Anda di halaman 1dari 15

Al-Jabhah Al-I’lamiyyah li Nushrah Ad-Daulah Al-Islamiyyah

(Front Media Pembela Daulah Islam)

Mu`assasah Al-Battar Al-I’lamiyyah

(Al-Battar Media)

Mempersembahkan:

Hukum Daf’ush-Shaa`il (Menghalau Penyerang) dan Panji Perang dalam Islam

Penulis: Abu Abdullah Al-Manshur

Alih Bahasa: Abana Ghaida

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat serta salam untuk Rasulullah yang diutus sebagai
rahmat bagi alam semesta alam. ‘Amma ba’du:

Sesungguhnya serangan brutal yang diarahkan kaum najis Syiah Rafidhah bersama konspirasi
pemerintahan-pemerintahan kafir Barat ke negeri-negeri kaum muslimin, mendorong seorang muslim
untuk bersemangat terhadap agamanya. Dia berupaya untuk mengibaskan debu kenistaan dan
mengusung panji jihad hingga tegak berkibar. Di bawah panji tersebut, baik dengan berkelompok atau
sendiri-sendiri, semua orang yang jujur berkumpul menjadi satu. Kehidupan baru pun mulai merasuk ke
dalam tubuh umat yang tengah menderita sakit.

Kemudian para pencuri dan pembegal pun menyusup untuk mencoba merampas buah manis hasil darah
para mujahid, di bawah slogan daf’u shaa`il (menghalau penyerang/membela diri). Mereka berperang di
bawah panji mana pun, selama panji tersebut diusung untuk memerangi musuh. Sampai-sampai
kelompok keji Hizbut Tahrir mengeluarkan fatwa kejinya yang menyatakan: “Bolehnya Berperang di
Bawah Panji Agen Negara Kafir Selama Peperangan Itu untuk Memerangi Orang-orang Kafir”

Penulis kitab Al-Ajwibah Al-Mufidah li Muhimmat Al-‘Aqidah menyatakan, “Siapa saja yang
menyekutukan Allah bersama dengan selain-Nya atau mengagungkan atau mengikuti langkah-langkah
dan prinsip-prinsipnya yang bertentangan dengan millah (agama) Ibrahim, begitu pula orang yang
membelanya dan berperang bersamanya di bawah panji buta yang menyeru kepada fanatisme golongan
atau membela fanatisme dan aliran-aliran materialisme yang digunakan Barat untuk menyerang kita,
maka dia adalah seorang musyrik dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berlepas diri darinya.”
Oleh karena itu, maka sudah seharusnya bagi kita untuk mengingatkan kaum muslimin agar tunduk
kepada agama mereka dan menjadikan peperangan mereka hanya di jalan Allah.

Maka saya pun menulis tulisan-tulisan ini dan saya beri judul “Hukum Menghalau Penyerang dan Panji
Perang dalam Islam” Semoga dengan tulisan ini, Allah memberikan manfaat bagi kaum muslimin.
Dengan memohon pertolongan Allah, saya menulis:

Ad-daf’u (‫ )الدفع‬secara etimologis (pengertian bahasa) adalah al-mudafa’ah/‫المدافغة‬


(pembelaan/pertahanan) dan al-mumana’ah/‫( الممانعة‬perlawanan/oposan).

Sementara ash-shaa`il/‫الصائل‬, Syaikh Asy-Syinqithi menerangkan, “Adalah seseorang yang menyerang


manusia lain, baik karena jiwanya, atau kehormatannya, atau hartanya.”

Ash-shaa`il (penyerang/agresor) terbagi menjadi dua:

1. Penyerang atau agresor yang muslim, semisal para pencuri, pembegal, dan yang lainnya.

2. Penyerang atau agresor kafir.

Hukum menghalau penyerang:

Pada dasarnya, menghalau penyerang adalah wajib, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

ّ ‫ت إِْحَداهَُما َعَلى اْلُْخَرٰى فََقاتُِلوا الِّتي تَْبِغي َحتّٰى تَِفيَء إِلَٰى أَْمِر‬
ِ‫ا‬ ْ ‫فَِإن بََغ‬

“Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu
kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah,” (Al-Hujurat: 9)

‫فََمِن اْعتََدٰى َعلَْيُكْم َفاْعتَُدوا َعلَْيِه بِِمْثِل َما اْعتََدٰى َعلَْيُكْم‬

“Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya
terhadapmu,” (Al-Baqarah: 194)

Dari Sa’id bin Zaid, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

‫َمْن قُتَِل ُدوَن َمالِِه فَهَُو َشِهيٌد َوَمْن قُتَِل ُدوَن أَْهلِِه أَْو ُدوَن َدِمِه أَْو ُدوَن ِدينِِه فَهَُو َشِهيٌد‬
“Siapa yang dibunuh karena membela hartanya, maka dia syahid. Siapa yang dibunuh karena membela
keluarganya, maka dia syahid. Siapa yang dibunuh karena membela darahnya atau karena membela
agamanya, dia syahid.” (HR. Abu Dawud)

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah bersabda:

‫لَْو أَّن َرُجًل اطّلََع َعَلى َعْوَرِة قَْوٍم فَفَقَُئوا َعْينَهُ لَْم يَُكْن َعلَْيِهْم َشْيٌئ‬

“Seandainya salah seorang laki-laki mengintip aurat (cela/perkara memalukan) suatu kaum, lalu mereka
mencungkil matanya, maka mereka tidak terkena kewajiban apa pun (baik diyat atau qishash).” (HR.
Ahmad)

Penulis kitab Tuhfatul-Ahwadzi mengatakan, “Barangsiapa yang berusaha mendapatkan


(mempertahankan) harta atau istri, lalu dia terbunuh, maka hal demikian termasuk ke dalam persoalan
daf’ush-shaa`il (menghalau penyerang).”

Ibnu Salamun mengatakan, “Diperbolehkan menghalau penyerang dari hewan, atau orang gila, atau
anak kecil, atau orang dewasa, yang menyerang jiwa, keluarga, atau harta.”

Asy-Syathibi menerangkan di dalam Al-Muwafaqat, “Diperbolehkan membunuh anak-anak kecil,


seandainya mereka membunuhi kaum muslmin. Bahkan diperbolehkan membunuh mereka untuk
menghalau penyerangan terhadap harta benda. Hal demikian ditegaskan di dalam Shahih Al-Bukhari
bahwasanya Najdah Al-Haruri, ketika bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai pembunuhan terhadap
anak-anak kaum musyrikin, maka dia menjawab, ‘Jika engkau mengetahui dari mereka apa yang
diketahui Khidhir dari anak yang dibunuhnya, maka bunuhlah. Tapi apabila engkau tidak mengetahuinya,
maka janganlah engkau membunuh mereka.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnu Hajar melansir ijma’ (konsensus ulama) tentang hal itu.

Tentang menghalau penyerang, terdapat sejumlah syarat:

1. Si penyerang adalah orang yang zhalim;

2. Melancarkan serangan terhadap jiwa, kehormatan, dan harta;

3. Sebelum menghalau serangan, si korban harus mengingatkan si penyerang tentang Allah,


mengancamnya dengan keberadaan-Nya;

4. Dia tidak memiliki jalan lain untuk menghalaunya, kecuali dengan cara tersebut;
5. Penyerangan benar terjadi, bukan hanya sekadar ancaman penyerangan, dan lain sebagainya;

Metode Menghalau Penyerang yang Muslim

Para ulama madzhab Asy-Syafi’i menjelaskan, “Menghalau penyerang dengan cara termudah dan cara
termudah lainnya, namun bisa ditingkatkan sesuai kebutuhan.”

Ibnu Hajar mengatakan, “Menghalau penyerang, seandainya tidak bisa selamat darinya selain dengan
melakukan tindak kejahatan terhadap dirinya atau sebagian anggota tubuhnya, maka tindakan itu
merupakan kesia-siaan (tidak ada konsekuensi diyat atau qishash).”

Ibnu Salamun berkata, “Apabila tidak dapat mencegah si penyerang kecual dengan pembunuhan, maka
dibolehkan membunuhnya terlebih dulu.”

Maka jika kita mengambil pendapat-pendapat para ulama, si penyerang yang muslim tidak boleh
langsung dibunuh, bahkan harus dicegah dengan cara termudah dan cara termudah lainnya, hingga
kemudian sampai ke tingkatan pembunuhan.

Hukum Menghalau Penyerang yang Kafir

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun perang defensif, ini merupakan kewajiban yang paling
ditekankan untuk mempertahankan kehormatan dan agama dari penyerang (musuh). Hal ini wajib
berdasarkan ijma’.

Penyerang (musuh) kafir ada dua macam:

1. Seorang diri dan sekelompok orang.

2. Pasukan negara-negara kafir.

Metode Menghalau Orang Kafir yang Menyerang

Adapun agresor kafir yang hanya berjumlah seorang atau sekelompok orang, maka dihalau dengan jalan
diperangi dan diusir. Dalam hal ini, tidak disyaratkan adanya ar-rayah (panji tempur) atau instruksi dari
amir, bahkan harus langsung segera dihalau. Ini mengingat, dengan menghalaunya maka bahaya yang
ditimbulkan pun akan berakhir. Menghalaunya merupakan perkara yang sanggup untuk dilakukan
(maqdur ‘alaihi) dan satu individu dari kaum muslimin diperkirakan dapat menghalau bahaya dan
kejahatan yang muncul. Dalil yang kami kemukakan atas hal ini adalah tindakan seorang sahabat di Pasar
Bani Qainuqa`, tatkala orang-orang Yahudi menyingkap aurat seorang muslimah, lalu sahabat tersebut
menolong si muslimah, dan menghalau kejahatan si penyerang. Sementara tentara negara-negara kafir,
satu individu dari kaum muslimin takkan sanggup untuk menghalau kejahatan mereka.

Dikatakan di dalam Mughni Al-Muhtaj: “Kelompok-kelompok dan individu-individu dari kita (kaum
muslimin) jangan tergesa-gesa untuk menghalau serangan dari seorang penguasa berkekuatan militer
luar biasa yang memasuki negeri-negeri kita, karena hal demikian menimbulkan bahaya yang hebat.”
(6/24)

Untuk menghalau serangan dari pasukan negara-negara kafir, diperlukan kekuatan militer pasukan
muslim. Dalil yang kami utarakan atas hal ini adalah perbuatan para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum dalam
Perang Uhud dan Perang Khandaq. Jihad mereka dilakukan untuk menghalau serangan orang-orang
kafir. Meski demikian, mereka tidak berangkat berperang sendiri-sendiri, dan bahkan mereka berangkat
dalam unit pasukan tempur untuk memerangi pasukan kafir.

Siapa saja yang memerhatikan kondisi negari Yaman saat ini, maka dia bisa menyaksikan agresi
kelompok Syiah Rafidhah. Mereka bukan hanya tampil dengan sepasukan saja, bahkan dengan banyak
pasukan. Mereka bukan datang dari satu negara, bahkan dari banyak negara, karena Iran, Rusia, dan
China turut mem-back up (menyokong) mereka. Apakah logis jika seseorang berkata, “Aku akan
menghalau serangan Syiah Rafidhah sendirian, dan tidak disyaratkan bahwa aku mesti bergabung ke
dalam barisan pasukan kaum muslimin”?! Ketahuilah bahwa bahaya dan serangan yang dilancarkan
Syiah Rafidhah tidak dapat dihalau kecuali oleh pasukan para pengusung tauhid yang jujur. Jika
peperangan dilancarkan kaum muslimin secara terpisah-pisah, maka hal ini tidak akan dapat
mengalahkan musuh dan menghalau agresor.

Allah berfirman, “Janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan
hilang kekuatanmu,” (Al-Anfal: 46)

Allah juga berfirman, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai berai,” (Ali ‘Imran: 103)

Seorang penyair berkata:

ْ ‫َوإَِذا اْفتََرْقَن تََكّسَر‬


‫ت آَحاًدا‬ ‫تَأَْبى الّرَماُح إَِذا اْجتََمْعَن تََكّسًرا‬

Apabila tombak-tombak itu disatukan, ia tidak dapat dihancurkan

Akan tetapi jika semuanya dipisah, maka akan terpatahkan

Oleh karena itu, wajib bagi kaum muslimin di Yaman untuk bersatu di bawah satu panji demi menghalau
serangan Syiah Rafidhah yang menjajah negeri-negeri kaum muslimin di bawah satu panji. Dan lebih
utama lagi, pasukan kaum muslimin berada dalam kesempurnaan al-i’dad al-imani (persiapan iman) dan
al-i’dad al-madi (persiapan materi). Namun apabila musuh telah menyerbu mereka, maka tidak
disyaratkan untuk memiliki persiapan keimanan dan materi yang sempurna, bahkan cukup hanya
dengan persiapan dan keimanan yang dasar saja. Lalu mereka berperang sebagaimana adanya, bersatu
di bawah panji tauhid. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

‫فالعدو الصائل الذي يفسد الدين والدنيا ل شيء أوجب بعد اليمان من دفعه فل يشترط له شرط بل يدفع بحسب المكان وقد نص على ذلك‬
‫العلماء‬

“Setelah beriman, tidak ada sesuatu pun yang lebih wajib daripada menghalau serangan musuh yang
akan merusak agama dan dunia. Maka, tidak disyaratkan padanya satu syarat pun untuk itu, bahkan
harus mempertahankan diri sesuai dengan kemampuan, dan hal ini ditegaskan oleh para ulama.”
Maksud dari perkataan Syaikhul Islam “tidak disyaratkan padanya satu syarat pun”, maksudnya adalah
syarat-syarat yang ditetapkan dalam jihad thalab (ofensif), semisal meminta izin kepada kedua orangtua,
si pemberi hutang, dan lain sebagainya.

Demikian pula, untuk menolak serangan musuh, tidak disyaratkan bagi pasukan muslim untuk
memperoleh persiapan keimanan dan materi secara sempurna. Bahkan cukup bagi mereka untuk
berperang dengan berbekal persiapan keimanan dan materi seadanya saja. Dari pernyataan tadi, jangan
dipahami bahwa Syaikhul Islam tidak meniscayakan adanya persatuan kaum muslimin dan panji yang
benar. Karena bukan hal demikian yang dimaksudkan dari pernyataan Ibnu Taimiyah. Perhatikanlah
pernyataannya: “sesuai dengan kemampuan”, maksudnya adalah kemampuan-kemampuan yang ada.

Penyusun kitab Mausu’ah Ar-Radd ‘Ala Al-Madzahib Al-Fikriyyah berkata, “Tidak disyaratkannya
persiapan keimanan dan materi dalam jihad defensif (difa’) bukan berarti sebuah bentuk tafrith
(menyepelekan). Bahkan menjadi sebuah kewajiban untuk menghalau (serangan) dengan kondisi
keduanya (iman dan materi) yang seadanya, dengan tetap memerhatikan kondisi kedua hal tersebut
pada saat peperangan, serta berupaya untuk meningkatkan keduanya semaksimal mungkin. Karena
jihad difa’ (defensif) bisa berlangsung selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Oleh karenanya,
pada saat bertempur, diwajibkan berusaha untuk me-manage (menghemat) kemampuan materi dan
membina keimanan para petempur, dengan cara menyusun program keilmuan dan praktek, karena
memperkuat aspek tersebut menghasilkan dampak luar biasa dalam hal keteguhan, kesabaran, dan
datangnya kemenangan dari Allah.”

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata:

، ‫ َواْلَولَُد بُِدوِن إِْذِن أَبََويِه‬، ‫ يَُجاِهُد ِفيِه ْالَعْبُد بِإِْذِن َسيِّدِه َوبُِدوِن إِْذنِِه‬، ‫ َولِهََذا يَتََعيُّن َعَلى ُكّل أََحٍد‬,‫ب َوأََعّم ُوُجوبًا‬ ِ َ‫فَقَِتاُل الّدْفِع أَْوَسُع ِمْن قَِتاِل الطّل‬
‫ضْعفَْي ْالُمْسلِِميَن فََما‬َ ‫ع ِمَن اْلِجَهاِد أَْن يَُكوَن اْلُعُدّو‬ ِ ‫ق َولَ يُْشتََرطُ ِفي هََذا النّْو‬ ِ ‫ َوهََذا ِجَهاُد ْالُمْسلِِميَن َيوَم أُُحٍد َواْلَخْنَد‬. ‫َواْلَغِريُم بُِدوِن إِْذِن َغِريِمِه‬
‫ضُروَرٍة َوَدْفٍع لَِجَهاُد اِْختَِياٍر‬ َ ‫ فََكاَن الِجَهاُد َواِجبا ً َعَليِهْم ِلنّهُ ِجَهاُد‬,‫ف اْلُمْسلِِميَن‬
َ ْ َ ‫ضَعا‬ ِ ‫ُدوَن فَإِنّهُْم َكاُنوا يَْوَم أُُحٍد َواْلَخْنَد‬
ْ َ‫ق أ‬

“Perang defensif lebih luas dan lebih umum kewajibannya dari perang ofensif (qital ath-thalab). Karena
itu, perang defensif diwajibkan atas setiap individu. Seorang budak harus berperang, baik dengan izin
tuannya ataupun tidak, seorang anak berperang meski tanpa izin kedua orangtuanya, orang yang
berhutang berperang meski tanpa izin kreditor (orang yang memberi hutang). Inilah jihad kaum
muslimin pada Perang Uhud dan Perang Khandaq. Dalam perang defensif ini, tidak disyaratkan bahwa
musuh dua kali lipat dari jumlah kaum muslimin atau kurang dari itu, karena pada saat Perang Uhud dan
Khandaq, jumlah musuh berlipat-lipat dari jumlah kaum muslimin. Jihad tetap wajib atas mereka, karena
saat itu adalah jihad darurat (keharusan) dan mempertahankan diri, bukan jihad atas pilihan sendiri.”
Maka yang harus dipahami dari pernyataan Ibnul Qayyim adalah tidak adanya persyaratan tentang izin
(berperang) dan jumlah pasukan (secara definitif) saja.

Penyusun kitab Mausu’ah Ar-Radd ‘Ala Al-Madzahib Al-Fikriyyah menerangkan, “Jihad defensif adalah
fardhu ‘ain bagi kaum muslimin meskipun para mujahid belum meraih persiapan materi dan keimanan
yang paripurna, dengan syarat tidak ada kerusakan pada pokok tauhid dan keimanan.” Artinya, pasukan
muslim harus memiliki persiapan materi dan keimanan sekadarnya saja, dan jangan sampai tidak
memiliki dasar persiapan materi (sama sekali). Karena apabila hal tersebut tidak ada, maka seorang
muslim tidak dapat berperang; tidak ada harta sebagai bekal dan tidak ada senjata untuk digunakan
berperang. Juga jangan sampai tidak memiliki dasar keimanan (sama sekali), karena jika hal itu tiada,
seseorang berarti kafir dan tidak boleh dimintai pertolongan.

Dari keterangan-keterangan di atas maka dapat dijelaskan bahwa dalam jihad defensif tidak disyariatkan
berbagai persyaratan seperti di bawah ini:

1. Persiapan materi dan keimanan yang paripurna, namun juga tidak berarti sama sekali tidak ada
persiapan, sebagaimana telah dijelaskan.

2. Permohonan izin kepada kedua orangtua, majikan, atau si pemberi pinjaman hutang.

3. Jumlah pasukan. Karena pada dasarnya, diperbolehkan mundur apabila jumlah pasukan kafir berkali-
kali lipat melebihi jumlah pasukan kaum muslimin. Sedangkan dalam jihad defensif, tidak diperbolehkan
hal itu (mundur), kendati jumlah pasukan musuh berkali-kali lipat banyaknya.

Persatuan kaum muslimin dalam rangka menghalau agresi pasukan-pasukan kafir adalah sesuatu yang
wajib. Pasalnya, menghalau serangan pasukan-pasukan kafir hanya dapat dilakukan oleh pasukan
tentara Islam. Dan sebuah kewajiban yang tidak bisa sempurna kecuali dengan melakukan sesuatu,
maka sesuatu itu wajib dikerjakan. Dengan demikian, persatuan kaum muslimin adalah sebuah
kewajiban syar’i yang jika ditinggalkan berarti bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Lalu persatuan kaum
muslimin meniscayakan kesatuan panji perang, sehingga mereka bersatu dan berperang di bawah panji
tersebut. Pada dasarnya, demikianlah seharusnya.

Namun apabila musuh telah menyerbu dan memasuki negeri kaum muslimin, sehingga tidak mungkin
bagi mereka untuk mengadakan persatuan karena tidak memiliki waktu dan tidak bisa melakukannya,
maka wajib bagi umat Islam untuk berangkat menghalau serangan musuh tanpa adanya kesatuan panji
perang, namun dengan syarat mereka harus mengikhlaskan niat demi tegaknya kalimat Allah. Hal ini
tidak berarti bahwa seorang muslim boleh berperang di bawah panji jahiliyah kafir, semisal berperang
demi mengokohkan sistem sekularisme, atau berperang demi nasionalisme atau fanatisme jahiliyah.
Bagaimana pun kondisinya, hal ini tidaklah diperbolehkan, berdasarkan sabda Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
ٌ‫ت فَِمْيتَتُهُ َجاِهلِيّة‬
َ ‫صبِيٍّة فََما‬
َ ‫ب لَِع‬ َ ‫صبِيٍّة َو يَْغ‬
ُ ‫ض‬ َ ‫ت َرايٍَة ُعّميٍّة يَُقاتُِل لَِع‬
َ ‫َوَمْن َقاتََل تَْح‬

“Barangsiapa berperang di bawah panji yang tidak jelas, berperang karena fanatisme dan marah karena
fanatisme (golongan), lalu dia mati, maka mati dalam kondisi jahiliyah.”

Maka seorang muslim tidak diperbolehkan membela seorang kafir asing (ajnabi) untuk mengokohkan
kedudukan seorang kafir Arab, atau menyingkirkan seorang thaghut dari Syiah Rafidhah untuk
menggantinya dengan seorang thaghut sekularis. Dalam kondisi demikian, bahkan umat Islam
diwajibkan untuk menyingkirkan seluruh panji yang tidak jelas dan mereka semaksimal mungkin
menyiapkan peralatan tempur untuk membela negeri-negeri Islam yang dijajah oleh musuh agresor
yang menyerang agama dan kehormatan, tanpa bernaung di bawah panji yang ditegakkan untuk
mengokohkan sistem thaghut atau prinsip kafir.

Dengan demikian, terdapat perbedaan antara perang untuk menghalau musuh yang menyerang agama,
kehormatan, dan jiwa tanpa adanya bendera (panji) –karena tidak bisa melakukan hal itu—dengan
perang untuk menghalau serangan musuh di bawah panji kekafiran atau panji yang tidak jelas lagi
jahiliyah. Karena yang kedua ini bagaimanapun kondisinya, tidaklah diperbolehkan, berdasarkan
keharamannya dan ancaman keras bagi siapa saja yang terjerumus ke dalamnya. Wallahu a’lam.

Demikianlah, dan siapa saja yang memerhatikan kondisi-kondisi penduduk Yaman, dan segala peristiwa
yang berlangsung di negeri mereka; berupa dominasi Syiah Rafidhah Hautsi atas umat Islam, maka dia
akan mengetahui bahwa faktor penyebabnya kembali kepada umat Islam itu sendiri. Mereka
mendistorsi pokok dan kaidah agama, yaitu dalam hal pengesaan (tauhid) Allah ‘Azza wa Jalla,
implementasi al-walaa` wa al-baraa` (loyalitas dan anti-loyalitas dalam Islam), kepatuhan kepada syariat
dan agama Allah serta kepada As-Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka ikut
mengafirmasi (mengokohkan/membenarkan) musuh-musuh Islam yang secara dusta dan bohong
berafiliasi kepada Islam. Mereka juga bergabung bersama para pengusung dakwah batil dan panji-panji
yang memusuhi agama dan umatnya.

Sebaiknya mereka merenungkan peristiwa yang terjadi pada kaum muslimin pada zaman Tartar, ketika
mereka mengalami kekalahan, didera keburukan dan kerusakan, serta kisah dari Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah mengenai mereka yang mendistorsi pemahaman tauhid, mereka terjerumus ke dalam
kesyikiran dan istighatsah (meminta bantuan) kepada selain Allah, dan mereka tidak bersatu di bawah
komando jelas lagi gamblang. Sampai-sampai para ulama mundur dari pertempuran bersama mereka,
sebagaimana disebutkan Syaikhul Islam. Lalu ketika mereka berserah diri kepada perintah Allah ‘Azza wa
Jalla, maka Allah pun memberi mereka tamkin (kemenangan/kekuasaan) dan mengalahkan musuh
mereka dengan kekalahan telak. Maka sebaiknya para penduduk Yaman mengambil pelajaran dari apa
yang telah dihikayatkan sang imam al-muhaqqiq (penelaah) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Sesungguhnya
dalam peristiwa tersebut terdapat ibrah (pelajaran), seandainya para penelaah mau mendalaminya
niscaya Allah akan melimpahkan manfaat sebesar-besarnya. Kami akan melansir keterangan dari
Syaikhul Islam secara panjang-lebar demi menggali faedah dan pelajaran.

Ketika membantah Al-Bakri, Syaikhul Islam berkata:

“Hingga ketika musuh yang telah murtad dari syariat Islaam datang ke Damaskus (yaitu Tartar), mereka
(sebagian kaum muslimin) keluar untuk ber-istighatsah kepada orang-orang mati di kuburan-kuburan
yang diharapkan mereka dapat melenyapkan bahaya. Beberapa penyair dari kalangan mereka
bersenandung:

‫لُْوُذْوا بِقَْبِر أَبِْي ُعَمر‬ ‫َيا َخائِِفيَن ِمَن التَّتر‬

Wahai orang-orang yang takut kepada Tartar

Berlindunglah kalian ke kuburan Abu Umar

Atau berkata:

ّ ‫ُعَمر يُْنِجْيُكْم ِمَن ال‬


‫ضَرر‬ ‫ُعْوُذْوا بِقَْبِر أَبِْي ُعَمر‬

Berlindunglah kalian ke kuburan Abu Umar

Dia akan menyelamatkan kalian dari bahaya

Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mereka yang dimintai pertolongan oleh kalian, kalaupun mereka
turut hadir bersama kalian dalam peperangan, mereka pun akan kalah sebagaimana kalahnya kaum
muslimin di Perang Uhud. Karena sesungguhnya telah ditetapkan (oleh Allah) bahwa tentara akan
terpecah (kalah) karena sebab-sebab yang mengharuskan demikian. Dan karena adanya ketentuan
hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala padanya. Oleh karena itu, orang-orang yang memiliki pemahaman
dan pengertian yang baik terhadap agama, mereka tidak mau ikut berperang pada saat itu, karena tidak
terwujudnya peperangan syar’i yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan karena peperangan
(semacam itu) hanya akan menghasilkan kerusakan dan tidak turunnya pertolongan (Allah) yang sangat
dibutuhkan. Maka tidak akan ada ganjaran di dunia dan tidak pula balasan di akhirat, bagi siapa yang
mengerti ini dan itu (yaitu mengerti kesesatan kedua belah pihak), walaupun kebanyakan orang
meyakini bahwa itu adalah jihad syar’i, adapun niatnya diserahkan pada hati mereka.’

Maka setelah itu, mulailah kami mengajak manusia untuk mengikhlaskan agama hanya untuk Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan ber-istighatsah hanya kepada-Nya, dan agar tidak ber-istighatsah kepada
selain-Nya. Tidak ber-istighatsah kepada malaikat yang dekat kepada Allah, tidak pula kepada nabi yang
diutus. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala pada saat Perang Badar: ‘(Ingatlah), ketika kamu
memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu,’ (Al-Anfal: 9)
Diriwayatkan bahwa pada Perang Badar, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Ya Hayyu Ya
Qayyum, tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Engkau, maka dengan Rahmat-Mu aku beristighatsah.’

Dalam lafazh lainnya: ‘Perbaikilah kondisiku semuanya, janganlah Engkau serahkan aku pada diriku
sendiri walau sekejap mata, dan jangan pula engkau serahkan aku pada seorang pun dari makhluk-Mu.’

Tatkala manusia sudah mau memperbaiki keadaan mereka, dan tulus ber-istighatsah hanya kepada
Allah, maka Allah pun menolong mereka dari musuh-musuh mereka dengan pertolongan yang besar.
Sehingga kalahlah tentara kafir Tartar dengan kekalahan yang tidak pernah terjadi pada saat itu. Hal
demikian disebabkan benarnya perwujudan pengesaan (tauhid) kepada Allah dan ketaatan kepada
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang sebelumnya tidak terwujud. Sesungguhnya Allah menolong
Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman di kehidupan dunia dan pada Hari Persaksian kelak.” Kami
berbicara tentang apa yang dikisahkan oleh Ibnu Taimiyah, meskipun secara khusus tidak berhubungan
dengan pembahasan kita, namun di dalamnya meliputi kesempurnaan penjelasan terkait apa yang
diterangkannya.

Di bawah ini adalah sebagian karakteristik panji yang harus dimasuki oleh kaum muslimin ketika
berperang:

1. Peperangan dilakukan demi meninggikan kalimat Allah. Dari Abu Musa Radhiyallahu ‘Anhu,
sesungguhnya seorang laki-laki bertanya:

ِ ّ ‫ك فِْي َسِبيِل‬
‫ا؟‬ ّ َ ‫ضًبا َويَُقاتُِل ِرَياًء فَأ‬
َ ِ‫ي َذل‬ َ ‫َيا َرُسْوَل اِ الّرُجُل يَُقاتُِل َحِميّةً َويَُقاتُِل غ‬

“Wahai Rasulullah, ada seseorang yang berperang karena membela sukunya, ada yang berperang karena
amarah, dan berperang dalam rangka riya (cari pujian). Lalu manakah di antara mereka yang fi
sabilillah?”

Rasulullah menjawab:

ِ ّ ‫اِ ِهَي اْلُعْلَيا فَهَُو في َسِبيِل‬


‫ا‬ ّ ُ‫من َقاتََل لِتَُكوَن َكلَِمة‬

“Barangsiapa yang berperang agar kalimat (perkataan) Allah menjadi yang tertinggi, maka dialah yang
(berperang) di jalan Allah.” (Muttafaq ‘Alaihi)

2. Di awal dan akhir, senantiasa berusaha mewujudkan tahkim (upaya berhukum) kepada syariat Allah.
Maknanya, pada permulaan peperangan, panji tersebut harus mengusung slogan tahkim syariat Allah.
Dan ketika nanti mendapatkan kekuasaan di muka bumi, maka harus mengimplementasikan syariat
Allah, dan demi di jalan Allah, tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Namun apabila di
awalnya mengusung slogan tahkim syariat Allah saja, tapi ketika telah mendapatkan kekuasaan di muka
bumi justru malah menyerahkan segala urusannya kepada orang-orang sekular atau meninggalkan
tahkim kepada syariat Allah dengan alasan maslahat dan mafsadat (kepentingan baik dan buruk), maka
hal demikian tidak termasuk ke dalam anjuran mengusung panji di mana kaum muslimin diharuskan
berperang di bawah naungannya.

3. Panji tersebut tidak terkotori oleh agenda-agenda asing dan kesepakatan-kesepakatan mencurigakan.
Penyusun Mau’suah Ar-Radd ‘Ala Al-Madzahib Al-Fikriyyah menegaskan, “Seorang mujahid mesti
memiliki dua bentuk pengetahuan, salah satunya adalah bentuk khusus yaitu ilmu tentang syariat jihad
beserta hukum-hukumnya dan pengetahuan tentang panji yang mana seorang muslim berjihad di
bawah naungannya. Semua ini harus dikuasai oleh seorang mujahid sebelum memulai jihad. Karena
ikhlas saja tidak cukup, dan dia mesti mengetahui apakah bahwa jihad yang hendak diikutinya adalah
jihad syar’i yang dicintai Allah ‘Azza wa Jalla ataukah bukan. Ini adalah sebuah kewajiban, karena jihad
(peperangan) meniscayakan lenyapnya jiwa dan harta. Sedangkan seorang muslim hanya diberi satu
nyawa saja, dan jangan sampai mempertaruhkannya pada persoalan yang tidak diridhai Allah.”

Di bawah ini merupakan dua contoh teladan betapa para salaf senantiasa berusaha untuk mendapatkan
pengetahuan tentang syariat jihad, sebelum berpartisipasi di dalamnya.

Contoh pertama:

Umar bin Al-Khathab berdiskusi dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘Anhuma untuk
mengetahui hukum memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat, sampai akhirnya Allah
melapangkan hati Umar dalam persoalan tersebut.

Contoh kedua:

Imam Adz-Dzahabi meriwayatkan di dalam kitab Siyar A’lam An-Nubalaa`, Humaid bin Hilal
menceritakan, “Para pengikut Al-Haruriyah (Khawarij) mendatangi Muthrif bin Abdullah. Mereka
mengajaknya untuk mau meyakini pemikiran mereka. Lalu Muthrif berkata, ‘Wahai semuanya,
seandainya aku memiliki dua nyawa, niscaya aku akan berbaiat kepada kalian dengan satu nyawa, dan
aku simpan satu nyawa lainnya. Apabila apa yang kalian katakan adalah sebuah petunjuk, maka nyawa
yang satu lagi akan aku berikan. Namun apabila yang kalian katakan adalah sebuah kesesatan, maka satu
nyawa tadi akan binasa, dan tinggal tersisa satu nyawa lagi. Namun sayangnya aku hanya memiliki satu
nyawa, dan aku takkan menjerumuskannya.”

Apa saja ilmu tentang syariat jihad dan panji perang yang mana seorang muslim berperang di bawah
naungannya, apa tujuan di balik jihad, maka ini adalah wajib untuk diketahui. Tidak cukup hanya
mengetahui apakah memerangi musuh adalah wajib atau tidak wajib, bahkan juga harus mengetahui
panji yang akan diusung seorang muslim ketika berhadapan dengan musuh. Allah Ta’ala berfirman,
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan
thaghut,” (An-Nisaa`: 76)

Di antara hal yang bertentangan dengan berperang di jalan Allah adalah peperangan dengan mengusung
panji tidak jelas (ar-rayah al-‘amiyyah). Panji yang tidak jelas berarti panji yang kacau, menyesatkan, dan
samar-samar disebabkan bercampurnya kebenaran dengan kesesatan. Sebagaimana ditegaskan di
dalam hadits: “Siapa yang terbunuh di bawah panji yang tidak jelas, marah karena fanatisme
(‘ashabiyyah), dan menyeru kepada fanatisme, maka dia berada di neraka.” (HR. Muslim)

Artinya, setiap kali seorang muslim memahami mana jalan orang-orang beriman yang dicintai oleh Allah
‘Azza wa Jalla dan mana jalan orang-orang pelaku kejahatan, maka pengetahuan ini harus menjadi
motivasi terbesar untuk berjihad di jalan Allah.

Penulis kitab Al-Khulashah fi Ahkam Asy-Syahid menulis, “Tidak cukup seseorang hanya dikatakan layak
untuk berperang, namun juga harus mengidentifikasi bahwa panji kelompok yang akan dibelanya adalah
panji Islam. Tidak dibolehkan berperang di bawah panji fanatisme kelompok, kesukuan, nasionalisme,
kebangsaan, sosialisme, dan lain sebagainya. Ketika para ulama melarang adanya hal yang menyia-
nyiakan pasukan kaum muslimin dalam jihad thalab (ofensif), karena di dalamnya mengandung
kemudharatan, maka hal ini juga dianalogikan untuk jihad defensif di bawah panji sekularisme, karena
berarti membahayakan dan menyia-nyiakan kaum muslimin, serta menyerahkan hasil manis
kemenangan kepada panji kekafiran.”

Penulis Al-Buhuts wa Al-Maqalat Al-‘Ilmiyyah menerangkan, jihad fi sabilillah memiliki tiga poros utama:

1. Keikhlasan untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga jihadnya dilakukan untuk mengharapkan ridha
Allah.

2. Meninggikan kalimat Allah dan mengimplementasikan syariat Allah dalam segenap ranah kehidupan.

3. Berperang di bawah panji Islam yang jelas berdasarkan petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam.

Negeri Yaman saat ini menjadi saksi pertempuran sengit yang menjadi ajang bagi Syiah Rafidhah najis
untuk membasmi Ahlussunnah. Maka kelompok Ahlussunnah pun bangkit untuk menghalau agresi
musuh, dan mereka pun mengusung berbagai macam panji, di antaranya adalah sosialisme,
nasionalisme, partai, dan masih banyak panji-panji fanatisme buta yang tidak jelas lainnya. Mengingat
bahwa seorang muslim tidak dapat bertempur sendirian, dan harus bergabung ke dalam satu bendera,
maka setiap muslim wajib untuk merenungkan segenap panji-panji yang ada, untuk selanjutnya
bergabung ke dalam panji perang fi sabilillah demi meninggikan kalimat Allah dan ber-tahkim kepada
syariat-Nya. Jangan sampai seorang muslim terperdaya oleh berbagai panji silau yang mengklaim
berjuang di jalan Allah, namun kemudian kekuasaan diserahkan kepada pihak yang menerapkan sistem
kafir demokrasi ketika kelak mendapat kemenangan.

Sekadar niat baik tidak menjadi alasan cukup bagi orang yang bergabung di bawah panji kafir, karena
berarti dia berperang bukan di jalan Allah, melainkan di jalan thaghut. Selain itu, seorang muslim jangan
sampai tertipu oleh pihak yang mengusung slogan Islam dan mengklaim diri berperang demi berhukum
dengan syariat Allah, namun tatkala mendapatkan kekuasaan di muka bumi justru malah tidak
berhukum dengan syariat-Nya dan berkilah: kemaslahatan mendorong untuk tidak berhukum kepada
syariat Allah, dan seandainya saat ini syariat Allah diterapkan maka akan menimbulkan kericuhan.
Walaupun lisannya tidak mengatakan hal itu, namun perbuatannya menegaskannya, dan mereka
meninggalkan hukum Allah sehingga manusia pun menyampaikan persetujuan kepada mereka.

Mereka lupa bahwa sejatinya persetujuan ada di tangan Allah, bukan di tangan manusia. Mereka juga
melupakan hadits Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, bahwasanya Rasulullah bersabda:

َ ‫ضَي اُ َعْنهُ َوأَْر‬


َ ‫ضى َعْنهُ الّنا‬
‫س‬ ِ ‫ضى اِ َر‬ َ ‫س َوَمْن أَْسَخطَ الّنا‬
َ ‫س بِِر‬ ُ ‫س بُِسْخِط اِ َسَخطَ اُ َعلَْيِه َوأَْسَخطَ َعلَْيِه الّنا‬ َ ‫َمْن أَْر‬
َ ‫ضى الّنا‬
“Barangsiapa yang mencari keridhaan manusia dengan membuat Allah murka, maka Allah akan murka
kepadanya, dan menjadikan manusia juga murka kepadanya. Dan barangsiapa yang membuat manusia
tidak senang, namun Allah ridha, maka Allah akan ridha kepadanya dan menjadikan manusia ridha
kepadanya.” Apa hasil dari ‘jihad’ mereka? Untuk apa mereka berperang? Dan apa yang sebenarnya
mereka inginkan?

Suatu ketika, seorang laki-laki datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu berkata,

ُ‫صّلى الّلهم َعلَْيِه َوَسلَّم َل أَْجَر لَه‬ ّ ‫ض الّدْنَيا فََقاَل َرُسوُل‬


َ ِ‫ا‬ ِ ‫ضا ِمْن َعَر‬ ّ ‫اِ َرُجٌل يُِريُد اْلِجَهاَد ِفي َسِبيِل‬
ً ‫اِ َوهَُو يَْبتَِغي َعَر‬ ّ ‫َيا َرُسوَل‬

“Wahai Rasulullah, ada seseorang ingin berjihad di jalan Allah dan dia mengharapkan harta dunia.” Rasul
merespons, “Dia tidak mendapatkan pahala.”

Lalu apa gerangan dengan orang yang berperang demi mendapatkan harta rampasan (ghanimah)?! Dan
dia mengklaim dirinya berperang di jalan Allah?! Orang yang jujur tidak akan berperang di bawah panji
seperti itu, karena dapat merusak jiwanya dan memendam penyesalan yang tak berarti. Karena hal
tersebut merupakan panji tidak jelas yang tidak berhukum dengan syariat Allah dan malah
mengutamakan keridhaan manusia daripada keridhaan Allah. Sekadar niat baik tidak menjadi alasan
cukup bagi orang yang bergabung di bawah panji kafir. Yang terpenting adalah amal yang benar, dan
niat tidak akan bisa meluruskan amal, jika pokoknya telah rusak.

Oleh karenanya, sejatinya panji perang yang jelas lagi murni yang diusung untuk meninggikan kalimat
Allah dan menjadikan syariat-Nya sebagai hukum adalah panji Daulah Islam yang akan dimuliakan dan
dimenangkan oleh Allah. Tengoklah Irak, Syam, Libya, dan Nigeria, di mana Allah mengokohkan panji
tersebut di wilayah-wilayah yang di dalamnya diberlakukan syariat Allah. Daulah Islam tidak pernah
takut karena Allah terhadap celaan para pencela, menegakkan hudud Allah, meninggikan panji tauhid,
dan tidak pernah takut kepada manusia.

Sesungguhnya Daulah Islam yang dimuliakan Allah tidak akan pernah mempertaruhkan akidah dan
manhajnya, serta tidak akan mengorbankan agamanya demi sesuatu yg nista. Sebagaimana juga di
Yaman, Daulah Islam hanya berupaya untuk menerapkan syariat Allah dan menegakkan agama-Nya,agar
panji tauhid berkibar tinggi mengangkangi panji-panji kesyirikan dan tandingan.

Kami di Wilayah Yaman akan memerangi siapa saja yang berdiri merintangi tahkim syariat Allah, sampai
Allah memberikan kepada kita kedudukan, sehingga kita dapat menerapkan syariat-Nya atau merasakan
apa yang telah dirasakan oleh Hamzah bin Abdul Muthalib. Di antara beberapa prinsip tsawabit (tidak
berubah) yang kita perjuangkan dalam peperagan adalah:

1. Tahkim syariat Allah sesegera mungkin ketika kita mendapatkan kemenangan dan kekuasaan di bumi
Allah, demi mematuhi firman-Nya: “(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di
muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan
mencegah dari perbuatan yang mungkar,” (Al-Hajj: 41)

2. Melenyapkan seluruh tempat kesyirikan, ketika sudah memiliki kemampuan secara langsung, dalam
rangka meneladani perbuatan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tatkala menaklukkan kota
Makkah. Hal pertama yang beliau lakukan adalah menghancurkan seluruh berhala. Ibnul Qayyim
berkata, “Tidak boleh membiarkan tempat-tempat kesyirikan ketika mampu untuk melenyapkannya,
walau hanya sejenak saja.”

3. Tidak ikut ke dalam koalisi-koalisi jahiliyah dan tidak bergabung bersama para pengusung panji
jahiliyah.

4. Kami memandang bahwa kemaslahatan teragung adalah tahkim syariat Allah serta menegakkan
hukuman hudud-Nya, dan memandang bahwa kemudharatan terbesar adalah menahbiskan thaghut
yang berhukum dengan selain syariat Allah dan mengabaikan hukuman hudud-Nya.

Syaikh Sulaiman bin Sahman menegaskan:

‫لو أقتتلت الحاضرة والبادية حتى يفنوا عن آخرهم لكان أهون من أن ينصبوا طاغوتا يوما وليلة‬

“Seandainya penduduk desa dan penduduk kota saling berperang hingga semua jiwa binasa, tentu saja
hal itu lebih ringan daripada mereka mengangkat seorang thaghut selama sehari semalam.”

Siapa saja yang bernaung di bawah perlindungan Khilafah dan berbaiat kepada Amirul Mukmnin Syaikh
Abu Bakar Al-Baghadadi Hafizhahullahu, maka dia wajib untuk mendengar dan taat baik dalam kondisi
perang maupun damai. Dia tidak boleh berperang melawan Syiah Rafidhah najis kecuali di bawa panji
Daulah Islam dan di bawah komando para umaraa` nya. Karena Daulah Islam memiliki strategi perang
yang tidak dimiliki oleh yang lainnya.

Ibnu Qudamah berkata, “Persoalan peperangan diserahkan kepada Imam yang lebih mengetahui jumlah
banyak dan sedikitnya pasukan musuh, tempat-tempat persembunyian musuh, dan tipu daya musuh.
Maka sudah seharusnya untuk mempertimbangkan pendapatnya, karena dia lebih mengetahui urusan
kaum muslimin.” (Al-Mughni, 9/174)

Masih di dalam Al-Mughni Al-Muhtaj, disebutkan, “Kelompok-kelompok dan individu-individu dari kita
(kaum muslimin) jangan tergesa-gesa untuk menghalau serangan dari seorang penguasa berkekuatan
militer luar biasa yang memasuki negeri-negeri kita, karena hal demikian menimbulkan bahaya yang
hebat.”

Maka wajib bagi balatentara Daulah Islam memerangi Syiah Rafidhah najis di bawah panji dan strategi
Daulah Islam, serta mematuhi komando para pemimpinnya sehingga semua urusan menjadi tertib dan
membuahkan hasil jihad yang manis.

Sebagai penutup:
Orang yang berpendapat bahwa memerangi Syiah Hautsi adalah jihad daf’ush-shaa`il (menghalau
penyerang) yang boleh dilakukan di bawah panji mana pun, maka sesungguhnya dia telah keliru dan
sesat. Tidak ada bedanya antara panji syirik Syiah Hautsi dengan panji supremasi hukum sekularisme,
karena keduanya adalah panji jahiliyah. Tidak ada bedanya antara panji Syiah Hautsi dengan panji
sosialisme, nasionalisme, kebangsaan, fanatisme buta, karena semuanya adalah panji-panji jahiliyah.
Substansi utama ada pada segenap hakikat yang terkandung, bukan pada nama-nama sebutannya.

Oleh karena itu, setiap muslim yang jujur wajib untuk berperang di bawah panji murni Daulah Islam yang
berjuang di jalan Allah demi mewujudkan syariat Allah. Mati hanya sekali, maka jadikan kematian itu di
jalan Allah dalam rangka tahkim syariat-Nya.

Kemuliaan hanya milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-oran beriman. Segala puji bagi Allah, sebelum dan
sesudahnya.

Penulis

Abu Abdullah Al-Manshur

Anda mungkin juga menyukai