Anda di halaman 1dari 224

BAB I

ILMU TAUHID

A.Ta’rif Ilmu Tauhid/Sejarahnya

Ilmu Tauhid ialah ilmu yang membicarakan tentang


cara-cara menetapkan ‘aqidah agama dengan
mempergunakan dalil-dalil yang meyakinkan, baik itu
merupakan dalil-dalil naqli, dalil ‘aqli, ataupun dalil
wijdani (perasaan halus).

Dinamakan Ilmu ini dengan Tauhid adalah karena


pembahasan-pembahasannya paling menonjol, ialah :
“pembahasan tentang ke-Esaan Allah yang menjadi sendi
asasi agama islam, bahkan sendi asasi bagi segala agama
yang benar yang telah dibawakan oleh para Rasul yang
diutus Allah”.

Allah SWT berfirman :

“Dan tiadalah kami mengutus sebelum kamu melainkan


kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan
yang sebenarnya disembah melainkan aku, Maka
sembahlah olehmu akan Daku". (A. 25 S.21 : Al-Anbiya).

1
Ilmu ini dinamakan juga dengan ilmu kalam, sedang
ulama-ulama yang memperkatakannya dinamakan
mutakallimin, atau Ulama Kalam.

Adapun sebabnya dinamakan Ilmu Tauhid dengan


Ilmu Kalam adalah:

a. Karena problema-problema yang


diperselisihkan para Ulama-ulama Islam dalam ilmu
ini, yang menyebabkan ummat Islam terpecah
dalam beberapa golongan, ialah masalah kalam
Allah yang kita bacakan, (Al Qur-an), apakah dia
makhluk yang diciptakan, ataukah Qadini, bukan
diciptakan.

b. Materi-materi ilmu ini adalah merupakan teori-


teori (kalam) ; tak ada diantaranya diwujudkan ke
dalam kenyataan atau diamalkan dengan anggota

c. Ilmu ini, di dalam dia menerangkan cara atau


jalan menetapkan dalil untuk pokok-pokok ‘aqidah,
serupa dengan ilmu mantiq. Karenanya dinamakan
ilmu ini dengan nama yang sama ma’nanya dengan
mantiq yaitu : kalam.

d. Ulama muta-akhirin memperkatakan dalam

2
ilmu ini masalah-masalah yang tidak diperkatakan
oleh Ulama Salaf, seperti penta’wilan ayat-ayat
mutasyabihah, pembahasan tentang pengertian
qadla’, tentang kalam dan lain-lain. Karenanya
dinamailah ilmu ini dengan ilmu Kalam. Lantaran
itulah istilah ilmu Kalam baru terkenal dimasa
‘Abbasiyah sesudah terjadi banyak perdebatan,
pertukaran pikiran dan bercampur masalah-masalah
tauhid dengan problema-problema falsafah, seperti
memperkatakan “maddah (materi)”, susunan tubuh,
hukum-hukum jauhar (zat), sifat dan lain-lain.

Asy Syahrastani Berkata : “Kitab-kitab falsafah


dipelajari oleh tokoh-tokoh mu’tazillah, ialah : diketika Al
Ma’un menterjemahkan kitab-kitab filsafah ke dalam bahasa
Arab, maka bercampurlah jalan-jalan yang ditempuh falsafah
dalam membahas ilmu tauhid dengan jalan-jalan yang
ditempuh oleh ulama-ulama Kalam dan lahirlah suatu ilmu
yang berdiri sendiri diantara ilmu-ilmu yang lain dan
dinamakan dengan : “Ilmu Kalam”.
Dalil-dalil yang meyakinkan ialah: dalil-dalil yang
menimbulkan keyakinan kepada mad-lulnya ; karena dalil-

3
dalil itu, berdasarkan beberapa pendahuluan yang mudah
ditangkap akal, tanpa memerlukan pikiran”. Dalil-dalil itulah
yang merupakan ma’rifah-ma’rifah yang diperoleh manusia.

B.Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Tauhid

Ilmu yang digunakan untuk menetapkan ‘aqidah-‘aqidah


diniyah yang di dalamnya diterangkan segala yang
disampaikan Rasul dari Allah SWT tumbuh bersama-sama
dengan tumbuhnya agama di dunia ini.

Para ulama disetiap umat berusaha memelihara agama


dan meneguhkannya dengan aneka macam dalil yang dapat
mereka kemukakan. Tegasnya, Ilmu Tauhid ini dimiliki oleh
semua ummat hanya saja dalam kenyataannyalah yang
berbeda-beda. Ada yang lemah, ada yang kuat, ada yang
sempit, ada yang luas menurut keadaan masa dan keadaan dan
hal-hal yang mempengaruhi keadaan umat, seperti tumbuhnya
bermacam-macam rupa pembahasan.

Adapun ilmu menetapkan ‘aqidahh-aqidah Islamiyah


dengan jalan mengemukakan dalil-dalil dan mempertahankan
dalil-dalil itu, maka ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan
tumbuhnya Islam, dan dia dipengaruhi oleh pengaruh-

4
pengaruh yang mempengaruhi jalan pikiran umat Islam dan
keadaan-keadaan mereka.

Maka ilmu ini telah melalui beberapa phase, yaitu:

a). Phase Rasulullah Saw

b). Phase Khulafa Rasyidin

c). Phase Bani Umayah

d). Phase Bani ‘Abbas

e). Phase sesudah Bani ‘Abbas

a) Phase Rasulullah Saw

Masa Rasulullah, ada masa menyusun peraturan-


peraturan, menetapkan pokok-pokok ‘aqidah, menyatukan
umat Islam dan membangun kedaulatan Islam.

Maka para muslim kembali kepada Rasul sendiri


untuk mengetahui dasar-dasar agama dan hukum-hukum
syari’ah. Mereka disinari oleh Nur wahyu dan pentunjuk-
petunjuk Al Qur-an. Rasulullah menjauhkan umat dari
segala hal yang menimbulkan perpecahan dan perbedaan

5
pendapat. Dan tiadalah diragui oleh siapapun bahwasanya
perdebatan dalam ‘aqidah adalah dari sebesar-besar sebab
perpecahan dan perbedaan pendapat. Orang yang berbeda
pendapat senantiasa berusaha mempertahankan fahamnya
dengan mempergunakan dalil-dalil yang dapat digunakan,
benar atau salah.

Lantaran inilah para mu’min diharuskan menta’ati


Allah dan menta’ati RasulNya dan dilarang mereka
berselisihan paham, dengan diterangkannya pula akibat-
akibat yang dihasilkan oleh berbantah-bantahan itu.

Allah SWT berfirman:

“Dan taatilah olehmu akan Allah dan rasul-Nya dan


janganlah kamu berbantah-bantahan, yang
menyebabkan kamu gagal dan hilanglah kekuatanmu
dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-
orang yang sabar”. (A. 46 S. 6 : Al Anfal).

am menghadapi agama dan timbullah pertengkaran-


pertengkaran dan perdebatan-perdebatan. Maka Allah
menumbuhkan dalam dada mereka benih-benih permusuhan
dan menjadikan mereka berpartai-partai dan bergolong-
golongan. Ada yang menjadi golongan Nasturiyah, ada yang

6
menjadi golongan Ya’qubiyah dan ada yang menjadi golongan
Milkaniyah.

Rasulullah Saw juga melarang kita membantah-bantah


dalam masalah qadar. Pada suatu hari Rasulullah menemui
para sahabat sedang memperdebatkan tentang hal qadar. Maka
berkatalah Nabi Saw kepada mereka

“Apakah dengan ini kamu diperintahkan? Apakah


dengan ini aku diutus? Aku tugaskan dirimu supaya
janga berbantah-bantahan pada qadar itu”.

Nabi Saw bersabda :

“Janganlah kamu membenarkan ahlul kitab dan


janganlah kamu mendustakan mereka. Dan katakanlah:

7
“Kami telah beriman kepada Allah, kepada apa yang
telah diturunkan kepada kami dan kepada apa yang
telah diturunkan kepada kamu”. Tuhan kami dan Tuhan
kamu adalah Tuhan yang Esa. Dan kami menyerahkan
diri kepadanya”.

Oleh karena keterangan-keterangan keagamaan yang


Rasul sampaikan terang dan nyata, tidaklah perlu
diperdebatkan. Allah SWT menyuruh RasulNya menghadapi
kaumnya yang berkepala batu dengan memberikan nasehat
pelajaran dan peringatan.

Allah SWT berfirman :

“Dan jika mereka mendebat engkau, Maka Katakanlah:


"Allah lebih mengetahui dengan apa yang kamu
kerjakan. Allah menghukumi di antara kamu pada hari
kiamat terhadap apa yang selalu kamu berselisih
padanya". (A 68,69 S. 22. Al Hajj)

Apabila perlu diadakan pertukaran pikiran, maka


hendaklah dilakukan dengan cara yang paling baik dan
dengan sistim yang menghasilkan maksud. Dan Al Qur-an
menghadapkan akal kepada dalil-dalil yang diperoleh dari

8
alam sendiri, serta menghindari perdebatan yang
menimbulkan pertengkaran.

Allah SWT berfirman :

“Dan janganlah kamu mendebati Ahlul Kitab,


melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali
dengan orang-orang zalim di antara mereka”. (A. 46 S.
29 : Al Ankabut)

Dengan jalan demikian para muslim selalu berada dalam


garis da’wah yang digariskan islam, yaitu :

“Serulah manusia kepada jalan Tuhan-mu dengan


hikmah, pengajaran yang baik dan debatilah mereka
dengan jalan yang paling baik. Sesungguhnya Tuhanmu
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-
Nya dan lebih mengetahui tentang orang-orang yang
mendapat petunjuk”. (A. 125 S. 16 : An Nahl)

Dengan uraian yang singkat ini nyatalah bahwa agama


Islam tidak menghendaki adanya perdebatan atau polemik-
polemik yang berkepanjangan. Beginilah perkembangan
keadaan ‘aqidah di zaman Rasul.

9
b) Masa Khulafa Rasyidin

Setelah Rasulullah Saw wafat, umat Islam dalam masa


khalifah pertama dan kedua, tidak sempat membahas dasar-
dasar ‘aqidah, karena mereka sibuk menghadapi musuh dan
berusahan mempertahankan kesatuan dan persatuan umat.

Tidak pernah terjadi perdebatan dalam bidang ‘aqidah.


Mereka membaca dan memahami Al Qur-an tanpa mencari
ta’wil bagi ayat-ayat yang mereka bacakan. Mereka mengikuti
perintah Al Qur-an dan mereka menjauhi larangannya.
Mereka mensifatkan Allah dengan apa yang Allah sifatkan
sendiri. Dan mereka mensucikan Allah daripada sifat-sifat
yang tidak layak bagi keagungan Allah. Apabila mereka
menghadapi ayat-ayat yang mutasyabihah, mereka
mengimaninya dengan menyerahkan penta’wilannya kepada
Allah sendiri.

Dimasa khalifah ketiga terjadi kekacauan politik yang


diakhiri dengan terbunuhnya Khalifah Utsman umat Islam
menjadi terpecah dalam beberapa golongan dan partai,
barulah dari masing-masing partai dan golongan-golongan itu
berusaha mempertahankan pendiriannya dengan perkataan

10
dan usaha, dan terbukalah pintu ta’wil bagi nash-nash Al Qur-
an dan hadits dan terjadilah perbuatan riwayat-riwayat palsu.

Karena itu, mulailah pembahasan mengenai ‘aqidah


subur dan berkembang, selangkah demi selangkah dan kian
hari makin membesar dan meluas.

c) ‘Aqidah dimasa Bani Umayyah

Setelah agak berhenti umat Islam dari usaha-usaha


mempertahankan kedaulatan Islam dan terbuka masa untuk
memikirkan hukum-hukum agama dan dasar-dasar ‘aqidah ,
serta masuk pemeluk-pemeluk agama lain ke dalam Islam
yang jiwanya tetap dipengaruhi oleh unsur-unsur agama
mereka yang telah mereka tinggalkan, lahirlah kebebasan
berbicara tentang masalah-masalah yang didiamkan oleh
ulama saraf. Segolongan umat Islam mengatakan masalah
qadar, dan masalah istitha’ah, seperti Ma’bad Al-Juhani
Ghailan Ad Dimasyqi dan Ja’ad Ibn Dirham mereka ini adalah
tokoh-tokoh qadariyah yang pertama. Para sahabat yang dapat
hidup semasa dengan mereka seperti Abdullah Ibn ‘Umar,
Jabir Ibn Abdullah, Anas Ibn Malik, Ibnu ‘Abbas, Abu
Hurairah dan teman-temannya menyalahkan mereka, serta
menganjurkan masyarakat menjauhkan diri dari mereka,

11
jangan memberi salam, jangan menengok orang yang sakit
dari mereka dan jangan menyembahyangkan jenazah mereka.

Demikian pula muncul dalam phase ini orang-orang yang


meniadakan qudra dan iradat dari manusia, agar Allah tidak
mempunyai sekutu dalam sesuatu perbuatanNya dan
menidakkan pula sifat-sifat dari pada Allah.

Golongan ini dikendalikan oleh Jaham Ibn Shafwan


Mereka ini dinamakan Jabariyah atau Mujbarah mengingat
kepada ‘aqidah yang mereka anut. Dan dikatakan juga
Jahmiyah, yakni pengikut-pengikut Jaham Ibn Shafyan. Dan
mereka dinamakan juga Mu’athilah, karena mereka
meniadakan sifa-sifat Allah.

Sebelum umat Islam yang berbuat ma’siat beralasan


untuk membenarkan perbuatan dan tindakannya dengan qadar.
Seorang berkata kepada Ibnu Umar, ada segolongan manusia,
berzina, mencuri, meminum arak, membunuh orang,
kemudian berhujjah atau beralasan bahwa mereka berbuat
demikian itu adalah karena qadar dan yang demikian itu telah
ditetapkan Allah. Mendengar itu Ibnu Umar marah dan
mengatakan : “Maha suci Allah, ilmu Allah tidak mendorong
mereka kepada berbuat ma’siyat”.

12
Diperhujung abad pertama Hijrah terkenallah dalam
masyarakat mazhab (pendapat-pendapat) golongan khawarij,
yaitu : “mengkafirkan orang yang mengerjakan dosa besar”.
Al Hasan Al-Bisri Menetapkan pendapat yang menjadi anutan
umat-umat Islam, yaitu : orang yang mengerjakan dosa besar
dipandang fasiq, tidak keluar dari gelanggang mu’min.

Pendapat Al Hasan ini dibantah keras oleh muridnya


Washil Ibn ‘Atha’, dia ini mengatakan bahwa orang yang
mengerjakan dosa besar berada diantara dua martabat.
Pendapatnya diikuti oleh ‘Amar Ibn ‘Ubaid. Karena mereka
ini mangasingkan diri dari majelis gurunya Al Hasan atau dari
pendapat umum, dinamakanlah mereka dengan Mu’tazillah.

Oleh karena golongan Qadariyah dan Jahmiyah tidak


dapat berdiri sebagai golongan, tetapi lebur dalam kelompok-
kelompok lain, maka nama Qadariyah dan Jabariyah menjadi
nama paham sahaja, tidak menjadi nama golongan. Maka
Qadariyah itu berpindah kepada nama Mu’tazillah. Mereka
juga dinamakan Qudriyah, lantaran mereka menetapkan
bahwa hamba mempunyai qudrat yang bebas aktif. Mereka
sendiri tidak menerima nama-nama itu. Mereka menamakan
dirinya dengan Ahlul ‘Ad-li wat-Tauhid.

13
Dikatakan mereka dengan ahlul ‘ad-li, adalah karena
mereka menetapkan: bahwasanya hamba ini mempunyai
qudrat, bebas aktif dalam segala tindakannya, yang karenanya
mereka dipahalai dan disiksa. Mereka menidak adakan
kezaliman bagi Allah.

Dan mereka menamakan dirinya dengan Ahlut Tauhid


adalah kerena mereka menidak adakan sifat dari pada Allah,
agar zat Allah benar-benar tidak tersusun dari zat dan sifat
supaya benar-benar Allah Esa.

Di akhir masa ini Washil Ibn ‘Atha’ telah dapat


menyusun dasar-dasar ‘Ilmiyah bagi madzhab Mu’tazillah dan
jalan-jalan mangajak masyarakat kepadanya. Dia melepaskan
pembantu-pembantunya (pendukung-pendukung pahamnya)
ke serata pelosok untuk mengembangkan pahamnya dengan
segenap tenaga dan kecakapannya, hingga sampailah
dakwahnya ke Khurasan sebelah timur dan ke Maroko sebelah
barat, ke Armiya sebelah utara dan ke Yaman sebelah selatan.

Menurut uraian Al Maqrizi Washil Ibn ‘Atha’ telah


menyusun sebuah kitab yang dinamakan Kitabut Tauhid,
sebuah kitab lagi yang dinamakan Kitabul Manzilati Bainal
Manzilataini dan kitab Al-Futuya.

14
Dengan demikian dapatlah kita katakan, bahwa dalam
masa inilah mulai timbul usaha menyusun ilmu (kitab) dalam
Ilmu Kalam. Walaupun kitab-kitab ini telah dibawa oleh arus
zaman tidak ada yang sampai ke tangan kita.

d) Phase Bani ‘Abbas

Dalam masa Bani ‘Abbas, eratlah hubungan dan


pergaulan antara bangsa-bangsa ‘Ajam dengan bangsa ‘Arab
dan berkembanglah ilmu dan kebudayaan. Diantaranya
gerakan dalam masa ini ialah usaha menerjemahkan kitab-
kitab filsafah dari bahasa Griek.

Penguasa-penguasa Bani ‘Abbas mempergunakan orang-


orang Persia yang telah memeluk agama Islam, orang-orang
Yahudi dan Nashrani untuk menjadi pegawai negeri dan
mempergunakan mereka untuk menerjemahkan kitab-kitab
yang ditulis dalam bahasa mereka ke dalam bahasa ‘Arab.

Maka segolongan dari mereka (penerjemah-penerjemah)


ini berusaha mengembangkan pendapat-pendapat mereka
yang berpautan dengan agama, serta mengembangkannya
dalam masyarakat muslimin, mereka menyembunyikan
maksud buruk mereka dengan berpakaian Islam. Mereka

15
menggunakan falsafah untuk kepentingan pikiran mereka.
Dengan demikian, timbullah beberapa partai yang sama sekali
tidak dikehendaki Islam.

Golongan Mu’tazillah tidak dapat mempertahankan


agama tanpa mempergunakan falsafah Yunaniah. Dan tanpa
mengetahui pendapat-pendapat golongan yang tidak sepaham
itu dengan mempergunakan senjata mereka sendiri.

Mulai dari masa ini berwujudlah gerakan


mempergunakan falsafah untuk menetapkan
‘aqidah-‘aqidahnya Islamiyah dan berwarnalah ilmu Kalam
dengan warna yang baru yang tidak ada di masa Rasul,
dimasa sahabat, dan mulailah ilmu Kalam dituang dalam
tulisan.

‘Amar Ibn ‘Ubaid Al-Mu’tazil menyusun sebuah kitab,


menolak paham Qadariyah .Hisyam Ibn Al Hakam Asy-
Syafi’i Menyusun sebuah kitab menolak paham mu’tazillah.

Abu Hanifah menyusun sebuah k itab yang dinamakan


Al-‘Alim Wal Muta’alim dan kitab Al-Fiqhul Akbar untuk
mempertahankan ‘aqidah Ahlus Sunnah. Juga Asy-Syafi’I
menyusun sebuah kitab yang dinamakan juga Al-Fiqhul
Akbar. Dalam bahasa inilah golongan Mu’tazillah melipat

16
gandakan kesungguhan mereka dalam mengembangkan
da’wah kepada dasar-dasar yang telah dihunjamkan atau
digariskan oleh Washil Ibn ‘Atha’.

Oleh karena mereka mempunyai daya akal dan


kecerdasan serta kemahiran dalam menguraikan dalil, maka
banyaklah pemuka-pemuka masyarakat menganut paham
mereka. Diantara pemuka-pemuka masyarakat yang menganut
paham mereka Mu’tazillah ialah Al Ma’un, Al Mu’tashim dan
Al-Watsiq.

Golongan Mu’tazillah memperoleh kedudukan yang baik


dalam kalangan Bani ‘Abbas, bukan lagi seperti yang mereka
peroleh dari Bani Umayyah yaitu tekanan dan permusuhan.
Dengan jalan demikian dapatlah mereka memainkan rol
mempergunakan kekuasaan untuk mengembangkan paham-
paham i’tizal.

Dalam masa pemerintahan Al-Ma’mun terjadilah


perdebatan-perdebatan yang memuncak dan hangat diantara
Ulama-ulama Kalam, karena Al Ma’mun membuka
kesempatan yang luas bagi tokoh-tokoh Mu’tazillah itu.
Mungkin sekali Al Ma’mun amat menyukai diskusi-diskusi
yang terjadi antara Ulama-ulama kalam itu, atau Al Ma’mun

17
memang bermaksud dengan jalan diskusi-diskusi itu dapat
diperoleh suatu pendapat yang dianut oleh semua orang.

Akan tetapi perdebatan tentang adanya sifat bagi Allah


berhenti pada ketika lahir partai-partai Musyabbihah, yaitu
dengan lahirnya Muhammad Ibn Karram pemimpin golongan
Karamiyah yang menetapkan adanya sifat bagi Allah dan
menyamakan sifat-sifat Allah dan menyamakan sifat-sifat
Allah itu dengan sifat-sifat makhluk, dan berkumandang pula
pendirian Mu’tazillah tentang kemakhlukan Al Qur-an. Dalam
peristiwa ini banyaklah orang dibunuh dan disiksa.

Al Ma’mun menganut pendapat Mu’tazillah dan


memaksa masyarakat menganut pendapat itu ; karenanya, Al
Ma’mun menyiksa orang-orang yang tidak mau menerima
pendapat itu. Tindakan Al Ma’mun membantu Mu’tazillah
dengan kekerasan menyebabkan masyarakat menjauhkan diri
dari orang-orang Mu’tazillah. Oleh karena masyarakat tidak
ramai menampung pendapat-pendapat Mu’tazillah, maka
pengaruh mereka kian hari kian lemah. Dalam keadaan itu
lahirlah Abul Hasan Al-Asy’ari yaitu murid utama dari Abu
‘Ali Muhammad Ibn ‘Abdul Wahab Al-Jubba-‘i Al Mu’tazili.
Abul Hasan membantah pendapat gurunya dan membela
madzhab Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah.

18
Abul Hasan menempuh jalan menengah antara madzhab
salaf dan madzhab penentangnya. Dia mengumpal dalil-dalil
naqli bagi pendapat-pendapat dalam menolak paham
Mu’tazillah. Usaha Abul Hasan Al Asy’ari dibantu dan
dikuatkan oleh Abul Mansur Al Mutiridi. Maka dengan usaha
dua tokoh ini, madzhab i’tizal menjadi lemah yang berangsur
lenyap dari anutan masyarakat.

Apabila politik yang mengembangkan madzhab i’tizal


pada mula-mulanya, maka politik pula menindas gerakan
Mu’tazillah dan mengembangkan madzhab Ahlus Sunnah .
Pengikut-pengikut Asy’ari meneruskan teori-teori yang telah
digariskan oleh Al Asy’ari yaitu mengumpulkan antara dalil-
dalil ‘aqli dan dalil-dalil naqli. Dalam pada itu pengikut-
pengikut Al Asy’ari memandang pula bahwa dalil-dali yang
dibuat untuk muqaddamah-muqaddamah ‘aqliyah, seperti
teori Jauhar dan ‘aradl, merupakan suku dari pada iman.
karenanya mereka berpendapat bahwa batalnya dalil, berarti
batalnya mad-lul.

Inilah jalan yang ditempuh mutaqaddimin Asy’ariyah,


seperti Abu Bakar Al Baqillani Al Isfarayini dan Imamul
Haramain Al Juawaini. Kemudian datang seperangkat
pengikut Al Asy’ari yang mendalami ilmu mantiq, lalu

19
menetapkan bahwa batalnya dalil belum tentu batalnya mad-
lul ; karena mad-lul itu mungkin ditetapkan dengan dalil-dalil
lain. Itulah jalan yang ditempuh ulama muta-akhirin. Diantara
yang menempuh jalan ini ialah :

Al Ghazali dan Ar-Razi

Keringkasannya, firqah-firqah syari’at sebelum Al


Asy’ari adakala berpegang kepada dalil naqli sahaja,
melengahkan dalil ‘aqli, adakalanya berpegang kapada dalil
‘aqli sahaja melengahkan dalil naqli.

Maka Al Asy’ari berusaha mengumpulkan antara kedua


dalil-dali itu. Al Ghazali dalam al Ihya’ berkata :

“Akal memerlukan dalil naqli dan dalil naqli


memerlukan dali ‘aqli. Bertaliq sahaja kepada pendapat
orang, tanpa mempergunakan akal sama sekali, adalah
suatu kebodohan. Mencukupi dengan akal sahaja, tanpa
memerlukan sinar wahyu Ilahi dan sunnah Nabi adalah

20
suatu tipuan belaka. Maka jauhkanlah dirimu dari pada
menjadi orang yang menggolongkan diri ke dalam salah
satu partai itu dan hendaklah kamu mengumpulkan
antara kedua-dua dasar pokok itu (akal dan naqal) :
karena sesungguhnya ilmu-ilmu ‘aqli adalah setamsil
makanan, sedangkan ilmu-ilmu syar’i adalah setamsil
obat”.

Ibnu Rusyd dalam kedua-dua kitabnya yaitu : Fashul


Maqal dan Al Kasyfu’ an manahijil adillah telah mengeritik
jalan-jalan yang ditempuh oleh para mutakallimin dalam cara
mereka mengambil dalil dan memalsukan muqaddamah-
muqaddamah yang berdasar ilmu falsafat yang dipegang erat
oleh golongan Al Asy’ariyah dan diambilnya dari golongan
Mu’tazillah, bahwa muqaddimah-muqaddimah itu berada di
atas kemampuan ‘aqal orang umum dan tidak menyampaikan
kepada yang dimaksudkan serta menjauhi jalan yang
digariskan Al Qur-an. Ibnu Rusyd dalam kitabnya itu berusaha
mempertemukan antara syari’at dan hikmat (falsafah) dan
menghendaki supaya kita mengambil dalil untuk menetapkan
aqidah-aqidah Islamiyah tanpa terlalu mempergunakan
falsafah serta hendaklah kita mengikuti jalan yang dibuhulkan

21
Al Qur-an yang sesuai dengan fithrah manusia dan
berpedanan dengan kemudahan agama Islam.

e) Phase sesudah berlalu Bani ‘Abbas

Sesudah berlalu masa Bani ‘Abbas datanglah pengikut Al


Asy’ari yang telalu jauh menceburkan dirinya ke dalam
falsafah dan mencampurkan mantiq dan lain-lain, kemudian
mencampurkan semuanya itu dengan ilmu kalam sebagaimana
yang dilakukan oleh Al Baidlawi dalam kitabnya ath-Thaqali’
dan ‘Abduddin Al-Iejy dalam kitab Al Mawaqif.

Madzhab Al Asy’ari berkembang pesat keserata pelosok


hingga tak ada lagi madzhab yang menyalahinya selain dari
pada madzhab Hambaliyah yang tetap bertahan dalam
madzhab salaf, yaitu beriman sebagaimana yang tersebut
dalam Al Qur-an dan Al Hadits tanpa menta’wilkannya ayat-
ayat atau hadits-hadits itu.

Pada permulaan permulaan abad ke 8 Hijrah lahirlah di


Damaskus seorang ulama besar yaitu Taqiyuddin Ibnu
Taimiyah menentang urusan yang berlebih-lebihan dari pihak-
pihak

22
yang mencampur baurkan falsafah dengan kalam, atau
menentang usaha-usaha yang memasukkan prinsip-prinsip
falsafah ke dalam ‘aqidah Islamiyah.

Ibnu Taimiyah membela madzhab salaf (shahabat, tabi’in


dan imam-imam mujtahidin) dan membantah pendirian-
pendirian golongan Al Asy’ariyah dan lain-lain, baik dalam
golongan Rafidlah, maupun dari golongan Sufiyah. Maka
karenanya masyarakat Islam pada masa itu menjadi dua
golongan, pro dan kontra, ada yang menerima pendapat-
pendapat Ibnu Taimiyah dangan sejujur hati, karena itulah
‘aqidah ulama-ulama salaf dan ada pula yang mengatakan
bahwa Ibnu Taimiyah itu orang yang sesat.jalan yang
ditempuh oleh Ibnu Taimiyah ini dilanjutkan oleh seorang
muridnya yang terkemuka, yaitu : Ibnu Qayyimil Jauziyah

Maka sesudah berlalu masa ini, tumpullah kemauan,


lenyaplah daya kreatif untuk mempelajari Ilmu Kalam dengan
seksama dan tinggallah penulis-penulis yang hanya
memperkatakan ma’na lafadz dan ibarat-ibarat dari kitab-kitab
peninggalan lama.

Kemudian diantara gerakan ilmiyah yang mendapat


keberkatan dari pada Allah, ialah gerakan Al Imam

23
Muhammad Abduh dan gurunya Jamaluddin Al Afghani
yang kemudian dilanjutkan oleh As-Said Rasyid Ridla.

Usaha-usaha beliau-beliau inilah yang telah membangun


kembali ‘ilmu-‘ilmu agama dan timbullah jiwa baru yang
cenderung kepada mempelajari kitab-kitab Ibnu Taimiyah dan
muridnya. Anggota-anggota gerakan ini dinamakan :
Salafiyyin.

BAB II
RUKUN IMAN

A. IMAN KEPADA ALLAH SWT


- Sifat Wajib Bagi Allah SWT
1. Wujud : Artinya Ada
Yaitu tetap dan benar yang wajib bagi zat Allah Ta'ala
yang tiada disebabkan dengan sesuatu sebab. Maka wujud
( Ada ) – disisi Imam Fakhru Razi dan Imam Abu Mansur Al-
Maturidi bukan ia a'in maujud dan bukan lain daripada a'in

24
maujud , maka atas qaul ini adalah wujud itu Haliyyah ( yang
menepati antara ada dengan tiada) . Tetapi pada pendapat
Imam Abu Hassan Al-Ashaari wujud itu 'ain Al-maujud ,
karena wujud itu zat maujud karena tidak disebutkan wujud
melainkan kepada zat. Kepercayaan bahwa wujudnya Allah
SWT. bukan saja di sisi agama Islam tetapi semua
kepercayaan di dalam dunia ini mengaku menyatakan Tuhan
itu ada. Firman Allah SWT. yang bermaksud :
" Dan jika kamu tanya orang-orang kafir itu siapa yang
menjadikan langit dan bumi nescaya berkata mereka itu
Allah yang menjadikan……………" ( Surah Luqman : Ayat
25 )
2. Qidam : Artinya Sedia
Pada hakikatnya menafikan ada permulaan wujud Allah
SWT karena Allah SWT. menjadikan tiap-tiap suatu yang ada,
yang demikian tidak dapat tidak keadaannya lebih dahulu
daripada tiap-tiap sesuatu itu. Jika sekiranya Allah Ta'ala tidak
lebih dahulu daripada tiap-tiap sesuatu, maka hukumnya
adalah mustahil dan batil. Maka apabila disebut Allah SWT.
bersifat Qidam maka jadilah ia qadim. Di dalam Ilmu Tauhid
ada satu perkataan yang sama maknanya dengan Qadim Yaitu
Azali. Setengah ulama menyatakan bahwa kedua-dua

25
perkataan ini sama maknanya Yaitu sesuatu yang tiada
permulaan baginya. Maka qadim itu khas dan azali itu am.
Dan bagi tiap-tiap qadim itu azali tetapi tidak boleh
sebaliknya, Yaitu tiap-tiap azali tidak boleh disebut qadim.
Adalah qadim dengan nisbah kepada nama terbahagi kepada
empat bagian :
a. Qadim Sifati ( Tiada permulaan sifat Allah Ta'ala )
b. Qadim Zati ( Tiada permulaan zat Allah Ta'ala )
c. Qadim Idhafi ( Terdahulu sesuatu atas sesuatu
seperti terdahulu bapa nisbah kepada anak )
d. Qadim Zamani ( Lalu masa atas sesuatu sekurang-
kurangnya satu tahun )
Maka Qadim Haqiqi ( Qadim Sifati dan Qadim Zati ) tidak
harus dikatakan lain daripada Allah Ta'ala.
3. Baqa' : Artinya Kekal
Sentiasa ada, kekal ada dan tiada akhirnya Allah SWT .
Pada hakikatnya ialah menafikan ada kesudahan bagi wujud
Allah Ta'ala. Adapun yang lain daripada Allah Ta'ala , ada
yang kekal dan tidak binasa Selama-lamanya tetapi bukan
dinamakan kekal yang hakiki ( yang sebenar ) Bahkan kekal
yang aradhi ( yang mendatang jua seperti Arasy, Luh Mahfuz,
Qalam, Kursi, Roh, Syurga, Neraka, jisim atau jasad para

26
Nabi dan Rasul ). Perkara –perkara tersebut kekal secara
mendatang tatkala ia bertakluq dengan Sifat dan Qudrat dan
Iradat Allah Ta'ala pada mengekalkannya. Segala jisim
semuanya binasa melainkan 'ajbu Az-zanabi ( tulang kecil
seperti biji sawi letaknya di tungking manusia, itulah benih
anak Adam ketika bangkit daripada kubur kelak ). Jasad
semua nabi-nabi dan jasad orang-orang syahid berjihad Fi
Sabilillah yang mana ianya adalah kekal aradhi jua. Disini
nyatalah perkara yang diiktibarkan permulaan dan kesudahan
itu terbahagi kepada 3 bagian :
a. Tiada permulaan dan tiada kesudahan Yaitu zat dan
sifat Alllah SWT.
b. Ada permulaan tetapi tiada kesudahan Yaitu seperti
Arash, Luh Mahfuz , syurga dan lain-lain lagi.
c. Ada permulaan dan ada kesudahan Yaitu segala
makhluk yang lain daripada perkara yang diatas tadi
( Kedua ).
4. Mukhalafatuhu Ta'ala Lilhawadith. Artinya :
Bersalahan Allah Ta'ala
dengan segala yang baharu.
Pada zat , sifat atau perbuatannya sama ada yang baru ,
yang telahada atau yang belum ada. Pada hakikat nya adalah

27
menafikan Allah Ta'ala menyerupai dengan yang baharu pada
zatnya , sifatnya atau perbuatannya. Sesungguhnya zat Allah
Ta'ala bukannya berjirim dan bukan aradh Dan tiada sesekali
zatnya berdarah , berdaging , bertulang dan juga bukan jenis
leburan , tumbuh-tumbuhan , tiada berpihak ,tiada bertempat
dan tiada dalam masa. Dan sesungguhnya sifat Allah Ta'ala itu
tiada bersamaan dengan sifat yang baharu karena sifat Allah
Ta'ala itu qadim lagi azali dan melengkapi ta'aluqnya. Sifat
Sama' ( Maha Mendengar ) bagi Allah Ta'ala berta'aluq ia
pada segala maujudat tetapi bagi mendengar pada makhluk
hanya pada suara saja. Sesungguhnya di dalam Al-Quraan dan
Al-Hadith yang menyebut muka dan tangan Allah SWT. ,
maka perkataan itu hendaklah kita iktiqadkan thabit ( tetap )
secara yang layak dengan Allah Ta'ala Yang Maha Suci
daripada berjisim dan Maha Suci Allah Ta'ala bersifat dengan
segala sifat yang baharu.
5. Qiyamuhu Ta'ala Binafsihi : Artinya : Berdiri Allah
Ta'ala dengan sendirinya .
Tidak berkehendak kepada tempat berdiri ( pada zat ) dan
tidak berkehendak kepada yang menjadikannya Maka
hakikatnya ibarat daripada menafikan Allah SWT.
berkehendak kepada tempat berdiri dan kepada yang

28
menjadikannya. Allah SWT itu terkaya dan tidak berhajat
kepada sesuatu sama adapada perbuatannya atau
hukumannya. Allah SWT menjadikan tiap-tiap sesuatu dan
mengadakan undang-undang semuanya untuk faedah dan
maslahah yang kembali kepada sekalian makhluk . Allah SWT
menjadikan sesuatu ( segala makhluk ) adalah karena
kelebihan dan belas kasihannya bukan berhajat kepada faedah.
Allah SWT. Maha Terkaya daripada mengambil apa-apa
manafaat di atas kataatan hamba-hambanya dan tidak sesekali
menjadi mudharat kepada Allah Ta'ala atas sebab kemaksiatan
dan kemungkaran hamba-hambanya. Apa yang diperintahkan
atau ditegah pada hamba-hambanya adalah perkara yang
kembali faedah dan manafaatnya kepada hamba-hambaNya
jua. Firman Allah SWT. yang bermaksud :
" Barangsiapa berbuat amal yang soleh ( baik ) maka
pahalanya itu pada dirinya jua dan barangsiapa berbuat
jahat maka balasannya (siksaannya ) itu tertanggung ke
atas dirinya jua ". ( Surah Fussilat : Ayat 46 ).
Syeikh Suhaimi r.a.h berkata adalah segala yang maujudat
itu dengan nisbah berkehendak kepada tempat dan kepada
yang menjadikannya, terbahagi kepada empat bagian :

29
a. Terkaya daripada tempat berdiri dan daripada yang
menjadikannya Yaitu zat Allah SWT.
b. Berkehendak kepada tempat berdiri dan kepada
yang menjadikannya Yaitu segala aradh ( segala sifat
yang baharu ).
c. Terkaya daripada zat tempat berdiri tetapi
berkehendak kepada yang menjadikannya Yaitu segala
jirim. ( Segala zat yang baharu ) .
d. Terkaya daripada yang menjadikannya dan berdiri ia
pada zat Yaitu sifat Allah Ta'ala.
6. Wahdaniyyah. Artinya : Esa Allah Ta'ala pada zat, pada
sifat & pada perbuatan.
Maka hakikatnya ibarat daripada menafikan berbilang
pada zat, pada sifat dan pada perbuatan sama ada bilangan
yang muttasil (yang berhubung ) atau bilangan yang munfasil
( yang bercerai ).
Makna Esa Allah SWT pada zat itu Yaitu menafikan
Kam Muttasil pada Zat ( menafikan bilangan yang berhubung
dengan zat ) seperti tiada zat Allah Ta'ala tersusun daripada
darah , daging , tulang ,urat dan lain-lain. Dan menafikan
Kam Munfasil pada zat ( menafikan bilangan yang bercerai

30
pada zat Allah Ta'ala )seperti tiada zat yang lain menyamai zat
Allah Ta'ala.
Makna Esa Allah SWT pada sifat Yaitu menafikan Kam
muttasil pada Sifat ( menafikan bilangan yang berhubung
pada sifatnya ) Yaitu tidak sekali-kali bagi Allah Ta'ala pada
satu-satu jenis sifatnya dua qudrat dan menafikan Kam
Munfasil pada sifat ( menafikan bilangan –bilangan yang
bercerai pada sifat ) Yaitu tidak ada sifat yang lain menyamai
sebagaimana sifat Allah SWT. yang Maha Sempurna.
Makna Esa Allah SWT pada perbuatan Yaitu menafikan
Kam Muttasil pada perbuatan ( menafikan bilangan yang
bercerai–cerai pada perbuatan ) Yaitu tidak ada perbuatan
yang lain menyamai seperti perbuatan Allah bahkan segala
apa yang berlaku di dalam alam semuanya perbuatan Allah
SWT sama ada perbuatan itu baik rupanya dan hakikatnya
seperti iman dan taat atau jahat rupanya tiada pada hakikat-
nya seperti kufur dan maksiat sama ada perbuatan dirinya atau
perbuatan yang lainnya ,semuanya perbuatan Allah SWT dan
tidak sekali-kali hamba mempunyai perbuatan pada
hakikatnya hanya pada usaha dan ikhtiar yang tiada memberi
bekas. Maka wajiblah bagi Allah Ta'ala bersifat Wahdaniyyah
dan ternafi bagi Kam yang lima itu Yaitu :

31
1. Kam Muttasil pada zat.
2. Kam Munfasil pada zat.
3. Kam Muttasil pada sifat.
4. Kam Munfasil pada sifat.
5. Kam Munfasil pada perbuatan.
Maka tiada zat yang lain , sifat yang lain dan perbuatan
yang lain menyamai dengan zat , sifat dan perbuatan Allah
SWT . Dan tertolak segala kepercayaan-kepercayaan yang
membawa kepada menyekutukan Allah Ta'ala dan perkara-
perkara yang menjejaskan serta merusakkan iman.
7. Al – Qudrah : Artinya : Kuasa qudrah Allah SWT.
Memberi bekas pada mengadakan meniadakan tiap-tiap
sesuatu. Pada hakikatnya ialah satu sifat yang qadim lagi azali
yang thabit ( tetap ) berdiri pada zat Allah SWT. yang
mengadakan tiap-tiap yang ada dan meniadakan tiap-tiap yang
tiada bersetuju dengan iradah. Adalah bagi manusia itu usaha
dan ikhtiar tidak boleh memberi bekas pada mengadakan atau
meniadakan , hanya usaha dan ikhtiar pada jalan menjayakan
sesuatu . Kepercayaan dan iktiqad manusia di dalam perkara
ini berbagai-bagaiFikiran dan fahaman seterusnya membawa
berbagai-bagai kepercayaan dan iktiqad.
a. Iktiqad Qadariah :

32
Perkataan qadariah Yaitu nisbah kepada qudrat .
Maksudnya orang yang beriktiqad akan segala perbuatan
yang dilakukan manusia itu sama ada baik atau jahat
semuanya terbit atau berpunca daripada usaha dan ikhtiar
manusia itu sendiri dan sedikitpun tiada bersangkut-paut
dengan kuasa Allah SWT.
b. Iktiqad Jabariah :
Perkataan Jabariah itu nisbah kepada Jabar ( Tergagah )
dan maksudnya orang yang beriktiqad manusia dan
makhluk bergantung kepada qadak dan qadar Allah
semata-mata ( tiada usaha dan ikhtiar atau boleh memilih
samasekali ).

c. Iktiqad Ahli Sunnah Wal – Jamaah :


Perkataan Ahli Sunnah Wal Jamaahialah orang yang
mengikut perjalanan Nabi dan perjalanan orang-orang
Islam Yaitu beriktiqad bahwa hamba itu tidak digagahi
semata-mata dan tidak memberi bekas segala perbuatan
yang disengajanya, tetapi ada perbuatan yang di sengaja
pada zahir itu yang dikatakan usaha dan ikhtiar yang
tiada memberi bekas sebenarnya sengaja hamba itu
daripada Allah Ta;ala jua. Maka pada segala makhluk ada

33
usaha dan ikhtiar pada zahir dan tergagah pada batin dan
ikhtiar serta usaha hamba adalah tempat pergantungan
taklif ( hukum ) ke atasnya dengan suruhan dan tegahan (
ada pahala dan dosa ).
8. Iradah : Artinya : Menghendaki Allah Ta'ala.
Maksudnya menentukan segala mumkin ttg adanya atau
tiadanya. Sebenarnya adalah sifat yang qadim lagi azali thabit
berdiri pada Zat Allah Ta'ala yang menentukan segala perkara
yang harus atau setengah yang harus atas mumkin . Maka
Allah Ta'ala yang selayaknya menghendaki tiap-tiap sesuatu
apa yang diperbuatnya. Umat Islam beriktiqad akan segala hal
yang telah berlaku dan yang akan berlaku adalah dengan
mendapat ketentuan daripada Allah Ta'ala tentang rezeki ,
umur , baik , jahat , kaya , miskin dan sebagainya serta wajib
pula beriktiqad manusia ada mempunyai nasib ( bagian ) di
dalam dunia ini sebagaimana firman Allah SWT. yang
bermaksud : " Janganlah kamu lupakan nasib ( bagian )
kamudi dalam dunia " . (Surah Al – Qasash : Ayat 77).
Kesimpulannya ialah umat Islam mestilah bersungguh-
sungguh untuk kemajuan di dunia dan akhirat di mana
menjunjung titah perintah Allah Ta'aladan menjauhi akan

34
segala larangan dan tegahannyadan bermohon dan berserah
kepada Allah SWT.
9. ‘Ilmu : Artinya : Mengetahui Allah Ta'ala .
Maksudnya nyata dan terang meliputi tiap-tiap sesuatu
sama ada yangMaujud (ada) atau yang Ma'adum ( tiada ).
Hakikatnya ialah satu sifat yang tetap ada ( thabit ) qadim lagi
azali berdiri pada zat Allah Ta'ala. Allah Ta'ala Maha
Mengetahui akan segala sesuatu sama ada perkara. Itu
tersembunyi atau rahasia dan juga yang terang dan nyata.
Maka ’ilmu Allah Ta'ala Maha Luas meliputi tiap-tiap sesuatu
diAlam yang fana' ini.
10. Hayat . Artinya : Hidup Allah Ta'ala.
Hakikatnya ialah satu sifat yang tetap qadim lagi azali
berdiri pada zat Allah Ta’ala . Segala sifat yang ada berdiri
pada zat daripada sifat Idrak ( pendapat ) Yaitu : sifat qudrat,
iradat , Ilmu , Sama’ Bashar dan Kalam.
11. Sama’ : Artinya : Mendengar Allah Ta'ala.
Hakikatnya ialah sifat yang tetap ada yang qadim lagi
azali berdiri pada Zat Allah Ta’ala. Yaitu dengan terang dan
nyata pada tiap-tiap yang maujud sama ada yang maujud itu
qadim seperti ia mendengar kalamnya atau yang ada itu harus
sama ada atau telah ada atau yang akan diadakan. Tiada

35
terhijab (terdinding ) seperti dengan sebab jauh , bising ,
bersuara , tidak bersuara dan sebagainya. Allah Ta'ala Maha
Mendengar akan segala yang terang dan yang tersembunyi.
Sebagaimana firman Allah Ta'ala yang bermaksud :
" Dan ingatlah Allah sentiasa Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui ".
( Surah An-Nisa'a - Ayat 148 )
12. Bashar : Artinya : Melihat Allah Ta'ala .
Hakikatnya ialah satu sifat yang tetap ada yang qadim
lagi azali berdiri pada zat Allah Ta'ala. Allah Ta'ala wajib
bersifat Maha Melihat sama ada yang dapat dilihat oleh
manusia atau tidak, jauh atau dekat , terang atau gelap , zahir
atau tersembunyi dan sebagainya. Firman Allah Ta'ala yang
bermaksud : " Dan Allah Maha Melihat akan segala yang
mereka kerjakan ". ( Surah Ali Imran - Ayat 163 )
13 .Kalam : Artinya : Berkata-kata Allah Ta'ala.
Hakikatnya ialah satu sifat yang tetap ada , yang qadim
lagi azali , berdiri pada zat Allah Ta'ala. Menunjukkan apa
yang diketahui oleh ilmu daripada yang wajib, maka ia
menunjukkan atas yang wajib sebagaimana firman Allah
Ta'ala yang bermaksud : " Aku Allah , tiada tuhan melainkan
Aku .........". ( Surah Taha - Ayat 14 ) Dan daripada yang

36
mustahil sebagaimana firman Allah Ta'ala yang bermaksud :
" ........( kata orang Nasrani ) bahwasanya Allah Ta'ala yang
ketiga daripada tiga..........". (Surah Al-Mai'dah - Ayat 73).
Dan daripada yang harus sebagaimana firman Allah Ta'ala
yang bermaksud : " Padahal Allah yang mencipta kamu dan
benda-benda yang kamu perbuat itu". (Surah Ash. Shaffaat –
Ayat 96). Kalam Allah Ta'ala itu satu sifat jua tiada berbilang.
Tetapi ia berbagai-bagai jika dipandang dari perkara yang
dikatakan Yaitu :
1. Menunjuk kepada 'amar ( perintah ) seperti tuntutan
mendirikan solat dan lain-lain kefardhuan.
2. Menunjuk kepada nahyu ( tegahan ) seperti tegahan
mencuri dan lain-lain larangan.
3. Menunjuk kepada khabar ( berita ) seperti kisah-
kisah Firaundan lain-lain.
4. Menunjuk kepada wa'ad ( janji baik ) seperti orang
yang taat dan beramal soleh akan dapat balasan syurga
dan lain-lain.
5. Menunjuk kepada wa'ud ( janji balasan siksa )
seperti orang yang mendurhaka kepada ibu & bapak akan
dibalas dengan azab siksa yang amat berat.

37
14. Kaunuhu Qadiran : Artinya : Keadaan Allah Ta'ala
Yang Berkuasa
Mengadakan Dan Mentiadakan.
Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah
Ta'ala, tiada ia maujud dan tiada ia ma'adum , Yaitu lain
daripada sifat Qudrat.
15.Kaunuhu Muridan : Artinya : Keadaan Allah Ta'ala
Yang Menghendaki
dan menentukan tiap-tiap sesuatu.
Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah
Ta'ala , tiada ia maujud dan tiada ia ma'adum , Yaitu lain
daripada sifat Iradat.
16.Kaunuhu 'Aliman : Artinya : Keadaan Allah Ta'ala
Yang Mengetahui
akan Tiap-tiap sesuatu.
Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah
Ta'ala, tiada ia maujud dan tiada ia ma'adum , Yaitu lain
daripada sifat ‚Ilmu.
17.Kaunuhu Hayyun : Artinya : Keadaan Allah Ta'ala
Yang Hidup.

38
Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah
Ta'ala, tiada ia maujud dan tiada ia ma'adum , Yaitu lain
daripada sifat Hayat.

18.Kaunuhu Sami'an : Artinya : Keadaan Allah Ta'ala


Yang Mendengar
akan tiap-tiap yang Maujud.
Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah
Ta'ala, tiada ia maujud dan tiada ia ma'adum, Yaitu lain
daripada sifat Sama'.
19.Kaunuhu Bashiran : Artinya : Keadaan Allah Ta'ala
Yang Melihat akan
tiap-tiap yang Maujudat ( Benda yang ada ).
Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta'ala,
tiada ia maujud dan tiada ia ma'adum , Yaitu lain daripada
sifat Bashar.
20.Kaunuhu Mutakalliman : Artinya : Keadaan Allah
Ta'ala Yang Berkata
kata.
Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah
Ta'ala, tiada ia maujud dan tiada ia ma'adum , Yaitu lain
daripada sifat Kalam.

39
- Sifat Mustahil Bagi Allah S.W.T

Wajib atas tiap-tiap mukallaf mengetahui sifat-sifat yang


mustahil bagi Allah yang menjadi lawan daripada dua puluh
sifat yang wajib baginya. Maka dengan sebab itulah di
nyatakan di sini sifat-sifat yang mustahil satu-persatu :

1. ‘Adam beerti “tiada”


2. Huduth beerti “baharu”
3. Fana’ beerti “binasa”
4. Mumathalatuhu Lilhawadith beerti “menyerupai
makhluk”
5. Qiyamuhu Bighayrih beerti “berdiri dengan yang
lain”
6. Ta’addud beerti “berbilang-bilang”
7. ‘Ajz beerti “lemah”
8. Karahah beerti “terpaksa”
9. Jahl beerti “jahil/bodoh”
10. Mawt beerti “mati”
11. Samam beerti “tuli”
12. ‘Umy beerti “buta”

40
13. Bukm beerti “bisu”
14. Kaunuhu ‘Ajizan beerti “keadaannya yang
lemah”
15. Kaunuhu Karihan beerti “keadaannya yang
terpaksa”
16. Kaunuhu Jahilan beerti “keadaannya yang
jahil/bodoh”
17. Kaunuhu Mayyitan beerti “keadaannya yang
mati”
18. Kaunuhu Asam beerti “keadaannya yang tuli”
19. Kaunuhu A’ma beerti “keadaannya yang buta”
20. Kaunuhu Abkam beerti “keadaannya yang bisu”

- Sifat Harus Bagi Allah S.W.T


Adalah sifat yang harus pada hak Allah Ta’ala hanya satu
saja Yaitu Harus bagi Allah mengadakan sesuatu atau tidak
mengadakan sesuatu atau di sebut sebagai “mumkin” (Fi'lu
kulli Mumkinin Autarkuhu). Mumkin ialah sesuatu yang
harus ada dan tiada. Harus disini artinya boleh-boleh saja.
Artinya boleh-boleh saja Allah SWT menciptakan sesuatu,
yakni tidak ada paksaan dari sesuatu, karena Allah bersifat

41
Qudrat dan Irodah. Dan boleh-boleh saja bagi Allah SWT
meniadakan sesuatu.

B. IMAN KEPADA MALAIKAT

A. Pengertian

Malaikat adalah makhluk (ciptaan Allah swt.) cahaya,


tidak makan, tidak minum, tidak tidur, dan tidak berjenis
kelamin. Mereka adalah alam lain yang berdiri sendiri dan
berbeda fisik dan jasadnya.

Allah swt telah menciptakan malaikat dari cahaya. Ini


berdasarkan sabda Rasulullah saw.,

(‫ت اولكملكئمككةن ممون ننوورر )رواه مسلم‬


‫نخلمقك م‬.

“Malaikat telah diciptakan dari cahaya.” (Muslim).

Para malaikat bertugas mengurus alam semesta ini sesuai


iradah dan masyi’ah (kehendak) Allah swt. Dia
mendayagunakan malaikat untuk melaksanakan perintah-Nya,
dan mereka, para malaikat, tidak akan melakukan sesuatu
kecuali dengan perintah Allah swt. Allah swt. mengatakan
dengan gamblang tentang hal ini.

42
Dan mereka berkata, “Tuhan yang Maha Pemurah telah
mengambil (mempunyai) anak.” Maha Suci Allah.
Sebenarnya (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba
yang dimuliakan. Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan
perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintahNya.
(Al-Anbiya: 26-27)

Diantara amal mereka adalah bertasbih dan tunduk


secara total dan sempurna kepada Allah swt., turun membawa
wahyu, dan mencatat semua amal. Allah swt. menerangkan
tentang hal ini kepada kita sebagai mana ayat berikut. Padahal
sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang
mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan
mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui
apa yang kamu kerjakan. (Al-Infithar: 10-12)

Ada juga malaikat yang bertugas mewafatkan dan


mencabut nyawa. Allah swt. telah mengabarkan kepada kita
tentang mereka dalam Kitab-Nya. Jadi, iman kepada malaikat
itu wajib dan menjadi salah satu rukun iman. Perhatikan
firman Allah swt. berikut ini. Rasul telah beriman kepada Al-
Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian
pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada

43
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-
rasul-Nya. (Mereka mengatakan), “Kami tidak membeda-
bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-
rasul-Nya”, dan mereka mengatakan, “Kami dengar dan
kami taat.” (Mereka berdoa), “Ampunilah kami, Ya Tuhan
kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (Al-Baqarah:
285)

Ar-Razi dalam At-Tafsiirul Al-Kabiir juz 2 halaman 160


menulis tentang definisi malaikat menurut Islam, nasrani, dan
penyembah berhala. Menurut mayoritas ulama Islam, malaikat
adalah makhluk halus yang diciptakan dari cahaya dan
mampu berubah-ubah bentuk yang berbeda. Sedangkan
menurut sekte nasrani, malaikat adalah roh yang telah terpisah
dari tubuhnya, dapat berbicara, dan memiliki sifat bersih dan
baik. Lain lagi menurut golongan penyembah berhala. Mereka
berpendapat bahwa malaikat adalah bintang yang bertugas
memberi kebahagiaan atau kesengsaraan. Malaikat pemberi
kebahagiaan disebut malaikat rahmah, dan malaikat yang
memberi kesengsaraan disebut malaikat azab. Dengan
demikian bintang, menurut mereka, adalah makhluk hidup
yang dapat berbicara.

44
B. Dalil Iman Kepada Malaikat

Sebagaimana telah kita pahami bahwa jalan menuju iman


kepada malaikat adalah melalui periwayatan yang shahih dari
dalil-dalil Al-Qur’an dan sunnah. Akal dalam hal ini tidak
memiliki peran, kecuali tunduk kepada apa yang telah
dijelaskan oleh wahyu, sedangkan wahyu itu sendiri tidak
bertentangan dengan akal.

C. Hukum Beriman Kepada Malaikat

Keberadaan malaikat diperkuat dengan dalil Al-Qur’an,


Sunnah dan ijma, maka iman kepada malaikat hukumnya
wajib. Dan barangsiapa yang mengingkari keberadaan
mereka, maka ia telah kafir.

Berikut ini dalil Al-Qur’an dan Hadits bertalian dengan iman


kepada malaikat.

Rasul telah beriman kepada Al-Quran yang diturunkan


kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang
beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka
mengatakan), “Kami tidak membeda-bedakan antara
seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan

45
mereka mengatakan, “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka
berdoa), “Ampunilah kami, ya Tuhan kami, dan kepada
Engkaulah tempat kembali.” (Al-Baqarah: 285)

Sedangkan di antara hadits yang paling populer berkaitan


dengan tema ini adalah Hadits Jibril yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah r.a. (teks
lengkapnya bisa dilihat di hadits kedua Arbain Nawani).
Rasulullah saw. pada suatu hari bersama para sahabat, lalu
seorang laki-laki datang padanya kemudian berkata; “Ya
Rasulullah, apakah iman itu?” Rasul menjawab, “Iman
adalah kamu beriman pada Allah, malaikat, kitabNya,
bertemu denganNya, para Rasul, dan beriman kepada hari
kebangkitan.”

Jadi, jelaslah bahwa iman kepada malaikat adalah salah


satu rukun akidah Islam. Tidak akan diterima iman seorang
muslim, tanpa mengimani rukun ini. Jika masih terlintas di
pikiran Anda sebuah pertanyaan, kenapa iman kepada
malaikat menjadi salah satu rukun iman? Pertanyaan Anda itu
dijawab oleh Imam Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-
Manar juz 2 ‫ؤ‬halaman 110, “Bahwa iman kepada malaikat
adalah pokok iman kepada wahyu. Karena, malaikat

46
penyampai wahyu adalah roh yang berakal yang memiliki
ilmu yang luas dengan izin Allah. Malaikat menyampaikan
wahyu kepada roh Nabi sebagai pokok agama. Karenanya,
penyebutan iman kepada malaikat didahulukan atas
penyebutan iman kepada kitab dan para nabi. Sebab,
merekalah yang datang kepada para nabi membawa kitab.
Jadi, mengingkari malaikat berarti mengingkari wahyu,
kenabian, dan ruh. Dan itu berarti mengingkari hari akhir.
Orang yang mengingkari hari akhir tujuan utama hidupnya
adalah kenikmatan dunia, syahwat, dan segala tuntutannya.
Hal ini adalah sumber kesengsaraan di dunia sebelum di
akhirat.”

D. Sifat-sifat Malaikat

Kita telah paham bahwa pengetahuan kita tentang


malaikat hanyalah berdasar pada dalil wahyu. Maka, wahyu
juga yang menjelaskan kepada kita dari apa malaikat
diciptakan dan seperti apa tabiat mereka. Allah swt. telah
menciptakan malaikat dari cahaya berbeda dengan Adam
diciptakan dari tanah, dan jin diciptakan dari api. Imam
Muslim meriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw.
bersabda, “Malaikat diciptkan dari cahaya, jin diciptakan

47
dari api, dan Adam diciptakan dari apa yang telah
diceritakan pada kamu (tanah).”

Para ulama mengatakan bahwa para malaikat adalah


jawahir basithah yang diberi akal, tidak memerlukan tempat,
ada yang berhubungan dengan benda konkret seperti otak, ada
pula yang berhubungan dengan yang abstrak seperti jiwa.
Malaikat memiliki kemampuan logika akal yang tidak
sempurna. Mereka tidak terhalang dari cahaya Allah. Dan
tidak dilarang berada bersamanya pada suatu waktu, pada
suatu keadaan dengan tidur, lalai atau syahwat. Bahkan
mereka menikmati dengan apa yang mereka saksikan.
Ketaatan mereka adalah karakter dan kemaksiatan mereka
adalah tugas. Ini berbeda dengan manusia yang ketaatannya
adalah tugas dan mengikuti hawa nafsu adalah karakter (lihat
Al-Kulliyat karya Abul Baqa’, halaman 854, penerbit Ar-
Risalaat).

Simak beberapa firman Allah swt. berikut ini:

Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan


melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka). (An-
Nahl: 50)

48
Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan
mereka mengerjakan perintah-perintahNya. (Al-Anbiya: 27)

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan


keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,
keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan. (At-Tahriim: 6)

E. Kedudukan dan Keutamaan Malaikat

Para ulama berbeda pendapat dalam hal menjadikan


manusia lebih utama daripada malaikat. Ada yang
berpendapat bahwa para rasul dari golongan manusia lebih
utama dari para rasul dari golongan malaikat dan para wali
dari golongan manusia lebih utama dari para wali golongan
malaikat. Sementara yang lain berpendapat bahwa malaikat
lebih utama dari manusia selain para rasul.

F. Malaikat Bukan Lelaki dan Bukan Perempuan

Orang-orang musyrikin Arab Jahiliyah beranggapan


bahwa malaikat adalah anak-anak perempuan Allah. Mereka
telah melakukan kebodohan besar ketika mengatakan bahwa

49
Allah memiliki anak dan anak-anaknya adalah para wanita
(malaikat). Sementara di sisi lain mereka tidak senang dengan
anak-anak perempuan. Lihat gambaran ini di surat An-Nahl
ayat 58.

Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan


(kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah)
mukanya, dan dia sangat marah.

Tentang kebohongan mereka, Allah menjelaskan di dalam


surat Az-Zukhruf ayat 19.

Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat yang mereka itu


adalah hamba-hamba Allah yang Maha Pemurah sebagai
orang-orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan
penciptaan malaika-malaikat itu? Kelak akan dituliskan
persaksian mereka dan mereka akan dimintai pertanggung-
jawaban.

Perhatikan juga surat Al-Isra ayat 40 di bawah ini.

Maka apakah patut Tuhan memilihkan bagimu anak-anak


laki-laki sedang dia sendiri mengambil anak-anak perempuan
di antara para malaikat? Sesungguhnya kamu benar-benar
mengucapkan kata-kata yang besar (dosanya).

50
Bukan sesuatu yang aneh keyakinan yang salah ini masih
mempengaruhi akal dan hati banyak orang. Contoh yang
paling jelas adalah menyerupakan malaikat dengan
perempuan-perempuan berkostum putih dan membuat patung
atau gambar malaikat pada bentuk anak-anak perempuan dan
wanita-wanita cantik yang memiliki sayap. Gambar-gambar
itu dijual di pasar-pasar dalam bentuk ucapan selamat pada
hari bahagia dan hari raya. Bahkan ada yang membuat boneka
malaikat dengan wujud anak perempuan atau wanita cantik.
Tentu hal ini adalah kekufuran yang jelas. Barangsiapa yang
meyakini bahwa suara perempuan adalah suara malaikat atau
para perempuan merupakan potret malaikat rahmah, ia adalah
kafir. Begitu pendapat Al-Bani dalam buku Arkanul Iman.

Ada juga ulama berpendapat tidak sekeras Al-Bani.


Mereka berpendapat, menggambar bentuk malaikat adalah
bid’ah yang sangat berbahaya dan dapat mengeluarkan
seorang muslim dari iman. Namun, dalam percakapan sehari-
hari, orang banyak kadang mengasosiasikan sesuatu yang
sempurna dalam penglihatan dengan malaikat. Misalnya para
wanita bangsawan yang terkesima dengan ketampanan Nabi
Yusuf. Mereka mengasosiasikan Nabi Yusuf dengan malaikat

51
(lihat surat Yusuf: 31). Tapi, mereka tidak menyakini bahwa
Nabi Yusuf itu malaikat.

G. Malaikat Tidak Makan, Tidak Minum

Dalil bahwa malaikat tidak makan dan tidak minum


adalah Al-Qur’an yang menceritakan tentang para tamu Nabi
Ibrahim dari golongan malaikat yang diutus oleh Allah untuk
menghancurkan perkampungan kaum Luth. Lihat surat Adz-
Dzaariyaat ayat 24-28.

24. Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang


tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan?

25. (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu


mengucapkan, “Salaamun.” Ibrahim menjawab, “Salaamun
(kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.”

26. Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya,


kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk.

27. Lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu


berkata, “Silakan Anda makan.”

28. (Tetapi mereka tidak mau makan), karena itu Ibrahim


merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata, “Janganlah

52
kamu takut.” Dan mereka memberi kabar gembira kepadanya
dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak).

H. Malaikat Tidak Dapat Dilihat Dalam Bentuk Aslinya

Pada kisah tamu Ibrahim di atas, malaikat dapat dilihat di


saat berbentuk pada wujud selain aslinya. Sedangkan
pendapat yang shahih bahwa malaikat tidak dapat dilihat oleh
manusia biasa, dalilnya adalah firman Allah swt. di surat
Furqan ayat 21-22.

21. Berkatalah orang-orang yang tidak menanti-nanti


pertemuan(nya) dengan Kami, “Mengapakah tidak
diturunkan kepada kita malaikat atau (mengapa) kita (tidak)
melihat Tuhan kita?” Sesungguhnya mereka memandang
besar tentang diri mereka dan mereka benar-benar telah
melampaui batas (dalam melakukan) kezaliman.”

22. Pada hari mereka melihat malaikat di hari itu tidak ada
kabar gembira bagi orang-orang yang berdosa mereka
berkata, “Hijraan mahjuuraa”.

Ibnu Hazm di Al-Fashl juz 4 halaman 57, mengomentari ayat


ini dengan kalimat, “Allah telah menjadikan permintaan
manusia akan diturunkannya malaikat sebagai suatu masalah

53
besar, yang dianggap sebagai kesombongan dan melampaui
batas; dan Allah menjelaskan kepada kita bahwa kita sebagai
manusia tidak akan pernah dapat melihat malaikat sampai hari
kiamat.”

Jika manusia biasa tidak dapat melihat malaikat, tapi ada


kekhususan bagi Rasulullah saw. Rasulullah saw sebagai
seorang nabi bisa melihat malaikat jibril dalam bentuk aslinya
ketika di malam Isra Mi’raj. Hal ini diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dalam musnadnya dari Masruq, dia berkata: aku
pernah bersama A’isyah, beliau berkata, Bukankah Allah telah
berfirman di surat At-Takwiir ayat 23, Dan sesungguhnya
Muhammad itu melihat Jibril di ufuk yang terang. Dan surat
An-Najm ayat 13, Dan sesungguhnya Muhammad telah
melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang
lain. Lalu A’isyah berkata, “Aku orang pertama dari umat ini
yang bertanya kepada Rasulullah tentang ayat di atas, maka
Rasulullah saw. menjawab, ‘Sesungguhnya dia adalah
malaikat Jibril.’ Rasul tidak melihatnya dalam bentuk aslinya,
kecuali dua kali. Rasul melihatnya pertama kali di saat
Malaikat Jibril turun ke bumi dan sayapnya menutupi antara
langit dan bumi.” (lihat Tafsir Ibnu Katsir, juz 4 halaman 251-
252).

54
Walaupun kita, manusia, tidak dapat melihat malaikat,
namun ada sebagian makhluk yang diberi kelebihan khusus
sehingga dapat melihat malaikat. Bukhari dan Muslim dalam
shahihnya meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah
saw. bersabda, “Jika kamu mendengar suara ayam jago, maka
mintalah kepada Allah sebagian dari karunianya, karena ayam
jago itu dapat melihat malaikat; dan bila kamu mendengar
suara ringkik keledai, maka berlindunglah kepada Allah dari
setan karena ia melihat setan.”

Sebagian orang menganggap hadits seperti ini aneh,


bagaimana mungkin burung-burung dan binatang dapat
menyaksikan apa-apa yang tidak dapat kita saksikan.
Jawabnya sederhana. Benda mati saja dapat memperlihatkan
kepada kita sesuatu yang kita tidak dapat melihatnya dalam
kondisi biasa. Contohnya televisi. Benda ini dapat
memperlihatkan gambar-gambar yang entah di mana adanya
ke hadapan kita yang sedang duduk di dalam kamar. Padahal
kita tahu isi televisi itu adalah rangkaian komponen elektronik
saja.

I. Malaikat Mampu Berubah-ubah Bentuk

55
Dalam kisah tamu Nabi Ibrahim, para malaikat datang dengan
menjelma sebagai laki-laki dewasa. Karena itu, Nabi Ibrahim
langsung menjamu mereka dengan makanan. Contoh lain
adalah ketika malaikat datang kepada Maryam ibu Nabi Isa
a.s. Perhatikan surat Maryam ayat 16-17 ini.

16. Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Al-Quran,


yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu
tempat di sebelah timur,

17. Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari


mereka; lalu kami mengutus roh Kami (Jibril a.s.) kepadanya,
maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia
yang sempurna.

Malaikat Jibril datang menjumpai Rasulullah dalam


bentuk manusia yang berbeda-beda bentuknya. Kadangkala
menyerupai seorang shahabat yang bernama Dahyah bin
Khalifah Al-Kalbi karena Dahyah seorang pemuda tampan
dan memiliki postur yang ideal. Imam Bukhari dan Muslim
telah meriwayatkan di dalam shahihnya dari Umar bin
Khaththab, ia berkata, “Ketika kami sedang duduk di sisi
Rasulullah tiba-tiba muncul seorang laki-laki dengan
mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambut yang

56
sangat hitam, lalu menyandarkan kedua lututnya pada kedua
lutut Rasulullah dan meletakkan kedua telapak tangannya di
atas paha Rasul, dan ia berkata, ‘Wahai Muhamad, beritahu
saya tentang Islam.” Kemudian bertanya lagi tentang iman,
ihsan, dan hari kiamat. Kemuian meninggalkan tempat itu.
Lalu Rasulullah saw. bertanya kepada Umar, “Wahai Umar,
apakah kamu tahu siapa yang bertanya tadi?” Umar
menjawab, “Allah dan RasulNya lebih tahu.” Kemudian
Rasulullah saw. menjelaskan, “Dia adalah Malaikat Jibril yang
telah datang kepadamu mengajarkan kami tentang agamamu.”

J. Malaikat Memiliki Kemampuan Yang Luar


Biasa

Malaikat memiliki kemampuan yang luar biasa yang


tidak dapat dibayangkan. Misalnya, 8 malaikat pemikul Arsy.
“Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit.
Dan pada hari itu delapan malaikat menjunjung ‘Arsy
Tuhanmu di atas (kepala) mereka.” (Al-Haaqqah: 17)

Jika kursi Allah swt. luasnya seluas tujuh lapis langit dan
bumi, coba bayangkan sebesar apa ‘Arsy dan bayangkan
betapa dahsyatnya kekuatan yang dimiliki para malaikat
pemikul ‘Arsy. Coba bayangkan bagaimana kekuatan malaikat

57
peniup sangkakala dimana saat sangkakala ditiupkan seluruh
makhluk yang ada di langit dan bumi mati seketika. “Dan
ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan
di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian
ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka
berdiri menunggu (putusannya masing-masing).” (Az-Zumar:
68)

Bisakah kita bayangkan apa yang dilakukan malaikat terhadap


kaum Nabi Luth seperti yang digambarkan Allah swt. dalam
firman-Nya di surat Hud ayat 82 ini.

“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum


Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan, red.), dan
Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar
dengan bertubi-tubi.

Itulah gambaran yang menakutkan tentang kekuatan malaikat.


Adapun kecepatan malaikat lebih cepat dari apa yang
dibayangkan manusia. Allah berfirman di dalam surat Al-
Ma’arij ayat 4. “Malaikat-malaikat dan Jibril naik

58
(menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima
puluh ribu tahun.”

Cukup untuk diketahui bahwa malaikat Jibril


memi’rajkan Rasulullah saw. ke langit tertinggi kemudian
kembali lagi ke bumi, hanya dalam satu malam, bahkan
sebagian dari malam. Kita tahu bahwa langit yang paling
dekat ke bumi memerlukan jutaan tahun kecepatan cahaya.
Artinya, kita perlu hidup jutaan tahun untuk sampai ke sana
bila kita jalan dengan kecepatan cahaya yang 300 km per
detik. Pertanyaannya, siapa yang dapat melakukannya? Dari
mana kita mendapat umur yang panjang untuk perjalanan itu?

K. Malaikat Diciptakan Untuk Taat Dan Bertasbih

Ketaatan dan ibadah bagi malaikat adalah sifat asli


mereka (jibillah) sebagaimana Allah mensifati mereka di surat
At-Tahrim ayat 6.

“Tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-


Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.”

59
“Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan
mereka mengerjakan perintah-perintahNya.” (Al-Anbiya: 27)
ayat

“Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi.


Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada
mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada
(pula) merasa letih.” (Al-Anbiya: 19)

Para ulama berbeda pendapat tentang cara bertasbihnya


malaikat. Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas berkata, tasbih mereka
adalah shalat. Ini berdasarkan firman Allah

‫“ فلس سسول انس سسه كس سسان مس سسن السمس سسبحي‬seandainya ia bukan orang yang selalu

bertasbih”, yang dimaksud dengan bertasbih di sini adalah


shalat. Qotadah berkata, tasbih malaikat adalah ‫ساابحان ااا‬
sebagaimana dipahami dari bahasa. Al-Qurthubi mendukung
pendapat ini. Dalilnya adalah hadits riwayat Abu Dzar r.a.
bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya, “Ucapan apa yang
paling afdlal?” Rasulullah saw. menjawab, “Ucapan yang
paling afdlal adalah kata-kata yang telah dipilihkan oleh Allah
untuk malaikat, yaitu ‫( ” سبحان ا وبحمده‬Muslim)

60
Dan Abdurrahman bin Qarth bahwa Rasulullah saw. pada
malam Isra’ dan Mi’raj mendengar suara tasbih di langit yang
paling atas:“‫“ سبحان العلي العألى سبحانه وتعالى‬. (Al-Baihaqi, Tafsir
Al-Qurthubi juz 1/267).

Shalatnya malaikat adalah berdiri dan sujud. Dari Hakim


bin Hizam, ia berkata, ketika Rasulullah saw. bersama para
sahabat, beliau bersabda, “Apakah kalian mendengar apa yang
saya dengar?” Mereka menjawab, “Kami tidak mendengar
sesuatu.” Rasulullah saw. berkata, “Sesungguhnya aku
mendengar hentakan langit. Tidak ada satu jengkal pun bagian
langit yang terhentak melainkan di atasnya malaikat sedaang
sujud atau sedang berdiri.” (At-Tabrani, Mu’jam Al-Kabir, Al-
Asyqar ‘Alamul Malaikah Al-Abrar, halaman.31,1989)

Keadaan malaikat diciptakan untuk beribadah sehingga


sebagian ulama meyakini bahwa malaikat bukan makhluk
mukallaf. Yang sahih bahwa taklif mereka tidak sama dengan
taklif kita. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa mereka
bukan makhluk mukallaf adalah pendapat yang salah karena
mereka diperintahkan untuk beribadah dan taat. Allah swt.
berfirman:

61
“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan
melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).” (An-
Nahl: 50)

Khauf adalah di antara tingkatan ubudiyah dan ketaatan yang


paling tinggi. (Al-Asyqar halaman 29,1989).

Dalil yang paling kuat bahwa malaikat makhluk mukallaf


adalah kisah tentang perintah Allah kepada mereka untuk
susjud kepada Adam. Allah swt. berfirman di dalam surat Al-
Baqarah ayat 34: Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman
kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam.” Maka
sujudlah mereka, kecuali Iblis; ia enggan dan takabur, dan
adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.

L. Malaikat Terjaga Dari Salah

Dari paparan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa malaikat


terhindar dari kesalahan dan perbuatan dosa. Namun, jumhur
ulama berpendapat, malaikat tidak ma’shum. Dalil-dalil
sebagai berikut.

“Jika mereka menyombongkan diri, maka mereka (malaikat)


yang di sisi Tuhanmu bertasbih kepada-Nya di malam dan
siang hari, sedang mereka tidak jemu-jemu.” (Fushilat: 38)

62
Di ayat 30 surat Al-Baqarah, malaikat berkata, “Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah.
Malaikat mencela terjadinya maksiat yang dilakukan Adam
dan keturunannya, dan ini berarti menunjukkan bahwa mereka
(malaikat) bebas dari dosa. Sikap mereka itu diperkuat dengan
kata-kata, “Padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan mensucikan Engkau.” Yang berarti
mereka senantiasa bertasbih dan mensucikan Allah tanpa
henti.

Sedangkan dalil yang mengatakan bahwa malaikat tidak


ma’shum adalah seperti yang dikemukakan Imam Ar-Razi
dalam tafsirnya yang juga bantahan atas pendapat malaikat
terbebas dari salah.

Menurut Ar-Razi, firman Allah swt., “Sesungguhnya Aku


hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka
berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di
bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” adalah
dalil yang mencela para malaikat bukannya sebagai dalil

63
tentang bebasnya malaikat dari kesalahan. Hal itu ditinjau dari
beberapa sisi:

1. Bahwa perkataan malaikat, “Sesungguhnya Aku


hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah” adalah
bantahan mereka terhadap Allah dan sikap ini di antara
dosa yang paling besar.

2. Bahwa para malaikat telah melakukan ghibah Adam


dan keturunannya dengan mempertanyakan tentang
mereka, sementara ghibah adalah salah satu dosa besar.

3. Bahwa malaikat telah memuji diri mereka sendiri


setelah mempertanyakan keturunan Adam dengan
perkataan, “Padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan mensucikan Engkau.” Bukankah
memuji diri sendiri adalah tercela dan dapat
mengakibatkan ujub atau bangga terhadap diri sendiri,
dan ini adalah sikap tercela sebagaimana Allah berfirman
dalam surat An Najm ayat 32?

64
4. Bahwa perkataan mereka, “Maha Suci Engkau,
tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Telah
Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah
yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” adalah
sikap minta permakluman dan itu tidak terjadi kecuali
karena telah melakukan kesalahan.

5. Bahwa firman Allah swt., “Sebutkanlah kepada-Ku


nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-
orang yang benar! Dapat dipahami bahwa mereka telah
berdusta pada apa yang mereka katakan.

6. Bahwa firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat


33, “Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa
sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi,
dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang
kamu sembunyikan?” Dapat dipahami bahwa mereka
meragukan bahwa Allah mengetahui segala hal.

7. Bahwa tuduhan mereka terhadap manusia hanya


berdasar dugaan (dzhan) dan ini tidak dibenarkan
sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Israa ayat 36.

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak


mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya

65
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan
diminta pertanggungan jawabnya.“

C. IMAN KEPADA RASUL ALLAH

Ibn ‘Umar meriwayatkan bahwa malaikat Jibril pernah


bertanya kepada Nabi saw, “Apakah iman iu?” Beliau
menjawab, “Hendaknya engkau beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, utusan-utusan-Nya,
Hari Akhir, dan takdir baik maupun takdir buruk.”Lalu, Jibril
berkata, “Engkau benar!” (H.R. Muslim)

Inilah prinsip-prinsip esensial yang menjadi pijakan


konsepsi Islam. Orang yang menyimpang dari salah satu
prinsip di atas berarti telah keluar dari naungan akidah Islam.
Umpamanya saja,jika saya beriman kepada Allah, tetapi tidak
kepada malaikat-malaikat-Nya, berarti keimanan seperti ini
sama.sekali tidak berarti bagi saya. ini adalah akidah baru
yang saya ciptakan sendiri dan tidak bersumber dari Islam.

66
Jika saya beriman kepada Allah dan malaikat-malaikat-Nva,
tetapi saya masih meragukan kitab-kitab dan Utusan-utusan-
Nya; rmeyakini bahwa Dia telah nenurunkan Taurat kepada
Nabi Musâ atau Alquran kepada Nabi Muhammad saw.,
berarti ternyataan semacam ini menyebabkan orang yang
mengucapkannya keluar dan Islam.

Iman kepada Allah bukanlah pengistimewaan manusia


tenhadap Allah. Dalam hal ini, sama sekali tidak ada tawar-
menawar. Sebaliknya, yang demikian itu tak lain adalah
anugerah Allah kepada hamba-hamba-Nya. Di dalam Alquran,
Allah berfirman :

…Katakanlah, “janganlah kalian merasa telah memberi


nikmat kepada-Ku dengan keislaman kalian. Sebenarnya
Allah melimpahkan nikmat kepada kalian dengan
menunjuki kalian pada keimanan…” (111 (QS 49: 7).

Allah menjadikan iman kepada-Nya sebagai suatu hukum


yang tidak terpisah, yakni akidah asli yang bermakna iman
kepada-Nya, kepada tentara-tentara-Nya, kitab-kitab-Nya,
utusan-utusan-Nya, ketentuan (qadhâ’) dan takdir (qadar)-
Nya, Hari Kebangkitan, Hari Perhitungan, serta surga dan
neraka-Nya. Mungkin, ada orang mengatakan, “Saya beriman

67
kepada semua itu. Namun, saya tidak mengerti bagaimana
wujud surga. Apakah di dalam surga kita akan makan seperti
layaknya di muka bumi? Saya juga tidak mengerti bagaimana
kita menikmati segala sesuatu yang abadi dalamnya.” Ucapan
seperti ini tidak menyebabkan orang yang mengucapkannya
keluar dari Islam, karena ia membicarakan hal gaib yang tidak
diketahuinya. Ia beriman kepadanya, tetapi tidak mengetahui
hakikatnya.

Ada perbedaan substansial antara beriman kepada akidah


tanpa mengetahui hakikat segala sesuatu di dalamnya dan
meneliti beberapa bagian akidah dengan menerima sebagian
dan menolak sebagian lainnya. Dalam kasus pertama, yakni
beriman kepada akidah tanpa mengetahui hakikat segala
sesuatu di dalamnya, Anda masih berada di bawah naungan
akidah Islam. Sementara itu, dalam kasus kedua, Anda sudah
berada di bawah naungan akidah baru. Sebagai pencetus
akidah baru, Anda akan mempertanggungjawabkannya di
hadapan Sang Hakim di Hari Kiamat kelak.

Ada dua golongan nabi dan rasul Allah yang diutus


kepada umat manusia. Yang pertama adalah nabi yang diutus
Allah kepada kaumnya untuk memberikan petunjuk kepada
kebenaran. Yang kedua adalah rasul yang diutus Allah dengan

68
membawa kitab kepada kaumnya untuk menunjukkanjalan
kebenaran.

Anda sudah mengetahui bahwa tujuan para nabi dan rasul


adalah satu, yakni memberikan petunjuk kepada manusia agar
menempuh jalan kebenaran. Jika Allah adalah Zat Maha benar
(Al-haqq), berarti tujuan risalah para rasul dan dakwah para
nabi adalah memenuhi seruan dan ajakan Allah.

Tidak ada perbedaan antara para nabi dan rasul selain


dalam hal kitab yang dibawa oleh para rasul kepada kaunmya.
Kita tidak tahu persisjumlah para nabi dan rasul Allah. Kita
juga tidak tahu, berapa nabi yang diutus Allah kepada
kaumnya, dan berapa rasul yang diutus oleh-Nya kepada umat
manusia. Di dalam Alquran, Allah telah memberitahukan
kepada kita beberapa rasul yang diutus-Nya. Namun, ada juga
beberapa rasul yang tidak diberitahukan-Nya kepada kita.

(Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah


Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu dan
rasul-rasul yang tidak kami kisahkan tentang mereka
kepadamu. Allah telah berbicara kepada Mûsâ dengan
langsung (QS 4: 164).

69
Ada baiknya kalau kita berusaha mengetahui apa yang
belum dikisahkan Allah kepada kita. Penting bagi kita untuk
mengetahui rahasia diutusnya para nabi dan rasul. Pada
dasarnya, diutusnya Nabi Muhammad adalah rahmat bagi
manusia. Jika Allah tidak mengutus para nabi dan rasul-Nya,
Dia akan menegaskan argumen (hujjah)-Nya atas nanusia
karena dua sebab. Pertama, Allah telah menganbil kesaksian
atas manusia sewaktu diciptakan oleh Allah. Padahal, saat itu,
manusia masih berupa sel dalam tulang rusuk Adam. Kedua,
firman Allah yang penuh kasih sayang selalu
berkesihambungan kepada manusia. Tanda-tanda-Nya dapat
dijumpai di alam semesta, di dalam diri manusia sendiri, di
dalam berbagai mukjizat-Nya yang sangat dahsyat di ufuk dan
di alam bawah sadar. Seandainya manusia merenungkan ihwal
pernapasanya, menyadari bahwa ia hidup dalam setiap tarikan
napas berkat udara yang diciptakan oleh Allah, dan
merenungkan ihkwal darahnya yang telah mengenyami
berbagai nikmat-Nya, pastilah ia akan mengetahui bahwa
semua argumen ini sudah sudah cukup menjadi pegangan
tanpa memerlukan pengutusan para rasul.

Inilah yang kita kenal dengan sebutan fitrah dalam diri


manusia yang menuntunnya kepada jalan Allah. Jadi, tidak

70
ada interpretasi lain dari pengutusan para nabi, kecuali hanya
hanya sebagai rahmat bagi ummat manusia. Karena
kemurahan dan rahmat-Nya, Dia mengutus para nabi dan
memberlakukan hukuman.

Kami tidak aman mengazab sebelum Kami mengutus


seorang rasul (QS 17: 15).

Selain itu, masih ada sebab lain bagi diutusnya para rasul
Allah, yakni memperbaiki kesalahan dan mengantarkan
manusia kepada sumber-sumber iman asli, setiap kali situasi
kehidupan, kejahatan hawa-nafsu, atau tekanan kebutuhan
menjauhkan manusia dari iman itu.

Akan halnya ilmu-ilmu manusia, kita menganbilnya dari


sumber-sumber yang meyakinkan dan memberikan jawaban
yang memuaskan. Berkenaan dengan alam gaib, kita hanya
layak dan pantas memperoleh informasi tentangnya dan rasul-
rasul utusan Allah. Hanya mereka sajalah yang berhak
berbicara tentang Allah dan mampu menyimpulkannya untuk
kita. Apa yang mereka bicarakan itu lebih tepat dan lebih
benar karena adanya wahyu.

71
Sumber ilmu para nabi adalah wahyu. Sementara itu,
sumber ilmu orang-orang selain mereka entah filosof,
cendekiawan, intelektual, atau pemikir adalah akal yang
menjadi alat untuk hidup di muka bumi ini. Akal menjadi
sarana untuk mengungkap kehidupan manusia di dunia.
Membebani akal untuk mengkaji dan meneliti alam gaib sama
seperti halnya hati manusia bertanya tentang pemandangan
yang dilihat oleh mata. Hati akan berbicara kepadanya tentang
perubahan berbagai aliran darah yang keluar masuk
melaluinya. Hati juga dapat memberitahu ihwal aktivitas,
misalnya saja, perut. sistem pencernaan, dan jantung: tetapi ia
tidak tahu bahwa ada dua mata dan tidak tahu apa yang dapat
disaksikan oleh kedua mata itu berupa pemandangan di jalan-
jalan, gunung-gunung, lautan, langit, dan bintang-bintang.

Adalah zalim kalau kita membebani salah satu anggota


tubuh yang telah diciptakan Allah di luar batas
kemampuannya, sebaliknya kita berusaha keras mencari
sesuatu yang tidak terbatas. Allah memiliki sifat yang
mahatinggi. Sumber ilmu para nabi adalah wahyu dan dasar
gerakan mereka adalah penunjukan Allah. Rahasia pe
nunjukan Allah atas mereka adalah pengetahuan-Nya tentang
hakikat diri mereka. dalam hal ini, Allah berfirman :

72
Allah lebih mengetahui, di mana Dia menempatkan tugas
kerasulan…

(QS6: 124).

Dalam surat lain, Dia juga berfimian :

Allah memilih utusan-utusan-Nya dari malaikat dan dari


manusia….

(QS 22: 75).

Selain kedua hakikat ini, ada ilmu dan penunjukan dan


Allah. Kita tahu bahwa tidak ada seorang pun yang mengajak
untuk membicarakan kejernihan hati para nabi. kecerdasan
otaknya, kesucian jiwanya, dan kemampuan mereka dalam
memenuhi seruan Allah. Jika kita kemukakan hal ini atau
lebih dan itu, maka Allah berfirman bahwa Dia “telah
memilih.” Sesudah adanya pilihan Allah ini, ucapan atau

73
pilihan yang bukan berasal dari-Nya sama sekali tidak berarti
apa-apa.

Di antara pentanyaan yang mencuat ke permukaan tentang


para nabi adalah: seandainya Allah tidak memilih salah
seorang nabi-Nya sebagai nabi, apa yang akan terjadi
padanya? Jawabannya adalah bahwa nabi itu akan menjadi
pemuka umat manusia. Allah menjadikannya sebagai pemuka
umat manusia, karena ia adalah orang terbaik di muka bumi.
Allah memilih orang yang terbaik. Sebagai penciptanva, Allah
pasti mengetahui, siapa orang terbaik di antara manusia yang
diciptakan-Nya.

Sebagaimana diketahui, keutamaan pilihan Allah tidak


menghalangi keutamaan usaha keras manusia. Bahkan, Dia
menamhahnya, dalam pengertian, sebelum dipilih, seorang
bahi hidup dalam kedamaian. Tidak ada seorang pun
memusuhi dan memeranginya. Tidak ada seorang pun berbuat
jahat kepadanya dan tidak pula mengejeknya. Sesudah Allah
memilihnya sebagai nabi, ia pun memasuki periode baru
dalam kehidupannya.

Setiap kekuatan jahat senantiasa menghadang seoràng


bahi, menyakiti jiwa, keluarga, akidah, dan pemikirannya.

74
Kemudian, usaha memusuhinya semakin bertambah sengit
dan meluas hingga mencapai skala yang dapat
mencelakannya. Sang bahi pun kehilangan kedamaiannya di
luar tugas kenabiannya. Namun, kedamaiannya dalam
menjalankan tugas kenabian semakin bertambah besar. Ia
benjalan dengan kekuatan dalam dirinya untuk berdakvah di
jalan Allah hingga menemukan apa yang telah ditetapkan
Allah baginya. Keutamaannya bertambah sesudah Allah
memilihnya sebagai seorang nabi . Kecenderungan hatinya
pada Allah menyebabkan dipilih sebagai nabi. Betapa berat
harga yang dibayarkan para nabi dan betapa besar
pengorbanan mereka demi kepentingan kita.

Sebelum diutus, para nabi telah ditempatkan dalam posisi


kesempurnaan. Tidak sedikit pun kesempurnaan itu lepas dari
dirinya. Sesudah diutus sebagai seorang nabi,
kesempurnaannya dalam kehidupan semakin meningkat jauh
lebih tinggi dan sama sekali tidak kita ketahui derajatnya.
Sebelum dan sesudah diutus, ia dipelihara oleh Allah dari
kesalahan itu. Namun, kesalahan seorang nabi berbada dari
kesalahan yang yang dilakukan manusia biasa seperti kita ini.
Dalam hal ini, dapat diberlakuakn hokum realitivitas dan
hukum perbedaan tingkatan. Kebaikan yang dilakuakan oleh

75
orang-orang awam yang berbuat baik (al-abrâr) adalah
keburukan yang dilakukan oleh orang-orang yang dekat
dengan Allah (al-muqarrabin). (Sebuah diktum yang terkenal
berbunyi: hasanat al-abrár sayyi’at al-muqarrabin peny).
Kebaikan orang-orang yang dekat dengan Allah
disempurnakan oleh para nabi. Dengan demikian,
persoalannya di sini hanyalah bersifat relatif.

Nabi Yunus, yang digelari Dzûn-Nûn, telah melakukan


kesalahan ketika beliau murka kepada kaumnya dan
meninggalkan mereka, karena mereka tidak mau menerima
petunjuk Allah. Kesalahan seperti ini jika dilakukan oleh
manusia biasa merupakan kebaikan yang diberi pahala karena
orang itu telah meninggalkan suatu katim yang berbuat
maksiat dan tidak mau diberi petunjuk. Demikianlah perintah
Allah kepada manusia selain nabi agar menjauhi orang-orang
yang berbuat maksiat.

Seorang nabi adalah bapak yang sebenarnya bagi umat


manusia. Diantara ajaran Allah kepadanya adalah bahwa
hendaknya seorang bapak tidak meninggalkan.anak-anaknya,
meskipun mereka berbuat kejahatan. Sifat kebapakan dalam
diri para nabi tetap menempati posisi tertinggi daripada harus

76
menunjukkan kemurkaan dan lebih tinggi daripada harus
meninggalkan kaumnya.

Suatu hari, Rasulullah saw. duduk di tengah orang-orang


terhormat di Makkah dan mengajak mereka kepada jalan
Allah. Beliau melakukan yang demikian ini demi kepentingan
Islam dan bukan demi kepentingan pribadi. Beliau selalu
berusaha keras agar berhasil dalam berdakwah dan tidak
berusaha demi kepentingan pribadi. Kemudian ‘Abdullâh bin
‘Umm Maktum. Ia adalah seorang buta dan miskin yang
masuk menemui beliau. Ia ingin bertanya tentang Islam dan
memohon agar dibersihkan pemahamannya tentang agama,
atau ingin memperoleh pelajaran yang bermanfaat dirinya.
Pada waktu itu, Nabi saw sedang sibuk berdakwah. ‘Abdullah
bin ‘Umm Maktum memilih waktu yang tidak tepat.

Nabi saw. bermuka masam dan memalingkan wajahnya.


Seandainya seorang awam yang paling bertakwa berbuat
demikian, yang demikian ini sebetulnya adalah perbuatan baik
yang beroleh pahala. Dalam segala hal, pasti ada
tingkatannya. Namun, itulah yang dilakukan Nabi
Muhammad, padahal beliau adalah, seorang rasul dan
sekaligus rahmat Allah bagi sekalian alam. Ada perbuatan

77
beliau yang ditegur oleh Allah dan diajarkan oleh-Nya. Tetapi,
ada juga penistiwa yang tidak diridhai Allah:

(Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena


telah datang Seorang buta kepadanya. Tahukah
barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dan dosa)
atau ia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran
itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang-orang
yang merasa dirinya serba cukup, kamu melayaninya.
Padahal, tidak ada (celaan) atasmu kalau ia
membersihkan diri (beriman). Adalah orang yang datang
kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan
pengajaran), sedang ia takut (kepada Allah), kamu
mengabaikannya. Sekali-kali , janganlah demikian!
Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu
peringatan. (QS 80:1-11).

Nabi saw. mengetahui bahwa hukum tingkat kebaikan ada


pada semua manusia, bukan hanya pada beliau saja. Beliau
berkewajiban mengajak para pembesan dan orang-orang
terhonmat. Pada saat yang sama, beliau juga harus membuka

78
hatinya bagi seorang buta dan hendaknya tidak memalingkan
pandangannya. Nabi saw. juga memahami bahwa seluruh
waktu dan usahanya hanya diperuntukkan bagi Allah, orang-
orang miskin, dan orang-orang yang tengah dalam kesusahan.
Begitulah beberapa kesalahan yang dilakukan oleh para nabi.
Diukur dengan parameter manusia, kesalahan-kesalahan itu
merupakan kebaikan. Akan tetapi, menurut parameter Allah,
ini merupakan suatu bentuk tersendiri dan akan mendapatkan
teguran tersendiri juga.

Nabi Muhammad bukanlah manusia biasa. Memang,


beliau adalah manusia juga. Namun, sesudah dipilih oleh
Allah, posisi beliau naik ke tingkat yang sulit dijangkau oleh
manusia biasa. Nabi tidak keluar dari sifat kemanusiaannya.
Masih tetap berlaku padanya sifat sedih, letih, membutuhkan
bantuan, dan kematian. Tetapi, beliau dianugerahi kemampuan
yang tidak dapat dilakukan oleh dan tidak diberikan kepada
manusia biasa. Beliau dibekali oleh Allah dengan berbagai
mukjizat.

Setiap nabi dianugerahi mukjizat yang berbeda-beda


sesuai dengan situasi dan zaman mereka. Mukjizat merupakan
dalil penetapan kenabian bagi seluruh nabi. Mukjizat adalah
sesuatu yang keluar dari berbagai ketentuan dalam kehidupan

79
dan alam semesta. Seseorang yang mengaku bahwa dirinya
adalah utusan Tuhan haruslah mampu mengemukakan bukti
atas pengakuannya itu. Misalnya saja, mukjizat Nabi Nuh
adalah bahwa beliau mampu meyeru kaumnya selama 950
tahun, dan kemudian dipertegas oleh Allah dengan topan.
Mukjizat Nabi Ibrahirn adalah bahwa hati beliau bersih dari
segala sesuatu selain Allah. Beliau merasa dingin sewaku
dibakar dalam api membara. Mukjizat Nabi Musâ adalah
tongkat yang mampu berubah menjadi ular yang sangat
perkasa. Mukjizat Nabi Isa adalah kemampuannya
menghidupkan orang mati. Sementara itu, mukjizat nabi
Muhammad adalah kitab dan akhlak, yaitu Alquran. Allah
berfirman :

Bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai


keteguhan hati (ûlû al-‘azm) dari rasul-rasul yang telah
bersabar …. (QS 46:35).

Sebagian ulama memahami bahwa kata ûlû al-‘azm mengacu


pada setiap rasul. Kalimat min dalam ayat dia atas berfungsi
untuk menerangkan jenis. Sebahagian ulama lainnya
berpendapat bahwa ûlû al-‘azm adalah lima orang rasul, yakni
Nûh, Ibrâhîm, Mûsâ, Isâ dan Muhammad. Dalam hal ini,
mereka berpijak pada firman Allah.

80
(Ingatlah) ketika kami mengambil perjanjian dari nabi-
nabi dan dari kamu (sendiri), Nûh, Ibrâhîm, Mûsâ, Isâ
putra Maryam; dan kami telah mengambil dai mereka
perjkanjian yang teguh (QS 33:7).

Dalam surat lain Allah berfirman :

Dia telah mensyariatkan bagi kalian tentang agama apa


yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang
telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami
wasiatkan kepada Ibrâhîm, Mûsâ, Isâ yakni “Tegakkanlah
agama dan janganlah kalian berpecah belah tentangnya
…(QS 33:7).

Allah telah mengutamakan sebagian rasul atas sebagian


lainnya, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nnya.

Rasul-rasul itu telah kami lebihkan sebagian dari mereka


atas sebagian yang lain. Diantara mereka, ada yang allah
berbicara langsung dengan dia dan sebagian lainnya
allah meninggikannya beberapa derajat. Kami berikan

81
kepada Isâ putera Maryam beberapa mukjizat serta Kami
perkuat dia dengan Rûh al-Quds …(QS 2:253).

Mayoritas ulama berpendapat bahwa nabi yang paling


utama adalah penutup para nabi, yakni Nabi Muhammad.
Inilah yang dimaksudkan dengan firman Allah :

…. Allah meninggikan sebagian dari mereka beberapa


derajat ... (QS 2:253).

Dalam hal ini, mereka menggunakan dalil firman Allah :

Tiadalah kami mengutus kamu melainkan untuk menjadi


rahmat bagi semesta alam (QS 21:107).

Dengan demikian rahmat yang bersifat umum dan mutlak


lebih baik daripada rahmat yang hanya bersifat khusus pada
masa tertentu. Rasulullah saw. Meletakkan kaidah umum yang
tidak menyiratkan adanya pengutamaan. Dalam hal ini, beliau
bersabda , “janganlah kalian mengistemewakan seseorang atas

82
yang lain”. Di antara nabi Allah .” beliau juga bersabda,”
janganlah kalian mengutamakan diriku atas Yûnûs bin Matâ.”

Maksud Rasulullah saw, dalam hal ini adalah bersikap


hormat kepada allah. Allah telah melebihkan sebagian rasul
atas sebagian lainnya berdasarkan pengetahuan-Nya ihwal diri
mereka masing-masing. Manusia yang tidak memiliki ilmu
allah hendaknya menghormati rasul-rasul-Nya secara
keseluruhan. Ucapannya mestilah didasarkan pada cinta,
penghormatan dan pengagungan secara keseluruhan

D. Iman Kepada Qadha Dan Qadar

A.Pengertian

Abdul Mudhaffar Ibnus Sam’ani1). berkata mengenai


qadla dan qadar ; “jalan mengetahui adanya qadla dan qadar
ialah : Al Qur-an dan sunnah, bukan logika dan akal. Maka
barang siapa yang tidak berpegang kepada Al Qur-an dan As
Sunnah, sesatlah ia dalam laut keheranan, tidak dapat
menemukan penawar yang menyejukkan mata,
menenteramkan jiwa. Karena qadar itu adalah suatu rahasia
dari pada rahasia-rahasia Allah, yang hanya Allah sendiri yang
1

1).
As-Sam’ani ialah : Abdul Mudhaffar Mansyur. Ibn Muhammad Ibn Abdul Jabar Ibn Ahmad Al
Marwazi As-Sam’ani At-Tamimi seorang ahli tafsir, masuk golongan ulama hadits. Lahir pada
tahun426 Hijrah, wafat pada tahun 489 Hijrah.

83
mengetahuinya. Nabi dan malaikat tidak dapat
mengetahuinya.

Perkataan ini sepintas lalu dapat dikatakan bertentangan


awalnya dengan akhirnya. Akan tetapi pertentangn itu hilang
sirna apabila kita mengetahui bahwa dikehendaki oleh awal
permulaan ketetapan ini ialah : “mengetahui apa yang
seharusnya kita ketahui mengenai qadla dan qadar ini”. Dan
dikehendaki dengan akhir ketetapan ini ialah : “apa yang
Allah telah tetapkan bagi setiap makhluknya”.

Ringkasnya, hendaklah kita cukupi dalam masalah ini


apa yang diterangkan dalam Al Qur-an dan As Sunnah, tidak
membahas lebih lanjut lagi : karena membahas lebih jauh
membawa kepada yang sebenarnya tidak dapat diketahui akal
manusia dan tidak pula kepadanya berpautan kebahagiaan
kehidupan manusia di dunia ini ataupun di akhirat nanti.

Sahabat-sahabat Rasulullah Saw telah mencukupi dengan


dalil-dalil yang diperoleh dari Al Qur-an dan As Sunnah.
Dengan berpegang kepada Al Qur-an dan As Sunnah, mereka
ummat menjadi yang disegani dan ditakuti. Keimanan mereka
kepada Qadar, sedikitpun tidak menghalangi mereka berusaha
untuk mencapai kemajuan dunia kebijakan akhirat. Bahkan

84
keimanannya kepada qadar, menambahkan keberanian mereka
dalam berjuang mengembangkan agama Allah.

1. Makna qadha Allah dan qadarnNya

Allah Swt berfirman :

“Dan di sisiNyalah kunci-kunci alam yang ghaib, tidak


diketahui melainkan oleh Dia sendiri, dan dia mengetahui
apa yang di daratan dan apa yang di lautan, dan tiada gugur
sehelai daunpun melainkan diketahuiNya, dan tiada bijian
dalam kegelapan-kegelapan bumi, tidak ada yang basah dan
tidak ada yang kering, melainkan termateri dalam kitab yang
nyata”.(ayat 22 S. 31 : Luqman)

“Dan Sesungguhnya Tuhanmu, benar-benar mengetahui apa


yang disembunyikan oleh dada-dadamu dan apa yang mereka
lahirkan. Dan tak ada sesuatupun yang ghaib di langit dan di
bumi, melainkan termateri dalam Kitab yang nyata”.(ayat
74, 75 S. 27 : An-Naml)

Sesungguhnya kami menghidupkan orang-orang yang


telah mati dan kami tulis apa yang telah mereka
kerjakan dan bekasan-bekasan mereka. Dan tiap-tiap
sesuatu kami telah hinggakannya dalam kitab Induk
yang nyata”.( ayat 12 S. 36 : Yasin)

85
“Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap
perempuan, dan kandungan rahim yang kurang
Sempurna dan yang bertambah. dan segala sesuatu pada
sisi-Nya ada ukurannya. Tuhan yang mengetahui yang
ghaib dan yang nyata, lagi Maha Tinggi”.(ayat 8, 9 S.
13 : Ar Ra’ad)

Ayat-ayat yang mulia ini menandaskan keluasan ilmu


Allah dan ilmuNya itu meliputi segala sesuatu, baik yang
nyata, maupun yang tersembunyi, baik yang telah ada maupun
yang belum terjadi, di bumi ataupun di langit satupun tak
dapat disembunyikan oleh tempat, ataupun oleh masa,
ataupun oleh sesuatu kejadian.

Ilmu yang semacam ini, itulah ilmu yang berpadanan


dengan zat Allah. Dan tak ada ilmuNya itu dikatakan
sesempurna-sempurna ilmu, terkecuali apabila akal mampu
lagi mensifatkan sesuatu ilmu yang lebih sempurna dari
padanya, sebagaimana akal tak dapat menggambarkan wujud
yang lebih tinggi dari wujudNya.

Allah Swt adalah Tuhan pencipta, yang menciptakan apa


yang dikehendakiNya. Tak ada sesuatupun yang terjadi dalam

86
kawaasan kekuasaannNya, terkecuali apa yang
dikehendakinya ; karena tak ada dalam wujud ini sesuatupun
atau seseorangpun yang menyamaiNya dalam martabat
wujudNya. Segala yang selainNya memperoleh wujud dari
padaNya.

Kalau demikian segala yang terjadi dalam kawasan


kekuasaan Allah, tentulah diketahuiNya sebelum terjadi sesuai
dengan yang dikehendakiNya. Tak ada perbedaan antara
gerakan-gerakan Cakrawala, turun hujan, tumbuh-tumbuhan
dan lain-lain, dengan pekerjaan-pekerjaan manusia, baik yang
terjadi dengan kemauan manusia sendiri ataupun bukan. Inilah
makna qadla Allah dan qadarNya.
2).
Thawus berkata, “Saya menemukan beberapa orang
sahabat Rasulullah mengatakan bahwasanya segala sesuatu
terjadi menurut qadarnya, dan saya mendengar Ibn Umar
mengatakan bahwasanya Rasulullah bersabda :

“Tiap-tiap sesuatu adalah menurut qadar, sehingga


kelemahan dan kecerdikan berada di dalam qadar Allah”.
22). Thawus ialah : Thawus Ibn Kaisan Al Khaulani Al-Hamdani, salah seorang tabi’ien besar, amat
dalam pengetahuannya dalam bidang fiqih dan hadits, Beliau tidak suka mendekatkan diri pada para
penguasa. Ibnu ‘Uyainah berkata : “tiga orang ulama besar tidak mau mendekati pada para penguasa,
yaitu : Abu Dzar, Thawus dan At-Tsauri. Wafat tahun 160 H. Baca : Tahzibut Tahdzib V : 8.

87
Berkata Al Hafidh dalam Fat-hul Barie setelah
mengemukakan hadits ini sebagai berikut : Maksudnya ialah
segala sesuatu yang terjadi di alam ini tidaklah terjadi,
malainkan telah diketahui Allah terlebih dahulu dan
dikehendakiNya.

Dan apa yang dikatakan Thawus ini, baik yang


diriwayatkan secara mauquf, maupun yang diriwayatkan
secara marfu’, adalah sesuai dengan firman Allah :

“Sesungguhnya telah Kami ciptakan tiap-tiap sesuatu


menurut qadar-nya”.

Maknanya ialah : segala sesuatu yang kami wujudkan,


kami wujudkan menurut qadar yang telah kami tentukan
baginya, baik sifat, maupun khasiat.

B.Qadar Tidak Dapat Bertukar-Tukar Dan Berganti-


Ganti

Apa yang Allah takdirkan di masa azali, akan terjadi


ya’ni diketahui dan dikehendaki akan terjadi, maka pasti akan
terjadi, maka pasti akan terjadi sesuati dengan ilmu Allah dan

88
iradatNya yang azali tanpa ada sedikitpun perubahan dan
penukaran.

Allah Swt berfirman :

“Sekiranya tak ada ketentuan yang telah terdahulu dari


pada Allah, benar-benarlah kamu disentuh terhadap apa
yang kamu ambil oleh adzab yang besar”.(ayat 68 S. 8 :
Al-Anfal)

“Dan demi Allah sungguh telah didustakan Rasul-rasul


sebelummu, maka mereka bersabar terhadap pendustaan
dan penganiayaan yang dilakukan terhadap mereka,
sampai datanglah pertolongan Kami kepada mereka,
dan tak ada seorangpun yang dapat merobah kalimat-
kalimat (janji-janji) Allah. Dan demi Allah telah datang
kepadamu sebahagian dari berita Rasul-rasul itu”.
1). 2).
Diriwayatkan dari Qatadah dan Al-Kalby ,
1

1).
Qatadah ialah : Qatadah Di’amah Ibn Qatadah Abul Khathab As-Saudi Al Basri seorang ahli tafsir
dan penghafal hadits. Imam Ahmad berkata : “Qatadah adalah seorang yang paling terkemuka dalam
menghafal hadits dari penduduk Bashrah dan Qatadah terkenal pula sebagai seorang ulama terkemuka
dalam bidang Arabiah Mufradat Lughah dan mengetahui pula tentang keturunan bangsa-bangsa Arab.
Lahir pada tahun 61 H. Wafat tahun 118 H.

22). Al-Kalby ialah : Muhammad Ibn Said al Kalby Abun-Nadlri, seorang ulama Tafsir dan sejarah
bangsa Arab. Beliau ini mempunyai sebuah kitab dalam bidang tafsir, tetapi dipandang lemah di
dalam bidang hadits. Wafat pada tahun 146 Hijrah.

89
bahwasanya yang dikehendaki dengan kalimat-kalimat Allah
dalam ayat ini ialah : mu’jizat yang Allah telah janjikan
kepada Nabi-nabiNya ya’ni : memberi pertolongan.

“Dan demi Allah sungguh telah terdahulu kalimat-


kalimat Kami bagi hamba-hamba Kami yang diutus,
sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang
mendapat pertolongan”.(ayat 171, 172 S. 37 : Ash-
Shaffat)

“Allah telah menetapkan : “Demi Allah, aku akan


mengalahkan mereka. Aku dan Rasul-rasulKu :
Sesungguhnya Allah senantiasa kuat lagi senantiasa
keras tuntutanNya”.(ayat 21 S. 58 : Al-Mujadalah)

Dikehendaki dengan telah berlalu kalimat Allah dalam


ayat pertama dan dengan telah ditetapkan Allah dalam ayat
kedua ialah : qadla Allah dan qadarNya. Dan andaikata terjadi
dalam alam ini apa yang Allah tidak ketahui dan tidak
dikehendaki pada azali, tentulah Allah menjadi Tuhan yang
tergagah. Kedua-duanya ini mustahil terhadap Allah.

Dan sangatlah keliru kita. Berhujjah untuk menetapkan


adanya perobahan qadar Allah dengan firman Allah :

“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan

90
menetapkan apa yang Dia kehendaki”.( ayat 39 S. 13 :
Ar-Ra’ad)

Karena yang dikehendaki dengan menghapuskan dan


menetapkan dalam ayat ini ialah : mewujudkan sesuatu dan
meniadakannya, atau menjadikan tiap-tiap umat Syari’at yang
munasabah dengan keadaan mereka, atau mengenai mu’jizat
Rasul, seperti : dingin api, tongkat menjadi ular, sembuh
orang yang buta dalam kandungan, sembuh penyakit supak
dan sebagainya. Dan seperti Allah menjadikan bagi setiap
Nabi Syari’at yang sesuai dengan masanya dan umatNya
menurut kehendak hikmat. Dan itu semuanya sesuai dengan
ilmu Allah dan masyi-ahNya ; karena Allah sendiri
mengatakan :

“Dan di sisiNyalah induk Al-Kitab”.(ayat 39 S. 13 : Ar-


Ra’ad)

Yakni : pokok pengetahuan bagi segala apa yang terjadi


sesuai dengan ilmuNya itu. Jelasnya, bukanlah penghapusan
itu terjadi pada apa yang termateri dalam ummul kitab. Kalau
itu yang dikehendaki tentulah dikatakan :

“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan


menetapkan apa yang dikehendaki dalam ummul kitab”.

91
C.Iman Kepada Qadar Adalah Salah Satu Dari Sendi
Agama

Iman kepada qadar, menurut arti yang telah diterangkan


adalah wajib, tidak sempurna iman tanpa iman kepada qadar.
Karena tanpa kita beriman kepada qadar, berarti kita tidak
mengakui kesempurnaan ilmu Allah dan iradatNya. Yang
demikian ini tidak layak dengan keagungan Allah dan
kebenaranNya. Ayat-ayat Al Qur-an menandaskan bahwa tak
ada sesuatupun yang terjadi di alam ini, melainkan apa yang
Allah kehendaki dan apa yang Allah ketahui. Orang yang
mengingkari qadar, berarti mendustakan ayat-ayat ini.

D.Faedah Iman Kepada Qadar

Kita beriman kepada qadla dan qadar, menghasilkan


faedah yang besar dalam kehidupan kita para mu’min. Allah
menciptakan manusia menyukai hidup, menggemari
kesedapan-kesedapannya, selalu berusaha menghasilkan
kemanfaatan bagi dirinya, tidak menyukai kesakitan, sangat
berkeluh kesah apabila bencana menimpainya.

Adanya yang demikian pada manusia, adalah salah satu


dari sebab kekurangannya dan sebab terhelanya kepada
kejahatan. Karenanya tiada layak bagi orang yang mengobati

92
jiwa manusia, melengahkan urusan perobatannya dan
melemahkan kemalaratannya. Jika tidak, suburlah pada
manusia tabi’at cinta diri dan mengutamakan diri sendiri dan
putuslah hubungannya dengan orang-orang yang ada di
sekitarnya, apabila dia memperoleh kebajikan, dan timbullah
keluh kesahnya dan lemahlah cita-citanya apabila dia ditimpai
bencana.

Orang yang berpendapat (beri’tiqad) bahwa dia


diserahkan kepada dirinya sendiri, segala kebajikan yang
diperolehnya hanyalah karena kepandaian dan kecakapannya,
tentulah dia terpedaya tentulah dia congkak dan angkuh, lalu
karenanyalah putuslah hubungannya dengan masyarakat, tidak
lagi bersyukur kepada Tuhannya. Orang yang ditimpa bencana
dengan anggapan bahwa hal itu dideritanya, lantaran semata-
mata kesalahannya, kekeliruannya, mungkin akan terlalu
menyesali dirinya, atau menjadi dendam kepada orang-orang
yang sekitarnya. Dia tidak menemukan sesuatu yang dapat
menghiburkan hatinya, lalu lemahlah ‘azimahnya. Dan
kadang-kadang dia beranggapan apabila bencana itu terus
menerus menimpanya, bahwa dia tidak mempunyai daya
menolak bencana, lalu timbullah putus asa, maka dia pun
menjadi nekad membunuh diri.

93
Maka jalan yang paling baik untuk memelihara manusia
dari pada pongah, congkak dan sombong, apabila dia
memperoleh kebajikan dan menghibur hatinya, apabila dia
ditimpa kesusahan, ialah iman, bahwa apa segala yang telah
terjadi adalah demikian takdir azali.

Mukmin yang percaya kepada qadla Allah dan qadarNya,


sangat jauh dri tabi’at dengki pemanas hati yang mendorong
kepada kejahatan, karena dia beranggapan bahwa mendengki
manusia terhadap nikmat-nikmat yang diperolehnya, berarti
dengki kepada ni’mat Allah ; dan dia menyukai bagi orang
lain apa yang dia sukai bagi dirinya sendiri. Dia berusaha
mencapai kebahagiaan melalui jalan yang telah digariskan
agama. Dia beramal dengan jiwa yang tenang dan berani,
serta berpegang kepada Allah sendiri dengan tetap memohon
taufiq dan inayah dari padaNya. Maka jika ia memperoleh apa
yang dia harapkan, dia memuji Allah dan mensyukuriNya
terhadap pemberian Allah kepadanya. Dan jika dia gagal,
tiadalah dia berkeluh kesah, tiadalah lemah ‘azimahnya dan
tiadalah menyerah kalah kepada kegundahan serta tidak
menaruh dendam kepada seorangpun.

Mu’min yang beriman kepada qadla dan qadarNya,


bersifat berani, tidak penakut ; karena dia ber’itiqad bahwa

94
tidak terjadi kesukaran atau kemudahan, kekayaan atau
kepapaan, hidup dan mati, melainkan dengan ketentuan Allah.
Orang itu bekerja dengan sebaik-baiknya. Dia tidak takut
melainkan kepad Allah. Dan dia tidak mengharap, melainkan
rahmat dan keridhaan Allah Swt.

E.Iman Kepada Qadar, Tidak Menghalangi Kita Dari


Beramal Dan Berusaha

Jelas sudah bahwasanya iman kepada qadar, tidak


menghalangi para mu’min dari menyelesaikan apa yang wajib
atas darinya, bahkan iman itu membangkit hikmah kerja dan
usaha.

Diriwayatkan oleh Al Bukhari dari Ali, bahwasanya Nabi Saw


bersabda :

“Tak ada seorangpun melainkan sungguh telah ditulis


tempat duduknya di dalam neraka atau di dalam syurga.
Maka seorang lelaki diantara orang ramai yang ada di
situ berkata : “Apakah kita tidak bertawaqal saja ya
Rasulullah?” Nabi menjawab : “Tidak, beramallah
kamu, maka semua orang dimudahkan bagi apa yang dia

95
diciptakan untuknya”.

Diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir Ra ujarnya :

“Suraqah datang kepada Rasul, lalu berkata : “Ya


Rasulullah apakah kita beramal pada hari ini, terhadap
apa yang telah ditulis qalam dan telah kering tintanya
dan apa yang telah berlaku qadar-qadarnya Allah,
ataukah terhadap apa yang kita hadapi? Nabi menjawab
: “Bahkan terhadap apa yang dituliskan qalam dan telah
kering tintanya dan terhadap apa yang telah berlaku
qadar”. Suraqah berkata : “Kalau demikian buat apa
kita beramal?

Nabi menjawab : “Beramallah, maka setiap orang


dimudahkan bagi apa yang telah diciptakannya”.
Kemudian Nabi pun membaca : “Maka adapun orang
yang memberi dan bertaqwa dan membenarkan adanya
pahala yang terbaik (syurga), maka kelak akan kami

96
mudahkan untuknya memperoleh jalan yang mudah. Dan
adapun orang yang kikir dan merasa berkecukupan dan
mendustakan apa yang paling indah, maka kami akan
memudahkan untuknya kesulitan (kesukaran). Maka
berkatalah orang ramai kepada sesamanya : “Kalau
demikian maka hendaklah kita bersungguh-sungguh.

Dalam sebahagian riwayat hadits ini disebutkan :

“(Maka) berkatalah Umar : “(Maka) terhadap apa yang


kita beramal kalau demikian? “Nabi Saw menjawab :
“Semua itu tidak akan dicapai melainkan dengan amal”.
Maka berkatalah Umar : “Kalau demikian kita akan
sungguh-sungguh beramal”.

Nabi Saw bersabda :

“Barang siapa Allah kehendaki dengan kebajikan,


niscaya Allah memberi pengertian yang dalam
kepadanya dalam agama. Hanya sanya ilmu itu
diperoleh dengan belajar dan pahaman yang mendalam
diperoleh dengan jalan bertafaquh”.

97
Dan bagaimana iman kepad qadar, memalingkan mu’min
dari berusaha, padahal qadar itu melengkapi sebab dan
musabbab. Orang yang ditaqdirkan syurga untuknya
umpamanya, ditaqdirkanlah baginya mengerjakan segala
amalan yang saleh yang menyebabkan dia menjadi penghuni
syurga.

Orang yang ditaqdirkan neraka untuknya, niscaya


ditakdirkanlah baginya mengerjakan kejahatan yang
menghelanya ke neraka. Maka sesuatu yang Allah taqdirkan,
Allah jadikan baginya sebab. Karenanya, mengatakan bahwa
beriman kepad qadla dan qadar berlawanan dengan usaha
menghasilkan sebab untuk mencapai kemanfa’atan, atau
untuk menghindari kemalaratan, adalah perkataan yang tidak
berdalil. Dalil menunjukkan kepada kebaikannya. Allah yang
menentukan qadar bagi masing-masing kita, menentukan ajal
kita dan apa yang kita hadapi, menyuruh kita beramal,
berusaha mencari rezeki.

“Dialah yang menjadikan bumi ini, mudah bagi kamu,


Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah
sebahagian dari rezki-Nya. dan Hanya kepada-Nya-lah
kamu kembali”.(ayat 15 S. 67 : Al- Mulk)

98
Allah menyuruh kita mencari obat diwaktu kita sakit,
Rasu Saw bersabda:

Berobatlah kamu wahai hamba Allah, karena


sesungguhnya Allah tidak meletakkan sesuatu penyakit,
melainkan Allah meletakkan penawar baginya, kecuali
satu penyakit saja, yaitu tua”.

Allah melarang kita lari dari medan pertempuran dikala


menghadapi orang kafir. Allah melarang kita membiarkan diri
tersungkur ke dalam kebinasaan.

“Dan janganlah kamu mencampakkan diri-dirimu ke


dalam kebinasaan”. (ayat 195 S. 2 : Al-Baqarah)

“Hai orang-orang yang telah beriman, bersiagalah


(pakailah senjata-senjatamu)”.(ayat 71 S. 4 : An- Nisa’)

Maka orang yang mengabaikan yang demikian adalah


orang yang berpaling dari agama dan mengikuti orang yang
sesat.

F. Tak Boleh Beralasan Dengan Qadar Untuk


Meninggalkan Usaha

Segala sesuatu sesudah berwujudnya dan segala

99
pekerjaan sesudah terjadinya, adalah merupakan dalil yang
menunjukkan bahwasanya Allah Swt telah mengetahui dan
telah berlaku kehendakNya. Adapun sebelum berwujudnya
dan terjadinya, maka itu merupakan suatu rahasia dari pada
rahasia-rahasia Allah yang berkeinginan akan mengerjakan
sesuatu, tidak dapat dia mengatakan, bahwasanya dia
berkeinginan mengerjakan sesuatu itu, karena Allah telah
mentaqdirkan kejadiannya lantaran ‘illat yang membangkit
dia mengerjakannya tentulah telah ada pada si pekerja
sebelumnya dia mau mengerjakannya, karena ‘illat itulah
yang membangkitkannya dari tidur untuk menunaikan tugas,
dan bagaimana manusia mengetahui apa yang ditakdirkan
baginya, padahal Allah telah menyembunyikan kepada
seutama-utama makhluqnya Nabi Saw.

Allah menyuruh NabiNya berkata :

“Sekiranya aku mengetahui ilmu ghaib, benar-benar


aku mengerjakan kebajikan sebanyak-banyaknya dan
tiadalah aku disentuh oelh sesuatu bencana”.(188 S. 7 :
Al-A’raf).

Dan kerap kali bermaksud mengerjakan sesuatu. Lalu


timbul yang menghalangi, yang tak dapat kita menolaknya.

100
Maka betapa kita mengatakan dikala iradat kita menuju
kepada sesuatu amal, bahwasanya iradat itu menuju kepada
apa yang Allah telah menghendaki terjadinya. Dapatlah kita
mengatakan dikala bertemu dengan teman kita secara
kebetulan, bahwa kita sengaja menemuinya? Apa kita
dipandang benar kalau kita mengat demikian? Tidak, tidak
dipandang benar, karena kita berjumpa dengan teman kita itu,
bukan digerakkan oleh keinginan menjumpainya.

Memang kita tidak dapat berhujjah (beralasan) dengan


qadar terhadap sesuatu pekerjaan yang kita mengerjakannya
dan tidak pula terhadap sesuatu pekerjaan yang kita
tinggalkannya. Oleh karena itulah Al Qur-an mencela orang-
orang musyrikin yang beralasan dengan qadar untuk tetap
berpegang teguh kepada syirik. Dan Tuhan menempelak
orang-orang yang beralasa dengan qadar untuk nekad
mengerjakan sesuatu kejahatan, atau meninggalkan sesuatu
kebajikan.

Al Qur-an bukan mencela orang-orang musyrikin


lantaran Allah telah berkehendak supaya mereka menjadi
musyrik, tetapi Al Qur-an mencela mereka, lantaran mereka

101
tetap dalam syirik dengan alasan telah ditaqdirkan demikian.

Pada suatu malam Nabi datang ke rumah Ali, lalu


bertanya, “Apakah kamu telah bersembahyang?” Ali
menjawab, “Ya Rasulullah, diri-diri kami berada di tangan
Allah. Apabila Allah menghendaki, tentulah kami
dibangunkan”. Nabipun kembali tanpa mengatakan apa-apa.
Kemudian sambil Nabi kembali, Nabi memukul pahanya serta
mengatakan.

“Dan adalah manusia paling banyak debatannya”.

Rasul Saw ketika mendengar Ali, beralasan dengan qadar


untuk meninggalkan sesuatu yang disukai, Nabi merasa tidak
senang dan pergi sambil memukul pahanya, karena bersedih
hati. Demikianlah dinukilkan oleh Ibnu Hajr dari Ibnu Tien.
Nabi bermaksud supaya Ali menyandarkan kesalahan itu
kepada dirinya. Inilah pendapat yang paling kuat dalam kita
menanggapi perbuatan Rasul memukul paha itu.

Diriwayatkan oleh Al Bukhari bahwasanya ‘Umar dikala


pergi ke Syam beliau bertemu dengan para komandan perang.
Mereka mengkabarkan kepadanya bahwa di Syam sedang

102
berkecamuk penyakit tha-un. Maka ‘Umar menanyakan
pendapat para muhajirin dan para Anshar tentang sikap apa
yang harus diambil. Para Muhajirin sepakat untuk kembali
saja ke Madinah. Diketika ‘Umar memerintahkan para
jama’ah untuk kembali, Abu Ubaidah berkata : “Apakah kita
lari dari qadar Allah? ‘Umar menjawab : “Mudah-mudahan
orang lain dari pada yang mengatakan demikian.

Benar, kita lari dari pada qadar Allah kepada qadar Allah.
Bagaimana pendapat engkau kalau engkau mempunyai
sejumalah unta yang digembala di dua lembah. Yang sebuah
subur dan sebuah lagi kering, tidak mempunyai tumbuh-
tumbuhan. Bukanlah masing-masing engkau
mengembalakannya dengan qadar Allah. Abu ‘Ubadiah
beralasan dengan qadar untuk tidak lari dari tha’un. Abu
‘Ubaidah tidak membedakan antara sifat kebenarannya
dengan sifat menjerumuskan diri ke dalam kancah kebinasaan.

pernah dibawa kepada ‘Umar seorang pencuri. ‘Umar


menanyakan kepada pencuri itu : “Apa yang mendorong
engkau mencuri?” Pencuri menjawab : “Sudah demikian
qadar Allah”. Maka karenanya ‘Umar mencambuk si pencuri
itu tiga puluh kali, kemudian baru memotong tangannya.
‘Umar berkata : “Aku mencambuk engkau lantaran engkau

103
berdusta kepada Allah dan aku potong tanganmu engkau
mencuri”.

Jelas dan tegas bahwa kita tidak boleh beralasan dengan


qadar untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan jahat. Dalam pada
itu apabila kita ditimpai bencana, maka boleh untuk
menghibur. Hati kita mengatakan : “Demikian ketetapan
Allah”. Karena yang demikian ini bukan beralasan dengan
qadar, hanya kembali menyerahkan diri kepada Allah, Tuhan
yang maha kuasa dan maha berkehendak.

G. Rahasia Disembunyikan Qadar Dari Kita


Manusia

Hikmah Allah dalam menciptakan manusia,


menghendaki manusia itu tidak mengetahui segala sesuatu
dan tidak pula tidak mengetahui segala sesuatu. Allah
mengajarkan kepada manusia apa yang diperlukan manusia
untuk hidup di dunia ini. Yaitu hal-hal yang dapat
mendatangkan kebajikan bagi agamanya dan dunianya,
‘aqidahnya dan amalannya.

Allah memberikan kepada manusia kesanggupan


memahami apa yang Allah bentangkan di alam cakrawala ini,

104
yang menunjukkan kepada wujud Allah dan kesempurnaan
sifatNya dan Allah menunjuki manusia kepada atuaran-aturan
kebenaran, keadilan dan kebajikan dengan perantaraan
RasulNya. Allah memberikan pula hidayat akal dan fitrah
yang dengan hidayat ini manusia mengetahui jalan-jalan
memperoleh penghidupan, bercocok tanam, berdagang,
bertukang, berburu, menangkap ikan dan sebagainya.

Kemudian Allah menyembunyikan dari manusia segala


yang selain dari itu, yakni yang tidak sanggup dijangkau oleh
fitrahnya seperti mengetahui apa yang akan terjadi atau apa
yang telah ada di atas langit, atau apa yang ada di bawah
bumi, atau sesuatu yang tersirat di dalam dada manusia dan di
dalam rahim ibu dan se59gala yang diqadarkan untuknya,
baik rezeqi ataupun ajal.

Dengan demikian manusia mengetahui qadar dirinya dan


kedudukannya diantara yang maujud itu. Dan berjalanlah
manusia di dalam dunia ini menurut cara yang Allah tentukan
baginya. Allah telah berkehendak mengikat sebab dengan
musabbabnya dan mengistimewakan manusia dengan
makhluk yang lain dengan jalan memberikan manusia
kehendak yang membangkit manusia kepada keberanian
maju, atau mundur yang diarahkan oleh akal yang dapat

105
membedakan antara yang baik dengan yang buruk, agar
dapatlah manusia itu dipuji atau dicela, diberikan pahala atau
siksa.

Sekiranya manusia mengetahui apa yang Allah ketahui,


apa yang akan dihadapi, senang, susah, kebahagiaan dan
kecelakaan, tentulah dia tidak akan memikir sesuatu yang
tidak mendatangkan kemanfa’atan baginya, atau yang
menolak kemudharatan dan tentulah manusia tidak
mengusahakan sebab-sebab yang menyampaikannya kepada
sebab-musabbab, lalu hilanglah guna akal itu dan lenyaplah
daya idarat serta rusaklah qaidah sebab musabbab (akibat).

Andaikata kita mengetahui kapan kita akan meninggal


atau kita gugur dalam ujian, tentulah sepanjang masa kita
akan berbimbang fikiran dengan masalah-masalah itu.

Diriwayatkan oleh Al Bukhari dari bahwasanya Rasul


Saw bersabda :

106
“Sesungguhnya Allah telah menciptakan rahmat dihari
Allah menciptakan seratus rahmat, lalu Allah menahan
di sisiNya sembilan puluh sembilan rahmat, dan
melepaskan satu rahmat saja. Maka jikalau orang kafir
mengetahui segala rahmat yang ada di sisi Allah,
tentulah dia tidak putus asa dari pada memperoleh
syurga. Dan sekiranya para mu’min mengetahui segala
azab yang ada di sisi Allah, tentulah dia tidak akan
merasa aman dari api neraka”.

Maka kebajikan manusia ini selama dia masih hidup,


adalah pada dia mengetahui, bahwasanya pekerjaannya
mempunyai pengaruh dalam menentukan akibatnya tanpa
perlu dia mengetahui apa akibat itu dan bagaimana
kesudahannya. Dengan demikian, manusia terus bekerja
mencari kebajikan dan menjauhi kejahatan ; thamak kepada
rahmat Allah, takut kepada azabNya.

Abu ‘Utsman Al-Jizi. berkata :

“Diantara tanda kebahagiaan ialah engkau mengerjakan


ta’at dan engkau takut tidak diterima apa yang engkau
kerjakan itu. Dan diantara tanda
kecelakaan ialah engkau durhaka kepada Allah (membuat

107
ma’siat) dan engkau mengharap terlepas dari ‘azab”.

H. Larangan Memperkatakan Qadar

Agama Islam datang untuk memperbaiki jiwa manusia


dengan menanam ‘aqidah-‘aqidah yang benar dan
memperbaiki usaha-usaha anggota serta mengarahkan
manusia kepada mengerjakan kebajikan dan menakutkan
mereka dari mengerjakan kejahatan. Maka segala pembahasan
yang tidak menjadi jalan (madia) untuk mencapai kedua-dua
perbuatan itu, atau salah satunya, tentulah dipandang sia-sia.
Dan agama telah menerangkan (mengajarkan) urusan qadla
dan qadar dengan cara yang dapat menimbulkan ‘aqidah yang
benar dan membawa manusia kepada kebajikan usaha, serta
membelakangi segala yang lain dari itu.

Allah mengetahui dengan sempurna apa yang telah ada


dan apa yang akan ada. Allah yang menghendaki segala apa
yang terjadi di alam ini. Allahlah tempat kembali segala
kekuatan, baik yang lahir maupun yang batin. Manusia akan
diminta pertanggung jawabnya tentang segala gerak geriknya
di hadapan Allah.

Mengenai betapa sesuatu itu terjadi dari manusia dengan


ikhtiarnya sesuai dengan ilmu Allah dan iradatNya yang azali,

108
atau betapa Allah mengetahui sedari azali pekerjaan yang
akan terjadi dari manusia dengan iradat manusia yang
merdeka, maka hal itu adalah yang tidak diperkatakan, karena
membahasnya tak ada gunanya ; tak dapat akal mencapainya.
Lantaran itulah menurut hadits yang diriwayatkan oleh Ath-
Thabrani dengan sanadnya yang hasan, Nabi Saw bersabda :

“Apabila diperkatakan soal qadar, maka janganlah


kamu turut memperkatakannya”.

Diriwayatkan oleh At-Turmudzi dari Abu Hurairah,


bahwasanya Abu Hurairah berkata : “pada suatu hari
Rasulullah datang kepada kami, sedang kami lagi bertengkar
(berdebat) tentang hal qadar. Maka marahlah Nabi sehingga
merah padam mukanya, kemudian beliau berkata:”

“Apakah dengan ini kamu diperintahkan? Apakah


dengan ini aku diutus kepadamu? Hanya sanya orang-
orang binasa sebelum mu adalah diketika mereka

109
mempertengkarkan masalah ini. Saya menakan
kepadamu supaya kamu tidak mempertengkarkan
masalah ini”.

Allah mengokohkan larangan ini. Atas dasar inilah ruh


Islam menjadi ruh ‘amaliyah, lebih banyak daripada ruh
nadhariyah lebih banyak merupakan pendorong kepada hal
yang praktis daripada mendorong aneka teori. Para muslimin
terus menuju kepada kebajikan, tidak menyibukkan dirinya
dengan pekerjaan yang tidak berguna.

110
BAB III
POKOK MANFAAT DAN PENGARUH IMAN
PADA KEHIDUPAN MANUSIA

A. Iman Melenyapkan Kepercayaan Kepada Kekuasaan


Benda

Orang-orang beriman hanya prcaya kepada kekuatan dan


kekuasaan allah.kepercayaan dan keyakinan yang demikian
memberikan sikap mendewa-dewakan manusia yang
kebetulan sedang memegang kekuasaan;menghilangkan
kepercayaan kepeda ,kesaktian benda-benda keramat,jampi-
jampi dan sebagainya.

B.Iman Menanamkan Semangat Berani Menghadapi


Maut

Orang yang beriman yakin sepenuhnya bahwa kematian itu


ditangan allah Firman allah:

111
“Dimana saja kamu berada,kematian akan datang
mendapatkan Kamu kendatipun kamu dalam benteng yang
tinggi lagi kokoh”. (An-nisaa,4:78)

C.Iman Menanamkan Sikap “Self Help” Dalam


Kehidupan

Rezki atau mata pncaharian memegang peranan penting


dalam kehidupan manusia.banyak orang yang melepaskan
pendiriannya karena kepentingan penghidupannya. Firman
allah:

“Dan tidak ada satu binatang melatapun di bumi melainkan


allah lah yang memberi rezekinya,dandia mengetahui tempat
berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya (lauh
mahfud)”.(hud,11;6)

D.Iman Memberikan Ketentraman Jiwa

Acapkali manusia dilanda resah dan duka cita,digoncang


oleh keraguan dan kebimbangan.orang beriman mempunyai
keseimbangan,hatinya tentram(mutmainnah),jiwanya
tenang(sakinah).

E.Iman Mewujudkan Kehidupan Yang Baik(Hayatan


Tayibah)

112
kehidupan yang baik ialah kehidupan oran-
orangyangselalu melakukan kebaikan,mengerjakan perbuatan-
perbuatan yang baik

F. Iman Melakukan Sikap Ikhlas Dan Konsekuen

iman memberikan pengaruh kepada seseorang untuk


selalu berbuat dengan ikhlas,tanpa pamrih.orang yang
beriman akan senang tiasa konsekuen dengan apayang telah
diikrarkanya,baik dengan lidahnya maupun dengan hatinya

G. Iman Memberikan Keberutungan

Orang yang beriman akan selalu berjalan pada arah yang


benar karena allah membimbing dan mengerahkanya kepada
tujuan hidup yang hakiki.dengan demikian orang yang
beriman adalah orang yang beruntung dalam hidupnya.

113
BAB IV
PENYEBAB NAIK TURUNNYA IMAN

Sebagaimana iman mempunyai penyebab yang menaikkan


dan mengembangkannya, begitupula iman mempunyai
penyebab yang menurunkan dan melemahkannya.
Sebagaimana dibutuhkan oleh seorang muslim untuk bersikap
waspada kepada penyebab naiknya imannya, dalam rangka
untuk menerapkan penyebab tersebut dalam kehidupannya,

114
begitu juga, dia dituntut untuk mengetahui faktor-faktor
penyebab menurunnya keimanannya, sehingga dengan begitu
dia bisa menghindarinya. Kewajiban ini memancar dan sudut
pandang yang ditemukan di dalam sebuah peribahasa berikut :

“Aku mempelajari kejahatan, tidaklah untuk menjadi


jahat. Tapi untuk menjaga diri melawan kejahatan itu. . . bagi
siapa saja di antara manusia yang tidak waspada atas
kejahatan, maka diri akan jatuh ke dalamnya.”

Lebih lagi, itu telah ditetapkan dalam shahihain dan


Hudzaifah bin Yaman, ra., bahwa dia berkata: “Para sahabat
terbiasa untuk bertanya kepada Rasulullah saw. mengenai
kebaikan dan saya terbiasa bertanya kepada beliau mengenai
kejahatan dalam ketakutan hal itu akan menyedihkan aku”.

Ibnul Qayyim al Jauziyyah berkata : “Menjadi


berpengalaman terhadap kejaha tan akan memiliki
kewaspadaan melawan kejatuhan ke dalam kejahatan itu”.

Kemudian, belajar mengenai penyebab dibalik penurunan


iman seseorang dan menjadi waspada kepada faktor-faktor
yang melemahkannya dan tentang bagaimana menjaga
keselamatan seseorang dan faktor-faktor itu, adalah hal yang
sangat penting yang harus diperhatikan. Kenyataannya,

115
mendapat ilmu mengenai penyebab-penyebab penurunan ini
tidak kurang pentingnya daripada mempelajari penyebab
kenaikan iman seseorang.

Syaikh Muhammad al-Ustaimin menyatakan “Penurunan


iman, mempunyai banyak alasan “, dia kemudian
menyebutkan beberapa hal, salah satunya : “meninggalkan
kepatuhan, bisa menurunkan iman.” Penurunan ini akan
sesuai dengan amal shaleh tertentu yang ditinggalkan,
semakin berarti dan utama amalan tersebut, maka semakin
besar penurunan yang dihasilkan akibat tidak melakukannya.
Hal itu mungkin saja bahwa iman menghilang secara
keseluruhan, seperti dalam meninggalkan shalat.

Hal ini ditunjukkan dengan firman Allah :

“Sesungguhnya, beruntunglah orang-orang yang


mensucikan jiwa itu, dan merugilah orang-orang yang
mengotorinya.” (asy-Syams 91 : 9 - 10)

Naskah Al-Qur’an yang mulia ini menunjukkan


pentingnya kepatuhan dan pemeliharaan dan bahwa ini idalah
salah satu dan alasan terbesar bagi pemurnian jiwa.
Sebaliknya, hal itu juga menunjukkan bahayanya melalaikan
kewajiban untuk patuh dan jatuh ke dalam ketidakpatuhan dan

116
bahwa ini adalah salah satu alasan terbesar bagi kegagalan
dan kehilangan iman.

Ibnu Jarir ath Thabari, rahimahullah, menyebutkan dalam


Tafsirnya.

“Beliau berkata: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang


mensucikannya”

“Allah berfirman bahwa sesungguhnya, beruntunglah


orang-orang yang mensucikan jiwanya; sehingga dia
mensucikannya dari kekufuran dan ketidak patuhan dan dia
memperbaiki jiwanya melalui amal-amal shaleh....”

Ath-Thabari kemudian meriwayatkan dan Salaf beberapa


pernyataan yang mendukung hal ini : Dia meriwayatkan dari
Qatadah, “Barangsiapa yang berbuat baik, mensucikan
jiwanya dengan berlaku taat kepada Allah.”

Ath-Thabari juga meriwayatkan darinya, “Sesungguhnya,


beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya dengan amal
kebajikan.”

Dia meriwayatkan dari Ibnu Zaid, bahwa dia


berkata,”Beruntunglah, orang yang Allah telah mensucikan
jiwanya “.

117
Dia meriwayatkan dari Mujahid, Sa’id bin Jubair dan
Ikrimah, “Sesungguhnya, beruntunglah dia yang mensucikan
jiwanya. “ Mereka mengatakan: “Barangsiapa yang
membersihkan,,, jiwanya. “

Ibnul Qayyim menceritakan bahwa Hasan al-Bashri


berkata: “Beruntunglah dia, yang mensucikan jiwanya
dengan membersihkannya dan mengarahkannya kepada
ketaatan kepada Allah dan merugilah dia, yang meruntuhkan
dan mengotori jiwanya dan mengarahkannya kepada
ketidakpatuhan kepaila Allah.”

Dia juga memindahkan dari Ibnu Qutaybah bahwa dia


berkata : “Itu berarti, beruntunglah dia, yang mensucikan
jiwanya, yakni yang memperbaikinya dan meninggikannya
dengan kepatuhan, kebajikan, kebenaran dan mengerjakan
perbuatan yang baik-baik.. “

Seperti firman Allah:

“dan sesungguhnya, merugilah dia yang mengotorinya


(jiwanya)”(Asy-Syams 91: 10)

Ibnu Jarir menyatakan : Allah swt. berfirman : “dan


merugilah dia dalam permohonannya, orang yang mengotori
jiwanya tidaklah mendapat kebajikan yang dia cari, yakni

118
Allah mengotorinya dengan melalaikan dan mengabaikannya,
dengan membiarkan jiwanya tanpa petunjuk sampai dia
berbuat dosa dan meninggalkan ketaatan kepada Allah.”

Kemudian beliau menceritakan sebuah riwayat dari


Mujahid, bahwa dia berkata : “dan sesungguhnya, gagallah
dia yang mengotorinya”, yakni tertipu. Dia menceritakan
Qatadah: ‘yakni menyebabkan berdosa dan menyesatkan itu”.

Ibnul Qayyim berkata : “yakni, dia mengurangi dan


menyembunyikan itu dengan meninggalkan amal-amal shaleh
dan melakukan ketidaktaatan. Orang yang tidak bermoral
adalah selalu di dalam tempat tersembunyi, mempunyai
tingkah laku buruk yang sudah kronis, orang-orang yang
tersembunyi dan mempunyai kepala yang lebih rendah; orang
yang melakukan perbuatan tidak senonoh dan hina yang
sesungguhnya merusak dan menindas jiwanya.”

Kemudian, siapa saja yang mensucikannya dengan


melakukan perintah-Nya dan menghindari larangan-Nya
sesungguhnya telah beruntung dan barangsiapa yang
mengotori jiwanya dengan meninggalkan perintah-Nya dan
melakukan perbuatan terlarang, sesungguhnya telah rugi dan
gagal.

119
Mengenai penyebab turunnya iman dan faktor yang
melemahkannya, ada banyak dan jenisnya. Bagaimanapun
juga, secara umum, mereka terbagi ke dalam 2 kategori dan
sejum1ah faktor terletak dibawah masing-masing kategori,
yaitu penyebab dari dalam dan dari luar diri seseorang.

A. PENYEBAB DARI DALAM

Sebagai kategori pertama, ini berisi penyebab dari dalam


atau faktor yang tidak dapat dipisahkan, yakni menimbulkan
dampak kepada menurunnya iman. Ada banyak faktor sebagai
berikut:

1. Kebodohan

Ini adalah salah satu sebab yang terbesar bagi turunnyn


iman, sebagaimana ilmu adalah salah satu penyebab terbesar
bagi naiknya iman. Seorang Muslim yang berilmu tidak
mengutamakan cinta dan perbuatan hal-hal yang
merugikannya dan menyebabkan sakit dirinya daripada
perbuatan yang membawa keuntungannya, keberhasilan dan
kebersihan lahir batinnya.

120
Orang yang bodoh bahkan sebaliknya, karena perbuatan
kebodohan yang melampaui batas yang ia kerjakan dan karena
kurangnya ilmu, dia mungkin lebih mengutamakan kepada
hal-hal yang membawa kepada kerugiannya. Hal ini karena
ukuran dalam dirinya telah berubah dan atas ke bawah dan
juga karena sudut pandangan yang lemah.

Ilmu terletak pada akar semua kebaikan dan kebodohan


terletak pada akar semua kejahatan.

Alasan utama dari cinta kepada penindasan, langgaran dan


melakukan perbuatan hina dan melakukan perbuatan tidak sah
lainnya adalah kebodohan dan kejahatan ilmu, atau kejahatan
niat dalam hati, dan kejahatan niat kembali kepada kejahatan
ilmu. Dan sini, kebodohan dan kejahatan ilmu adalah
penyebab utama dari kejahatan perbuatan dan kelemahan
iman.

Ibnul Qayyim menulis : “Telah dinyatakan bahwa


kejahatan niat disebabkan kejahatan ilmu. Dan, bila orang
benar-benar tahu tentang kerugian dan dampaknya pada
perbuatan yang merugikan, ia tidak akan mengutamakan itu.
Inilah mengapa ketika seseorang mempunyai pengetahuan
bahwa keinginan tertentu dan makanan lezat tertentu

121
mengandung bahaya dan tacun, dia tidak akan berani
mendekatinya.”

Kehadiran iman menjadi kesesuaian dengan setiap


tindakan. Seseorang yang mempunyai iman yang benar
mnengenai Neraka yang seakan-akan ia melihatnya, tentu
tidak akan mengambil jalan yang mengarah kepadanya.
Begitu juga dengan orang yang telah mengimani adanya
surga, tentulah dia tidak akan menahan diri dan mencarinya.

Ini adalah masalah yang seorang manusia bisa melihat


dalam dirinya sendiri tentang manfaat yang dia usahakan atau
kerugian yang dia jalankan di dalam dunia ini.

Dari sini, jiwa akan menemukan mana yang akan


melukainya dan tidak menguntungkannya akibat
kebodohannya atas dampak yang merugikan.

Dalam hal ini seseorang yang meneliti A1-Qur’anul


Karim, akan menemukan indikasi yang jelas bahwa
kebodohan adalah penyebab dari dosa dan ketidakpatuhan.

Allah berfirman:

“....Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan


(berhala) sebagai mana mereka mempunyai beberapa tuhan

122
(berhala),”Musa menjawab. “Sesungguhnya kamu ini adalah
kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Thhan)” (al-A’raaf
7: 138)

“Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada


kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah
(hina, keji seperti homo seks, lesbian) itu sedang kamu
melihat (nya)?. Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk
(memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita?
Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui
(akibat perbuatanmu)” (an-Naml 27 : 54-55)

“Katakanlah: “Maka apakah kamu menyuruh aku


menyembah selain Allah, hai orang-orang yang tidak
berpengetahuan?” (.az-Zumar 39 : 64)

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah


kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang
Jahiliyah yang dahulu...” (al-Ahzab 33 : 33)

Sebagai tambahan, ada teks lain yang seperti ini, yang


mana menunjukkan bahwa alasan terbesar bagi syirik, kufur,
tidak adil, dan melakukan perbuatan dosa serta orang yang
terjatuh ke dalamnya, adalah bodoh kepada Allah, nama-
nama-Nya, sifat-sifat-Nya dan pahala serta hukuman-Nya.

123
Untuk alasan ini, siapa saja yang tidak mematuhi Allah
dan melakukan beberapa bentuk dosa adalah orang yang
bodoh, sebagaimana pemahaman para Salaf dalam penjelasan
firman-Nya:

“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi


orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan,
yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka
mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (an-Nisaa’ 4: 17)

“…Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih


sayang (yaitu) bahwasanya barangsiapa yang berbuat
kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia
bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan
perbaikan, maka sesungguhnya. Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang” (al-An’aam 6: 54)

“Kemudian, sesungguhnya Tuhanmu (mengampuni,) bagi


orang-orang yang mengerjakan kesalahan karena
kebodohannya, kemudian mereka bertaubat sesudah itu dan
memperbaiki (dirinya), sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu
benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (an-
Nahi 16: 119)

124
Arti daripada “. .kebodohan...” dalam ayat ini adalah di
luar dan kebodohan si pelaku terhadap akibat perbuatannya
berupa kemarahan dan hukuman Allah. Itulah kebodohannya
secara nyata yang Allah lihat dan amali padanya dan
kebodohan daripada penurunan iman yang kembali padanya
atau kehilangan iman sepenuhnya.

Kemudian, setiap orang yang tidak patuh pada Allah, dia


adalah bodoh bahkan bila dia waspada terhadap larangan.
Sesungguhnya, mempunyai ilmu tentang larangan (hal yang
haram) adalah suatu keadaan agar diperhatikan adanya
ketidakpatuhan dan dapat dihukum.”

Sejumlah Salaf memberikan jenis pemahaman ini mengenai


ayat tersebut ath-Thabari meriwayatkan beberapa laporan ini
dalam tafsirnya. Dia meriwayatkan bahwa Abu al-Aaliyah
biasa menyebutkan, bahwa para sahabat terbiasa berkata:

“setiap dosa yang dilakukan seorang hamba pastilah


menyusahkan dan inilah kebodohan.”

Qatadah meriwayatkan : “para sahabat menyimpulkan


bahwa segala sesuatu ketidakpatuhan kepada Allah adalah
kebodohan, apakah dengan sengaja atau tidak.”

125
Mujahid berkata: “Setiap orang yang tidak patuh kepada
Tuhannya, dia adalah orang yang bodoh, sampai dia kembali
dan kebodohannya itu.”

Mujahid juga berkata : “setiap orang yang melakukan


ketidakpatuhan kepada Allah, itulah kebodohan atas
namanya sampai dia meninggalkan ketidakpatuhannya.”

As-Siddi menyatakan: “Selama dia tidak mematuhi Allah,


maka dia adalah orang yang bodoh.”

Ibnu Zaid berkata: “Setiap orang yang melakukan


beberapa bentuk ketidakpatuhan kepada Allah, maka dia
akan selalu menjadi orang bodoh sampai dia menarik
kembali dirinya dari hal itu.”

Dan sini, kebodohan adalah sebuah penyakit yang


berbahaya dan keburukan yang menyebabkan kematian.
Kebodohan menyebabkan banyak manusia menjadi celaka.
Bila penyakit ini memerintah dan mendominasi seorang
manusia, ia akan tenggelam ke dalam kegelapan
ketidakpatuhan dan dosa-dosa, penyimpangan dari jalan yang
lurus dan memberi jalan kepada kesalahan pandangan dan
hawa nafsu. Kecuali rahmat dan Allah memasuki dan
memperbaiki dia dengan bantuan hati, cahaya pandangan dan

126
kunci kepada semua kebaikan. Tidak ada obat lain untuk
penyakit ini kecuali ilmu Allah. Penyakit ini tidak akan
berpisah dari orangnya kecuali bila Allah mengajarinya
tentang apa saja yang akan bermanfaat baginya dan
mengilhaminya untuk melakukan perbuatan yang baik.

Oleh sebab itu, bagi siapa saja yang Allah ingin


kebaikannya, Allah akan mengajari dia dengan sesuatu yan
menguntungkannya, menganugerahinya pemahaman ilmu
agama dan menerangi dia tentang apa yang mengangkatnya ke
arah keberhasilan dan kebahagiaan, sehingga Allah akan
memimpin dia menjauhi kebodohan. Kapan saja Allah tidak
menghendaki kebaikan bagi seseorang, Allah akan
meninggalkan dirinya dalam kebodohan.

Kami bermohon kepada Allah untuk membantu hati kami


dengan ilmu dan iman dan semoga Allah melindungi kami
dan kebodohan dan pelanggaran.

2. Ketidakpedulian, Keengganan, dan Melupakan

Ketiga hal ini merupakan penyebab yang luar biasa bagi


menurunnya iman. Seseorang yang terpukul dengan
ketidakpedulian, disukarkan dengan melupakan dan berpaling,

127
maka imannya akan menurun sesuai kehadiran daripada
ketiga penyebab ini. Itu akan menimbulkan penyakit hati atau
kematian hati karena pengaruhnya oleh kesalahan pandangan
dan hawa nafsu.

Mengenai ketidakpedulian, Allah telah menghukum itu


dalam Kitab-Nya dan Allah menyebutkan bahwa itu adalah
perilaku tercela, dan merupakan ciri perbuatan orang yang
tidak beriman dan orang munafik.

Allah juga mengingatkan tentang hal ini dengan sangat


kerasnya.

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka


jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka
mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi)
tidak dipergunakannyn untuk mendengar (ayat-ayat Allah).
Mereka itu sebagai binatang ternak bahkan mereka lebih
sesat lagi. Mereka itulah orang -orang yang lalai.” (al-A’raaf
7: 179)

128
“Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan
(tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa
puas dangan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan
kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat
Kami, mereka itu tempatnya,, ialah neraka, disebabkan apa
yang selalu mereka kerjakan.” (Yunus 10:7-8)

“. . dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah


dari tanda-tanda kekuasaan Kami.-” (Yunus 10: 92)

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari


kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat
adalah lalai.” (ar-Rum 30: 7)

“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan


merendahkan diri dan merasa takut, dan dengan tidak
mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah
kamu tenasuk orang-orang yang lalai.” (al-A’raaf 7 : 205)

Ketidakpedulian adalah sebuah penyakit yang berbahaya


karena menunjukkan adanya kelalaian yang menyebabkan
kekurangpedulian dan kurang waspada. Jika itu menyerang
akan menyusahkan seorang hamba, dia tidak akan perduli
dengan kepatuhan, penyembahan dan ingat kepada Allah.
Bahkan, kepalanya terisi dengan sesuatu yang menjauhkannya

129
dari dzikir kepada Allah. Bila di melakukan amal shaleh
tertentu untuk Allah, amalnya kosong dari kerendah hatian,
pertobatan rasa takut kebenaran, ketulusan, kesederhanaan
dan ketenangan.

Sedangkan tentang keengganan, Allah menyebutkan di


dalam Al-Qur’an bahwa itu mempunyai banyak dampak
buruk dan merusak. Terhadap itu, Allah telah melukiskan
seseorang yang berpaling sebagai menjadi paling zalim dan
bahwa dia adalah termasuk pelaku kriminal, sebagaimana
firman Allah:

“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang


telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia
berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan
memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa”
(as-Sajdah 32 : 22)

Allah juga menerangkan bahwa Dia telah memasang tabir dan


mengunci hati orang yang berpaling, sehingga dia tidak dapat
mengerti atau mengikuti jalan yang lurus, selamanya,
sebagaimana firman Allah :

130
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang
telah dipeningatkan dengan ayat-ayat dan Tuhannya lalu dia
berpaling daripadanya dan melupakan apa yang telah
dikerjakan oleh kedua tangannya? Sesungguhnya Kami telah
meletakkan tutupan di atas hati mereka, (sehingga mereka
tidak) memahaminya, dan (Kami letakkan pula) sumbatan di
telinga mereka; dan kendatipun kamu menyeru mereka
kepedapetunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat
petunjuk selama-lamanya.” (al-Kahfi 18 : 57)

Keengganan pada diri manusia juga menyebabkan


kehidupan yang sukar dan sempit; baik di dunia dan akhirat.
Allah berfirman:

‘Dan barang siapa yang berpaling dari peningatan-Ku,


maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan
Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam
keadaan buta.” (Thaaha 20: 124)

Allah juga menerangkan bahwa orang yang berpaling dari


peringatan Allah adalah menunjukkan pertemanan dengan
syaitan yang setelah itu akan merusak agamanya,
sebagaimana firman Allah :

131
“Barang siapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan
Yang Maha Pemurah (Al-Qun’an), Kami adakan baginya
syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi
teman yang selalu menyertainya” (az-Zukhruf 43 : 36)

Lebih lanjut, Allah memberitahukan bahwa seseorang


yang berpaling akan membawa beban berat dosa-dosa pada
Hari Kebangkitan dan dia akan memasuki hukuman yang
berat.

Allah berfirman:

“Barang siapa berpaling daripada Al-Qur ‘an, maka


sesunquhnya dia akan memikul dosa yang besar di hari
kiamat” (Thaahaa 20: 100)

“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan


Tuhannya, niscaya akan dimasukkan-Nya ke dalam azab yang
amat berat” (al-Jin 72 : 17)

Begitu banyak ayat lain dimana Allah berfirman mengenal


bahayanya keingkaran. Yang paling berbahaya adalah
kenyataan bahwa itu menjadi sebuah rintangan dan
penghalang untuk memperoleh iman bagi orang belum
beriman dan bahwa hal itu memperlemah iman bagi orang
yang telah beriman.

132
Inilah akibat keengganan manusia yang akan
menyebabkan dia mendapatkan akibat dan bahayanya.

Sedangkan melupakan, diartikan sebagai orang yang


meninggalkan ketepatan dan ketelitian tentang hal yang telah
dia jaga keselamatannya. ini terjadi karena kelemahan
hatinya, atau sebagai hasil dan kelalaian dirinya atau diluar
kesengajaan, sampai bekas-bekasnya dipindahkan dan
hatinya.

Sifat ini memiliki dampak yang dalam atas iman. Ini


adalah sebuah sebab bagi kelemahannya; keberadaannya
menurunkan amal shaleh dan memperbesar amal yang shaleh.

Melupakan disebutkan di dalam Al-Qur’an dalam 2


macam. Jenis pertama adalah orang yang tidak dimaafkan. Ini
merujuk kepada jenis yang terjadi secara sengaja.

Sebagaimana firman-Nya :

“Dan janganlah seperti mereka yang melupakan Allah,


sesudah itu Allah membuat mereka lupa kepada dirinya
sendiri.” (al-Hasyr 59: 19)

Jenis kedua adala orang yang dimaafkan. Ini merujuk


kepada orang yang tidak sengaja ( tidak berniat) melupakan.

133
S77ebagaimana firman Allah:

“…Ya Tuhan kami,janganlah Engkau hukum kami bila kami


lupa atau kami tersalah....” (al-Baqarah 2: 286)

Telah tercatat dalam hadits (sehubungan dengan ayat ini)


bahwa Allah berfirman : “Aku telah melakukannya”
(maksudnya Allah tidak akan menghukum kita jika kita lupa
atau tersalah)

Seorang Muslim diharuskan untuk berperang melawan


jiwanya sendiri dan untuk mengambil jarak agar tidak terjatuh
dalam melupakan Allah, sehingga dia tidak merugi dalam
agama dan imannya.

3. Berbuat Tidak Patuh dan Melakukan Perbuatan Berdosa

Kerugian dan dampak yang jelek dari faktor ini terhadap


kondisi iman sangatlah jelas.

Iman akan bertambah dengan kepatuhan dan menurun


dengan ketidakpatuhan. Hanya dengan melakukan amal wajib
dan amal sunnah yang Allah telah tetapkan akan menambah
iman, sedangkan melakukan perbuatan terlarang dan tidak
disukai Allah bisa menurunkan iman.

134
Bagaimanapun juga, derajat dosa berbeda tingkatannya,
sesuai dengan kejahatan yang mereka datangkan dan
kehebatan kerugian yang ditimbulkannya. Ini seperti yang
dikatakan oleh Ibnul Qayyim: “Tanpa ragu lagi, kufur, fasiq,
dan ketidakpatuhan adalah bertingkat-tingkat seperti juga
iman dan amal shaleh juga bertingkat-tingkat.”

Allah berfirman:

“(kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah,


dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan” (Ali
Imran 3: 163)

“Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat


(seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu
tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan” (al-An’aam 6:
132)

“Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu


adalah menambah kekafiran,....” (at-Taubah 9 : 37)

“…Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini


menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan
adapun orang-orang yang di dalam mereka ada penyakit,

135
maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka
disamping kekafirannya” (at-Taubah 9: 124 - 125)

Pernyataan seperti ini adalah banyak dijumpai di dalam


Al-Qur’an’.

Al-Qur’an dan as-Sunnah menunjukkan bahwa dosa


adalah terdiri dari dosa besar dan dosa kecil. Allah berfirman:

“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa


-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kãmi
hapus kesalahan kesalahanmu (‘dosa-dosamu yang kecil) dan
Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga,) “(an-
Nisaa 4 : 31)

“(yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan


perbuatan keji yang selain dan kesalahan-kesalahan kecil.”
(an-Najm 53 : 32)

Hal ini tercatat dalam Shahih Muslim, bahwa Abu Hurairah


ra., meriwayatkan Rasulullah bersabda: “Shalat 5 waktu,
Shalat Jum’at ke Shalat Jum’at (minggu depan) dan
Ramadhan satu ke Ramadhan (berikutnya), mereka menebus
semua dosa antara mereka, selama tidak mengerjakan
penbuatan dosa besar”

136
Sebagaimana tercatat dalam Shahihain, Abdur Rahman
bin Abi Bakrah menceritakan dari bapaknya bahwa kata
bapaknya: “Kami sedang bersama dengan Rasulullah saat
beliau bertanya 3 kali,Tidak sebaiknyakah aku
memberitahukanmu dosa besar yang terbesar ? Berbuat
syirik kepada Allah, durhaka kepada orang tua, dan bersaksi
palsu.”

Juga terdapat dalam Shahihain, Rasulullah ditanya, ‘Dosa


mana yang terbesar terhadap Allah? Beliau menjawab,
‘Bahwa kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang lain,
padahal Dia adalah yang menciptakan kamu’. Beliau ditanya
lagi,’ Kemudian apa?’ Jawabnya, ‘Engkau membunuh
anakmu karena takut dia akan butuh makanan darimu’.
Kemudian beliau ditanya lagi,’Kemudian apa lagi?’ Beliau
menjawab,’Engkau berzinah dengan istri tetanggamu.’

Banyak lagi hadits-hadits lain yang menunjukkan


tingkatan yang berbeda tentang dosa-dosa dan bahwa mereka
digolongkan ke dalam dosa besar dan dosa kecil.

Lebih lanjut lagi, dari sudut pandang lain, dosa-dosa ini


dapat dikelompokkan ke dalam 4 golongan Malikiyyah,

137
Syaithaniyyah, Sab’iyyah dan Bahiimiyyah; semua dosa dapat
dikelompokkan ke dalam jenis ini.

Dosa-dosa kelompok Malikiyyah adalah dosa yang terjadi


saat seseorang menjadikan atas dirinya sendiri kondisi ke-
Tuhan-an, yang tentu saja tidak cocok dengan dirinya, seperti
rasa bangga, menguasai, penaklukan manusia, rasa tinggi hati,
perbudakan atas manusia dati kualitas lain dari jenis ini. Dosa-
dosa yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah termasuk
tipe yang serius.

Adapun dosa yang masuk kelompok Dosa Syaithaniyyah


adalah mirip dengan tingkah laku syaithan seperti iri hati,
menindas, menipu, kebencian, kecurangan membuat rencana
jahat, memerintahkan ketidakpatuhan kepada Allah, melarang
ketaatan kepada Allah dan mencelanya, membuat tambahan
terhadap agama Allah (bid’ah), serta panggilan untuk
menambah-nambahi dan menyimpang dari agama Allah.
Kelompok ini ditempatkan pada urutan kedua sehubungan
dengan kerugian walaupun kerugiannya adalah lebih sedikit.

Dosa-dosa Sab’iyyah adalah dosa pelanggaran kemarahan,


menumpahkan darah, mencengkeram yang

138
lemah dan tidak mampu. mi melahirkan banyak jenis kerugian
kepada manusia berupa keberanian ke arah melakukan
penindasan dan pelanggaran.

Adapun dosa-dosa Bahimiyyah, contoh dari ini adalah


keinginan memuaskan nafsu perut dan organ seks. ini
membangkitkan perzinahan, pelacuran, pencurian,
menggunakan harta anak yatim, ketidaksabaran, kekikiran,
ketamakan, ketakutan, sulit istirahat, dan banyak lagi yang
lainnya.

Kelompok khusus ini adalah jenis dosa yang paling


banyak diperbuat oleh orang karena ketidakmampuan mereka
dalam melakukan dosa Sab’iyyah dan Malikiyyah.

Kemudian, sebagai hasil dan kelompok ini mereka


memasuki ke dalam area dosa Sab’iyyah, kemudian
Syaithaniyyah, kemudian akhirnya, ke arah perdebatan
tentang ke-Tuhan-an dan melakukan syirik mengenai keesaan
Allah.

Dalam beberapa kasus, hal-hal ini menunjukkan kita


bahwa dosa-dosa bervariasi dalam dampaknya kepada iman
dan kepada pengurangan dan pelemahan iman.

139
Perbedaan dosa-dosa ini dan dampaknya bagi iman
bertingkat-tingkat dengan pelbagai jenis pertimbangan.
Beberapa dari itu adalah : kelas dosa, jumlahnya, tingkatan
dampak kerugiannya, tempat, waktu dan juga mengenai
pelakunya dan pertimbangan-pertimbangan lainnya.

Ibnul Qayyim, rahimahullah, berkata “Secara keseluruhan,


tingkatan al-Faahisyah (nafsu dan perbuatan melanggar)
adalah ditentukan oleh kejahatan yang sesuai. Kemudian,
masalah-masalah seorang pria yang menerima kehadiran
seorang wanita atau seorang wanita yang menerima kehadiran
seorang pria ( tanpa didampingi orang lain) adalah dianggap
kurang jahat daripada masahif seorang pria atau wanita yang
berzinah.

Seseorang yang melakukan kejahatan secara rahasia


adalah kurang berdosa daripada orang yang mengerjakan di
depan umum. Seseorang yang merahasiakan dosannya adalah
kurang berdosa daripada seseorang yang menceritakan hal itu
di depan umum.

Juga, mempunyai hubungan seksual dengan seorang


wanita yang tidak bersuami adalah kurang berdosa daripada
mempunyai hubungan seksual dengan seseorang yang

140
bersuami, karena penindasan dan pelanggaran mendatangkan
perlawanan suami karena merusak kamarnya. Dosa orang ini
dapat lebih besar atau lebih sedikit daripada semata-mata
perzinahan.

Mempunyai hubungan seksual dengan istri tetangga


adalah lebih keras hukumannya daripada berhubungan 1
dengan seseorang yang jauh dan rumah, karena hubungannya
dalam merugikan tetangga dan karena tidak menjalankan
perintah Allah dan Rasul-Nya berkaitan dengan masalah
tetangga.

Sebagaimana perbedaan tingkat dosa karena perbedaan


orang yang berhubungan seks (zinah) dengannya, hal itu juga
berbeda menurut tempat, waktu, keadaan dan pelakunya.

Untuk berzinah atau melakukan perbuatan mesum


misalnya, di tengah hari dan malam bulan Ramadhan adalah
lebih berdosa daripada pada waktu yang lain. Bila hal itu
terjadi pada tempat yang baik dan penuh rahmat dosanya akan
lebih banyak lagi dari melakukan hal itu di tempat lain.

Adapun perbedaannya dalam hubungannya dengan


pelakunya, bila dilakukan oleh orang merdeka adalah lebih
hina daripada dilakukan oleh budak. Itulah mengapa hukuman

141
seorang budak adalah setengah dari orang merdeka. Hal yang
lebih jijik bila dilakukan oleh orang yang telah menikah
daripada dilakukan oleh orang yang belum menikah, begitu
pula bagi orang tua dibanding anak muda.

Juga akan lebih mengerikan bila dilakukan oleh seorang


ulama daripada dilakukan oleh seorang yang bodoh, karena
kengeriannya dari akibatnya dan dilakukan dengan kesadaran,
begitu pula lebih buruk orang yang kaya dan kuat untuk
melakukannya daripada orang yang lemah dan miskin yang
tentunya lebih sulit untuk melakukannya.

Bagaimanapun, terhadap masalah-masalah khusus, yakni


ketika dihubungkan dengan jenis dosa yang lebih rendah,
dapat menjadikan dosa-dosa yang lebih rendah itu bahkan
lebih besar dosanya daripada hal-hal yang semula lebih
berdosa.

Sebagai contoh, bila seseorang menghubungkan kepada


Fahisyah ini, sebuah jenis cinta birahi, yang mana
menyebabkan hati dipenuhi oleh yang dicintainya, akan
berakibat menuhankan orang yang dicintainya, memuliakan,
menjadi rendah hati dan takluk kepada yang dicintainya dan
menempatkan atas kepatuhan kepadanya, dan jika sang

142
kekasihnya memerintahkannya diluar atau di atas kepatuhan
kepada Allah dan Rasul-Nya, maka orang yang dirundung
cinta tersebut akan mau untuk menjalankannya.

Dan sini, masalah-masalah yang berhubungan dengan


cinta dan pemuliaan dan teman dekat (kekasih) ini, dia akan
setia juga kepada siapa kesetiaan yang kekasihnya berikan,
kepada permusuhan ke arah pada siapa kekasihnya
menunjukkan permusuhan, dan ke arah mencintai dan
membenci siapa-siapa yang dicintai dan dibenci oleh
kekasihnya, hal ini merupakan dampak yang lebih merugikan
atas orang tersebut daripada sekedar melakukan dosa
nafsunya.

Syaikh Muhammad al-Utsaimin menyatakan : Adapun


yang mengurangi iman, mempunyai penyebab-penyebab,
yakni :

1. Mengerjakan amal yang tidak shalih, iman akan


menurun sesuai kelas dosa, jumlahnya, ketidakpedulian
pelakunya dalam hal ini, dan kuatnya atau lemahnya
dorongan untuk berbuat.

Adapun kelas dan jumlahnya, penurunan iman oleh dosa-


dosa besar adalah lebih hebat daripada oleh dosa-dosa kecil.

143
Penurunan iman dengan cara membunuh jiwa dengan tidak
sah adalah lebih besar daripada menelan harta secara tidak
sah. Penurunan iman oleh dua perbuatan ketidak patuhan
adalah lebih besar daripada oleh satu perbuatan
ketidakpatuhan.

Mengenai ketidakpedulian terhadap dosa ; jika amalan


ketidakpatuhan memancar dan sebuah hati yang berpikir
sedikit tentang siapa yang ditidak patuhi, dan mempunyai
sedikit ketakutan kepada-Nya, maka hasil penurunan iman
akan menjadi lebih besar daripada bila ketidakpatuhan itu
memancar dan sebuah hati yang memuliakan Allah dan sangat
ketakutan akan Allah dan yang dengan tidak sengaja terjadi
amal ketidakpatuhan pada dirinya.

Mengenai kekuatan dan tujuan perbuatan dosa ; bila sebuah


amalan ketidakpatuhan timbul dan seorang yang dorongan
untuk melakukan dosanya adalah lemah, maka berkurangnya
imannya ákan lebih besar dan pada kalau hal itu timbul dan
seseorang yang dorongan untuk melakukan dosanya adalah
lebih kuat atau lebih besar.

Inilah mengapa pameran kesombongan oleh orang miskin


dan perzinahan oleh orang tua adalah lebih berdosa daripada

144
pameran kesombongan oleh orang kaya dan perzinahan oleh
anak muda. Sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits.

Tiga (jenis manusia) pada siapa Allah tidak akan berbicara


kepadanya pada Hari Kebangkitan, tidak akan melihat mereka
atau mensucikan mereka dan mereka akan memikul hukuman
yang berat.

Disebutkan di antara ketiga jenis manusia tersebut adalah:


orang yang menzinahi orang tua dan orang miskin yang
sombong, hal ini karena mereka sebenarnya ada pada kondisi
yang tidak memungkinkan untuk melakukan hal ini.

Dengan apa yang telah dikemukakan di atas, kesimpulan


bahwa dosa-dosa dapat mengurangi iman dan bahwa jumlah
pengurangannya bervariasi sesuai kepada banyak
pertimbangan. Beberapa darinya adalah :

1. Kelas dosa
2. Tingkatan clampak merugikan dan dosa
3. Jumlah dosa
4. Tempat dan waktu dosa
5. Ketidaksengajaan pelaku
6. Tentang Pelaku

145
Penjelasan mengenai hal ini telah dilakukan, dan pada
Allah terletak semua taufiq.

Beberapa hal yang melindungi seorang manusia dari dosa-


dosa dan menolongnya untuk tetap jauh dan mereka dan untuk
tidak terjatuh ke dalam dosa tersebut adalah dengan
mengetahui bahayanya, apa yang mereka timbulkan dan
akibat jelek yang harus mereka tanggung dan kerugian yang
luar biasa yang akan mereka dapatkan.

Perbuatan dosa akan menimbulkan akibat jelek dan


kerugian yang luar biasa, di antaranya adalah seperti kata
Ibnul Qayyim berikut: “akan menyebabkan kurangnya taufiq;
pendapat yang tidak benar; menyembunyikan kebenaran
(dari dirinya), kejahatan hati, kurang peringatan, membuang-
buang waktu, tidak menyukai penciptaan (dirinya),
keterasingan antara seorang hamba dan Tuhannya;
mencegah terkabulnya permohonan, kekerasan hati,
pencabutan rahmat dan kehidupan seseorang, perampasan
ilmu, kerendahan yang ditimbulkan oleh musuh, kesempitan
dada, dipertemukan dengan pertemanan yang jahat yang
merusak hati dan membuang waktu, panjangnya kerinduan
dan penderitaan, kesulitan hidup dan suramnya keadaan.” Itu
semua merupakan hasil dan ketidakpatuhan dan melalaikan

146
peringatan dan Allah, yang nilainya sebanding seperti kepada
tumbuhan yang disirami dengan air dan kebakaran yang
disebabkan oleh api. Lawan dan hal-hal ini muncul dan
amalan yang shalih.

4. Jiwa yang Selalu Memerintahkan Berbuat Jahat

Ini adalah jiwa yang terhukum, yang mana Allah


meletakkan kejahatan di dalamnya kepada seseorang. Jiwa itu
memerintahkan dia kepada setiap kejahatan, mengundangnya
kepada semua resiko dan membimbingnya kepada setiap
kekasaran.

Ini adalah tabiat dan perangainya, kecuali kepada jiwa


yang Allah berikan taufiq dan menguatkan serta
membantunya. Tidak ada yang terselamatkan dan kejahatan
jiwanya kecuali dengan taufiq dan Allah swt., sebagaimana
Allah beritakan dari istri al-Aziiz:

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan),


karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada
kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat ole Tuhanku.
Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Yusuf 12 : 53)

147
“. . . Sekiranya tidak lah karena kurnia Allah dan
rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun
dan kamu bersih selama-lamanya (dari perbuatan-perbuatan
keji dan mungkar itu)...” (an-Nuur 24: 21)

“Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati) mu, niscaya


kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka” (al-
Israa’ 17: 74)

Lebih lanjut lagi, Rasulullah saw biasa mengajar mereka


(orang-orang) ‘Pidato tentang Kebutuhan: “segala puji hanya
bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya
dan ampunan-Nya, kami berlindung kepada Allah dari
kejahatan jiwa kami dan dan kejelekan amal perbuatan kami,
siapa saja yang diberi petunjuk Allah, maka tidak akan ada
seorangpun yang mampu menyesatkannya, dan barangsiapa
yang disesatkan Allah, maka tidakada seorangpun yang
mampu menunjukinya.”

Kemudian, kejahatan bersembunyi dalam jiwa dan dia


mendorong kepada perbuatan jahat. Bila Allah membiarkan
hamba-Nya berjalan sendirian dengan jiwanya, Allah akan
membinasakan dengan kejahatan jiwanya dan amal jeleknya.

148
Bila Allah menganugerahi taufiq dan menolongnya, Dia akan
mengantarkannya pergi meninggalkan semua perbuatan jahat
ini. Allah telah membuat keadaan yang berlawanan kepada
jiwa ini, sebuah jiwa yang tenang.’1Bila salah satu jiwa
memerintahkan kejahatan yang mendorong seorang hamba
dengan sesuatu perbuatan keji, maka jiwa yang tenang
melarang si pemilik untuk melakukan itu.

Orang sekali waktu patuh kepada jiwa ini, dan sekali


waktu yang lain mematuhi bisikan jiwa yang lain; dia sendiri
adalah salah satu dan dua hal yang lebih berkuasa atas dirinya.

Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, rahimahullah menyatakan:


“Allah telah menggabungkan dua jiwa; yakni jiwa yang

1 Yakni bukan jiwa lain, tetapi sebuah sifat yang berbeda dan jiwa yang sama. Al-Qadi bin Abu al-Izz al-Hanafi,
rahimahullah berkata dalam komentarnya kepada uraian al-Imam ath-Thahawi tentang aqidah: “Banyak orang
berpendapat bahwa anak Adam mempunyai tiga jiwa: yakni jiwa yang tenang (muthma’innah), sebuah jiwa
yang menyesal (lawwa,mah) dan sebuah jiwa yang suka memerintahkan kejahatan (ammarah), dan sebagian
orang lagi disifati dengan salah satu sifat khnsus darinya , dan orang lain lagi dengan sifat-sifat yang lainnya lagi.
Sebagaimana Firman Allah :“ Wahai jiwa yang tenang (muthma’innah) ( Al—Fajr :28). “Dan Aku bersumpah
dengan jiwa yang menyesali dirinya (lawwamah) (Al- Qiyaniah : 2). “ Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh
kepada kejahatan ( Yusuf: 53) Kecenderungan yang betul, yakni adalah bahwa itu adalah satu jiwa, yang mana
mempunyai beberapa sifat/karakter yang berbeda. Kemudian, jiwa itu bersemangat melakukan kejahatan. Jika
hal itu berlawanan dengan iman , maka jiwa itu menjadi jiwa yang menyesali; dia melakukan dosa kemudian
memarahi pelakunya dan menyesali dengan tujuan untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan perbuatan. Bila
iman menguat, maka jiwa itu tadi berubah menjadi jiwa yang tenang. ” Menurut Syarh al-’Aqidah ath-
Thahawiyyah ole Ibnu Abi al-Jzz al-Hanafi , halaman 569. Diteliti oleh Dr. Abduliah bin Abdul Muhsin At-Turki
dan Syu’aib al-Arna’ut, cetakan kedua 1413 II, Mu’asassah Ar-Risalah, Beirut.

149
tenang dan jiwa yang jahat, dan mereka saling bermusuhan
satu sama lain.”

Di saat salah satu melemah, maka yang lain menguat.


Ketika seseorang bersenang-senang dengan sesuatu, maka
yang lain menderita sebagai akibatnya. Tidak ada yang lebih
sulit bagi jiwa yang selalu menyuruh berbuat jahat daripada
melakukan perbuatan demi Allah dan yang lebih
mengutamakan keridhaan-Nya dibandingkan kepuasannya
sendiri. Juga, tidak ada yang lebih sulit bagi jiwa yang tenang
daripada melakukan perbuatan yang selain untuk Allah. Dan
perang akan terus berlangsung, tidak akan bisa berhenti
sebelum waktu perjanjian hidup di dunia telah berakhir.

Dan sini, tidaklah ada yang lebih merugikan bagi iman


seseorang dan agamanya daripada jiwanya yang terus
menerus menyuruh berbuat dosa, ini adalah sebuah alasan
utama dan tepat, serta merupakan dorongan yang melemahkan
iman, yang menyebabkannya tidak tetap dan merugikannya.

Sepertinya, itu menjadi perintah bagi orang yang berbuat


sesuatu untuk menjaga keselamatan imannya dan kelemahan,
dan untuk cenderung kepada hal yang memanggil jiwanya

150
untuk muhasabah (instropeksi) agar tidak hancur dalam
kebinasaan.

Menyeru agar orang itu sendiri melakukan muhasabah


(introspeksi) adalah terdiri dan dua tipe : sebuah tipe (yang
terjadi) sebelum perbuatan dan sebuah tipe (yang terjadi)
setelah perbuatan.

Tipe pertama, ini adalah untuk mengambil jarak ketika


seseorang mempunyai niatan dan keinginan, dan untuk tidak
melakukan perbuatan tersebut sampai hal itu menjadi nyata
dan jelas baginya, bahwa bila dia melakukan perbuatan itu
akan lebih berat bagi dia untuk meninggalkannya.

Adapun tipe kedua, adalah untuk muhasabah atas jiwa


seseorang setelah perbuatan dilakukan.

Ini terdiri dari tiga jenis :

Jenis pertama, adalah menyerunya untuk muhasabah agar


mematuhi hak Allah, di mana dia belum melakukan sesuai
dengan yang diinginkan.

Jenis kedua, adalah menyeru jiwanya untuk muhasabah


atas setiap tindakannya, yang dia belum terikat secara nyata

151
akan hal itu. Dan hal itu akan lebih baik daripada dia telah
melakukan perbuatan itu.

Jenis ketiga adalah bahwa dia menyeru jiwanya untuk


muhasabah atas setiap tindakan yang sudah menjadi
kebiasaannya dan diijinkan oleh Allah. Mengapa dia
melakukannya? Apakah niatnya adalah untuk Allah dan negeri
akhirat?, sehingga dia akan beruntung.

Ataukah dia menginginkan dunia dan kesenangannya yang


segera ? Bila begitu maka dia akan kehilangan keuntungan
dan pencapaian akhirat akan menghilang darinya.

Kerugian terbesar atas seorang hamba adalah bersikap


lalai, menahan diri dari menghitung-hitung diri. Hal ini
bahkan akan memimpin dia kepada perusakan dan ini adalah
pernyataan orang yang berkhayal : yakni, seseorang dari
mereka menembak mata mereka dan siap dengan segala
akibatnya, membiarkan segalanya terjadi dan mengambil arah
perjalanan hidup mereka, kemudian baru bergantung kepada
ampunan (dari Allah). Kemudian, dia lalai menyeru dia
sendiri untuk bertanggungjawab dan mempertimbangkan atas
hasil perbuatannya. Ketika dia berkelakuan dengan penilaku
ini, melakukan dosa-dosa menjadi sebuah hal tanpa usaha

152
baginya, dia merasa mudah untuk melakukannya dan menjadi
sulit baginya untuk berhenti dan kebiasaan buruk dosanya.

Kesimpulan dan pokok dan hal ini adalah agar manusia


pertama-tama menyeru dirinya sendiri untuk
mempertanggungjawabkan tugas-tugas wajibnya. Bila dia
menemukan kekurangan dalam masalah ini, dia memperbaiki
dengan menebusnya atau mensucikannya. Kemudian dia
menyeru dirinya sendiri untuk mempertanggungjawabkan hal-
hal yang terlarang.

Bila dia tahu bahwa dia telah berbuat sesuatu yang


terlarang, dia memperbaiki hal ini dengan bertaubat, mencari
ampun dan berbuat kebaikan yang bisa menghapus perbuatan
jeleknya. Kemudian dia menyeru dirinya untuk
mempertanggungjawabkan ketidakpeduliannya.

Bila ada hal yang dia tidak pedulikan yang pernah dia
lakukan, dia bisa memperbaikinya dengan mengingat dan
kembali kepada Alah. Dia kemudian menyeru dirinya sendiri
untuk bertanggungjawab atas apa yang dia telah bicarakan,
ataukah kakinya telah melangkah ke mana saja, atau apa yang
telah dilakukan oleh kedua tangannya atau apa yang
telinganya telah pernah dengarkan.

153
Apa yang kamu niatkan dari hal itu? Untuk siapa kamu
lakukan hal itu?

Dia harus tahu bahwa untuk setiap gerakan dan ucapan


yang dia buat, 2 pertanyaan telah disiapkan pertanyaan
berjudul ‘Untuk siapa kamu lakukan itu’ dan ‘Dengan cara
apa engkau kerjakan hal itu ?‘

Yang pertama tadi adalah sebuah pertanyaan tentang


ketulusan dan yang kedua adalah sebuah pertanyaan tentang
Syari’ah.

Bila seorang hamba bertanggungjawab atas segalanya:


pendengarannya, pandangannya dan hatinya, ini adalah sangat
patut bagi dia untuk menyeru dirinya sendiri untuk menghisab
dirinya sebelum dihisab di akhirat. Kewajiban menyeru diri
sendiri untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri
adalah sesuai dengan Firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada


Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang
telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), ...“ (al-Hasyr
59: 18)

Isinya adalah bahwa pensucian hati diraih melalui


menyeru dirinya sendiri untuk muhasabah dan kejahatannya

154
dan kelalaian jiwanya dan tidak menahan diri darinya.’ Allah
adalah satu-satunya Dzat yang dimintai pertolongan dan tidak
ada daya dan kekuasaan kecuali dan Allah.

Ibnul Qayyim, rahimahullah berkata: “Jiwa mengajak ke


arah hal-hal yang merusak, menolong musuh, menghasilkan
setiap kekerasan dan mengikuti setiap syaitan yang jahat.
Dengan tabiatnya, dia mengambil jalan kepada kejahatan.”

Rahmat adalah tidak bisa disamakan, hal itu datang dan


sebuah hati, sehingga merupakan bagian terbesar antara
seorang hamba dan Allah. Orang yang paling berilmu tentang
jiwa, mempunyai ketidaksukaan terbesar dan kebencian
kepada hal itu.”

Kami memohon kepada Allah agar melindungi kita dari


kejahatan jiwa kita dan dari jeleknya amal perbuatan kita.
Sesungguhnya, Dialah yang Maha Pemurah.

B.SEBAB-SEBAB DARI LUAR

Ini adalah sebab-sebab dari luar atau pengaruh yang


membuat dampak bagi keimanan seseorang dengan cara
menurunkan imannya seseorang itu. Beberapa penyebab dapat
dikelompokkan ke dalam 3 faktor sebagai berikut :

155
1. Syaitan

Syaitan memegang peranan untuk menjadi alasan dari


luar yang kuat, yang menyebabkan iman turun. Syaitan adalah
musuh yang hebat bagi orang yang beriman. Dia
menimbulkan bencana untuk menyusahkan kaum beriman.
Dia tidak mempunyai keinginan atau tujuan selain memukul
iman dalam hati orang yang beriman untuk melemahkan dan
merusaknya. Siapa saja yang mengikuti bisikannya,
menyetujui pemikirannya dan tidak kembali kepada Allah
untuk berlindung dan syaitan tersebut, imannya akan melemah
dan menurun. Sesungguhnya, iman bisa menghilang secara
keseluruhan tergantung tindakan seorang muslim atas bisikan
dan pendapat syaitan itu.

Untuk alasan itulah, Allah telah mengingatkan kita akan


syaitan dengan keras dan Allah telah menjelaskan bahayanya,
akibat yang merusak dan mengikuti syaitan, sebagaimana
fakta bahwa dia adalah musuh orang-orang yang beriman.
Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk
memposisikan syaitan sebagai musuh mereka dan oleh sebab
itu membebaskan diri mereka sendiri dari bisikan syaitan itu
sendiri.

156
Firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu


mengikuti langkah-langkah syaitan. Barangsiapa yang
mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya
syaitan itu rnenyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan
yang mungkar....” (an-Nuur 24: 21)

“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka


anggaplah musuh (mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan
itu hanya mengajakgolongannya supaya mereka menjadi
penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Faathir 35 : 6)

“Sesungguhnya .syaitan itu adalah musuh yang nyata


bagi manusia.” (Yusuf 12 : 5)

“Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan


mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan
syaitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan syaitan
itulah golongan yang merugi.” (al-Mujaadilah 58: 19)

Ibnul Qayyim berkata : “Dari sini menjadi Wajib bagi


orang yang bijaksana untuk menjaga dirinya melawan musuh
ini, yang telah mewujudkan permusuhannya sejak jaman
Adam. Dia telah mengorbankan hidupnya dan dirinya untuk

157
merusak keadaan anak-anak Adam dan Allah telah
memerintahkan manusia untuk berhati-hati kepadanya.”

Dia kemudian menyebutkan sejumlah naskah-naskah dan


kemudian berkata: “Yang sama seperti ini dalam Al-Qur’an
adalah banyak.”

Abu Muhammad al-Maqdasi berkata dalam pendahuluan


bukunya : “Dzamm al-Waswaas”: “Agar maju, Allah telah
membuat Syaitan sebagai musuh bagi manusia. Dia duduk
dan menunggu melawan manusia sepanjang jalan yang lurus
dan datang kepada manusia tersebut dan segala arah dan
jalan.” Sebagaimana Allah telah menceritakan tentang syaitan
itu dalam Al-Qur’an:

“Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum


saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi)
mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan
mendatangi mereka dari muka dan dan belakang mereka, dari
kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan
mendapati kebanyakan mereka beryukur (taat).” (al- A’raaf 7
: 16 - 17)

Lebih lanjut lagi, Allah telah memperingatkan kita agar


jangan sampai mengikuti dia dan Allah telah memerintahkan

158
kita untuk memiliki kebencian kepada syaitan itu dan untuk
melawannya, Allah berfirman:

“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata


bagi manusia” (Yusuf 12 : 5)

“Hai anak Adam,janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu


oleh syaitan sebagaimana ía telah mengeluarkan kedua ibu
bapakmu dari surga ...“ (al-A’raaf 7 : 27)

Allah telah menyampaikan kepada kita tentang apa yang


syaitan lakukan terhadap kedua orang tua kita sebagai jalan
peringatan bagi kita dan mematuhi syaitan, dan juga untuk
mempersempit kesempatan untuk mengikuti syaitan dan Allah
memerintahkan kita untuk mengikuti jalan yang lurus.

Syaitan adalah musuh bagi manusia. Keinginannya adalah


merusak kepercayaan dan untuk melampiaskan marahnya
dengan merusak iman seseorang. Siapa saja yang tidak
membentengi dirinya melalui mengingat Allah, berlindung
kepada Allah, akan menjadi lahan peternakan bagi syaitan,
yang akan menjerumuskan dia ke dalam tindakan
ketidakpatuhan kepada Allah, membujuk dia untuk berbuat
yang dilarang Allah dan mendorong dia untuk melakukan

159
dosa-dosa yang penuh nafsu. Betapa celaka agamanya dan
betapa rusak imannya, bila manusia mengikuti syaitan!

Ibnul Qayyim, rahimahullah berkata: “Waspadalah dari


memberi kesempatan bagi syaitan untuk membangun dirinya
dalam setiap pemikiranmu dan niatanmu, sebagaimana dia
akan merusak mereka dalam hal sebuah tabiat yang akan
menyulitkan perbaikannya setelahnya. Dia akan melemparkan
semua jenis bisikannya dan pikiran yang merugikan
kepadamu dan dia akan mencegah kamu dan berfikir
mengenai apa yang bisa menguntungkan kamu dan itulah
yang telah menolongnya melawan kamu sendiri dengan
memberinya kekuatan melalui hatimu dan pemikiranmu dan
kemudian dia menempatkanmu dalam kepemilikan
pemikiran-pemikiran seperti itu.”

Dia, rahimahullah, menempatkan ke arah persamaan yang


istimewa dalam hal ini, yang mana terletak dalam persetujuan
yang menyeluruh. Dia mengatakan dalam kutipan lain dan
bukunya: “Bila engkau ingin sebuah contoh tentang hal ini,
maka perumpamaannya adalah seperti seekor anjing yang
sangat kelaparan ; antara engkau dan anjing itu ada
sepotong roti atau daging, dia melihat kepadamu dan
pikirnya engkau tidak melawannya dan dia semakin dekat

160
kepadamu. Engkau menyuruhnya pergi dan meneriakinya dan
dia menolak, tetapi mondar-mandir mengelilingi engkau dan
mencoba menipumu dengan maksud mengambil apa yang ada
di tanganmu.”

Maksud beliau, rahimahullah, dibalik perumpamaan ini


adalah untuk menunjukkan betapa bahayanya syaitan kepada
manusia bila dia tidak mencari perlindungan kepada Allah
darinya dan gagal dalam kembali kepada Allah dari
kejahatannya, melalui kalimat do’a yang bermanfaat dan
dzikir yang penuh rahmat.

Bagaimanapun juga, siapa saja yang berpaling dan


enggan, syaitan akan menempel kepadanya dengan cara
dimana dia akan berusaha dam mendikte orang itu sampai dia
(syaitan) berhasil membasmi iman orang tersebut.

Allah berfirman:

“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan


Yang Maha Pemurah (Al-Qur’afl), Kami adakan baginya
syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi
teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya syaitan-
syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang
benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat

161
petunjuk. Sehingga apabila orang-orang yang berpaling itu
datang kepada Kami (di Hari Kiamat) dia berkata. Aduhai,
semoga (jarak) antaraku dan kamu seperti jarak antara
masyrik dan maghrib, maka syaitan itu adalah sejahat-jahat
teman (yang menyertai manusia).” (az-Zukhruf 43 : 36 - 38)

2. Bujukan dan Rayuan Dunia.

Ini adalah faktor luar (eksternal) kedua, yang


menimbulkan dampak pada penurunan iman seseorang.

Dari sini, salah satu sebab penurunan dan melemahnya


iman adalah untuk disita dengan hal-hal yang fana dan dunia
yang sementara ini untuk memenuhi waktu seseorang
dengannya, dipersembahkan untuk mencarinya dan untuk
berlomba dengan kesenangannya, godaan dan bujukannya.
Kapan saja seorang hamba rindu kepada kehebatan dunia ini
dan hatinya menjadi tertarik kepada nya, maka ketaatannya
akan melemah dan imannya akan berkurang sesuai
ketertarikannya kepada dunia itu.

Ibnul Qayyim, rahimahullah, berkata : “Perluasan


daripada keinginan seorang hamba atas dunia dan
kesenangannya, dengan itu menentukan melemahnya

162
kepatuhan kepada Allah dan kerinduannya kepada negeri
akhirat.”

Sesuai dengannya, Allah yang Maha Bijaksana, Maha


Waspada, mencela dunia ini dalam Kitab-Nya dan
menjelaskan tentang kemelaratan dan keburukan dunia dalam
banyak ayat dalam Al-Qur’an.

Allah berfirman:

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu


hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan
dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-
banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan
yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani;
kemudian tanaman itu menjadi kening dan kamu lihat
warnanya kuning kemudian menjadi hancur Dan di akhirat
(nanti) ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta
kenidhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu.” (al-Hadiid 57: 20)

“Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia),


kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami
turunkan dan langit, maka menjadi subur kanenanya tumbuh-
tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu

163
menjadi kening yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak
adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan
yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi
Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (al-Kahfi
18 : 45 - 46)

“Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal


kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat,
hanyalah kesenangan (yang sedikit) (ar-Ra’d 13 : 26)

“Sesungguhnya orang -orang yang tidak mengharapkan


(tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa
puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan
kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat
Kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa
yang selalu mereka kerjakan.” (Yunus 10: 7 - 8)

Ini berisi peringatan yang terbesar kepada seseorang yang


puas dengan kehidupan dunia ini, yang merasa nyaman
dengannya, yang tidak peduli kepada ayat-ayat Allah dan
yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Allah.

164
Lebih jauh lagi, Allah berfirman dalam mencela orang-
orang yang beriman yang cinta kepada dunia ini:

“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya


apabila dikatakan kepada kamu “Berangkatlah (untuk
berperang) pada jalan Allah, kamu merasa berat dan ingin
tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan
di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal
kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan
kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (at-Taubah 9 : 38)

Rasulullah saw. bersabda : “Demi Allah, bukanlah


kemiskinan yang aku takutkan kepadamu, tetapi Aku takut
bahwa dunia akan menyebar kepadamu seperti telah pernah
menyebar sebelumnya kepada orang -orang sebelum kamu,
dan kemudian kamu akan berlomba untuknya seperti mereka
juga berlomba untuknya dan kemudian kamu akan
dihancurkan sebagaimana mereka dihancurkan.”

Dalam redaksi lain: “.. kamu akan dibingungkan


sebagaimana mereka dibingungkan.”

Ada banyak naskah mengenai hal-hal ini kemudian,


seseorang yang ingin imannya tumbuh, kuat, aman dan
kelemahan, haruslah berusaha dengan sungguh-sungguh

165
melawan jiwanya dalam menjauhkan dirinya sendiri dari
dunia ini, godaannya, rayuannya dan hiburan yang
mengacaukannya, dan betapa banyak mereka itu.

Hal ini hanya akan bisa dicapai dan akan menjadi nyata
setelah mempertimbangkan dua hal berikut ini:

Yang pertama:

Untuk mempertimbangkan dan melihat kepada dunia,


berakhirnya yang cepat, berlalunya dan hilangnya,
kekurangannya dan kehurukannya; sakitnya bersaing dengan
orang lain untuk mencapai dunia, berhasrat kepadanya dan
tentang kesengsaraannya, kekurang baikannya, dan
menyakitkan hatinya dan dunia ini.

Akhir dari semua ini adalah berupa kelenyapan dan


ketidaklanjutan, bersama dengan penyesalan dan
kesengsaraan yang mengikuti darinya. Kemudian, pencari
dunia itu tidak akan pernah bisa lepas merdeka dan cemas dan
rindu serta takut sebelum dia meraih dunia itu atau bahkan
ketika dia meraihnya dan dia tidak akan pernah terbebaskan
dan dukacita dan kesengsaraan setelah semua itu berlalu.

Yang Kedua:

166
Mempertimbangkan dan melihat kepada negeri akhirat
dan pendekatannya serta kedatangannya yang tidak dapat
ditolak; keabadian dan kelanggengannya, kemuliaan yang di
dalamnya ada rahmat dan kegembiraan; serta perbedaan
antara beberapa hal dengan apa yang ada di dunia.

Sebagaimana yang Allah firmankan:

“Sedang negeri akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (al-
A’1aa87: 17)

Negeri akhirat adalah negeri yang penuh rahmat dan tidak


pernah berakhir, padahal kesenangan dunia hanyalah fantasi
yang akan berkurang, sementara, dan jarang.

Bila seseorang merenungi kepada dua hal tersebut dan


mempertimbangkannya dan melihat kedalamnya dengan cara
yang santun, maka hal ini akan mengarahkan dia

kepada lebih mengutamakan negeri akhirat yang tiada akhir


daripada dunia yang semu ini saja.

Bantuan terbesar baginya dalam memenuhi hal ini adalah


untuk melihat kedudukan Rasulullah saw. dan sejarah
hidupnya, seperti juga dengan para sahabatnya. Kenyataannya
mereka meninggalkan dunia, memalingkan hati darinya dan

167
mengesampingkannya. Mereka tidak pernah membiasakan
diri dengan itu.

Mereka tidak pernah cenderung kepada dunia dan


menganggap bahwa dunia adalah sebuah penjara dan bukan
surga, berpantang darinya dengan sikap yang benar bila
mereka menginginkan hal itu. Mereka akan mendapatkan
setiap hal yang dicintainya dan akan sampai pada setiap hal
yang menggembirakan dan hal itu.

Sesungguhnya, kunci kepada harta karun di dunia pernah


ditawarkan kepada Rasulullah saw., tetapi beliau menolaknya.
Dunia juga memberi kepada para sahabat ra., tetapi mereka
tidak memilih itu dan tidak menukar bagian mereka di negeri
akhirat untuk dunia.

Mereka mengetahui bahwa dunia adalah titik lintasan dan


jalan perlaluan. Bahwa itu adalah tempat untuk mampir dan
bukan tempat untuk bersenang-senang serta hanyalah sebuah
mendung di musim panas yang akan segera pergi.

Allah berfirman:

“Maka bagaimana pendapatmu jika Kami berikan


kepada mereka kenikmatan hidup bertahun-tahun, kemudian
datang kepada mereka azab yang telah diancamkan kepada

168
mereka, niscaya tidak berguna bagi mereka apa yang mereka
selalu menikmatinya.” (asy-Syu’araa 26: 205 - 207)

“Dan (ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah


mengumpulkan mereka, “mereka merasa di hari itu) seakan-
akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) hanya sesaat
saja di siang hari (di waktu itu) mereka saling berkenalan.”

(Yunus 10 : 45)

“Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-


orang yang berdosa; ‘mereka tidak berdiam (dalam kubur)
melainkan sesaat (saja)....” (ar-Ruum 30: 55)

Allah adalah satu-satunya Dzat yang dimohon


pertolongannya bagi kita dengan iman dan untuk melindungi
kita dan godaan-godaan, baik yang terang-terangan dan
tersembunyi.

3. Pergaulan yang Buruk

Mereka adalah orang yang paling merugikan bagi orang


yang beriman, baik dalam sikap dan perilaku. Bercampur
dengan mereka dan menemani mereka adalah penyebab
terbesar yang bisa menurunkan dan memperlemah iman.

169
Telah tercatat bahwa Rasulullah saw. bersabda

“Seseorang itu terletak pada agama teman dekatnya,


sehingga masing-masing kamu sebaiknya melihat kepada
siapa dia mengambil teman dekatnya”.

Ibnu ‘Abdil-Barr berkata: “Arti daripada hadits ini dan


Allah mengetahui yang terbaik adalah bahwa seorang
manusia membiasakan dirinya kepada perbuatan yang dia
lihat dan orang yang menjadi teman dekatnya, dan (arti)
agama adalah kebiasaan.

Seperti misalnya, dia memerintahkan seseorang untuk


hanya berteman dengan orang yang terlihat mempunyai
(tabiat) yang baik dan manis, dan menjadikan kebaikan
sebagai wataknya.”

Perkataan dari ‘Adi bin Zayd mengandung arti dan hadits


ini :

“Mengenai seseorang, jangan bertanya tentangnya, tetapi


tanyalah tentang temannya”

“Setiap sahabat bergegas ke arah seseorang yang dia


berteman dengannya”

170
Yang mirip seperti ini sangatlah banyak. Artinya adalah
bahwa seorang manusia jangan sampai berteman dengan
seseorang yang akan mengajaknya kepada perbuatan dan jalan
yang menyedihkan. Adapun seseorang yang tidak merasa
takut dalam hal, maka tidak ada kerugian menemani dia.

Abu Sulaiman al-Khatabi mengatakan : Sabda Rasul:


“Seorang manusia terletak atas agama kawan dekatnya”,
berarti: jangan mengambil sebagai teman dekat selain
seseorang yang agama dan kepercayaannya engkau sukai,
karena ketika engkau mengambil seseorang sebagai teman
dekat, dia akan mengajakmu ke arah agama dan jalannya.
Jangan membahayakan agamamu atau mengambil resiko
jiwamu dengan mengambil sebagai teman dekat seseorang
yang agama dan jalannya tidak engkau sukai.

Sufyan bin ‘Uyainah berkata : “Itu telah dipindahkan


dalam hubungannya kepada hadits ini.” Lihatlah kepada
Fir’aun, yang mempunyai teman dekat Haman, lihat kepada
al-Hajjaaj, yang mempunyai teman dekat Yazid bin Abu
Muslim yang menjadikannya lebih buruk dan sebelumnya,
kemudian lihatlah Sulaiman bin Abdul Malik, yang ditemani
oleh Raja’ bin Haywah, yang kemudian meletakkan dia
secara benar dan mengarahkan dia.”

171
Dikatakan bahwa al-Khullah diambil dari “cinta yang
dimasukkan antara hati dan dengan kuatnya membangun hal
itu di dalamnya.” ini adalah peringkat tertinggi dan
persaudaraan dan orang adalah awalnya asing kepada masing-
masing yang lain. Sekali mereka mendapatkan rasa
kekeluargaan, mereka saling memberi keselarasan dengan
yang lain, sehingga mereka menjadi teman yang baik. Bila
mereka sama sejenis, mereka kemudian mempunyai cinta
kepada masing-masing yang lain dan bila cinta ini menghebat,
maka hubungan ini menjadi Khullah.

Ini juga dikatakan, “Orang adalah seperti segerombolan


burung belibis”,2 karena persamaan bentuk yang mereka
lakukan kepada masing-masing yang lain, dan juga karena
kepalsuan perbuatan mereka kepada yang lainnya. Untuk
alasan inilah seseorang yang berbuat baik atau jahat akan
membawa serta dan pahala atau dosa seseorang yang
mengikuti mengerjakan perbuatan yang sama dengannya.

Beberapa orang yang bijaksana berkata: “tiang dari cinta


adalah persamaan dan setiap cinta atau persahabatan yang
tidak berdasar kepada persamaan jenis adalah cepat merosot
dan akan berakhir.”

2 yakni sejenis burung liar

172
Alasan bagi pelarangan dalam bercampur dengan teman
yang buruk dan sebagai peringatan mengambil teman dengan
mereka, adalah bahwa perbuatan orang diatur untuk
berlomba-lomba dan mencontoh teman dekatnya.

Kemudian, mengambil teman seorang pelajar


mengarahkan dalam diri orang itu kemauan yang lebih besar
dalam mencari ilmu. Bergaul dengan pertapa, menyebabkan
orang untuk meninggalkan kesenangan duniawi.

Berteman dengan orang yang berhasrat hawa nafsu yang


tidak baik menyebabkan seseorang terpelanting ke dalam
jurang yang dalam, dan berteman dengan orang yang
berhasrat dunia menyebabkan seseorang berkeinginan kuat
untuk menikmati dunia, dan sebagainya.

Inilah pentingnya agar seseorang memilih temannya yang


akan membawa bagi dirinya kebaikan dan manfaat karena
berkumpul dengan mereka.

Seseorang yang bercermin pada kondisi Salafus Shalih


dan merenungkan sejarah kehidupannya akan mengetahui hal
ini dan dia akan mengamati perhatian keras mereka dan
peringatan atas teman yang jelek akan menyebabkan mereka
menjadi fasiq, membuat bid’ah atau lainnya.

173
Abu Darda berkata: “ini adalah dan kecerdasan seorang
hamba (untuk mempertimbangkan dan menjadi waspada)
dengan siapa dia berjalan, keluar dan masuk”

Abu Qilabah, yang menceritakan hal ini kemudian berkata


: “Semoga Allah bertarung3 dengan penyair yang berkata:

“Mengenai orang,jangan bertanya, tetapi lihatlah pada


siapa temannya. Teman berlomba-lomba dengan
temannya.’4

Al-Asma’I berkata mengenai syair di atas: “Saya belum


pernah melihat syair lebih mirip dengan Sunnah daripada
ini”

Juga diberitakan mengenai Abdullah bin Mas’ud bahwa


dia berkata “Menaksir orang adalah dari teman dekatnya,
karena seseorang itu melindungi orang yang dia memohon
dan pada orang yang dia kagumi”

Al-A’masy juga menceritakan : “Mereka (para Salaf)


tidak bertanya mengenai orang kecuali setelah (menetapkan)
tiga (hal) kepada siapa dia biasa berbicara, kepada siapa dia

3 Jangan diambil dalam arti harfiahnya, karena bahasa Arab mengganakan beberapa istilah di dalam cara yang
berbeda dan saat ini mereka menggunakan frase yang mengandung kata-kata kemarahan, tetapi sebenarnya
berarti berlawanan seperti menunjukkan pujian dan keheranan.

4 Diceritakan oleh al-Khattabi dalam al-Uzlah , dan Ibnu Battah dalam al-Ibaanah, halaman 59

174
biasa masuk, dan kepada siapa dia berteman di antara
manusia”

Sufyan berkata : “Tidak ada yang lebih berpengaruh atas


kejahatan atau pen yucian seorang manusia daripada
seorang teman”

Qatadah berkata : “Sesungguhnya, Demi Allah kami


belum menyaksikan dengan siapa seseorang itu berteman,
kecuali dengan seseorang yang seperti dia dan seperti
tabiatnya, maka bertemanlah dengan hamba Allah yang baik,
sehingga engkau mungkin akan menjadi seperti mereka dan
akan bersama nereka.”

Al-Fudhail berkata : “Itu bukanlah ciri orang yang


beriman, untuk duduk dengan seseorang yang dia sukai... “

Cerita yang sejenis seperti ini cukuplah banyak, yang


kalau disebutkan akan menjadi panjang. Seseorang yang
mempertimbangkan lewat kutipan ini seperti yang lain, akan
mengetahui bahayanya berteman dengan sembarang orang,
bagi agama dan sifat seseorang sehubungan dengan orang-
orang yang jahat, fasiq, dan orang yang suka bermaksiat.

175
Engkau bisa menyaksikan seseorang yang baik, saat dia
berteman dengan orang yang jahat dia akan menjadifasiq dan
fajir seperti mereka dan ini adalah pola dalam ciptaan Allah.

Dan sinilah, percampuran dengan orang-orang fasiq, dan


jahat adalah salah satu penyebab yang terkuat bagi turun dan
melemahnya iman. Nyatanya, bahkan untuk membasminya
dan menghilangkannya adalah tergantung kepada kondisi
kejahatan dan orang tersebut, sebagaimana tingkat
percampuran mereka.

176
BAB V

KUFUR

A. Pengertian Kufur

Kufur adalah kebalikan daripada iman. Dari segi lughat


“kufur” artinya menutupi. Orang yang bersikap ‘kufur’
disebut kafir, yaitu orang yang menutupi hatinya dari hidayah
Allah. Malam juga disebut ‘kafir’ karena malam menutupi
orang dan benda-benda lain dengan kegelapannya.

Dari segi syara’ kufur ada : Kufur Akidah, ialah


mengingkari akan apa yang wajib diimani, seperti iman
kepada Allah, iman kepada Rasul, iman kepada Hari Akhirat,
iman kepada Qadha dan Qadar, dan lain-lain. Firman Allah
dalam surat an-Nisa 136 :

177
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-
Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian,
maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”

Dalam kufur akidah pun ada dua macam, yaitu kufur asli
dan kufur setelah beriman. Kufur asli yakni orang belum
pernah beriman ia menganut ajaran atau kepercayaan yang
selain Islam. Kita wajib untuk mengajak orang tersebut untuk
beriman kepada Allah dan menganut agama Islam, tetapi tidak
boleh mengancam atau memaksa mereka untuk menyembah
Allah dan memaksa mereka menganut Islam karena keimanan
adalah hanya hidayah Allah yang diberikan kepada orang-
orang yang dikehendaki-Nya. Bahkan rasul pun tak dapat
membuat pamannya Abu Thalib untuk beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya. Seperti yang tersebut dalam surat al-Qashash
ayat 56: : “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi
petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah
memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya”.
Dari ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa walaupun Nabi
Muhammad seorang Rasul yang sangat dikasihi Allah, tetapi
beliau tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang
dicintainya (pamannya / Abi Thalib), karena hidayah akan
keimanan dalam hati hanyalah milik Allah SWT. Allahlah

178
yang berhak memberi petunjuk keapda hamba-hambanya
yang Dia kehendaki.
Murtad yaitu orang yang telah beriman dengan agama Islam,
lalu ia keluar dari iman itu dengan memeluk agama lain.

Kufur akidah yang seperti ini dapat menyebabkan orang


kekal dalam neraka. Jadi, kufur akidah ialah tidak beriman
kepada apa yang dengan jelas dan pasti sudah ditetapkan
sebagai ajaran agama, seperti tidak beriman kepada rukun-
rukun iman yang enam perkara itu. Juga orang dapat menjadi
kafir akidah karena mengingkari kewajiban agama yang telah
pasti ketetapannya seperti mengingkari wajib shalat, wajib
puasa, dan lain sebagainya.

Adapun pengertian kufur yang diambil dari Ensiklopedi


Islam, yaitu : Al-Kufr (tertutup) atau tersembunyi, mengalami
perluasan makna menjadi “ingkar” atau tidak percaya,
ketidakpercayaan kepada Tuhan. Kata kafir mengisyaratkan
usaha keras untuk menolak bukti-bukti kebenaran Tuhan,
yakni sebuah kehendak untuk mengingkari Tuhan, sengaja
tidak mensyukuri kehidupan dan mengingkari wahyu.

Berkata Izzuddin bin Abdissalam, bahwa ada tiga hal


yang menyebabkan seseorang mukmin menjadi kafir, yaitu :

179
a. Beriman seperti iman orang kafir, misalnya tidak
mengakui adanya Allah Yang Maha Esa dan kerasulan
Nabi Muhammad SAW
b. Ucapan atau perbuatan yang hanya dilakukan oleh
orang kafir, seperti membuang al-Qur’an dengan sengaja,
pergi ke Gereja untuk beribadat, atau sujud kepada
berhala
c. Mengingkari akan apa yang jelas diketahui sebagai
ajaran agama, seperti mengingkari wajib shalat, wajib
puasam, wajib haji dan sebagainya. Dan juga
menghalalkan minum khomer, berjudi, zina dan
sebagainya.
Demikianlah pengerian kufur dalam dua macamnya :
kufur akidah dan kufur amaliyah yang disebut juga kufur
nikmat. Dalam al-Qur’an istilah kafir mempunyai pelbagai
bentuk dan manifestasinya, yaitu :

a. Kafir ingkar, yaitu orang yang mengingkari


kebenaran ajaran al-Qur’an, baik hal itu disadari sebagai
suatu kebenaran atau belum disadarinya.
b. Kafir inad, yaitu orang yang tidak mau menerima
kebenaran, walaupun ia menyadari bahwa itu adalah
kebenaran

180
c. Kafir juhud, yaitu orang yang mengingkari
kebenaran, sedangkan ia tahu bahwa itu adalah benar
d. Kafir nifaq, yaitu orang yang pura-pura
menampakkan kebaikan, tetapi di dalam hatinya berisi
kejahatan. Secara lahiriyah nampak Islam, tetapi hakikat
isi hatinya mengingkari kebenaran ajaran Islam.
e. Kafir harbi, artinya kata harbi berlaku dalam hukum
perang. Hal ini terjadi jika pihak musuh orang kafir yang
dihadapinya belum menyerahkan diri atau belum mau
menerima perdamaian atau perjanjian dengan kaum
muslimin.
f. Kafir zimmi, arti kata zimmi yaitu tanggungan
kaum muslimin. Hal ini berlaku dalam wilayah yang
dikuasai oleh perdamaian atau perjanjian yang diberikan
oleh kaum muslimin.

B.Pendapat Beberapa Aliran Teologi tentang Iman dan


Kufur
1. Konsep kaum Khawarij
Kaum Khawarij adalah kaum pengikut Ali bin Abi Thalib
yang keluar dari barisan Ali, karena tidak setuju dengan
kebijaksanaan Ali bin Abi Thalib yang menerima

181
tahkim / arbitrase judge between parties to a dispute.
Dari persoalan politik, kemudian kaum khawarij
memasuki juga persoalan teologi Islam. Menurut
golongan Khawarij al-Muhakkimah, Ali, Mu’awiyah,
kedua pengantara Amr ibn al-‘As dan Abu Musa
al-‘Asy’ari adalah kafir.

Iman menurut kaum Khawarij bukan merupakan


pengakuan dalam hati dan ucapan dengan lisan saja, akan
tetapi amal ibadah menjadi rukun iman saja. Dan
menurut kaum Khawarij, orang yang tidak melakukan
shalat, puasa, zakat, dan lain sebagainya yang diwajibkan
oleh Islam, maka termasuk kafir. Jadi apabila sekarang
mukmin melakukan dosa besar mapun kecil, maka orang
itu termasuk kafir dan wajib diperangi serta boleh di
bunuh. Harta bendanya boleh dirampas menjadi harta
ghonimah.

2. Menurut Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa orang mukmin
yang mengerjakan dosa besar dan mati sebelum
bertaubat, maka ia bukan termasuk mukmin dan bukan
pula kafir, tetapi di hukum sebagai orang yang fasiq. Jadi
kefasikan adalah suatu hal yang berdiri antara dengan

182
mengambil jalan tengah antara mukmin dan kafir. Ini
berdasarkan pada:

a. Ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang menganjurkan


mengambil jalan tengah dalam segala sesuatu
b. Pikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa
keutamaan sesuatu adalah jalan tengah antara dua
jalan yang berlebih-lebihan.
c. Pendapat Plato yang mengatakan bahwa ada suatu
tempat antara baik dan buruk.
Golongan Mu’tazilah memperdalam jalan tengah ini
dijadikan suatu prinsip rasionalitas ethis philosophis.
Di akhirat nanti, orang mukmin yang melakukan dosa
besar dan belum bertaubat akan ditempatkan pada
suatu tempat diantara surga dan neraka.
3. Menurut Ahlu Sunnah
Iman adalah orang yang mengikrarkan dengan lisan
dan membenarkan dengan hati. Iman yang sempurna
adalah mengikrarkan dengan lisan, membenarkan dengan
hati dan mengerjakan dengan anggota. Menurutnya
orang mukmin yang melakukan dosa besar dan mati
sebelum bertaubat, maka orang tersebut masih termasuk
mukmin. Bila orang itu mendapat ampunan dari Allah

183
SWT, maka orang itu dimasukkan ke neraka, akan tetapi
untuk sementara sebagai penebus dosa daripada akhirnya
nanti akan dikeluarkannya untuk selanjutnya ke dalam
surga. Orang mukmin bisa menjadi kafir apabila
mengingkari rukun iman yang enam.

Bagi kaum Asy’ariyah, dengan keyakinan mereka


bahwa akal manusia tidak bisa sampai kepada kewajiban
mengetahui Tuhan, iman tidak bisa merupakan ma’rifah
atau amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban itu
hanya melalui wahyu. Bagaimanapun iman hanyalah
tasdiq dan pengetahuan tidak timbul kecuali setelah
datangnya kabar yang dibawa wahyu bersangkutan.

Bagi golongan Samarkand, iman mestilah lebih dari


tasdiq, karena bagi mereka akal dapat sampai kepada
kewajiban mengetahui Tuhan dengan tidak bertanya
bagaimana bentuk-Nya, iman adalah mengetahui Tuhan
dalam ke-Tuhan-annya.

C.Konsep Iman Dan Kufur


1. Konsep Iman

184
Para Mutakallimin secara umum merumuskan
unsur-unsur iman terdiri dari al-tasdiq bi al-qalb; al-iqrar
bi al-lisan; dan al-‘amal bi al-jawarih. Ada yang
berpendapat unsur ketiga dengan istilah yang lain:
al-‘amal bi al-arkan yang membawa maksud
melaksanakan rukun-rukun Islam. Perbedaan dan
persamaan pendapat para mutakallimin dalam konsep
iman nampaknya berkisar di sekitar unsur tersebut.

Jika dilihat dari asal bahasa kata iman berasal dari


bahasa arab yang berarti membenarkan, dan dalam
bahasa Indonesia kata iman berarti percaya yaitu sebuah
kepercayaan dalam hati dan membenarkan bahwa adanya
Allah SWT itu benar-benar ada serta membenarkan dan
mengamalkan semua yang di ajarkan oleh Nabi
Muhammad SAW dan mempercayai Rasul-Rasul
sebelumnya. Iman merupakan inti dasar dari sebuah
peribadatan, tanpa adanya keimanan sangat mustahil
seseorang dapat membenarkan adanya Tuhan.

Dalam pembahasan ilmu kalam konsep iman terbagi


menjadi tiga golongan yaitu:

185
a. Iman adalah Tasdiq dalam hati atas wujud Allah dan
keberadaan Nabi atau Rasul Allah. Menurut konsep ini
iman dan kufur semata-mata adalah urusan hati, bukan
Nampak dari luar. Jika seseorang membenarkan atau
meyakini adanya Allah maka ia dapat disebut teklah
beriman kepada Allah meskipun perbuatannya tidak
sesuai dengan ajaran agama islam. Konsep iman ini
banyak dianut oleh mazhab murjiah yang sebagian
besar penganutnya adalah Jahamiyah dan sebagian
kecil Asy’ariyah.
Menurut paham diatas bahwa keimanan seseorang
tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan atau
amaliyah-amaliyah zahir, dikarenakan hati adalah
sesuatu yang tersembunyi sehingga tidak dapat
disangkut pautkan dengan keadaan yang zhahir.

b. Iman adalah Tasdiq di dalam hati dan diikrarkan


dengan lidah. Dengan demikian seseorang dapat
digolongkan beriman apabila mempercayai dalam hati
keberadaan Allah dan mengikrarkan (mengucapkan)
dengan lidah.
Disini antara keimanan dan perbuatan manusia tidak
ada hubungannya. Yang terpenting dalam iman adalah

186
Tasdiq dalam hati dan diikrarkan dengan lisan konsep
ini dianut oleh sebagian pengikut Mahmudiyah.

c. Iman adalah Tasdiq dalam hati dan diikrarkan


dengan lisan serta dibuktikan dengan perbuatan. Disini
diterangkan bahwa antara iman dan perbuatan
Terdapat keterkaitan karena keimanan seseorang
ditentukan pula oleh amal perbuatannya konsep iman
ini dianut oleh Mu’tazilah dan Khawarij.
Bagi Khawarij antaranya mengatakan pengertian
iman itu ialah, beriktikad dalam hati dan berikrar dengan
lidah serta menjauhkan diri dari segala dosa. Pengertian
yang diberikan oleh Khawarij di atas, sama dengan
Mu’tazilah pada unsur yang pertama dan yang kedua,
tetapi berbeda pada unsur yang ketiga di dalam hal
menjauhkan diri dari segala dosa, bagi Khawarij
termasuk dosa kecil. Sedangkan bagi Mu’tazilah hanya
menjauhkan diri dari dosa besar saja.

Bagi Murjiah pula, menurut al-Bazdawi mayoritas


mereka berpendapat bahawa iman ituhanyalah ma’rifah
kepada Allah semata-mata. Sedangkan bagi Asy’ariyyah,
iman ialah membenarkan dengan hati, dan itulah iktikad .
Di sini terdapat persaman antara konsep Murjiah dan

187
Asy’ariyyah yang menekankan tugas hati bagi iman atas
pengakuan. Cuma Murjiah menggunakan perkataan
ma’rifah, sementara Asy’ariyyah menggunakan al-tasdiq.

Selanjutnya konsep Maturidiyyah secara umumnya


sama dengan konsep Asy’ariyyah dari ahli al-sunnah wa
al-jama’ah, cuma sedikit perbedaan, yaitu bagi
Maturidiyyah tasdiq dengan hati mesti satu kesatuan
beriqrar dengan lidah. Sedangkan bagi Asy’ariyyah
hanya memadai dengan pengakuan hati untuk
membuktikan keimanan, taqrir dengan lisan tidak
diperlukan, kerana taqrir dengan lisan dan mengerjakan
rukun-rukun Islam adalah merupakan cabang dari iman.8
Pendapat Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah golongan
Asy’ariyyah yang agak lebih lengkap tentang iman
seperti yang diberikan oleh al-Baghdadi yang dikutip
oleh Harun Nasution, ia menerangkan bahawa ada tiga
bagian:

a. Iman yang membuat orang keluar dari golongan


kafir dan tidak kekal dalam neraka, yaitu: Mengakui
Tuhan, kitab, para Rasul, qadar baik dan jahat, sifat-
sifat Tuhan dan segala keyakinan lain yang diakui
dalam syari’at.

188
b. Iman yang mewajibkan adanya keadilan dan
melenyapkan nama fasiq dari seseorang serta yang
melepaskan dari neraka, iaitu mengerjakan segala
yang wajib dan menjauhi segala dosa besar.
c. Iman yang menjadikan seseorang itu memperolehi
prioriti untuk langsung masuk ke syurga tanpa
perhitungan, iaitu mengerjakan segala yang wajib serta
yang sunat dan menjauhi segala dosa.

Dari uraian di atas, dapat dibuat kesimpulan bahwa


konsep iman dari aliran yang lima ini, secara umum
dapat dibagi dua:

a. Konsep yang menerima unsur-unsur iman itu secara


mantap ketiga-tiganya, yaitu, al-tasdiq bi al-qalb; al-
iqrar bi al-lisan, al-‘amal bi al-jawarih atau al-‘amal bi
al-arkan.
b. Konsep yang menekankan kepada unsur pertama
saja dari ketiga-tiga unsur tersebut. Unsur-unsur kedua
dan ketiga bagi golongan ini hanya merupakan
cabang-cabang saja dari iman. Pendapat yang kedua
ini terdapat pada golongan yang berpendapat arti iman

189
sebagai ma’rifah dan tasdiq. Golongan ini termasuk
Murjiah, Asy’ariyyah dan Maturidiyyah.

2. Konsep Kufur

Kufur secara lughat (bahasa) kata kufur berasal dari


bahasa Arab yang bermakna ingkar. Kufur dalam banyak
pengertian sering diantagoniskan sebagai kedaan yang
bertolak belakang dengan iman. Adapun yang dimaksud
kufur dalam pembahasan ini adalah keadaan tidak
percaya/tidak beriman kapada Allah SWT. Maka orang
yang kufur/kafir adalah orang yang tidak percaya/tidak
beriman kepada Allah baik orang tersebut bertuhan selain
Allah maupun tidak bertuhan, seperti paham komunis
(ateis). Kufur ialah mengingkari Tauhid, Kenabian,
Ma'ad, atau ragu terhadap kejadiannya, atau mengingkari
pesan dan hukum para nabi yang sudah diketahui
kedatangannya dari sisi Allah SWT.

Ciri dari kekufuran adalah mengingkari secara


terang-terangan terhadap suatu hukum Allah SWT yang
mereka tahu tentang kebenarannya dan mereka memiliki
tekad untuk memerangi agama yang hak. Dari sinilah

190
syirik (mengingkari tauhid) termasuk salah satu ciri
konkret dari kekufuran.

Oleh karena itu orang-orang kufur/kafir sangatlah


dimurkai oleh Allah SWT karena mereka tidak
melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan
oleh Allah. Adapun kufur/kafir sangatlah erat kaitannya
atau hubungannya dengan keadaan-keadaan yang
menyesatkan seperti syirik, nifak, murtad, tidak mau
bersyukur kepada Allah SWT, dan lain sebagainya.

Para Mutakallimin selalu mengaitkan persoalan


iman ini dengan kufur. Persoalan-persoalan kufur timbul
dalam sejarah bermula dari tuduhan kufurnya perbuatan
sahabat-sahabat yang menerima arbitrasi sebagai
penyelesaian perang Siffin. Selanjutnya persoalan hukum
kafir ini bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan
hukum dengan al-Quran, tetapi juga orang yang
melakukan dosa besar, yaitu murtakib al-kabair sehingga
melahirkan perbedaan pendapat tentang murtakib al-
kabair ini, apakah masih tetap mukmin atau sudah kafir,
yaitu keluar dari Islam? Bagaimanakah kedudukan
mereka di dunia dan di akhirat? Apakah orang yang
melakukan dosa besar akan kekal dalam neraka atau

191
adakah kemungkinan keluar dari neraka dan masuk
syurga? Sebelum menjawab persoalan-persoalan
tersebut, perlu dinyatakan, apakah faktor yang termasuk
dalam dosa besar.

Ada hadist-hadist yang mengatakan bahwa dosa


besar selain syirik ialah:

a. Zina
b. Sihir
c. Membunuh manusia tanpa sebab yang
dibolehkan Allah
d. Memakan harta anak yatim piatu
e. Riba
f. Meninggalkan medan perang
g. Memfitnah perempuan yang baik-baik

Menurut mayoritas pemuka Khawarij, berpendapat


bahwa semua dosa besar adalah kufur, orang yang
melakukan dosa besar itu dihukum kafir dan kekal di
dalam neraka. Pendapat ini diutarakan oleh golongan
cabang al-Muhakkimah yang paling awal dalam
Khawarij. Khawarij cabang Azariqah pula lebih jauh

192
ekstrim dari golongan pertama. Mereka menghukum
sebagai syirik bagi orang yang melakukan dosa besar. Di
dalam Islam syirik lebih besar dari kufur, bahkan lebih
jauh dari itu bagi golongan Azariqah menyatakan bahawa
yang menjadi musyrik bukan hanya orang Islam yang
melakukan dosa besar saja, tetapi juga semua orang
Islam yang tidak sepaham dengan mereka. Berlainan
dengan Khawarij cabang Ibadiah, mereka tidak
sependapat dengan Azariqah, menurut mereka orang
yang tidak masuk golongan mereka bukanlah musyrik
dan bukanlah pula mukmin, paling berat ia boleh
dikatakan kafir. Mereka membagikan golongan kafir ini
kepada dua golongan:

a. Kafir al-Ni’mah Ialah orang yang tidak


bersyukur terhadap nikmat-nikmat yang diberikan
Tuhan.
b. Kafir al-Millah Ialah orang yang keluar dari
agama.

Bagi golongan Ibadiah, orang yang melakukan dosa


besar termasuk dalam arti yang pertama, yaitu mereka
masih tetap muwahhidun, sah syahadatnya, boleh nikah

193
dan waris mewarisi, bahkan yang terpenting haram darah
mereka, artinya tidak diperangi.

Nampaknya pendapat Ibadiah ini lebih sederhana


dari Azariqah. Bagi Azariqah, orang yang tidak masuk
golongan mereka boleh diperangi, karena bukan daerah
Islam tetapi adalah dar al-harb atau dar al-kufr, darah
mereka adalah halal. Yang dianggap dar al-Islam bagi
mereka hanyalah orang yang termasuk wilayah atau
golongan mereka saja. Menurut al-Bazdawi, konsep
Khawarij mengatakan bahwa orang yang meninggal
dunia dalam keadaan berdosa besar dan berdosa kecil
yang tidak bertaubat akan kekal dalam neraka.

Bagi kaum Murjiah secara umumnya berpendapat


bahwa soal kufur dan tidak kufur adalah lebih baik
ditunda saja sampai ke Hari Pengadilan Tuhan di akhirat
kelak. sebab itu, kaum Murjiah tetap menganggap
sahabat-sahabat yang terlibat dengan arbitrase adalah
orang-orang yang dipercayai dan tidak keluar dari jalan
yang benar. Tetapi ada juga di kalangan cabang Murjiah
yang mempersoalkan tentang soal kufur seperti
Muhammad Ibn Karran. Menurutnya, orang-orang yang
tidak mengucap dua kalimat syahadat, serta orang yang

194
mendustakan dan mengingkari adanya Allah dengan
perkataan bukan dengan perbuatan adalah kafir.

Argumentasi Murjiah, ialah bahwa orang Islam


yang melakukan dosa besar masih mengucap dua kalimat
syahadat dan Nabi Muhammad adalah Rasul-Nya, orang
seperti ini masih mukmin bukan kafir atau musyrik.
Dalam dunia ini ia tetap dianggap mukmin bukan kafir.
Soalnya di akhirat diserahkan kepada keputusan Tuhan,
kalau dosa besar diampunkan, ia segera masuk syurga,
kalau tidak akan masuk neraka untuk waktu yang sesuai
dengan dosa yang dilakukan dan kemudian masuk
syurga.

Pendapat tentang kufur berikutnya, ialah dari aliran


Mu’tazilah. Pendapat Mu’tazilah tentang murtakib al-
kabair ini, ialah sebagai bukan kafir dan bukan pula
mukmin. Konsep Mu’tazilah disebut manzilah bain
manzilataian atau posisi antara dua posisi. Di akhirat
kelak orang yang melakukan dosa besar itu tidak akan
dimasukkan ke dalam syurga dan tidak pula dimasukkan
ke dalam neraka yang dahsyat, seperti orang kafir, tetapi
dimasukkan ke dalam neraka yang paling ringan.

195
Di dalam dunia ini, orang yang melakukan dosa
besar itu bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi
fasiq, tidak boleh disebut mukmin, walaupun dalam
dirinya ada iman, kerana pengakuan dan ucapan dua
kalimat syahadatnya, dan tidak pula disebut kufur,
walaupun ‘amal perbuatan dianggap dosa, kerana ia tidak
mempengaruhi imannya. Timbul lagi satu pertanyaan,
“Siapakah yang disebut kafir oleh aliran Mu’tazilah?”
Menurut mayoritas Mu’tazilah, orang yang tidak patuh
terhadap yang wajib dan yang sunat disebut ma’asi.
Ma’asi terbahagi kepada dua, iaitu pertama, ma’asi kecil
dan kedua ma’asi yang besar. Ma’asi yang besar
dinamakan kufur. Ma’asi yang besar, yang membawa
kepada kufur ada tiga, iaitu:

a. Seseorang yang menyamakan Allah dengan


makhluk.
b. Seseorang yang menganggap Allah tidak adil
atau zalim.
c. Seseorang yang menolak eksistensi Nabi
Muhammad yang menurut nas
telah disepakati kaum muslimin.

196
Kalau patuh dan taat terhadap yang wajib dan sunah
disebut iman, ini bukan berarti kalau tidak melakukan
yang wajib dan sunah langsung menjadi kufur. Menurut
Hisyam al-Fathi, salah seorang pemuka Mu’tazilah,
menyebut keadaan seperti itu dengan
contoh tentang orang yang melaksanakan shalat dan
berzakat. Menunaikan shalat dan zakat disebut realisasi
iman, maka orang yang melakukan keduanya disebut
mukmin, tetapi kalau shalat dan zakat tidak ditunaikan,
orang tersebut tidak boleh pula disebut kafir. Untuk
orang yang tidak melaksanakan yang wajib seperti shalat
dan zakat serta lainnya diistilahkan sebagai fasiq saja.

Sedangkan pendapat Ibad Ibn Sulaiman, dari


kalangan pemuka Mu’tazilah juga, agak sederhana dari
pendapat terdahulu, ia berpendapat iman adalah
kepatuhan kepada yang wajib bukan sunah. Seseorang
yang tidak beriman kepada Allah disebut kafir millah,
yaitu kafir agama. Dari pendapat pemuka Mu’tazilah,
dapat disimpulkan bahawa kufur adalah tidak mengucap
dua kalimat syahadat dengan iringan keyakinan penuh;
dan fusuq adalah perbuatan dosa besar, serta iman adalah
pengakuan dengan hati yang dinyatakan dengan lisan dan

197
melaksanakan perintah-perintah Allah serta menjauhi
dosa besar.

Menurut al-Asy’ari sendiri, iman ialah pengakuan


dalam hati tentang ke-Esaan Allah dan tentang kebenaran
Rasul-Rasul serta segala apa yang mereka bawa,
mengucapkannya dengan lidah dan mengerjakan rukun-
rukun Islam merupakan cabang iman. Dengan demikian,
untuk menjadi mukmin, cukup dengan pengakuan dalam
hati tentang dua kalimah syahadah serta membenarkan
apa yang dibawa oleh Rasul. Dengan itu, tentulah yang
disebut kufur ialah orang yang tidak membuat pengakuan
atau membenarkan tentang ke-Esaan Tuhan dan tentang
kebenaran Rasul serta segala yang mereka bawa.
Menurut Asy’ariyyah seorang muslim yang berdosa
besar jika meninggal dunia tanpa bertaubat, nasibnya
terserah kepada ketentuan Tuhan, mungkin orang itu
diampuni Allah karenarahmat dan kasih sayang-Nya.

Ada kemungkinan juga tidak akan diampuni Allah


dosa-dosanya dan akan diazab sesuai dengan dosa-dosa
yang dibuatnya dan kemudian baru ia dimasukkan ke
dalam syurga, kerana ia tidak mungkin akan kekal
tinggal dalam neraka. Ringkasan dari uraian ini dapat

198
disimpulkan menurut Asy’ariyyah orang-orang yang
berdosa besar bukanlah kafir, dan tidak akan kekal dalam
neraka.

Orang demikian adalah mukmin dan akhirnya akan


masuk syurga. Selanjutnya bagi Maturidiyyah, orang
yang berdosa kecil, dosa-dosa kecilnya akan dihapus
oleh kebaikan salat dan kewajipan-kewajipan lain yang
dijalankan. Pendapat ini didasarkan kepada firman Allah
surah Hud, 11: 114:44

Artinya:” Dan dirikanlah salat itu pada kedua tepi siang


(pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan
daripada malam. Sesungguhnya, perbuatan-perbuatan
yang baik itu mengahapuskan (dosa) perbuatan-
perbuatan yang jahat. Itulah peringatan bagi orang-
orang yang ingat.”

199
BAB VI
TAQLID, ITTIBÂ’, TALFIQ DAN IFTA’

A. Taqlîd

200
Secara bahasa kata taqlîd (‫ )تسقسلسيس س س س س سسد‬berarti meniru,

mencontoh dan mengikuti. Adapaun secara istilah seperti


disebutkan oleh Wahbah Zuhaili5 adalah sebagai berikut ;

‫التسقسليسدهسوأخسذ قسول السغسيسرمسن غسيسرمسعسرفسة د لسيسلسه‬

Artinya ; Taqlîd ialah berpegang kepada pendapat orang lain


tanpa mengetahui dalilnya.

Salam Madkur, menyebutkan bahwa ijtihâd secara


istilah adalah sebagai berikut ;

.‫التاقاليادهاوالاعامال بسقسسول مسن ليسس قسوله احسدى السجسج السشسرعسيسة بل حجسة منسه‬

Artinya ; Taqlid ialah mengamalkan satu pendapat tanpa ada


landasan hujjah syariyah.

Sementara itu, Imam Al-Gazali sebagaimana dikutip oleh


Muhammad Salam Madkur6 menyebut

kan bahwa taqlid itu ialah

5 Wahbah Zuhaili. 1986. Ushul al-Fiqh Al-Islam, Jilid II. Damaskus ; Dar al-Fikr Lit-Tiba’ah wa al-Tauzi wa al-
Nasyar, Cet. I, halaman 1120

6 Ibid

201
.‫قاباول قااول باال حجاة‬

Artinya ; Mengikuti suatu pendapat tanpa mengetahui


hujjahnya.

Wahbah Zuhaili menyebutkan, bahwa pada awal abad


keempat Hijriyah, keadaan ini terus berlangsung pada abad-
abad berikutnya. Hal ini terlihat, terutama setelah berlalunya
imam-imam yang empat dan melembaga serta mengakarnya
mazhab yang empat dalam masyarakat.

Dengan munculnya sikap taqlîd dari para pengikut


mazhab, maka semangat berijtihad di kalang ulama fiqih
semakin hari semakin menurun dan berkurang--yang pada
akhirnya para ulama hanya mencukupkan dari pada pendapat-
pendapat yang ada.

Di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat boleh


tidaknya bertaqlid. Perbedaan ini agaknya dilatarbelakangi
oleh dua hal yaitu; pertama dalam katiannya dengan
pembidangan ajaran agama dan kedua, dalam kaitannya
dengan pengelompokkan orang yang bertaqlid itu.

Dalam pandangan ulama fiqih, bahwa hukum syara’


dibagi kepada persoalan yang menyangkut dengan aqidah
atau disebut dengan ushûl al-‘ammah (pokok-pokok ajaran

202
keimanan) dan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan
furû’iyah yaitu yang menyangkut amalan praktis.

a. Taqlîd dalam persoalan aqidah.

Yang dimaksud dengan masalah aqidah disini, ialah


sebagaimana dijelaskan oleh Wahbah Zuhaili, yaitu
mengetahui Allah Swt dengan segala syifat-Nya,
masalah tauhid dan masalah kenabian, dan seluruh
persoalan hukum yang mesti diketahui oleh semua
orang mukallaf, seperti; masalah ibadah, mu’amalah,
hukuman, rukun Islam yang lima, keharaman riba’,
zina, halalnya nikah dan lain-lainnya -- yang
kesemuanya ditetapkan dengan dasar yang qath’iy
(pasti).

Ulama ushul berbeda pendapat tentang hukum bertaqlid


terhadap masalah aqidah. Dalam hubungan ini, Jumhur
ulama berpendapat bahwa tidak boleh bertaqlid dalam
masalah aqidah dimana seseorang harus berupaya
memahaminya dengan menggunakan nalar, bukan
hanya sekedar mengikut pendapat orang lain Jumhur
ulama berpendapat bahwa mempergunakan nalar itu
adalah wajib sedangkan taqlîd tidak mempergunakan

203
nalar sama sekali. Hal ini berarti mengamalkan yang
wajib. Oleh karena itu, taqlîd tidak dibolehkan. Lebih
tegas lagi, jumhur ulama ushul dan ulama kalam
sepakat dalam hal mewajibkan kepada setiap orang
untuk mengetahui dan mengenal Allah Swt.

Dengan demikian tidak dibenarkan bersikap taqlîd


dalam persoalan aqidah ini. Adapun yang mendasari
pandangan jumhur ushul fiqh tidak boleh taqlîd dan
wajib menggunakan nalar itu ialah Al-Qur’an surat Ali
Imran/3, ayat 190; yang artinya : “... bahwa dalam
penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya
malam dan siang merupakan tanda-tanda bagi orang
yang berakal.” Ayat ini jelas memerintahkan untuk
menggunakan nalar dan akal untuk berfikir, termasuk
persoalan aqidah.

Sementara pendapat lain mengatakan bahwa boleh


bertaqlid dalam persoalan aqidah. Ubaidillah bin al-
Hasan al-Anbari tokoh dari kalangan Muktazilah, Al-
Hasyawiyyah (kelompok yang hanya berpegang kepada
zahir ayat-ayat Allah dan at-Ta’limiyah (kelompok
Batiniah yang berpendapat bahwa pada setiap masa
terdapat seorang imam yang maksum (terpelihara dari

204
kesalahan) menegaskan bahwa bertaqlid dalam urusan
aqidah ialah dibolehkan. Bahkan kalangan ini
berpendapat bertaqlid dalam hal ini diwajibkan,
sebaliknya menggunakan nalar dan ijtihâd dalam urusan
aqidah adalah diharamkan.

Kelompok ini juga mengatakan. Apabila


menggunakan nalar dalam persoalan aqidah diwajibkan,
maka tentunya para sahabat akan melakukannya dan
memerintahkan orang lain untuk melakukannya. Akan
tetapi, para sahabat tidak melakukannya, karena tidak
ada satu riwayatpun yang menyatakan mereka
melakukan hal tersebut.

b. Taqlîd dalam masalah furû’iyah

Masalah furû’iyah ialah persoalan-persoalan


hukum yang berhubungan dengan amalan praktis yang
ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang zhanniyat (dalil-
dalil yang tidak tegas yang mengandung berbagai
kemungkinan pendapat). Dalam hal ini ulama berbeda
pendapat;

205
Pertama, yaitu dari golongan mazhab zahiri,
sebagian muktazilah di Bagdad, dan sekelompok syi’ah
Imamiah mengatakan bahwa tidak dibenarkan bertaqlid
dalam urusan furû’iyah. Sekarang harus melakukan
ijtihad dan beramal sesuai dengan hasil ijtihadnya itu.
Bahkan Ibnu Hazm, salah seorang ulama usuhl fiqh dari
kalangan mazhab Zahiri mengatakan bahwa haram dan
tidak halal agi seseorang mengikuti (bertaqlid) pendapat
orang lain, selain yang datang dari Rasulullah SAW.
Kelompok ini beralasan kepada surat al-A’raf ayat/7,
ayat 3, yang artinya “ Ikutilah apa yang diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu
mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya (Tuhan),
amat sedikitlah kamu yang mengambil pelajaran”.
Berdasarkan ayat ini, maka kelompok ini menyatakan
tidak boleh bertaqlid kepada selain dari apa yang
dibawa Rasul selanjutnya pendapat.

Pendapat kedua, menyatakan bahwa bertaqlid itu


wajib hukumnya dalam masalah-masalah furuûiyah,
sebagaimana halnya pendapat mereka wajibnya
bertaqlid dalam persoalan aqidah. Pendapat ini
dikemukakan oleh Nasyawiyah dan at-Ta’limiyah.

206
Pendapat ketiga, dari kalangan jumhur ulama
ushul fiqh yang terdiri dari mazhab Hanafi, mazhab
Maliki, mazhab Syafe’i dan mazhab Hanbali
mengatakan bahwa berijtihad dalam masalah furû’ tidak
dilarang dan para mujtahid diharamkan (dilarang)
bertaqlid.

Adapaun orang awam, yaitu orang yang tidak


memenuhi persyaratan sebagai mujtahid sekalipun ia
berilmu, “boleh” bertaqlid. Kelompok jumhur ini
mengemukakan beberapa alasan. Diantara alasan
tersebut ialah;

(1) berdasarkan surat an-Nahal/16, ayat


43, yang artinya ; ... “maka

bertanyalah kamu kepada orang yang


memiliki pengetahuan, jika kamu tidak
mengetahui”. Kemudian alasan

(2) taqlid ialah menurut kelompok ini


para sahabat telah mengeluarkan fatwa

bagi orang awam yang bertanya kepada mereka


dalam berbagai persoalan dan tidak seorangpun
diantara mereka yang mengingkari hal ini.

207
Oleh karena itu, menurut jumhur ulama ushul
ini, orang-orang yang mampu berijtihad haram
baginya bertaqlid dan sedangkan orang-orang
awam dibolehkan bertaqlid.

Disamping itu jumhur ulama ushul membagi


taqlid itu kepada dua macam, yaitu taqlid al-
Mahmûd dan taqlid al-Mazmûm, yang
dimaksud dengan taqlid al-Mahmûd atau
mahmûdah ialah taqlid yang dilakukan oleh
orang awam yang tidak memiliki kualifikasi
sebagai mujtahid. Orang-orang seperti ini
hanya bisa mengikuti pendapat atau pandangan
para imam mujtahid dengan mengetahui
dalilnya.

Bagi orang awam akan lebih baik bertaqlid


kepada pendapat-pendapat imam mazhab yang
mereka yakini. Sebab, jika tidak bertaqlid
justeru akan salah. Adapun taqlid al-Mazmûm
atau Mazmûmah adalah taqlid yang tercela atau
dilarang. Menurut jumhur ulama ushul ada
tiga bentuk taqlîd yang dilarang; yaitu

208
(a) bertaqlid kepada orang tua atau
pemimpin tanpa mengkaji

(mengetahui) sama sekali pendapat tersebut.

(b) bertaqlid yang dilakukan seseorang


terhadap orang lain, sementara dia

sebenarnya mampu berijtihad sendiri dan


pendapatnya bisa diikuti oleh orang awam;
dan

(c) bertaqlid kepada sesuatu pendapat


setelah diketahui adanya dalil yang
bertentangan dengan pendapat yang diikuti
itu. Dalam hubungan inilah jumhur ulama
ushul dari kalangan mazhab menegaskan
bahwa tiga macam taqlid tercela di atas
haram diikuti.

Tokoh-tokoh mazhab seperti imam Abu


Hanifa, Imam Malik, Imam Sayfe’i, Imam
Ahmad Ibn Hanbal dan imam AbuYusuf
menghinbau dan menyatakan, “agar
pendapat mereka jangan diikuti secara
membabi buta. Imam Syafe’i mengatakan”

209
orang yang bertaqlid kepada orang lain tanpa
mengetahui dalilnya adalah ibarat pencari
kayu bakar di malam yang mengambil
seluruhnya yang dianggapnya sebagai kayu
bakar, sehingga tidak tahu bahwa ular telah
melilit pada ikatan kayu bakar. Begitu juga
imam Ahmad bin Hanbal mengatakan
”jangan kamu bertaqlid pada saya, pada
Imam Malik, Sufyan As-Sauri dan
Abdurrahman al-Auza’i, ambillah pendapat
mereka sesuai tempat mereka
mengambilnya.

Bahkan Imam Abu Yusuf menjelaskan


bahwa tidak halal bagi seseorang mengambil
pendapat kami sampai dia mengetahui dari
mana kami mengambil pendapat itu.
Menurut jumhur ulama ushul, orang yang
boleh bertaqlid adalah orang yang benar-
benar awam. Orang seperti ini boleh
bertaqlid dalam masalah furû’ yang
ditetapkan berdasarkan dalil yang zhanny.

210
Bagi orang yang mampu memahami dalil
yang digunakan mujtahid maka harus ittibā’.

Pertanyaan yang muncul kemudian ialah faktor-faktor


apa saja yang menyebabkan terjadinya sikap taqlid tersebut.
Berdasarkan catatan Sya’ban Muhammad Ismail, bahwa
faktor-faktor yang melatarbelakangi timbulnya sikap taqlid itu
adalah sebagai berikut ;

1. Kuatnya ajakan untuk mengikuti mazhab oleh murid-


murid para imam yang menganut dan mengaitkan
kepada imam-imam yang menjadi tokoh mazhab.
Disamping itu adanya keberpihakkan penguasa kepada
salah satu mazhab-mazhab -- dalam hal yang berkaitan
urusan agama.

2. Melemahnya kemampuan hakim (qadli) dalam istinbat


hukum. Hal ini terliaht terutama pada abad kelima
Hijriyah. Jika sebelumnya, hakim-hakim itu dipilih dari
para ulama yang memiliki kemampuan untuk
melakukan istinbât hukum daari al-Qur’an dan Sunnah.
Mereka dikenal sebagai orang taqwa, zuhud, dan wara’.
Mereka mampu melakukan ijtihâd dalam rangka
menetapkan hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah.

211
Kadang-kadang mereka bertanya kepada para Mufti
apabila mereka tidak menemukan jawaban atas sesuatu
kasus hukum. Karena lemahnya kemampuan hakim
dalam menetapkan hukum, sehingga mereka hanya
mempedomani pendapat mazhab saja. Disamping itu
pada masa ini mazhab-mazhab fiqih juga telah tersebur
dari berbagai wilayah Islam – yang juga menjadi anutan
masyarakat.

3. Semakin melembaga dan mengakarnya ajaran mazhab


di dalam masyarakat, sehingga ia menjadi anutan yang
sulit ditinggalkan oleh masyarakat.

4. Timbulnya rasa iri atau dengki antar tokoh dan


pengikut mazhab yang tidak jarang berujung pada
konflik.

5. Munculnya fuqaha yang berpikiran picik dan seringnya


terjadi konflik (jidal) antar sesama mereka.

6. Rusaknya sistem pendidikan dan sibuknya ulama pada


urusan-urusan yang tidak produktif.

7. Banyaknya karya-karya yang sesungguhnya tidak


mendukung untuk kemajuan.

212
8. Munculnya sikap matrealitis di kalangan masyarakat
dan senang mengumpulkan harta serta hilangnya
semangat untuk mengembangkan ilmu.

B. Ittibâ’

Secara bahasa ittibâ’ terambil dari akar kata “ ‫اتابع – ياتاباع‬


‫ ”– اتاباااااع‬yang berarti mengikuti. Adapun menurut istilah
sebagai dijelaskan oleh Wahbah Zuhaili adalah sebagai
berikut ;

‫وامـاالتاـبـاع فـهـوسـلوك الـتاـابـع طريـق الـمـتاـــبوع وأخــذ‬


،‫ــوعه‬
‫ــا متاب‬
‫الـحـكـم مـن الد لـيـل بـالـطريـق الـتاى أخـذ بـهـ‬
‫ــن د‬
‫ــه مـ‬
‫ــضح لـ‬
‫فـهـوا تاـبـاع للـقـائـل على أســاس مـا اتاـ‬
.‫لـيـل عــلى صـحـة قـولـه‬

Artinya ; Cara yang ditempuh seorang pengikut sesuai


dengan cara yang dilakukan oleh orang yang diikuti
serta mengambil / menetapkan hukum dari dalil-dalil
yang jelas-jelas ia ketahui tingkat kesahannya.

Selanjutnya, dalam Ensiklopedi Hukum Islam,


disebutkan bahwa yang dikatakan ittibā’ itu ialah mengikuti
pendapat Imam-imam mujtahid dengan mengetahui dalil-
dalilnya yang pendapat tersebut. Misalnya apabila mengambil
pendapat Imam Abu Hanifah bahwa tidak batal wuduk

213
seorang laki-laki yang bersentuhan kulit dengan seorang
wanita, maka harus mengetahui alasan yang digunakan oleh
Imam Abu Hanifah dalam mendukung pendapatnya.

Sebaliknya, apabila seseorang laki-laki mengikuti


pendapat Imam Syafe’i yang mengatakan bahwa wuduk
seseorang batal apabila bersentuhan kulit dengan wanita maka
ia harus mengetahui dalil yang dipergunakan Imam Syafei
dalam mendukung pendapatnya itu. Menurut jumhur ulama
ushul cara seperti ini disebut dengan ittibā’.

Dengan demikian, jelaslah bahwa perbedaan antara


taqlîd dan ittibā’. Taqlîd mengikuti pendapat imam mujtahid
tanpa mengetahui alasan dalilnya. Sedangkan ittibā’ ialah
mengikuti suatu pendapat imam Mujtahid dengan mengetahui
alasan dalil serta sumber pengambilannya. Dalam pandangan
Wahbah Zuhaili bahwa ittibā’ itu sesungguhnya adalah
mengikuti suatu pendapat (al-qaul) dengan mengetahui hujjah
serta dalil yang melandasi hujjah tersebut.

C. TALFÎQ

Secara etimologi, kata talfîq (‫ )تالافاياق‬berasal dari akar


kata

214
“ ‫ تالفاياق‬-‫ يالفاق‬-‫”لافاق‬, yang berarti “merapatkan dua tepi” atau
mempertemukan menjadi satu”. Adapun secara istilah terdapat
sejumlah definisi degnan redaksional yang berbeda. Wahbah
Zuhaili7 menyebutkan bahwa talfiq itu ialah ;

.‫ان يـتـرتـب عــلى الـعـمـل بـتـقــليـد‬

Artinya ; Mengamalkan (ajaran agama) dengan mengikuti


beberapa mazhab.

Amir Syarifuddin menyebutkan, bahwa talfîq itu


mengamalkan atau beramal dalam urusan agama dengan
berpedoman kepada petunjuk beberapa mazhab. Sementara
itu, dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan talfiq ialah cara mengamalkan suatu ajaran
agama dengan mengikuti secara taqlîd tata cara berbagai
mazhab, sehingga dalam satu amalan terdapat pendapat
berbagai mazhab.

Sebagai contoh dapat dikemukakan disini ialah tentang


wudluk. Ketika berwudluk, khususnya dalam hal menyapu
(mengusap) kepala seseorang mengikuti cara yang
dikemukakan oleh Syafe’i. Imam Syafe’i berpendapat bahwa
dalam berwudluk seseorang cukup menyapu sebagian kepala,

215
minimal tiga helai rambut. Setelah berwudluk orang tersebut
bersentuhan kulit dengan seorang wanita yang bukan
mahramnya. Menurut Syafe’i, wudluk orang (orang laki-laki)
tersebut batal. Jika bersentuhan dengan mahramnya tidaklah
batal.

Akan tetapi dalam hal bersentuhan kulit dengan wanita


bukan mahram setelah berwudluk orang (laki-laki) tersebut
mengambil pendapat imam Abu Hanifah dan meninggalkan
pendapat Imam Syafe’i. Dalam pandangan Imam Abu Hanifah
bahwa persentuhan kulit antara peria dan wanita bukan
mahram dalam keadaan wudluk tidaklah batal wudluknya.
Dalam kasus ini pada amalan wudluk terkumpul dua pendapat
sekaligus yaitu ; pendapat imam Syafe’i dan Imam Abu
Hanifah.

Jika dilihat dari pendapat dua mazhab itu secara terpisah


maka wudluk tersebut tidak sah. Dalam mazhab Syafe’i
wudluk tidak sah karena yang bersangkutan telah bersentuhan
kulit dengan wanita yang bukan mahram. Dilihat dari
mazhaHanafi wudluk tersebutpun tidak sah, karena orang
tersebut hanya menyapu sebagian kepalanya. Karena menurut
Imam Abu Hanifah, dalam berwudluk kepala harus disapu
atau diusap seluruhnya.

216
Para ulama memang memperbincangkan pesoalan talfîq
ini. Menurut Amir Syarifuddin, ulama yang tidak
mengikatkan diri kepada salah satu mazhab atau kepada
seorang mujtahid tidak merasa perlu memperbincangkan
persoalan talfîq ini. Demikian juga halnya dengan kalangan
ulama yang mengharuskan bermazhab bahwa mereka tidak
perlu membicarakan talfîq, karena talfîq itu hakekatnya adalah
pindah mazhab.

Adapun perbincangan talfîq itu muncul, karena ada


sebagian ulama yang membolehkannya. Bahkan, mayoritas
ulama fiqh dan ushul fiqh membolehkan talfîq dalam
mengamalkan suatu pendapat. Namun demikian diingatkan
juga bahwa dibolehkan talfîq itu tidak dimaksudkan untuk
memudah-mudahkan dalam beragama. Talfîq itu dibolehkan
hendaklah memperhatikan hal-hal sebagai berikut ;

1. Mengambil cara yang termudah karena hendaklah


disebabkan adanya uzur. Hal ini diingatkan oleh Al-
Gazali bahwa talfîq tidak boleh didasarkan pada
keinginan mengambil yang termudah dengan dorongan
hawa nafsu.

217
2. Talfîq tidak boleh membatalkan hukum yang telah
ditetapkan hakim, karena apabila hakim telah
menentukan suatu pilihan hukum dari beberapa pendapat
tentang sesuatu masalah maka hukum itu wajib dita’ati.

3. Talfîq tidak boleh dilakukan dengan mencabut


kembali suatu hukum atau amalan yang sudah diyakini.

Namun harus diingat, bahwa talfîq akan ditolak jika


tujuannya hanya mencari-cari kemudahan atau
keringanan, yang dalam istilah ulama ushul disebut
dengan

" ‫”تتاباع الرخاص‬. Akan tetapi, bila talfîq itu dilakukan


dengan motivasi maslahat, yaitu untuk menghidnarkan
kesulitan dalam beragama, maka hal ini dapat dilakukan.

D. IFTÂ’

Secara etimologi kata iftâ’ (‫ )افاتااء‬terambil dari akar kata

“‫ ”أفااااتى – يافااااتى – افاتاااااء‬yang berarti memberi penjelasan,


memberi jawaban dan atau berarti memberi fatwa. Secara
tegas rumusan tentang iftâ’ ini. Akan tetapi dapat dipahami
bahwa iftâ’ itu intinya adalah usaha memberikan penjelasan

218
tentang suatu hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang
belum mengetahuinya. Dari sini dapat dipahami bahwa yang
dimaksud dengan iftâ’ ialah jawaban yang diberikan oleh
seorang ahli atas suatu pertanyaan tentang suatu persoalan
hukum syara’. Orang yang memberikan jawaban atas
pertanyaan itu disebut dengan mufti (‫)المافاااتى‬. Secara lebih
tegas dikatakan bahwa iftâ’ itu adalah fatwa yang diberikan
oleh seorang mufti atas suatu persoalan hukum yang
ditanyakan kepadanya. Pekerjaan meminta fatwa itu disebut
dengan istaftâ’ (‫)اسااتافاااتى‬. Sedangkan orang yang meminta
fatwa atau yang diberi jawaban fatwa disebut dengan
mustaftî’ (‫)الامسااتافاتى‬.

Mufti’ atau orang yang memberi fatwa itu sesungguhnya


adalah juga mujtahid atau faqih. Oleh karena itu, segala
sesuatu yang terkait dengan persyaratan seorang muftī pada
dasarnya sama dengan seperti mujtahid atau faqih. Namun
demikian, Imam Ahmad bin Hanbal, sebagai dijelaskan oleh
Muhammad Abu Zahrah menyebutkan secara khusus syarat-
syarat seorang mufti, sebagai berikut ini.

1. Seorang Mufti itu hendaklah memiliki niat yang


ikhlash. Sekiranya seorang mufti tidak memiliki niat
yang tulus, maka ia tidak akan mendapat cahaya.

219
2. Mufti hendaklah seorang yang memiliki ilmu,
penyantun, sopan dan tenang.

3. Mufti hendaklah seorang yang memiliki semangat /


jiwa yang kuat.

4. Berkecukupan

5. Mengenal keadaan dan lingkungan masyarakatnya.

Akan tetapi secara umum, kalam ulama ushul fiqh


mengemukakan persyaratan yang harus dipenuhi seorang
mufti agar fatwanya dapat dipertanggung jawabkan.
Persyaratan tersebut adalah. (1) balgih, berakal dan merdeka;
(2) adil; dan (3) memenuhi persyaratan seorang mujtahid atau
memiliki kapasitas keilmuan untuk memberikan fatwa.
Berdasarkan persyaratan ini ; seorang mufti tidak harus
seorang laki-laki. Wanitapun boleh menjadi mufti asal
memenuhi persyaratan di atas.

Adapun yang dimaksud dengan adil, menurut Al-Gazali,


adalah seorang yang istiqomah dalam agamanya dan
memelihara kehormatan pribadinya. Syarat ini sangat
diperlukan, karena mufti merupakan panutan bagi masyarakat,
baik dari segi fatwa yang dikeluarkannya maupun dari segi
kepribadiannya.

220
Terkait dengan syarat adil bagi mufti ulama ushul fiqh
juga mengemukakan implikasi dari syarat ini. Menurut
mereka ada tiga hal yang harus diperhatikan oleh para mufti
dalam kaitannya dengan syarat adil ini ;

(a) setiap fatwanya harus senantiasa dilandasi oleh dalil,

(b) apabila mufti tersebut kapasitas ilmiah untuk


mengistinbatkan hukum, maka ia harus

berusaha menggali hukum dari nash dengan


mempertimbangkan realitas yang ada,

(d) fatwa itu tidak mengikuti kehendak al-Mustafti


tetapi mempertimbangkan dan

mengikuti kehendak dalil dan kemaslahatan umat


manusia.

Selanjutnya, iftâ’ itu lebih khusus jika dibandingkan


dengan ijtihâd. Kekhususan tersebut ialah dimana iftâ’
dilakukan setelah ada pertanyaan atau perminataan dari orang
yang minta fatwa (mustafti), sedangkan ijtihâd dilakukan
tanpa menunggu adanya pertanyaan dari manapun.

221
Kemudian yang paling penting dalam iftâ’ itu ialah harus
ada unsur-unsur berikut ini; yang juga unsur-unsur ini
merupakan rukun iftâ’ yaitu ;

1. Adanya usaha memberikan penjelasan, yang disebut


dengan iftâ’.

2. Adanya orang yang menyampaikan jawaban hukum


syara’ terhadap orang yang bertanya, disebut mufti.

3. Adanya orang yang bertanya atau meminta


penjelasan hukum atau suatu peristiwa yang disebut
dengan Mustafti.

4. Jawaban hukum syara’ yang disampaikan kepada


orang yang bertanya, disebut dengan fatwa.

Menyangkut kedudukan hasil fatwa sesungguhnya sama


dengan hasil ijtihâd. Ketentuan hukum hasil fatwa yang
dikeluarkan oleh seorang mufti sifatnya tidak mengikut al-
Mustafti atau orang yang bertanya. Al-Mustafti boleh
menerima dan boleh pula menolak, dalam artian tidak
mengamalkan hasil suatu fatwa. Berbeda halnya dengan
keputusan hakim. Suatu ketentuan hukum yang diputuskan
oleh hakim ia bersifat mengikat dan harus dilaksanakan oleh
pihak yang dihukum.

222
223
224

Anda mungkin juga menyukai