Anda di halaman 1dari 6

I.

PENDAHULUAN
Maraknya pencurian dan perampokan di minimarket belum juga berhenti. Di antara
pelakunya adalah oknum TNI. Dwi Widarto, seorang anggota TNI Angkatan Laut (AL) yang
bertugas di KRI Suharso 990, tewas mengenaskan setelah sebutir peluru menembus pelipisnya.
Timah panas itu melesat dari senjata api yang sedang digenggam korban saat duel dengan salah
seorang kasir sebuah minimarket Indomaret Jalan Laban, Kecamatan Menganti, Gresik, Minggu
(28/10) malam. Dan ternyata, pelaku berpangkat Sersan Dua (Serda) ini juga terlibat aksi
perampokan di sejumlah tempat lainnya di Surabaya. Di antaranya, perampokan Indomaret
Balongsari, Alfamidi Benowo, SPBU Ngesong dan perampasan pistol polisi di Margomulyo
(SurabayaPagi.com, edisi 30 Oktober 2012).
Dalam Islam pencurian dan pembunuhan keduanya merupakan jarimah (tindak kriminal),
pelakunya diancam dengan hukuman yang berat sebagaimana ditetapkan syariat. Islam
menetapkan hukum potong tangan bagi pencuri dan qisash (hukum mati) bagi seorang
pembunuh. Bedanya, pencurian merupakan hudud, sehingga setelah kasus itu di ajukan
kepengadilan tidak seorang pun yang bisa memberikan pemaafan (pembatalan hukuman), walau
pun diberikan oleh korban itu sendiri . Sementara pembunuhan merupakan jinayat, dimana
syariat memberikan hak pemaafan kepada sang korban, agar tidak diterapkan qishas kepada
pembunuh, namun cukup diganti dengan membayar diyat.
Dengan pelaksanaan hukum syariat di atas, niscaya tindakan-tindakan kriminal bisa
diminimalisasi bahkan dihilangkan. Sebab sanksi dalam Islam, selain dapat menggugurkan atau
menebus dosa pelaku dari siksa di akhirat (al-jabru), sanksi itu pun dengan ketegasannya akan
mampu memberikan efek jera (al-jazru) bagi masyarakat, khususnya mereka yang berniat
melakukan kejahatan serupa.
Namun, pelaksanaan hukum di atas tidak bisa dilepaskan dari ketentuan-ketentuan
pelaksanaanya (al-ahkam al-wadhiyyah al-mutaalliqah bih) seperti: syarat, sebab, mani
(pencegah), ada atau tidak adanya rukhsoh (keringanan), dll.
Sebagai contoh, pembunuhan yang dilakukan seorang kasir di dalam kasus di atas
baginya tidak akan diberlakukan hukum qishas ataupun diyat. Sebab, membela diri, harta dan
kehormatan dari seorang pembunuh (dafu ash-shoil) merupakan rukshoh (keringan) yang
ditetapkan syariat kepada korban sebagaimana akan kami jelaskan dalam tulisan ini.

II. PEMBAHASAN










:
8 : 87 :

1088. lmran bin Hushain r.a. berkata: Ada seorang menggigit tangan lawannya, maka
ditarik oleh lawannya sehingga terlepas kedua gigi serinya, kemudian mereka mengadu
kepada Nabi saw. Maka sabda Nabi saw.: Seorang dari kamu menggigit saudaranya
bagaikan binatang jantan. Tidak ada tebusan diyah untukmu, (Bukhari. Muslim).
Yakni orang yang membela diri jika sampai merusak anggota tubuh lawannya tidak
didenda.

Hukum dan Tahapan Pembelaan Terhadap Diri, Harta dan Kehormatan


Orang yang merasa bahwa kehormatan, harta, dan dirinya dalam bahaya, secara syariy
berhak melakukan pembelaan (ad-difaa as-syariy). Sebagai contoh, ketika seseorang
berhadapan dengan pelaku kriminal yang mengarahkan senjata api atau menghunus senjata
tajam, bermaksud membunuhnya atau mengambil harta miliknya atau merenggut
kehormatannya, maka ia disyariatkan untuk melakukan pembelaan.
Begitupun, ketika seseorang melihat orang lain dalam kondisi tersebut, maka ia pun
berhak melakukan pembelan terhadapnya. Namun, pembelaan tersebut harus dilakukan sesuai
dengan kadar bahaya yang dihadapinya. Kalau seseorang yang bermaksud jahat itu cukup
diingatkan dengan kata-kata, seperti memintanya beristigfar, atau teriakan meminta pertolongan
kepada orang di sekitar tempat kejadian, maka haram bagi korban melakukan pemukulan.
Begitu pun jika ia dapat melakukan pembelaan itu cukup dengan memukul, maka ia tidak
dibenarkan untuk menggunakan senjata. Namun bila pembelaan atas dirinya tidak mungkin
dilakukan kecuali dengan senjata yang dapat melumpuhkannya, seperti dengan pentungan
misalnya, maka ia boleh melakukannya, namun tidak dibenarkan baginya untuk membunuh.
Akan tetapi, bila pembelaan itu hanya mungkin dilakukan dengan membunuhnya, seperti dalam
kondisi yang di contohkan di atas, dimana pelaku sudah menghunus senjata tajam atau
mengacungkan pistol misalnya, maka bagi korban berhak untuk membunuhnya, (Lihat: Wahbah
az-Zuhailiy, Fiqhul Islamiy Wa Adillatuha, 6/597).
Sebagaimana bila ia dapat menyelamatkan dirinya dengan melarikan diri atau berlindung
kepada orang lain, maka dalam kondisi seperti ini ia tidak boleh secara sengaja membunuh
pelaku. Ini adalah pandangan madzhab as-Syafiiyah, Malikiyah, dan Hanabilah. Dengan kata
lain hendaknya korban melakukan pembelaan dengan cara yang paling mudah, sesuai kondisi

yang dihadapinya, (Lihat: al-Badai': 7/93, mughnil muhtaj: 4/1966-197, bidayatul Mujtahid,
2/319, al-Mughni: 329-331, ).
Dalil masalah ini adalah firman Allah Swt:


Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan
serangannya terhadapmu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketauhilah, bahwa Allah beserta
orang-orang yang bertaqwa. (QS. 2:194)
Perintah al-taqwa dalam ayat ini menjadi dalil akan keharusan adanya kesamaan dalam
menuntut balas atau melakukan pembelaan (al-mumatsalah) dan pentahapan (at-tadarruj) dalam
pelaksanaannya, mulai dari yang paling ringan dan mudah, hingga yang paling sulit dan berat
konsekuensi, seperti membunuh.

Sementara dalam as-Sunnah, Rasulullah Saw. bersabda:


( )
Siapa saja yang terbunuh karena membela agamanya maka ia syahid, siapa saja yang terbunuh
karena membela jiwanya maka ia syahid, siapa saja yang terbunuh karena membela hartanya
maka ia syahid, dan siapa saja yang terbunuh karena membela kehormatan keluarganya maka
ia syahid (HR. Abu Daus, at-Tirmidzi, an-Nasaiy, Ibnu Majah)
Sifat syahid yang dilekatkan kepada orang yang terbunuh demi membela agama, jiwa,
harta, dan kehormatannya menunjukan kebolehan melakukan pembelaan dan perlawanan meski
harus membunuh sang pelaku.
Adapun dalil kebolehan melakukan pembelaan dan perlawanan demi harta, jiwa, dan kehormatan
orang lain, adalah hadis riwayat Anas Ibnu Malik, bahwa Rasulullah Saw bersabda :
) : :
(
Tolonglah saudaramu yang dzalim dan terdzalimi. Lalu ketika Anas bertanya: bagaimana
cara aku menolong orang yang dzalim.?. Beliau menjawab: kau cegah ia untuk melakukan
kedzaliman itu, sesunggunya dengan itu kau telah menolongnya (HR. Bukhari, Ahmad, dan atTirmidzi).
Dalam hadis lain Rasulullah Saw. bersabda:

( )
Siapa saja yang menyaksikan seorang mukmin dihinakan, lalu ia tidak menolongnya padahal
ia mampu untuk melakukannya, niscaya Allah Saw. akan menghinakannya di hari kiamat di
hadapan manusia (HR. Ahmad)
Adapun status kedua hak di atas, yakni hak untuk membela jiwa, harta dan kehormatan
diri sendiri, serta hak untuk membela jiwa, harta dan kehormatan orang lain, apakah merupakan
hak yang sifatnya wajib (haqun wajib), ataukah sekedar boleh (haqun jaiz), maka dalam hal ini
terdapat perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha dalam aspek rinciannya.
Pembelaan atas diri/jiwa hukumnya mubah (boleh) menurut madzhab al-hanabilah dan wajib
menurut pandangan jumhur fuqoha (al-malikiyyah, al-hanafiyyah, dan as-syafiiyah). Hanya saja
madzhab syafiiy memberikan taqyid (batasan) kewajiban tersebut, yakni jika pelakunya orang
kafir, sementara jika yang melakukan penyerangan itu sesama muslim maka hukumnya boleh
(tidak wajib), dengan dalil sabda Rosulullah Saw:

( )
jadilah sebaik-baiknya bani adam (Rawa Abu Daud).
Perintah untuk menjadi sebaik-baik bani Adam dalam hadis ini adalah isyarah pada kisah
Qabil dan Habil, dimana Habil terbunuh tanpa melakukan perlawanan. Sikap seperti ini pula
yang mashur ditengah-tengah para sahabat, tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya,
sebagaimana kasus pembunuhan Utsman Ibnu Affan. Selain itu, dalil lain yang dijadikan dasar
oleh madzhab as-Syafiiy adalah bahwa membela diri sendiri, sama wajibnya dengan membela
diri sesama muslim, karena taarudh (pertentangan) inilah mereka berpendapat bahwa hukum
membela diri dalam kontek ini hukumnya hanya mubah. Sementara madzhab jumhur yang lain
berpegang pada firman Allah Swt:

{}
Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan (QS. 2:195)
Dan firman Allah Swt:
{ }
Maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada
perintah Allah, (QS. 49:9)
Tidak Ada Sanksi

Para fuqha sepakat bahwa siapa saja yang membunuh pelaku kejahatan (as-shoil) demi
melakukan pembelaan, maka tidak ada sanksi baginya, baik berupa qishash maupun diyat.
Sebab, hal itu merupakan rukhsoh (keringanan) yang diberikan syara sebagaimana dijelaskan di
atas. Selain dalil-dalil yang menjadi dasar adanya rukhsoh tadi, juga terdapat dalil-dalil khusus
terkait kehalalan darah para sang pelaku.

Di antaranya sabda Rasulullah Saw:

( )
siapa saja yang menghunus pedang kemudian memukulkannya (kepada orang lain) maka halal
darahnya (HR. al-hakim)
Imam ad-Dzahabi memberikan taliq (komentar) dalam kitab at-Talkhis, bahwa hadis ini
shohih berdasarkan kriteria Imam Bukhari dan Muslim, meski keduanya tidak men-takhrij hadis
ini dalam kitab shahihnya.
Terkait orang yang membunuh karena membela hartanya, Abu Hurairah meriwayatkan sebuah
hadis, bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Saw. lalu bertanya:

:
: : : :
( ) : :
Wahai Rasulullah: bagaimana menurutmu jika ada seseorang yang hendak mengambil
hartaku.?. Beliau menjawab: jangan kau berikan. Laki-laki itu bertanya lagi: Bagaimana
jika ia menyerangku.?. Beliau menjawab: Engkau lawan. Ia bertanya lagi: Bagaimana jika
ia berhasil membunuhku.?. Beliau menjawab: kamu syahid. Ia bertanya lagi: Bagaimana
jika aku yang berhasil membunuhnya..?. Beliau menjawab: Dia masuk neraka (HR.
Muslim).
Kebolehan membunuh pelaku yang ditegaskan Rasulullah Saw. menunjukan hilangnya
sanksi bagi pembunuh karena membela hartanya itu. Sebab, sanksi tidak diterapkan dalam
perkara yang mubah. Begitupun pembelaan terhadap kehormatan, dalil-dalil di atas sudah cukup
sebagai dasar dihilangkannya sanksi dari pembunuh dengan alasan membela kehormatan.
Bahkan, ulama empat madzhab sepakat bahwa siapa saja yang mendapati istrinya berzina dengan
laki-laki lain, lalu ia membunuh laki-laki tersebut, maka tidak ada qishash atau pun diyat
baginya, (Lihat: Ibnu Quddamah, al-Mugni, 8/332).

III. PENUTUP
Kesimpulan
Melakukan pembelaan atas keselamatan diri dari pelaku kejahatan bukanlah perkara
yang dilarang, meski ada perbedaan pendapat apakah hukumnya wajib atau sekedar boleh.
Begitupun melakukan pembelaan atas harta hukumnya mubah menurut pandangan jumhur
fuqaha (tidak wajib), meski pembelan itu harus dilakukan dengan cara membunuh pelaku,
dengan ketentuan sebagaimana dijelaskan di atas, yakni keharusan tadarruj (bertahap) mulai dari
cara yang lebih ringan dan mudah. Adapun pembelaan atas kehormatan, yakni kehormatan
perempuan-perempuan muslimah, para fuqaha sepakat bahwa hukumnya wajib, baik
menyangkut kehormatan diri sendiri atau orang lain. Sebab pembiaran atas terenggutnya
kehormatan seroang muslim merupakan perkara haram, (Lihat: (Lihat: Wahbah az-Zuhailiy,
Fiqhul Islamiy Wa Adillatuha, 6/600-608).
Namun, pelaksanaan hukum ini tentu perlu dibuktikan dipengadilan, apakah benar bahwa
seseorang itu membunuh karena membela diri, atau bukan. Jika terbukti bahwa ia membunuh
karena membela diri, harta, dan kehormatannya maka ia terbebas dari hukuman qishash dan
diyat, baik pembuktian tersebut melalui keberadaan dua orang saksi, pengakuan keluarga
terbunuh, atau indikasi-indikasi lain yang menunjukan bahwa pelaku membunuh korban karena
membela diri, seperti ancaman sang korban dimuka umum, atau ia terkenal di tengah-tengah
masyarakat sebagai penjahat dan pelaku kriminal. Wallahu alam bi as-showab. (Abu
Muhtadi/Lajnah Tsaqofiyah DPP HTI)

Anda mungkin juga menyukai