Anda di halaman 1dari 10

Mata Kuliah Dosen Pengampu

Fiqih Jinayah Dr.Solehuddin Harahap M.sy

SUMBER HUKUM PIDANA ISLAM

Disusun Oleh:
AFRIZAL GUNAWAN

AHWAL ASY-SYAKHSIYAH
STAI TUANKU TAMBUSAI
PASIR PANGARAIAN
ROKAN HULU
RIAU
2021
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam adalah sebuah agama dan jalan hidup yang didasarkan pada perintah Allah yang
terdapat dalam Al-qur’an dan hadis.
Merupakan suatu kewajiban bagi setiap orang islam untuk berpegang hidup pada Al-
qur’an dan hadis, maka ia harus mengamati pada dua hal yang menjadi batasan yakni
apa yang benar dan apa yang salah.
Hal ini untuk kepentingan kita mengetahui hukum syariah.
Hukum syariah tentang pidana adalah ketentuan yang mengatur tentang perbuatan-
perbuatan kejahatan terhadap badan, jiwa, kehormatan, akal , dan sebagainya.
Perbuatan pidana dilihat dari pola penjatuhan sanksi-sanksi, atau hukumnya,
diklasifikasikan menjadi tiga kategori tentang perbuatan tersebut diatas yaitu: Hudud ,
jinayah, dan ta’zir.
Hukum pidana islam merupakan bagian dari hukum islam. Maka jelas sumber-sumber
pidana Islam diambil dari sumber-sumber hukum islam itu sendiri.

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN
Hukum Pidana Islam (Jinayah) adalah bagian dari hukum Islam. Jumhur fuqaha’
menyepakati bahwa sumber-sumber hukum Islam pada umumnya ada 4, yakni Al-
Qur’an, As-Sunnah atau Al-Hadits, Ijma’, dan Qiyas. Selain itu, masih ada sumber lain
yang diperselisihkan, seperti Istihsan, Ijtihad, Maslahat Mursalah, Urf, Sadduz Zari’ah.
Maka hukum pidana Islam pun bersumber dari sumber-sumber tersebut.[2]Pembahasan
ini hanya fokus membahas sumber hukum Islam yang disepakati secara umum, berupa
Al-Qur’an, As-Sunnah atau Al-Hadits, Ijma’, dan Qiyas.
B. Sumber Hukum Pidana Islam
1. Al-qur’an Sumber Hukum Pidana Islam Pertama
a. Larangan berbuat zina dan hukumanya
Al-isra’ :32
“Dan janganlah kamu mendekati zina, Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk.”

Ayat diatas mengandung larangan untuk mendekati zina karena zina merupakan
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.
Menurut pandangan hukum islam, perbuatan zina merupakan dosa besar yang dilarang
keras oleh Allah SWT. Allah telah memberi predikat terhadap perbuatan zina melalui
ayat tersebut sebagai perbuatan yang merendahkan harkat, martabat, dan kehormatan
manusia. Karena demikian bahayanya perbuatan zina, maka sebagai langkah pencegahan
maka Allah juga melarang perbuatan yang mendekati atau mengarah kepada zina.
An-Nur:2

“ Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang
dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah
kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari
akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan
orang-orang yang beriman.”
Ayat diatas menerangkan bahwa Allah memerintahkan mendera pezina perempuan dan
pezina laki-laki masing-masing seratus kali, Orang yang beriman dilarang berbelas
kasihan kepada keduanya untuk melaksanakan hukum Allah SWT dan pelaksanaan
hukuman tersebut disaksikan oleh sebagian orang-orang beriman.
Pelaku zina dibedakan menjadi dua yaitu muhson (sudah menikah) dan ghairu
muhson (belum menikah).
Dalam pandangan islam, zina merupakan perbuatan kriminal yang dikategorikan
hukuman hudud, yakni sebuah jenis hukuman atas perbuatan maksiat yang menjadi hak
Allah SWT. Tidak ada seorang pun yang berhak memaafkan kemaksiatan zina tersebut,
baik oleh penguasa atau pihak yang berkaitan.
Berdasarkan QS.An-Nur diatas pelaku perzinaan, baik laki-laki maupun perempuan harus
dihukum dera sebanyak 100 kali. Namun jika sudah menikah maka dirajam.
Dengan sanksi dan hukuman yang begitu berat, hukum islam sebenarnya mengajarkan
kita bagaimana sebagai manusia untuk menjaga fitrahnya bahwa manusia itu makhluk
yang sempurna dan mempunyai akal sehingga masalah moral dan kesusilaan haruslah
dijaga dengan baik.
Negara indonesia seharusnya sudah harus memulai mengatur dengan tegas permasalahan
perzinaan dan mengambil nilai-nilai yang terkandung dalam hukum islam.
b. Larangan mencuri dan sanksinya
QS. Al-Maidah:38
“ Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Dalam ayat ini secara jelas dinyatakan alasan penetapan ancaman hukuman yang berat
tersebut, yaitu sebagai pembalasan atas kejahatan apa yang diperbuat dan ancaman
balasan sebagai rasa penolakan dari Allah (Syariffudin, 2003: 298-299).
Mencermati kandungan ayat diatas, jelaslah bahwa islam memiliki sanksi yang sangat
keras bagi umat islam yang melakukan tindakan kriminal. Padahal konon, islam adalah
agama kasih sayang yang membawa rahmat untuk semesta alam. Dengan sanksi-sanksi
yang yang sangat keras tersebut masihkah islam akan disebut agama kasih sayang dan
damai?bukankah jika setiap pencuri dipotong tangannya akan mengakibatkan
kelumpuhan bagi yang bersangkutan, yang mana hal tersebut berakibat buruk bukan
hanya bagi dirinya tapi juga keluarganya. Bahkan bila potong tangan diterapkan, maka
betapa banyak orang-orang kehilangan tangan atau kaki, yang pada gilirannya akan
menyebabkan kealpaan pada beberapa sektor kerja. Maka pertanyaanya selanjutnya
apakah islam tidak pernah memikirkan dampak negatif yang sangat krusial tersebut?
Sebenarnya islam sudah memikirkan beberapa dampak negatif yang disebutkan diatas.
Juga islam telah menimbang dengan baik efektifitas sanksi yang menjadi vonis bagi
pelaku pencurian. Alasan pemberlakuan hukum potong tangan dalam islam yaitu
Pertama, dampak positif penerapan hukum potong tangan lebih besar dari pada
negatifnya. Kedua, islam sangat menjunjung tinggi terhadap kemuliaan umat manusia,
baik yang berkenaan dengan agama, jiwa, harta, kehormatan, akal, dan keturunanya.
Ketiga, Pengorbanan salah satu organ demi keselamatan jiwa merupakan hal yang
diterima oleh agama dan rasio. Hukuman potong tangan dapat dijadikan pelajaran yang
berharga yaitu menjadikan pelaku jera dan peringatan bagi orang yang dalam hatinya
tersirat niat hendak mencuri harta orang lain. Dengan demikian ia tidak berani
menjulurkan tangannya mengambil harta orang lain.(Hasan, Saebani, 2013:329).
Oleh karena itu, jika menginginkan negara yang kondusif dan aman sudah seharusnya
memberlakukan hukum potong tangan bagi seorang pencuri.
2. Hadis Sumber Hukum Pidana Kedua
a. Larangan berzina dan hukumanya
‫د مىءة‬HH‫الثيب جل‬HH‫ثيب ب‬HH‫البكر بالبكرجلد ماىءة و نفي سنة وال‬. ‫خذوا عني خذوا عني خذوا عني قد جعل هللا لهن سبيال‬
)‫والرجم بالحجارة(رواه مسلم عن عبادة بن صا مت‬
“ Terimalah dariku! Terimalah dariku! Terimalah dariku! Allah telah memeberi jalan
kepada mereka (wanita-wanita yang berzina itu). Bujangan yang berzina dengan
bujangan dijilid seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Dan janda yang berzina
dengan janda dijilid seratus kali dan dirajam dengan batu”.( HR. Muslim dari Ubadah bin
Shamit”.
Berdasarkan hadis diatas bila seorang jejaka dan seorang perawan berzina, maka
sanksinya adalah seratus kali jilid dan dibuang selama satu tahun. Untuk hukuman jilid
para ulama sepakat untuk dilaksanakan, sedangkan untuk hukuman buang adalah hak ulil
amri. Adapun hukuman rajam menurut fathi bahansi adalah sanksi bersifat siyasah
syar’iyah. Jadi diserahkan kepada kebijaksanaan ulil amri tergantung kepada
kemaslahatan(Djazuli, 2000:42).
b. Larangan mencuri dan sanksinya
‫ال تقطع يد سا رق اال في ربع دينارا فصا عدا‬
“ tidak dipotong tangan pencuri, kecuali (nilai yang dicuri) seperempat dinar atau
lebih”(Syarifuddin, 2003:300).

‫السا رق ان سرق فا قطعوا ايده ثم ان سرق فاقطعوا رجله ثم ان سرق فاقطعوا ايده ثم ان سرق فاقطعوارجله‬
“ bila seorang pencuri itu mencuri untuk pertama kali, maka potonglah tangannya.
Kemudian bila ia mencuri lagi yang
kedua kalinya, maka potonglah kakinya. Kemudian jika ia mencuri lagi yang ketiga
kalinya, maka potonglah tanganya. Kemudian , bila mencuri untuk yang keempat
kalinya, maka potonglah kakinya”(Djazuli, 2000:83).
Pada hadis yang pertama dijelaskan bahwa dalam hukuman potong tangan bagi pencuri
terdapat batas minimal yaitu seperempat dinar. Demi menjaga dan melindungi harta,
sekaligus memandang hina, remeh, dan rendah terhadap tangan ketika tangan itu berlaku
jahat dan hina. Jadi jika seorang mencuri dibawah seperempat dinar maka tidak ada
potong tangan baginya.
Pada hadis yang kedua bisa diambil hikmah dibalik pemotongan tangan dan kaki adalah
pelaku pencurian dalam melakukan aksinya tangan mengandalkan kaki dan tanganya. Ia
mengambil barang curian dengan menggunakan tanganya dan ia berjalan dengan
menggunakan kakinya, karena itu anggota tubuh yang dipotong adalah tangan dan kaki.
Lalu mengapa pemotongan yang dilakukan adalah dengan cara silang (tangan kanan,
kemudian jika mencuri lagi maka yang dipotong kaki kirinya), yakni agar ia masih bisa
mendapatkan fungsi organ tangan dan kaki, hanya saja sudah tidak sempurna seperti
semula.
c. ‫حرمت الخمر بعينها قليلها وكثيرها والسكر من كل شراب‬
“ khamar diharamkan karena bendanya itu sendiri, baik sedikit maupun banyak, dan
diharamkan setiap yang memabukkan dari setiap minuman”.
Hanya saja, apabila dalam keadaan darurat kehausan atau dipaksa, maka diberikan
rukhsoh untuk meminumnya sesuai dengan kadar kedaruratan tersebut. Tidak boleh
memanfaatkan khamr untuk tujuan pengobatan dan yang lainya karena Allah SWT tidak
menjadikan kesembuhan kita pada sesuatu yang Dia haramkan atas kita.(Az-zuhaili,
2007:437)
3. Ijma’ Sumber Hukum Pidana Ketiga
Dalam hal pencurian, madzhab empat sepakat bahwa pencurian terhadap barang yang
tidak dari tempatnya((hiriz) tidak dapat diancam dengan hukuman potong tangan,
melainkan hukuman ta’zir. Misalnya, seorang pencuri binatang yang akan kembali ke
kandangnya dan masih di jalan serta tidak ada penggembalanya.
Jumhur ulama mengatakan bagian dari tangan yang dipotong mulai dari pergelangan
tangan berdasarkan hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah memotong tangan pencuri
dari pergelangan tanganya. Ada sejumlah ulama yang berpendapat hanyalah jari jemari
tangan saja.
Sedangkan bagian kaki yang dipotong menurut jumhur ulama adalah dari pergelangan
kaki. Setelah dipotong menurut sunnah tangan atau kaki yang dipotong dikalungkan
kelehernya, hal itu dilakukan supaya membuat efek jera dan takut kepada orang-orang.
(Az-Zuhaili, 2007: 376)
4. Qiyas Sumber HukumPidana Keempat
Adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam Al-
qur’an maupun hadis karena persamaan illat. Sebagai contoh dalam surat Al-Maidah ayat
90 yang melarang untuk meminum khamar.yang menyebabkan minuman itu dilarang
adalah illat-nya yakni memabukkan. Sebab minuman yang memabukkan, dari apapun ia
dibuat, hukumnya sama dengan khamar yaitu dilarang untuk diminum. Dan untuk
menghindari akibat buruk meminum minuman yang memabukkan itu, maka dengan
qiyas pula ditetapkan semua minuman yang memabukkan , apapun namanya , dilarang
diminum ,dan diperjual belikan untuk umum(Ali, 2006:120-121).
Contoh lain seperti Korupsi diqiyaskan dengan pencuri karena persamaan illat yaitu
sama-sama merugikan dan melanggar hak manusi.

Macam-macam Metode Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Pidana Islam


1. Istihsan
Istihsan secara sederhana dapat diartikan sebagai berpaling dari ketetapan dalil khusus
pada ketetapan dalil umum. Dengan kata lain, meninggalkan satu dalil beralih pada dalil
yang lebuh kuat, atau hal ini dilakukan untuk memilih yang lebih baik demi
kemaslahatan dan tujuan syariat. Contoh kasus dalam pidana hukum islam yaitu
petetapan hukum bahwa tidak dipotongnya tangan pencuri yang mencuri di masa
paceklik sebagai pengecuali dari keumuman surat Al-Maidah:38 . apabila seseorang
melakukan pencurian dan memenuhi syarat untuk dikenakan hukuman potong tangan
maka berlaku baginya hukuman itu. Namun, bila pencurian itu dilakukan pada masa
paceklik, maka hukuman itu tidak diberlakukan, karena dalam kasus ini berlaku hukum
khusus(Abdullah, 2007:126).
2. Maslahah mursalah
Metode ini adalah salah satu cara dalam menetapkan hukum yang berkaitan dengan
masalah-masalah yang ketetapanya yang tidak disebutkan dalam nash dengan
pertimbangan untuk mengatur kemaslahatan hidup manusia.
Diantara syari’at yang diwajibkan untuk memelihara akal adalah kewajiban untuk
meninggalkanminum khamr dan segala sesuatu yang memabukkan. Begitu juga memberi
hukuman bagi yang meminumnya.
Diwajibkan untuk memelihara jiwa adalah kewajiban untuk berusaha memperoleh
makana, minuman, dan pakaian untuk mempertahankan hidupnya. Begitu juga kewajiban
mengqisas atau mendiat orang yang berbuat pidana.
Diwajibkan untuk memelihara keturunan adalah kewajiban untuk menghindarkan diri
dari berbuat zina. Begitu juga hukuman yang dikenakan kepada pelaku zina, laki-laki
atau perempuan.
Sebagiamana sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an adanya hukuman potong tangan bagi
pencuri, hukuman jilid dan rajam bagi pezina, adanya qishas dalam pembunuhan. Semua
itu untuk kemaslahatan manusia agar terpeliharanya jiwa, harta, agama, akal, dan
keturunan.
3. Saddu Al-Zariah
Adalah melaksanakan pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju
kerusakan. Dalam kaitanya dengan pendekatan saad dzariah, pada hakikatnya semua hal
yang mengakibatkan kemadharatan harus dihindarkan.
Contoh dalam kasus pidana berdasarkan kesepakatan para imam madzhab empat, secara
syara’ wajib menghukum qishas sekelompok orang karena membunuh satu orang.
Karena jika mereka tidak diqishas semuanya, tentunya itu akan berdampak pelaksanaan
hukum qisas tidak bisa dilakukan. Sebab jika demikian, tindakan pembunuhan dengan
cara dari jeratan hukuman qishas (Azzuhaili, 2007:564-565).

C. RUANG LINGKUP PIDANA ISLAM


Runag lingkup Hukum Pidana Islam
Ruang lingkup hukum pidana Islam meliputi pencurian, perzinaan (termasuk
homoseksual dan lesbian), menuduh orang yang baik-baik berbuat zina (al-qadzaf),
meminum minuman memabukkan (khamar), menuduh dan/atau melukai seseorang,
pencurian, merusak harta seseorang, malukan gerakan-gerakan kekacauan dan
semacamnya berkaitan dengan hukum kepidanaan.
Hukum kepidanaan dimaksud adalah jarimah (kejahatan). Jarimah ada tiga yaitu sbb:

a) Jarimah Hudud
Kata hudud (berasal dari bahasa Arab) adalah jamak dari kata “Hadd” yang berarti
pencegah, pengekangan atau larangan, dan karenanya ia merupakan suatu peraturan yang
bersifat membatasi atau mencegah atau undang-undang dari Allah berkenaan dengan hal-
hal ya boleh (halal) dan terlarang (haram).
Hudud Allah ini terbagi pada dua kategori. Pertama, peraturan yang menjelaskan kepada
manusia berhubungan dengan makanan, minuman, perkawinan, perceraian, dan lain-lain
yang diperbolehkan dan yang dilarang. Kedua, hukuman-hukuman yang ditetapkan atau
diputuskan agar dikenakan kepada seseorang yang melakukan hal yang terlarang untuk
dikerjakan. [6]
Had dalam pembahasan fiqih (hukum islam) adalah ketentuan tentang sanksi terhadap
pelaku kejahatan, berupa siksaan fisik atau moral; sedangkam menurut syariat Islam,
yaitu ketetapan Allah yang terdapat di dalam Al-Qur’an, dan/atau kenyataan yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW. tindak kejahatan dimaksud, baik dilakukan oleh
seseorang atau kelompok, sengaja atau tidak sengaja, dalam istilah fiqih disebut jarimah.
Jarimah hudud adalah tindak kejahatan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih seorang
yang menjadikan pelakunya dikenakan sanksi had.[7]Menurut Imam Hanafi Jarimah
hudud itu ada 5 yaitu : zina, qodzaf (menuduh zina), syirqoh (pencurian), asyribah
(minuman keras), dan khirobah (penyamunan/perampok). Sedangkan menurut Imam
Syafi’I jarimah hudud ada 7, yaitu selain yang tersebut diatas ditambah riddah (murtad),
dan baghyu (pemberontakan).

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jinayah menurut syari’at islam ialah segala tindakan yang dilarang oleh hukum syariat
untuk melakukannya yakni perbuatan itu harus dihindari. Islam meletakkan
penghormatan terhadap jiwa, sehingga tidak ada seorangpun yang meremehkan masalah
ini. Selain menghormati jiwa, islam pun memandang berbagai aspek yang berhubungan
dengan kemaslahatan umat banyak, sehingga jelaslah untuk dipelajari dan digunakan
dalam tata cara kehidupan.
Dari uraian pembahsan , dibahas bagaimana Allah SWT memperhatikan segala aspek
kehidupan hamba-Nya, begitupun dalam hadis, sehingga lahirlah ijtihad yang
memunculkan secara praktis teoritis tentang pentingnya fiqih jinayah. Inilah yang
menjadikan dasar-dasar syara’ menghargai fiqih jinayah dan kegunaanya.
B. Saran
Sudah seharusnya kita mempelajari fiqh jinayah secara kontekstual, yaitu disesuaikan
dengan zaman, budaya, dan latar belakang. Kita tidak boleh mengambil keputusan yang
sama padahal sebab yang ada itu berbeda. Jadi harus benar-benar teliti dan
mempertimbangkannya secara bijaksana menurut hukum islam.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Sulaiman. Sumber Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 2007.
Az-zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam waadillatuhu. Depok: Gema Insani. 2007.
Hasan, Mustafa, Beni Ahmad Saebani. Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah. Bandung: CV
Pustaka Setia. 2013.
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.2006.
Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqih. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
2003.

Anda mungkin juga menyukai