yang akan didaulat menjadi imam shalat. Para
ulama saling berbeda pendapat dalam menetapkan syarat imam shalat.
Mainstream ulama memberikan beberapa kriteria, antara lain: Islam,
berakal, baligh, pria, suci dari hadats dan kotoran, bacaanya baik, alim,
dan sebagainya.
Secara terperinci, Abu Hanifah mendahulukan mereka yang lebih
atas pengetahuan hukum-hukum, kemudian yang paling baik bacaannya,
kemudian mereka yang wara‟, Islam, berumur, memiliki akhlak mulia,
tampan wajahnya, baik nasabnya, dan paling bersih pakaiannya. Apabila
terdapat sejumlah orang yang sama kriterianya, maka diadakan undian
untuk memilih salah seorang yang berhak menjadi imam.
Senada dengan pandangan Hanafiyah, Malikiyah memberikan syarat-
syarat kepemimpinan shalat secara agak luas, mencakup ke arah imamah
kubro, dan memperluas syaratsyaratnya. Adapun persyaratan secara rinci
yang dikemukakan Malikiyah adalah lebih mendahulukan sultan
(penguasa) atau wakilnya, imam masjid, penghuni rumah, yang paling
tahu tentang masalah shalat, yang paling adil, yang paling baik bacaannya,

20
yang lebih dulu Islamnya, dan jika sama akan diadakan undian untuk
menentukannya.
Sementara itu, Hanabilah berpandangan bahwa yang berhak
menjadi imam adalah yang paling paham dan paling baik bacaannya,
kemudian yang paling baik bacaannya saja, dan jika tidak ada maka baru
mereka yang paling paham tentang masalah shalat. Namun, jika masih
ditemukan ada yang sama, maka ditentukan melalui undian. Syafi'iyah
memberikan persyaratan penguasa dan imam masjid lebih didahulukan
daripada mereka yang lebih paham terhadap masalah shalat dan baru
kemudian mereka yang paling baik bacaannya. Berbeda dengan tradisi
Sunni, kalangan Syi'ah lebih mendahulukan para imam mereka. Apabila
terdapat kesamaan, maka yang didahulukan adalah yang lebih paham
terhadap ajaran agama, lebih baik bacaannya, yang lebih tua umurnya.

D. Menuju Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia yang Adil


Gender
Diskriminasi terhadap perempuan sering terjadi dalam lingkup
keluarga. Marginalisasi, subordinasi dan korban KDRT telah menjadi
identifikasi ketimpangan gendernya. Kedudukan perempuan dalam
keluarga sudah mendapat perhatian khusus dari terapan aturan Kompilasi
Hukum Islam (KHI). Walau masih ada beberapa pasal dalam KHI yang
bias gender, namun sebagai salah satu hukum positif di Indonesia secara
umum bisa disimpulkan bahwa KHI untuk saat ini cukup menampakkan
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hubungan hukum
keluarga. Perspektif kesetaraan gender antara lain terdapat pada aturan
mengenai persamaan posisi suami isteri, pembatasan poligami, harta
bersama, perceraian, akibat perceraian, penguasaan anak dan kewarisan.
Sejumlah kajian dan penelitian menjelaskan bahwa Kompilasi
Hukum Islam (KHI) mengandung dalam dirinya berbagai potensi kritik.
Kritik umumnya diarahkan selain pada eksistensi KHI juga pada substansi
hukumnya yang dipandang tidak lagi memadai dalam menyelesaikan

21
pelbagai problem keumatan yang cukup kompleks. Ini karena konstruksi
KHI sejak awal kelahirannya telah membawa pelbagai kelemahan.
Hasil-hasil penelitian baik berupa tesis maupun disertasi
menyatakan bahwa KHI memiliki kelemahan pokok justru pada rumusan
visi dan misinya. Terang benderang, beberapa pasal di dalam KHI secara
prinsipil berseberangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam yang universal,
seperti prinsip persamaan (al-musâwah), persaudaraan (al-ikhâ`), dan
keadilan (al-`adl), serta gagasan dasar bagi pembentukan masyarakat
madani, seperti pluralisme, kesetaraan gender, HAM, demokrasi, dan
egalitarianisme.
Di samping itu juga disinyalir oleh para pakar hukum, di dalam
KHI terdapat sejumlah ketentuan yang tidak lagi sesuai dengan hukum-
hukum nasional dan konvensi internasional yang telah disepakati bersama.
Belum lagi kalau ditelaah dari sudut metodologi, corak hukum KHI masih
mengesankan replika hukum dari produk fikih jerih payah ulama zaman
lampau di seberang sana. Konstruksi hukum KHI belum dikerangkakan
sepenuhnya dalam sudut pandang masyarakat Islam Indonesia, melainkan
lebih mencerminkan penyesuaian-penyesuaian dari fikih Timur Tengah
dan dunia Arab lainnya.
Program ini hadir untuk membaca ulang KHI setelah 12 tahun
berlalu dan menyusunnya kembali dalam perspektif baru (meliputi visi
dan misi) yang lebih sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia dewasa
ini. KHI yang diharapkan adalah seperangkat ketentuan hukum Islam yang
senantiasa menjadi rujukan dasar bagi terciptanya masyarakat berkeadilan,
yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, menghargai hak-hak kaum
perempuan, meratanya nuansa kerahmatan dan kebijaksanaan, serta
terwujudnya kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Semua ketentuan
tersebut hendak digali dan dirumuskan dari sumber-sumber Islam yang
otoritatif, al-Qur’ân dan al-Sunnah, melalui pengkajian terhadap
kebutuhan, pengalaman, dan ketentuan-ketentuan yang hidup dalam

22
masyarakat Indonesia, khazanah intelektual klasik Islam, dan pengalaman
peradaban masyarakat Muslim dan Barat di belahan dunia yang lain.

CITRA DIRI KOPRI

A. Sejarah KOPRI
Pada saat PMII didirikan KOPRI memang belum ada. Yang ada
hanya divisi keputrian. Hal ini bukan lantaran peran perempuan sangat

23
kecil, melainkan lebih dikarenakn kepraktisan semata. Maksudnya dalam
divisi keputrian ini dikalangan perempuan PMII bisa lebih fokus
memusatkan perhatiannya menangani masalah-masalah yang berkaitan
dengan dunianya. Sayang, saat itu dunia perempuan hanya sebatas
menjahit, memasak dan dapur.
Dalam divisi keputrian tadi, yang menangani semua permasalahan
didalamnya tentu saja harus perempuan. Namun walau demikian tidak
menutup kemungkinan perempuan menempati posisi di struktur PMII.
Tapi lagi-lagi karena kesiapan SDM dan profesionalitas perempuan yang
kurang menyebabkan jumlah mereka secara kuantitias masih sedikit.
Dimaklumi, karena waktu itu memang sangat sedikit kaum perempuan
yang dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Kondisi
yang terjadi saat itu antara laki-laki dan perempuan saling bahu-membahu
(guyub) dalam menutupi kekurangan di organisasi. Termasuk pula guyub
dalam pengambilan keputusan serta beberapa hal yang mengharuskan
mereka bekerja sama mempertaruhkan nama organisasi.
Lahirnya KOPRI berawal dari keinginan kaum perempuan untuk
memiliki ruang sendiri dalam beraktifitas, sehingga mereka dapat bebas
mengeluarkan pendapat atau apapun. Keinginan tersebut didukung
sepenuhnya oleh kaum laki-laki saat itu. Corps Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia Poetri (COPRI) lahir pada tanggal 25 November 1967 di
Semarang, dengan status semi otonom yang sebelumnya merupakan
follow up atas dilaksanakannya Training Kursus keputrian di Jakarta pada
tanggal 16 Februari 1966 yang melahirkan Panca Norma KOPRI.
Disisi lain, kondisi gerakan perempuan pada saat berdirinya
KOPRI baru sebatas emansipasi perempuan dalam bidang sosial dan
kemasyarakatan. Misalnya di NU, kita mengenal Muslimat yang hanya
mengadakan kegiatan pengabdian sosial kemasyarakatan. Dalam tahap
awal berdirinya, KOPRI banyak mengadopsi dan melakukan kerjasama
dengan Muslimat. Sebagaimana organisasi perempuan yang ada pada
waktu itu, KOPRI hanya semata-mata sebagai wadah mobilisasi

24
perempuan. Alasan mengapa ada KOPRI tak lain karena dirasa perlu
untuk mengorganisir kekuatan perempuan PMII untuk bisa menopang
organisasi yang menaunginya (PMII). Hal ini seperti juga terjadi di
organisasi-organisasi lain baik organisasi mahasiswa, ormas keagamaan,
dan organisasi politik.
Akan tetapi ada pada perkembangan selanjutnya menunjukkan
hubungan yang dianggap problematis. Dengan gagasan otonomisasi di
tingkat pusat (Pengurus Besar) sekilas nampak dualisme organisasi,
karena KOPRI memiliki program terpisah dan kebijakan yang berbeda
dari PMII. Beberapa kalangan menganggap perkembangan ini sebagai
suatu yang positif, karena KOPRI telah bergerak dari organisasi dengan
pola ketergantungan terhadap PMII menuju organisasi yang mandiri.
Sedangkan kalangan lain menanggapi dengan nada minor, karena KOPRI
dianggap melakukan pelanggaran konstitusi dan telah menjadi kendaraan
politik menuju posisi strategis di PMII. Arus gerakan perempuan pada
umumnya sangat memberi warna pada perkembangan yang terjadi dalam
KOPRI. Untuk menjelaskan bagaimana realitas kondisi KOPRI, tidak
lepas dengan bagaimana paradigma gerakan perempuan di Indonesia.
Yang perlu diketahui lagi bahwa historis struktural yang
mendorong lahirnya KOPRI sebagai organisasi ekstra kampus yang nota
bene merupakan kumpulan intelektual muda, dimana pada perkembangan
awalnya perempuan di PMII masih termasuk dalam bidang keputrian. Tapi
dengan kebutuhan serta didukung adanya kualitas dan kuantitas yang ada,
menimbulkan keinginan yang tidak terbendung untuk mendirikan KOPRI
sebagai otonom di PMII. Alasannya adalah sebagai upaya guna
peningkatan partisipasi perempuan serta pengembangan wawasan
wilayah-wilayah kerja sosial kemasyarakatan.

B. Panca Norma KOPRI

25
Panca Norma KOPRI dicetuskan pada tanggal 16 Februari 1966
pada saat pelaksanaan Training Course Keputrian I PMII di Jakarta
bersamaan dengan pelaksanaan Mukernas I, yang berisi sebagai berikut:
a. Tentang Emansipasi.
- Emansipasi wanita berarti memberikan hak-hak dan kesempatan
kepada wanita sederajat, setingkat dan seirama dengan kaum pria.
Bukan merupakan pemberian hak-hak istimewa karena
penghargaan atau perbedaan naluri fitriahnya justru karena dia
wanita. Tuntutan akan hak-hak wanita, meliputi segala segi
kehidupan baik politik sosial ekonomi, maupun kebudayaan. Hak-
hak ini diberikan adalah merupakan tuntutan nurani yang
mendorong manusia berkeinginan, berkehendak dan berbuat
sebagai realisasi dan manifestasi dari pada ajaran Islam.
- Perjuangan hidup baik di dalam bidang politik, sosial ekonomi
maupun kebudayaan adalah suatu tuntutan yang bagi kita
mempunyai ukuran-ukuran yaitu yang didasarkan atas perbedaan
struktur rohaniah jasmaniah dan kondisi ruang dan waktu.
- Pembatasan atas hak adalah kewajiban yaitu suatu langkah dan
tindakan yang harus ditempuh lebih dulu. Ini berarti bahwa
kewajiban harus mendapat tempat yang lebih utama daripada
tuntutan akan hak.
- Manifestasi daripada itu ialah pengorbanan kaum perempuan untuk
berjuang menyelami dan terjun dalam langkah perjuangan politik,
sosial ekonomi, kebudayaan, dalam mana kewajiban seorang putri
telah terpenuhi dan akan berjalan seiring dengan hak-hak yang
dituntutnya.
b. Tentang Etika Wanita Islam
- Ajaran tentang hak batal, benar salah, baik buruk, bermoral
immoral adalah suatu persoalan etika. Etika yang dimaksudkan
adalah Al-Qur’an dan Assunnah, yaitu etika Islam. Etika yang
meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan, baik dalam bentuk

26
pengabdian kepada Tuhan maupun berhubungan antar manusia
dengan manusia, dan perkembangan kebudayaannya.
- Pengabdian kepada Tuhan adalah suatu bentuk pengabdian yang
tertinggi danmerupakan gerak hidup yang disandarkan atas
taqwallah dengan beramar ma’ruf nahi munkar membabat jiwa
keimanan, keikhlasan serta tawadlu’ dan khusuk.
- Hubungan antar manusia diperlukan keharmonisan, keserasian dan
penyesuaian akan arus perkembanagan dan perubahan zaman
berpegang kepada ajaran agama dan etiket pergaulan adalah suatu
kemutlakan, sehingga prinsip perorangan yang tidak hanyut
terseret oleh arus yang tanpa arah dapat terkendalikan secara
positif.
- Etiket pergaulan yang diartikan dengan “Tata Cara Pergaulan”
mempunyai arti relative,anggapan sopan bagi suatu bangsa akan
berbeda dengan bangsa lain, dan pandangan benar bagi suatu
ajaran pun menempatkan hal yang sama. Garis penegas yang
positif bagi realisasi bentuk-bentuk itu adalah pandangan agama,
suatu ajaran yang mempunyai norma-norma hukum nasional
maupun internasional.
c. Tentang Watak PMII Putri dalam Kesatuan dan Totalitas
Berorganisasi
- Sebagai organ yang tak terpisahkan ia melakukan perjuangan yang
senada dan seiring, selangkah dan seirama, maju dalam berbagai
bidang tujuan organisasi, bidang kepemimpinan dan
interdepartemental merupakan suatu bentuk-bentuk lapangan
perjuangan yang mendapat sorotan dan hak memanfaatkan akan
perjuangan yang mendapat akan tuntutan sosial wanita dimana
tugas-tugas dan peranan organisasi tak dibedakan.
- Sebagai mahasiswa putri Islam, walaupun merupakan kesatuan
organ yang tak terpisahkan, tetapi ia mempunyai sikap hidup dan
pandangan dan langkah serta tindakan yang berbeda dengan

27
mahasiswa-mahaiswa di luar islam, bahkan berbeda dengan
mahasiswa-mahasiswa putri di luar Ahlussunnah Wal Jamaah.
- Suatu kesatuan dalam totalitas berorganisasi adalah suatu bentuk
antara PMII putri dan PMII putra merupakan suatu paguyuban.
Tetapi garis pemisah yang terbatas dengan norma dan kaedah-
kaedah agama suatu tuntutan mutlak yang memberikan tabir dan
benteng ukuran moral dan watak positif sehingga moral dan
amalan syariat Islam terjamin karenanya.
d. Tentang Partisipasi PMII Putri terhadap Neven-neven Organisasi
- Sebagai organ yang memihak pada ideologi partai maka neven
organisasi yang berafiliasi terhadap partai adalah juga alat
perjuangan yang senada dan seirama, seiring dan berdampingan
dalam mencapai tujuan bersama dan tujuan yang sama.
- Sikap masa bodoh, sikap rendah diri, sikap penakut dan nrimo
adalah suatu bentuk yang tidak seharusnya ada bagi PMII Putri,
justru emansipasi wanita maka sifat-sifat kerendahan itu dapat
dilenyapkan.
- Atas dasar tanggung jawab yang mendalam terhadap agama,
bangsa dan revolusi, maka partisipasi terhadap neven-neven
organisasi sebagai alat partai dan revolusi terutama organisasi
wanita adalah kemutlakan yang tak dapat dielakan adanya.
- Usaha-usaha konkrit ke arah itu dapat dilakukan ialah turut
meningkatkan kemampuan-kemampuan dan daya perjuangan
dalam berorganisasi khususnya terhadap Muslimat, Fatayat,
IPPNU baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi, perkembanagan
kebudayaan, maupun dalam bidang-bidang yanglebih luas dengan
didasarkan atas kondisi, tempat dan waktu sekarang.
- Bidang-bidang praktis yang dapat dilakukan dalam usaha
partisipasi ini meliputi bidang-bidang organisasi, administrasi,
latihan-latihan kepemimpinan, pendidikan dan pengajaran,
kebudayaan, dakwah Islam dalam perkembangan organisasi,

28
maupun dalam berbagai bentuk sosial kemasyarakatan yang lain
yang menyangkut peri hidup wanita dalam hubungannya dengan
perjuangan agama dan revolusi.
e. Tentang Partisipasi PMII Putri terhadap Kegiatan-kegiatan
Masyarakat-
- Pengabdian kepada masyarakat adalah merupakan suatu amanat
Tuhan. Ia merupakan amal ibadah kalau pengabdiaannya itu
diiringi niat yang ikhlas dan pembaktian kepada Tuhan. Jurang
pemisah anatara perkuliahan dan masyarakat mutlak ditolak dan
organisasi berarti jembatan emas penghubungantara keduanya.
- PMII Putri sebagai mahasiswa dan anggota masyarakat, akan
menyatukan dwi tunggal antara ilmu dan amal, antara teori dan
perbuatan, berusaha merelaisasikan satunya kata dan perbuatan
serta ikut serta secara aktif dalam seluruh kegiatan dan aktifitas
masyarakat selagi ia tidak bertentangan dengan norma-norma
agama.
- PMII Putri sebagai wanita realistik, mampu menyelesaikan tugas-
tugas kemasyarakatan, dan tugas-tugas ini akan diselesaikan kalau
tugas-tugas dan bentuk-bentuk kegiatan-kegiatan masyarakat itu
semata-mata mengarah kepada kepentingan agama, nusa, bangsa
dan revolusi.
- Secara konkrit ia akan mendharmabaktikan dalam seluruh bentuk
kehidupan, baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi, pendidikan
maupun dalam perkembangan kebudayaan.
- Suatu pembaktian yang mesti dituntut lebih dahulu agar tidak
menyimpang dari norma-norma agama, revolusi dan
kemasyarakatan, adalah usaha mutlak untuk mempelajari hukum-
hukum dan ajaran agama. Doktrin revolusi dan pengetahuan
masyarakat Indonesia.

C. NKK (Nilai Kader KOPRI)

29
Nilai Kader KOPRI atau biasa disingkat dengan NKK merupakan
sebuah sarana kader KOPRI untuk mengenal, melihat dirinya sendiri dan
bahkan mengharapkan yang lain untuk melihat. NKK juga merupakan
potret yang diharapkan.
Untuk menjawab pertanyaan “Siapa saya ini” maka NKK
mengembangkan sebagai berikut:
a. Warga KOPRI sebagai insan individu harus dipenuhi dengan
muatan religiusitas karena islamnya, harus dipenuhi dengan
muatan intelektualitas karena mahasiswa, dan juga harus dipenuhi
dengan muatan kemandirian karena kedewasaannya.
b. Warga KOPRI sebagai makhluk sosial, tanpa membedakan unsur
suku, agama, ras dan antar golongan serta melihat dimensi ruang
dan waktu.
c. Warga KOPRI sebagai insan organisasi, harus mengembangkan
sikap profesionalitas dalam menjalankan aktifitas.

Fungsi dari NKK ini yaitu:


a. Sebagai justifikasi terhadap tertib sosial dan tertib organisasi yang
mensyaratkan pada anggota untuk menerima.
b. Sebagai konstruk yang sah dan dianggap vital secara moral
mengikat. Jadi setiap tindakan harus berada dibalik legitimasi
NKK.
c. Mampu menumbuhkan “sens of belonging” warga terhadap
organisasi yang mempertautkan kolektifitas masa lampau sekaligus
diarahkan pada masa depan sebagai pengidentifikasian diri
terhadap lingkungan yang selalu berubah.
d. Sebagai pedoman yang memberikan wawasan mengenal misi dan
tujuan organisasi sekaligus merupakan komitmen untuk bertindak.

Berangkat dari pemikiran di atas maka Nilai Kader KOPRI


dirumuskan sebagai berikut:

30
a. Modernisasi
Modernisasi telah mampu mengembangkan suatu kultur dengan
menempatkan bentuk rasionalitas tertentu sebagai nilai yang menonjol tapi
dalam beberapa hal sering gagal, karena rasionalitas itu kurang bisa
dipaksa sebagai panutan yang tepat. Meskipun begitu rasionalitas dalam
beberapa segi telah mampu mengganti semangat keagamaan.
Modernisasi seringkali ditandai dengan pesatnya ilmu pengetahuan
dan teknologi ternyata mampu merubah beberapa pandangan manusia
dalam beberapa masalah kehidupan mereka, akibatnya manusia seringkali
mengidiologikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sembahan
kehidupan. Menghadapi fenomena demikian, maka sikap KOPRI
menerima modernisasi secara selektif mana yang harus diambil.
b. Mitra Sejajar
- Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dalam kodrat yang
berbeda,namun sama-sama mempunyai tanggungjawab
kekholifahan. (Q.S 8: 165)
- Masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang sama
seimbang. (Q.S 2:228)

- Mempunyai kesempatan beraktifitas dan berjuang serta akan


diperhitungkan prestasi kerjanya. (Q.S 4: 32)
- Antara laki-laki dan perempuan saling melindungi. (Q.S 9: 71)
- Antara laki-laki dan perempuan saling membutuhkan. (Q.S 2: 167)
c. Wanita Ideal
- Sholihah, taat, dan menjaga diri dengan baik. (Q.S 2: 34)
- Beriman, tunduk, jujur, khusuk dan dermawan, menjaga
kehormatan dan banyak berdzikir kepada Allah. (Q.S 33: 35)
- Memiliki pribadi yang dinamis dan kreatif ditunjang dengan
tindakan, intelegensi dan kasih sayang.

31
- Memiliki kemampuan untuk melepaskan diri dari keterbatasannya,
menembusruang dan waktu untuk meningkatkan kehidupan sosial.
d. Watak KOPRI
- KOPRI dalam melakukan kegiatan tidak akan meninggalkan sifat-
sifat kewanitaannya.
- KOPRI mempunyai tindakan, pandangan dan langkah yang
berbeda dengan mahasiswi non Islam, bahkan di luar Ahlussunnah
Wal Jamaah pun harus beda.

D. Reflelksi Paradigma KOPRI


Paradigma Inside Out mengajarkan bahwa ada dua lingkaran
dalam kehidupan kita yakni lingkaran pengaruh atau apa yang bisa kita
ubah (pengaruhi) dan lingkaran perhatian yakni, apa yang hanya bisa kita
perhatikan. Yang bisa di pengaruhi atau lingkaran pengaruh adalah hal-hal
yang di dalam kehidupan bisa kita ubah dan memiliki pengaruh
terhadapnya. Dimana hal yang ingin diubah, akan berubah jika kita
melakukan sesuatu. Teori ini berpusat pada energi positif dimana
tujuannya adalah memperluas dan memperbesar pengaruh yang
menyebabkan lingkar pengaruh diri semakin meningkat. Sementara
lingkaran perhatian adalah hal-hal yang hanya kita ketahui, sesuatu yang
sering kita bicarakan, tetapi kita tidak memiliki kapasitas untuk
mengubahnya. Mungkin dalam hal ini merupakan sesuatu yang di luar
kendali kita. Teori ini singkatnya berfokus pada kelemahan orang lain ,
masalah lingkungan dimana keadaan tersebut tidak bisa dikendalikan,
dampak yang muncul dari teori ini adalah kita sering menyalahkan dan
menduduh dengan bahasa yang reaktif serta meningkatnya perasaan diri
sebagai korban. Energinya negatif karena lupa pada apa yang bisa
diperbuat dan fokus pada orang lain, sehingga lingkaran pengaruh pun
menyusut kita tidak menjadi orang yang proaktif. Mari kita melihat
bagaimana cara kerja paradigma ini bekerja di antara individu dalam
organisasi yang tidak memiliki cara pandang inside out dan yang bekerja

32
berdasarkan Paradigma Inside Out. individu yang bekerja tanpa cara
pandang Paradigma Inside Out cenderung akan menyalahkan keadaan,
baik itu organisasinya dan teman-teman timnya ketika ada satu rintangan
dalam organisasinya. Contoh ketika membuat acara, individu yang tidak
menggunakan paradigma inside out cenderung akan menyalahkan orang
lain ketika ada satu masalah yang muncul. Fokusnya bukan mencari apa
yang menjadi penyebab permasalahan namun siapa yang harus
bertanggung jawab. Pola pikir seperti ini akan cinderung memunculkan
masalah dalam satu tim yang berakibat kerja sama tim dan tidak akan
baik.
Sementara individu yang bekerja dengan paradigma inside out
akan lebih proaktif dalam kerja-kerja organisasinya. Dia akan mengawali
perubahan dari dirinya, apa yang iya bisa lakukan untuk kebaikan
organisasinya. Tidak menunggu orang lain apalagi menyalahkan orang
lain, ia bergerak maju untuk menghidupkan organisasinya, ia akan fokus
memperbesar dan mengurus internalnya ataupun mengkritisi kebijakan
baik skala nasional. Fokusnya pada menyelesaikan masalah dan mencari
solusi terbaik. Belajar dari 2 contoh ini, maka apa yang bisa kita lakukan
untuk membesar pengaruh kita sebagai KOPRI?
Ya. Jawabannya mulailah dari mengubah cara pandang dalam
melihat sesuatu, paradigma inside out bisa menjadi awalan baik untuk
menjadi modal organisasi yang lebih efektif. Mari kita fokus pada apa
yang bisa kita berikan untuk organisasi kita seperti mengefektifkan kerja
kaderisasi KOPRI, pendampingan kader KOPRI, belajar tentang isu
perempuan dan memahami pisau analisa, kampanye gagasan, teman-
teman perempuan di dorong untuk masuk di ruang-ruang strategis
organisasi sekaligus menempa kapasitas teman-teman putri.
Tujuannya untuk memperluas pengaruh kita sebagai salah satu
Gerakan Perempuan. Jika kita secara internal sudah kuat, tentu kita bisa
memberikan sumbangsih besar dalam lahirnya mainstreaming isu gender
di masyarakat. Lagi-lagi ini soal bagaimana kita menyiapkan diri menjadi

33
kader yang matang dan militant. Apakah mungkin ini bisa dilakukan?
Jawabannya tentu bisa. Asal semua entitas yang ada di KOPRI antar
levelnya saling bahu membahu dan membuat sebuah sistem kaderisasi
yang terencana. Sebab selain dibutuhkanya kader KOPRI yang punya
kapasitas dan kapabilitas leadership yang baik, maka dibutuhkan juga
sistem kaderisasi yang baik. Tidak perlu menunggu siapa yang harus
bertanggung jawab. Jika kita merasa memiliki KOPRI ini adalah tanggung
jawab bersama.

E. KOPRI Sebagai Gerakan Perempuan yang “Khas”


Gerakan perempuan saat ini harus menjadi gerakan kemanusiaan
yang harus ditransformasikan pada isu-isu gender yang positif. “Seperti
pada konsepnya, dimana hari ini gerakan perempuan adalah bagian dari
gerakan untuk kemanusiaan. Maka, konstruksi dan nilai-nilai mengenai
keadilan gender harus terus ditransformasikan dengan membangun relasi
gender yang positif”. Kopri sebagai gerakan yang komprehensif bagi
perempuan dalam memberikan edukasi dan peluang untuk membangun
mitra gerakan gender yang tidak hanya berada dalam lingkup organisasi.
Kopri sebagai salah satu wadah gerakan perempuan secara organisasi
memiliki relasi kerja dengan PMII, pemikiran dan konsep gender dalam
berorganisasi ini kemudian juga menjadi bekal dalam membangun
kemitraan atau relasi gender yang tidak hanya berada dalam lingkup
organisasi saja. Dengan demikian, kita akan fokus menguatkan kapasitas
intelektual dan kemandirian kader yang bermuara pada peningkatan
potensi dalam menghadapi realitas yang terjadi pada fenomena dan
masalah-masalah sosial yang dihadapkan dengan gerakan-gerakan yang
progresif dan revolusioner.

34
KONSEP GENDER

 Sex, Gender dan Konstruk Sosial


Sejak sepuluh tahun terakhir kata ‘gender’ telah memasuki
perbendaharaan di setiap diskusi dan tulisan sekitar perubahan sosial dan
pembangunan di dunia ketiga. Demikian juga di Indonesia, emini di semua
uraian tentang program pengembangan masyarakat maupun pembangunan
di kalangan organisasi non pemerintah diperbincangkan masalah gender.
Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan gender itu? Berbicara
mengenai konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata sex
(jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan penyifatan atau
pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis
yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis
laki-laki bersifat seperti daftar berikut ini: laki-laki adalah manusia yang
memiliki penis, jakun dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan
memiliki alat reproduksi seperi emin dan saluran untuk melahirkan,
memiliki sel telur, memiliki vagina, dan mempunyai payudara.
Gender berbeda dari jenis kelamin biologis. Jenis kelamin biologis
merupakan pemberian Sedangkang gender adalah konstruksi sosial. Jalan
yang menjadikan kita maskulin atau eminine adalah gabungan blok-blok
bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur kita. Setiap

35
masyarakat memiliki berbagai “naskah” (scripts untuk diikuti oleh
anggotanya seperti mereka belajar memainkan peran eminine,maskulin,
ataupun keduanya, sebagaimana halnya setiap masyarakat memiliki
bahasanya sendiri. Sejak dari bayi mungil hingga mencapai usia tua, kita
mempelajari dan mempraktikkan cara-cara khusus yang telah ditentukan
oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan.
Sehingga muncul seperangkat peran yang seperti halnya kostum dan
topeng di teater, menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah
eminine atau maskulin. Perangkat perilaku khusus ini mencakup
penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar
rumah tangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga dan sebagainya–
secara bersama-sama memoles “peran gender” kita.
Sifat-sifat biologis melahirkan perbedaan gender (gender
differences) antara manusia jenis laki-laki dan perempuan sesungguhnya
terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya
perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya
dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikontruksi secara sosial atau
kultural. Melalui proses panjang, sosialisasi gender akhirnya dianggap
menjadi ketentuan Tuhan seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat
diubah kembali, sehingga perbedaan-perbedaan gender dianggap sebagai
kodrat laki-laki dan kodrat perempuan.

36
GENDER PERSPEKTIF ISLAM

A. Prinsip Gender dalam Tauhid


Dalam Tauhid tidak hanya mengurusi zona vertikal saja, yaitu
hubungan makhluq dengan Sang Khaliq (Hablun min Allah) namun
merambahi zona horizontal juga, yaitu hubungan makhluk dengan
sesama makhluk (Hablun min an-nas). Tauhid tidak hanya sekadar
yakin akan ke-Esaan Allah SWT, namun juga ketaatan dan kepatuhan
total terhadap segala petintahNya juga kesadaran untuk menjauhi
laranganNya (Musdah Mulia-Dawrah Fiqih Perempuan).
Ketika pengakuan dan ketaatan terhadap Ke-Esaan dan ke Maha
Tunggalan Allah SWT telah terimplementasikan secara nyata, akan
ada kesadaran bahwa selain Allah semuanya sama dan setara, bahwa
selain Allah tidak ada yang patut dijadikan Tuhan. Maka tak layak jika
pemimpin, harta, jabatan dan sifat duniawi lainnya dijunjung tinggi dan
dipertuhankan.
Padahal dapat dijadikan sebuah keteladanan ketika istri berkarir di
luar rumah bekerjasama dengan suami mensejahterakan ekonomi
keluarga. Hal ini juga dapat menjadikan isrti lebih mandiri dan dapat

37
meringankan beban suami, sehingga menciptakan sebuah kemaslahatan
dalam kehidupan berkeluarga.
Perempuan juga layak untuk menduduki jabatan politik. Banyak
diantara mereka yang memiliki jiwa kepemimpinan. Salah satu
fungsinya yaitu untuk menyampaikan suara kaum perempuan. Karena
rakyat tidak hanya terdiri dari laki-laki, namun juga perempuan.
Perempuan lah yang lebih banyak merasakan ketidakadilan dan
ketertindasan. Namun seringkali suara dan aspirasi perempuan tidak
didengar oleh para pemimpin karena mereka masih dianggap sebagai
makhuluk terpinggirkan. Maka perlu adanya perwakilan dari kaum
perempuan untuk menduduki kursi politik agar suara dan aspirasi
mereka didengar dan dihargai. Sehingga keadilan dapat terjunjung
tinggi dalam kehidupan masyarakat.

B. Gender Perspektif Al-Qur’an dan Hadits


Sejarah menunjukkan bahwa perempuan pada masa awal islam
mendapat penghargaan tinggi. Islam mengangkat harkat dan martabat
perempuan dari posisi yang kurang beruntung pada zaman jahiliyah. Di
dalam al-Qur’an persoalan kesetaraan laki-laki dan perempuan ditegaskan
secara eksplisit. Meskipun demikian, masyarakat muslim secara umum
tidak memandang laki-laki dan perempuan secara setara. Akar medalam
yang mendasari penolakan dalam masyarakat muslim adalah keyakinan
bahwa perempuan adalah makhluk Allah SWT yang lebih rendah karena
diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Selain itu, perempuan
dianggap sebagai makhluk yang kurang akalnya sehingga harus selalu
berada dalam bimbingan laki-laki. Akibatnya, produk-produk pemikiran
islam sering memposisikan perempuan sebagai subordinat. Kenyataan ini
tentu sangat memprihatinkan, karena islam pada prinsipnya menjunjung
tinggi kesetaraan dan tidak membedakan manusia berdasarkan jenis
kelamin. Oleh karena itu, doktrin maupun pandangan yang
mengatasnamakan agama yang sarat dengan praktik diskriminatif sudah

38
selayaknya dikaji ulang, jika ingin islam tetap menjadi rahmat bagi
seluruh alam.
Analisis gender lebih tepatnya adalah memilah kekuatan yang
menciptakan atau melanggengkan ketidakadilan dengan mempertanyakan
siapa berbuat apa, siapa memiliki apa, siapa yang diuntungkan dan siapa
yang dirugikan, siapa yang memutuskan, laki-laki atau perempuan?
Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah keluarga, bukan
berarti memposisikan laki-laki dan perempuan harus diperlakukan sama.
Memperlakukan laki-laki dan perempuan secara sama dalam semua
keadaan justru menimbulkan bias gender. Memperlakukan sama antara
laki-laki dan perempuan dalam kerja rumah tangga pada satu keadaan,
misalnya, suami juga berkewajiban mengurus anaknya, sama halnya isteri
memiliki kewajiban mengurus anaknya. Artinya, kewajiban mengurus
anak tidak mutlak menjadi kewajiban isteri semata, tetapi merupakan
kewajiban bersama.
Gender merupakan bahasan aktual dan menjadi bahan diskusi di
setiap pertemuan ilmiah. Para pemikir atau kaum feminis khususnya
“mengabdikan diri” untuk menjadikannya sentral kajian dan
memperkenalkannya secara luas. Sebahagian masyarakat tidak tahu dan
tidak ingin mengetahuinya, sementara sebahagian lainnya mendalaminya
dan tidak jarang “kebablasan” dalam memaknai makna gender dalam
menjalani kehidupan.
Pembahasan tentang gender bukanlah sesuatu yang baru,
melainkan telah diungkap dalam al-Qur’an, misalnya dalam persamaan
keimanan, ibadah dan beberapa aktifitas lainnya. Lebih spesifik, nabi
Muhammad saw. memisi misi tentang gender. Ia hadir untuk mengangkat
derajat sekaligus memuliakan kaum wanita. Memberikan peran dalam
berbagai ini kehidupan, memberikan hak yang diiringi dengan kewajiban.
Wanita harus memiliki peran dalam segala lini kehidupan selama tidak
menyimpang dari kodratya sekaligus tidak menghianati penghormatan
yang telah diberikan oleh nabi Muhammad saw. melauli tetesan air mata

39
dan aliran darah. Oleh karenanya, tulisan ini lahir untuk
menginformasikan bahwa perdebatan gender dewasa ini merupakan salah
satu konsen Nabi saw. dalam menebar kedamaian di alam ini dan
menggunakan hak serta melaksanakan kewajiban masing-masing dengan
tidak melampau batas sesuai dengan keinginan syahwat dan akal-akalan
belaka.

40

Anda mungkin juga menyukai