Anda di halaman 1dari 40

KRITIK

KEPADA PENGUASA
DALAM ISLAM
DR RIYAN MAG
#48
"MASYARAKAT harus lebih aktif
menyampaikan kritik.”

Kalimat ini merupakan penggalan dari pernyataan


Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat memberi
sambutan pada Laporan Akhir Tahun Ombudsman
RI, Senin (8/2/2021) lalu. Sebelumnya di Hari Pers
Nasional, Jokowi juga menyinggung soal ruang
diskusi dan kritik. Pernyataan mantan Wali Kota
Solo ini ditanggapi beragam. Sebagian kalangan
menilai, pernyataan Jokowi tersebut bertolak
belakang dengan kondisi kebebasan berekspresi
dan kualitas demokrasi Indonesia belakangan ini.
Pasalnya, di era Jokowi ini banyak aktivis dan tokoh
yang aktif melempar kritik ditangkap dan ditahan
polisi. Jokowi seolah menutup mata dengan
berbagai kasus pembungkaman kebebasan
berpendapat yang selama ini terjadi.
Indeks demokrasi

Merosotnya Indeks Demokrasi Indonesia seolah menegaskan menurunnya kualitas demokrasi di


negeri ini. Menurut laporan tahunan The Economist Intelligence Unit, indeks demokrasi
Indonesia berada pada peringkat ke-64 dunia. Dengan skor 6,8, posisi Indonesia tertinggal
dari Malaysia, Timor Leste dan Filipina. Ini merupakan yang terendah selama 14 tahun terakhir.
Dalam laporannya, EIU mencatat lima instrumen penilaian indeks demokrasi. Yakni proses pemilu
dan pluralisme, fungsi pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil. Skor
untuk kebebasan sipil paling rendah ketimbang empat instrumen lainnya, yakni 5.59.

Merosotnya kualitas demokrasi Indonesia juga terlihat dari hasil survei Indikator Politik
Indonesia yang dilakukan pada Oktober 2020. Hasil survei tersebut menunjukkan
mayoritas masyarakat setuju bahwa mereka makin takut menyampaikan pendapat.
Sebanyak 47,7 persen responden menyatakan agak setuju bahwa warga makin takut
menyatakan pendapat. Kemudian sebanyak 21,9 responden menyatakan warga sangat
setuju makin takut menyatakan pendapat. Hasil survei ini juga menunjukkan bahwa
masyarakat merasa semakin sulit untuk berdemonstrasi guna menyampaikan aspirasi. Selain itu,
hasil survei juga menunjukkan mayoritas publik setuju bahwa aparat makin bertindak
semena-mena terhadap masyarakat yang berbeda pendapat.
UU ITE dan Buzzer
UU Informasi Teknologi dan Elektronik atau ITE dan buzzer pun menjadi sorotan menanggapi
pernyataan Jokowi. Selama ini UU ITE kerap dipakai untuk menjerat pihak-pihak yang mengkritik
pemerintah. Mengutip catatan KontraS, hingga Oktober 2020, ada sebanyak 10 peristiwa dan 14 orang
yang diproses karena mengkritik Presiden Jokowi. Lalu dari 14 peristiwa, 25 orang diproses dengan
obyek kritik Polri, dan 4 peristiwa dengan 4 orang diproses karena mengkritik Pemda. Mereka diproses
dengan menggunakan surat telegram Polri dan UU ITE. Selain UU ITE, aktivis dan mereka yang rajin
mengrkitik pemerintah juga akan menjadi sasaran serangan buzzer di media sosial. Menteri
Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri 1999-2000 Kwik Kian Gie bahkan mengaku, saat
ini ia takut menyampaikan kritik karena akan langsung diserang para buzzer. Alih-alih merespons kritik
dengan argumen yang kuat, para buzzer ini malah menyerang pribadi.
Revisi UU ITE
Pernyataan Jokowi yang meminta dikritik berbuntut panjang. Sebagian kalangan menilai, jika Jokowi
serius dengan pernyataannya, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah merevisi UU ITE.
Alasannya, beleid tersebut kerap digunakan untuk memperkarakan orang-orang yang kritis. Pasal-pasal
karet dalam UU ITE kerap dipakai untuk mengkriminalisasi aktivis dan mereka yang aktif mengkritisi
kebijakan pemerintah dan penyelenggara negara. Desakan ini disambut pemerintah. Jokowi pun
melontarkan wacana revisi UU ITE. Jokowi berjanji, jika UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, dia
akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi undang-undang ini. Jokowi juga meminta
Kapolri dan jajarannya lebih selektif laporan yang menggunakan UU ITE. Jokowi meminta Kapolri
Jenderal Listyo Sigit Prabowo meningkatkan pengawasan agar implementasi terhadap penegakan UU
ITE berjalan secara konsisten, akuntabel, dan menjamin rasa keadilan di masyarakat.
Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo mengungkapkan alasan dirinya merangkul Prabowo Subianto
untuk masuk dalam koalisi pemerintah. Padahal Ketua Umum Partai Gerindra itu merupakan lawannya dalam
Pilpres 2019 dan Pilpres 2014.

Jokowi mengatakan ingin membangun sebuah demokrasi yang berazaskan gotong royong. Mantan Wali Kota
Solo itu menyebut di Indonesia tidak ada yang namanya opisisi.

"Kita ini ingin membangun sebuah demokrasi gotong royong. Jadi perlu saya sampaikan bahwa di
Indonesia ini tidak ada yang namanya oposisi kaya di negara lain," kata Jokowi kepada wartawan di Istana
Merdeka, Jakarta, Kamis (24/10).
- Ekonom Kwik Kian Gie kembali mencurahkan isi hatinya melalui akun twitter
@kiangiekwik. Dalam cuitannya, Kwik merasakan ketakutan akan mengemukan
pendapatnya. Yang mana dalam cuitanya Kwik menuliskan “Saya belum pernah
setakut saat ini mengemukan pendapat yang berbeda dengan maksud baik
memberikan alternatif. Langsung saja di-buzzer habis2an, masalah pribadi
diodal-adil. Zaman Pak Harto saya diberi kolom sangat longgar oleh Kompas.
Kritik2 tajam. Tidak sekalipun ada masalah”.
Sembari menunjuk ke depan, Sudjiwo Tedjo mengungkapkan jika dirinya tidak berani mengkritik Jokowi.

“Saya sekarang tidak berani ngritik Jokowi karena ini Raja itu lho di Twitter itu langsung nyerbu,” ungkapnya.

Padahal menurutnya, saat zaman SBY dirinya berani melontarkan kritikan di Twitter, tetapi sekarang Sudjiwo Tedjo
mengaku tak berani mengkritik Jokowi.

” Dulu pas jaman pak SBY saya berani nge-tweet, waktu pas SBY pidato di TV, mari saudara-saudara kita indahkan
perintah pak SBY untuk menghemat energi, jadi ketika pak SBY pidato matikan TV. Aku berani gitu,” ujar Sudjiwo
Tedjo.

Berbeda dengan zaman SBY, Sudjiwo Tedjo mempertanyakan kenapa ia tidak berani mengkritik Jokowi seperti
dirinya mengkritik SBY dulu.

“Kok sekarang saya nggak berani? Apa karena saya makin tua? Apa karena cebong-cebong ini lho, akeh mak
gruduk (banyak),” ucap Sudjiwo Tedjo.
"Bagaimana mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi?
Ini tentu menjadi bagian upaya kita semua," kata JK dalam
acara mimbar demokrasi di kanal Youtube PKS yang dikutip
pada Sabtu (13/2/2021).
KONSEP DAN PRAKTIKA
KRITIK KEPADA PENGUASA
DALAM ISLAM
MAKNA KRITIK
*ARTI KRITIK
(Pranala (link):https://kbbi.web.id/kritik)
kritik/kri·tik/ n kecaman atau tanggapan,
kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk
terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya;

Kritik adalah
proses analisis dan evaluasi terhadap sesuatu dengan tujuan untuk
meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki pekerjaan.[1].

Kritik berasal dari bahasa Yunani kritikos yang berarti "dapat didiskusikan".
Kata kritikos diambil dari kata krenein yang berarti memisahkan, mengamati, menimbang,
dan membandingkan.[2]

1) Curtis, Dan B; Floyd, James J.; Winsor, Jerryl L. Komunikasi Bisnis dan Profesional. Remaja Rosdakarya, Bandung. 1996. Hal 284
2) M. Jazuli (2001). "Kritik Seni Pertunjukkan (Critic of The Performing Art)". Harmonia. 2 (2): 79. ISSN 2541-1683.
MAKNA POLITIK
(SIYASAH, ISLAM)

:PENGATURAN URUSAN UMAT,


DI DALAM DAN LUAR NEGERI, DENGAN HUKUM
ISLAM. PENGUASA MENERAPKAN ISLAM
SECARA PRAKTIS, DAN RAKYAT MELAKUKAN
PENGAWASAN.
PENGAWASAN ATAU KONTROL
RAKYAT ATAS PENGUASA
DISEBUT KOREKSI ATAU
MUHASABAH LIL HUKAM
HUKUMNYA WAJIB
SABDA NABI SAW.

َ ‫َله َل بَل َّ َب ِل هوا‬


‫ع ِني َولَ ْو آ ََة‬ َ ‫علَ َْ َِ َو‬ ‫صلهى ه‬
َ ‫َّللاه‬ َ ‫ي‬
‫ه‬ ‫ب‬
ِ ‫ه‬ ‫ن‬ ‫ال‬ ‫ه‬
‫ن‬ َ ‫ع ْم ٍرو أ‬ َ ‫ع ْن‬
ِ ‫ع ْب ِد ه‬
َ ‫َّللا ب ِْن‬ َ
“Dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra dituturkan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Sampaikanlah dariku walaupun
satu ayat.”[HR. Bukhari]

َ ‫َم ْن َرأَى ِم ْن هك ْل هم ْن َكرا فَ ْلَه ََِ ْرهه ِب ََ ِد ِه فَإِ ْن لَ ْل ََ َْتَ ِط ْع فَ ِب ِل‬


‫َل ِن َِ فَإِ ْن لَ ْل ََ َْتَ ِط ْع‬
‫لن‬
ِ َ ِ ‫م‬ َ ‫اْل‬ْ ‫ف‬
‫ه‬ ‫ع‬
َ ‫ض‬ْ َ ‫أ‬ ‫ك‬َ ‫ل‬
ِ َ
‫ذ‬ ‫و‬ َ
ِ ‫ب‬ ْ
َ ِ َ‫فَ ِبق‬
‫ل‬
“Siapa saja yang melihat kemungkaran hendaknya ia mengubah dengan tangannya. Jika dengan tangan tidak
mampu, hendaklah ia ubah dengan lisannya; dan jika dengan lisan tidak mampu maka ubahlah dengan hatinya;
dan ini adalah selemah-lemah iman.” [HR. Muslim]
SABDA RASUL SAW:

‫لب‬
‫ص ه‬ َ ‫الرا ِبع ِفَهل َكمث ِّ بَول اشت َ َه ُّموا َعلى‬
َ ‫َ ِفَنَ ٍة فَأ‬ َ ‫َمث َ هّ القَل ِئل َعلى هحدهو ِد هللا َو‬
ُّ ‫َن في أ َ َْفَ ِل َهل اِ َذا ا َْتَقه ْوا ِمن اْلمل َ ِء‬
‫مر ْوا‬ َ ‫كلن اله ِذ‬ َ َ‫ض ههل أ َ َْفَل َهل ف‬‫َبعض ههل أ َ ْعال َهل َو َب ْع ه‬
‫ فَإ ِ ْن‬،‫َص َْ ِبنَل خ َْربل َولَل نهؤْ ِذ َم ْن فَ ْوبِنل‬ ِ ‫ فَقَلله ْوا لَ ْو أَنل خ ََر ْبنَل في ن‬،‫َعلى َم ْن فَ ْوب هه ْل‬
‫ َو ِإ ْن أ َ َخذه ْوا َعلى أ َ َْ ِد َْ ِه ْل نَ ُّج ْوا َونَ ُّج ْوا َج ِمَْعل‬،‫ت َ َر هك ْو ههل َو َمل أ َ َراد ْهوا َهلَ هك ْوا َج ِمَْعل‬
“Perumpamaan orang-orang yang mencegah berbuat maksiat dan yang melanggarnya adalah seperti
kaum yang menumpang kapal. Sebagian dari mereka berada di bagian atas dan yang lain berada di
bagian bawah. Jika orang-orang yang berada di bawah membutuhkan air, mereka harus melewati orang-
orang yang berada di atasnya. Lalu mereka berkata: ‘Andai saja kami lubangi (kapal) pada bagian kami,
tentu kami tidak akan menyakiti orang-orang yang berada di atas kami’. Tetapi jika yang demikian itu
dibiarkan oleh orang-orang yang berada di atas (padahal mereka tidak menghendaki), akan binasalah
seluruhnya. Dan jika dikehendaki dari tangan mereka keselamatan, maka akan selamatlah semuanya“.
(HR. Bukhari)
‫‪SABDA NABI SAW:‬‬

‫صل ِري ِ‬ ‫َّللا ْاْل َ ْن َ‬‫ع ْب ِد ه ِ‬ ‫ع ْن َ‬‫ع ْم ٍرو َ‬‫ع ْم ِرو ب ِْن أ َ ِبي َ‬ ‫ع ْن َ‬ ‫َز ب هْن هم َح هم ٍد َ‬ ‫ع ْب هد ْال َع ِز ِ‬
‫َح هدثَنَل بهت َ َْ َبةه َح هدثَنَل َ‬
‫سي ِبيَ ِد ِه لَت َأ ْ ُم ُر َّن‬‫َله َل بَل َّ َوالَّ ِذي نَ ْف ِ‬ ‫علَ َْ َِ َو َ‬ ‫صلهى ه‬
‫َّللاه َ‬ ‫ع ْن النهبِي ِ َ‬ ‫لن َ‬ ‫ع ْن هح َذ َْفَةَ ب ِْن ْالََ َم ِ‬ ‫َ‬
‫علَ ْي ُك ْم ِعقَابًا ِم ْنهُ ث ُ َّم ت َ ْدعُونَهُ فَ ََل‬ ‫ث َ‬ ‫ّللاُ أ َ ْن َي ْب َع َ‬
‫شك ََّن َّ‬‫وف َولَت َ ْن َه ُو َّن ع َْن ا ْل ُم ْنك َِر أ َ ْو لَيُو ِ‬ ‫ِبا ْل َم ْع ُر ِ‬
‫اب لَ ُك ْم‬
‫ست َ َج ُ‬ ‫يُ ْ‬

‫ي ب هْن هح ْج ٍر أ َ ْخ َب َرنَل ِإ َْ َم ِعَ هّ ب هْن َج ْعفَ ٍر َ‬


‫ع ْن َ‬
‫ع ْم ِرو‬ ‫َ ٌن َح هدثَنَل َ‬
‫ع ِل ُّ‬ ‫َث َح َ‬ ‫َى َه َذا َح ِد ٌ‬ ‫بَل َّ أَبهو ِعَ َ‬
‫ب ِْن أ َ ِبي َ‬
‫ع ْم ٍرو ِب َه َذا ْ ِ‬
‫اْل َْنَل ِد ن َْح َوهه‬
‫‪“Demi Dzat Yang jiwaku ada di dalam genggaman tanganNya, sungguh kalian melakukan amar makruf nahi‬‬
‫‪‘anil mungkar, atau Allah pasti akan menimpakan siksa; kemudian kalian berdoa memohon kepada Allah, dan‬‬
‫]‪doa itu tidak dikabulkan untuk kalian.” [HR. Turmudziy, Abu ‘Isa berkata, hadits ini hasan‬‬
Hadits dari Tamim al-Dari –radhiyaLlâhu ’anhu-, bahwa Nabi Muhammad –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam–
bersabda:
«»‫صَ َحةه‬
ِ ‫َِن النه‬
‫الد ه‬
“Agama itu adalah nasihat”
Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?” Nabi–shallaLlâhu ’alayhi wa sallam– bersabda:

َ ‫ َو‬، َ‫ َو ِْلَئِ هم ِة ال هم َْ ِل ِمَْن‬،َِ ‫َ ْو ِل‬


«»‫عل َمتِ ِه ْل‬ ‫ َو ِل َر ه‬،َِ ‫ َو ِل ِكتَل ِب‬،ِ‫ِلِل‬
“Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum Muslimin pada umumnya.”(HR.
Muslim, Abu Dawud, Ahmad. Lafal Muslim)

Ust Irfan berpendapat, bahwa dalam tinjauan ilmu balaghah, hadits ini mengandung bentuk penambahan lafal yang memiliki
faidah tertentu, dinamakan al-ithnâb[3]. Yakni dengan adanya penyebutan kata “(” َ‫ ِْلَئِ هم ِة ال هم َْ ِل ِمَْن‬untuk pemimpin-pemimpin kaum
Muslim) di depan kata “( ”‫ َو َعل َمتِ ِه ْل‬kaum Muslim pada umumnya), dimana kata “kaum Muslim” adalah lafal yang cakupannya
umum (lafzhah jâmi’ah), mencakup pemimpin dan manusia secara umum.[4]Sedangkan “pemimpin kaum Muslim” merupakan
kata khusus yang termasuk bagian dari kaum Muslim pada umumnya, namun dalam hadits ini pemimpin disebutkan secara
khusus sebelum kaum Muslim, ini yang dinamakan al-ithnâb dengan pola dzikr al-‘âm ba’da al-khâsh (penyebutan kata yang
umum setelah kata yang khusus), dalam istilah lain yakni dzikr al–basth, sebagaimana penjelasan Ibn Abi al-Ishba’ al-Baghdadi
(w. 654 H)[5] dan Ibn Hujjah al-Hamawi (w. 837 H)[6], dengan menjadikan hadits ini sebagai salah satu contohnya. Faidah dari
pola ini adalah untuk mencakup keumuman kata dan memberikan perhatian kepada kata yang khusus ( ‫ش هم ْو ِّ َوال ِعنَلََ ِة‬ ُّ ‫ِ ِْلفَل َدةِ العه هم ْو ِل َوال‬
ِ ‫ ِبللخ‬atau berfaidah melengkapi makna yang dimaksud setelah menyebutkan sesuatu yang harus disebutkan secara
]7[)‫َلص‬
khusus ( .]8[)‫لَفَد تتمَل المعنى بعد تخصَص من َجب تخصَصَ بللذكر‬Artinya hadits ini pun mengandung penekanan: pentingnya menasihati
penguasa atau pemimpin kaum Muslim,namun bukan sembarang nasihat, melainkan nasihat dengan landasan Din ini,
sebagaimana permulaan kalimat hadits ini, al-dîn al-nashîhah.
Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫لن َجل ِئ ٍر‬


ٍ ‫ط‬َ ‫َ ْل‬ َ ‫ض هّ ْال ِج َهل ِد َك ِل َمةه‬
‫ع ْد ٍّ ِع ْن َد ه‬ َ ‫أ َ ْف‬
“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan
penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011. Al
Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Abu Daud Sulaiman bin Al Asy’ats As Sajistani membawakah hadits ini dalam kitab
sunannya pada Bab “Al Amru wan Nahyu”, yaitu mengajak pada kebaikan dan melarang
dari kemungkaran. Abu ‘Isa At Tirmidzi membawakan hadits di atas dalam Bab
“Mengingkari kemungkaran dengan tangan, lisan atau hati”. Muhammad bin Yazid Ibnu
Majah Al Qozwini membawakan hadits di atas dalam Bab “Memerintahkan pada kebaikan
dan melarang dari kemungkaran.” Begitu pula Imam Nawawi dalam Riyadhus Sholihin
membawakan hadits ini dalam Bab “Memerintahkan pada kebaikan dan melarang dari
kemungkaran”, beliau sebutkan hadits ini pada urutan no. 194 dari kitab tersebut.
SABDA NABI SAW:

َ ‫َله َل أَ ْف‬
ّ‫ض ه‬ َ ‫علَ َْ َِ َو‬ ‫صلهى ه‬
َ ‫َّللاه‬ ِ ‫َو هّ ه‬
َ ‫َّللا‬ ‫َ ِعَ ٍد ْال هخ ْد ِري ِ بَل َّ بَل َّ َر ه‬
َ ‫ع ْن أَ ِبي‬ َ
ٍ ‫لن َجل ِئ ٍر أَ ْو أَ ِم‬
‫َر َجل ِئ ٍر‬ ٍ ‫ط‬َ ‫َ ْل‬ َ ‫ْال ِج َهل ِد َك ِل َمةه‬
‫ع ْد ٍّ ِع ْن َد ه‬
“Dari Abu Said al Khudri, dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Jihad yang
paling utama adalah mengutarakan perkataan yang ‘adil di depan penguasa atau pemimpin yang zhalim.’”
(HR. Abu Daud No. 4344. At Tirmidzi No. 2174, katanya: hadits ini hasan gharib. Ibnu Majah No. 4011, Ahmad
No. 18830, dalam riwayat Ahmad tertulis: Kalimatul haq [perkataan yang benar] )

‫ َو َر هج ٌّ بَل َّ ِإلَى ِإ َم ٍلل َجل ِئ ٍر فَأ َ َم َرهه َونَ َهلهه فَقَتَلََه‬، ‫ب‬ ‫اء َح ْمزَ ة ه ب هْن َع ْب ِد ْال هم ه‬
ِ ‫ط ِل‬ ُّ ‫َ َِ هد ال‬
ِ ‫ش َه َد‬ َ
“Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan orang yang melawan penguasa kejam, ia
melarang dan memerintah, namun akhirnya ia mati terbunuh.” (HR. Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 4079,
Al Hakim, Al Mustdarak ‘Ala ash Shaihain, No. 4884, katanya shahih, tetapi Bukhari-Muslim tidak
meriwayatkannya. Al Bazzar No. 1285.
Ust Irfan dalam tulisannya, “Mengoreksi Penguasa Secara Terbuka dalam Islam”, 23 Mei 2019, menyatakan
bahwa Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam–
bersabda:

« ‫ي َوتَل َب َع‬ ‫ض‬


ِ ‫ر‬
َ ْ
‫ن‬ ‫م‬
َ ْ
‫ن‬ ‫ك‬
ِ َ ‫ل‬ ‫و‬
َ ‫ل‬
َ ‫ل‬
ِ َ
َ ‫ر‬
َ َ
‫ك‬ ْ
‫ن‬ َ ‫أ‬ ْ
‫ن‬ ‫م‬
َ ‫و‬
َ ‫ئ‬
َ ‫ر‬
ِ ‫ب‬
َ ‫ف‬
َ ‫ر‬
َ ‫ع‬
َ ْ
‫ن‬ ‫م‬
َ َ ‫ف‬ َ‫ون‬ ‫ر‬‫ه‬ ‫ك‬
ِ ْ
‫ن‬ ‫ه‬ ‫ت‬‫و‬َ َ‫ون‬‫ه‬ ‫ف‬ ‫ر‬
ِ ‫ع‬
ْ َ ‫ت‬َ ‫ف‬ ‫ء‬
‫ه‬ ‫ا‬ ‫ر‬
َ ‫م‬
َ ‫ه‬ ‫َت َ هك ه‬
‫ون أ‬ َ
َ
»‫صله ْوا‬
َ ‫بَللهوا أَفَ َال نهقَلتِله هه ْل بَل َّ ََل َمل‬
“Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja
yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa
saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?”
Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat” Jawab Rasul.” (HR. Muslim)

Tatkala berkomentar terhadap hadits ini, al-Hafizh al-Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan, “Di
dalam hadits ini terkandung mukjizat nyata mengenai kejadian yang akan terjadi di masa depan, dan hal ini
telah terjadi sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-. Sedangkan
makna dari fragmen, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih
menegakkan shalat,” jawab Rasul; adalah ketidakbolehan memisahkan diri dari para Khalifah, jika mereka
sekedar melakukan kezaliman dan kefasikan, dan selama mereka tidak mengubah satupun sendi-sendi dasar
Islam.”[9]

9] Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf al-Nawawi,Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-
Turâts al-‘Arabi, cet. II, 1392 H, juz XII, hlm. 242.
ۡ ۡ ۡ ۡ َ ِ
ِ ‫ع ۡو َن الى الخََ ِر َوََل هم هر ۡو َن ِبلل َمعۡ هر ۡو‬
‫ف‬ ۡ ٌ ‫ه‬ ‫ه‬ ۡ
‫َولتكن ِمنك ۡل ا همة َهد ه‬ ۡ ‫ه‬ َ ۡ
ۡ ۡ ٰٓ
‫ع ِن ۡال هم ۡن َك ِؕر َواهول ِٕٮ َك هه هل ال همف ِل هح ۡو َن‬ َ ‫َوََ ۡن َه ۡو َن‬
QS Al Imron(3):104. Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari
yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
PELAKU KOREKSI ATAS PENGUASA:
(1) INDIVIDU
(2) KELOMPOK (PARTAI POLITIK)
(3) MAJELIS UMAT
(4) MAHKAMAH MAZHALIM
PRAKTIKA
KRITIK KEPADA PENGUASA
DALAM ISLAM
(I) KALA RASULULLAH SAW MENGOREKSI PEJABATNYA

Perilaku Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam– dalam mengoreksi pejabat yang diserahi tugas mengatur urusan rakyat
(pemerintahan). Beliau Saw tidak segan-segan mengumumkan perbuatan buruk yang dilakukan oleh pejabatnya di depan
kaum Muslim, dengan tujuan agar pelakunya bertaubat dan agar pejabat-pejabat lain tidak melakukan perbuatan serupa.

Imam Bukhari dan Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Abu Humaid Al-Sa’idi bahwasanya ia berkata:
“Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- mengangkat seorang laki-laki menjadi amil untuk menarik zakat dari
Bani Sulaim. Laki-laki itu dipanggil dengan nama Ibnu Luthbiyyah. Tatkala tugasnya telah usai, ia bergegas
menghadap Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-; dan Nabi Muhammad –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-
menanyakan tugas-tugas yang telah didelegasikan kepadanya. Ibnu Lutbiyah menjawab, ”Bagian ini
kuserahkan kepada anda, sedangkan yang ini adalah hadiah yang telah diberikan orang-orang (Bani Sulaim)
kepadaku.”
Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam– berkata, ”Jika engkau memang jujur, mengapa tidak
sebaiknya engkau duduk-duduk di rumah ayah dan ibumu, hingga hadiah itu datang sendiri
kepadamu”.
Beliau –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam– pun berdiri, lalu berkhutbah di hadapan khalayak ramai. Setelah memuji dan
menyanjung Allah SWT, beliau bersabda,”’Amma ba’du. Aku telah mengangkat seseorang di antara kalian untuk menjadi
amil dalam berbagai urusan yang diserahkan kepadaku. Lalu, ia datang dan berkata, ”Bagian ini adalah untukmu, sedangkan
bagian ini adalah milikku yang telah dihadiahkan kepadaku. Apakah tidak sebaiknya ia duduk di rumah ayah dan ibunya,
sampai hadiahnya datang sendiri kepadanya, jika ia memang benar-benar jujur? Demi Allah, salah seorang di antara kalian
tidak akan memperoleh sesuatu yang bukan haknya, kecuali ia akan menghadap kepada Allah swt dengan membawanya.
Ketahuilah, aku benar-benar tahu ada seseorang yang datang menghadap Allah swt dengan membawa onta yang bersuara,
atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik. Lalu, Nabi–shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- mengangkat kedua
tangannya memohon kepada Allah swt, hingga aku (perawi) melihat putih ketiaknya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
(II) KALA AMIRUL MUKMININ UMAR BIN KHATTAB RA. DIKRITIK RAKYATNYA

(A) Kisah ini diabadikan dalam kitab tafsir Ad Durrul Mantsur fi Tafsiril Ma’tsur karya Syeikh Jalaluddin As Suyuthi. Kisah itu
dikutip pada bab penjelasan Surat An Nisa ayat 20.
Suatu hari, Khalifah Umar naik ke atas mimbar. Dia lalu berpidato di hadapan khalayak ramai.
” Wahai orang-orang, jangan kalian banyak-banyak dalam memberikan mas kawin kepada istri. Karena mahar
Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya sebesar 400 dirham atau di bawah itu. Seandainya
memperbanyak mahar bernilai takwa di sisi Allah dan mulia, jangan melampaui mereka. Aku tak pernah melihat
ada lelaki yang menyerahkan mahar melebihi 400 dirham.”
Rupanya keputusan ini tidak disetujui oleh sebagian kaum perempuan. Maka, usai menyampaikan keterangan, datanglah
seorang perempuan menyampaikan protes.
” Hai, Amirul Mukminin, kau melarang orang-orang memberikan mahar kepada istri-istri mereka lebih dari 400
dirham?” protes wanita itu.
” Ya,” jawab Khalifah Umar.
” Apakah kau tidak pernah dengar Allah menurunkan ayat (melafalkan penggalan ayat 20 Surat An Nisa),” kata wanita itu.
Umar tersentak sambil berkata, ” Tiap orang lebih paham ketimbang Umar.”
Menyadari kekeliruannya, Umar kembali naik mimbar, dan menyatakan, “wanita ini benar dan umar salah.”

َ ‫اَ ِت ۡب َدا َّ زَ ۡوجٍ هم َكلنَ زَ ۡوجٍ ۙ هوات َ َۡت ه ۡل اِ ۡحدٮ هه هن ِب ۡن‬


ََٗ ‫طلرا فَ َال ت َ ۡل هخذه ۡوا ِم ۡنَه ش ََۡـــًٔلؕ ا َ ت َ ۡل هخذه ۡون‬ ۡ ‫َواِ ۡن ا َ َردت ُّ هل‬
‫بههۡ تَلنل هواِ ۡثمل ُّم ِب َۡنل‬
QS An Nisa (4): 20. Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada
seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya. Apakah kamu
akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?
(B) Ust Irfan, dalam tulisannya, Mengoreksi Penguasa Secara Terbuka dalam Islam”, 23 Mei 2019, menyatakan bahwa ketika
Umar bin Khaththab –radhiyaLlâhu ’anhu– berkhuthbah di hadapan kaum Muslim, setelah beliau diangkat menjadi Amirul
Mukminin, beliau berkata, “Barangsiapa di antara kalian melihatku bengkok, maka hendaklah dia meluruskannya”. Seorang laki-
laki Arab berdiri dan berkata, “Demi Allah wahai Umar, jika kami melihatmu bengkok, maka kami akan meluruskannya
dengan tajamnya pedang kami”.

(C) Pada saat Umar bin Khaththab –radhiyaLlâhu ’anhu– mengenakan baju dari kain Yaman yang diperoleh dari harta ghanimah.
Beliau kemudian berkhuthbah di hadapan para shahabat dengan baju itu, dan berkata, “Wahai manusia dengarlah dan
taatilah…” Salman Al-Farisi –radhiyaLlâhu ’anhu-, seorang shahabat mulia berdiri seraya berkata kepadanya, “Kami tidak akan
mendengar dan mentaatimu”. Umar berkata, “Mengapa demikian?” Salman menjawab, “Dari mana kamu mendapat pakaian itu,
sedangkan kamu hanya mendapat satu kain, sedangkan kamu bertubuh tinggi? Beliau menjawab, “Jangan tergesa-gesa,” lalu
beliau memanggil, “Wahai ‘Abdullah”. Namun tidak seorang pun menjawab. Lalu beliau berkata lagi, “Wahai ‘Abdullah bin
Umar..” ‘Abdullah menjawab, “Saya wahai Amirul Mukminin”. Beliau berkata, “Bersumpahlah demi Allah, apakah kain yang
aku pakai ini kainmu?” Abdullah bin Umar –radhiyaLlâhu ’anhu– menjawab, “Demi Allah, ya”. Salman berkata, “Sekarang
perintahlah kami, maka kami akan mendengar dan taat”.[11] (‘Abdul ‘Aziz Al Badri, Al-Islâm bayna al-‘Ulamâ’ wa al-Hukkâm
(Terjemah: Hitam Putih Wajah Ulama dan Penguasa), hlm. 70-71)
(D) Amirul Mukminin Mu’awiyyah –radhiyaLlâhu ’anhu- berdiri di atas mimbar setelah memotong jatah harta beberapa kaum
Muslim, lalu ia berkata, “Dengarlah dan taatilah..”. Lalu, berdirilah Abu Muslim Al Khulani mengkritik tindakannya yang salah,
“Kami tidak akan mendengar dan taat wahai Mu’awiyyah!”. Mu’awiyyah berkata, “Mengapa wahai Abu Muslim?”. Abu Muslim
menjawab, “Wahai Mu’awiyyah, mengapa engkau memotong jatah itu, padahal jatah itu bukan hasil jerih payahmu dan bukan
pula jerih payah ibu bapakmu?” Mu’awiyyah marah dan turun dari mimbar seraya berkata kepada hadirin, “Tetaplah kalian di
tempat”. Lalu, dia menghilang sebentar dari pandangan mereka, lalu keluar dan dia sudah mandi. Mu’awiyyah berkata,
“Sesungguhnya Abu Muslim telah berkata kepadaku dengan perkataan yang membuatku marah. Saya mendengar Rasulullah –
shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- bersabda, “Kemarahan itu termasuk perbuatan setan, dan setan diciptakan dari api yang bisa
dipadamkan dengan air. Maka jika salah seorang di antara kalian marah, hendaklah ia mandi”. Sebenarnya saya masuk untuk
mandi. Abu Muslim berkata benar bahwa harta itu bukan hasil jerih payahku dan bukan pula jerih payah ayahku, maka
ambillah jatah kalian”.[12] (Hadits ini dituturkan oleh Abu Nu’aim dalam KitabAl-Hilyah, dan diceritakan kembali oleh Imam Al
Ghazali dalam Kitab Al-Ihyâ’, juz 7, hlm. 70).
(III) KALA ULAMA MELAKUKAN KOREKSI KE PENGUASA

Ust Irfan dalam tulisannya, “Mengoreksi Penguasa Secara Terbuka dalam Islam”, 23 Mei 2019,
menyampaikan bahwa, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berdiri di atas mimbar untuk mengkritik dan
memberikan nasihat kepada Gubernur Yahya bin Sa’id yang terkenal dengan julukan Ibnu Mazâhim
Al-Dzâlim Al-Qadha. Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata, “Semoga orang Islam tidak dipimpin
oleh orang yang paling dzalim; maka apa jawabanmu kelak ketika menghadap Tuhan
semesta alam yang paling pengasih? Gubernur itu gemetar dan langsung meninggalkan apa
yang dinasihatkan kepadanya”.[13] Dalam keterangan lainnya, beliau mengoreksi Khalifah al-
Muqtafi terang-terangan di atas mimbar masjid karena mengamanahkan jabatan hakim
peradilan kepada orang yang berbuat kezaliman-kezaliman.[14]

Sulthan al-‘Ulama, Imam Al-‘Izz bin Abdus Salam telah mengkritik Sulthan Ismail yang telah
bersekongkol dengan orang-orang Eropa Kristen untuk memerangi Najmuddin bin Ayyub.
Ulama besar ini tidak hanya membuat fatwa, tetapi juga mengkritik tindakan Ismail di atas mimbar
Jum’at di hadapan penduduk Damaskus. Saat itu Ismail tidak ada di Damaskus. Akibat fatwa dan
khuthbahnya yang tegas dan lurus, Al-’Izz bin ‘Abdus Salam dipecat dari jabatannya dan
dipenjara di rumahnya.[15]

13] Qalâ’id Al-Jawâhir, hlm. 8.


[14] Dr. Ali Muhammad al-Shallabi, Al-‘Âlim al-Kabîr wa al-Murabbi al-Syahîr al-Syaikh ’Abd al-Qadir al-Jaylani,
Kairo: Mu’assasat Iqra’, cet. I, 1428 H, hlm. 85.
[15] Al-Subki, Al-Thabaqat, dan lain-lain.
KEBERADAAN BUZZER
DI SEKITAR PENGUASA
Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Niam
mengingatkan adanya fatwa mengenai hukum dan pedoman bermuamalah melalui media sosial.
Dalam fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 dibahas perihal hukum aktivitas buzzer atau
pendengung di media sosial. Terdapat sejumlah aktivitas yang hukumnya haram dilakukan
dalam menggunakan media sosial.
Asrorun mengatakan aktivitas buzzer yang menjadikan penyediaan informasi berisi hoaks, ghibah,
fitnah, namimah(adu domba), bullying, aib, gosip, dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk
memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi, hukumnya haram.
"Demikian juga orang yang menyuruh, mendukung, membantu, memanfaatkan jasa dan orang yang
memfasilitasinya," ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (12/2).

Selain itu kegiatan memproduksi dan/atau menyebarkan konten yang bertujuan untuk
membenarkan yang salah atau sebaliknya, membangun opini agar seolah-olah berhasil dan sukses,
dan tujuan menyembunyikan kebenaran serta menipu khalayak hukumnya juga haram.

Asrorun menambahkan kegiatan menyebarkan konten tidak patut yang bersifat pribadi-- seperti pose
mempertontonkan aurat-- kepada khalayak juga haram hukumnya.

Ia menerangkan bahwa fatwa juga mengatur pedoman pembuatan konten. Satu di antaranya tidak
boleh menjadikan penyediaan konten yang berisi hoaks hingga kebencian sebagai profesi untuk
memperoleh keuntungan.

"Baik ekonomi maupun non-ekonomi. Seperti profesi buzzer yang mencari keutungan dari kegiatan
terlarang tersebut," pungkasnya.

Sebelumnya, isu perihal buzzer pemerintah kembali diperbincangkan publik. Ekonom Kwik Kian Gie
menyatakan takut mengkritik pemerintah saat ini karena ada buzzer yang siap menyerang.

Sindiran soal buzzer juga dilontarkan musisi pendukung Jokowi, Iwan Fals. Ia menyebut zaman dulu orang
santai dan berani mengkritik karena tak ada buzzer. Sementara Budayawan Sujiwo Tejo menyarankan
pemerintah Indonesia untuk menertibkan buzzer yang ada di media sosial.
AKHIR BURUK BUZZER
YANG MEMUSUHI ISLAM
Ust Yuana dalam tulisannya, Walid bin Mughirah, “Buzzer” Kekuasaan Quraisy yang Dikisahkan Alquran, 11 Oktober 2019, menyatakan
bahwa dalam konteks media sosial, arti buzzer adalah orang yang mempromosikan, mengampanyekan, atau
mendengungkan sesuatu, baik itu produk atau isu tertentu melalui postingan di akun media sosialnya. Secara etimologi,
buzzer adalah lonceng, bel, atau alarm yang digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan banyak orang di suatu tempat
dengan tujuan untuk menyampaikan suatu pengumuman.

Pada zaman Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam, media penyampaian informasi, penggiringan opini (framing),
bahkan penyebaran berita bohong (hoax) adalah melalui syair. Para penyair handal dan terkenal adalah yang bisa
mengendalikan opini.

Penyair besar dan handal yang dimiliki orang Quraisy adalah al-Walid al-Mughirah. Ia adalah buzzer kekuasaan yang
“bekerja” untuk menyenangkan kaumnya. Ia buzzer istana yang sangat mahir dalam kendalikan opini publik. Pada akhirnya
ia mati, sementara kebencian sudah teramat dalam merasuk dalam jiwanya.

Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan terkait al-Walid dalam QS. al-Mudatsir [74] : 11-26,

“Biarkanlah Aku (yang bertindak) terhadap orang-orang yang Aku sendiri telah menciptakannya.[11] Dan Aku berikan
baginya kekayaan yang melimpah.[12] Dan anak-anak yang selalu bersamanya.[13] Dan Aku berikan kepadanya
kelapangan (hidup) yang seluas-luasnya.[14] Kemudian dia ingin sekali agar Aku menambahnya.[15] Tidak bisa!
Sesungguhnya dia telah menentang ayat-ayat Kami (Alquran).[16] Aku akan membebaninya dengan pendakian yang
memayahkan.[17] Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan.[18] Maka celakalah dia, bagaimana dia
menetapkan?[19] Sekali lagi, celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan? [20] Kemudian dia memikirkan.[21] Lalu
berwajah masam dan cemberut.[22] Kemudian berpaling dan menyombongkan diri.[23] Lalu dia berkata, “(Alquran) ini
hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu).[24] Inilah hanyalah perkataan manusia.[25] ”Kelak Aku akan
memasukkannya ke dalam (Neraka) Saqar.[26]”
Dari Ibnu Abbas bahwa al-Walid bin al-Mughirah menemui Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah
membacakan Alquran kepadanya. Sepertinya Alquran itu melembutkan kekufuran al-Walid. Kabar ini sampai ke telinga Abu
Jahal. Ia pun datang menemui al-Walid.

Abu Jahal mengatakan, “Wahai Paman, sesungguhnya kaummu ingin mengumpulkan harta untukmu.” “Untuk apa?” tanya al-
Walid. “Untukmu. Karena engkau datang menemui Muhammad untuk menentang ajaran sebelumnya (ajaran nenek moyang).”

Al-Walid bin al-Mughirah menanggapi, “Orang-orang Quraisy tahu, kalau aku termasuk yang paling kaya di antara mereka.”
“Ucapkanlah suatu perkataan yang menunjukkan kalau engkau mengingkari Alquran atau engkau membencinya.”, kata Abu
Jahal. Al-Walid mengatakan,

،‫ وهللا! مل َشبَ الذي َقوّ شَئل من هذا‬،‫ وَل بأشعلر الجن‬،‫ وَل أعلل برجز وَل بقصَدة مني‬،‫وملذا أبوّ؟ فوهللا! مل فَكل رجّ أعلل بلْلشعلر مني‬
َ‫ وإنَ لَحطل مل تحت‬،‫ وإنَ لَعلو ومل َعلى‬،َ‫ وإنَ لمثمر أعاله م دق أَفل‬،‫ وإن علََ لطالوة‬،‫ووهللا! إن لقولَ الذي َقوّ حالوة‬
“Apa menurutmu yang harus kukatakan pada mereka? Demi Allah! Tidak ada di tengah-tengah kalian orang yang lebih
memahami syair Arab daripada aku. Tidak juga pengetahuan tentang rajaz dan qashidah-nya yang mengungguli diriku. Tapi
apa yang diucapkan Muhammad itu tidak serupa dengan ini semua. Juga bukan sihir jin. Demi Allah! Apa yang ia ucapkan
(Alquran) itu manis. Memiliki thalawatan (kenikmatan, baik, dan ucapan yang diterima jiwa). Bagian atasnya berbuah, sedang
bagian bawahnya begitu subur. Perkataannya begitu tinggi dan tidak ada yang mengunggulinya, serta menghantam apa yang
ada di bawahnya.”
Luar biasa, seseorang yang keras hatinya dan penuh kebencian terhadap Islam dan apa yang Allah turunkan, memiliki kesan
yang luar biasa terhadap Alquran. Abu Jahal bersikukuh agar al-Walid mengatakan sesuatu yang bisa membuat orang-orang
Quraisy ridha. Ia berkata, “Kaummu tidak akan ridha kepadamu sampai engkau mengatakan sesuatu yang buruk tentang
Alquran itu.” “Jika demikian, tinggalkanlah aku biar aku berpikir dulu,” kata al-Walid.

Setelah berpikir, al-Walid mengatakan, “Alquran ini adalah sihir yang dipelajari. Muhammad mempelajarinya dari
orang lain.”
Akhirnya, aib al-Mughirah dibongkar. Ibn Abbas berkata, “Tidak ada yang disifati dengan aib-aib seperti ini
kecuali al-Walid bin al-Mugirah. Aib yang menjangkitinya sepanjang hayat.” (Tafsir al-Jalalain, vol. 1, hlm.
758).

Semua sifat buruk al-Walid diabadikan dalam ayat berikut ini, QS. al-Qalam [68] : 10-15:

‫) ه‬١٢( ‫) َمنهلعٍ ِل ْل َخَ ِْر هم ْعتَ ٍد أَثِ ٍَل‬١١( ‫شلءٍ ِبن َِم ٍَل‬
‫) ِإذَا تهتْلَى َعلَ َْ َِ آ ََلتهنَل‬١٤( َ‫) أَ ْن َكلنَ ذَا َمل ٍّ َو َبنَِن‬١٣( ‫عت ه ٍّ َب ْع َد ذَ ِل َك زَ نِ ٍَل‬ ‫لز َم ه‬ ٍ ‫َوَل ت ه ِط ْع هك هّ َحالفٍ َم ِه‬
ٍ ‫) َه هم‬١٠( ‫َن‬
)١٥( َ‫اْلولَِن‬ ‫َر ه‬ ‫لط ه‬
ِ َ َ َ‫بَل َّ أ‬

“Dan janganlah kamu ikuti orang-orang yang banyak bersumpah lagi hina.[10] Yang banyak mencela yang
kian kemari menyebar fitnah.[11] Yang sangat mencegah dari berbuat baik, yang melampaui batas lagi
banyak dosa[12] yang kaku lagi kasar. Selain dari itu, yang terkenal kejahatannya (nasabnya tidak jelas)[13],
karena dia mempunyai (banyak) harta dan anak.[14] Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia
berkata, ‘(Ini adalah) dongengan orang-orang dahulu kala.’[15]” (QS. al-Qalam [68] : 10-15).

Mendengar ayat ini, al-Walid naik pitam. Dengan menghunus pedangnya, dia mendatangi ibunya,

“Muhammad menyifatiku dengan sepuluh sifat. Hanya sembilan sifat yang saya temukan dalam diriku.
Adapun yang satunya “zanim, ,”‫زَ نِ ٍَل‬tidak aku ketahui artinya. Mohon jelaskan maknanya, atau pedang ini
terpaksa menebas lehermu.” Ancamnya ingin tahu. “Bapakmu kaya raya, namun lemah syahwat (impoten).
Takut hartanya tidak ada yang warisi, saya pun terpaksa minta digauli oleh seorang pengembala. Engkau
anak si pengembala itu.” Jelasnya dengan jujur.
Dengan menelaah QS. Al-Qalam ayat 10-15 di atas, ada kesamaan model para buzzer durjana yang
mengabdi kepada kekuasaan dari masa ke masa, yaitu 10 sifat sebagai berikut:

(1) Suka bersumpah demi menutupi kebenaran;


(2) Hina, karena tidak ada orang yang seperti itu kecuali ia sebagai pendusta, dan tidak ada yang
seperti itu kecuali orang yang keadaannya hina;
(3) Suka mencela, yakni banyak mencela manusia baik dengan menggunjing, menghina, maupun
dengan lainnya;
(4) Penyulut fitnah, yakni mengadu domba;
(5) Pencegah kebaikan;
(6) Penganiaya yang melampaui batas, yakni terhadap manusia dengan menzhalimi harta, darah,
dan kehormatan mereka;
(7) Banyak dosa;
(8) Berperilaku kasar, yakni kasar (caci maki), keras, berakhlak buruk dan tidak mau tunduk kepada
kebenaran;
(9) Nasabnya tidak jelas, yakni diragukan keturunannya, tidak ada asalnya yang menghasilkan
kebaikan, bahkan akhlaknya adalah seburuk-buruk akhlak, tidak diharapkan kebaikannya, bahkan
terkenal kejahatannya;
(10) Memiliki daya dukung finansial yang melimpah, baik karena kekayaannya maupun karena di
backup kekuasaan. Orang yang mempunyai banyak harta lebih mudah mendapat pengikut.

Anda mungkin juga menyukai