Anda di halaman 1dari 46

KECERDASAN

POLITIK:
SIAPA TAKUT
JKDN? # 23

DR RIYAN MAG
#23
SIAPA TAKUT JKDN ?
MENGAPA TAKUT
KEPADA FILM ?
ADA DUA FAKTOR:
(1) INTERNAL: KETIDAKFAHAMAN
(2) EKSTERNAL:
UPAYA SISTEMATIS UNTUK
MENAKUT-NAKUTI
“SEJARAH ADALAH POLITIK
DIMASA LALU, DAN POLITIK
ADALAH SEJARAH DIMASA
DEPAN”
“SUDAH MELIHAT BELUM?”
(SAMPUN MIRSANI DERENG)
-UIY-
ISI JKDN:
FAKTA KHILAFAH DALAM
LINTASAN SEJARAH
Film dokumenter Jejak Khilafah di Nusantara (JKdN) menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Film ini
didasarkan pada sebuah riset ilmiah yang cukup panjang. Sebagaimana judulnya, film ini mengungkap jejak Khilafah di
Nusantara dari sisi sejarah.

Adanya jejak Khilafah di Nusantara antara lain terungkap dalam sambutan Sri Sultan Hamengkubuwono X pada Kongres
Umat Islam Indonesia (KUII) VI, 9 Februari 2015, di Yogyakarta. Saat itu beliau tegas mengungkapkan bahwa Raden
Patah dikukuhkan oleh utusan Sultan Turki Utsmani sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawi (Perwakilan Khilafah Turki di
Tanah Jawa).

Disertasi Dr. Kasori di UIN Sunan Kalijaga yang berjudul Di Bawah Panji Estergon: Hubungan Kekhalifahan Turki
Utsmani dengan Kesultanan Demak Pada Abad XV-XVI M (2020) makin menguatkan pernyataan Sri Sultan HB X
tersebut. Dalam penelitiannya Kasori antara lain menyatakan, para raja atau sultan di Demak memerlukan gelar sultan
dari Turki untuk menguatkan kedudukannya.

Adanya hubungan Khilafah dengan Nusantara, khususnya kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara, juga ditegaskan
Sejarawan UIN Bandung, Drs. Moeflich Hasbullah MA.

Ia mengatakan bahwa Khilafah waktu itu adalah negeri adidaya yang sangat besar. Jadi sangat logis jika Nusantara
mempunyai hubungan dengan Khilafah (Mediaumat.news, 24/8/20).

Pengaruh Khilafah Turki Utsmani juga telah diungkap Ermy Azziaty Rozali dalam disertasinya di Universitas Malaya
Malaysia dan diterbitkan dengan judul Turki Uthmaniah: Persepsi dan Pengaruh Dalam Masyarakat Melayu (2016)
(Hidayatullah.com, 23/8/20).
Jelas, keberadaan Khilafah Islam adalah fakta sejarah. Tak bisa dibantah. Khilafah Islam pernah eksis selama tidak
kurang dari 13 abad. Menguasai tidak kurang dari 2/3 wilayah dunia. Jejak Khilafah ini begitu jelas dalam lintasan
sejarah di dunia. Termasuk di Nusantara.

Meski demikian, fakta sejarah Khilafah bukanlah dalil atas kewajiban menegakkan kembali Khilafah. Fakta sejarah
Khilafah hanya mengungkap satu hal, yaitu bahwa sebagai suatu kewajiban, Khilafah pernah dipraktikkan oleh kaum
Muslim selama berabad-abad.

Tidak kurang dari 14 abad. Sejak Khulafaur Rasyidin, Khilafah Umayah, Khilafah Abbasiyah hingga Khilafah Utsmaniyah
yang pada tahun 1924 dibubarkan oleh Mustafa Kemal Attaturk, seorang keturunan Yahudi. Pembubaran Khilafah ini
didukung penuh—bahkan sejak awal diinisiasi—oleh Inggris.

Sebagai negara penjajah nomor satu saat itu, Inggris tentu berkepentingan besar untuk meruntuhkan Khilafah Turki
Utsmani, yang dipandang sebagai salah satu penghalang bagi ambisi imperialismenya di Dunia Islam.
MAKNA KHILAFAH
Makna Khilafah

Lalu apa dalil kewajiban penegakan Khilafah? Sebelum bicara dalil, perlu ditegaskan kembali makna Khilafah dalam
pandangan syariah. Menurut Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, “Khilafah, Imamah Kubra dan Imarah al-Mu’minin merupakan
istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.” (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, IX/881).

Imam al-Mawardi menyatakan, “Imamah (Khilafah) diposisikan untuk menggantikan kenabian dalam hal memelihara
agama dan mengurus dunia.” (Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hlm. 3).

Dr. Mahmud al-Khalidi, dalam disertasinya di Universitas al-Azhar, Mesir, menyatakan, “Khilafah adalah kepemimpinan
umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh
penjuru dunia.” (Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 226).

Definisi ini sama dengan yang digunakan oleh Al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir (Lihat:
An-Nabhani, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, hlm. 34).
Makna Khilafah

Karena merupakan istilah syariah, Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam sebagaimana shalat, puasa, zakat, haji dan
yang lainnya. Bahkan Nabi saw. memerintahkan agar umatnya tidak hanya memegang teguh sunah beliau, tetapi juga
sunah Khulafaur Rasyidin.

Nabi Saw. bersabda,


ِ ‫ َو َعض ُّْوا َعلَ ْي َها بِالنَّ َو‬،‫ِي‬
ِِ ِ‫ا‬ ْ ‫الرا ِش ِديْنَ ال َم ْه ِديِيِنَ ِم ْن بَ ْعد‬ ِ َ‫سنَّ ِة ْال ُخلَف‬
َّ ‫اء‬ ُ ِ‫َعلَ ْي ُك ْم ب‬
ُ ‫سنَّتِ ْي َو‬

“Kalian wajib berpegang teguh dengan sunahku dan sunah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku.
Gigitlah sunah itu dengan gigi geraham.” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Perintah untuk terikat dengan sunnah Khulafaur Rasyidin yang terpenting tentu mempertahankan Khilafah dan
menegakkan kembali Khilafah jika Khilafah tidak ada, sebagaimana saat ini.

Karena itulah semua ulama kaum Muslim sepanjang zaman sepakat, bahwa adanya Khilafah adalah wajib. Kewajiban ini
antara lain berdasarkan dalil Alquran, Sunah, dan Ijmak Sahabat.
KHILAFAH:
TINJAUAN SYAR’I
Kewajiban Khilafah Berdasarkan Dalil Syariah

Pertama: Dalil Alquran. Allah SWT berfirman,


ِ ‫َو ِإ ِْ قَا َل َرب َُّك ِل ْل َم ََلئِ َك ِة ِإنِي َِا ِع ٌل فِي ْاْل َ ْر‬
‫ض َخ ِليفَة‬

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi Khalifah…”
(QS al-Baqarah [2]: 30).

Imam al-Qurthubi, ahli tafsir yang sangat otoritatif, menjelaskan, “Ayat ini merupakan hukum asal tentang kewajiban
mengangkat Khalifah.”

Bahkan beliau kemudian menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat Khalifah) ini
di kalangan umat dan para imam mazhab, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli tentang
syariah)…” (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, I/264).
Baca juga: Khilafah Ajaran Islam: Hukum Adanya Khilafah dan Menegakkannya (2)

Dalil al-Quran lainnya antara lain QS an-Nisa’ (4) ayat 59; QS al-Maidah (5) ayat 48; dll (Lihat: Syaikh ad-Dumaji, Al–
Imâmah al–‘Uzhma ‘inda Ahl as–Sunnah wa al–Jamâ’ah, hlm. 49).
Kewajiban Khilafah Berdasarkan Dalil Syariah
Kedua: Dalil as-Sunnah. Di antaranya sabda Rasulullah Saw.:
َ ‫عنُ ِق ِه بَ ْي َعةٌ َم‬
‫ات ِم ْيتَة َِا ِه ِليَّة‬ َ ‫ات َو لَي‬
ُ ‫ْس فِي‬ َ ‫َم ْن َم‬

“Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada Imam/Khalifah), maka ia mati jahiliah.” (HR Muslim).

Berdasarkan hadis di atas, menurut Syaikh ad-Dumaiji, mengangkat seorang imam (khalifah) hukumnya wajib (Ad-Dumaiji,
Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49).

Nabi Saw. juga mengisyaratkan bahwa sepeninggal beliau harus ada yang memelihara agama ini dan mengurus urusan
dunia. Mereka adalah para khalifah. Nabi Saw. bersabda,
َ‫سيَ ُك ْو ُن ُخلَفَا ُء فَيَ ْكث ُ ُر ْون‬
َ ‫ َو‬،‫ِي‬
ْ ‫ي بَ ْعد‬ ٌّ ِ‫ ُكلَّ َما َهلَ َك نَب‬،‫س ُه ُم اْل َ ْنبِيَا ُء‬
ٌّ ِ‫ي َخلَفَهُ نَب‬
َ ِ‫ َوإِنَّهُ الَ نَب‬،‫ي‬ ُ َ‫َت بَنُ ْو إِس َْرائِ ْي َل ت‬
ُ ‫س ْو‬ ْ ‫َكان‬

“Bani Israil dulu telah diurus oleh para nabi. Ketika seorang nabi wafat, dia akan digantikan oleh nabi yang lain. Sungguh
tidak ada seorang nabi pun setelahku. Yang akan ada adalah para khalifah sehingga jumlah mereka banyak.” (HR Muslim).

Ketiga: Dalil Ijmak Sahabat. Perlu ditegaskan, kedudukan Ijmak Sahabat sebagai dalil syariah—setelah al-Quran dan as-
Sunnah—sangatlah kuat, bahkan merupakan dalil yang qath’i. Imam as-Sarkhashi menegaskan:
.‫الدي ِْن‬ ْ َ‫الدي ِْن…فَ ْال ُم ْن ِك ُر ِلَِ ِل َك َي ْس َع فِي َه ْد ِم أ‬
ِ ‫ص ِل‬ ِ ‫ص َل‬ َ ‫اإلِْ َماعُ ُح َِّة ُم ْو ِِ َبة ِل ْل ِع ْل ِم فَقَ ْد أَ ْب‬
ْ َ‫ط َل أ‬ ِ َ‫َو َم ْن أَ ْن َك َر َك ْون‬

“Siapa saja yang mengingkari kedudukan Ijmak sebagai hujah yang secara pasti menghasilkan ilmu, berarti benar-benar
telah membatalkan fondasi agama ini… Karena itu orang yang mengingkari Ijmak berarti sedang berupaya menghancurkan
fondasi agama ini.” (Ash-Sarkhasi, Ushûl as-Sarkhasi, I/296).
Berkaitan dengan itu Imam al-Haitami menegaskan,
ُ ‫ْث اِ ْشتَغَلُّ ْوا ِب ِه َع ْن َد ْف ِن َر‬
ِ‫س ْو ِل هللا‬ ُ ‫ت َحي‬ ِ ‫ َب ْل َِ َعلُ ْوهُ أَ َه َّم ْال َو‬،‫ب‬
ِ ‫اِ َبا‬ ِ ‫ب اْ ِإل َم ِام َب ْع َد اِ ْن ِق َر‬
ِ ‫اض زَ َم ِن النُّبُ َّوةِ َو‬
ٌ ِ‫ا‬ ْ َ‫ان هللاِ َعلَ ْي ِه ْم أَِْ َمعُ ْوا َع َل أَ َّن ن‬
َ ‫ص‬ َّ ‫أَ َّن ال‬
ُ ‫ص َحا َبةَ ِرض َْو‬
.‫ﷺ‬

“Sungguh para Sahabat—semoga Allah meridai mereka—telah berijmak bahwa mengangkat seorang imam (khalifah)
setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai
kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda
(sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah Saw. (Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 7).

Ijmak Ulama Aswaja

Berdasarkan dalil-dalil di atas—dan masih banyak dalil lainnya—yang sangat jelas, seluruh ulama Aswaja, khususnya
empat imam mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Hanbali), sepakat bahwa adanya
Khilafah dan menegakkan Khilafah ketika tidak ada, hukumnya wajib.

Syaikh Abdurrahman al-Jaziri menuturkan,


ٌ ‫ِإتَّفَقَ اْْلَئِ َّمةُ َر ِح َم ُه ُم هللاُ تَ َعال َ َعل َ أَ َّن اْ ِإل َما َمةَ فَ ْر‬
‫ض‬

“Para imam mazhab (yang empat) telah bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah wajib.” (Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-
Madzâhib al-Arba’ah, V/416).
Hal senada ditegaskan Ibnu Hajar al-Asqalani, “Para ulama telah sepakat bahwa wajib
mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah.
Bukan berdasarkan akal.” (Ibn Hajar, Fath al-Bâri, XII/205).

Pendapat para ulama terdahulu di atas juga diamini oleh para ulama muta’akhirîn (Lihat:
Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, hlm. 88; Dr. Dhiyauddin ar-Rais, Al-Islâm wa
al-Khilâfah, hlm. 99; Dr. Abdul Qadir Audah, Al-Islâm wa Awdha’unâ as-Siyâsiyah, hlm.
124; Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani (Pendiri Hizbut Tahrir), Asy-
Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, 2/15; Dr. Mahmud al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-
Islâm, hlm. 248).

Ulama Nusantara, Syaikh Sulaiman Rasyid, dalam kitab berjudul Fiqih Islam, juga
mencantumkan bab tentang kewajiban menegakkan Khilafah. Bahkan bab tentang
Khilafah juga menjadi salah satu materi di buku-buku madrasah (MA/MTs) di Tanah Air.
ESENSI KHILAFAH:
UKHUWAH, SYARIAH,
DAKWAH
SIAPA TAKUT JKDN ?
(1) REZIM
(2) KELOMPOK PRAGMATIS
YANG DIUNTUNGKAN
(3) INTELEKTUAL
(SEJARAWAN) SEKULER
“Sampun Mirsani Dereng?”
(4) NEGARA ADIDAYA
Presiden George W. Bush (Jr) pada tahun 2006 pernah
mengatakan, “This caliphate would be a totalitarian
Islamic empire encompassing all current and former
Muslim lands, stretching from Europe to North Africa, the
Middle East, and Southeast Asia.” (Khilafah ini akan
menjadi imperium Islam yang totaliter yang akan
melintasi negeri-negeri Muslim kini dan dulu,
membentang dari Eropa hingga Afrika Utara, Timur
Tengah, dan Asia Tenggara).
BEBERAPA PELAJARAN PENTING:
“NEXT JKDN”
(1) PENGUATAN IDENTITAS
DIRI MUSLIM, JADILAH
SUBJEK PERUBAHAN ISLAMI
Be “Subjek Perubahan”
(2) WASPADA “DAMNATIO MEMORIAE”
“Damnatio Memoriae” adalah sebuah frasa latin yang berarti
“pengutukkan memori” dalam arti “dihilangkan dari ingatan kolektif”.
Tradisi ini dikembangkan dalam masyarakat Romawi untuk
menghilangkan semua jejak hidup orang yang tidak diinginkan dari
kehidupan Roma, sehingga rekam jejak seseorang tidak pernah ada.
Seruan penerapan Islam kaffah dalam naungan Khilafah di tanah air
semakin hari semakin membahana. Kerinduan umat Islam untuk
terlepas dari belenggu sistem sekuler-kapitalis yang menimbulkan
berbagai kesengsaraan semakin tak terbendung.
(3) ISTIQAMAH DALAM
DAKWAH, HADAPI UJIAN
DENGAN KESABARAN DAN
KEIKHLASAN
(4) PENDIDIKAN POLITIK
MELAHIRKAN KESADARAN
POLITIK UMAT MENUJU
TEGAKNYA KHILAFAH
#ROMAMENANTIKITA
#SAMPAIJUMPADIROMA

Anda mungkin juga menyukai