Anda di halaman 1dari 10

Pengertian Hukum Pidana Islam

Jinayah adalah tindakan kriminal atau tindakan kejahatan yang mengganggu


ketentraman umum serta tindakan melawan perundang-undangan. Secara bahasa kata
jinaayaat adalah bentuk jama’ dari kata jinaayah yang berasal dari janaa dzanba yajniihi
jinaayatan yang berarti melakukan dosa. Sekalipun isim mashdar (kata dasar), kata jinaayah
dijama’kan karena ia mencakup banyak jenis perbuatan dosa. Kadang-kadang ia mengenai
jiwa dan anggota badan, baik disengaja ataupun tidak. Menurut istilah syar’i, kata jinaayah
berarti menganiaya badan sehingga pelakunya wajib dijatuhi hukuman qishash atau
membayar. Fiqih Jinayah adalah mengetahui berbagai ketentuan hukum tentang perbuatan
kriminal yang dilakukan oleh orang mukallaf sebagai hasil pemahaman atas dalil yang
terperinci.

Tujuan disyari’atkannya adalah dalam rangka untuk memelihara akal, jiwa, harta dan
keturunan. Ruang lingkupnya meliputi berbagai tindak kejahatan kriminal, seperti :
Pencurian, perzinahan, homoseksual, menuduh seseorang berbuat zina, minum khamar,
membunuh atau melukai orang lain, merusak harta orang dan melakukan gerakan kekacauan
dan lain sebagainya. Di kalangan fuqaha’, perkataan jinayah berarti perbuatan – perbuatan
yang terlarang menurut syara’. Selain itu, terdapat fuqaha' yang membatasi istilah jinayah
kepada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash –tidak
termasuk perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman ta’zir. Istilah lain yang
sepadan dengan istilah jinayah adalah jarimah, yaitu larangan – larangan syara’ yang
diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir.
Dari berbagai pengertian di atas, konsep jinayah berkaitan erat dengan masalah
”larangan” karena setiap perbuatan yang terangkum dalam konsep jinayah merupakan
perbutan yang dilarang syara’. Larangan ini timbul karena perbuatan-perbuatan itu
mengancam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, dengan adanya larangan,
maka keberadaan dan kelangsungan hidup bermasyarakat dapat dipertahankan dan dipelihara.
Memang ada manusia yang tidak mau melakukan larangan dan tidak mau meninggalkan
kewajiban bukan karena adanya sanksi , tetapi semta-mata karena ketinggian moralnya –
mereka orang yang akhlaknya mulia. Akan tetapi, kenyataan empirik menunjukan
dimana pun di dunia ini selalu ada orng-orang yang taat karena adanya sanksi, oleh karena
itu jinayah tanpa sanksi tidaklah realistik.
Sumber Hukum Pidana Islam
Sumber hukum ialah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang
mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar
mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata (C.S.T. Kansil, 1989: 46). Zainuddin Ali
menyebutkan membicarakan sumber hukum pidana Islam bertujuan untuk memahami
ajaran agama Islam yang dijadikan petunjuk kehidupan manusia yang harus ditaatinya
(Zainuddin Ali, 2007: 15). Jadi sumber hukum pidana Islam sama dengan sumber hukum
Islam yang meliputi :
1) Al Quran

Al Quran adalah wahyu dari Allah SW'I', yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW dengan perantaraan malaikat Jibril AS. Secara garis besar hukum
dalam Al Quran dibagi menjadi dua macam, yaitu pertama mengenai hukum- hukum yang
berhubungan dengan kepercayaan dan peribadatan kepada Allah SWT (Ibadah). Kedua
mengenai hukum yang berhubungan, masyarakat dan hubungan antar sesama
masyarakat/perdata (muamalah) (70 ayat), seperti pidana (jinayat) (30 ayat), tata negara
(10 ayat), hubungan kekeluargaan (Muhammad Daud Ali, 1999 : 80). Segala sesuatu baik
yang telah terjadi maupun yang belum terjadi sudah ada hukumnya dalam Al Quran,
sesuai dengan firman Allah dalam Al Quran surat Al-An ‘am ayat 38 yang artinya :
“Tidak ada sesuatu pun yang kami luputkan di dalam Kitab…” (Departemen Agama RI,
2002 : 177).

Dalam surat An Nahl ayat 89 juga dijelaskan, yang artinya: “(Dan ingatlah) akan
hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka
sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat
manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri
(muslim)” (Departemen Agama RI, 2002 : 377).
2) Hadist
Sunnah atau hadist ialah ucapan (sunnah qauliyah), perbuatan (sunnah fi’liyah)
atau penetapan (sunnah taqririyah) dari Nabi Muhammad SAW (Ahmad Hanafi, 1970:
58). Hadist merupakan sumber hukum Islam kedua setelah A1 Quran. Adapun fungsinya
adalah sebagai berikut :
 Menguatkan hukum yang telah disebutkan dalam Al Quran.
 Menafsirkan ketentuan-ketentuan Al Quran yang belum jelas.
 Menetapkan hukum yang belum ada dalam Al Quran.

Kedudukan Sunnah atau Hadist sebagai sumber ajaran Islam selain didasarkan
pada keterangan ayat-ayat Al Quran dan Hadist juga didasarkan kepada pendapat
kesepakatan para sahabat, yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib
mengikuti Hadist, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau
meninggal (Abuddin Nata, 2001 : 72).

Allah SWT telah mewajibkan kaum muslimin untuk mengikuti sunnah Nabi
Muhammad SAW, seperti yang dijelaskan dalam Al Quran, yang artinya “Hai orang-
orang yang beriman taatilah Allah, taatilah Rasul, dan taatilah penguasa dari kamu. Jika
kamu berselisih mengenai sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul”
(Departemen Agama RI, 2002 : 114).

3) Ar-Ra’yu

Ar-Ra’yu atau penalaran adalah sumber ajaran Islam yang ketiga. Penggunaan akal
(penalaran) manusia dalam menginterpretasi ayat-ayat Al Quran dan sunnah/hadis yang
bersifat umum (Zainuddin Ali, 2007 : 16), dimana akal pikir tersebut harus memenuhi
syarat untuk berijtihad, dimana metode ijtihad meliputi ijmak, qiyas, istidal, al-masalih al
mursalah, istihsan, istihab, dan urf (Mohammad Daud Ali, 1999 : 72), keterangannya
sebagai berikut :

a. Ijma

Ijma’ adalah kebulatan pendapat fuqaha mujtahidin pada suatu masa atas sesuatu
hukum sesudah masa Nabi Muhammad saw.

b. Qiyas

Qiyas adalah mempersamakan hukum suatu perkara yang belum ada ketetapan
hukumnya dengan suatu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya. Persamaan
ketentuan hukum dimaksud didasari oleh adanya unsur-unsur kesamaan yang sudah ada
ketetapan hukumnya dengan yang belum ada ketetapan hukumnya yang disebut illat.

c. Istihsan

Istihsan adalah mengecualikan hukum suatu peristiwa dari hukum peristiwa-peristiwa lain
yang sejenisnya dan memberikan kepadanya hukum yang lain yang sejenisnya.
Pengecualian dimaksud dilakukan karena ada dasar yang kuat. Sebagai contoh, wanita itu
sejak dari kepalanya sampai kakinya aurat. Kemudian diberikan oleh Allah dan Rasul
keizinan kepada manusia melihat beberapa bagian badannya bila dianggap perlu.

d. Mashlahat Mursalah

Mashlahat Mursalah ialah penetapan hukum berdasarkan kemaslahatan (kebaikan,


kepentingan) yang tidak ada ketentuannya dari syara’ baik ketentuan umum maupun
ketentuan khusus. Sebagai contoh mendahulukan kepentingan umum dari kepentingan
pribadi dan golongan.

e. Urf

Urf adalah kebiasaan yang sudah turun-temurun tetapi tidak bertentangan dengan
ajaran Islam. Sebagai contoh jual beli dengan jalan serah terima, tanpa mengucapkan ijab-
qabul (Zainuddin Ali, 2007 : 16-17).
f. Istishab

Istishab adalah menetapkan hukum sesuatu hal menurut keadaan yang terjadi
sebelumnya, sampai ada dalil yang mengubahnya. Atau dengan perkataan lain dapat
dikatakan istisab adalah melangsungkan berlakunya hukum yang telah ada karena belum
ada ketentuan lain yang membatalkannya.
g. Istidal

Istidal adalah menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan. Misalnya menarik
kesimpulan dari adat istiadat dan hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam.

Asas Legalitas
Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan
tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya. Asas ini berdasarkan
Al- Qur’an Surah Al-Israa’ (17) ayat 15 dan Surah Al-An’aam (6) ayat 19. hal itu
diungkapkan sebagai berikut, yang artinya:
Barang siapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia
berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barang siapa yang sesat maka
sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak
dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus
seorang rasul” (Departemen Agama RI, 2002 : 386).
Katakanlah: (Muhammad) “Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?” katakanlah:
“Allah. Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku
supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang
sampai Al- Qur’an (kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-
tuhan yang lain disamping Allah?” Katakanlah: “Aku tidak mengakui”. Katakanlah:
“Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri
dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)” (Departemen Agama RI, 2002 : 174).

Kedua ayat yang diungkapkan dia atas, mengandung makna bahwa Al-Qur’an
diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad supaya menjadi peringatan (dalam bentuk
aturan dan ancaman hukuman) kepadamu. Asas legalitas ini telah ada dalam hukum Islam
sejak Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW (Zainuddin
Ali, 2007 : 5- 6).

Dalam Hukum Pidana Islam terdapat dua ayat yang menunjukkan asas legalitas,
dalam surat Al Israa’. ayat 15 yang menunjukkan asas legalitas dapat diambil intinya
yaitu : “Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”

Sumber Hukum Asas Legalitas

Dasar hukum asas legalitas dalam Islam adalah:

1. surat al-Isra ayat 15


2. surah al-Qashash ayat 59
3. surat al-An’am ayat 19
4. surat al-Baqarah ayat 286

Dasar hukum :

1. Al-Qur’an dalam surat al-Isra ayat 15

ً ‫س‬
‫وَل‬ َ َ‫علَ ْي َها َو ََل ت َِز ُر َو ِاز َرة ٌ ِو ْز َر أ ُ ْخ َر ٰى َو َما ُكنَّا ُمعَ ِذبِينَ َحتَّ ٰى نَ ْبع‬
ُ ‫ث َر‬ َ ‫َّم ِن ٱ ْهتَدَ ٰى فَإِنَّ َما يَ ْهتَدِى ِلنَ ْف ِسِۦه َو َمن‬
ِ َ‫ض َّل فَإِنَّ َما ي‬
َ ‫ض ُّل‬

“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat
itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia
tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa
orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”

2. Al-Qur’an surat al-Qasas ayat 59

َ ٰ ‫وا َعلَ ْي ِه ْم َءا ٰ َيتِنَا ۚ َو َما ُكنَّا ُم ْه ِل ِكى ْٱلقُ َر ٰ ٓى ِإ ََّل َوأَ ْهلُ َها‬
َ‫ظ ِل ُمون‬ ۟ ُ‫وَل َيتْل‬
ً ‫س‬ُ ‫ث فِ ٓى أ ُ ِم َها َر‬
َ ‫َو َما َكانَ َربُّكَ ُم ْهلِكَ ْٱلقُ َر ٰى َحت َّ ٰى َي ْب َع‬

“Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu
seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula)
Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman.”

3. Al-Qur’an dalam surat al-Anam ayat 19

َّ ‫ى ٰ َهذَا ْٱلقُ ْر َءانُ ِِلُنذ َِر ُكم بِِۦه َو َم ٌۢن بَلَ َغ ۚ أَئِنَّ ُك ْم َلتَ ْش َهدُونَ أَ َّن َم َع‬
ِ‫ٱَّلل‬ َّ َ‫ى إِل‬
َ ‫وح‬ِ ُ ‫ش ِهي ٌۢد ٌ َب ْينِى َو َب ْينَ ُك ْم ۚ َوأ‬ َّ ‫ش ْىءٍ أ َ ْكبَ ُر َش ٰ َهدَة ً ۖ قُ ِل‬
َ ۖ ُ‫ٱَّلل‬ ُّ َ ‫قُ ْل أ‬
َ ‫ى‬
ٰ ٓ َّ ‫َءا ِل َهةً أ ُ ْخ َر ٰى ۚ قُل‬
ٓ ‫َل أ َ ْش َهد ُ ۚ قُ ْل إِنَّ َما ه َُو إِلَهٌ ٰ َو ِحد ٌ َوإِنَّنِى بَ ِر‬
َ‫ى ٌء ِم َّما ت ُ ْش ِر ُكون‬

“Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah: "Allah". Dia menjadi
saksi antara aku dan kamu. Dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku
memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya).
Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?"
Katakanlah: "Aku tidak mengakui". Katakanlah: "Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang
Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan
Allah)".”

4. Al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 286

ٓ‫طأْنَا ۚ َربَّنَا َو ََل تَحْ ِم ْل َعلَ ْينَا‬ َ ‫اخذْنَا ٓ إِن نَّسِينَا ٓ أَ ْو أَ ْخ‬ ْ َ‫ت َو َعلَ ْي َها َما ٱ ْكت َ َسب‬
ِ ‫ت ۗ َربَّنَا ََل ت ُ َؤ‬ ْ ‫س َب‬َ ‫سا إِ ََّل ُو ْس َع َها ۚ لَ َها َما َك‬
ً ‫ٱَّللُ َن ْف‬
َّ ‫ف‬ ُ ‫ََل يُك َِل‬
‫ص ْرنَا‬ ُ ‫ٱر َح ْمنَا ٓ ۚ أَنتَ َم ْو َل ٰىنَا َفٱن‬
ْ ‫ْف َعنَّا َوٱ ْغ ِف ْر لَنَا َو‬ ُ ‫طاقَةَ لَنَا بِِۦه ۖ َوٱع‬َ ‫ص ًرا َك َما َح َم ْلت َ ۥهُ َعلَى ٱلَّذِينَ ِمن قَ ْب ِلنَا ۚ َربَّنَا َو ََل ت ُ َح ِم ْلنَا َما ََل‬ ْ ِ‫إ‬
َ‫َعلَى ْٱلقَ ْو ِم ْٱل ٰ َك ِف ِرين‬
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat
pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami
lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban
yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan
kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri
maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka
tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".”

Berdasarkan beberapa ketentuan yang terdapat dalam ayat Al-Qur’an tersebut, kemudian para
fuqaha merumuskan kaidah hukum Islam yang di ambil dari substansi ayat tersebut, seperti
sebagai berikut:

‫َلحكم ِلفعال قبل ورود النﺺ‬

“Tidak adahukuman bagi perbuatan orang yang berakal sebelum adanya ketentuan nas”.

‫َل جريمة وَل عقوبة إَل بالنﺺ‬

“Tidak ada tindak pidana dan tidak ada hukuman kecuali adanya nas”.

‫اَلصل فى اِلشياء اَلباحة حتى يدل الدليل على التحريم‬

“Pada asalnya semua perkara dan perbuatan adalah diperbolehkan , kecuali adanya dalil yang
mengharamkan atau melarang perbuatan tersebut”.

‫َل يمكن اعتبار فعل او ترك ﺠريمة اَل بالنﺺ صر يح يحرم الفعل او الترك فان لم يرد نﺺ صريح يحرم الفعل او الترك‬
‫فال مسﺌولية علي فاعل اوتارك وَل عقاﺐ‬

“Suatu perbuatan atau sikap yang tidak dilakukan, tidak bisa dipandang sebagai suatu jarimah
sebelum adanya nas yang tegas melarang perbuatan atau sikap yang tidak dilakukan tersebut.
Apabila tidak ada ketentuan nas yang mengaturnya maka perbuatan seseorang tidak bias
dimintai pertanggungjawaban pidana dan tidak dapat dipidana”.
Aplikasi Asas Legalitas Dalam Pidana Islam

Asas legalitas diterapkan oleh syara’ pada semua jarimah dengan cara yang berbeda, baik
pada jarimah hudud, qishash, maupun ta’zir.

A. Dalam jarimah hudud dan qishas

Dalam jarimah hudud dan qishash yang hukumannya telah ditentukan oleh syara’,
nash-nash tentang hukuman tersebut secara tegas dan jelas dinyatakan dalam Al-
Qur’an dan sunnah. Untuk jarimah zina larangan dan hukumnya terdapat dalam:

1. Surat Al-Isra’ ayat 32

ً ‫س ِب‬
‫يال‬ َ ‫سا ٓ َء‬ َ ‫ٱلزن ٰ َٓى ۖ ِإنَّ ۥهُ َكانَ ٰفَ ِح‬
َ ‫شةً َو‬ ۟ ‫َو ََل ت َ ْق َرب‬
ِ ‫ُوا‬

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang
keji dan suatu jalan yang buruk.”

2. Surat An-Nur ayat 2

‫ٱَّللِ َو ْٱل َي ْو ِم‬ َّ ‫ُوا ُك َّل ٰ َو ِح ٍد ِم ْن ُه َما ِم ۟ائَةَ َج ْلدَةٍ ۖ َو ََل ت َأ ْ ُخذْ ُكم ِب ِه َما َرأْ َفةٌ فِى دِي ِن‬
َّ ‫ٱَّللِ إِن ُكنت ُ ْم تُؤْ ِم ُنونَ ِب‬ ۟ ‫ٱلزانِى فَٱجْ ِلد‬
َّ ‫ٱلزانِ َيةُ َو‬
َّ
َ‫طآئِفَةٌ ِمنَ ْٱل ُمؤْ ِمنِين‬ َ ‫اخ ِر ۖ َو ْليَ ْش َهدْ َعذَابَ ُه َما‬ ْ
ِ ‫ٱل َء‬

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu
untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan
hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang
beriman.”

B. Dalam jarimah ta’zir

Penerapan asas legalitas dalam jarimah ta’zir berbeda penerapan asas legalitas dalam
jarimah huddud dan qishash. Abdul Qadir Audah membagi hukuman ta’zir kepada
tiga bagian:

1. Hukuman ta’zir atas perbuatan maksiat.


Para ulama’ sepakat bahwa hukuman ta’zir diterapkan atas setiap perbuatan
maksiat, yang tidak dikenakan had dan tidak pula kifarat, baik perbuatan
maksiat tersebut menyinggung hak Allah maupun hak adami.

2. Hukuman ta’zir dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umum.

Menurut kaidah umum yang berlaku selama ini dalam syari’at islam, hukuman
ta’zir hanya dikenakan terhadap maksiat, yaitu perbuatan yang dilarang karena
zat perbuatannya itu sendiri sebagai penyimpangan dari aturan pokok tersebut.

3. Hukuman ta’zir atas perbuatan pelanggaran (mukhalafah).

Pelanggaran (mukholafah) adalah melakukan perbuatan makruh atau


melakukan perbuatan mandub. Untuk menjatuhkan ta’zir atas perbuatan
mukhalafah, disyaratkan berulang-ulangnya perbuatan yang dapat dikenakan
hukuman, jadi. Sebenarnya penjatuhan itu bukan karena perbuatannya itu
sendiri melainkan karena berulang-ulang, sehingga perbuatan itu menjadi adat
kebiasaan.

Prinsip-Prinsip Umum Dan Hak-Hak Dalam Pidana Islam

Untuk itu terdapat prinsip-prinsip syari’at yang sesuai dengan fungsi dan tujuan dari
Jināyat itu sendiri. Hasby Asy Shdiddiqie menyebutkan diantaranya:

 Prinsip untuk menjadikan pembebanan hukum sebagai sarana mensucikan jiwa


 Prinsip keselarasan antara urusan akhirat dan dunia
 Prinsip persamaan derajat
 Prinsip menyerahkan ta’zir (sanksi edukatif) kepada penguasa atau hakim
 Prinsip tahkim (arbitrase)
 Prinsip dalam amr ma‟ruf nahyi munkar
 Prinsip toleransi (tasamuh)
 Prinsip kemerdekaan (huriyyah).
Bisa kita simpulkan transformasi prinsip-prinsip syari’at pada hukum pidana Islam
atau jināyat, diantaranya pada tiga cakupan berikut:

I. Hukuman hanya ditimpakan atau diberikan kepada orang yang melakukan tindak
kejahatan atau pidana, tidak boleh yang tidak berbuat dikenai hukuman. Prinsip ini
sesuai dengan prinsip kemerdekaan dan keadilan.

II. Seseorang dijatuhi hukuman apabila ada unsur kesengajaan untuk berbuat jahat.
Tidak adanya kesengajaan berarti kelalaian, tersalah, keliru atau lupa. Kalaupun
kondisi seperti ini harus tetap mendapatkan hukuman akan tetapi bukan hukuman
karena tindak pidana kejahatan, melainkan untuk kemashlahatan dan bersifat
mendidik. Pola ini sesuai dengan prinsip syari’at berupa prinsip menyerahkan
ta’zir (sanksi edukatif) kepada penguasa atau hakim dan prinsip untuk menjadikan
pembebanan hukum sebagai sarana mensucikan jiwa.

III. Hukuman hanya dijatuhkan apabila kejahatan tersebut secara meyakinkan telah
dilakukan. Dalam masalah yang meragukan, hukuman tidak boleh dijatuhkan.
Inilah intisari dari prinsip kemerdekaan, keadilan, amr ma’ruf nahyi munkar, serta
prinsip persamaan derajat. Sehingga dalam hukum pidana Islam asas “praduga tak
bersalah” (barā’atu adzdzimmah) menjadi tolak ukur dalam peradilan dan
pengadilan Islam.

IV. Berhati-hati menghukum, dan membiarkannya tidak menghukum serta


menyerahkannya kepada Allah SWT apabila kekurang bukti, adalah bentuk
implementasi prinsip ketauhidan dan prinsip untuk menjadikan pembebanan
hukum sebagai sarana mensucikan jiwa, serta prinsip keselarasan antara urusan
akhirat dan dunia.

Anda mungkin juga menyukai