Anda di halaman 1dari 7

Hujjah Wajibnya Menjelaskan Kebatilan Demokrasi (Bag.

I)

D
Oleh: Irfan Abu Naveed
i antara paham sesat menyesatkan yang menghantui kaum muslimin saat ini adalah
paham ‘Sepilis’ (sekularisme, pluralisme, liberalisme), ia menjadi senjata invasi
pemikiran dan tsaqafah Barat ke negeri-negeri kaum muslimin, dan kaum muslimin
pun pada umumnya sudah menyadari betul bahaya pemahaman ini, namun di antara pemahaman
sesat menyesatkan yang dianggap biasa dan itu sangat berbahaya adalah pemahaman tentang
Demokrasi. Bagaimana tidak berbahaya? Padahal racun pemikiran itu bagaikan racun ular
berbisa yang mengalir dalam darah dan cepat merusak jaringan dan organ tubuh manusia hingga
menyebabkan kematiannya, atau setidaknya kelumpuhan.
Benar apa yang disampaikan Abu Sayf Khalil al-‘Abidi al-‘Iraqi: “Sungguh pada akhir
abad ke-19, khususnya paska runtuhnya Daulah ’Utsmaniyyah, umat islam diserbu pemahaman-
pemahaman sesat dan keyakinan-keyakinan batil yang menyusup ke dalam Din kita yang lurus,
menyelisihi dan menyerang akidah islam dari segala arah dan sisi.”1

Di sisi lain, hal itu mengingatkan saya pada kenyataan betapa kuatnya pembelaan para
ulama dan pemikir abad ke-19 terhadap ajaran Islam dalam menghadapi paham-paham sesat
semisal sekularisme (al-'ilmâniyyah), filsafat materialisme dengan cabang-cabang alirannya,
atheisme, Ideologi Komunisme (al-syuyû'iyyah) dimana ia mewujud dalam sebuah negara -Uni
Sovyet-, dan kini Ideologi Kapitalisme yang sedang sekarat menuju detik-detik kehancurannya,
dan pembelaan para ulama ini terhadap ajaran Islam pun mereka tuangkan dalam kitab-kitab
buah tangan mereka yang berharga.
Tercatat misalnya: Al-'Allamah al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani di antaranya dalam
kitabnya yang berharga yakni Nizhâm al-Islâm, Al-’Allamah ’Abdul Qadim Zallum dalam kitab
Al-Dîmuqrâthiyyah Nizhâm Kufr, Dr. Mushthafa al-Siba'i dalam kitab Min Rawâ'i Hadhâratinâ,
dan Al-’Allamah Muhammad al-Khudhari Husain (Syaikhul Azhar) dalam kitab Silsilatu Milal
wa Nihal [3]: Al-Ilhâd: Asbâbuhu wa Thabâ’iuhu wa Mafâsiduhu wa Asbâb Zhuhûrihi wa
‘Ilâjuhu. Hal itu sebagaimana teladan generasi al-salaf al-shâlih yang gencar pula menghadapi
pemikiran sesat menyesatkan.

1
Abu Sayf Jalil ibn Ibrahim al-‘Abidi al-‘Iraqi, Al-Dîmuqrâthiyyah wa Akhawâtuhâ:
Âtsârun wa Tsamarâtun, 1427 H.

Pentingnya Menjelaskan Hakikat Keburukan Demokrasi | 1


Maka kita pun sudah semestinya meniti jalan salafunâ al-shâlih, para guru dan para ulama
umat ini dalam menghadapi penyesatan, termasuk penyesatan yang kini massif kita hadapi dari
kaum kuffar Barat: Ideologi Kapitalisme, Demokrasi, Sekularisme, Pluralisme, Liberalisme,
Feminisme, Komunisme dan yang semisalnya. Dan berangkat dari pemahaman bahwa
Demokrasi adalah pemikiran yang berbahaya, sebagaimana dalam tanya jawab penulis di sini:
Link Tanya Jawab dengan Syaikhul Ushul al-'Alim 'Atha bin Khalil Abu al-Rasytah. maka
penting untuk disampaikan alasan-alasan prinsipil pentingnya menjelaskan hakikat keburukan
Demokrasi:

Pertama, Bahaya Pemikiran yang Sesat dan Menyesatkan


Pemikiran yang sesat menyesatkan sangat berbahaya, bahayanya disaksikan oleh nash al-
Qur’an dan al-Sunnah yang agung dan akal yang sehat (syar’an wa ’aqlan). Racun pemikiran itu
bagaikan racun ular berbisa yang mengalir dalam darah dan cepat merusak jaringan dan organ
tubuh manusia hingga menyebabkan kematiannya, atau setidaknya kelumpuhan.

Peringatan yang sangat keras sebagaimana dinyatakan Allah dalam firman-firman-Nya


yang agung:

ِ‫تم‬
}‫ص ًريا‬ ِ ِ ُ‫ول ِمن بع ِد ما َتبنَّي لَه اهْل َد ٰى ويتَّبِع َغير سبِ ِيل الْمْؤ ِمنِني نُولِِّه ما َتوىَّل ٰ ون‬ َّ ‫{و َم ْن يُ َشاقِ ِق‬
َ ْ َ‫َّم ۖ َو َساء‬
َ ‫صله َج َهن‬ْ َ َ َ َ َ ُ َ َ ْ ْ َ َ ُ ُ َ َ َ ْ َ ْ َ ‫الر ُس‬ َ

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas datang kepadanya petunjuk dan
mengikuti jalan orang-orang yang tidak beriman. Kami biarkan ia leluasa dengan kesesatannya
(yakni menentang Rasul dan mengikuti jalan orang-orang kafir-pen.) kemudian Kami seret ke
dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 115)

Menafsirkan ayat yang agung ini

َّ ‫السبُ َل َفَت َفَّر َق بِ ُك ْم َع ْن َسبِيلِ ِه ۚ ٰذَلِ ُك ْم َو‬


}‫صا ُك ْم بِِه لَ َعلَّ ُك ْم َتَّت ُقو َن‬ ُّ ‫يما فَاتَّبِعُوهُ ۖ َواَل َتتَّبِعُوا‬ ِ ِ ِ َّ ‫{و‬
ً ‫َأن َٰه َذا صَراطي ُم ْستَق‬ َ

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan
kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (QS. Al-
An’âm [6]: 153)

Pentingnya Menjelaskan Hakikat Keburukan Demokrasi | 2


Hadits dari Ibnu ’Abbas r.a., ia berkata: ”Rasulullah SAW bersabda:
ٍِّ ‫ض‬
‫ب لَ َد َخ ْلتُ ْم‬ َ ‫َأح َد ُه ْم َد َخ َل ُج ْحَر‬ ٍ ‫اعا بِ ِذ َر‬
َّ ‫اع َحىَّت لَ ْو‬
َ ‫َأن‬
ِ ِ ِ
ً ‫لََت ْر َكنُب َّ ُسنَ َن َم ْن َكا َن َقْبلَ ُك ْم شْبًرا بِشرْبٍ َوذ َر‬
”Kamu pasti akan mengikuti tuntunan orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal,
sehasta demi sehasta hingga salah seorang dari mereka masuk lubang biawak pun kamu pasti
akan mengikutinya.” (HR. Al-Hâkim dalam al-Mustadrak2, Al-Marwazi dalam al-Sunnah3.
Lafazh al-Hakim, al-Dzahabi mengatakan hadits ini shahih)
Ketika menjelaskan hadits senada dari riwayat al-Tirmidzi, Imam al-Mala’ al-Qari (w.
1041 H) menjelaskan makna ” ‫ان َق ْبلَ ُك ْم‬
َ ‫ ” ُس َن َن َمنْ َك‬yakni jalan-jalan hidup mereka, manhaj-manhaj
dan perbuatan-perbuatannya.4

Kedua, Kewajiban Mencegah Tersebarnya Kemungkaran Pemikiran Batil


Menilik perjalanan hidup para ulama, menunjukkan bahwa sejarah kehidupan mereka tak
terlepas dari perjuangan menghadapi penyimpangan, kesesatan dan kekufuran. Dan pertarungan
pemikiran (al-shirâ’ al-fikry) yang tercatat dalam sejarah dihadapi para ulama dari generasi ke
generasi mengisyaratkan besarnya perhatian mereka terhadap upaya tashfiyyat al-afkâr al-
islâmiyyah (pemurnian pemikiran Islam).5 Dalam atsar kita menemukan keteguhan sikap ’Umar
bin al-Khaththab –radhiyallâhu ’anhu- yang menutup rapat-rapat pintu masuknya pemikiran
filsafat Persia ke tengah-tengah kaum muslimin di masanya. Dimana hal tersebut merupakan
gambaran dari meniti manhaj dalam firman-Nya:
ِ ِ ِ ِ َّ ‫{ما َأ ْشه ْد ُتهم خ ْلق‬
}‫ض ًدا‬
ُ ‫ني َع‬ ُ ‫ض َواَل َخْل َق َأْن ُفس ِه ْم َو َما ُكْن‬
َ ِّ‫ت ُمتَّخ َذ الْ ُمضل‬ ِ ‫اَأْلر‬
ْ ‫الس َم َاوات َو‬ َ َ ُْ َ َ
”Aku tidak menghadirkan mereka (iblis dan anak cucunya) untuk menyaksikan penciptaan langit
dan bumi dan tidak (pula) penciptaan diri mereka sendiri; dan tidaklah Aku mengambil orang-
orang yang menyesatkan itu sebagai penolong.” (QS. Al-Kahfi [18]: 51)

2
Al-Hakim Muhammad bin ‘Abdullah al-Naysaburi, Al-Mustadrak ‘alaa al-Shahiihayn,
Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1411 H, juz IV, hlm. 502, hadits no. 8404.
3
Muhammad bin Nashr bin al-Marwazi, Al-Sunnah, Beirut: Mu’assasat al-Kutub al-
Tsaqafiyyah, cet. I, 1408 H, hlm. 18, hadits no. 43.
4
‘Ali bin Sulthan Muhammad Abu al-Hasan Nuruddin al-Mala al-Qari, Mirqât al-
Mafâtiih Syarh Misykât al-Mashâbiih, Beirut: Dâr al-Fikr, cet. I, 1422 H/2002, juz VIII, hlm.
3403.
5
Meski tak sedikit di antaranya yang tergelincir ke dalam perdebatan panjang dalam
masalah akidah akibat filsafat dan ilmu kalam.

Pentingnya Menjelaskan Hakikat Keburukan Demokrasi | 3


’Umar bin al-Khaththab –radhiyallâhu ’anhu-, salah seorang sahabat Rasulullah –
shallallâhu ’alayhi wa sallam- yang dikenal dengan julukan al-Fâruq, yakni pemisah antara
kebenaran dan kebatilan. Karakteristik ’Umar ini, tergambar jelas dalam catatan sejarah. Ketika
Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- wafat, kaum muslimin termasuk para sahabat mulai
keluar dari Jazirah Arab dan mulai berhadapan dengan pemikiran dan peradaban yang kompleks.
Di Persia misalnya, Sa’ad bin Abi Waqqas, panglima perang yang dikirim ’Umar ke sana telah
menemukan buku-buku filsafat lama sebagai rampasan perang. Dari laporan Ibn Khaldun, Sa’ad,
sebenarnya ingin membawa buku-buku tersebut agar dapat dimanfaatkan oleh kaum muslimin,
tapi keinginan beliau ini langsung ditolak oleh ’Umar:

‫ فطرحوها يف املاء‬.‫ وإن يكن ضالالً فقد كفاناه اهلل‬،‫ فقد هدانا اهلل بأهدى منه‬،‫هدى‬
ً ‫ فإن يكن ما فيها‬.‫اطرحوها يف املاء‬
‫أو يف النار‬
“Campakkan buku-buku itu ke dalam air. Jika apa yang terkandung dalam buku-buku tersebut
adalah petunjuk yang besar, maka Allah telah memberikan kepada kita petunjuk-Nya yang lebih
besar (al-Qur’an dan as-Sunnah). Jika ia berisi kesesatan, Allah telah memelihara kita dari
bencana tersebut. Maka campakkanlah buku-buku tersebut ke dalam air atau ke dalam api.”6
Hal itu merupakan gambaran dari tanggung jawab al-amr bi al-ma’rûf wa al-nahy ’an al-
munkar yang dilandasi oleh dorongan ilmu, sebagaimana penjelasan sebagian ulama ahli tafsir 7
ketika menafsirkan firman Allah dalam QS. Âli Imrân [3]: 104, dan didorong oleh dalil-dalil al-
Sunnah terkait kewajiban tersebut. Allah ’Azza wa Jalla berfirman:
}‫ك ُه ُم الْ ُم ْفلِ ُحو َن‬ ِ
َ ‫{ولْتَ ُك ْن ِمْن ُك ْم َُّأمةٌ يَ ْدعُو َن ِإىَل اخْلَرْيِ َويَْأ ُم ُرو َن بِالْ َم ْع ُروف َو َيْن َه ْو َن َع ِن الْ ُمْن َك ِر ۚ َوُأولَِٰئ‬
َ
”Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan (al-
Islam), menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, dan mereka lah orang-
orang yang beruntung.” (QS. Âli Imrân [4]: 104)
Dan salah satu bentuk kemungkaran yang berbahaya adalah tersebarnya pemikiran dan
sistem kehidupan batil di tengah-tengah umat. Dan oleh karena itulah al-’Allamah Muhammad
al-Khudhari Husain mengingatkan kita atas kewajiban agung ini: “Adapun orang-orang yang

6
Waliyyuddin ‘Abdurrahman bin Muhammad Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldûn,
Ed: ‘Abdullah Muhammad al-Darwisy, Damaskus: Dâr Ya’rib, cet. I, 1425 H, hlm. 250;
Waliyyuddin ‘Abdurrahman bin Muhammad Ibnu Khaldun, Diiwaan al-Mubtada’ wa al-Khabar
fii Taariikh al-‘Arab wa al-Barbar, Ed: Khalil Syahadah, Beirut: Daar al-Fikr, cet. II, 1408 H,
hlm. 631.
7
Abu al-Qâsim al-Husain bin Muhammad al-Râghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî
Gharîb al-Qur’ân, Maktabah Nazâr Mushthafâ al-Bâz, juz. I, hlm. 28.

Pentingnya Menjelaskan Hakikat Keburukan Demokrasi | 4


berpegangteguh pada al-Qur’an dan al-Sunnah, maka wajib bagi mereka memperingatkan (umat
manusia) dari meridhai ajaran atheisme (dan yang semisalnya) dimanapun berada, meski kaum
atheis tersebut adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara dan kerabat-kerabat mereka.”8

Dari penjelasan di atas, kita menemukan keteguhan dan kegigihan para ulama dalam
membantah pemikiran-pemikiran sesat menyesatkan. Al-’Allamah Muhammad al-Khudhari pun
tercatat gigih membela konsep Khilafah dalam Islam dengan membantah penyesatan ’Ali
’Abdurraziq dalam bukunya, Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm (diterbitkan tahun 1925) yang
membela konsep sekularisme dan menyerang konsep al-Khilafah. Dan untuk itu al-’Allamah
Muhammad al-Khudhari menyusun buku khusus berjudul Naqdh Kitâb al-Islâm wa Ushûl al-
Hukm dan diterbitkan setahun setelah buku ’Ali ’Abdurraziq terbit, yakni di tahun 1926, ini
menunjukkan kesigapan para ulama pendahulu kita dalam membela Islam dari segala bentuk
penyesatan.

Ketiga, Memisahkan Antara Kebenaran dan Kebatilan


Di antara kaidah untuk menetapi jalan kebenaran adalah memisahkan antara yang haq
dan yang batil. Allah ’Azza wa Jalla berfirman:
ِ ‫{واَل َت ْلبِسوا احْل َّق بِالْب‬
}‫اط ِل َوتَكْتُ ُموا احْلَ َّق َوَأْنتُ ْم َت ْعلَ ُمو َن‬َ َ ُ َ
”Dan janganlah kalian mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan, dan menyembunyikan
kebenaran padahal kalian mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 42)
Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil Abu al-Rasytah -hafizhahullâh- menjelaskan bahwa ayat
ini melarang dua hal:
Pertama, Mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan.
Kedua, Menyembunyikan kebenaran padahal ia mengetahuinya.
Mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan merupakan penyesatan (tadhliil),
dan menyembunyikan kebenaran merupakan perbuatan menyamarkannya dan membatasinya.
Dan kedua perbuatan ini, menurut Syaikh ’Atha bin Khalil merupakan dosa besar.9

8
Muhammad al-Khudhari Husain, Silsilatu Milal wa Nihal [3]: Al-Ilhâd: Asbâbuhu wa
Thabâ’iuhu wa Mafâsiduhu wa Asbâb Zhuhûrihi wa ‘Ilâjuhu, Kuwait: Maktabah Ibn Taimiyyah,
Cet. I, 1406 H, hlm. 3-4.
9
‘Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Al-Taysiir fii Ushuul al-Tafsiir, Beirut: Daar al-
Ummah, cet. II, 1427 H, hlm. 72.

Pentingnya Menjelaskan Hakikat Keburukan Demokrasi | 5


Dan memisahkan antara kebenaran dan kebatilan tidak mungkin terwujud kecuali dengan
mengetahui apa itu kebenaran dan apa itu kebatilan serta batasan di antara keduanya. Lalu
bagaimana umat bisa memahami bahaya Demokrasi jika para da’i tidak menyampaikannya?
Dari Hudzaifah Ibnul Yaman –radhiyallâhu ’anhu- berkata: “Orang-orang bertanya
kepada Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- mengenai kebaikan, sedangkan aku bertanya
kepada beliau –shallallâhu ’alayhi wa sallam- tentang keburukan, khawatir aku akan terjerumus
ke dalamnya.”10
Imam Abu Sa’id al-Khadimi al-Hanafi (w. 1156 H) menjelaskan bahwa mempelajari
kemungkaran-kemungkaran itu boleh (bahkan wajib-pen.) untuk mencegah darinya bukan untuk
cenderung padanya.11 Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) menegaskan bahwa (salah satu)
pokok agama adalah mencegah dari keburukan, mereka pun menyebutkan sya’ir:

‫للشر * لكن لتوقيه‬


ّ ‫الشر ال‬
ّ ‫عرفت‬
ُ
‫الشر * من الناس يقع فيه‬
ّ ‫ومن ال يعرف‬
“Aku mengetahui keburukan bukan untuk keburukan # Melainkan untuk menghindarkan
diri darinya.”
“Dan barangsiapa tidak mengetahui keburukan # Di antara manusia maka akan
terjerumus ke dalamnya.”12
Yakni pentingnya memahami fakta-fakta keburukan dan diperingatkan agar tidak
terjerumus ke dalamnya. Maka semakin jelas bahwa memahami keburukan adalah bagian dari
memisahkan kebenaran dengan kebatilan dan menegakkan kebenaran di atas kebatilan.
Memahami keburukan suatu ideologi atau peradaban adalah diantara upaya untuk menjaga
kemurnian pemikiran Islam, karena pemikiran bagi umat bisa dianalogikan seperti darah dalam
tubuh manusia, ketika darah dalam diri seseorang kotor maka ia akan terjangkit penyakit dalam
mematikan, begitu pula pemikiran umat, jika ia dikotori oleh pemikiran Sepilis, maka umat akan

10
HR. Al-Bukhari (3411) & Muslim (1847).
11
Muhammad Abu Sa’id al-Khadimi al-Hanafi, Barîqah Mahmûdiyyah fî Syarh Tharîqah
Muhammadiyyah Nabawiyyah fî Sîrah Ahmadiyyah, Mathba’ah al-Halb, 1348 H, juz I, hlm.
265.
12
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thusi, Ihyâ’ ’Ulûm al-Dîn,
Beirut: Dâr al-Ma’rifah, juz I, hlm. 77; Prof. Dr. Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Rawâ’i al-Bayân:
Tafsîr Âyât al-Ahkâm, juz. I, hlm. 76. Disebutkan pula dalam redaksi yang hampir serupa oleh
al-’Allamah Najmud Din al-Ghazzi, Husn al-Tanabbuh Limâ Warada fî al-Tasyabbuh, Libanon:
Dâr al-Nawâdir, cet. I, 2011, juz V, hlm. 396.

Pentingnya Menjelaskan Hakikat Keburukan Demokrasi | 6


melemah bahkan bisa berujung pada kehancuran. Memahaminya merupakan bagian dari
kewajiban dan memurnikannya adalah tanggung jawab bersama.
Benar bahwa banyak tantangan yang kita hadapi di jalan dakwah, namun di antara
tantangan yang paling berbahaya adalah rendahnya tingkat pemahaman dan lemahnya
konsistensi kaum muslimin terhadap Islam (internal). Di sisi lain, kita pun dihadapkan dengan
tantangan eksternal dari kaum kuffâr dan munâfiqîn yang memusuhi Islam dan kaum muslimin
dengan senjata invasi pemikiran maupun tsaqafah (ghazw al-fikr wa al-tsaqâfiy). Dan kita
sebagaimana dituturkan sya’ir yang dinukil al-Hafizh al-Suyuthi (w. 911 H) dan lainnya:

‫ ونفعل مثل ما فعلوا‬،‫نبين كما كانت أوائلنا * تبين‬


“Kami membangun sebagaimana generasi pendahulu kami membangun”
“Dan kami berbuat sebagaimana mereka telah berbuat.”13

13
’Abdullah Muhammad bin Muflih al-Maqdisi, Al-Âdâb al-Syar’iyyah, Ed: Syu’aib al-
Arna’uth, Beirut: Mu’assasatur Risâlah, Cet. III, 1419 H, juz I, hlm. 234; ‘Abdurrahman bin
Abu Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
Cet. I, 1411 H, juz I, hlm. 6; Jalaluddin Al-Suyuthi, Tadriib al-Râwi fii Syarh Taqriib al-Nawawi,
Dâr al-Thayyibah, juz I, hlm. 24; Muhammad bin Yazid Abul ’Abbas, Al-Kâmil fî al-Lughah wa
al-Adab, Kairo: Dâr al-Fikr al-’Arabi, Cet. III, 1417 H, juz I, hlm. 132.

Pentingnya Menjelaskan Hakikat Keburukan Demokrasi | 7

Anda mungkin juga menyukai