Anda di halaman 1dari 21

Berusaha komitmen untuk hidup bersama dakwah

By Dewi Lisnawati
Menjadi da’i sebelum menjadi apapun
Nahnu Du’aatun Qabla Kulli Syai’in. “Kami adalah dai sebelum jadi apapun”.
Suatu gambaran pribadi yang unik dengan penataan resiko terencana untuk meraih masa depan
bersama Allah dan Rasul-Nya. Inilah kafilah panjang, pembawa risalah kebenaran yang tak putus
sampai ke suatu terminal akhir kebahagiaan surga penuh ridha Allah swt.
Setiap muslim adalah dai. Kalau bukan dai kepada Allah, berarti ia adalah dai kepada selain
Allah, tidak ada pilihan ketiganya. sebab dalam hidup ini, kalau bukan Islam berarti hawa nafsu.
Dan hidup di dunia adalah jenak-jenak dari bendul waktu yang tersedia untuk memilih secara
merdeka, kemudian untuk dipertanggungjawabkan di hadapan Rabbul insan kelak. Bagi muslim,
dakwah merupakan darah bagi tubuhnya, ia tidak bisa hidup tanpanya. Aduhai, betapa agungnya
agama Islam jika diemban oleh rijal (orang mulia).
Dakwah merupakan aktivitas yang begitu dekat dengan aktivitas kaum muslimin. Begitu
dekatnya sehingga hampir seluruh lapisan terlibat di dalamnya.Sayang keterlibatan tersebut tidak
dibekali ”Fiqh Dakwah” sehingga kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih besar daripada
kebaikan yang diperbuat.
Disini menjadi jelas akan pentingnya kebutuhan terhadap fiqh dakwah, sebagaimana
digambarkan para ulama, bahwa ”kebutuhan manusia akan ilmu lebih sangat daripada kebutuhan
terhadap makan dan minum”. Sehinga penting bagi kaum muslimin yang telah dan hendak terjun
dalam kancah dakwah untuk membekali diri dengan pemahaman yang utuh terhadap Islam dan
dakwah Islam. Karena orang yang piawai dalam menyampaikan namun tidak memiliki
pemahaman yang benar terhadap Islam ”sama bahayanya” dengan orang yang memiliki
pemahaman yang benar akan tetapi bodoh di dalam menyampaikan, mengapa?
Pertama; ia akan menyesatkan kaum muslimin dengan kepiawaiannya (logika kosongnya).
Kedua; Hal itu akan menjadi ”dalil” bagi orang-orang kafir dalam kekafirannya (keungulan
bungkusannya).
Adalah fiqh dakwah merupakan sarana untuk menjembatani lahirnya pemahaman yang shahih
terhadap Islam didukung kemampuan yang baik di dalam menyampaikan. Sehingga dengan
aktivitas dakwah ini ummat dapat menyaksikan ”Islam” dalam diri, keluarga dan aktivitas para
dai yang melakukan perbaikan ummat secara integral, mengeluarkan manusia dari pekat
jahiliyah menuju cahaya Islam.
Bagi mereka yang yang berjalan diatas rel kafilah dakwah menuju cahaya dan kebahagiaan dunia
dan akherat, dapat melihat prinsip-prinsip dakwah dan kaidah- kaidahnya, agar menjadi hujjah
atau pegangan bagi manusia dan menjadi alasan di hadapan Allah, Ustadz Jum’ah Amin Abdul
Aziz memaparkan tentang hal ini, yaitu; ”Fiqh Da’wah: Prinsip dan kaidah dasar Dakwah”, yang
diambil dari usul fiqh sebagai bekal para dai tersebut adalah sebagai berikut:
1. Qudwah (teladan) sebelum dakwah
2. Menjalin keakraban sebelum pengajaran
3. Mengenalkan Islam sebelum memberi tugas
4. Bertahap dalam pembebanan tugas
5. Mempermudah, bukan mempersulit
6. Menyampaikan yang ushul (dasar) sebelum yang furu’ (cabang)
7. Memberi kabar gembira sebelum ancaman
8. Memahaman, bukan mendikte
9. Mendidik bukan menelanjangi
10. Menjadi murid seorang imam, bukan muridnya buku.
Harapan, kiranya Allah swt senantiasa mencurahkan taufiq dan petunjuk-Nya kepada para dai
yang ikhlas menyeru manusia ke jalan Allah, memperbaiki diri, keluarga dan masyarakat serta
tempat kerja, sehingga Allah terlibat dalam urusan dan kebijakan-kebijakan yang akan ditetapkan
untuk orang banyak, demi tegaknya tatanan Islam yang indah dalam kehidupan dengan
bimbingan Alah dan sesuai panduan manhaj (aturan) dakwah Rasulullah saw.

A. Keutamaan dakwah
Dakwah adalah aktivitas menyeru manusia kepada Allah swt dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dengan harapan agar objek dakwah (mad’u) yang kita dakwahi beriman kepada Allah swt
dan mengingkari thagut (semua yang di abdi selain Allah) sehingga mereka keluar dari
kegelapan jahiliyah menuju cahaya Islam.

Jika kita melihat ayat-ayat Al-Quran maupun hadits-hadits Rasulullah saw, kita akan banyak
menemukan fadhail (keutamaan) dakwah yang luar biasa. Dengan mengetahui, memahami, dan
menghayati keutamaan dakwah ini seorang muslim akan termotivasi secara kuat untuk
melakukan dakwah dan bergabung bersama kafilah dakwah di manapun ia berada.

Mengetahui keutamaan dakwah termasuk faktor terpenting yang mempengaruhi konsistensi


seorang muslim dalam berdakwah dan menjaga semangat dakwah, karena keyakinan terhadap
keutamaan dakwah dapat menjadikannya merasa ringan menghadapi beban dan rintangan
dakwah betapapun beratnya.

Beberapa keutamaan dakwah yang dapat kita sebutkan dalam pokok bahasan ini adalah:

1. Dakwah adalah Muhimmatur Rusul (Tugas Utama Para Rasul alaihimussalam)

Para rasul alaihimussalam adalah orang yang diutus oleh Allah swt untuk melakukan tugas
utama mereka yakni berdakwah kepada Allah. Keutamaan dakwah terletak pada disandarkannya
kerja dakwah ini kepada manusia yang paling utama dan mulia yakni Rasulullah saw dan
saudara-saudara beliau para nabi & rasul alaihimussalam.
Katakanlah (Hai Muhammad): “Inilah jalanku: aku dan orang-orang yang mengikutiku
berdakwah (mengajak kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku
tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (Yusuf (12): 108).

Ayat di atas menjelaskan jalan Rasulullah saw dan para pengikut beliau yakni jalan dakwah.
Maka barangsiapa mengaku menjadi pengikut beliau saw, ia harus terlibat dalam dakwah sesuai
kemampuannya masing-masing.

Tentang Nabi Nuh as, Allah mengisahkan kesibukan beliau yang tak kenal henti dalam
menjalankan tugas berdakwah siang dan malam:

Nuh berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah mendakwahi (menyeru) kaumku malam dan
siang. (Nuh (71): 5).

Tentang Nabi Ibrahim as, Allah mengisahkan dakwah yang beliau lakukan kepada ayah dan
umatnya:

69. dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim.

70. ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Apakah yang kamu sembah?”

71. mereka menjawab: “Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun
menyembahnya”.

72. berkata Ibrahim: “Apakah berhala-berhala itu mendengar (doa)mu sewaktu kamu berdoa
(kepadanya)?,

73. atau (dapatkah) mereka memberi manfaat kepadamu atau memberi mudarat?”

74. mereka menjawab: “(Bukan karena itu) sebenarnya kami mendapati nenek moyang kami
berbuat demikian”.

75. Ibrahim berkata: “Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah,

76. kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu?,

77. karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta
alam,

78. (Yaitu Tuhan) yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku,

79. dan Tuhanku, yang Dia memberi makan dan minum kepadaku,
80. dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku,

81. dan yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali),

82. dan yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat”. (Asy-Syuara
(26): 69-82).

Tentang Nabi Musa as, Allah swt mengisahkan dakwah beliau dalam banyak ayat-ayat Al-
Quran, di antaranya:

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa mukjizat- mukjizat Kami
kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya. Maka Musa berkata: “Sesungguhnya aku adalah
utusan dari Tuhan seru sekalian alam”. Maka tatkala dia datang kepada mereka dengan
membawa mukjizat- mukjizat Kami dengan serta merta mereka menertawakannya. (Az-Zukhruf
(43): 46-47).

Tentang Nabi Isa as, Allah swt mengisahkan dakwah beliau dalam firman-Nya:

Dan tatkala Isa datang membawa keterangan dia berkata: “Sesungguhnya aku datang kepadamu
dengan membawa hikmah dan untuk menjelaskan kepadamu sebagian dari apa yang kamu
berselisih tentangnya, maka bertaqwalah kepada Allah dan taatlah (kepada) ku”. Sesungguhnya
Allah Dialah Tuhanku dan Tuhan kamu maka sembahlah Dia, ini adalah jalan yang lurus. (Az-
Zukhruf (43): 63-64).

Pintu kenabian dan kerasulan memang sudah tertutup selama-lamanya, namun kita masih dapat
mewarisi pekerjaan dan tugas mulia mereka, sehingga kita berharap semoga Allah swt berkenan
memuliakan kita.

2. Dakwah adalah Ahsanul A’mal (Amal yang Terbaik)

Dakwah adalah amal yang terbaik, karena dakwah memelihara amal Islami di dalam pribadi dan
masyarakat. Membangun potensi dan memelihara amal shalih adalah amal dakwah, sehingga
dakwah merupakan aktivitas dan amal yang mempunyai peranan penting di dalam menegakkan
Islam. Tanpa dakwah ini maka amal shalih tidak akan berlangsung.

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang berdakwah (menyeru) kepada Allah,
mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
menyerah diri?” (Fushilat (41): 33).

Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya: Allah swt menyeru manusia:
“Wahai manusia, siapakah yang lebih baik perkataannya selain orang yang mengatakan Rabb
kami adalah Allah, kemudian istiqamah dengan keimanan itu, berhenti pada perintah dan
larangan-Nya, dan berdakwah (mengajak) hamba-hamba Allah untuk mengatakan apa yang ia
katakan dan mengerjakan apa yang ia lakukan.” (Tafsir Ath-Thabari, Jami’ul Bayan Fi Ta’wil
Al-Quran, 21/468).

Bagaimana tidak akan menjadi ucapan dan pekerjaan yang terbaik? Sementara dakwah adalah
pekerjaan makhluk terbaik yakni para nabi dan rasul alaihimussalam.

Sayyid Quthb rahimahullah berkata dalam Fi Zhilal Al-Quran: “Sesungguhnya kalimat dakwah
adalah kalimat terbaik yang diucapkan di bumi ini, ia naik ke langit di depan kalimat-kalimat
baik lainnya. Akan tetapi ia harus disertai dengan amal shalih yang membenarkannya, dan
disertai penyerahan diri kepada Allah sehingga tidak ada penonjolan diri di dalamnya. Dengan
demikian jadilah dakwah ini murni untuk Allah, tidak ada kepentingan bagi seorang da’i kecuali
menyampaikan. Setelah itu tidak pantas kalimat seorang da’i kita sikapi dengan berpaling, adab
yang buruk, atau pengingkaran. Karena seorang da’i datang dan maju membawa kebaikan,
sehingga ia berada dalam kedudukan yang amat tinggi…” (Fi Zhilal Al-Quran 6/295).

3. Dakwah memiliki keutamaan yang besar karena para da’i akan memperoleh balasan
yang besar dan berlipat ganda (al-hushulu ‘ala al-ajri al-‘azhim).

‫َّللاُ بِكَ َر ُجالً َخي ٌْر لَكَ مِ ْن أ َ ْن يَ ُكونَ لَكَ ُح ْم ُر النهعَ ِم)) (رواه البخاري‬
‫ِي ه‬ َ ‫َّللا ََل َ ْن يَ ْهد‬
ِ ‫ ((فَ َو ه‬:‫ِي‬ ُ ‫قَا َل َر‬
ٍّ ‫سو ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم ِلعَل‬
)‫ومسلم وأحمد‬

Sabda Rasulullah saw kepada Ali bin Abi Thalib: “Demi Allah, sesungguhnya Allah swt
menunjuki seseorang dengan (dakwah)mu maka itu lebih bagimu dari unta merah.” (Bukhari,
Muslim & Ahmad).

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani ketika menjelaskan hadits ini mengatakan bahwa: “Unta merah adalah
kendaraan yang sangat dibanggakan oleh orang Arab saat itu.”

Hadits ini menunjukkan bahwa usaha seorang da’i menyampaikan hidayah kepada seseorang
adalah sesuatu yang amat besar nilainya di sisi Allah swt, lebih besar dan lebih baik dari
kebanggaan seseorang terhadap kendaraan mewah miliknya.

Dalam riwayat Al-Hakim disebutkan:

« )‫س » (رواه الحاكم في المستدرك‬ ‫علَ ْي ِه ال ه‬


ُ ‫ش ْم‬ َ ‫ت‬ َ ‫علَى يَدَيْكَ َر ُجالً َخي ٌْر لَكَ مِ هما‬
ْ َ‫طلَع‬ َ ‫ ََل َ ْن يَ ْهد‬،‫ي‬
َ ُ‫ِي هللا‬ ُّ ‫ع ِل‬
َ ‫يَا‬

“Wahai Ali, sesungguhnya Allah swt menunjuki seseorang dengan usaha kedua tanganmu, maka
itu lebih bagimu dari tempat manapun yang matahari terbit di atasnya (lebih baik dari dunia dan
isinya). (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak).
َ ُ‫ضينَ َحتهى ال هن ْم َل َة فِي جُحْ ِرهَا َو َحتهى ْالحُوتَ لَي‬
َ‫صلُّون‬ ِ ‫ت َو ْاَل َ َر‬ ‫َّللا َو َم َالئِ َكتَهُ َوأ َ ْه َل ال ه‬
ِ ‫س َم َوا‬ َ ‫ (( ِإ هن ه‬:‫قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
)‫اس ْال َخي َْر)) (رواه الترمذي عن أبي أمامة الباهلي‬ ِ ‫علَى ُم َع ٍِّل ِم النه‬ َ .

Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah swt memberi banyak kebaikan, para malaikat-
Nya, penghuni langit dan bumi, sampai semut-semut di lubangnya dan ikan-ikan selalu
mendoakan orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain.” (HR. Tirmidzi dari
Abu Umamah Al-Bahili).

Berapakah jumlah malaikat, semut dan ikan yang ada di dunia ini? Bayangkan betapa besar
kebaikan yang diperoleh oleh seorang da’i dengan doa mereka semua!

Imam Tirmidzi setelah menyebutkan hadits tersebut juga mengutip ucapan Fudhail bin ‘Iyadh
yang mengatakan:

‫ت‬
ِ ‫س َم َوا‬ ِ ‫يرا فِي َملَ ُكو‬
‫ت ال ه‬ َ ْ‫عامِ ٌل ُمعَ ِلٍّ ٌم يُد‬
ً ِ‫عى َكب‬ َ ‫عا ِل ٌم‬
َ

“Seorang yang berilmu, beramal dan mengajarkan (ilmunya) akan dipanggil sebagai orang besar
(mulia) di kerajaan langit.”

Keagungan balasan bagi orang yang berdakwah tidak hanya pada besarnya balasan untuknya
tetapi juga karena terus menerus nya ganjaran itu mengalir kepadanya meskipun ia telah wafat.

Perhatikan sabda Rasulullah saw berikut ini:

ِ ْ ‫س هن فِي‬
‫اْلس َْال ِم‬ َ ‫ش ْي ٌء َو َم ْن‬ ِ ‫ص مِ ْن أ ُ ُج‬
َ ‫ور ِه ْم‬ َ ‫ِب لَهُ مِ ثْ ُل أَ ْج ِر َم ْن‬
ُ ُ‫عمِ َل بِ َها َو ََل يَ ْنق‬ َ ‫سنَةً فَعُمِ َل بِ َها بَ ْعدَهُ ُكت‬
َ ‫سنهةً َح‬
ُ ‫اْلس َْال ِم‬ِ ْ ‫س هن فِي‬ َ ‫(( َم ْن‬
‫ع ْب ِد ه‬
ِ‫َّللا‬ ِ ‫ع ْن َج ِر‬
َ ‫ير ْب ِن‬ َ ‫ش ْي ٌء)) (رواه مسلم‬ َ
َ ‫ص مِ ْن أ ْوزَ ِار ِه ْم‬ ُ ْ
ُ ‫عمِ َل بِ َها َو ََل يَنق‬ ْ ْ َ
َ ‫عل ْي ِه مِ ث ُل ِوز ِر َم ْن‬ َ ‫ِب‬ ُ ً َ ً‫سنهة‬
َ ‫سيٍِّـئَة فَعُمِ َل بِ َها بَ ْعدَهُ كت‬ ُ
)‫رضي هللا عنه‬.

“Siapa yang mencontohkan perbuatan baik dalam Islam, lalu perbuatan itu setelahnya dicontoh
(orang lain), maka akan dicatat untuknya pahala seperti pahala orang yang mencontohnya tanpa
dikurangi sedikit pun pahala mereka yang mencontoh nya. Dan barangsiapa mencontohkan
perbuatan buruk, lalu perbuatan itu dilakukan oleh orang lain, maka akan ditulis baginya dosa
seperti dosa orang yang menirunya tanpa mengurangi mereka yang menirunya. (HR. Muslim dari
Jarir bin Abdillah ra).

4. Dakwah dapat menyelamatkan kita dari azab Allah swt (An-Najatu minal ‘Azab)

Dakwah yang dilakukan oleh seorang da’i akan membawa manfaat bagi dirinya sebelum manfaat
itu dirasakan oleh orang lain yang menjadi objek dakwahnya (mad’u). Manfaat itu antara lain
adalah terlepasnya tanggung jawabnya di hadapan Allah swt sehingga ia terhindar dari adzab
Allah.
Tersebutlah sebuah daerah yang bernama “Aylah” atau “Eliah” sebuah perkampungan Bani
Israil. Penduduknya diperintahkan Allah untuk menghormati hari Jumat dan menjadikannya hari
besar, namun mereka tidak bersedia dan lebih menyukai hari Sabtu. Sebagai hukumannya Allah
swt melarang mereka untuk mencari dan memakan ikan di hari Sabtu, dan Allah membuat ikan-
ikan tidak muncul kecuali di hari Sabtu. Sekelompok orang kemudian melanggar larangan ini
dan membuat perangkap ikan sehingga ikan-ikan di hari Sabtu masuk ke dalam perangkap lalu
mereka mengambilnya di hari ahad dan memakannya. Sementara orang-orang yang tidak
melanggar larangan Allah terbagi menjadi dua kelompok yaitu mereka yang mencegah
kemunkaran dan mereka yang diam saja.

Terjadilah dialog antara orang-orang yang diam saja dengan mereka yang berdakwah
mengingatkan saudara-saudaranya yang melanggar larangan Allah. Dialog ini disebutkan dalam
Al-Quran:

Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka
melanggar aturan pada hari Sabtu , di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di
sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan
itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku
fasik. Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: “Mengapa kamu menasehati
kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat
keras?” Mereka menjawab: “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada
Tuhanmu , dan supaya mereka bertakwa. Maka tatkala mereka melupakan apa yang
diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat
dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka
selalu berbuat fasik. (Al-A’raf (7): 163-165).

Perhatikan jawaban orang-orang yang berdakwah ketika ditanya mengapa mereka menasehati
orang-orang yang melanggar perintah Allah:

1. ‫َم ْعذ َِرةً ِإلَى َر ٍِّب ُك ْم‬

2. َ‫َولَعَله ُه ْم يَتهقُون‬

1. Kami berdakwah agar menjadi argumentasi & penyelamat kami dihadapan Allah swt.

2. Mudah-mudahan mereka bertaqwa.

Perhatikan pula bahwa yang secara tegas diselamatkan oleh Allah dari adzab-Nya adalah orang-
orang yang melarang perbuatan maksiat.

Dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar adalah kontrol sosial yang harus dilakukan oleh kaum
muslimin agar kehidupan ini selalu didominasi oleh kebaikan. Kebatilan yang mendominasi
kehidupan akan menyebabkan turunnya teguran atau adzab dari Allah swt. Rasulullah saw
bersabda:

‫ض ُه ْم أ َ ْس َفلَ َها َف َكانَ الهذِينَ فِي‬


ُ ‫ض ُه ْم أَع َْالهَا َوبَ ْع‬ ُ ‫اب بَ ْع‬
َ ‫ص‬ َ َ ‫سفِينَة َفأ‬
َ ‫علَى‬ َ ‫َّللا َو ْال َواق ِِع فِي َها َك َمث َ ِل َق ْوم ا ْست َ َه ُموا‬
ِ ‫علَى ُحدُو ِد ه‬ َ ‫(( َمث َ ُل ْالقَائ ِِم‬
‫َصيبِنَا خ َْرقًا َولَ ْم نُؤْ ِذ َم ْن فَ ْوقَنَا فَإِ ْن يَتْ ُر ُكوهُ ْم َو َما أَ َرادُوا‬
ِ ‫علَى َم ْن فَ ْوقَ ُه ْم فَقَالُوا لَ ْو أَنها خ ََر ْقنَا فِي ن‬ َ ‫أَ ْسفَ ِل َها إِذَا ا ْستَقَ ْوا مِ ْن ْال َماءِ َم ُّروا‬
)‫علَى أ َ ْيدِي ِه ْم نَ َج ْوا َونَ َج ْوا َجمِ يعًا)) (رواه البخاري‬ َ ‫َهلَ ُكوا َجمِ يعًا َوإِ ْن أ َ َخذُوا‬

Perumpamaan orang yang tegak di atas hukum-hukum Allah dengan orang yang melanggarnya
seperti kaum yang menempati posisinya di atas bahtera, ada sebagian yang mendapatkan tempat
di atas, dan ada sebagian yang mendapat tempat di bawah. Mereka yang berada di bawah jika
akan mengambil air harus melewati orang yang berada di atas, lalu mereka berkata: “Jika kita
melubangi bagian bawah milik kita dan tidak mengganggu mereka..” Kalau mereka membiarkan
keinginan orang yang akan melubangi, mereka semua celaka, dan jika mereka menahan tangan
mereka maka selamatlah semuanya. (HR. Bukhari).

َ ‫((والهذِي نَ ْفسِي ِب َي ِد ِه لَت َأ ْ ُم ُر هن ِب ْال َم ْع ُروفِ َولَتَ ْن َه ُو هن‬


‫ع ْن ْال ُم ْنك َِر أ َ ْو لَيُو ِشك هَن‬ َ :َ‫سله َم قَال‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫صلهى ه‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫ي‬ ٍّ ‫ع ْن النه ِب‬ ِ ‫ع ْن ُحذَ ْيفَةَ ب ِْن ْال َي َم‬
َ ‫ان‬ َ
)‫س ٌن‬َ َ‫ح‬ ٌ
‫يث‬ ‫د‬
ِ ‫ح‬
َ ‫ا‬ َ ‫ذ‬ ‫ه‬
َ :َ
‫ل‬ ‫ا‬ َ ‫ق‬ ‫و‬ ‫الترمذي‬ ‫(رواه‬ )) ‫م‬
ْ ُ
‫ك‬ َ ‫ل‬ ُ‫اب‬ ‫ج‬
َ َ ‫ت‬‫س‬ْ ُ ‫ي‬ َ
‫ال‬ َ ‫ف‬ ُ ‫ه‬ ‫ن‬
َ ‫ُو‬
‫ع‬ ْ ‫د‬َ ‫ت‬ ‫م‬
‫ه‬ ُ ‫ث‬ ُ ‫ه‬ ْ
‫ن‬ ِ‫م‬ ‫ًا‬ ‫ب‬‫ا‬ َ ‫ق‬‫ع‬ِ ‫م‬ ُ
‫ك‬ ‫ي‬
ْ َ ‫ل‬
ْ َ َ َ ُ ‫ع‬ َ
‫ث‬ ‫ع‬ ‫ب‬
ْ ‫ي‬ ْ
‫ن‬ َ ‫أ‬ ‫ه‬
‫َّللا‬ .

Dari Hudzaifah bin Yaman ra dari Nabi Muhammad Saw beliau bersabda: “Demi Dzat yang
jiwaku berada di tangan-Nya, kalian harus melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, atau Allah
akan menurunkan hukuman dari-Nya kemudian kalian berdoa kepada-Nya dan Dia tidak
mengabulkan doa kalian.” (HR Tirmidzi, beliau berkata: hadits ini hasan).

5. Dakwah adalah Jalan Menuju Khairu Ummah

Rasulullah saw berhasil mengubah masyarakat jahiliyah menjadi umat terbaik sepanjang zaman
dengan dakwah beliau. Dakwah secara umum dan pembinaan kader secara khusus adalah jalan
satu-satunya menuju terbentuknya khairu ummah yang kita idam-idamkan. Rasulullah saw
melakukan tarbiyah mencetak kader-kader dakwah di kalangan para sahabat beliau di rumah
Arqam bin Abil Arqam ra, beliau juga mengutus Mush’ab bin Umair ra ke Madinah untuk
membentuk basis dan cikal bakal masyarakat terbaik di Madinah (Anshar).

Jalan yang ditempuh oleh Rasulullah saw ini adalah juga jalan yang harus kita tempuh untuk
mengembalikan kembali kejayaan umat. Imam Malik bin Anas ra berkata:

َ ‫صلُ ُح آخِ ُر َه ِذ ِه اَل ُ هم ِة ِإَله ِب َما‬


‫صلُ َح ِب ِه أَ هولُ َها‬ ْ ‫َلَ َي‬

Akhir umat ini tidak menjadi baik kecuali menggunakan cara yang digunakan untuk
memperbaiki generasi awalnya. (Nashiruddin Al-AlBani, Fiqhul Waqi’ hlm 22).
Umat Islam harus memainkan peran dakwah & amar ma’ruf nahi munkar dalam semua
keadaannya, baik ketika memperjuangkan terbentuknya khairu ummah maupun ketika cita-cita
khairu ummah itu telah terwujud. Allah swt berfirman:

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf,
dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (Ali Imran (3): 110).

Al-Hayatu Ar-Rabbaniyyah

Dengan semua keutamaan dakwah di atas, berarti seorang da’i dengan dakwahnya sedang
menjalani hidupnya dengan kehidupan rabbaniyyah yakni kehidupan yang selalu berorientasi
kepada Allah swt dan kehidupan yang selalu diisi dengan belajar Al-Quran yang menjadi sumber
kebaikan serta mengajarkannya kepada orang lain.

Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan
kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku
bukan penyembah Allah.” akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang
rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.
(Ali Imran (3): 79).

Rasulullah saw diperintahkan oleh Allah swt untuk mengajak umatnya agar menjadi orang-orang
yang Rabbani yakni mereka yang selalu belajar dan mengajarkan Al-Quran sehingga hidup
mereka menjadi rabbani pula. Dakwah adalah aktivitas belajar dan mengajarkan Al-Quran baik
dalam membacanya, memahaminya, mengamalkannya, memperjuangkan tegaknya hukum-
hukumnya, dan konsisten dalam melakukan itu semua.

Kehidupan rabbaniyyah adalah kehidupan seorang da’i yang selalu mengorientasikan semua
aktivitasnya kepada Allah swt Rabbnya, di mana kehidupan, kematian, ibadah mahdhah maupun
ghairu mahdhah semuanya dipersembahkan untuk Allah swt. Ibadah yang menjadi tujuan hidup
semua manusia dilaksanakan untuk mengagungkan Allah swt seagung-agungnya dan untuk
menyatakan kehinaan dan kelemahan kita di hadapan-Nya. Dakwah adalah salah satu bentuk
pengagungan kepada Allah yang paling utama, karena di dalamnya seorang da’i meninggikan
kalimat-Nya melalui lisannya, amalnya, dan ajakannya kepada orang lain. Di dalam dakwah
seorang da’i bersabar menghadapi berbagai ujian berat semata-mata demi mengagungkan Allah
swt. Semakin berat tantangan dan ujian dalam mengagungkan Allah swt, semakin besar dan
mulia bentuk pengagungan itu di sisi Allah swt.

Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb
semesta alam.” (Al-An’am (6): 162).

Al-Hayah Al-Mubarakah (Kehidupan yang Diberkahi)


Dengan selalu berdakwah di jalan Allah swt serang da’i telah menjadikan hidupnya penuh
keberkahan. Yang dimaksud dengan keberkahan adalah kebaikan yang banyak dan melimpah di
sisi Allah swt. Para Nabi alaihimussalam adalah orang yang paling diberkahi dan kehidupannya
adalah kehidupan penuh keberkahan, perhatikan ucapan Nabi Isa as tentang dirinya:

Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia
memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.
(Maryam (19): 31).

Penyebab utama kehidupan Nabi Isa dan para Nabi lainnya diberkahi oleh Allah swt adalah
pekerjaan mereka sebagai orang-orang yang dipilih oleh Allah untuk mendakwahkan ajaran-Nya
kepada manusia. Inilah yang dipahami oleh Ibnul Qayyim – salah seorang ulama besar – ketika
menjelaskan surat Maryam ayat 31 di atas. Beliau berkata:

‫فَإِ هن َب َر َكةَ ه‬:


‫الر ُج ِل‬

• ُ ‫تَ ْع ِل ْي ُمهُ ل ِْل َخي ِْر َحي‬


،‫ْث َحله‬

• ‫ص ُحهُ ِل ُك ٍِّل َم ْن اِجْ تَ َم َع ِب ِه‬


ْ ُ‫ون‬.
َ

‫ي‬ ِ ‫ع ِن ْال َم ِسي‬


ْ َ ‫] أ‬٣١ :‫ وجعلني مباركا أينما كنت [مريم‬:‫ْح‬ ً َ‫قَا َل تَعَالَى إِ ْخب‬:
َ ‫ارا‬

1. ،‫ُم َع ِلٍّ ًما ل ِْل َخي ِْر‬

2. ،ِ‫دَا ِعيًا إِلَى هللا‬

3. ،ِ‫ُمذَ ٍّك ًِرا ِبه‬

4. ‫عتِ ِه‬ َ ‫غبًا فِ ْي‬


َ ‫طا‬ ٍّ ِ ‫ ُم َر‬.

Keberkahan seseorang itu ada pada:

• pengajarannya terhadap segala macam kebajikan di mana pun ia berada, dan

• Nasehat yang ia berikan kepada semua orang yang ijtima’ (berkumpul) dengannya.

Saat menceritakan tentang nabi Isa – ‘alaihissalam – Allah swt berfirman:

“Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada”. (Q.S. Maryam: 31)

Nabi ‘Isa – ‘alaihissalam – menjadi manusia yang membawa berkah adalah karena ia:
1. Menjadi guru kebajikan
2. Juru dakwah yang menyeru manusia kepada Allah – subhanahu wa ta’ala –
3. Mengingatkan manusia tentang Allah – subhanahu wa ta’ala –
4. Mendorong dan memotivasi manusia untuk taat kepada Allah – subhanahu wa ta’ala.
Demikian Ibnul Qayyim melihat keberkahan dalam hidup seseorang, di mana kehidupan yang
berkah itu – menurut beliau & sesuai arahan Al-Quran – ditentukan oleh aktivitas memberi
manfaat kepada orang lain melalui dakwah dan kebaikan yang disebarkan demi meninggikan
kalimat Allah swt. (dkwt)

B. Komitmen hidup bersama dakwah


Komitmen di dalam bahasa arab, biasa disebut dengan iltizam. Tapi iltizam apa yang dimaksud?
Tentunya iltizam bil haq. Komitmen kepada kebenaran. Karena jika kita tidak tegaskan hakikat
komitmen yang dimaksud; maka kejahatan juga bisa dilakukan dengan komitmen. Dalam hal ini,
kadar intelektual seorang kader dakwah menjadi penentu kualitas keteguhan komitmen. Semakin
mendalam kadar intelektualnya (keilmuan), maka semakin tepatlah seorang kader membedakan
antara haq dan bathil.
Dalam membangun sebuah komiten kuat di dalam harokah dakwah, setidaknya kita harus
melalui 3 tahapan: 1. Mempertegas identitas, 2. Menentukkan arah perjuangan, dan 3.
Mengimplementasikan pemahaman ke dalam agenda kerja. Karena urutan tersebut, sudah
menjadi sebuah tahapan yang tersusun rapi, dan harus dilakukan secara kontinyu. Dan jika boleh
dibagi, pada dasarnya tahap 1 dan 2 masih dalam ranah semangat berdakwah. Sebenarnya
berdakwah juga merupakan kewajiban setiap muslim tanpa terkecuali. Adapun tahapan ke-3,
sudah memasuki semangat berharokah. Jika berdakwah masih dalam ranah usaha ‘mengajak’
orang lain kepada kebaikan, maka berharokah sudah memasuki ranah
memobilisasi/mengorganisir massa.
1. Mempertegas Identitas
Seorang kader dakwah harus tegas dengan identitasnya. Karena identitas diri akan menentukan
cara orang lain bersikap terhadap kita. Akan beda jadinya; jika orang lain memandang kita hanya
sebagai seorang pemuda seperti pada umumnya, dengan memandang kita sebagai seorang kader
dakwah. Akan ada kesenjangan pola interaksi, antara pemuda yang sering nongkrong di warung,
dengan pemuda yang mendekatkan dirinya pada masjid. Dan inilah pentingnya ciri khas.
Dalam tahapan mempertegas identitas ini, setidaknya kita harus menguasai 3 hal: a. Aqidah yang
lurus, b. Berpedoman pada quran dan sunnah, dan c. Menjadi kader yang berakhlak. Aqidah dan
keimanan bagaikan sebuah dasar bangunan. Karena di sanalah kita akan berpijak. Sehingga jika
pijakan kita kabur (tidak jelas), tentunya kita akan berada di dalam kebingungan. Larut dalam
kegalauan. Tetapi jika aqidah sudah terbangun, maka kita harus menguasai quran dan sunnah
secara baik. Karena 2 hal itulah yang menjadi pedoman hidup seorang kader dakwah. Bahkan
rasul dalam khutbah haji wada mengatakan;
‘Telah aku tinggalkan 2 perkara, kau tidak akan tersesat selamanya. Selama kau berpegang teguh
kepadanya; yaitu Quran dan sunnah’
Jika aqidah, pemahaman quran dan sunnah sudah baik; tuntutan selanjutnya adalah
mengimplementasikan pemahaman kedalam akhlaqul karimah. Akhlak yang baik. Akhlaklah
yang membuat seorang muslim memiliki karakter. Dan tidak mungkin kita dapat mendengar
istilah peradaban Islam berjaya seribu tahun lebih, jika kata dasar dari peradaban, yaitu adab
(etika/akhlak); tidak melekat pada diri seorang muslim. Sehingga jika ada seorang muslim tidak
mencerminkan akhlaqul karimah yang Islam ajarkan, yang akan terjadi selanjutnya adalah bias
identitas.
2. Memantapkan Arah Perjuangan
Memantapkan arah perjuangan merupakan hal penting dalam perjungan membangun komitmen
dakwah. Karena arahlah yang membuat kita memiliki fokus. Arah juga yang membuat kita
mantap dalam menarasikan cita masa depan, dan arah pulalah yang membuat kita mantap dalam
berjalan. Sehingga dalam tahapan ini, setidaknya kita perlu menguasai 3 hal; a. Manhaj
(metode), b. Uslub Wasail (cara dan sarana), dan Tujuan.
Manhaj merupakan barang berharga dalam sebuah jamaah dakwah. Ke sanalah kita berorientasi.
Karena manhaj yang berfungsi sebagai media penyelesaian konflik. Sehingga segala jenis
konflik, dapat diselesaikan secara manhaji. Adapun uslub wasail kita dalam berdakwah harus
dimaksimalkan. Dan uslub wasail juga boleh berubah, karena memang sifatnya fleksibel. Kita
ada sarana liqoat tarbiyah, daurah, seminar, mukhayyam, ataupun tarbiyah dzatiyah. Semuanya
harus dimaksimalkan secara baik.
Yang terakhir adalah memahami tujuan kita dalam berdakwah. Dan pemahaman akan tujuan
tidak bisa kita pahami secara baik, jika kita belum memahami afiliasi pergerakan. Kita adalah
jamaah dakwah yang bertransformasi menjadi partai politik. Sehingga kita harus meyakini
sebuah kaidah; Aljamaah hiyal hizb, Hizb huwal jamaah (Jamaah dakwah adalah partai politik,
dan partai politik adalah jamaah dakwah). Karena kata kunci dari pemahaman tersebut adalah
dakwah dan politik. Keduanya harus diformulasikan secara baik, agar hubungan antara jamaah
dan indivu dapat berjalan secara integral.
3. Mengimplementasikan pemahaman ke dalam agenda kerja
Agenda kerja menjadi sebuah medan pembuktian kita dalam berdakwah. Jika 2 tahapan
sebelumnya masih berkisar pada ranah konseptual dan pendalaman ideologi, maka implementasi
pemahaman ke dalam agenda kerja merupakan aplikasi nyatanya. Dan agenda kerja ini pun harus
sesuai dengan mihwar (orbit) dakwah. Setidaknya ada 4 mihwar; Mihwar tanzhim (organisasi),
mihwar sya’bi (masyarakat), mihwar muassasi (institusi), dan mihwar daulah (negara). Dan
akumulasi dari setiap mihwar itu adalah ustadziyatul alam (guru dunia). Guru dalam konteks,
orang yang memberikan contoh kepada seluruh masyarakat dunia.
1. Mihwar tanzhim. Contoh kerja yang dapat diimplementasikan dalam mihwar tanzhim,
paling minimal adalah keaktifan kita di dalam struktural. Entah keaktifan dalam
kepanitiaan pengurus (ranting, cabang, daerah, wilayah, hingga pusat). Atau aktif di
dalam organisasi sayap seperti (rohis, LDK, KAMMI). Keaktifan dalam kepanitiaan
struktural adalah sebuah kontribusi paling minimal. Jikalau kita bisa menjadi muharik
(penggerak), itu jauh lebih baik.
2. Mihwar Sya’bi. Pada mihwar ini seorang kader dakwah bisa turut aktif dalam kegiatan
sosial, hingga aktif dalam organisasi kemasyarakatan. Contoh riilnya adalah keaktifan
kita dalam kegiatan remaja masjid, karang taruna, yayasan sosial, hingga aktif dalam
kegiatan struktural pemerintahan terkecil (RT/RW).
3. Mihwar Muassasi. Institusi pada mihwar ini, biasanya dinisbatkan kepada institusi tempat
ikhwah bekerja. Pada tahapan ini, setidaknya kita bisa menguatkan ukhuwah internal,
sebelum berdakwah untuk jangakauan yang lebih luas. Jika ukhuwah antar ikhwah
diinstitusi sudah terbangun, kita bisa berinisiatif mengambil sektor-sektor penting untuk
mendukung kegiatan dakwah. Kegiatan seperti mengaktifkan mushola/masjid di
perusahaan, membangun nuansa dakwah ditempat kerja, hingga menunjukkan akhlaqul
karimah ditempat kerja (memberi salam, saling mendoakan, dll).
4. Mihwar Daulah. Mihwar pada tahapan daulah memang sedikit orang yang bisa
mencapainya. Mihwar ini bisa dikerjakan oleh ikhwah yang menduduki jabatan publik
seperti tenaga professional pemerintahan, pejabat pemerintahan (legislatif, eksekutif, dan
yudikatif). Tahapan ini, memiliki skala yang besar dan luas. Karenanya perlu ada
kesinambungan dengan kader di grassroot, agar lebih mudah terintegrasi.
Adapun akumulasi dari ke-4 mihwar ini adalah tercapainya ustadziyatul alam (guru peradaban).
Keteladanan untuk rakyat di seluruh dunia, yang berperan besar dalam perealisasian kebangkitan
umat Islam. Ustadziyatul alam ini juga dekat maknanya dengan kepemimpinan. Dan semua hal
itu dapat tercapai, jika setiap mihwar dapat diselesaikan secara baik. Sehingga Ustadziyatul alam
yang tercipta nanti, adalah kepemimpinan yang adil dan sejahtera. Dan hal ini dapat dibangun,
dengan cara mempersiapkan kader dakwah muda yang unggul. Sabab alyaum, wa rijalul ghod
(Pemuda saat ini, adalah pemimpin di masa depan).

C. Tugas aktivis dakwah

َ ‫ِي أَ ْح‬
ُ‫سن‬ َ ‫س ِيٍّئَةُ ادْفَ ْع ِبالهتِي ه‬
‫سنَةُ َو ََل ال ه‬َ ‫ َو ََل ت َ ْست َ ِوي ْال َح‬. َ‫صا ِل ًحا َوقَا َل ِإنهنِي مِ ْن ْال ُم ْسلِمِ ين‬
َ ‫عمِ َل‬ َ ‫َّللا َو‬ِ ‫عا ِإلَى ه‬ َ َ‫س ُن قَ ْو ًَل مِ هم ْن د‬ َ ‫َو َم ْن أ َ ْح‬
‫عظِ يم‬َ ‫ظ‬ ٍّ ‫ص َب ُروا َو َما يُلَقهاهَا ِإ هَل ذُو َح‬ َ َ‫ َو َما يُلَقهاهَا ِإ هَل الهذِين‬. ‫ي َحمِ ي ٌم‬ ٌّ ‫عدَ َاوة ٌ َكأَنههُ َو ِل‬
َ ُ‫فَإِذَا الهذِي َب ْينَكَ َو َب ْينَه‬

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah,
mengerjakan amal yang shalih dan berkata:”Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
berserah diri.” Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan
cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan
seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan
melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-
orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. (Fushshilat: 33-35).

Ayat di atas merupakan tugas utama bagi para aktivis dakwah di jalan Allah (dai), agar selalu
semangat dan istiqamah, tidak pernah gentar dan getir, senantiasa menjalankan tugasnya dengan
tenang, tidak emosional dan seterusnya. Ayat tersebut diletakkan setelah sebelumnya di awal
surat Fushshilat Allah menggambarkan sikap orang-orang yang tidak mau menerima ajaran
Allah. “Mereka mengatakan: hati kami tertutup, (maka kami tidak bisa menerima) apa yang
kamu serukan kepadanya, pun telinga kami tersumbat, lebih dari itu di antara kami dan kamu
ada dinding pemisah.” (Fushshilat: 5). Bisa dibayangkan bagaimana beratnya tugas dakwah jika
yang dihadapi adalah orang-orang yang tidak mau menerima kebenaran, tidak mau diajak kepada
kebaikan, lebih dari itu ia menyerang, memusuhi dan melemparkan ancaman. Setiap
disampaikan kepada mereka ajaran Allah, mereka menolaknya dengan segala cara, entah dengan
menutup telinga, menutup mata, atau dengan mencari-cari alasan dan lain sebagainya.

Dakwah di jalan Allah adalah kebutuhan pokok manusia. Tanpa dakwah manusia akan tersesat
jalan, jauh dari tujuan yang diinginkan Allah swt. Para rasul dan nabi yang Allah pilih dalam
setiap fase adalah dalam rangka menegakkan risalah dakwah ini. Di dalam Al-Qur’an, Allah swt
tidak pernah bosan mengulang-ulang seruan untuk bertakwa dan menjauhi jalan-jalan setan.
Tetapi manusia tetap saja terlena dengan panggilan hawa nafsu. Terpedaya dengan indahnya
dunia sehingga lupa kepada akhirat. Dalam surat Al-Infithaar ayat 6 Allah berfirman: yaa
ayyuhal insaan maa gharraka birabbikal kariim? (wahai manusia apa yang membuat kamu
terpedaya, sehingga kamu lupa terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah?)

Dalam ayat lain: kallaa bal tuhibbuunal aajilah watadzaruunal aakhirah (sekali-kali tidak,
sungguh kamu masih mencintai dunia dan meninggalkan akhirat) (Al-Qiyaamah: 20-21).
Perhatikan bagaimana pahit getir yang harus ditempuh para pejalan dakwah. Sampai kapan
manusia harus terus terombang-ambing dalam gemerlap dunia yang menipu kalau tidak ada
seorang pun yang bergerak untuk melakukan dakwah? Di sini tampak bahwa tugas dakwah pada
hakikatnya bukan hanya tugas para dai, melainkan tugas semua manusia yang mengaku dirinya
sebagai hamba Allah –tak perduli apa profesinya– lebih-lebih mereka yang telah meletakkan
dirinya sebagai aktivis dakwah.

Karenanya, persoalan dakwah bukan persoalan nomor dua, melainkan persoalan pertama dan
harus diutamakan di atas segala kepentingan. Bila kita mengaku mencintai Rasulullah saw.,
maka juga harus mengaku bahwa berjuang di jalan dakwah adalah segala-galanya. Karena
Rasulullah dan sahabat-sahabatnya tidak saja mengorbankan segala waktu dan hartanya bahkan
jiwa raganya untuk dakwah kepada Allah. Bagi mereka rumah dan harta yang telah mereka
bangun sekian lama di kota Makkah memang merupakan bagian dari kehidupan yang sangat
mahal dan berharga. Tetapi mempertahankan iman dan menegakkan ajaran Allah di bumi adalah
di atas semua itu. Karenanya mereka tidak pikir-pikir lagi untuk berhijrah dengan meninggalkan
segala apa yang mereka miliki. Mereka benar-benar paham bahwa iman dan dakwah pasti
menuntut pengorbanan. Karenanya dalam berbagai pertempuran para sahabat berlomba untuk
melibatkan dirinya. Mereka merasa berdosa jika tidak ikut terlibat aktif. Tidak sedikit dari
mereka yang telah gugur di medan tempur. Semua ini menggambarkan kesungguhan dan
kejujuran mereka dalam menegakkan risalah dakwah yang taruhannya bukan hanya harta benda
melainkan juga nyawa.
Dakwah Adalah Tugas Yang Sangat Mulia

Ayat di atas dibuka dengan pernyataan: waman ahsanu qawlan. Ustadz Sayyid Quthub ketika
menfasirkan ayat ini berkata: “Kalimat-kalimat dakwah yang diucapkan sang dai adalah paling
baiknya kalimat, ia berada pada barisan pertama di antara kalimat-kalimat yang baik yang
mendaki ke langit.” (lihat fii dzilaalil qur’an, oleh Sayyid Quthub, vol.5, h. 3121). Kata waman
ahsanu Allah ulang di beberapa tempat dalam Al-Qur’an untuk menegaskan tingginya kualitas
beberapa hal: Pada surat An-Nisa ayat 125 Allah berfirman: waman ahsanu diinan mim man
aslama wajhahahuu lillaah (siapakah yang lebih bagus agamanya dari pada orang yang
menyerahkan diri kepada Allah). Dalam Al Maidah ayat 50: waman ahsanu minallahi
hukman (siapa yang lebih bagus ajarannya dari pada ajaran Allah). Dan pada ayat di atas:
Siapakah yang lebih bagus perkataannya dari pada perkataan para dai di jalan Allah? Perhatikan
semua ayat-ayat tersebut secara seksama, betapa tugas dakwah sangat Allah muliakan.
Peringkatnya sangat tinggi, setara dengan kualitas hukum Allah dan penyerahan diri kepadaNya
secara total.

Adalah suatu keharusan seorang dai, menyerahkan hidupnya kepada Allah swt. Ia tidak kenal
lelah menjalani tugas-tugas dakwah. Pun ia tidak mengharapkan keuntungan duniawi di
baliknya, kecuali hanyalah ridhaNya. Dalam Surat Yasiin ayat 21 Allah berfirman: “Ikutilah
orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk.” Toh kalaupun Allah membuka jalan rezeki baginya melalui jalan-jalan tak terduga
“fadzaalika khairun ‘alaa khair“. Yang penting jangan sampai seorang dai orientasinya dunia.
Sebab, bila seorang dai juga berorientasi dunia, kepada apa dia mau berdakwah, bukankah tema
utama dakwah adalah ajakan untuk mempersiapkan diri menuju akhirat?

Berdakwah Dengan Amal

Ayat selanjutnya menegaskan pentingnya amal shalih: wa amila shaalihaa. Mengapa? Apa
hubungannya dengan dakwah? Bahwa seorang dai jangan hanya ngomong saja, sementara
perbuatannya jauh atau bahkan bertentangan dengan apa yang disampaikannya. Benar, bahwa
perkataan dakwah adalah paling baiknya perkataan, tetapi itu kalau diikuti dengan amal shalih.
Jika tidak, maka perkataan itu akan menjadi bumerang yang akan menyerang sang dai itu sendiri.
Dalam Ash Shaf ayat 3 Allah berfirman: “Amat besar kebencian Allah, bila kamu hanya
mengatakan tanpa mengerjakannya.”

Karenanya Rasulullah saw. tidak hanya berbicara, melainkan lebih dari itu seluruh perbuatannya
merupakan contoh amal shalih. Allah swt. memberikan rekomendasi yang luar biasa dalam surat
Al-Qalam ayat 4: “Dan sesungguhnya kamu (Mumhammad) benar-benar berbudi pekerti yang
agung.” Imam Ibn Katsir ketika menafsirkan ayat ini menyebutkan riwayat dari Aisyah ra.:
bahwa akhlak Rasulullah saw. adalah Al-Qur’an (lihat Tafsir Ibn Katsir, vol.4, h.629). Dalam
hadits-hadits yang diriwayatkan para ulama tidak semua berupa ucapan Rasulullah saw.,
melainkan banyak sekali yang berupa cerita para sahabat mengenai perilaku dan sikap Rasulullah
saw. Banyak sekali hadits-hadits yang berupa ucapan pendek, to the point, tidak bertele-tele,
mudah dihafalkan. Suatu gambaran betapa keberhasilan dakwah Rasulullah saw. adalah karena
setiap yang diucapkannya langsung ada contohnya dalam bentuk amal nyata dari sikap dan
akhlaknya yang sangat mulia.

Menampilkan Diri Sebagai Seorang Muslim Adalah Dakwah

Di antara ciri utama berdakwah kepada Allah, tidak saja mengamalkan ajaranNya dan menjauhi
segala yang dilarang melainkan lebih dari itu menampilkan diri sebagai seorang Muslim di
manapun ia berada, Allah berfirman pada ayat berikutnya: wa qaala innanii minal muslimiin.
Dengan kata lain tidak cukup seorang mengamalkan Islam hanya dengan shalat, membayar zakat
dan menjalankan haji, sementara dalam hidup sehari-harinya tidak mencerminkan Islam,
misalnya ia tidak merasa berdosa dengan mempertontonkan auratnya di mana-mana,
bergandengan tangan dengan wanita bukan istrinya di depan banyak orang, melakukan
kemaksiatan, kezhaliman, korupsi, judi, perzinaan dengan terang-terangan. Anehnya, dia merasa
malu untuk menampilkan Islam dengan sebenar-benarnya. Ia tidak merasa bangga sebagai
seorang muslim. Bahkan Islam yang dipeluk digerogoti ajarannya sedikit demi sedikit, dengan
sikap memperdebatkan prinsip-prinsipnya yang sudah baku, mencari-cari dalil untuk
membangun keraguan terhadap kebenaran Islam.

Seorang aktivis dakwah sejati selalu bangga dengan identitasnya sebagai seorang muslim. Ia
tidak takut menampilkan Islam sebagai pribadinya. Sungguh krisis umat Islam di mana-mana
kini adalah krisis keberanian untuk menampilkan wajah Islam yang sebenarnya. Islam
mengajarkan kedisiplinan, kebersihan, dan akhlak mulia, tetapi umat Islam di mana-mana selalu
terkesan jorok, kotor dan beringas. Islam mengajarkan kejujuran, dan ketegasan dalam
menegakkan hukum, tetapi penipuan dan korupsi justru merebak di tengah masyarakat yang
mayoritasnya umat Islam. Mengapa ini semua terjadi? Bukankah orang-orang non-muslim sudah
sedemikian jauh menampilkan dirinya sebagai bangsa yang bersih, disiplin dan lain sebagainya?

Benar, jika kemudian saya mendengar penyataan salah seorang muallaf : “Saya masuk Islam
bukan karena umat Islam, melainkan karena kebenaran Islam. Seandainya umat Islam mampu
menampilkan Islam dengan sebenar-benarnya, niscaya mereka akan berbondong-bondong masuk
Islam.” Bahkan ada ungkapan yang sangat terkenal dan diulang-ulang hampir dalam setiap
seminar di dalam di luar negeri: al-Islam mahjuubun bil muslimiin (kebenaran Islam terhalang
oleh orang-orang-orang Islam sendiri). Perhatikan realitasnya, apa yang sedang berlangsung
dalam diri umat Islam di mana-mana. Ya, kalau tidak berperang di antara mereka sendiri, mereka
dizhalimi oleh pemimpinnya sendiri yang mengaku muslim.

Karenanya menampilkan Islam secara jujur dalam diri sebagai pribadi, dalam rumah tangga,
dalam bermasyarakat dan dalam berbangsa dan bernegara adalah sebuah keniscayaan, dan
menurut ayat di atas termasuk perbuatan yang sangat baik dan mulia. Oleh sebab itu pada ayat
berikutnya Allah mengajarkan agar seorang dai selalu menyadari posisinya yang sangat mulia.
Jangan sampai –karena suatu saat kelak menghadapi cobaan berupa munculnya orang-orang
yang menolak dakwahnya dan lain sebagainya– ia kemudian emosional. Sehingga perkataannya
lepas kontrol, lalu membalas cercaan mereka dengan cercaan. Atau lebih dari itu ia kemudian
putus asa, lalu menjadi lesu dan patah arang. Akibatnya dakwah yang sangat Allah muliakan, ia
lalaikan begitu saja.

Tidak, tidak demikian pribadi seorang aktivis dakwah. Seorang aktivis dakwah selalu menjiwai
ayat ini: walaa tastawil hasanatu walas sayyi’ah. Benar, tidak akan pernah sama antara kebaikan
dan keburukan. Kata-kata dakwah tetap lebih mulia dari kata-kata pencerca. Pertahankan kata-
kata yang baik itu untuk terus menghiasi lidah sang dai. Jangan sampai terpengaruh emosi para
pencerca lalu ditukar menjadi cercaan pula. Karenanya Allah ajarkan konsep: idfa’ billatii hiya
ahsan, balaslah dengan ucapan yang lebih baik dan dengan cara yang lebih baik. Kata ahsan juga
diulang pada ayat lain: wajadilhum billatii hiya ahsan, suatu sikap yang harus selalu menghiasi
pribadi seorang dai setiap saat dan di manapun ia berada, lebih-lebih saat menghadapi penolakan,
cercaan dan makian. Di saat seperti itu seorang dai, harus benar-benar tampil sempurna, bijak
dan tenang. Mengapa? Sebab ia membawa misi Allah Yang Maha Perkasa. Maka ia harus selalu
yakin dan percaya diri dengan posisinya. Tidak usah minder apalagi rendah diri.

Bahkan pada ayat selanjutnya Allah mengajarkan agar ia selalu tampil dengan penuh
persahabatan, sekalipun mereka mencerca dengan penuh permusuhan. Perhatikan bagaimana
Allah mengajarkan cara berdakwah yang efektif, di mana kemudian cara ini menjadi salah satu
pilar utama dalam ilmu komunikasi modern. Setelah itu Allah menegaskan bahwa untuk itu
semua seorang dai tidak cukup hanya dengan bermodal semangat, melainkan lebih dari itu harus
mempunyai sifat sabar dan selalu memohon kepada Allah agar mendapatkan nasib yang baik, di
dunia dan di akhirat. Tanpa sifat sabar dan doa untuk memperoleh nasib yang baik, segala proses
akan menjadi sia-sia. Sebab segala kemenangan tidak akan pernah dicapai tanpa
pertolonganNya.

D. Karakter penentang dakwah dan balasannya

Para penentang itu akan dihancurkan sebagaimana Allah membinasakan kaum yang mengingkari
risalah tauhid setelah Nabi Nuh AS. Dia berfirman;

ِ ‫َوك َۡم ا َ ۡهلَ ۡكنَا مِ نَ ۡالقُ ُر ۡو ِن مِ ۡۢۡن َبعۡ ِد نُ ۡوح َو َك ٰفى ِب َر ِبٍّكَ ِبذُنُ ۡو‬
ِ ‫ب ِع َباد ِٖه َخ ِب ۡي ۢۡ ًرا َب‬
‫ص ۡي ًرا‬
“Dan berapa banyak kaum setelah Nuh, yang telah Kami binasakan. Dan cukuplah Tuhanmu
Yang Maha Mengetahui, Maha Melihat dosa hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Isra: 17)
Ada lima mutiara tadabbur yang bisa dipetik dari dari ayat di atas. pertama, peringatan Allah
Ta’ala kepada orang-orang kafir Quraisy atas apa yang mereka lakukan kepada Rasulullah SAW.
Kafir Quraisy merupakan suku di Mekkah yang menentang wahyu Allah yang diturunkan kepada
baginda Nabi Muhammad.
Tak cukup sampai di situ, fitnah-fitna keji mereka arahkan kepada Nabi Muhammad. Beliau
difitnah sebagai sosok pemecah belah kaum Quraisy, dan banyak lagi fitnah keji lainnya. Beliau
juga diboikot selama tiga tahun. Sampai pada rencana pembunuhan kepada manusia paling
agung itu.
Allah kemudian memberi peringatan keras kepada kaum kafir Quraisy melaui ayat di atas.
Betapa banyak kaum yang dibinasakan setelah Nabi Nuh AS. Mereka dibinasakan karena
memusuhi para nabi dan rasul. Ini juga menjadi ancaman kepada orang-orang Quraisy yang
memusuhi dan menentang risalah dakwah Nabi Muhammad.
Di antara umat terdahulu adalah kaum Tsamud yang menentang dakwah Nabi Hud. Kaum itu
kemudian binasa. Ada Namrud yang menentang dakwah tauhid Nabi Ibrahim. Namun lihat
bagaimana Allah membinasakan mereka. Ada Fir’aun yang menentang Musa AS. Dia berakhir
dengan sangat mengenaskan. Bahkan jasad Fir’aun masih awet hingga saat ini agar menjadi
pelajaran bagi umat manusia.
Itu semua peringatan kepada para penentang risalah dakwah Nabi Muhammad SAW. Jika tidak
berhenti melakukan penentangan, maka Allah akan membinasakan mereka sebagaimana Dia
telah membinasakan umat-umat terdahulu.
Kedua, Sahabat Abdullah Ibnu Abbas mengatakan, Allah menjelaskan di ayat ini bahwa umat-
umat yang dihancurkan itu adalah setelah Nuh. Mulai dari Nuh dan setelahnya. Hal itu
menunjukkan bahwa umat manusia sebelum Nuh AS adalah orang-orang Islam. Periode Nabi
Adam AS hingga Nuh As adalah manusia yang bertauhid. Mulai muncul syirik sebelum Allah
mengutus Nuh AS.
Ketiga, peringatan keras itu juga ditujukan kepada orang yang menentang dakwah pengikut para
nabi dan rasul di zaman ini. Seperti Allah mengancam orang-orang Quraisy, siapapun yang
menentang dakwah orang yang mengikuti jejak para nabi dan rasul, mereka juga mendapat
peringatan keras dari ayat ini.
Keempat, ayat di atas juga merupakan pelipur lara bagi Rasulullah SAW dan siapa saja yang
menapaki jejak beliau untuk mendakwahkan agama Allah dan menyebar kebenaran di atas muka
bumi. Orang yang menyakiti pengikut para nabi dan rasul, pasti akan dibinasakan oleh Allah.
Kelima, terkait “Dan cukuplah Tuhanmu Yang Maha Mengetahui, Maha Melihat dosa hamba-
hamba-Nya.” Penggalan ayat tersebut pelipur lara dan penyemangat bagi Rasulullah bahwa
Allah Maha Melihat atas apa yang dilakukan orang-orang yang memusuhi dakwah nabi dan
rasul. Ini juga penyemangat bagi siapa saja yang berjalan di atas jalan Al-Qur’an. Allah Maha
Melihat apa yang mereka lakukan.
E. Karakter yang menyambut dakwah dan balasannya
Diantara karakter yang menyambut dakwah adalah golongan yang säbiqun bi al-khairat adalah
mereka yang beriman dan berlomba-lomba untuk kebaikan.
Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata): "Sesungguhnya
aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, Agar kamu tidak menyembah selain
Allah. Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan".
Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: "Kami tidak melihat kamu,
melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti Kami, dan Kami tidak melihat orang-orang
yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara Kami yang lekas percaya
saja, dan Kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas Kami, bahkan Kami
yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta".[21]
Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang
dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka: "Tahukah kamu bahwa Shaleh di utus
(menjadi Rasul) oleh Tuhannya?". mereka menjawab: "Sesungguhnya Kami beriman kepada
wahyu, yang Shaleh diutus untuk menyampaikannya". Orang-orang yang menyombongkan diri
berkata: "Sesungguhnya Kami adalah orang yang tidak percaya kepada apa yang kamu imani
itu". Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan mereka Berlaku angkuh terhadap perintah
tuhan. dan mereka berkata: "Hai shaleh, datangkanlah apa yang kamu ancamkan itu kepada
Kami, jika (betul) kamu Termasuk orang-orang yang diutus (Allah)". Karena itu mereka ditimpa
gempa, Maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka[22].
Di samping itu, dalam al-Qur`an diberitakan ada beberapa orang yang menyembunyikan
keimanannya, kemudian memberikan pembelaan terhadap para nabi dan rasul ketika berhadapan
dengan orang-orang kafir.
Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas-gegas ia berkata: "Hai
kaumku, ikutilah utusan-utusan itu". Ikutilah orang yang tiada minta Balasan kepadamu; dan
mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. Mengapa aku tidak menyembah (tuhan)
yang telah menciptakanku dan yang hanya kepada-Nya-lah kamu (semua) akan
dikembalikan?[23]
Untuk golongan muqtashid, kita akan menemukan kesulitan dalam mencari bukti ummat atau
orang yang mempunyai karakter demikian. Akan tetapi, ini tidak berarti menapikan
keberadaannya. Dan bila kita meminjam kacamata al-Qur`an yang lain tentang pengelompokkan
manusia dalam mendapat hidayah, misalnya di awal surat al-Baqarah ayat 1 sampai 20, maka
muqtashid ini mendekati kelompok munafiq.

Di dalam Alquran, orang yang berdakwah dijanjikan beroleh banyak pahala.


Misalnya, “Serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada
jalan yang lurus.” (QS. al-Hajj/22: 67). Yang dimaksud dengan jalan yang lurus dalam ayat ini,
menurut pengarang Tafsir Jalalain, adalah agama yang lurus, yakni Islam.

Lebih lanjut, bagi Syaikh Nawawi Banten dalam Tafsir Munir, agama Islam adalah agama para
nabi, sidiqin, syuhada, dan orang-orang saleh. Secara praksis, memang orang yang berdakwah
meneruskan kerja mereka untuk mengajarkan akidah, ibadah, dan akhlak. Maka tak heran kalau
balasan untuk ini adalah berada pada agama yang lurus.

Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman, “Katakanlah, “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-
orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah (argumen) yang nyata,
Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf/12: 108).
Lagi-lagi balasan berdakwah, secara otomatis, terhindar dari kemusyrikan.

Secara kontekstual, ayat ini membuktikan bahwa berdakwah menjadi tugas bersama. Allah SWT
menegaskan, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-
orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran/3: 104).

Orang-orang yang beruntung, menurut Syaikh Nawawi Banten, adalah orang-orang yang diberi
keistimewaan. Dalam Tafsir Munir, beliau mengutip sabda Nabi SAW tentang balasan orang
yang berdakwah, yakni “Dia menjadi khalifah Allah di bumi, khalifah rasul-Nya, dan khalifah
kitab-Nya.” Khalifah adalah pengganti Allah SWT, rasul dan kitab-Nya di bumi.

Lebih tegas lagi, di dalam Alquran orang beruntung adalah yang memberi nasihat. Allah SWT
berfirman, “Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-
orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati
kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. al-Ashr/103: 2-3).

Secara sosio-historis, para nabi berdakwah tak kenal lelah. Terurai indah dalam Alquran,
misalnya, “Nuh berkata, “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah mendakwahi (menyeru) kaumku
malam dan siang.” (QS. Nuh/71: 5). Kendati begitu Nabi Nuh tidak berhasil mengajak kaumnya,
bahkan mereka malah kabur meninggalkan kebenaran.

Tak heran kalau satu waktu Nabi SAW memotivasi Ali bin Abi Thalib dalam berdakwah, “Demi
Allah, sesungguhnya Allah memberikan hidayah kepada seseorang dengan (dakwah) mu, maka
itu lebih baik bagimu dari unta merah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Unta merah saat itu adalah
unta yang berbadan tinggi dan besar serta berharga mahal.

Tak hanya itu, orang yang berdakwah juga akan didoakan oleh para penghuni langit dan bumi.
Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah memberi banyak kebaikan, para malaikat-Nya,
penghuni langit dan bumi, sampai semut-semut di lubangnya dan ikan-ikan selalu mendoakan
orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain.” (HR. Turmudzi).

Saatnya kita merenung. Berkat kerja dakwah orang sebelum kita yang memperkenalkan Allah
SWT, Muhammad SAW, dan Alquran, hari ini kita merasakan nikmatnya hidup dalam Islam.
Pertanyaannya adalah, proyek dakwah apa yang saat ini sedang kita garap untuk generasi
mendatang yang penuh tantangan multidimensi nanti?

Anda mungkin juga menyukai