Anda di halaman 1dari 19

:

Keutamaan
Dakwah AEI 2022
KEUTAMAAN DAKWAH

Dakwah adalah aktivitas menyeru manusia kepada Allah Ta’ala dengan hikmah dan pelajaran yang baik dengan
harapan agar objek dakwah (mad’u) yang kita dakwahi beriman kepada Allah Ta’ala dan mengingkari thaghut
(semua yang diabdi selain Allah) sehingga mereka keluar dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya Islam.
Jika kita mencermati ayat-ayat Al-Quran maupun hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita akan
banyak menemukan pembicaraan mengenai fadhail (keutamaan) dakwah yang luar biasa.

Penting bagi kita untuk mengetahui, memahami, dan menghayati tentang keutamaan
dakwah ini, agar memiliki motivasi yang kuat untuk berdakwah dan bergabung bersama kafilah
dakwah dimanapun ia berada; juga dapat menjaga konsistensi, semangat, serta menjadikan kita
merasa ringan menghadapi beban dan rintangan dakwah betapapun beratnya.
Beberapa keutamaan dakwah yang dapat kita sebutkan dalam
pokok bahasan ini adalah:

Pertama, dakwah adalah muhimmatur rusul (tugas utama para rasul) ‘alaihimus salam.
Para rasul ‘alaihimus salam adalah orang yang diutus oleh Allah Ta’ala untuk melakukan tugas utama
mereka yakni berdakwah kepada Allah Ta’ala. Keutamaan dakwah terletak pada disandarkannya kerja
dakwah ini kepada manusia yang paling utama dan mulia yakni
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta para nabi dan rasul ‘alaihimus salam.
“Katakanlah (Hai Muhammad): ‘Inilah jalanku: aku dan orang-orang yang mengikutiku
berdakwah (mengajak kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada
termasuk orang-orang yang musyrik’”. (QS. Yusuf, 12: 108).
Ayat di atas menjelaskan bahwa jalan yang dilalui oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para pengikut beliau adalah jalan dakwah. Maka barangsiapa mengaku menjadi
pengikut beliau, ia harus terlibat dalam dakwah sesuai kemampuannya masing-masing. Ibnul Al-Qayyim
Al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Tidaklah seseorang itu murni sebagai pengikut Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ia mau mendakwahkan apa-apa yang
didakwahkan oleh beliau dengan dasar ilmu yang mendalam.”
• Tentang Nabi Nuh ‘alaihis salam, Allah Ta’ala mengisahkan kesibukan beliau yang tak kenal henti dalam
menjalankan tugas berdakwah siang dan malam:
“Nuh berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah mendakwahi (menyeru) kaumku malam
dan siang.’” (QS. Nuh, 71: 5).

• Tentang Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, Allah Ta’ala mengisahkan dakwah yang beliau lakukan
kepada ayah dan umatnya,
“Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim, ketika ia berkata kepada bapaknya dan
kaumnya: ‘Apakah yang kamu sembah?’ Mereka menjawab: ‘Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa
tekun menyembahnya’. Berkata Ibrahim: ‘Apakah berhala-berhala itu mendengar (doa)mu sewaktu kamu berdoa
(kepadanya), atau (dapatkah) mereka memberi manfaat kepadamu atau memberi mudharat?’ Mereka menjawab:
‘(Bukan karena itu) sebenarnya kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian’. Ibrahim berkata: ‘Maka
apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah, kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu?
Karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam, (Yaitu Tuhan) yang
telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku, dan Tuhanku, yang Dia memberi makan dan minum
kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku, dan yang akan mematikan aku, kemudian akan
menghidupkan aku (kembali), dan yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat”.
(QS.Asy-Syuara, 26: 69-82).
• Tentang Nabi Musa ‘alaihis salam, Allah Ta’ala mengisahkan dakwah beliau dalam banyak ayat-ayat Al-Quran,
diantaranya,
“Dan sesunguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa mukjizat- mukjizat Kami
kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya. Maka Musa berkata: ‘Sesungguhnya aku adalah utusan dari Tuhan seru
sekalian alam’. Maka tatkala dia datang kepada mereka dengan
membawa mukjizat- mukjizat Kami dengan serta merta mereka mentertawakannya.” (QS. Az-
Zukhruf, 43: 46-47).

• Tentang Nabi Isa ‘alaihis salam, Allah Ta’ala mengisahkan dakwah beliau dalam firman-Nya,
“Dan tatkala Isa datang membawa keterangan dia berkata: ‘Sesungguhnya aku datang
kepadamu dengan membawa hikmah[2] dan untuk menjelaskan kepadamu sebagian dari apa yang kamu berselisih
tentangnya, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah (kepada)
ku’. Sesungguhnya Allah Dialah Tuhanku dan Tuhan kamu maka sembahlah Dia, ini adalah jalan yang lurus.” (QS.
Az-Zukhruf, 43: 63-64). Pintu kenabian dan kerasulan memang sudah tertutup selama-lamanya, namun kita masih
dapat mewarisi pekerjaan dan tugas mulia mereka, sehingga kita berharap semoga Allah Ta’ala berkenan memuliakan
kita.
Kedua, dakwah adalah ahsanul a’mal (amal yang terbaik).

Dakwah adalah amal yang terbaik karena tujuannya adalah menjaga keberlangsungan amalIslami di dalam
setiap pribadi dan masyarakat. Allah Ta’ala berfirman,
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang berdakwah (menyeru) kepada Allah,
mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah
diri?’” (QS. Fushilat, 41: 33).
Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya: “Allah Ta’ala menyeru manusia: ‘Wahai
manusia, siapakah yang lebih baik perkataannya selain orang yang mengatakan Rabb kami adalah Allah,
kemudian istiqamah dengan keimanan itu, berhenti pada perintah dan larangan-Nya, dan berdakwah
(mengajak) hamba-hamba Allah untuk mengatakan apa yang ia katakan dan mengerjakan apa yang ia
kerjakan.”

Bagaimana tidak akan menjadi ucapan dan pekerjaan yang terbaik?


Sementara dakwah adalah pekerjaan makhluk terbaik yakni para nabi dan rasul ‘alaihimus salam.
Sayyid Quthb rahimahullah berkata dalam Fi Zhilal Al-Quran: “Sesungguhnya
kalimat dakwah
adalah kalimat terbaik yang diucapkan di bumi ini, ia naik ke langit di depan kalimat-
kalimat baik
lainnya. Akan tetapi ia harus disertai dengan amal shalih yang membenarkannya, dan
disertai
penyerahan diri kepada Allah sehingga tidak ada penonjolan diri di dalamnya.
Dengan demikian
jadilah dakwah ini murni untuk Allah, tidak ada kepentingan bagi seorang da’i
kecuali
menyampaikan. Setelah itu tidak pantas kalimat seorang da’i kita sikapi dengan
berpaling, adab
yang buruk, atau pengingkaran. Karena seorang da’i datang dan maju membawa
kebaikan,
sehingga ia berada dalam kedudukan yang amat tinggi...” (Fi Zhilal Al-Quran, 6/295) .
Ketiga, dakwah memiliki keutamaan yang besar karena para da’i akan memperoleh balasan
yangbesar dan berlipat ganda (al-hushulu ‘ala al-ajri al-‘azhim).
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali bin Abi Thalib: “Demi Allah,
sesungguhnya Allah Ta’ala menunjuki seseorang dengan (da’wah)mu maka itu lebih bagimu dari
unta merah.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini mengatakan bahwa: “Unta
merah adalah kendaraan yang sangat dibanggakan oleh orang Arab saat itu.”
Hadits ini menunjukkan bahwa usaha seorang da’i menyampaikan hidayah kepada seseorang
adalah sesuatu yang amat besar nilainya di sisi Allah Ta’ala, lebih besar dan lebih baik dari
kebanggaan seseorang terhadap kendaraan mewah miliknya.
Dalam riwayat Al-Hakim disebutkan,
“Wahai Ali, sesungguhnya Allah Ta’ala menunjuki seseorang dengan usaha kedua tanganmu,
maka itu lebih bagimu dari tempat manapun yang matahari terbit di atasnya (lebih baik dari
dunia dan isinya).” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala memberi banyak
kebaikan, para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi, sampai semut-semut di lubangnya dan
ikan-ikan selalu mendoakan orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain.” (HR.
Tirmidzi dari Abu Umamah Al-Bahili).
Berapakah jumlah malaikat, semut dan ikan yang ada di dunia ini? Bayangkan betapa besar
kebaikan yang diperoleh oleh seorang da’i dengan doa mereka semua!
Imam Tirmidzi setelah menyebutkan hadits tersebut juga mengutip ucapan Fudhail bin ‘Iyadh
rahimahullah yang mengatakan:
“Seorang yang berilmu, beramal dan mengajarkan (ilmunya) akan dipanggil sebagai orang besar (mulia)
di kerajaan langit.” Keagungan balasan bagi orang yang berdakwah tidak hanya pada besarnya
balasan untuknya
tetapi juga karena terus menerusnya ganjaran itu mengalir kepadanya meskipun ia telah wafat.
Perhatikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,
“Siapa yang mencontohkan perbuatan baik dalam Islam, lalu perbuatan itu setelahnya dicontoh (orang
lain), maka akan dicatat untuknya pahala seperti pahala orang yang mencontohnya tanpa mengurangi
sedikitpun pahala mereka yang mencontohnya. Dan barangsiapa mencontohkan perbuatan buruk,
lalu perbuatan itu dilakukan oleh orang lain, maka akan ditulis baginya dosa seperti dosa orang yang
menirunya tanpa mengurangi dosa mereka yang menirunya.” (HR. Muslim dari Jarir bin Abdillah
ra).
Keempat, dakwah dapat menyelamatkan kita dari azab Allah Ta’ala (an-najatu minal ‘azab)
Dakwah yang dilakukan oleh seorang da’i akan membawa manfaat bagi dirinya sebelum manfaat itu
dirasakan oleh orang lain yang menjadi objek dawahnya (mad’u). Manfaat itu antara lain adalah
terlepasnya tanggung jawabnya di hadapan Allah Ta’ala sehingga ia terhindar dari adzab-Nya.
Tersebutlah sebuah daerah yang bernama “Aylah” atau “Eliah” sebuah perkampungan Bani Israil.
Penduduknya diperintahkan oleh Allah Ta’ala untuk menghormati hari Jumat dan menjadikannya hari
besar, namun mereka tidak bersedia dan lebih menyukai hari Sabtu. Sebagai hukumannya Allah
Ta’ala melarang mereka untuk mencari dan memakan ikan di hari Sabtu, dan Allah Ta’ala membuat
ikan-ikan tidak muncul kecuali di hari Sabtu. Sekelompok orang kemudian melanggar larangan ini
dan membuat perangkap ikan sehingga ikan-ikan di hari Sabtu masuk ke
dalam perangkap lalu mereka mengambilnya di hari ahad dan memakannya. Sementara orang-orang
yang tidak melanggar larangan Allah Ta’ala terbagi menjadi dua kelompok yaitu merekayang
mencegah kemunkaran dan mereka yang diam saja.[4]
Terjadilah dialog antara orang-orang yang diam saja dengan mereka yang berdakwah mengingatkan
saudara-saudaranya yang melanggar larangan Allah Ta’ala. Dialog ini disebutkan dalam Al-Quran:
“Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri[5] yang terletak di dekat laut ketika mereka
melanggar aturan pada hari Sabtu[6], di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di
sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu ikan-ikan itu
tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.
Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: ‘Mengapa kamu menasehati kaum yang
Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?’ Mereka
menjawab: ‘Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu[7], dan supaya
mereka bertakwa.’ Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami
selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan
jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka
selalu berbuat fasik.” (QS. Al-A’raf, 7: 163-165).
Perhatikanlah jawaban orang-orang yang berdakwah ketika ditanya mengapa mereka menasehati orang-
orang yang melanggar perintah Allah,
“Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu.” Kami berdakwah agar
menjadi argumentasi dan penyelamat kami dihadapan Allah Ta’ala. “Mudah-mudahan mereka
bertaqwa.”
Perhatikan pula bahwa yang diselamatkan oleh Allah Ta’ala dari adzab-Nya adalah orang-orang yang
melarang perbuatan maksiat. Dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar adalah kontrol sosial yang harus
dilakukan oleh kaum muslimin agar kehidupan ini selalu didominasi oleh kebaikan. Karena jika
kebatilan yang
mendominasi kehidupan, tentu akan menyebabkan turunnya teguran atau adzab dari Allah Ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Perumpamaan orang yang tegak di atas hukum-hukum Allah dengan orang yang melanggarnya seperti
kaum yang menempati posisinya di atas bahtera, ada sebagian yang mendapatkan tempat di atas, dan
ada sebagian yang mendapat tempat di bawah. Mereka yang berada di bawah jika akan mengambil
air harus melewati orang yang berada di atas, lalu mereka berkata: ‘Jika kita membolongi bagian
bawah milik kita dan tidak mengganggu mereka.’ Kalau mereka membiarkan keinginan orang yang
akan membolongi, mereka semua celaka, dan jika mereka (yang berada di bagian atas bahtera)
menahan tangan mereka (yang berada di bagian bawah bahtera) maka selamatlah semuanya.” (HR.
Bukhari). Dari Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam beliau bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian harus melakukan
amar ma’ruf dan nahi munkar, atau Allah akan menurunkan hukuman dari-Nya kemudian jika kalian
berdoa kepada-Nya, maka Dia tidak mengabulkan doa kalian.” (HR Tirmidzi, beliauberkata: hadits
ini hasan).
Kelima, dakwah adalah jalan menuju khairu ummah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhasil mengubah masyarakat jahiliyah menjadi ummat terbaik
sepanjang zaman dengan dakwah beliau. Dakwah secara umum dan pembinaan kader secara khusus adalah
jalan satu-satunya menuju terbentuknya khairu ummah yang kita idam-idamkan. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melakukan tarbiyah mencetak kader-kader dakwah di kalangan para sahabat beliau di
rumah Arqam bin Abil Arqam radhiyallahu ‘anhu, beliau juga mengutus Mush’ab bin Umair radhiyallahu
‘anhu ke Madinah untuk membentuk basis dan cikal bakal masyarakat terbaik di Madinah. Jalan yang
ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah juga jalan yang harus kita tempuh untuk
mengembalikan kembali kejayaan ummat. Imam Malik bin Anas berkata, “Akhir ummat ini tidak menjadi
baik kecuali menggunakan cara yang digunakan untuk memperbaiki generasi awalnya.”[8]
Ummat Islam harus memainkan peran dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar dalam semua keadaannya, baik
ketika memperjuangkan terbentuknya khairu ummah maupun ketika cita-cita khairu ummah itu telah
terwujud. Allah Ta’ala berfirman,
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf,dan mencegah
dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran, 3: 110).
Al-Hayatu Ar-Rabbaniyyah
Dengan semua keutamaan dakwah di atas, berarti seorang da’i dengan dakwahnya sedang menjalani
hidupnya dengan kehidupan rabbaniyyah yakni kehidupan yang selalu berorientasi kepada Allah
Ta’ala dan kehidupan yang selalu diisi dengan belajar Al-Quran yang menjadi sumber kebaikan serta
mengajarkannya kepada orang lain. “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan
kepadanya Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: ‘Hendaklah kamu
menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.’ akan tetapi (dia berkata): ‘Hendaklah
kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu
tetap mempelajarinya.’” (QS. Ali Imran, 3: 79).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan oleh Allah Ta’ala untuk mengajak ummatnya agar
menjadi orang-orang yang Rabbani yakni mereka yang selalu belajar dan mengajarkan Al-Quran
sehingga hidup mereka menjadi rabbani pula. Dakwah adalah aktivitas belajar dan mengajarkan Al-
Quran baik dengan membacanya, memahaminya, mengamalkannya,memperjuangkan tegaknya
hukum-hukumnya, dan konsisten dalam melakukan itu semua.
Kehidupan rabbaniyyah adalah kehidupan seorang da’i yang selalu mengorientasikan semua aktivitasnya
kepada Allah Ta’ala, Rabbnya, di mana kehidupan, kematian,ibadah mahdhah maupun ghairu
mahdhah semuanya dipersembahkan untuk Allah Ta’ala. Ibadah yang menjadi tujuan hidup semua
manusia dilaksanakan untuk mengagungkan Allah Ta’ala seagung-agungnya dan untuk menyatakan
kehinaan dan kelemahan kita di hadapan-Nya. Dakwah adalah salah satu bentuk pengagungan kepada
Allah Ta’ala yang paling utama, karena di dalamnya seorang da’i meninggikan kalimat-Nya melalui
lisannya,
amalnya, dan ajakannya kepada orang lain. Di dalam dakwah seorang da’i bersabar menghadapi
berbagai ujian berat semata-mata demi mengagungkan Allah Ta’ala. Semakin berat tantangan dan
ujian dalam mengagungkan Allah Ta’ala, semakin besar dan mulia pengagungan itu di sisi Allah
Ta’ala.
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,Rabb semesta
alam.’” (QS. Al-An’am, 6: 162).
Al-Hayah Al-Mubarakah (Kehidupan yang Diberkahi)
Dengan selalu berdakwah di jalan Allah Ta’ala seorang da’i telah menjadikan hidupnya penuh
keberkahan. Yang dimaksud dengan keberkahan adalah kebaikan yang banyak dan melimpah di sisi
Allah Ta’ala. Para Nabi alaihimussalam adalah orang yang paling diberkahi dan kehidupannya
adalah kehidupan penuh keberkahan, perhatikan ucapan Nabi Isa ‘alaihis salam tentang dirinya:
“Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia
memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.” (QS.Maryam,
19: 31).
Penyebab utama kehidupan Nabi Isa dan para Nabi lainnya diberkahi oleh Allah Ta’ala adalah pekerjaan
mereka sebagai orang-orang yang dipilih oleh Allah Ta’ala untuk mendakwahkan ajaran-Nya kepada
manusia. Inilah yang dipahami oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah ketika menjelaskan
surat Maryam ayat 31 di atas. Beliau berkata:
“Keberkahan seseorang itu ada pada: Pengajarannya terhadap segala macam kebajikan di mana pun ia
berada, dan nasehat yang ia berikan kepada semua orang yang ijtima’ (berkumpul) dengannya. Saat
menceritakan tentang nabi Isa ‘alaihis salam Allah Ta’ala berfirman: “Dan Dia menjadikan aku
seorang yang diberkati di mana saja aku berada”. (Q.S. Maryam: 31). Nabi ‘Isa ‘alaihis salam
menjadi manusia yang membawa berkah adalah karena ia: menjadi guru kebajikan, juru dakwah
yang menyeru manusia kepada Allah Ta’ala, mengingatkan manusia tentang Allah Ta’ala,
mendorong dan memotivasi manusia untuk taat kepada Allah Ta’ala.” [9] Demikian Ibnul Qayyim
Al-Jauziyah rahimahullah melihat keberkahan dalam hidup seseorang, di
mana kehidupan yang berkah itu—menurutnya, sesuai arahan Al-Quran—ditentukan oleh aktivitas
memberi manfaat kepada orang lain melalui dakwah dan kebaikan yang disebarkan demi
meninggikan kalimat Allah Ta’ala.[10]

Wallahu A’lam...

Anda mungkin juga menyukai