Anda di halaman 1dari 5

Ragam & Bahaya Pemikiran Liberal

Oleh: Irfan Abu Naveed

S
epanjang sejarah peradabannya, kaum muslimin menghadapi banyak tantangan, namun
belum pernah mereka menghadapi tantangan yang lebih serius daripada tantangan
Peradaban Barat, peradaban yang terbukti menimbulkan bencana besar bagi umat
manusia tak hanya bagi kaum muslimin, hal itu disebabkan oleh kerusakannya yang sudah
rusak dari asas yang mendasarinya dan dari falsafah yang menjadi pandangannya,1 yakni
materialisme yang jauh dari aspek spiritual (materialistic oriented)2, dimana pemikiran ini tak
bisa dilepaskan dari sejarah filsafat kufur Barat yang mengingkari al-khabar al-shâdiq (wahyu)
sebagai salah satu sumber ilmu dalam struktur keilmuannya (epistemologi), sehingga
kerusakannya tak dapat ditolerir lagi karena sudah rusak dari asasnya. Terlebih dengan
akidah sekularisme yang melandasi filosofi pengaturan kehidupannya.

Peradaban Barat pun tampil dengan slogan kemerdekaan dan kebebasan (freedom)
menginvasi negeri-negeri kaum muslimin untuk mengelabui mereka, padahal slogan tersebut
hanyalah kamuflase di balik pemikiran kufur liberalisme yang meracuni kaum muslimin
dengan racun mematikan, bagaikan racun ular berbisa yang mengalir dalam darah dan cepat
merusak tubuh manusia hingga menyebabkan kematian atau kelumpuhannya, hilanglah
kemuliaannya, sirnalah kekuatannya, Allah al-Musta’ân. Maka memahaminya menjadi
penting, sebagaimana dikatakan sya’ir yang dinukil Imam al-Ghazali (w. 505 H):

“Aku mengetahui keburukan bukan untuk keburukan # Melainkan untuk menghindarkan diri
darinya.”
“Dan barangsiapa tidak mengetahui keburukan # Di antara manusia maka akan terjerumus ke
dalamnya.”3

A. Ragam Pemikiran Liberal & Bahayanya


Ironisnya, di zaman ini pemikiran-pemikiran berbahaya seperti; pluralisme yang
membiaskan konsep kebenaran tunggal Islam (lihat QS. 3: 19), multikulturalisme yang
mengakomodasi multi kultur tanpa memandang benar tidaknya (lihat QS. 2:42), feminisme
yang menghiasi kesesatannya dengan slogan yang mengelabui kaum muslimah (lihat QS. 6:
112), sinkritisme yang mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan (lihat QS. 2:42),
pembiasan prinsip akidah atas nama toleransi (lihat QS. 109: 6), mendukung kesyirikan atas

1 Dr. Mushthafa al-Siba’i, Min Rawâi’i Hadhâratinâ, Beirut: Dâr al-Warrâq, cet. I, 1420 H, hlm. 7.
2 Ibid, hlm. 8.
3 Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ’ ’Ulûm al-Dîn, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, juz I, hlm. 77.

Ragam & Bahaya Pemikiran Liberal: Bagaimana Sikap Kita? | 1


nama kearifan lokal (lihat QS. 31: 13); seluruhnya selaras dengan spirit pemikiran liberal yakni
kebebasan menghalalkan dan mengharamkan apa yang dikehendaki hawa nafsunya meski itu
bertentangan dengan Islam.

Jika kita rinci bahayanya, maka secara personal pemikiran kufur liberalisme merusak
akidah, pemikiran dan perasaan seorang muslim hingga melahirkan kepribadian ganda (split
of personality), ia merusak pola pikir seseorang hingga berujung pada lahirnya perbuatan
mungkar, misalnya menjustifikasi LGBT dan kawin sejenis.

Dalam konteks kemasyarakatan, pemikiran kufur melahirkan corak masyarakat yang


oportunistik, pragmatis, hedonis, terjajah karena lemah komitmennya terhadap ajaran Islam
serta lemah dalam melakukan kontrol sosial dan muhâsabah lil hukkâm. Dan inilah yang
menjadi sebab utama kekalahan kaum muslimin, penghinaan demi penghinaan keji atas Islam
dan simbol-simbolnya, penguasaan kaum kafir dan sekutunya atas mereka dan tegaknya
sistem jahiliyyah.4

Dalam konteks bernegara, pemikiran kufur liberalisme melahirkan pemerintahan


sekular yang memarjinalkan peran agama dalam pengaturan kehidupan (politik), atau
dengan kata lain menjauhkan penerapan syari’ah dalam kehidupan bernegara.

Dan jika ditela’ah secara mendalam, pemikiran ini sebenarnya sudah digugurkan oleh
Islam dari asasnya, karena seluruh pemikiran ini bersumber dari hawa nafsu yang
diperingatkan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah, karena segala hal yang bertentangan dengan al-
wahyu (Islam) pasti berasal dari al-hawâ’ sebagaimana isyarat agung dalam ayat:

”Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. Al-Najm
[53]: 3-4)

Ungkapan ’an al-hawâ’ yakni bi al-hawâ’ (menurut hawa nafsunya).5 Imam al-Sam’ani
(w. 489 H) menjelaskan bahwa al-hawâ’ berkonotasi ghayr al-haq (selain dari kebenaran
yakni kebatilan).6 Ditegaskan firman-Nya:

“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang
telah datang kepadamu” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 48)

Ini sejalan dengan apa yang dituturkan dalam sya’ir:

4 Abdul Qadim Zallum, Afkâr Siyâsiyyah, ___. cet. I, 1415 H, hlm. 54.
5 Abu al-Muzhaffar Manshur al-Sam’aniy, Tafsîr al-Qur’ân, Riyadh: Dâr al-Wathan, cet. I, 1418 H, juz
V, hlm. 284.
6 Ibid.

Ragam & Bahaya Pemikiran Liberal: Bagaimana Sikap Kita? | 2


”Berhati-hatilah terhadap hawa nafsumu maka engkau temukan keridhaan-Nya Karena
sesungguhnya sumber kesesatan seluruhnya adalah hawa nafsu.”7
Dan tak bisa dipungkiri bahwa pemikiran liberal menyalahi fitrah dan tradisi umat
manusia sejak lahirnya nenek moyang Bangsa Manusia, Adam a.s. yang bertakwa kepada
Allah, dan mengadopsinya jelas berbahaya bagi dunia dan akhirat seseorang:

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas datang kepadanya petunjuk dan
mengikuti jalan orang-orang yang tidak beriman. Kami biarkan ia leluasa dengan
kesesatannya (yakni menentang Rasul dan mengikuti jalan orang-orang kafir-pen.) kemudian
Kami seret ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al-
Nisâ’ [4]: 115)

Lihat pula QS. Al-An’âm [6]: 153, dan ancaman di akhirat kelak sebagaimana firman-
Nya:

“Siapa saja yang mencari selain Islam sebagai din-nya, maka tidak akan pernah diterima (din)
itu darinya, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Âli Imrân [3]: 85)
Dalam ayat di atas, kecaman di awali kata lan ( ) yakni tidak akan diterima
selama-lamanya (li ta’bîd) yang lebih kuat maknanya daripada kata lâ8, ini menjadi indikasi
tegasnya kecaman dan peringatan dalam ayat yang agung ini bagi siapa saja yang mencari
selain Islam sebagai dîn-nya; mencakup akidah, ideologi dan pemikiran kufur.

Dan dari Ibnu ’Abbas r.a., ia berkata: “Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam-
bersabda:

“Sungguh kamu mengikuti tuntunan orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal,
sehasta demi sehasta hingga salah seorang dari mereka masuk lubang biawak pun sungguh
kamu mengikutinya.” (HR. Al-Hâkim dalam al-Mustadrak, al-Dzahabi mengatakan hadits ini
shahih)

Imam al-Mala’ al-Qari menjelaskan makna ” ” yakni jalan hidup, manhaj


dan perbuatan mereka9 Dan suatu pemikiran jelas termasuk manhaj, jalan hidup yang khas
lahir dari suatu peradaban. Dan hadits ini jelas mengandung celaan atas perbuatan mengikuti
manhaj dan pola pikir orang kafir.

7 Azhariy Ahmad Mahmud, Dâ’ al-Nufûs wa Sumûm al-Qulûb: al-Ma’âshiy, Dâr Ibn Khuzaimah, hlm.
15.
8 Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi, Kitâb Al-’Ain, Dâr al-Hilâl, juz VIII, hlm. 350.
9 Nuruddin al-Mala al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, Beirut: Dâr al-Fikr, cet. I,
1422 H, juz VIII, hlm. 3403.

Ragam & Bahaya Pemikiran Liberal: Bagaimana Sikap Kita? | 3


B. Sikap Kita
Secara personal, setiap muslim wajib menegakkan prinsip al-wala’ wa al-bara’, loyal
pada Islam dan ingkar pada pemikiran-pemikiran kufur, prinsip ini merupakan penjabaran
dari prinsip ingkar pada thaghut dan beriman kepada Allah:

“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 256)

Seorang muslim tidak boleh mengadopsi itu semua, melainkan wajib


mencampakkannya. Di Persia misalnya, Sa’ad bin Abi Waqqas r.a., panglima perang yang
dikirim ’Umar ke sana telah menemukan buku-buku filsafat lama sebagai rampasan perang.
Dari laporan Ibnu Khaldun (w. 808 H), Sa’ad sebenarnya ingin membawa buku-buku
tersebut agar dapat dimanfaatkan oleh kaum muslimin, tapi keinginan ini langsung ditolak
oleh ’Umar: “Campakkan buku-buku itu ke dalam air. Jika apa yang terkandung dalam buku-
buku tersebut adalah petunjuk yang besar, maka Allah telah memberikan kepada kita
petunjuk-Nya yang lebih besar (al-Qur’an dan as-Sunnah). Jika ia berisi kesesatan, Allah telah
memelihara kita dari bencana tersebut. Maka campakkanlah buku-buku tersebut ke dalam air
atau ke dalam api.”10

Dan secara kolektif, kita wajib memahamkan umat terhadap bahaya pemikiran ini
yang jelas termasuk kemungkaran, sebagai bagian dari tanggung jawab al-amr bi al-ma’rûf
wa al-nahy ’an al-munkar, menyelamatkan umat dari bahaya kemungkaran tersebut, dimana
Imam al-Ghazali menegaskan bahwa pokok agama adalah mencegah dari keburukan. Sikap
ini pun ditunjukkan oleh ulama besar abad ke-19, Syaikhul Azhar Muhammad al-Khudhari
Husain: “Adapun orang-orang yang berpegangteguh pada al-Qur’an dan as-Sunnah, maka
wajib bagi mereka memperingatkan (umat manusia) dari meridhai ajaran atheisme (termasuk
liberalisme-pen.) dimanapun berada, meski kaum atheis tersebut adalah bapak-bapak, anak-
anak, saudara-saudara dan kerabat-kerabat mereka.”11

Dan tak berhenti di sana, sesungguhnya tersebarnya pemikiran kufur di tengah-tengah


umat ini terjadi karena umat hidup dalam sistem jahiliyyah Demokrasi dengan prinsip
kebebasan yang menyuburkannya dan dipimpin oleh para pemimpin yang mengkhianati
amanah Allah dan Rasul-Nya dengan mengenyampingkan syari’at Islam dalam mengatur
urusan umat, tidak menjalankan fungsi junnah (perisai) akidah dan malah menjadi penjaga
sistem jahiliyyah tersebut. Maka wajib bagi kita mengupayakan tegaknya syari’at Islam kâffah
dengan thariqah menegakkan al-Khilafah ’ala Minhaj al-Nubuwwah, membai’at khalifah
untuk menjalankan fungsi ri’aayah (pengaturan urusan umat) dengan hukum syari’ah kâffah,

10 Waliyyuddin ‘Abdurrahman Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldûn, Damaskus: Dâr Ya’rib, cet. I,

1425 H, hlm. 250; Ibnu Khaldun, Dîwân al-Mubtada’ wa al-Khabar fî Târîkh al-‘Arab wa al-Barbar, Beirut: Dâr
al-Fikr, cet. II, 1408 H, hlm. 631.
11 Muhammad al-Khudhari Husain, Silsilatu Milal wa Nihal [3]: Al-Ilhâd, Kuwait: Maktabah Ibn

Taimiyyah, cet. I, 1406 H, hlm. 3-4.

Ragam & Bahaya Pemikiran Liberal: Bagaimana Sikap Kita? | 4


dan menegakkan fungsi junnah sebagaimana sabda yang mulia Rasulullah –shallallâhu ’alayhi
wa sallam-:

“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang


mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Muttafaqun
’Alayh)
Dimana sifat junnah dalam hadits ini pun tak terbatas dalam peperangan semata,12
akan tetapi berkonotasi pula sebagai pelindung dari kezhaliman, penangkal dari keburukan
sebagaimana dijelaskan al-Hafizh Ibnu al-Atsir (w. 606 H)13 termasuk mencegah invasi
pemikiran-pemikiran kufur, hingga kaum muslimin bisa bangkit kembali dari kelumpuhannya,
menjadi umat terbaik sesuai firman-Nya:

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Âli Imrân [3]:
110)

12 Nuruddin al-Mala’ al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, juz VI, hlm. 2391.
13 Ibnu al-Atsir, Jâmi’ al-Ushûl fî Ahâdîts al-Rasûl, Maktabat Dâr al-Bayân, cet. I, 1390 H, juz IV, hlm.
63.

Ragam & Bahaya Pemikiran Liberal: Bagaimana Sikap Kita? | 5

Anda mungkin juga menyukai