Anda di halaman 1dari 11

Makalah Tentang Bughat

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Hukum Islam berintikan aturan-aturan yang bernuansakan sebuah hiasan hidup yang
ditetapkan Allah sebagai suatu bentuk cinta dan kasih sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya,
agar tercipta hidup yang penuh keindahan, kadamaian, dan ketentraman bagi manusia, sebagai
khalifah di muka bumi yang harus senantiasa menjaga, memelihara, dan menghindari segala
bentuk perbuatan jahat yang berdampak pada kerusakan. Dalam hal ini, diantara aturan-aturan itu
adalah terkait hukuman bagi segala macam pelanggaran, lebih khususnya adalah tentang tindak
pelanggaran yang berupa pemberontakan (bughat), dengan beberapa pembahasan yang mungkin
belum banyak diketahui ataupun dipahami oleh karenanya, dirasa begitu penting dibahas, guna
menjadi bagian dari usaha memberikan kajian ilmu pengetahuan agama bagi mereka yang
membutuhkan.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa Pengertian Bughat?
2. Apa Saja Unsur-unsur Bughat?
3. Apa Dasar Hukum Bughat?
4. Bagaimana Perlakuan Terhadap pelaku Bughat?
5. Bagaimana Pertanggungjawaban Tindak Pidana Bughat?
6. Apa Tujuan Hukuman Bughat?

1.3. Tujuan Makalah


1. Mengetahui Pengertian Bughat.
2. Mengetahui Unsur-unsur Bughat.
3. Mengetahui Dasar Hukum Bughat.
4. Mengetahui Perlakuan Terhadap pelaku Bughat.

5. Mengetahui Pertanggungjawaban Tindak Pidana Bughat.


6. Mengetahui Tujuan Hukuman Bughat.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Bughat
Al-Baghyu secara etimologis berarti mencari, mengusahakan, atau memilih. Pengertian
tersebut dapat kita ambil dari beberapa ayat Al-Qur`an seperti dibawah ini:

Artinya: Barang siapa yang mencari (memilih atau mengusahakan) selain yang demikian itu,
maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (Q.S. Al-Mu`minun: 7)

Artinya: Barang siapa yang memilih (agama) selain Islam, maka tidaklah akan diterima
darinya. (Q.S. Ali-Imran: 85)
Artinya: Dan berkata Musa, itulah (tempat) yang kita cari (Q.S. Al-Kahfi: 64)
Pengertian secara terminologis, al-baghyu adalah usaha melawan suatu pemerintahan
yang sah secara nyata, baik dengan mengangkat senjata atau tidak mengindahkan ketentuan yang
digariskan pemerintah. Asy- Syafi`I, seperti dikutip H.A. Dzajuli, mengatakan, pemberontak
adalah orang muslim yang menyalahi imam, menolak kewajiban, yang memiliki kekuatan,
argumentasi dan pimpinan. 1[1]

2.2. Unsur-unsur Bughat


Dari rangkuman definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa unsurunsur jarimah pemberontakan itu ada tiga, yaitu:

1). Pembangkangan terhadap kepala Negara (imam).


2). Pembangkangan dilakukan dengan menggunakan kekuatan.
3). Adanya niat yang melawan hukum (Al-Qasd Al-Jinaiy).2[2]
2.3. Dasar Hukumn Bughat
Dasar hukum yang menjadi acuan sanksi hukum bughah dalam Al-Qur`an sebagai
berikut:

Artinya: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian
terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut
kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut
keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
Berlaku adil. Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu
mendapat rahmat. (Q.S. Al- Hujarat: 9-10)
Rasulullah bersabda: Barang siapa yang mendatangimu- sedang urusanmu berdada di
tangan mereka (pemimpin mereka)- dan mereka ingin merusak kekuasaanmu serta akan
memorak-porandakan jamaahmu, maka bunuhlah mereka. (H.R. Muslim)3[3]
Ayat diatas menetapkan, jika orang-orang mu`min saling bermusuhan, maka jamaah yang
memiliki kebijaksanaan wajib segera campur tangan untuk mendamaikan. Sekiranya salah satu

golongan membangkang, tak mau berdamai serta tak memenuhi ajakan damai, pada saat itu
semua kaum muslimin berkewajiban bersatu padu untuk memerangi golongan yang
membangkang.
Imam Ali r.a. perenah memerangi kelompok pembangkang. Demikian juga Abu Bakar
ash- Shiddiq pernah memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat.
Para ahli fiqih sepakat bahwa mereka yang membangkang ini belum keluar dari Islam
karena pembangkangannya (bughah), mengingat Al-Qur`an menyatakan, Dua golongan orangorang mu`min.4[4]

2.4. Perlakuan terhadap Pelaku Bughat


1).Jika ada sekelompok kaum muslimin yang membelot dari imam maka imam harus berdialog
dengan mereka, menanyakan apa yang membuat mereka membelot. Jika ada kedzaliman maka
imam menyingkirkannya, jika ada syubhat maka imam menjelaskannya.
2).Mereka harus kembali kepada ketaatan, jika tidak maka imam menasehati dan menakut-nakuti
mereka dengan peperangan. Jika tetap bersikukuh maka imam boleh memerangi mereka dan
rakyat harus membantu pemimpin mereka sehinnga kerusakan dan fitnah yang menimpa mereka
bisa ditepis dan dipadamkan.
3).Jika imam memerangi mereka maka dia tidak boleh memerangi mereka dengan senjata
pemusnah masal seperti bom, tidak boleh membunuh anak-anak mereka, yang lari, yang luka di
antara mereka maupun yang tidak ikut berperang.
4).Yang tertawan diantara mereka ditahan sampai fitnah mereka dipadamkan.
5).Harta mereka tidak dijadikan sebagai harta rampasan perang dan anak-anak mereka tidak
ditawan.
6).Setelah perang usai dan fitnah dipadamkan, tidak ada ganti rugi terhadap harta mereka yang
hancur karena perang.
7).Siapa yang terbunuh tidak ada diyat baginya dan mereka juga tidak memikul ganti rugi terhadap
nyawa dan harta yang binasa pada waktu perang.5[5]

8).Jika terdapat dari kalangan mereka yang terbunuh, maka wajib dimandikan, dikafankan, dan
dishalatkan. Jika si terbunuh dari golongan `adil ia menjadi syahid,tidak perlu dimandikan dan
dishalatkan karena ia gugur di dalam menegakkan perintah Allah, tidak ubahnya dengan syahid
yang gugur pada waktu memerangi orang-orang kafir. Hal ini jika pembangkang untuk keuar
dari imam yang disepakati oleh jamaah muslimin di berbagai penjuru, dengan keengganan
menunaikan kewajiban yang telah ditetapkan demi kemaslahatan jamaah atau individu-individu
dan pembangkang ini bertujuan untuk menggulingkan imam. 6[6]
Ada riwayat yang menyebutkan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan pertengkaran yang
mengakibatkan perkelahian dengan menggunakan alas kaki, antara kelompok Aus dan Khazraj.
Itu dimulai ketika Rasul saw, mengendarai keledai melalui jalan di mana `Abdullah Ibn Salul
sedang duduk dan berkumpul dengan rekan-rekannya. Saat itu keledai Rasul buang air, lalu
Abdullah yang merupakan tokoh kaum munafikin itu berkata: Lepaskan keledaimu karena
baunya mengganggu kami. Sahabat Nabi saw., Abdullah Ibn Rawahah ra. menegur Abdullah
sambil berkata: Demi Allah, bau air seni keledai Rasul lebih wangi daei minyak wangimu. Dan
terjadilah pertengkarqan yang mengundang kehadiran kaum masing-masing (HR. Bukhari dan
Muslim melalui Anas Ibn Malik). Riwayat ini tidak berarti bahwa peristiwa itulah yang
dikomentari atau mengakibatkan turunnya ayat di atas. Ini ditegaskan oleh riwayat lain yang juga
disebut dalam Shahih Bukhari. Kasus di atas disebut sebagai sabab nuzul, dalam arti kejadian di
atas termasuk salah satu contoh yang dicakup pengertiannya oleh ayat di atas. Memang, kasus di
atas menurut riwayat terjadi pada awal masa kehadiran Rasul saw. di Madinah, sedang surah ini
turun pada tahun IX Hijrah. Riwayat lain menyatakan bahwa perkelahian terjadi disebabkan
percekcokan antara dua pasang suami istri yang kemudian melibatkan kaum masing-masing,
yang kemudian didamaikan oleh Rasul saw.
Di sisi lain, dengan menyatakan bahwa ayat di atas bukan merupakan komentar atas
kasus Abdullah Ibn Ubay,maka tertampiklah pandangan yang boleh jadi menduga bahwa
Abdullah adalah salah seorang mukmin, atas dasar bahwa ayat di atas menyebut kelompok yang
bertikai itu adalah kelompok orang-orang mukmin. Di tempat lain Allah menilai Abdullah Ibn
Ubay Ibn Salul sebagai orang munafik yang kemunafikannya sangat mantap sehinnga dinilai
kafir dan Nabi dilarang menshalatkannya ketika ia mati.

Ayat di atas juga mengisyaratkan dengan sangat jelas bahwa persatuan dan kesatuan,
serta hubungan harmonis antar anggota masyarakat kecil atau besar, akan melahirkan limpahan
rahmat bagi mereka semua. Sebaliknya, perpecahan dan keretakan hubungan mengundang
lahirnya bencana buat mereka, yang pada puncaknya dapat melahirkan pertumpahan darah dan
perang saudara sebagaimana dipahami dari kata qital yang puncaknya adalah peperangan.7[7]

2.5. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Bughat


1. Pertanggungjawaban Sebelum Mughalabah dan Sesudahnya
Orang yang melakukan pemberontakan dibebani pertanggungjawaban atas semua tindak
pidana yang dilakukannya sebelum mughalabah (pertempuran), baik perdata maupun pidana,
sebagai pelaku jarimah biasa. Demikian pula halnya jarimah yang terjadi setelah selesainya
mughalabah (pertempuran). Apabila sebelum terjadinya pemberontakan itu ia membunuh orang,
ia dikenakan hukuman qishas. Jika ia melakukan pencurian maka ia dihukum sebagai pencuri,
yaitu potong tangan apabila syarat-syaratnya terpenuhi. Apabila ia merampas harta milik orang
lain maka ia diwajibkan mengganti kerugian. Jadi, dalam hal ini ia tidakdihukum sebagai
pemberontak, meskipun tujuan akhirnya pemberontakan.
2. Pertanggungjawaban Atas Perbuatan pada Saat Mughalabah
Tindak pidana yang terjadi pada saat-saat terjadinya pemberontakan dan pertempuran ada
dua macam, yaitu:
a.

Yang Berkaitan Langsung dengan Pemberontakan


Tindak pidana yang berkaitan langsung dengan pemberontakan, seperti merusak
jembatan, membom gudang amunisi, gedung-gedung pemerintahan, membunuh para pejabat atau
menawannya, semuanya itu tidak dihukum dengan hukuman untuk jarimah biasa, melainkan
dengan hukuman untuk jarimah pemberontakan, yaitu hukuman mati apabila tidak ada
pengampunan (amnesti). Caranya dengan melakukan penumpasan yang bertujuan untuk
menghentikan pemberontakannya dan melumpuhkannya. Apabila mereka telah menyerah dan
meletakkan senjatanya, pwnumpasan harus dihentikan dan mereka dijamin keselamatan jiwa dan
hartanya. Tindakan selanjutnya, pemerintah (ulil amri) boleh mengampuni mereka atau
menghukum mereka dengan hukuman ta`zir atas tindakan pemberontakan mereka, bukan karena

jarimah atau perbuatan yang mereka lakukan pada saat terjadinnya pemberontakan. Dengan
demikian, hukuman yang dijatuhkan atas para pemberontak setelah mereka dilimpuhkan dan
ditangkap adalah hukuman ta`zir.
Hukuman untuk tindak pidana pemberontakan dalam situasi perang adalah diperangi atau
ditumpas, dengan segala akibat yang timbul, seperti pembunuhan, pelukaan, dan pemotongan
anggota badan. Hanya saja dalam kenyataan, perang atau penumpasan tidak bisa dianggap
sebagai hukuman, melainkan suatu upaya represif guna mencegah dan menindas pemberontak,
serta mengembalikannya kepada sikap taat dan patuh kepada pemerintah yang sah. Andaikata
memerangi itu merupakan hukuman maka tentunya dibolehkan membunuh pemberontak setelah
mereka dikalahkan dalam pertempuran, karena hukuman merupakan balasan atas apa yang
dilakukan oleh mereka. Akan tetapi, ulama telah sepakat bahwa apabila situasi perang telah
selesai maka pertempuran dan pembunuhan harus dihentikan dan pemberontakan harus dijamin
keselamatannya, karena pemberontakan itulah yang menyebabkan ia kehilangan jaminan
keselamatannya.

b. Yang Tidak Berkaitan dengan Pemberontakan


Adapun Tindak pidana yang terjadi pada saat berkecamuknya pertempuran tetapi tidak
berkaitan dengan pemberontakan, seprti minum minuman keras, zina atau perkosaan, dianggap
sebagai jarimah biasa, dan pelaku perbuatan tersebut dihukum dengan hukuman hudud sesuai
dengan jarimah yang dilakukannya. Dengan demikian, apabila pada saat berkecamuknya
pertempuran seorang anggota pemberontakan memperkosa seorang gadis dan ia ghairu muhshan
maka ia dikenakan hukuman jilid (dera) seratus kali ditambah dengan pengasingan.
Adapun pertanggungjawaban perdata bagi para pemberontak tidak ada jika mereka
merusak dan menghancurkan asset-aset negara yang dianggap oleh mereka perlu dihancurkan,
demi kelancaran serangan dan upaya pemberontakan, misalnya harta kekayaan individu maka
mereka tetap dibebani pertanggungjawaban perdata. Dengan demikian, barang yang diambil
harus dikembalikan dan yang dihancurkan harus diganti. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam
Abu Hanifah, dan pendapat yang shahih dikalangan madzhab Syafi`i. Namun di kalangan
madzhab Syafi`i ada yang berpendapat bahwa pemberontakan harus bertanggung jawab atas
semua barang yang dihancurkan, baik ada kaitannya dengan pemberontakn atau tidak, karena hal
itu mereka lakukan dengan melawan hukum.

Apabila para pemberontak itu meminta bantuan kepada orang kafir dzimmi maka orang
kafir dzimmi itu dikategorikan sebagai pemberontak dan hukumannya pun sama. Hanya saja
menurut Imam Abu Hanifah, kafir dzimmi yang turut serta di dalam pemberontakan perjanjian
(akad) dzimmahnya tidak rusak (batal). Akan tetapi, dikalangan madzhab Syafi`i dan Hanbali
berkembang dua pendapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah,
sedangkan menurut pendapat yang kedua, keikutsertaan mereka dalam pemberontakan
menyebabkan rusaknya (batalnya) akad dzimmah mereka.
Apabila para pemberontak itu meminta bantuan kepada kafir harbi maka jika ia
musta`man, batallah perjanjian keamanannya dan statusnya kembali seprti semula sebagai kafir
harbi, kecuali keikutsertaannya itu dipaksa. Apabila kafir harbi tersebut murni, bukan musta`man
maka status hukumnya sesuai dengan status hukum asalnya sebagai kafir harbi yang setiap saat
boleh dialirkan darahnya atau dirampas hartanya, karena mereka itu tidak memiliki perjanjian
keamanan.8[8]
Penerapan hukum dimaksud akan dilaksanakan bila memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1). Pemegang kekuasaan yang sah bersikap adil dalam menetapkan kebijakan.
2).Pemberontak merupakan suatu kelompok yang memiliki kekuatan, sehingga pemerintah untuk
mengatasi gerakan tersebut harus bekerja keras. Jika gerakan tersebut hanya dilakukan segelintir
orang yang mudah diatasi dan dikontrol, tidak termasuk bughah.
3).Dari gerakan tersebut diperoleh bukti-bukti kuat yang menunjukkan sebagai gerakan untuk
memberontak guna menggulingkan pemerintahan yang sah. Jika tidak, gerakan tersebut
dikategorikan sebagai pengacau keamanan atau perampok.
4).Gerakan tersebut mempunyai sistem kepemimpinan, karena tanpa ada seorang pemimpin tidak
mungkin kekuatan akan terwujud.9[9]
Demikianlah tentang bughat dan hukum Allah yang berkaitan dengannya.Jika
peperangan bermotif duniawi dan untuk dapat merebut pimpinan dan melawan waliul amri,
maka hal ini dianggap sebagai muharib yang diatur dengan undang-undang tersendiri, berbeda
dengan undang-undang bughat.

Allah berfirman,

Artinya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan RasulNya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau
dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di
akhirat mereka beroleh siksaan yang besar kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka)
sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka. Maka ketahuilah bahwasanya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Para muharib-lah yang mendapat balasan bunuh atau salib atau potong tangan dan kaki
secara silang atau diasingkan ke negeri lain sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah (hakim) dan
perbuatan yang mereka lakukan. Mereka yang tewas tempatnya di neraka. Mereka yang gugur
dalam memerangi mereka ini gugur sebagai syahid.
Jika peperangan bersumber dari kedua golongan karena fanatisme kedaerahan atau
karena berebut kursi kepemimpinan, maka kedua golongan ini termasuk kategori bughat, dan
berlaku kepada mereka hukum bughat.10[10]

2.5. Tujuan hukuman Bughat


Hukum yang diberlakukan, seperti yang dikemukakan pada ayat Al-Qur`an di atas,
bertujuan untuk menciptakan sistem kemasyarakatan dan kewibawaan pemerintahan. Seperti
diketahui bahwa manusia membutuhkan teman. Pergaulan antara seorang dengan yang lain

semakin lama semakin luas untuk menjalin hubungan antara satu pihak dengan pihak yang lain
sehingga diperlukan seorang pemimpin, berikut sistem aturan menjadi pedoman dalam hidup
bermasyarakat. Sistem peraturan yang disepakati akan berjalan dengan baik bila semua pihak
mematuhi peraturan tersebut. Pemberontakan dalam arti upaya menggulingkan pemerintah yang
sah itu dapat disejajarkan dengan pengkhianat.11[11]

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
al-baghyu adalah usaha melawan suatu pemerintahan yang sah secara nyata, baik dengan
mengangkat senjata atau tidak mengindahkan ketentuan yang digariskan pemerintah. Adapun
unsur-unsur jarimah pemberontakan itu ada tiga, yaitu:
1). Pembangkangan terhadap kepala Negara (imam).
2). Pembangkangan dilakukan dengan menggunakan kekuatan.
3). Adanya niat yang melawan hukum (Al-Qasd Al-Jinaiy).

Ketentuan hukumnya seperti yang tersirat dalam (Q.S. Al- Hujarat: 9-10) yaitu, jika
orang-orang mu`min saling bermusuhan, maka jamaah yang memiliki kebijaksanaan wajib
segera campur tangan untuk mendamaikan. Sekiranya salah satu golongan membangkang, tak
mau berdamai serta tak memenuhi ajakan damai, pada saat itu semua kaum muslimin
berkewajiban bersatu padu untuk memerangi golongan yang membangkang. Dengan beberapa
ketentuan yang harus diberlakukan kepada mereka yang melakukan pemberontakan. Disamping
itu terdapat pula perlakuan yang harus diterima mereka sebagai suatu pertanggungjawaban atas
tindak

kejahatan

yang

telah

mereka

perbuat.

Dengan

beberapa

Pertanggungjawaban Sebelum Mughalabah dan sesudahnya,

ketentuan

yaitu:

Pertanggungjawaban atas

perbuatan pada saat Mughalabah.


Hukum yang diberlakukan, bertujuan untuk menciptakan sistem kemasyarakatan dan
kewibawaan pemerintahan berikut sistem aturan menjadi pedoman dalam hidup bermasyarakat
yang harus dijaga dengan baik.
3.2. Saran
Kami sebagai penulis makalah sepenuhnya sadar akan kekurangan dan kesalahan
yang mungkin ada dari setiap penjelasan yang sudah kami sajikan sebelumnya. Dan mungkin
tidak ada cara lain, selain menunggu uluran tangan berupa kritik dan saran dari para pembaca
makalah ini, dengan sebuah harapan yang begitu besar dengan uluran tangan para pembaca
membuat kami bangkit dan bersemangat menciptakan karya ilmiah yang lebih baik lagi

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
At-Tuwaijiri, Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah. Enslikopedi Islam Kaffah.
Surabaya: Pustaka Yassir, 2012.
Hakim, Rahmat. Hukum Pidana Islam. Bandung; Pustaka Setia, 2010.
Muchlich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta; Lentera Hati, 2003.

Anda mungkin juga menyukai