Anda di halaman 1dari 21

TUGAS KELOMPOK DOSEN PENGAMPU

FIKIH SIYASAH II NURIL KHASYI’IN, DR., MA.

Siyasah Harbiyah Syar’iyah (Politik Peperangan) dan Perbandingan Dengan Era


(Modern) Sekarang

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK VI
MUHAMMAD RAFE M. N : 190102030289
NENENG EKA SUSANTI : 190102030287
INDAH DESI RAHMA DINI : 190102030261
MUHAMMAD AKRIE : 190102030362
SITI MAISYARAH : 190102030259
MUHAMMAD FADLANI M. ; 170101030248
MODERATOR I :
MODERATOR II :

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN


FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN HUKUM TATA NEGARA
LOKAL C
TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan dalam
menyelesaikan makalah tepat waktu. Tanpa rahmat dan pertolongan-Nya, kami tidak akan
mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa shalawat serta salam tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang syafa’atnya kita nantikan kelak.

Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
sehingga makalah “Siyasah Harbiyah Syar’iyah (Politik Peperangan) dan Perbandingan Dengan
Era (Modern) Sekarang” dapat diselesaikan. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak
selaku dosen pengajar kami yang telah memberikan tugas ini sehingga kami bisa mendapatkan
banyak tambahan pengetahuan khusunya dalam mata kuliah Fikih Siyasah II.

Kami menyadari dalam makalah ini masih perlu penyempurnaan karena kesalahan dan
kekurangan. Kami terbuka terhadap kritik dan saran bapak agar makalah ini dapat lebih baik.
Demikian yang dapat Kami sampaikan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Banjarmasin,…Februari 2021

Kelompok VI
BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sejumlah kaidah yang menjadi pegangan tentara Islam dalam perang tidak hanya
berdasarkan prinsip moral-etis Islam secara umum, akan tetapi juga merupakan aturan
syariat yang diajarkan di dalam al-Qur’an dan sunnah. Ada beberapa kaidah kaidah
syariat yang penting yang mengatur tentang Islam dalam perang.

Penyelenggaraan mobilisasi dan demobilisasi dilaksanakan berdasarkan asas kesemestaan, asas


manfaat, asas kebersamaan, asas legalitas, asas selektivitas, asas efektivitas, asas efisiensi, dan
asas kejuangan.

Mobilisasi hanya dilakukan bila negara dinyatakan dalam keadaan bahaya dan pada saat
mobilisasi berlangsung ada tiga macam hukum yang berlaku, yaitu: pertama, hukum umum yang
berlaku bagi setiap orang yang berada di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia;
kedua, hukum yang didasari oleh Undang-undang Keadaan Bahaya sehingga beberapa pejabat
tertentu mempunyai wewenang khusus sesuai dengan Undang-undang Keadaan Bahaya; ketiga,
hukum mliter bagi prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan mobil-mobil yang
melaksanakan tugas sebagai anggota perlawanan rakyat bersenjata

Dalam makna kebahasaan, ghanimah berarti sesuatu yang didapat seseorang karena
sebuah usaha. Adapun dalam makna syariat, ghanimah berarti harta yang didapat dari
pasukan musuh melalui jalan perang dan pertempuran. Harta ghanimah terbagi
menjadi tiga macam; benda bergerak (al-amwal al-manqulah), tawanan, dan tanah
atau lahan.

B. RUMUSAN MASALAH

- Kaidah-kaidah peperangan dalam islam

- Masalah mobilisasi umum dan hak jaminan


- Tawanan perang,ghanimah,dan harta peperangan

- Mengakhiri peperangan menuju perdamaian

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kaidah-kaidah peperangan dalam islam (Etika Perang dalam Islam)

Dalam Islam, ketika perang sudah tidak dapat dihindarkan, maka ada beberapa etika dan kaidah
harus dipenuhi agar perang bisa berlangsung secara benar. Sejumlah kaidah yang menjadi
pegangan tentara Islam dalam perang tidak hanya berdasarkan prinsip moral-etis Islam secara
umum, akan tetapi juga merupakan aturan syariat yang diajarkan di dalam al-Qur’an dan sunnah.
Para pelanggarnya tidak saja mendapat hukuman dari komandan mereka di dunia ini, tetapi
mereka juga akan mendapatkan hukuman di akhirat nanti, karena dianggap melanggar ketetapan
hukum Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Di antara kaidah-kaidah syariat
yang paling penting dalam mengatur tentara Islam dalam perang adalah:1

1
Al-adyan, jurnal studi lintas agama, https://ejournal.radenintan.ac.id, Desember 2019, hal 500-505
1. Pembatasan perang hanya pada para komandan musuh dan para kombatan saja Hal ini sesuai
dengan hadis Nabi Muhammad saw ketika beliau berwasiat kepada Zaid bin Harisah saat hendak
berangkat ke perang Mu’tah: “Kalian jangan membunuh anak laki-laki, wanita, orang tua, lansia
dan orang yang beribadah di biaranya”Rasulullah saw berwasiat agar tidak menyerang serdadu
yang sedang luka dalam perang, sebagaimana sabda Nabi saw: ”Jangan berperang dengan
serdadu yang luka karena sebagian tubuhnya bukan miliknya”. Demikian juga tidak boleh
menyakiti para petani sawah dan anak-anak, sebagaimana sabda Nabi saw: ”Jangan kamu bunuh
anak-anak dan para petani”. Yang dimaksud anak-anak di sini adalah anak laki-laki dan petani
adalah para pekerja yang membajak bumi dan menanamnya. Adapun kepada para wanita,
Rasulullah saw melarang diperangi kecuali ia membawa senjata dan berhadapan dengan kaum
muslim. Suatu ketika Rasulullah saw melihat mayat perempuan musyrik, maka beliau
mengizinkan untuk membunuhnya, “Perempuan ini tidak apa apa untuk diperangi”.

2. Terjun ke medan perang dengan jiwa humanisTidak dibolehkan berperang kecuali karena ada
alasan yang dibenarkan oleh syariat Islam. Dalam Al-Qur’an Allah swt berfirman: ”Dan
janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah swt melainkan dengan suatu (sebab)
yang benar. Demikian itu yang diperintahkan oleh Rabb kepada kalian supaya kalian memahami.
Pembunuhan yang syar’i harus mengandung nilai kemanusiaan dan sesuai dengan hadis Nabi
saw, ”Jika kalian menyembelih, maka baguskanlah sembelihanmu”. Hadis ini melarang
penyiksaan secara tegas. Hadis lain menyatatakan, ”Saya adalah Nabi yang menghunus pedang
dan nabi Penyayang”. Hal itu menjelaskan tentang perlakuan yang seharusnya terhadap tubuh
korban dan juga penghormatan pada kemuliaan mayat dan kemanusiaan manusia, sebagaimana
sabda Nabi saw, ”Waspadalah dan jadikanlah pelajaran meski hanya kepada anjing galak”.
Menurut pendapat mayoritas ulama, pembakaran mayat dilarang oleh Islam karena hal itu
merupakan tradisi kaum pagan. Namun hal itu diperkenankan jika keadaan memaksa dan demi
kemaslahatan umum, misalnya khawatir tersebarnya wabah penyakit tha’un (penyakit sampar).
Secara umum, manusia wajib dihormati, karena jiwa manusia, sebagaimana dikatakan
Fachrurrazi adalah yang paling mulia di alam semesta ini, pun demikian dengan fisiknya”.

3. Mencegah perampasan yang biasa berlaku dalam perang jahiliyah Rasulullah saw juga
melarang tindakan perampasan harta manusia. Diriwayatkan dari seorang laki-laki Anshar,
”Ketika kami dalam perjalanan bersama Rasulullah saw, ada manusia yang butuh sekali dengan
kambing, maka mereka merampoknya, maka periuk kami pun mendidih dan tiba-tiba Rasulullah
saw datang dan membalikkan periuk dengan lengannya, dan beliau melumuri daging itu dengan
tanah dan berkata, ”Perampasan itu tidak lebih halal dari mayat”. Di sini perampasan harus
dibedakan dari ghanîmah, yaitu harta pampasan perang. Sebab ghanîmah itu halal sebagaimana
dijelaskan oleh dalil-dalil alQur’an dan sunnah.
4. Melarang berkhianat Larangan berkhianat berlaku bahkan dalam keadaan ketidakjelasan niat
jahat musuh. Dalam hadis, Nabi saw melarang berkhianat dan lari dari medan perang,
sebagaimana sabda beliau saw: ”Berangkatlah di jalan Allah dengan menyebut nama-Nya,
berperanglah menghadai musuh-musuh Allah saw, jangan melampaui batas, jangan berkhianat,
jangan memutilasi dan jangan membunuh anak-anak”.

Islam melarang membunuh musuh yang melarikan diri dari pasukannya dan tidak
memperdayainya dengan menyatakan bahwa ia aman, dan setelah ia mendekat, lalu dibunuh.
Kaidah-kaidah syariat Islam dalam keadaan aman membolehkan seorang prajurit muslim
memberi keamanan bagi seorang atau sekelompok prajurit musuh. Bila hal itu dilakukan, maka
orang kafir tersebut dijamin keamanan dan berada dalam lindungan orang-orang muslim. Setelah
itu, ia tidak boleh dikhianati dan ditakut-takuti untuk dibunuh. Siapa pun muslim yang
melakukan hal tersebut, maka dia adalah pembunuh yang wajib dijatuhi hukuman qishâsh (mati).

Berkhianat harus dibedakan dari siasat perang. Pengkhianatan dilarang dalam perang, sedangkan
siasat untuk mengalahkan musuh diperkenankan. Imam Nawawi mengatakan bahwa para ulama
sepakat tentang kebolehan melakukan siasat terhadap orang-orang kafir jika memungkinkan.
Taktik dan siasat pengelabuhan dalam peperangan tidak dilarang baik dalam Islam dan hukum
internasional positif. Hal ini sesuai sabda Rasulullah saw: ”Perang adalah siasat”. Maksudnya
tidak termasuk kebejatan moral untuk mengelabuhi musuh dengan taktik dan siasat. Rasulullah
saw memerintahkan Nu’aim bin Mas’ud yang sudah masuk Islam agar tetap merahasiakan
keislamannya agar dia secara bebas bisa menciptakan keraguan antara Kaum Quraish dan Bani
Quraizhah yang sedang mengepung kota Mandinah pada saat perang Khandaq sebagai salah satu
bentuk siasat.

5. Melarang menghancurkan dan merusak harta benda Syariat Islam melarang pengrusakan
selama perang berlangsung. Atas dasar itu, Islam melarang memotong pohon yang berbuah,
pembakaran pohon kurma dan penyembelihan kambing musuh, sapi dan lain-lain. Namun hal itu
dibolehkanhanya dalam keadaan darurat dalam rangka melemahkan musuh dan
mengalahkannya. Namun dalam kondisi tertentu, para ulama membolehkan keluar dari prinsip
tersebut, termasuk membolehkan menyembelih anjing dan binatang berbahaya lainnya serperti
binatang yang dapat dikonsumsi.

6. Memberikan rasa aman kepada pihak yang meminta Jika perang Eropa sampai awal abad ke-
20 belum mengenal kewajiban memberikan rasa aman kepada tentara musuh, di mana para
negosiator di konferensi Den Haaq tahun 1899 memaksakan pemuatan “Peraturan Penghormatan
Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat” yang melarang perlindungan pemimpin pasukan perang
untuk mengumumkan penolakan penerimaan rasa aman, maka Islam sejak awal kemunculannya
di abad ke-8 telah mengenal dan mempraktikkannya berdasarkan firman Allah saw: “Dan jika
seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah
ia supaya ia sempat mendengar firman Allah saw, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman
baginya. Demikian itu karena mereka kaum yang tidak mengetahui.” Islam juga melarang
mengarahkan serangan kepada musuh yang tidak berdaya. Saat musuh menyerah atau sudah
lemah, pasukan muslim harus menghentikan aktifitas perang seperti larangan penganiayaan
dengan tujuan mencegah pembunuhan terhadap para korban luka.
7. Menghentikan peperangan jika pihak musuh menghentikannnya Tujuan perang dalam Islam
adalah demi terciptanya perdamaian dan toleransi. Perdamaian adalah hal yang fundamental
dalam Islam. Dalam pandangan Islam, perang bukanlah tujuan utama melainkan jalan untuk
membela kebenaran dan menghancurkan kebatilan. Karena itu, dilarang melanjutkan peperangan
jika pihak musuh menghentikannya, sesuai dengan firman Allah saw: ”Dan jika mereka condong
kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah saw. Dialah
yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Tetapi, ada ahli fiqih yang membolehkan
komandan untuk memerangi pasukan musuh jika mundurnya pasukan musuh merupakan salah
satu bentuk taktik pengelabuhan militer dan bukan untuk menyerahkan diri dan ingin berdamai.
Karena pada dasarnya, permohonan perdamaian dibuktikan dengan menghilangkan sebab-sebab
terjadinya peperangan atau paling tidak ada kesediaan untuk menghilangkannya.
8. Menguburkan korban perang yang meninggal Rasulullah saw memerintahkan para sahabat
untuk menguburkan korban yang meninggal dan mengabaikanny untuk mencegah penghinaan
terhadapnya. Beliau bersabda, “Jika kalian membunuh, maka bunuhlah dengan sebaik-baiknya”,
dan memerintahkan mereka untuk mengubur jasad para korban perang Badar yang merupakan
pertama melawan orang-orang musyrik, agar hal tersebut diikuti di kemudian hari.

B. Masalah mobilisasi umum dan hak jaminan

Perang merupakan jalan terakhir dan hanya dilakukan dalam keadaan terpaksa untuk
mempertahankan kemerdekaan, kedaulatan serta kepentingan nasional dan sedapat mungkin
diusahakan agar wilayah nasional tidak menjadi ajang perang.2

Pelaksanaannya meliputi tindakan untuk menghadapi serangan musuh dari luar negeri, tindakan
untuk menanggulangi ancaman terhadap keamanan dalam negeri, dan tindakan untuk menjaga
agar kehidupan rakyat tetap berjalan secara normal dan sejauh mungkin dapat melingdungi jiwa
dan harta benda rakyat dari akibat bencana perang. Oleh karena itu, mobilisasi meliputi kegiatan
untuk melakukan perlawanan rakyat bersenjata dan perlawanan rakyat tidak bersenjata yang
kedua-duanya tetap berada dalam satu kesatuan komando sehingga tujuan mobilisasi terwujud
secara efektif dan efisien.

[06:55, 3/8/2021] Indah Uin: Mobilisasi dimaksudkan untuk menanggulangi ancaman,


sedangkan demobilisasi digunakan bagi pemulihan fungsi dan tugas umum pemerintahan,
kehidupan kemasyarakatan, dengan tetap terpeliharanya kemampuan dan kekuatan pertahanan

2
Jurnal hukum no.30 v0l 12 september 2005:174-192
keamanan negara. Dengan demikian, mobilisasi dan demobilisasi mengandung makan upaya
bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan, melindungi segenap hak dan kewajiban setiap
warga negara dalam usaha bela negara sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945.

Penyelenggaraan mobilisasi dan demobilisasi dilaksanakan berdasarkan asas kesemestaan, asas


manfaat, asas kebersamaan, asas legalitas, asas selektivitas, asas efektivitas, asas efisiensi, dan
asas kejuangan.

Mobilisasi hanya dilakukan bila negara dinyatakan dalam keadaan bahaya dan pada saat
mobilisasi berlangsung ada tiga macam hukum yang berlaku, yaitu:

a.hukum umum yang berlaku bagi setiap orang yang berada di wilayah hukum Negara Kesatuan
Republik Indonesia;

b.hukum yang didasari oleh Undang-undang Keadaan Bahaya sehingga beberapa pejabat tertentu
mempunyai wewenang khusus sesuai dengan Undang-undang Keadaan Bahaya;

c.hukum mliter bagi prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan mobil-mobil yang
melaksanakan tugas sebagai anggota perlawanan rakyat bersenjata.

PERLAKUAN DALAM PERANG

Prinsip dan Ketentuan Tentang Perlakuan Terhadap Tawanan Perang dalam Konvensi Jenewa III
Tahun 1949 Pengaturan terhadap tawanan perang [Prisoners of Wat) dalam Hukum Humaniter

Internaslonal secara rinci terdapat dl dalam Konvensi Jenewa III tahun1949 [Geneva Con

vention (III) Relative to the Treatment ofPri soners ofWat) dan Protokol Tambahan Itahun

1977 [ProtocolAdditional to the Geneva Conventions of12August 1949, andrelating to the

Protection of Victims of international Armed Conflicts). Berdasarkan beberapa literatur

tentang Hukum Humaniter Internasional, prinslp-prlnsip perlakuan terhadap tawanan

perang yang ada dalam Konvensi Jenewa 111 tahun 1949 memuat hal-hal sebagai berlkut:®️

1. Jamlnan penghormatan; artlnya para tawanan perang harus diperlakukan secara manuslawl;

2. Jaminan perllndungan; artlnya mereka harus dllindungi darl ketldakadilan dan bahaya yang
mungkin timbul darl suatu peperangan, dan terhadap kemungklnan atas perkosaan integrltas
keprlbadlan mereka. Harus ada tindakan-tlndakan yang perlu untuk menjamin hal inl;

3. Jamlnan kesehatan; artlnya mereka berhak atasperawatan kesehatan yang setaradantidak boleh
diabaikan. walaupun ia pihakmusuh.Berdasarkan ketenluan-ketentuan dalamKonvensi Jenewa
111 tahun 1949 {Geneva Convention (III) Relative totheTreatmentofPrisonersofWai) dapat
dirlngkas bahwa perlakuan yang harus diberikan kepada tawanan perang adalah sebagai
berikut:Padawaktu tertangkap, paratawanan tidak boleh dipaksa memberikan keterangan kecuali
mengenal identitas mereka.Penyiksaan dan perlakuan kejam terhadap mereka dipandang sebagai
kejahatanperang. Segera setelah tertangkap tawanan perang berhakdilengkapidengan
kartupenagkapan. Kartu penangkapan ini selanjutnya dikirimke Biro Penerangan Resmi di
negara asal tawanan perang melalui Badan Pusat Pencarian ICRC {ICRC Central Tracing
Agency}. Badan PusatPencarian ini memiliki tugas memberikan keterangan kepada keluarga
para tawanan. Dengan cara in! maka hubungan tawanan dengan keluarga mereka dapat tetap
terjalin. Secepatnya, para tawanan perang harus dipindahkan dari kawasan berbahaya ketempat
yang aman. Kondisi kehidupan mereka harus setara dengan kondisikehidupan dari anggota
angkatan perang

negara penawan. Sedapat mungkin kondisi penawanan mempertimbangkan adat dan kebiasaan

1. Padawaktu tertangkap, paratawanan tidak

boleh dipaksa memberikan keterangan

kecuali mengenal identitas mereka.

Penyiksaan dan perlakuan kejam terhadap

mereka dipandang sebagai kejahatan

perang.

2. Segera setelah tertangkap tawanan perang

berhakdilengkapidengan kartupenagkapan.

Kartu penangkapan ini selanjutnya dikirim

ke Biro Penerangan Resmi di negara asal

tawanan perang melalui Badan Pusat

Pencarian ICRC {ICRC Central Tracing

Agency}. Badan PusatPencarian ini memiliki

tugas memberikan keterangan kepada

keluarga para tawanan. Dengan cara in!

maka hubungan tawanan dengan keluarga


mereka dapat tetap terjalin.

3. Secepatnya, para tawanan perang harus

dipindahkan dari kawasan berbahaya ke

tempat yang aman. Kondisi kehidupan

mereka harus setara dengan kondisi

kehidupan dari anggota angkatan perang

negara penawan.

4. Sedapat mungkin kondisi penawanan

mempertimbangkan adat dan kebiasaan

yang dilakukan para tawanan.

5. Para tawanan yang sehat dapat diminta untuk bekerja/" tetapi mereka dapat melakukan

pekerjaan-pekerjaan berbahaya apabilamereka menyetujuinya.

6. Tawanan perang berhak melakukan korespondensi dengan keluarga yang

dikirim melalui ICRC.

7. Tawanan perang tunduk pada hukum negara penahan, khususnya yang berlaku

pada Agkatan Bersenjata. Jika terjadi pelanggaran, mereka dapat dijatuhi sanksi

pidana sesuai dengan hukum negara penawan, termasuk terhadap kejahatan

yang dilakukan sebelum mereka dltawan.

8. Tawanan perang yang dihukum berhak mendapatkan jaminan peradilan yang

wajar dan bila terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman, maka iatetap berstatus

sebagai tawanan perang. Arlinya iaberhak untuk dipulangkan kembali kenegara

asalnya.

9. Dilarang melakukan tindakan pembalasan (reprisal) terhadap tawanan perang.


-Ghanimah

GHANIMAH (HARTA RAMPASAN PERANG)


Dalam makna kebahasaan, ghanimah berarti sesuatu yang didapat seseorang karena
sebuah usaha. Adapun dalam makna syariat, ghanimah berarti harta yang didapat dari
pasukan musuh melalui jalan perang dan pertempuran. Harta ghanimah terbagi
menjadi tiga macam; benda bergerak (al-amwal al-manqulah), tawanan, dan tanah
atau lahan.
Ghanimah Hanya untuk Umat Islam
Harta ghanimah dihalalkan oleh Allah Swt, bagi umat Islam. Allah menghalalkan
mereka untuk mengambilnya dari musuh. Allah berfirman,

"Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu peroleh itu, sebagai
makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al-Anfal: 69)

Hadits Nabi saw mengisyaratkan bahwa ghanimah hanya dikhususkan bagi umat
Islam. Umat-umat sebelumnya tidak diberi hak istimewa berupa ghanimah.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah
bersabda,
"Aku diberi lima perkara yang tidak diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku:
(1) aku diberi kemenangan dengan membuat takut musuh selama jarak perjalanan satu
bulan; (2) Bumi diciptakan untukku sebagai masjid dan dalam keadaan suci-
menyucikan. Oleh sebab itu, siapa pun dari umatku yang menjumpai waktu shalat,
hendaklah ia segera shalat; (3) dihalalkan bagiku harta rampasan perang yang tidak
pernah dihalalkan bagi seorang pun sebelumku; (4) aku diberi (hak memberi) syafaat;
Dan (5), dulu seorang nabi diutus hanya kepada kaumnya, sedangkan aku diutus
kepada manusia semuanya."
Cara Pembagian Harta Ghanimah
Al-Qur'an menunjukkan bahwa hukum pembagian harta ghanimah diserahkan kepada
ketentuan Allah Swt dan Rasul-Nya. Dalam ayat pertama surat Al-Anfal, Allah Swt
berfirman,
"Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang (pembagian) harta rampasan
perang. Katakanlah; 'Harta rampasan perang itu milik Allah dan Rasul (menurut
ketentuan Allah dan Rasul-Nya)." [Al-Anfal: 1]

Allah telah menjelaskan bagaimana cara pembagian harta ghanimah. Dia Swt
berfiman, "Dan ketahuilah, sesungguhnya segala yang kamu peroleh sebagai
rampasan perang, maka seperlimanya untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim,
orang miskin, dan ibnu sabil. (Demikian) jika kamu beriman kepada Allah dan kepada
apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) pada harifuryan, yaitu
hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu." [Al-Anfal:
41]
Ayat ini menegaskan bahwa seperlima (khumus) dari harta ghanimah diberikan
kepada pihak-pihak yang telah disebutkan oleh Allah Swt, yakni Allah, Rasul-Nya,
kerabat Rasul, anak-anak yatim, kaum miskin, dan ibnu sabil (orang yang bepergian
dan dalam perjalanan). Bagian Allah dan Rasul-Nya adalah bagian fai’ yang
kemudian akan iIlHiilurknn kepada kaum fakir dan untuk kepentingan umum, seperti
imluk persenjataan dan persiapan jihad. Adapun nafkah Nabi saw dan keluarganya
didapatkan dari harta Bani Nadhir yang telah Allah berikan kepada beliau sebagai
harta fai' (harta musuh yang dikuasai tanpa melalui peperangan dan kekerasan).
Diriwayatkan Muslim dari Umar, dia berkata, "Harta benda Bani Nadhir termasuk
harta rampasan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya, karena kaum muslimin (para
sahabat) tidak mengerahkan kuda dan onta untuk menuju ke sana. Oleh sebab itu,
harta tersebut hanya diperuntukkan bagi Nabi saw. Nabi kemudian menyisihkan
beberapa bagian untuk memberi nalkah keluarganya selama setahun, sementara
sisanya diperuntukkan untuk pengadaan kuda dan persenjataan sebagai persiapan
jihad di jalan Allah."

Pihak selanjutnya yang mendapat harta ghanimah adalah kerabat Kiumlullah, yaitu
Bani Hasyim dan Bani Muthalib yang membela dan melindungi beliau, bukan kerabat
beliau yang menentang dan memusuhi i lakwah Islam. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas,
Zainal Abidin, dan Al-Baqir,
bahwa Nabi memberikan bagian yang sama kepada semua kerabatnya, h.uk yang kaya
maupun miskin, perempuan maupun laki-laki, dan anak kecil  maupun dewasa.
Semuanya mendapatkan bagian yang sama. Sebab, kerabatan mencakup mereka
semua. Menurut Asy-Syafi'i, bagian (saham) mereka karena faktor kekerabatan mirip
bagian dalam hal warisan. Nabi saw memberikan bagian kepada pamannya yang kaya,
Al-Abbas, dan juga kepada bibinya, Shafiyah.
Adapun saham (bagian) untuk anak-anak yatim—yaitu anak-anak I aum muslimin—
dikhususkan bagi kalangan yang fakir. Ini menurut satu pendapat. Pendapat lain
mengatakan bahwa saham (bagian) diberikan kepada semua anak yatim, baik yang
fakir maupun yang kaya, karena mereka semua termasuk kaum lemah, meski kaya.
Dalam sebuah hadits disebutkan,
 “Desa mana saja yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, khumus
(bagian seperlima)-nya adalah untuk Allah dan Rasul Nya, kemudian sisanya
untuk kalian." [HR. Muslim]
Adapun bagian empat perlima sisanya diperuntukkan bagi pasukan kaum muslimin,
yaitu khusus bagi kaum lelaki yang bebas-merdeka, dewasa, dan berakal. Mereka
semua mendapatkan bagian yang sama, baik yang kuat maupun yang lemah, baik
yang ikut berperang maupun yang tidak. Imam Ahmad meriwayatkan dari Sa'ad bin
Malik, dia berkata, "Wahai Rasulullah, seorang lelaki yang menjadi pelindung
kaumnya, apakah akan mendapatkan bagian yang sama dengan selainnya?" Beliau
menjawab, "Celaka engkau, putra Ummu Sa'ad. Bukankah kalian diberi rezeki dan
kemenangan itu karena adanya orang-orang lemah dari kalian?!"
Harta ghanimah dibagi dengan ketentuan; pasukan pejalan kaki(invanteri)
mendapatkan satu saham (bagian), sedangkan pasukan berkuda (kavaleri)
mendapatkan tiga saham. Sejumlah hadits shahih menegaskan bahwa Nabi saw
memberikan penunggang kuda dan kudanya tiga saham, pasukan pejalan kaki satu
saham, dan tidak memberikan saham kepada selain kuda. Sebab, tidak ada riwayat
dari Nabi yang menyebutkan bahwa beliau memberikan saham kepada selain kuda.
Pada perang Badar, misalnya, beliau dan pasukan kaum muslimin membawa tujuh
puluh ekor keledai. Lalu, pada perang-perang lainnya, beliau dan pasukan kaum
muslimin pasti membawa onta yang merupakan kendaraan utama mereka. Seandainya
Nabi memberikan saham kepada onta atau keledai, pasti riwayatnya akan sampai
kepada kita. Begitu pula dengan para sahabat sepeninggal beliau yang tidak
memberikan saham kepada onta. Beliau juga tidak memberikan saham kepada lebih
dari satu ekor kuda. Artinya, orang yang membawa dua ekor kuda akan tetap
mendapatkan tiga saham; dua untuk dirinya dan satu saham untuk satu ekor kudanya.
Demikian pula praktik para sahabat. Menurut Abu Hanifah, saham bisa diberikan
kepada lebih dari satu ekor kuda karena kuda memiliki harga yang lebih mahal dan
manfaat yang lebih besar.
Tambahan dari Ghanimah
Imam atau penguasa dibolehkan menambah saham (bagian) para pasukan kaum
muslimin sebesar sepertiga atau seperempat. Saham ini diambilkan dari ghanimah itu
sendiri, yakni apabila si penerima tambahan saham dianggap berjasa besar atas Islam
atau berhasil menimpakan kerugian besar pada pihak musuh. Demikianlah pendapat
Ahmad dan Abu Ubaid. Nabi, misalnya, pernah memberikan saham seorang pasukan
pejalan kaki (dua saham) dan seorang pasukan penunggang kuda (tiga saham) kepada
Salamah bin Al-Akwa' karena jasanya atas Islam. Jadi, Salamah menerima lima
saham.
Salab untuk yang Membunuh
Salab adalah harta rampasan perang yang diperoleh dari musuh yang terbunuh atau
tertangkap, seperti senjata, pakaian, peralatan perang, dnn semisalnya. Adapun
perhiasan dan uang yang dibawa olehnya dikategorikan sebagai ghanimah, bukan
salab. Pemimpin pasukan terkadang sibuk berperang melawan musuh, sementara
beberapa orang pasukannya tergoda untuk mengambil salab dari musuh yang sudah
terbunuh tanpa memperhatikan perang. Rasulullah menetapkan salab bagi sang
pembunuh dan tidak meminta seperlimanya. (HR. Abu Dawud dari Auf bin Malik Al-
Asyja'i dan Khalid bin Al-Walid; Lihat: Irwa' Al (ilialil, V/55]).
Diriwayatkan dari Salamah bin Al-Akwa', dia berkata, "Saat dalam perjalanan, Nabi
saw didatangi seorang mata-mata dari kaum musyrikin. Mata-mata itu lalu bercakap-
cakap dengan para sahabat, lalu pergi. Nabi kemudian bersabda; 'Carilah dia dan
bunuhlah.' Aku pun membunuhnya dan salabnya diberikan kepadaku." (HR. Al-
Bukhari)
Orang yang Tidak Mendapatkan Saham Ghanimah
Pada pembahasan yang lalu telah disebutkan bahwa syarat penerima saham (bagian)
ghanimah adalah dewasa, berakal, laki-laki, dan merdeka (bukan budak). Siapa pun
yang tidak bisa memenuhi salah satu syarat ini, ia tidak bisa mendapatkan saham dari
ghanimah, meskipun dia bisa mengambil sedikit bagian ghanimah di luar saham. Said
bin Al-Musayyib berkata, "Anak-anak kecil dan para budak, bila hadir dalam
peperangan, akan diberi sedikit bagian dari ghanimah."
Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas pernah ditanya tentang perempuan dan budak yang
ikut berperang; Apakah mereka mendapatkan bagian GHULUL
Keharaman Ghulul
Ghulul adalah menggelapkan atau mencuri harta rampasan perang (ghanimah).
Perbuatan ini dilarang keras dan diharamkan. Sebab, ghulul dapat melukai hati kaum
muslimin, menimbulkan perselisihan di antara mereka, dan membuyarkan kosentrasi
mereka dalam peperangan. Ini semua pada akhirnya akan berujung pada kekalahan.
Oleh karena itu, ghulul dikelompokkan sebagai salah satu dosa besar. Allah M
berfirman,
"Dan tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang).
Dan barangsiapa berkhianat, niscaya pada Hari Kiamat dia akan datang dengan
membawa apa yang dikhianatkannya itu." [Ali Imran: 161] Nabi &> memerintahkan
agar pelaku ghulul dijatuhi hukuman, yaitu barang-barang miliknya dibakar dan
orangnya dipukuli sebagai contoh bagi orang lain supaya mereka tidak melakukan
perbuatan serupa. Diriwayatkan dari Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya
bahwa Nabi, Abu Bakar, dan Umar membakar barang-barang milik pelaku ghulul dan
menjilidnya. (HR. Abu Dawud).  Namun, dalam sejumlah hadits lain disebutkan
bahwa Nabi itu tidak memerintahkan membakar harta benda pelaku ghulul atau
memukulinya. Dari sini bisa dipahami bahwa imam (pemimpin) adalah pengambil
keputusan. Jika dia melihat adanya kemashlahatan dengan membakar barang-barang
pelaku ghulul dan memukulinya, dia bisa melakukannya. Tapi jika tidak, dia bisa
memuluskan yang lain sesuai dengan kemashlahatan yang mungkin didapat.

Mengambil Manfaat dari Makanan Hasil Ghanimah Sebelum Dibagikan


Harta hasil rampasan perang yang bisa diambil manfaatnya sebelum dibagikan adalah
makanan dan rerumputan pakan ternak. Pasukan kaum muslimin dibolehkan
menggunakannya dan memanfaatkannya selama mereka masih berada di wilayah
musuh, meskipun hasil rampasan perang (ghanimah) belum dibagikan. Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dari Ibnu Umar berkata, "Dalam beberapa peperangan, kami
mendapatkan madu dan anggur. Kami memakannya dan tidak menyimpannya (untuk
digabungkan ke harta ghanimah lainnya)." Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan,
"Tidak diambil darinya (makanan) bagian seperlima." Dalam kitab Al-Muwaththa',
Malik mengatakan, "Menurut saya, tidak mengapa kaum muslimin memakan
makanan musuh yang diperoleh di wilayah musuh, meski pembagian ghanimah belum
dilakukan." Malik melanjutkan, "Saya berpendapat, bahwa onta, sapi, dan kambing
memiliki kedudukan yang sama seperti makanan. Ia boleh dimakan oleh kaum
muslimin ketika mereka masuk ke wilayah musuh sebagaimana mereka dibolehkan
memakan makanan yang didapatkannya di sana."
Harta Muslim yang Dicuri Musuh Adalah Hak Si Muslim Pemiliknya
Apabila pasukan kaum muslimin mendapatkan harta milik kaum muslimin yang
sebelumnya dicuri oleh musuh, mereka tidak memiliki hak untuk memilikinya sebagai
salab. Harta tersebut adalah hak pemiliknya dan bukan merupakan harta ghanimah.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dirinya pernah kehilangan seekor kuda yang
dicuri musuh. Dalam sebuah peperangan, kaum muslimin meraih kemenangan atas
musuh dan menemukan kuda milik Ibnu Umar yang dulu hilang. Kuda tersebut
kemudian dikembalikan kepada Ibnu Umar. Peristiwa ini terjadi pada zaman Nabi
saw. (HR. Al-Bukhari). Begitu pun ketika seorang kafir harbi (kafir yang hidup di
wliayah musuh) masuk Islam dan masih memiliki harta milik seorang muslim. Harta
ini harus dikembalikan ke tangan pemiliknya.
Kalir Harbi yang Masuk Islam
Apabila seorang kafir harbi memeluk Islam, lalu hijrah ke wilayah damai (dar al-
Islam, wilayah Islam), tapi meninggalkan anak-anak, istri, dan harta bendanya tetap
berada di wilayah asalnya, yakni wilayah perang (dar al linrb), maka harta bendanya
akan diperlakukan sama seperti perlakuan terhadap harta milik seorang muslim
lainnya. Lalu, apabila kaum muslimin berhasil mengalahkan dan menguasai wilayah
perang tersebut, harta-benda milik orang (yang telah masuk Islam) tersebut tidak
termasuk ghanimah dan akan dikembalikan ke tangannya. Hal ini didasarkan pada
hadits, "Apabila mereka telah mengucapkannya (dua kalimat syahadat), maka darah
dan harta mereka mendapat jaminan keamanan dariku."[] 

TAWANAN PERANG
Tawanan perang, yang merupakan salah satu jenis harta rampasan perang (ghanimah),
dibagi menjadi dua macam. Pertama, anak-anak dan kaum perempuan. Kedua, lelaki
dewasa pasukan kafir yang ikut berperang melawan kaum muslimin. Apabila kaum
muslimin berhasil mengalahkan dan menangkap mereka dalam keadaan hidup-hidup,
sang hakim (pemimpin) memiliki tiga opsi terhadap mereka (tawanan perang dari
kaum laki-laki dewasa) sesuai dengan manfaat dan kemashlahatan yang mungkin
didapat, yaitu al-mann, al-fida', dan membunuh mereka.
Al-Mann adalah membebaskan mereka tanpa syarat atau gratis. Sementara al-fida'
adalah membebaskan mereka dengan syarat tebusan, seperti dengan imbalan harta
atau tebusan tawanan lain. Allah Swt berfirman,

"Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pukullah
batang leher mereka. Selanjutnya apabila kamu telah mengalahkan mereka, tawanlah
mereka, dan setelah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan,
sampai perang selesai." [Muhammad: 4]
Sang imam (pemimpin) juga bisa mengambil opsi ketiga, yaitu membunuh mereka,
bila memang terdapat kemashlahatan di dalamnya. Ini didasarkan pada praktik Nabi
saw yang memilih membunuh An-Nadhr bin Al-Harits dan Uqbah bin Muaith pada
perang Badar, dan Abu Azzah Al-Jumahi pada perang Uhud. Pendapat ini merupakan
pendapat mayoritas ulama. Menurut mereka, sang imam memiliki hak dan wewenang
untuk memilih salah satu dari ketiga opsi tersebut.
 
Bagaimana Tawanan Perang Diperlakukan?
Islam memperlakukan tawanan perang dengan perlakuan yang manusiawi dan penuh
kerahmatan. Islam memerintahkan kaum muslimin agar menghormati dan berbuat
baik kepada mereka, di samping memuji orang-orang muslim yang berlaku baik dan
santun terhadap mereka. Allah Swt berfirman,
 

"Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak
yatim, dan orang yang ditawan (sambil berkata); 'Sungguh, kami memberimu
makanan hanyalah karena mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak mengharap
balasan dan terima kasih darimu'." [Al-Insan: 8-9] Diriwayatkan dari Abu Musa Al-
Asy'ari bahwa Nabi saw bersabda,
"Bebaskanlah tawanan, penuhilah orang yang mengundang, berilah makan orang
kelaparan, dan jenguklah orang sakit." (HR. Al-Bukhari)
Saat Tsumamah bin Utsal menjadi tawanan perang pasukan kaum muslimin,
misalnya, Nabi bersabda kepada mereka, "Perbaguslah penawanannya, kumpulkan
makanan yang kalian miliki, dan kirimkanlah kepadanya." Mereka pun memberinya
susu setiap pagi dan sore. Nabi juga mengajaknya agar memeluk Islam, tapi ia
menolak dan berkata, "Wahai Muhammad, jika kamu menginginkan tebusan,
mintalah harta apa saja yang kamu inginkan." Namun, Nabi justru membebaskannya
tanpa syarat apa-apa. Inilah yang kemudian justru membuat Tsumamah luluh dan
akhirnya memeluk Islam
-Mengakhiri Peperangan Menuju Perdamaian

Perdamaian adalah merupakan salah satu prinsip yang sangat penting dalam Islam,
sebagaimana dikemukakan al-Qur`an dalam surat al-Anfal (8): 61 yang artinya: “Dan jika
mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada
Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Prinsip yang
mengedepankan perdamaian dalam segala aspek kehidupan merupakan suatu hal yang
dianjurkan dan bahkan diperintahkan. Dengan prinsip perdamaian ini, masyarakat bisa tentram
dan damai serta setiap individu juga akan dapat hidup secara damai. Dan jika mereka condong
kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah.
Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Hubungan Internasional
adalah didasarkan dengan perdamaian seperti ini, sejalan atau mirip dengan Hubungan
Internasioal sebagaimana yang dikemukakan oleh kalangan Liberalisme Sosiologis ialah,
hubungan antara orang yang lebih koperatif dan mendukung perdamaian. Dan juga
sebagaimana dikatakan oleh Karl Deutsch, hubungan antar masyarakat yang mampu
menghasilkan perdamaian yg lebih dari sekedar ketiadaan perang. Menghasilkan security
community dalam mana konflik dan persoalan dapat diselesaikan tanpa harus menggunakan
kekerasan fisik dalam sekala besar (perang). 3

Dalam teori Hubungan Internasional perdamaian termasuk di antara nilai hubungan


internasional yang paling fondamental. Bagi penganut libralisme pendekatan ini memjadi ciri
khasnya , bahwa pendekatan ini bergerak pada asumsi bahwa hubungan internasional dapat
dicirikan sebagai dunia dimana negara-negara bekerjasama satu sama lain untuk memelihara
perdamaian dan kebebasan serta mengejar perubahan progresif.4

Perdamaian sendiri merupakan konsep yang cukup luas dan pencapaiannya membutuhkan
proses yang panjang. Untuk mencapai kondisi tersebut, kita memerlukan suatu gerakan yang
sinergis, bukan gerarakan yang terpisah-pisah. Maka, gerakan yang memperjuangkan hak kaum
puriveral, tuntutan supremasi hukum, atau gerakan yang menentang pelanggaran hak azazi
manusia, dan sebagainya seharusnya tidak lagi dilihat sebagai suatu gerakan yang berdiri
sendiri-sendiri, melainkan suatu gerakan yang selaras dengan tujuan yang sama, yaitu
perdamaian.5

Setelah adanya konsepsi perdamaian dari yang spesifik sampai pada pengertian yang
integral, maka menjadi jelas bahwa perdamaian merupakan alat atau sistem yang mengatur
hubungan antara sesama makhluk, khususnya antara sesama manusia. Namun, jika kembali
3
Robert Jackson & Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, p.

144.

4
Robert Jackson & Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, p.

6.

5
Hermanto Harun, REFLEKSI PERDAMAIAN DAN PERANG DALAM ISLAM

Kajian Pemikiran Mustafa Al-Siba’I, (Malang, CV. Literasi Nusantara Abadi, 2020)h. 35
pada tema pengertian fiqih tentang perdamaian dalam entitasnya sebagai lawan perang, maka
tentu ada ketentuanketentuan yang telah dirumuskan oleh Fuqahā agar nilai-nilai perdamaian
tetap merujuk pada konsep idealitas agama untuk mencapai terciptanya hubungan harmonis
antara pemeluk agama.Untuk mewujudkan hal tersebut, perjanjian perdamaian harus memiliki
atuaran baku berupa arkān dan shurūt sebagai penyangga dalam kelembagaannya. Menurut
fuqahā, al-amān memiliki beberapa syarat di antaranya adalah:

1. Perjanjian perdamaian dilakukan jika kaum muslimin dalam keadaan lemah sedangkan pihak
musuh sangat kuat.

2.Perjanjian dilakukan oleh orang yang berakal.

3.Perjanjian dilakukan oleh orang yang sudah baligh.

4.Dan perjanjian harus dilakukan oleh orang Islam.

Dalam konsep al-amān, terdapat dua klasifikasi yang sesuai dengan kondisi pelaksanaan
perjanjian perdamaian itu, yaitu perjanjian perdamaian yang bersifat temporal seperti al-
hudnah dan yang berkesinambungan seperti aqd al-dhimmah. Menurut sebagian ulama, al-
hudnah merupakan perjanjian temporal yang terikat oleh waktu untuk mengakhiri peperangan.
Hal ini berlandaskan pada tindakan Rasulullah yang melakukan perjanjian damai Hudaibiyah
dengan kaum Quraisy selama sepuluh tahun ika dilihat dari pengertia fuqahā tentang al-
hudnah, maka dalam realitas kekinian lebih tepat dibahaskan dengan gencatan senjata, karena
ia merupakan proses untuk melakukan perdamaian atau terjadinya kesepakatan antara dua
pihak yang bertikai untuk mengehentikan penyerangan dalam batas waktu tertentu. Meskipun
demikian, batasan waktu dalam perjanjian damai atau gencatan senjata masih belum disepakati
oleh fuqahaā secara aklamatif, bahkan di antara mereka ada yang berpendapat bahwa ikatan
tempo dalam perjanjian damai tidak mutlak, artinya boleh dilakukan tanpa batas waktu
(muabbadi). Pendapat ini juga berlandaskan pada tindakan Rasulullah yang melakukan
perjanjian damai dengan kaum Yahudi Khaibar tanpa ada batasan waktu.

Adapun syarat-syarat dibolehkannya melakukan perjanjian damai (al-hudnah) adalah:

1. Adanya kebutuhan dan kemaslahatan bagi kaum muslimin terhadap perjanjian tersebut.

2.Hendaknya dilakukan oleh pemimpin (pemerintah).

3.Di antara butir-butir perjanjian, tidak terdapat persyaratan yang cacat (fasīd).

4.Jangka waktu perjalanan damai disesuaikan kebutuhan sesuai hasil ijtihād dan tidak lebih dari
itu.6

6
Ibid, h. 36-38
BAB III

PENUTUP
A. Kaidah-kaidah peperangan dalam islam (Etika Perang dalam Islam)

Dalam Islam, ketika perang sudah tidak dapat dihindarkan, maka ada beberapa etika dan
kaidah harus dipenuhi agar perang bisa berlangsung secara benar. Sejumlah kaidah yang menjadi
pegangan tentara Islam dalam perang tidak hanya berdasarkan prinsip moral-etis Islam secara
umum, akan tetapi juga merupakan aturan syariat yang diajarkan di dalam al-Qur’an dan sunnah.
Di antara kaidah-kaidah syariat yang paling penting dalam mengatur tentara Islam dalam perang
adalah:

1. Pembatasan perang hanya pada para komandan musuh dan para kombatan saja.

2. Terjun ke medan perang dengan jiwa humanisTidak dibolehkan berperang kecuali karena
ada alasan yang dibenarkan oleh syariat Islam.

3. Mencegah perampasan yang biasa berlaku dalam perang jahiliyah Rasulullah saw juga
melarang tindakan perampasan harta manusia.

4. Melarang berkhianat. Larangan berkhianat berlaku bahkan dalam keadaan ketidakjelasan


niat jahat musuh.

5. Melarang menhancurkan dan merusak harta benda.

Anda mungkin juga menyukai